Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
FAUZAN BAYU RAMDANI. Energy and Nutrient Intake, and Nutritional Status in
Toddlers with Acute Respiratory Infections (ARI) and without ARI at sub-district
Cipatat Bandung Barat. Supervised by HADI RIYADI and LEILY AMALIA
FURKON
ARI (acute respiratory infection) is an important health issue that causes
highly enough death of infant and toddlers about 1 among 4 death occured. Each
child annualy expected 3-6 times infected by ARI Myrnawati research (2003) also
found about 20-30% infant mortality causes by ARI. Based on the results
of Indonesian Demographic and Health Survey, there were several factor that
cause respiratory disease such as environment, weather, parents occupation,
age, and food intake (Depkes 2002). Main purpose of this research are to know
the differences of energy intake, nutrients and nutritional status of toddlers ARI
suspect and non ARI suspect at Cipatat, Bandung Barat. This study was
implemented by cross-sectional design. Data collection was conducted in
Agustus to September 2010, with a total sample of 60 persons. Example
collected by purposive with the criteria has an history of respiratory illness during
the last 2 weeks (as a group of ARI suspect) and has no history of respiratory
infection (as a group of non ARI suspect) that registered at Puskesmas Cipatat.
Category ARI and non ARI was determined based on existing data in Puskesmas
Cipatat by doctor's diagnosis.
The data collection then processed and analyzed descriptively and
statistically using Miccrosoft excel and SPSS 16.0. Data processing include
editing, coding and data entry. To knowing difference of adequacy level of
energy, nutrients and nutritional status between ARI suspect and non ARI
suspect was used Indeppendent Sample T-test.
Based on the results of statistical analysis there were significant
differences between energy intake, protein and zinc on infants ARI suspect and
non ARI suspect (p=0,043) (0,004) and (p=0,036) (p<0,05). There was no
significant difference between intake of vitamin A, vitamin E, vitamin C and Fe
among todlers with ARI and (p>0,05). From the results of anthropometric
measurements that the nutritional status on the indicators BB/U, TB/U, and
BB/TB there was no difference between group of toddler with ARI and without
ARI (p>0,05).
Key word : Energy and Nutrient Intake, Nutritional status, Acute Respiratory
Infections (ARI)
RINGKASAN
FAUZAN BAYU RAMDANI. Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita
ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat. Dibimbing oleh
HADI RIYADI dan LEILY AMALIA FURKON
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan asupan
energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan
Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Adapun tujuan khususnya yaitu (1)
Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, (2) Mengetahui
karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (3) Mengetahui tingkat
kecukupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (4)
Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (5)
Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA
dan tidak ISPA (6) Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu model
pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat. Lokasi penelitian di
Kecamatan Cipatat di mana terdapat daerah penambangan batu kapur. Lokasi
dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya polusi udara akibat kegiatan
penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus
dan September 2010. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59
bulan yang berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat.
Pemilihan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria mempunyai riwayat
penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai kelompok ISPA) dan tidak
memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA) serta terdaftar di
Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan berdasarkan data
yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosa dokter. Jumlah
contoh masing-masing kelompok adalah 30 sehingga total 60 anak balita.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, data kebiasaan merokok
dalam rumah, data karakteristik individu contoh, data konsumsi makanan serta
data antropometri. Data sekunder berasal dari puskesmas yaitu data profil
puskesmas dan data kejadian penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir. Data
diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Program komputer yang
digunakan adalah Miccrosoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows.
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data. Untuk
mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan status gizi antara
penderita ISPA dan tidak ISPA menggunakan uji Independent Samples T-Test.
Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPA
hanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampai
tingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPA
adalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruh
dan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil pada
balita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Tingkat
pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- per
kapita per bulan, bahwa sebagian besar 63,3% rumah tangga balita ISPA
tergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA (63,3%) tergolong tidak miskin.
Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh pada balita ISPA mempunyai
kebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada balita tidak ISPA (63,3%).
Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,
sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian
besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidak
ISPA (56,7%) responden adalah perempuan.
Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar
balita ISPA dan balita tidak ISPA masing-masing 56,7% dan 40% mengalami
defisiensi berat. Dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara
asupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Tingkat kecukupan
protein pada balita ISPA yang tergolong mengalami defisiensi berat adalah 40%,
sedangkan pada balita tidak ISPA (43,3%) mengalami tingkat kecukupan lebih.
Ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan tidak
ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A mengalami defisensi
berat, pada balita ISPA (80%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan
tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami
defisiensi berat, pada balita ISPA (93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA
(96,7%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin E pada
balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin
C mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 70% sedangkan pada
balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
asupan vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar
tingkat kecukupan seng mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA maupun
balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada perbedaan yang signifikan antara asupan
seng pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat
kecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 76,7%
sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara asupan besi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami
status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan BB/U pada balita ISPA
dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal
berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA
(70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan TB/U
pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami
status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan
pada balita tidak ISPA (83,3%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
status gizi berdasarkan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan
energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan
seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E.
vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk
meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya
melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar
kecukupan terpenuhi, dan menghilangkan kebiasaan merokok dalam rumah.
Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan kepada orang tua tentang
pentingnya makanan bergizi untuk memenuhi kecukupan gizi anak dan bisa
menekan angka kejadian ISPA pada balita agar tidak menjadi akut.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Judul Skripsi
: Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat
Nama
Nrp
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 14 Mei 1987, penulis merupakan
anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Suwinda dan ibu Teti
Suryati.
Pendidikan formal pertama di tempuh pada tahun 1991-1993 di TK
Pertiwi Desa Rajamandala. Tahun 1993 memulai pendidikan di SD Negeri RAMA
I selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan di
SLTP Negeri 1 Cipatat. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 9
Bandung hingga tahun 2005. Selama di SMA penulis aktif dalam kegiatan
organisasi seperti pecinta alam dan kegiatan olahraga.
Pada tahun 2005 penulis diterima di Poltekkes DEPKES Bandung
Jurusan Gizi. Selama kuliah di Jurusan Gizi, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan ikatan remaja
masjid.
Pada
tahun
2008
penulis
melanjutkan
studi
pada
Program
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat,
kasih sayang, kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Asupan Energi, Zat Gizi
dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat
Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S sebagai dosen pembimbing satu skripsi yang telah
memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi
ini.
2. Leily Amalia Furkon, STP, M.Si sebagai dosen pembimbing dua skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian
skripsi ini.
3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Mira Dewi, S.Ked sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi, yang
telah memberikan masukan dan saran.
5. Orangtua (Bapak dan Ibu), kakak dan adik-adik atas kasih sayang, doa dan
bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak yang belum tertulis diatas yang telah memberikan bimbingan
dan bantuannya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak yang membaca. Penulis mengucapakan terima
kasih, semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua, Aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFAR TABEL.............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan ................................................................................................
Hipotesis .............................................................................................
Kegunaan............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................................................
Status Gizi...........................................................................................
Energi..................................................................................................
10
11
18
19
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................
21
21
22
23
24
26
26
30
32
34
46
51
Saran ..................................................................................................
52
53
LAMPIRAN ..................................................................................................
57
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Tabel 25.
Tabel 26.
Tabel 27.
Tabel 28.
Tabel 29.
Tabel 30.
Tabel 31.
7
16
18
22
23
24
27
28
29
30
31
32
33
33
34
35
36
37
38
39
40
40
41
42
43
43
44
45
47
48
49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
14
20
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian..................................................................
56
57
58
59
60
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya
menyebutkan
bahwa
pembangunan
kesehatan
diarahkan
untuk
terjadinya infeksi. Begitu juga apabila sudah terjadi infeksi, maka nafsu makan
menurun dan menyebabkan konsumsi makan berkurang, sehingga terjadi
gangguan salah satunya adalah zat gizi baik makro maupun mikro.
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan masalah kesehatan
yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi
yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6
episode ISPA setiap tahunnya. Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan
bahwa 20-30% kematian balita disebabkan oleh ISPA (diacu dalam Zyiefa 2009).
Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ada beberapa
faktor yang menyebabkan penyakit ISPA diantaranya adalah lingkungan, cuaca,
pekerjaan orang tua, umur, dan konsumsi makanan (Depkes 2002).
Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al (tahun 1997)
pada anak dibawah 2 tahun di metro Cebu-Philiphina menyatakan bahwa
terdapat pengaruh status gizi kurang terhadap kematian anak di bawah dua
tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa status gizi kurang (berdasarkan
BB/U) berhubungan dengan faktor resiko terjadinya ISPA pada anak. Penurunan
berat badan akan meningkatkan 1,7 kali resiko terjadinya ISPA (AJCN 1997).
meskipun
memiliki
manfaat
ekonomi,
dampak
dari
melakukan penelitian mengenai asupan energi, zat gizi, dan status gizi
pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung
Barat.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
asupan energi, zat gizi, dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di
Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA
3. Mengetahui asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi
antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
4. Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
5. Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita
penderita ISPA dan tidak ISPA
6. Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan
tidak ISPA
Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Ada perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak
ISPA
Kegunaan
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada
pembaca
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan atas di kenal sebagai ISPA adalah penyakit
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring (Algsagaff et al 1998). ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI)
mempunyai pengertian sebagai berikut:
a. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paruparu) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan.
b. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau
disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi
tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit
ISPA (Algsagaff et al 1998).
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus, korinekbakterium dan bordetella. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, pikornavirus, mikoplasma,
hipervirus dan lain-lain.
Gejala ISPA dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu ringan,
sedang dan berat. Gejala ringan ditandai dengan batuk, serak yaitu anak
bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara
atau menangis), pilek yaitu mengeluarkan lendir / ingus dari hidung, panas, atau
demam dengan suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan
punggung tangan terasa panas, perlu berhati-hati karena jika anak menderita
ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari 390C, gizinya
kurang umurnya 6 bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA
sedang (Depkes 2002).
Gejala sedang ditandai jika gejala seperti pernafasan lebih dari 50x
permenit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40x
permenit pada anak yang berumur satu tahun lebih. Cara menghitung
pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit.
Untuk menghitung dapat digunakan arloji, suhu lebih dari 390C (diukur dengan
thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak campak, telinga sakit
atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan berbunyi seperti
mengorok (mendengkur), pernafasan berbunyi menciut-ciut (Depkes 2002).
Gejala ISPA berat yang ditandai dengan bibir atau kulit membiru, lubang
hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas, anak tidak
sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi seperti mengorok dan
anak tampak gelisah, sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas, nadi lebih
cepat dari 160x permenit atau tidak teraba, tenggorokkan berwarna merah
(Depkes 2002).
Faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau memudahkan
terjadinya penyakit, tiga faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yaitu
: keadaan sosial
dan
anak.
Growth
faltering
(menurunnya
pertumbuhan)
merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa
disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak
memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam
Fitri 2008).
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
TB/U
BB/TB
Kategori
Gizi lebih : > 2.0 SD
Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD
Gizi kurang : < - 2 SD
Gizi buruk : < - 3 SD
Normal : - 2 SD
Pendek/stunted : < - 2 SD
Gemuk : > 2.0 SD
Normal : - 2 SD s/d + 2 SD
Kurus/wasted : < - 2.0 SD
Sangat kurus : < - 3 SD
karakteristik
tersebut
di
atas,
maka
indeks
ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status masa lampau, juga
lebih erat kaitanya dengan status sosial ekonomi (Supariasa 2001).
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan berat badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliefe pada tahun 1966 telah
memperkenalakan indeks ini untuk mengindentifikasi status gizi (Supariasa 2001)
Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi
saat ini (sekarang). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai
beberapa kelebihan yaitu: tidak memerlukan data umum, dapat membedakan
proporsi badan (gemuk, normal atau kurus) dan kelemahannya adalah : tidak
dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan
atau kelebihan tinggi badan menurut umumya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan,
dalam
prakteknya
sering
mengalami
kesulitan
dalam
melakukan
pengukuran
panjang/tinggi
badan
pada
kelompok
balita.
Membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama (Supariasa
2001).
Konsumsi Pangan
Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok
orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang
mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk
keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga,
pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah
penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan
jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan
selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan
relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan
seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang
berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006).
Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan
masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila
penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga
meningkat mutunya (Suhardjo 1989).
Menurut
yang
berpenghasilan
rendah
kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi
sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam
Rosyida 2010).
Energi
Manusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier
2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaanpekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan
yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005).
Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk
aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002).
Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi
energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi
seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat
aktifitas
yang
sesuai
dengan
kesehatan
jangka
panjang,
dan
yang
menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap
rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal
bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru
(Kumalaningsih 2006).
Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh
radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan
menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan
jumlah
ROS (Reactive
Oxygen
Species) dan
RNI
(Reactive Nitrogen
mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih
jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang
tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi
yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak
berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004).
Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA,
protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi
oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan
prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak
adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan
beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio
et al 1991).
Kaitan antara Vitamin A dan Kejadian Infeksi
Menurut Supariasa (2002) Penyakit infeksi berkaitan dengan keadaan gizi
kurang sehingga merupakan hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk akan mempermudah
terjadinya infeksi. Berikut adalah bagan kaitan antara vitamin A dan kejadian
infeksi.
infeksi
Panas, Gangguan
nafsu makan,
Gangguan absorpsi
Gangguan utilisasi dll
Kekuarangan Vitamin A
Gambar 1 Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan infeksi
Tingkat keparahan penyakit selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi
vitamin A. Kematian selalu berhubungan dengan infeksi diantaranya pneumonia
dan diare berat. Pemberian vitamin A dosis besar dapat menurunkan risiko
kematian akibat infeksi (Rolfes et al 2006). Untuk mengurangi pengaruh infeksi
dan memperbaiki status gizi, pasien dianjurkan untuk menjalani diet yang
dianjurkan oleh ahli gizi.
Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam
lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur
cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima
hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi
didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen
secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu
juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier
2004).
Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam
membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000
molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau
reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk aslinya. Sumber
utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah
gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung
vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang
baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam
jumlah terbatas (Almatsier 2004).
Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, tidak tahan terhadap
panas dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Vitamin C membantu
spesifik enzim dalam melakukan fungsinya. Vitamin C juga berperan sebagai
antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur
protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu
tubuh menyerap zat besi (Almatsier 2004)
Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat kolagen oleh fibroblast
hingga
merupakan
bagian
dalam
pembentukan
zat
intersel.
Keadaan
menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat dapat berubah
menjadi batu ginjal (Pudjiadi 2001).
Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada Berbagai
Kelompok Usia
No
1.
0 - 6 bulan
2.
7 - 11 bulan
3.
1 3 tahun
4.
4 6 tahun
Depkes RI 2005
BB
TB
Vit C
Kg
Cm
Mg
6.0
8.5
12.0
17.0
60
71
90
110
40
40
40
45
ISPA
melalui
perbaikan
sistem
imun.
Suplementasi
seng
Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama
menyerang golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui
serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap.
Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang dilihat dari penurunan
feritin dalam plasma hingga 12 ug/L. Tahap kedua terlihat dengan habisnya
simpanan besi. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi terlihat dari kadar
hemoglobin total turun di bawah nilai normal. Anemia gizi besi merupakan salah
satu masalah gizi di Indonesia. Sebagian besar anemia gizi ini disebabkan
karena makanan yang kurang mengandung besi (Almatsier 2004).
Tabel 3 Bahan makanan sumber besi
Bahan makanan
Berat (gr)
Kandungan besi (mg)
Tempe
100
10.0
Kacang kedelai kering
100
8.0
Udang segar
100
8.0
Kacang hijau
100
6.7
Hati sapi
100
6.6
Daun kacang panjang
100
6.2
Kacang merah
100
5.0
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes (1979). Almatsier (2001)
kelompoknya
sehingga
kebutuhan
pangan
hanya
diperlukan
KERANGKA PEMIKIRAN
Kualitas udara yang buruk akibat penambangan batu kapur dan asap
kendaraan bermotor dapat menyebabkan terjadinya polusi udara, sehingga akan
mengakibatkan gangguan pada pernapasan. Jika kualitas udara yang buruk
terjadi berangsur terus menerus dan terhisap oleh balita, maka akan
menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan atau yang dikenal sebagai ISPA.
Polusi udara selain dari faktor luar rumah juga bisa terjadi dalam rumah seperti
asap rokok, jumlah orang yang merokok dan asap rokok yang dihasilkan dapat
memperburuk kualitas udara yang dihisap. ISPA adalah radang akut saluran
pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasad renik bakteri, virus,
maupun riketsia dengan gejala batuk, pilek, demam, dan sesak napas.
Balita umur 12-59 bulan merupakan golongan yang paling rawan gizi dan
rentan terhadap penyakit, karena pada usia ini merupakan periode pasca
penyapihan. Jika pada periode ini konsumsi makan kurang dan tidak mencukupi
kebutuhan, maka akan menyebabkan daya tahan tubuh menjadi kurang, dan
dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan penurunan status gizi menjadi
rendah atau bisa menjadi buruk dan balita yang mempunyai status gizi rendah
akan mudah terinfeksi oleh penyakit. Infeksi juga akan menyebabkan seseorang
mengalami penurunan nafsu makan dan menyebabkan konsumsi makan
berkurang sehingga status gizi yang sebelumnya baik menjadi rendah, atau
status gizi rendah menjadi buruk.
Kecukupan gizi merupakan taraf asupan yang dianggap memenuhi
kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai kelompok. Faktor-faktor
yang menentukan kecukupan gizi seseorang yaitu umur, jenis kelamin, berat
badan dan tinggi badan. Tingkat kecukupan gizi seseorang berkaitan dengan
konsumsi pangan dimana hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi
keluarga seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan.
Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kualitas dan kuantitas. Pekerjaan yang berhubungan dengan
pendapatan akan mempengaruhi seseorang dalam penyediaan pangan dan
meningkatkan taraf kesehatan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan
perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan.
Karakteristik Contoh
1. Umur
2 Jenis kelamin
3 BB dan TB
Penambangan
Batu Kapur
Konsumsi pangan
Contoh
Kebiasaan Merokok
dalam rumah
AKG
Tingkat Kecukupan
Polusi
Udara
Nafsu makan
Status Gizi
(BB/U, TB/U, BB/TB
ISPA / tidak
ISPA
Status Imunitas
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu desain
penelitian untuk mempelajari dinamika antara faktor terpapar dan faktor tidak
terpapar, dengan model pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatat desa Citatah dimana terdapat daerah
penambangan batu kapur. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya
polusi udara akibat kegiatan penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Agustus dan September 2010.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59 bulan yang
berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat. Metode yang
digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan
kriteria mempunyai riwayat penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai
kelompok ISPA) dan tidak memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA)
serta terdaftar di Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan
berdasarkan data yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosis
dokter di puskesmas setempat. Jumlah contoh masing-masing kelompok adalah
30 sehingga total 60 anak balita. Penetapan sampel kelompok ISPA dan tidak
ISPA dilakukan berdasarkan rekomendasi dan hasil diagnosis. Menurut
Singarimbun dan Efendi (2006) untuk menguji beda dan membandingkan antar
kelompok seperti T-test dan analisis varian pada setiap sel dalam rancangan
analisis jumlah sampel minimal adalah 30 sampel pada masing-masing kasus.
ISPA
Tidak ISPA
n=30
n=30
Variabel
1. Keadaan Umum
Lokasi
2. Kejadian ISPA
3. Karakteristik
sosial ekonomi
keluarga
4. Kebiasaan
merokok
5. Karakteristik
Contoh
6. Asupan
Energi
dan zat gizi
7. Status Gizi
Data
Jenis
Cara
Data
Pengumpulan
Alat Ukur
Demografi, jumlah
penduduk
Contoh
penderita
ISPA
dan
tidak
menderita ISPA
Pendidikan,
Pekerjaan,
Besar
keluarga,
Pendapatan
Kebiasaan merokok
dalam rumah
Umur
,
Jenis
Kelamin
Konsumsi makanan
Sekunder
Data Puskesmas
Sekunder
Data Puskesmas
Primer
Wawancara
Kuesioner
Primer
Wawancara
Kuesioner
Primer
Wawancara
Kuesioner
Primer
Wawancara
Primer
Pengukuran
Antropometri
Kuesioner Food
Recall 2x24 jam
Timbangan
Camry
dan
Microtoise
Pengambilan
data Puskesmas
Pengambilan
data Puskesmas
Variabel
Pendidikan
sosial ekonomi
keluarga contoh
Jenis pekerjaan
Besar keluarga
Pendapatan
Kategori
Tidak sekolah,
SD
SLTP
SLTA dan Perguruan Tinggi
Tidak Bekerja
Petani
Buruh
Pegawai Swasta
Pegawai Negeri (PNS)
Kecil ( 4)
Sedang (4-6)
Besar ( 7)
BKKBN (1998)
merokok
Kebiasaan merokok
dalam rumah
Karakeristik
Jenis kelamin
Kebiasaan
contoh
Umur
Ya
Tidak
Laki-laki
Perempuan
12-36 bulan
37-59 bulan
(penetapan umur berdasarkan AKG, 2004)
TB/U
BB/TB
Kategori
Gizi lebih : > 2.0 SD
Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD
Gizi kurang : < - 2 SD
Gizi buruk : < - 3 SD
Normal : - 2 SD
Pendek/stunted : < - 2 SD
Gemuk : > 2.0 SD
Normal : - 2 SD s/d + 2 SD
Kurus/wasted : < - 2.0 SD
Sangat kurus : < - 3 SD
: < 70%
Defisit sedang : 70 79 %
Defisit ringan : 80% - 89 %
Normal
: 90% - 119 %
Lebih
: > 120%
Tidak ISPA adalah seseorang yang tidak terdiagnosa oleh dokter terkena
ISPA dan tidak mengalami demam, batuk dan pilek.
Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan kondisi
seseorang
mengalami
kondisi
normal,
kurang
atau
lebih
berdasarkan
antropometri.
Asupan gizi adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam satuan zat gizi per kapita/hari.
Tingkat kecukupan adalah suatu tingkatan dari sejumlah makanan yang
dikonsumsi oleh individu atau kelompok dalam periode waktu tertentu
dibandingkan dengan AKG.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran &
aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah atau sedang
ditempuh dan dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi.
Pekerjaan adalah jenis suatu usaha yang sedang dilakukan dengan
tujuan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup dibawah
pengelolaan sumberdaya yang sama.
Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
atau yang diusahan yang dinilai dengan uang dalam satu bulan.
Kebiasaan merokok dalam rumah adalah suatu aktivitas membakar
tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun
menggunakan pipa dan dilakukan dalam rumah.
daya
manusia
(SDM)
merupakan
hal
penting
dalam
cukup tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang rendah pada anaknya,
sedangkan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah umumnya balita
memiliki prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi. Karena variabel pendidikan
merupakan indikator pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan
kesadaran individu terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran tingkat
pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat pendidikan
Kategori
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Tidak Tamat SD
3,3
Tamat SD
23,3
23,3
Tamat SLTP
11
36,7
23,3
Tamat SLTA
30
12
40
Perguruan Tinggi
Total
6,7
13,3
30
100
30
100
makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi
akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003).
Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani
dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer.
Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh
Kategori
Tidak bekerja
ISPA
n
Tidak ISPA
%
3,3
Petani
23,3
20
Buruh
18
60
10
33,3
Pegawai swasta
6,7
10
33,3
PNS
6,7
13,3
30
100
30
100
Total
%
0
dapat
menghambat
pertumbuhan,
rentan
terhadap
infeksi
dan
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Keluarga kecil
15
50
22
73.3
Keluarga sedang
12
40
23.3
Keluarga besar
10
3.3
30
100
30
100
Total
Tingkat Pendapatan
Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka akan terjadi
perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang
yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi
pangan (Suhardjo 1989). Menurut Madanijah (2004) keadaan ekonomi keluarga
relatif lebih mudah diukur dan mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi
pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin mereka
menggunakan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor
ekonomi yang paling berperan adalah keluarga dan harga (baik harga pangan,
maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Berikut adalah Tabel 10
menampilkan sebaran tingkat pendapatan keluarga contoh.
Tabel 10 Sebaran pendapatan keluarga contoh
ISPA
Kategori
Tidak ISPA
19
63,3
11
36,7
11
36,7
19
63,3
Total
30
100
30
100
rokok yang dihisap, masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga, fentilasi
rumah yang tidak baik, jarak antara rumah dengan tempat sampah. Keadaan
lingkungan dapat mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak. Sebaran
kebiasaan merokok adalam rumah contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11 Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh
Kategori
ISPA
Tidak ISPA
Merokok
23
76,7
19
63,3
Tidak merokok
23,3
11
36,7
30
100
30
100
Total
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan
tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan
merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23
orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga
mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik
pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya
antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama
merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000
ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm.
Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan
kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang
merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang
yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992).
Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok
dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001).
Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam
rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa
udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap
dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan
mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.
Karakteristik Contoh
Umur
Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status
gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan
dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat
pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial.
Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya
perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita
sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria
maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun
karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah
menderita ISPA.
Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita
merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga
masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh
Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat
serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Sebaran umur contoh
Kategori
12-36 bulan
37-59 bulan
Total
ISPA
Tidak ISPA
25
83,3
24
16,7
20
30
100
30
100
80
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang
menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur
empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas
80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur
empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan
merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran
pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan
seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis
makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral
dari makanan semakin baik.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi,
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas
fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi
belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi
dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh
ISPA
Kategori
Tidak ISPA
Laki-Laki
19
63,3
13
43,3
Perempuan
11
36,7
17
56,7
Total
30
100
30
100
ISPA
Laki-laki
(n=19)
820,26
24,06
517,47
1,78
21,38
2,99
7,35
Perempuan
(n=11)
862,3
24,73
163,53
1,51
26,12
2,91
3,5
Tidak ISPA
Laki-laki
(n=13)
981,92
30,11
214,06
1,85
26,5
3,42
5,3
perempuan
(n=17)
946,93
33,96
871,6
2,5
35,7
3,64
4,89
Konsumsi
(gr/hari)
174
11,73
11,33
28,17
10,33
21
9,23
55,7
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG Energi (%)
37
6,5
4,4
4,3
4,0
2,7
3,71
3,9
Konsumsi
(gr/hari)
221,67
11,73
4,5
34,3
25,5
127,67
23,5
26,6
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG Energi (%)
41,0
5,7
1,5
4,6
8,7
8,6
8,2
1,7
ISPA
Tidak ISPA
Defisiensi berat
17
56,70
12
40,00
Defisiensi sedang
13,30
20,00
Defisiensi ringan
10,00
10,00
Normal
16,70
26,70
Lebih
3,30
3,30
30
100,0
30
100,00
Total
Rata-rata asupan
837264,234
962198,308
68,32
78,53
menambah sesak nafas. Oleh karena itu mengapa balita yang menderita ISPA
mengalami defisiensi tingkat berat kecukupan energi.
Konsumsi dan tingkat kecukupan protein
Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu untuk membentuk jaringan baru
dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga berfungsi
sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi dari
karbohidrat dan lemak. Protein dapat mengatur keseimbangan cairan dalam
jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid
yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno
2002).
Fungsi lain dari protein yaitu untuk tumbuh kembang anak dan
pembentukkan hormon, enzim, dan antibodi (Hartono 2000). Kemampuan tubuh
untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi
antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap
bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Tingkat kematian pada anakanak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya
tahan terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam
jumlah yang cukup (Almatsier 2004).
Tabel 17 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari
Jenis pangan
Nasi
Telur
Tempe
Tahu
Susu
Mie
Ikan Segar
Konsumsi
(gr/hari)
174
18,73
10,33
28,17
21
9,23
2,3
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG Protein (%)
15,04
8,69
7,82
6,49
2,29
3,0
1,31
Konsumsi
(gr/hari)
221,67
36,84
25,5
34,3
127,67
23,5
14,67
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG Protein (%)
14,41
13,14
14,53
5,95
27,67
5,75
6,18
kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu. Berikut sebaran tingkat kecukupan
protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupan protein
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Defisiensi berat
12
40
10
Defisiensi sedang
6,7
10
Defisiensi ringan
6,7
10
Normal
26,7
26,7
Lebih
20
13
43,3
30
100,00
30
100,00
Total
Rata-rata asupan
24,39,86
32,310,9
75,93
100,9
Konsumsi
(gr/hari)
18,33
5,33
1,67
1,33
3,67
12,67
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG vitamin A (%)
13,6
7
6,7
2,9
2,9
1,4
Konsumsi
(gr/hari)
36,83
3
10
3,33
1,3
23,33
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG vitamin A (%)
17,48
2,53
25,6
4,1
0,68
1,67
Tidak ISPA
%
Defisiensi berat
24
80
21
70
Defisiensi sedang
3,3
6,7
Defisiensi ringan
10
10
Normal
3,3
Lebih
Total
3,3
13,3
30
100,00
30
100,00
Rata-rata asupan
3751.141
5861.835
88,23
137,88
Konsumsi
(gr/hari)
18,33
5,23
5,00
10,33
2,33
Telur
Kue
Chiki
Tempe
Ikan segar
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG vitamin E (%)
22
18,8
18
12,4
2,8
Konsumsi
(gr/hari)
36,83
12,63
5,06
25,50
14,67
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG vitamin E (%)
35
34,4
4,5
23,2
13,3
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Defisiensi berat
28
93,3
29
96,7
Defisiensi sedang
3,3
3,3
Defisiensi ringan
3,3
Normal
Lebih
100,00
30
Total
30
100,00
Rata-rata asupan
1,671,27
2,21,12
25,69
33,8
Pada penelitian ini asupan vitamin E yang paling rendah yaitu 0 mg dan
tertinggi yaitu 4,8 mg dengan rata-rata asupan vitamin E pada balita ISPA yaitu
1,67 mg dan standar deviasi sebesar 1,27. Anjuran angka kecukupan gizi vitamin
E umur 1-3 tahun yaitu 6 mg sedangakn umur 4-5 tahun yaitu 7 mg. Sebagian
besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA
(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Hasil analisis menggunakan
Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA. nilai p=0,088 (p>0,05).
Defisiensi vitamin E jarang ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E, akan tetapi dalam penelitian ini hampir sebagian
besar balita mengalami defisiensi berat vitamin E. Hal ini diduga karena balita
mengalami defisiensi juga protein dan vitamin A. Seperti yang kita ketahui bahwa
sumber vitamin E terdapat pada sayuran, buah-buahan dan daging. Namun
sumber vitamin E yang banyak dikonsumsi oleh balita ISPA maupun tidak ISPA
berasal dari makanan jajanan seperti kue dan chiki, dimana minyak tumbuhtumbuhan sebagai sumber vitamin E digunakan dalam proses pengolahan
makanan tersebut.
Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C
Fungsi vitamin C yaitu membantu enzim dalam melakukan fungsinya dan
juga bekerja sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk
kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap
infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi. Keadaan kekurangan vitamin C
akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses
pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C
mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001).
Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah
infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau
pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa
mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi
(Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi bahan makanan sumber
vitamin C.
Tabel 23 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari
Jenis pangan
Jeruk
Pepaya
Ale-ale
Mangga
Bayam
Kentang
Konsumsi
(gr/hari)
13
4
36,67
4,33
5,33
6,67
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG vitamin C (%)
19,7
10,1
9,5
8,8
7,3
4,1
Konsumsi
(gr/hari)
11,33
25
13,3
0
3
0
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG vitamin C (%)
46,12
12,61
2,52
0
3,03
0
ISPA
Tidak ISPA
Defisiensi berat
21
70
19
63,3
Defisiensi sedang
3,3
3,3
Defisiensi ringan
3,3
6,7
Normal
10
6,7
Lebih
13,3
20
30
100,00
30
100,00
Total
Rata-rata asupan
23,2728,74
31,7135,53
54,75
74,61
Pada penelitian ini asupan vitamin C yang paling rendah yaitu 0,6 mg dan
tertinggi yaitu 165,4 mg dengan rata-rata asupan vitamin C pada balita ISPA
yaitu 23,27 mg dan standar deviasi sebesar 28,74. Sebaran tingkat konsumsi
vitamin C yang terlihat pada tabel 24 menunjukan bahwa balita yang menderita
ISPA mengalami defisensi berat sebesar 70%, sedangkan balita yang tidak
menderita ISPA sebesar 63,3%. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,316 (p>0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan
vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena faktor
ketidaksukaan balita terhadap buah-buahan dan sayuran, dan lebih menyukai
makanan jajanan seperti chiki.
Konsumsi
(gr/hari)
174
28,16
18,33
10,33
3,5
Nasi
Tahu
Telur
Tempe
Baso
Tidak-ISPA
Kontribusi terhadap
AKG seng (%)
20,9
5,9
5,5
5
4
Konsumsi
(gr/hari)
221,67
7,2
11,1
12,2
13
Kontribusi
terhadap
AKG seng (%)
25
6,8
10,5
11,5
13,9
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,
kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan
sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Tabel
25 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi
seng paling besar. Jenis pangan sumber seng yang di konsumsi balita ISPA
adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, tahu 28,16 gr/hari dan telur
18,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber
seng yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari,
baso 13 gr/hari, dan tempe 12,2 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan seng dapat
dilihat pada Tabel 26 berikut ini :
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng
Tingkat kecukupan seng
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Defisiensi berat
29
Defisiensi sedang
Defisiensi ringan
96,7
29
3,3
3,3
Normal
Lebih
30
100,00
30
100,00
Total
96,7
Rata-rata asupan
2,951,13
3,540,99
32,96
39,55
Konsumsi
(gr/hari)
10,33
174
11,33
18,33
5,33
9,23
ISPA
Kontribusi terhadap
AKG Besi (%)
18,64
14,97
10,40
7,67
5,23
4,45
Konsumsi
(gr/hari)
25,5
221,67
4,5
36,83
3
23,5
Tidak-ISPA
Kontribusi
terhadap
AKG Besi (%)
52,61
21,9
4,74
17,69
3,38
13,00
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,
unggas dan ikan. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga beberapa jenis
buah, jumlah besi perlu diperhatikan kualitas besi didalam makanan, dinamakan
juga ketesediaan biologik (bioavabilitas) pada umumnya besi didalam daging
mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sayuran,
terutama yang mengandung asam okslalat yang tinggi seperti bayam. Tabel 27
menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi besi
paling besar. Jenis pangan sumber besi yang di konsumsi balita ISPA adalah
tempe rata-rata konsumsi sebesar 10,33 gr/hari, nasi 174 gr/hari dan roti 11,33
gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber besi
yang dikonsumsi adalah tempe 25,5 rata-rata konsumsi sebesar 25,5 gr/hari,nasi
221,67 gr/hari, dan telur 36,83 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan besi dapat
dilihat pada tabel 28 berikut ini :
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi
Tingkat kecukupan Fe
ISPA
Tidak ISPA
Defisiensi berat
23
Defisiensi sedang
Defisiensi ringan
76,7
19
10
10
6,7
6,7
Normal
3,3
13,3
Lebih
3,3
6,7
30
100,00
30
100,00
Total
63,3
Rata-rata asupan
5,81610,64
5,062,75
68,42
59,5
Status Gizi
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan
tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001).
Penelitian yang dilakukan smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA. Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga
mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan
status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang
menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah
limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-NK) dan penurunan stimulasi
limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem
kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit
infeksi.
Status Gizi BB/U
Untuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang dilakukan
pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau mungkin
ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjuk kepada indikator atau
parameter dan dinamakan demikian karena berguna sebagai indeks untuk
menunjukan kepada tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda (Suhardjo
1996).
Indikator berat badan dipergunakan pada masa bayi sampai balita untuk
melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan
klinis. Seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Disamping itu pula,
berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan
makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan
mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat dan
protein otot menurun. Pada orang yang edema dan ascites, terjadi penambahan
cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot,
khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi (Supariasa 2001).
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting, dipakai
pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok
umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh. Antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain.
Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap
perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan
timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak
waktu. Kerugiannya, indikator berat badan ini tidak sensitif terhadap proporsi
tubuh. Misalnya pendek gemuk atau tinggi kurus (Soetjiningsih 2004).
Indikator berat badan sering dimanfaatkan dalam klinik sebagai bahan
informasi untuk menilai keadaan gizi, baik akut maupun kronis, serta untuk
penilaian tumbuh kembang anak dan kesehatan. Selain itu, berat badan juga
dapat digunakan untuk memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada
pengobatan penyakit (Soetjiningsih 2004). Berikut sebaran status gizi contoh
menurut BB/U.
Tabel 29 Sebaran status gizi contoh menurut BB/U
Kategori
ISPA
n
Tidak ISPA
%
13
43,3
13
43,3
17
56,7
17
56,7
100,00
30
Total
Rata-rata z-skor
30
-1,710,84
100,00
-1,590,93
pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama dan lebih mudah terserang ISPA kembali dibandingkan
karena faktor daya tahan tubuh yang rendah. Di samping itu penyakit infeksi
sendiri menyebabkan nafsu makan balita menurun dan mengakibatkan
kekurangan gizi.
Status gizi TB/U
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Berikut adalah sebaran status gizi contoh
berdasarkan TB/U.
Tabel 30 sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U
Kategori
ISPA
n
Tidak ISPA
%
Buruk (<-3,0)
1,00
12
40,00
26,0
18
60,00
21
70,00
Total
30
100,00
30
Rata-rata z-skor
-1,421,54
100,00
-1,451,28
Kategori
n
Tidak ISPA
%
20,00
16,70
24
80,00
85
83,30
00,00
00,00
30
100,00
30
100,00
Total
Rata-rata z-skor
-1,054 1,124
-0,898 1,057
Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan secara umum
berkategori normal. Balita yang menderita ISPA mayoritas 80% dan balita tidak
menderita ISPA 83,30%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status
gizi balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA berdasarkan BB/TB
yang ditunjukan oleh p=0,74 (p>0,05). Hal ini dikarenakan berat badan balita
mayoritas normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan dan tinggi
badan berlangsung normal. Artinya meningkatnya berat badan diiringi dengan
bertambahnya tinggi badan balita sehingga anak terlihat normal. ISPA pada
balita dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus karena zat gizi yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terganggu melawan infeksi
yang masuh kedalam tubuh. Namun dalam penelitian ini efek dari infeksi tersebut
terhadap status gizi tidak terlihat.
dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan seng mengalami
defisiensi berat, pada balita ISPA maupun balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada
perbedaan yang signifikan antara asupan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA
(p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat,
pada balita ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar
63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi pada balita
ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami
status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Sebagian besar
contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%)
sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Sebagian besar contoh mengalami
status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan
pada balita tidak ISPA (83,30%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA
(p>0,05).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara
asupan energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan
seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E,
vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk
meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya segera
melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar
kecukupan terpenuhi. Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan
tentang gizi agar kejadian ISPA tidak menjadi parah dan menjadi akut.
Keterbatasan
dalam
penelitian
ini
adalah
faktor-faktor
yang
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
. (2005). Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Alsagaff H and W.B.M Taib Saleh. (1998). Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press
Arisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
BPS
( 2004). Profil Kemiskinan di Indonesia 2004. Jakarta : BPS
Depkes RI. (2001). Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. dalam
http//kesehatanlingkungan.com. Januari 2010
. (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pnemonia Pada Balita.
Jakarta. http//Litbang.depkes.co.id. Januari 2010
Dinkes Jabar. (2005). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat Tahun 2004.
Bandung
Eka, DS. (2009). Hubungan antara pemajanan particulate matter 10m
(PM10) dengan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada pekerja pertambangan kapur tradisional (studi di
pertambangan kapur tradisional gunung masigit, Cipatat,
Kabupaten
Bandung
Barat
Tahun
2009).http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id125375 &lokasi-lokal, Oktober 2010
Endah, N et al. (2009). Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia.
dalam Buletin Penelitian Kesehatan Edisi Suplement hal 50-55
tahun 2009. Bogor
Fitri, I (2008). Analisis Asupan Vitamin A, Vitamin C dan kejadian penyakit ISPA
pada anak balita. Karya Tulis Ilmiah. Poltekkes Depkes Bandung.
Jurusan Gizi
LAMPIRAN
Judul
Tujuan Penelitian
(....................................)
Kode Responden:
Nama enumerator
Hari/tgl wawancara
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama
:
2. Tempat tanggal lahir
:
3. Jenis kelamin
: 1. Laki-laki
Perempuan
4. Berat Badan
: .............................. kg
5. Tinggi Badan
: .............................. cm
: ..hari / minggu
7. Sesak nafas
: kali / menit
8. Suhu badan
: 0C
9. Hasil diagnosa
2. Pekerjaan
3. Pendidikan Terakhir
2.
5. Pekerjaan (suami/istri)
:.
: Rp. ..
: 1. Ya 2. Tidak
Kode Responden:
Nama Balita
Alamat
Tgl wawancara
Hari ke
Waktu
Pagi
selingan
Siang
:
:
:
:
Nama
Bahan
Hidangan
Makanan
Porsi Konsumsi
Jumlah URT
4
Berat Keterangan
(g)
6
Selingan
Group Statistics
penyakit yg
diderita
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
-1.7143
.84505
.15428
tidak ispa
30
-1.5937
.93816
.17128
nilai Z skore
Malam
selingan
Catatan : .......................................................................................................................
..........................................................................................................
....
Lampiran 5 Output Analisis Data
A. Perbedaan Status gizi (BB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
nilai Z
skore
Equal
variances
assumed
Sig.
.931
.338
Equal
variances not
assumed
-.523
df
Sig. (2Mean
tailed) Difference
58
-.523 57.378
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.603
-.12067
.23053
-.58211
.34078
.603
-.12067
.23053
-.58222
.34089
B. Perbedaan Status gizi (TB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Group Statistics
penyakit
diderita
yg
N
Mean
Std. Deviation
nilai Z skore
ISPA
30
-1.4277
1.54674
.28240
tidak ispa
30
-1.4593
1.28956
.23544
nilai Z
skore
Equal
variances
assumed
Sig.
2.069
.156
df
.086
Equal
variances not
assumed
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
58
.086 56.182
Lower
Upper
.932
.03167
.36767
-.70430
.76763
.932
.03167
.36767
-.70481
.76814
C. Perbedaan Status gizi (BB/TB) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA
Group Statistics
penyakit yg
diderita
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
-1.0543
1.12474
.20535
tidak ispa
30
-.8980
1.05712
.19300
nilai Z skore
nilai Z
skore
Equal
variances
assumed
Sig.
.000
1.000
Equal
variances not
assumed
-.555
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
df
58
-.555 57.778
-.15633
.28181
-.72044
.40778
.581
-.15633
.28181
-.72049
.40782
Group Statistics
energi
yg
N
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
837.07
264.234
48.242
tidak ispa
30
962.10
198.308
36.206
Upper
.581
penyakit
diderita
Lower
Sig.
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
df
Lower
energi
Equal
variances
assumed
.936
.337
Equal
variances not
assumed
2.073
58
53.801
2.073
Upper
.043
-125.023
60.317
-245.762 -4.285
.043
-125.023
60.317
-245.963 -4.084
yg
N
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
24.3343
9.86370
1.80086
tidak ispa
30
32.2967
10.93597
1.99663
protein
Equal
variances
assumed
Sig.
.764
.386
Equal
variances not
assumed
df
2.961
58
57.393
2.961
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
Lower
Upper
.004
-7.96233
2.68879
-13.34453
-2.58013
.004
-7.96233
2.68879
-13.34575
-2.57892
yg
N
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
3.7589E2
1141.01900
208.32061
tidak ispa
30
5.8667E2
1835.70397
335.15216
Vit_A
Equal
variances
assumed
.484
Sig.
.489
.534
df
58
Sig. (2Mean
tailed) Difference
.595
-210.77333
Std. Error
Difference
394.61937
Upper
-1000.68983
579.14316
Vit_A
Equal
variances
assumed
Sig.
.484
.489
Equal
variances
not
assumed
Sig. (2Mean
tailed) Difference
df
.534
58
48.498
.534
Std. Error
Difference
Upper
.595
-210.77333
394.61937
-1000.68983
579.14316
.596
-210.77333
394.61937
-1003.99837
582.45170
yg
N
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
1.6767
1.27676
.23310
tidak ispa
30
2.2167
1.12743
.20584
Vit_E
Sig.
Equal variances
.036
assumed
.850
Equal variances
not assumed
1.736
Sig. (2Mean
tailed) Difference
df
58
57.125
1.736
Std. Error
Difference
Upper
.088
-.54000
.31098
-1.16249
.08249
.088
-.54000
.31098
-1.16269
.08269
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
23.2767
28.74753
5.24856
tidak ispa
30
31.7133
35.53105
6.48705
vit_C
Equal
variances
assumed
Sig.
.576
.451
Equal
variances not
assumed
I.
df
1.011
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig.
Mean
Std. Error
(2Difference Difference
tailed)
Lower
Upper
.316
-8.43667
8.34441
8.26649
25.13982
55.578 .316
1.011
-8.43667
8.34441
8.28200
25.15533
58
Zink
Mean
Std. Deviation
ISPA
30
2.9567
1.13371
.20699
tidak ispa
30
3.5467
.99090
.18091
yg
diderita
Mean
Std. Deviation
F
Kat_Tb Equal
esi
variances
assumed
5.256
Sig.
.026 -1.393
df
Std. Error
Interval of the
Difference
Sig. (2-
Mean
Differenc
tailed)
Difference
Lower
Upper
58
.169
-.43333
.31104
-1.05594
.18927
-1.393 53.217
.169
-.43333
.31104
-1.05713
.19047
ISPA
30
1.4667
1.00801
.18404
tidak ispa
30
1.9000
1.37339
.25075