You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan dan mendarahdaging di
Indonesia. Indonesia-pun dapat dikatakan berprestasi dan memiliki peringkat yang tinggi
dalam hal tindakan korupsi. Korupsi telah berhasil menggerogoti nilai-nilai kerja keras,
kebersamaan, dan tenggang rasa di antara masyarakat. Korupsi menciptakan manusia
Indonesia yang mudah mengambil jalan pintas dan mengikis kepedulian terhadap nasib
dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau
memiliki kesempatan untuk korupsi.
Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan
telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa
korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Korupsi
sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomenafenomena yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat yang mana haus
akan hadirnya negara yang bebas korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku-perilaku
koruptif.
Hal ini menjadi suatu yang ironi jika mengharapkan negara ini menjadi negara
yang bebas dari korupsi tapi perbuatan-perbuatan yang mengarah pada korupsi justru
dibiarkan dan nilai-nilai yang mendukung untuk hilangnya korupsi malah dianggap hal
yang aneh dan mengakibatkan pengucilan bagi yang mempraktekkannya.
Berbagai kebijakan diterapkan untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi ini.
Tetapi pada kenyataannya kebijakan-kebijakan tersebut belum cukup memberi efek jera
bagi para pelaku tindak pidana korupsi tersebut dan tidak cukup efisien untuk dijalankan.
Hal ini terlihat dari terus meningkatnya kasus korupsi di Indonesia yakni dengan terus
mencuat kasus-kasus korupsi di pemberitaan nasional.

Begitu banyak pendapat yang terus mengalir dari kalangan masyarakat. Dalam
fenomena korupsi ini, seringkali masyarakat awam selalu menyalahkan hukum, karena
bagi mereka hukum dianggap tidak mampu mengatasi masalah korupsi di Indonesia.
Sanksi pidana penjara yang digunakan untuk menjerat para pelaku korupsi ini dianggap
tidak cukup memberikan efek jera. Hal ini terkuak dengan adanya pemberitaan tentang
banyaknya koruptor yang sekalipun dipenjara tetapi masih mendapatkan fasilitas mewah di
dalam Lembaga Pemasyarakatan (seperti yang tertera di dalam Lampiran mengenai LP
Sukamiskin). Perbuatan beberapa oknum aparat hukum inilah yang membuat masyarakat
kemudian memberi penilaian kepada hukum secara keseluruhan.
Bermacam-macam sanksi pidana yang diterapkan masih dianggap tidak cukup
memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Permasalahan ini
harus benar-benar diperhatikan oleh para masyarakat hukum baik pada pembuat
kebijakan maupun aparat penegak hukumnya. Sehingga kiranya kebijakan-kebijakan
tersebut dapat melahirkan bentuk-bentuk sanksi yang benar-benar menjerakan para
pelaku tindak pidana korupsi.

B. Rumusan Masalah
Dari pemarapan latar belakang diatas, maka rumusan masalah: Bagaimanakah
sudut pandang ekonomi terhadap penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi?

BAB II
PEMBAHASAN

Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari bahasa latin

corruptio = penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat bdanbadan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya.1
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:2
a. Kejahatan, kebusukan, dapat suap, tidak bermoral. Kebejatan dan ketidak jujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.
c. (i) Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; (ii)
perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; (iii) penyuapan dan bentukbentuk ketidakjujuran; (iv) sesuatu yang korup, seperti kata yang diubah atau
diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat; (v) pengaruh-pengaruh yang korup.
Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan ada apabila seseorang
memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang
pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang ; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong
siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan
kepentingan umum.3 Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi (Problematika Sistem Hukum
Pidana Dan Implikasinya Pada Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi), Cetakan I
(Yogyakarta: UII & Total Media, 2009), hlm 13.
2
Ibid.
3
Ibid.

penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang


menyangkut bidang kepentingan ekonomi.4
Berbicara mengenai korupsi ini dapat pula diadakan pembagian menurut sifatnya
(motifnya). Pertama, korupsi yang bermotif terselubung. Korupsi seperti ini, ialah korupsi
yang secara sepintas lalu kekihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi
sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata-mata. Kedua, yang bermotif ganda.
Yaitu, seseorang melakukan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan
mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya memmpunyai juga motif lain, yakni motif
kepentingan politik.5

Teori-teori Pemidanaan
Ada beberapa teori pemidanan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan

menjadi tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori relatif atau
teori tujuan, dan teori gabungan.
1. Teori Absolut, dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar
pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara
berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan
penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan
pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. 6
Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar, pidana melihat ke
belakang.7
2. Teori Relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib
masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Untuk
4

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 9.
Baharuddin Lopa, Kebijakan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan II (Jkarta: Kompas Media
Nusantara, 2002), hlm 71.
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I (Stelsel Pidan, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan, dan Batas Belakunya Hukum Pidana), Cetakan 7, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2012), hlm 157.
7
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Kedua (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm 26.
5

mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga
macam sifat: menakut-nakuti, memperbaiki, dan mebinasakan.8 Pidana harus
ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
Pidana melihat ke muka.9
3. Teori Gabungan, mendasarkan pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan
pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu:
teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat. Yang kedua, teori gabungan yang
mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi pembalasan atas
dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan
terpidana.10

Jenis-jenis Sanksi Pidana


KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis

pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana
dibedakan menjadi dua kelompok antara pidana pokok dengan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari:11
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1964).
Pidana tambahan terdiri dari:12
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
8

Adami Chazawi, Op.cit., hlm 162.


Dwidja Priyanto, Op.cit., hlm 26.
10
Adami Chazawi,Op.cit., hlm 166.
11
Ibid., hlm 25.
12
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
9

2. Pidana perampasan barang-barang tertentu;


3. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Sanksi Pidana dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi
Pidana pokok dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa

pidana mati, pidana denda, dan pidana penjara. Pidana mati terdapat di dalam pasal 2
ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Sedangkan pidana penjara
dan pidana denda terdapat dalam pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 sampai pada Pasal
24. Lamanya pidana penjara mulai berkisar mulai 15 tahun sampai seumur hidup.
Sedangkan banyaknya pidana denda paling banyak 1 miliar. 13

Sanksi Pidana Perspektif Analisis Ekonomi atas Hukum Pidana


Analisis ekonomi atas hukum membangun asumsi baru bahwa manusia secara

rasional akan berusaha mencapai kepuasan maksimum bagi dirinya. Secara umum dapat
dikatakan bahwa prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis ekonomi atas
hukum pidana adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi. Analisis ekonomi atas
hukum bekerja dengan menggunakan metode ilmu ekonomi sebagai kerangka teoritis
guna menganalisis aturan dan hukum yang digunakan pada kalangan masyarakat
tertentu.14
Adapun sanksi pidana denda (fines), yang merupakan bentuk sanksi keuangan,
adalah pidana yang efisien karena penjatuhannya tidak memerlukan biaya apapun.
Negara sendiri tidak mengeluarkan biaya apapun ketika menjatuhkan sanksi pidana
denda. Pidana denda dianggap sangat efisien dalam mencegah pelaku untuk melakukan
kejahatan. Selain pidana denda, pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang efisien
karena tidak memerlukan ongkos apapun. Tetapi pidana mati baru bisa dikatakan efisien

13

Lihat Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Cetakan I (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013),
hlm 88.
14

jika jarak antara penjatuhan pidana terhadap pelaku dengan pelaksaan pidana mati itu
tidak terlalu lama (singkat).15
Berkaitan dengan teori analisis ekonomi dalam hukum, Richard A. Posner
menekankan Prinsip Efisiensi Wealth Maximization. Posner mendefinisikan efisiensi
sebagai kondisi yang mana sumber dayanya dialokasikan sehingga nilainya (value)
dimaksimalkan. Dalam analisis ekonomi, efisiensi dalam hal ini difokuskan kepada kriteria
etis dalam rangka pembuatan keputusan-keputusan sosial (social decision making) yang
menyangkut pengaturan kesejahteraan masyarakat.16
Jika dicermati, di Indonesia ide dasar pemidanaan yang digunakan untuk
menerapkan sanksi pidana terhadap para pelaku korupsi dalam UU Pemberantasan Tidak
Pidana Korupsi adalah Teori Retributif/teori absolut/teori pembalasan dan teori relatif/teori
tujuan/teori utilitarian. Karena dalam proses pemberantasannya masih menganut prinsip
pembalasan, yaitu dengan memberikan sanksi pidana penjara sebagai bentuk pembalasan
akan kejahatan korupsi yang dilakukannya. Kemudian mengenai teori tujuan, karena
dalam proses pemberantasannya juga memliki tujuan untuk memberikan efek jera agar
tidak ada lagi yang melakukan kejahatan korupsi, misalnya dengan merampas aset atau
memiskinkan pelaku kejahatan korupsi dan menjatuhkan sanksi pidana denda kepada
pelaku korupsi.
Jadi dalam penerapannya di Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi sanksi pidana yang diterapkan bersifat Double Track System atau pemidaan dua
jalur, yaitu sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Dengan kata lain sanksi
pidananya bersifat kumulatif atau penggabungan.
Tetapi jika berdasarkan pada perspektif analisis ekonomi atas hukum pidana yang
berpandangan bahwa sanksi yang paling efektif dan efisien adalah sanksi denda, maka ide
dasar yang digunakan adalah hanya ada pada teori tujuan/teori utilitarian/relatif saja.

15

Ibid., hlm. 90.


Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Ed. 4, USA: Harvard University Press, 1994,
hlm. 4
16

Mahrus Ali berpandangan bahwa penggunaan sanksi pidana penjara pada


kenyataannya tidak efisien, memerlukan biaya/ongkos sosial yang sangat tinggi (high
social cost of imperisonment), dan itu semua harus ditanggung oleh negara. Ongkos ini
meliputi untuk membangun suatu gedung penjara, pemeliharaannya, menggaji para
pegawai yang bertugas dipenjara, dan ongkos kesempatan yang hilang dari produktivits
bagi mereka yang dipenjara. Selain itu pidana penjara lebih banyak menguntungkan
terpidana yang memiliki kekayaan dan dekat dengan kekuasaan. Sebagai contoh kasus
Artalyta Suryani yang mendapatkan fasilitas mewah seperti hotel berbintang lima di Lapas.
Padahal Lapas itu sendiri adalah tempat yang tidak nyaman bagi siapapun yang tinggal
didalamnya. Realitas yang demikian tentu saja menurut analisis ekonomi atas hukum
pidana tidak efisien dan menimbulkan biaya yang sangat tinggi. Dengan demikian pidana
penjara sangat ditolak pemikir analisis ekonomi atas hukum pidana.17
Posner berpendapat bahwa hukuman yang pantas diberikan kepada pelaku
kejahatan white collar crime hanyalah hukuman yang bersifat moneter yakni denda
daripada penjara atau hukuman dera yang lain. Hal ini didasarkan karena biaya untuk
mengumpulkan dnda dari seseorang yang bisa membayarnya dala (kualifikasi penting)
adalah lebih rendah (lebih murah) daripada biaya untuk memenjarakannya. Sehingga
akhirnya, membebankan denda terhadap pelaku (ewhite collar crime) yang kaya adalah
lebih baik daripada mengasingkan dia dari sisi masyarakat karena sistem tersebut tanpa
biaya dan juga manjur.18 Untuk diketahui, korupsi merupakan suatu tindak pidana yang
termasuk dalam jajaran kejahatan kerah putih atau White Collar Crime.
Dalam hal ini, peran pengadilan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi.
Seperti yang diungkapkan Posner, dimana pengadilan memiliki dwi fungsi: pertama,
menafsirkan perjanjian-perjanjian kelompok yang berkepentingan. Mengapa kelompok
tersebut bisa bisanya membubuhi draft perundang-undangan. Kedua, menyediakan
pelayanan bagi masyarakat awam dalam memecahkan masalah yang diperdebatkan.
Salah satu pentingnya pengadilan tidak hanya memberlakukan perundang-undangan akan

17

Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 89.


Joseph G. Cook and Paul Marcus, Criminal Law, Dikutip dari Salman Luthan, Kebijakan Penal
Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan (Disertasi), hlm 54.
18

tetapi menginterpretasikan undang-undang tersebut sehingga dapat membantu dalam


meningkatkan efisiensi ekonomi.19

19

Lihat Peri Umar Farouk, Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia, pernah
dipublikasi di jurnal Bank & Manajemen, Jakarta, 2001, http://mhugm.wikidot.com/artikel:004,
tanggal akses 2 Agustus 2016 Pkl 14.34

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Di dalam Pasal 10 KUHP, jenis-jenis sanksi pidana terdiri atas Pidana pokok (
Pidana mati; Pidana penjara; Pidana kurungan; Pidana denda; Pidana tutupan
(ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1964)). Kemudia pidana tambahan
terdiri dari: Pidana pencabutan hak-hak tertentu; Pidana perampasan barangbarang tertentu; Pidana pengumuman keputusan hakim.
2. Pidana pokok dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Pidana
Mati, Pidana Penjara, dan Pidana Denda.
3. Jika merujuk pada analisis ekonomi terhadap hukum, maka sanksi yang
efektif dan efisien untuk tindak pidana korupsi adalah sanksi pidana denda.
4. Di Indonesia, ide dasar pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU adalah
teori absolut dan juga teori relatif. Tetapi jika kembali dalam perspektif ekonomi
yang mengatakan bahwa sanksi denda adalah yang paling efektif dan efisien
maka teori pemidanaan yang menjadi dasarnya adalah hanya teori relatif saja.
5. Sanksi pidana penjara dianggap tidak efektif dari perspektif ekonomi karena
sanksi pidana penjara justru akan merugikan negara dengan biaya
membangun suatu gedung penjara, pemeliharaannya, menggaji para
pegawai yang bertugas dipenjara, dan ongkos kesempatan yang hilang dari
produktivits bagi mereka yang dipenjara.
B. SARAN
Sebagai bentuk masukan, kiranya bentuk analisis ekonomi atas hukum pidana
khususnya mengenai sanksi pidana denda dalam penerapan perkara korupsi dapat benarbenar digunakan atau diterapkan oleh para aparat penegak hukum, karena benar adanya
sanksi pidana penajara saja tidak cukup memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan
korupsi, hal tersebut terbukti dengan adanya kasus korupsi yang semakin meningkat di
Indonesia. Pemberian pidana denda yang besar kiranya dapat mengefektifkan dan
mengefisienkan proses hukum yang berlaku di Indonesia.
10

Seperti yang dikatakan oleh para ahli ekonomi terdahulu dimana masing-masing
penegak hukum berkewajiban untuk meningkatkan tingkat efisiensi dalam menegakkan
undang-undang yang ada demi mencapai kesejahteraan masyarakat.

11

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Ali, Mahrus. Membumikan Hukum Progresif, Cetakan I. Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I (Stelsel Pidan, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan, dan Batas Belakunya Hukum Pidana), Cetakan 7. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2012.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Lopa, Baharuddin. Kebijakan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan II. Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2002.
Luthan, Salman. Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan (Disertasi),
Universitas Indonesia, 2007.
Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi (Problematika Sistem
Hukum Pidana Dan Implikasinya Pada Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi), Cetakan I. Yogyakarta: UII & Total Media, 2009.
Posner, Richard A. Economic Analysis of Law, Edisi Keempat. USA: Harvard University
Press, 1994.

12

Priyanto, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Kedua.


Bandung: Refika Aditama, 2009.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetak Ulang. Bogor: Politeia,
1996.

UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

INTERNET
Farouk, Peri Umar, Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia, dalam
http://mhugm.wikidot.com/artikel:004. Tanggal akses 2 Agustus 2016, Pkl.
14.34

13

LAMPIRAN

14

You might also like