You are on page 1of 6

Style Over Content

Jean Baudrillard seorang sosiolog asal Perancis, menjelaskan konsep dasar


tentang konsumsi dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan
media massa yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi
oleh masyarakat konsumen.
Baudrillard (Nanang, 2012 : 134) menyebut rasionalitas konsumsi dalam
sistem masyarakat konsumen telah jauh berubah, karena saat ini masyarakat
membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan (needs) namun
lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire).
Masyarakat konsumsi akan membeli simbol-simbol yang melekat pada
suatu objek, sehingga objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan
nilai tukarnya. Nilai simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas. Untuk
menjadi objek konsumsi, suatu objek harus menjadi tanda (sign), karena hanya
dengan cara demikian, objek tersebut dapat dipersonalisasi dan dapat di konsumsi.
Menurut analisis Baudrillard, globalisasi menyebabkan masyarakat
perkotaan berperilaku seragam. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh
media yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan.
Hal tersebut berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi
masyarakat.
Menurut teori Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi
berdasarkan use value atau exchange value melainkan hadir nilai baru yang
disebut symbolic value. Maksudnya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek
berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda / simbolis
yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa
bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan
produk, melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri
manusia, produk ditawarkan sebagai simbol prestise & gaya hidup mewah yang
menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya. Inilah wujud style
over content, gaya hidup sebagai nilai simbolis melebihi nilai guna suatu barang
atau jasa yang dikonsumsi.

Kasus : Kopi Starbuck: sebuah gaya hidup


Starbucks saat ini telah menjadi brand religion bagi kalangan
penikmatnya. Dalam hal ini kepercayaan yang tinggi telah ada pada suatu merek
sehingga akan membentuk sebuah sikap dan rasa memiliki yang dalam antara
keduanya. Sehingga semuanya akan terkemas dalam bentuk eksklusivitas.
Starbuck yang dengan keunggulannya menyajikan berbagai jenis minuman
berbahan dasar biji kopi eksklusif, saat ini turut menyajikan minuman lain seperti
juice, sehingga ketika sebagian orang tidak dapat menikmati kopi dengan alasan
tidak menyukai rasa, atau untuk alasan kesehatan, namun tetap menjadikan
starbucks menjadi tempat yang wajib dikunjungi sepulang kerja atau
menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan bertemu klien
adalah ciri starbuck telah menjadi brand religion. Brand religion juga ditandai
ketika brand tersebut tersandung masalah, para pelanggannya tetap menjadi
konsumen tetap dari merk tersebut. Starbucks sudah dua kali tersandung kasus
pajak yaitu pada tahun 2012 dan 2014, namun hal tersebut tidak berpengaruh pada
tingkat konsumtif para pelanggannya. Fanatisme dan loyalitas pelanggan
membuat brand ini dipuja dan tidak takut atas masalah yang mengeratnya.
Pada level konsumsi, spirit yang baru tersebut disebut kapitalisme
kultural: Seseorang umumnya membeli sebuah komoditi tidak lagi karena
masalah fungsi melainkan tak lebih sebagai status simbolik. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya style over content. Bahwa gaya hidup lebih memainkan
peran penting dari pada nilai guna suatu barang atau jasa yang dikonsumsi.
Memakai contoh iklan pemasaran Starbuck, konsumen dibuat memiliki
'feel good' agar tidak merasa 'berdosa' telah menikmati kopi yang mahal itu:
bahwa sebagian dari harga itu dipakai untuk membantu anak-anak korban
kelaparan, mendukung proyek ekologi, dan kegiatan amal lainnya.
Harus diakui logika pemasaran Starbuck mengarahkan persepsi konsumen
untuk berfikir secara simbolis bahwa mengkonsumsi Starbuck berarti menjadi
keren. Dampaknya, sebagian konsumen Indonesia lebih terpukau dengan

brand asing, brand dari Amerika. Sebagian konsumen Indonesia justru merasa
bangga kalau meminum kopi Starbuck: memiliki prestis dan bisa menjaga gengsi.
Menurut kelompok kami, itu justru simbol dari inferiority complex khas
penduduk negeri bekas jajahan. Sindrom rasa percaya diri yang rendah karena
negerinya dulu pernah dijajah selama ratusan tahun. Demi melampiaskan rasa
rendah diri itu, lalu dipakailah branded products untuk menunjukkan gengsi
yang semu. Inilah irasionalitas yang muram. Namun irasionalitas inilah yang
membuat American Brands berjaya.
Mungkin itulah kenapa pengelola mal, bandara dan jalan tol lebih
memprioritaskan Starbucks. Sebab mereka tahu, kebanyakan konsumen lokal
justru lebih suka dengan brand asing.
Kalau boleh jujur, terlepas dari hal tersebut di atas, kopi dari indonesia
jenis arabika maupun robusta memiliki cita rasa khas yang patut diunggulkan
karena dihasilkan dari beberapa daerah yang memiliki karakteristik yang berbeda.
Kopi Indonesia memiliki cita rasa yang khas. Salah satu kopi arabika yang
menjadi andalan Indonesia adalah kopi mandailing. Kopi mandailing memiliki
cita rasa dan aroma yang kuat dibanding kopi arabika yang dihasilkan Amerika
Selatan seperti Brasil. Tidak ada satu daerah pun di dunia yang menanam kopi ini
selain Indonesia, yakni di Mandailing Natal yang sebelumnya termasuk
Kabupaten Tapanuli Selatan.
Pola pikir konsumtif yang dibentuk oleh media terhadap masyarakat
indonesia dewasa memiliki dampak yang cukup besar terhadap kehidupan
masyarakat saat ini. Baik itu media massa atau media sosial mereka mampu
mempengaruhi masyarakat untuk membeli setiap produk yang diiklankan. Yang
ingin ditekankan dalam hal ini adalah bahwa citralah yang merupakan kendaraan
bagi posisi subjek, dan bahwa karena itu, kemelekan kritis dalam budaya
pencitraan postmodern membutuhkan pembelajaran dalam membaca citra secara
kritis dan menguraikan hubungan antara citra, teks, tren sosial, dan produk dalam
budaya komersial (Kellner: 344, 2010).

Jika postmodernitas dianggap sebagai suatu totalitas kultural yang baru, maka
akan lebih masuk akal jika kita menafsirkan berbagai aspek postmodern sebagai
tren budaya yang baru muncul, yang bertentangan dengan nilai nilai dan praktik
tradisional yang masih beroperasi, serta modernitas kapitalis dominan yang
dipahami sebagai proyek hegemoni modal, di mana komodifikasi, individualisme,
fragmentasi, reifikasi dan budaya konsumen tetao menjadi unsur utama dalam era
modern.
Sebagai contoh ketika kampanye iklan yang mengadopsi strategi strategi
postmodern dalam pembentukan citra untuk memasarkan suatu produk, Reebok di
tahun 1992 dan Levis di tahun 1993 1994 mengedarkan iklan yang
mempertunjukkan fragmen citra citra dan kata kata dari fenomena
kontemporer yang tidak saling berhubungan. Logo produk tersebut tenggelam
dalam teks dan menjelma menjadi sebuah fragmen, membuat pembaca benar
benar berpikir iklan dari produk apakah itu. Ini sepertinya dianggap sebagai
sebuah cara yang efektif dalam menanamkan merek produk ke dalam pikiran
pembaca, yang merupakan fungsi utama iklan, walaupun seperti ditunjukkan oleh
kampanye iklan postmodern yang gagal, strategi penggunaan postmodernisme
dalam estetika periklanan sangatlah berisiko.
Dengan demikian, iklan, fashion, konsumsi, televisi dan budaya media
menggoyahkan identitas dan berperan memproduksi identitas yang lebih tidak
stabil, lebih cair, lebih berubah, dan lebih bergeser dalam fenomena kontemporer."

Dalam hal ini contoh kasus Starbucks melakukan hegemoni di indonesia terhadap
masyarakat, menjadikan mereka terhegemoni oleh Starbucks itu sendiri secara
tidak sadar mereka mereplikasikan hegemoni Starbucks kepada rekan dan kerabat
mereka sendiri. Sesuai pernyataan Antonio Gramsci, bahwa orang yang
terhegemoni akan melakukan replikasi hegemoni itu sendiri terhadap orang lain.
Implementasi nyatanya tebukti bahwa Orang orang yang datang Starbucks
mengupload foto mereka saat memesan minuman tersebut ke sosial media
mereka. Hal ini membuktikan bahwa terlihat mereka ingin diakui eksistensinya

sebagai komunitas yang prestisius. Itu bukti terjadinya Style over content, bahwa
bukan apa yang mereka minum, tapi merek lah yang menjadi fokus utama mereka.
Pada contoh kasus ini, mengenai kegunaan pendekatan Mazhab Frankfurt bahwa
Starbucks menunjukan

ciri ciri seperti pengkomoditasan (komodifikasi),

penstandaran (standarisasi), dan pengadaan besar besaran (massifikasi).


Sehingga nilai nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi oleh realitas
yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan pribadi
terpenuhi, namun kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang disamakan
dan dibentuk oleh penggunaan tanda tanda dalam media (LittleJohn, 2009 : 409)
KOMENTAR
Budaya minum kopi Sturbucks telah menghomogenisasi budaya minum
kopi. Artinya, menghilangkan ciri khas cita rasa kopi di suatu daerah yang
biasanya terdapat di warung-warung kopi di pinggiran kota. Karena, Starbucks
mendorong kedai kopi lokal, kecil, dan unik keluar dari bisnis atau gulung tikar
(Ritzer, 2013: 24).
Minum kopi Starbucks sebagai gaya hidup telah mengungguli esensi nilai
guna dari minum kopi. Untuk mengurangi hegemoni ini, mahasiswa dan para
akademisi sebagai agent of change dituntut untuk mengkampanyekan konsumsi
barang dan jasa berdasarkan nilai guna, bukan nilai tanda. Serta, menanamkan
cinta produk dalam negeri.

SARAN
Bagi para konsumen dalam negeri harus segera meninggalkan budaya
cinta produk luar negeri dan mulai membangun kesadaran cinta produk sendiri,
yang notabene memang memiliki kualitas unggul, misalnya dalam hal kopi.

Sehingga dengan demikian produksi kopi akan meningkat secara kualitas dan
dionsumsi oleh pasar domestik.

You might also like