Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Fitri Febrianti Ramadhan
G99142099
Pembimbing:
Dr. dr. Noer Rachma, Sp.KFR
BAB I
STATUS PASIEN
I.
ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
B.
Nama
: Ny.S
Umur
: 63 tahun
Jenis Kelamin
: Wanita
Agama
: Islam
Pekerjaan
Alamat
Status
: Menikah
Tanggal Masuk
: 15 November 2016
Tanggal Periksa
: 22 November 2016
No RM
: 01-09-70-XX
Keluhan Utama
SMRS. Sesak napas dirasakan memberat saat aktivitas dan berkurang saat
istirahat. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu dan emosi. Pasien
biasa tidur dengan 2 bantal atau lebih. Pasien sering mengeluh terbangun
malam hari karena sesak. Saat ditanya, sekarang ini pasien sudah tidak
merasakan sesak napas sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengaku memiliki
riwayat sakit jantung.
Pasien mengaku memiliki riwayat sakit gula sejak 7 tahun SMRS.
Pasien mengaku berobat rutin ke dokter penyakit dalam di RS Brayat dan
diberikan obat Glikuidone 1 tablet per 12 jam. Pasien mengaku jempol kaki
kanannya diamputasi sekitar 7 tahun yang lalu.
D.
: disangkal
Riwayat Mondok
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
rutin kontrol
E.
F.
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat olahraga
: jarang berolahraga
G.
Riwayat Nutrisi
Pasien makan sehari tiga kali, porsi sedang, dengan nasi, sayur dan lauk
seperti tempe, tahu, dan telur atau daging. Pasien tidak sedang menjalani
program diet khusus.
H.
II.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6,
gizi kesan lebih. BB = 90 kg, TB =170 cm , IMT= 31,14 (obese)
B.
Tanda Vital
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
Respirasi
Suhu
VAS
:0
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
sebagian beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
I. Leher
leher simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thoraks
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
c. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi
: Simetris, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
L. Abdomen
Inspeksi
: distensi (-)
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
M. Ekstremitas
Terdapat kulit menghitam pada pedis hingga cruris bilateral, nyeri tekan (-),
pulsasi arteri dorsalis pedis bilateral teraba sangat lemah hampir tidak teraba,
pulsasi arteri popliteal dan arteri femoralis masih teraba, tekanan darah di tungkai
kiri 100/60 mmHg dan tekanan darah di tungkai kanan 90/60 mmHg,
ABI tungkai kiri = 100 : 120 = 0,83 ; ABI tungkai kanan = 90 : 120 = 0.75. Arterial
bruit (-)
Oedem
+
Akral dingin
N. Status Neurologis
Kesadaran
: GCS E4V5M6
Fungsi Luhur
Fungsi Vegetatif
Fungsi Sensorik
Tungkai
Rasa Eksteroseptik
-
Suhu
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Nyeri
(+ / +)
(+/ +)
Raba
(+ / +)
(+/ +)
Rasa Propioseptik
-
Rasa Posisi
(+ / +)
(+ / +)
(+ / +)
(+/ +)
(+ / +)
(+/ +)
Kanan
Kiri
(N)
(N)
- Reflek Fisiologis
Reflek Biseps
Reflek Triceps
- Reflek Patologis
b. Tungkai
- Tonus
- Klonus
- Reflek Fisiologis
Reflek Patella
Reflek Achilles
-
(+2)
(+2)
(+2)
(+2)
(-)
(-)
(N)
(-)
(N)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Reflek Patologis
Nervus Cranialis
-
N. II, III
N. III, IV,VI
N. VII
N. XII
Ektremitas Superior
Fleksi
Ektensi
Abduksi
Shoulder
Elbow
ROM Pasif
0-700
0-400
0-600
0-600
0-700
0-700
ROM Aktif
0-700
0-400
0-600
0-600
0-700
0-700
ROM Pasif
Dekstra
0
0-90
0-300
0-1800
0-90
0-300
0-1800
Adduksi
0-45
Eksternal Rotasi
Internal Rotasi
Fleksi
Ekstensi
Pronasi
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70
7
ROM Aktif
Sinistra
0-450`
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70
Dekstra
0
0-90
0-300
0-1800
0-45
Sinistra
0-900
0-300
0-1800
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70
0-450`
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70
Wrist
Finger
Supinasi
Fleksi
Ekstensi
Ulnar Deviasi
Radius deviasi
MCP I Fleksi
MCP II-IV fleksi
DIP II-V fleksi
PIP II-V fleksi
MCP I Ekstensi
0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30
0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30
0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30
TRUNK
Fleksi
ROM Pasif
0-90
ROM Aktif
0-90
Ekstensi
0-30
0-30
Rotasi
0-35
0-35
Ektremitas Inferior
Hip
Knee
Ankle
Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksorotasi
Endorotasi
Fleksi
Ekstensi
Dorsofleksi
Plantarfleksi
Eversi
Inversi
ROM Pasif
Dekstra Sinistra
0-120
0-120
0-30
0-30
0-45
0-45
0-45
0-45
0-60
0-60
0-40
0-40
0-140
0-140
0-10
0-10
0-20
0-20
0-45
0-45
0-50
0-50
0-40
0-40
ROM Aktif
Dekstra Sinistra
0-120
0-120
0-30
0-30
0-45
0-45
0-45
0-45
0-60
0-60
0-40
0-40
0-140
0-140
0-10
0-10
0-20
0-20
0-45
0-45
0-50
0-50
0-40
0-40
0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30
5
5
Dekstra
Sinistra
M. Deltoideus anterior
M. Biseps anterior
M. Deltoideus
M. Teres Mayor
M. Deltoideus
M. Biseps
M. Latissimus dorsi
M. Pectoralis mayor
M. Latissimus dorsi
M. Pectoralis mayor
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
M. Teres mayor
M. Infra supinatus
5
5
5
5
M. Biseps
M. Brachilais
M. Triseps
M. Supinatus
M. Pronator teres
M. Fleksor carpi radialis
M. Ekstensor digitorum
M. Ekstensor carpi radialis
M. Ekstensor carpi ulnaris
M. Fleksor digitorum
M. Ekstensor digitorum
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Dekstra
Sinistra
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Ektremitas Superior
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Shoulder
Adduktor
Internal
Rotasi
Eksternal
Rotasi
Fleksor
Elbow
Wrist
Finger
Eksternsor
Supinator
Pronator
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Fleksor
Ekstensor
Ektremitas Inferior
Hip
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Knee
Fleksor
Ekstensor
Ankle
Fleksor
Ekstensor
M. Psoas mayor
M. Gluteus maksimus
M. Gluteus medius
M. Adduktor longus
Hamstring muscle
Quadriceps femoris
M. Tibialis
M. Soleus
Q. Status Lokalis
Regio Pedis dan Cruris Bilateral
Look : tampak hitam mulai dari cruris bilateral hingga regio pedis, digiti 1
pedis dextra (-)
Feel
: teraba dingin (+), oedema (+), spasme (-), nyeri tekan (-), pulsasi arteri
dorsalis pedis sangat lemah hampir tidak teraba
Score
Feeding
10
0 = unable
5= butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10= independen
Bathing
0 = dependen
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian
pekerjaan sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan
pita, dll.
Bowel
10
10
10
menangani sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat
duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50
yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100)
11
Interpretasi hasil :
0-20
: ketergantungan total
21-61
: ketergantungan berat
62-90
: ketergantungan sedang
91-99
: ketergantungan ringan
100
: mandiri
12
III.
Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium Darah (21 November 2016)
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan darah
PT
APTT
INR
Natrium darah
Kalium darah
Calsium Ion
GDS
Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
14.5
g/dl
42
%
6.4
ribu/L
185
ribu/L
4.68
juta/L
O
HEMOSTASIS
14.7
detik
30.5
detik
1.180
ELEKTROLIT
134
mmol/L
2.2
mmol/L
1.08
mmol/L
351
mg/dl
13
Rujukan
13.517.5
33 45
4.5 11.0
150450
4.50 5.90
10.0 15.0
20.0 40.0
136 145
3.7-5.4
1.17-1.29
60-140
14
B. Assesment
15
C. Daftar Masalah
Problem Medis:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tidak ada
3. Okupasi Terapi :
Gangguan
dalam
melakukan
aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik
Memerlukan
bantuan
16
Keterbatasan mobilisasi
untuk
6. Psikologi
2.
Awasi ABC
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
17
a.
b.
sakit
6. Psikologi
: dubia ad malam
Ad sanam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
18
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Peripheral Artery Disease (PAD) / Penyakit Arteri Perifer (PAP)
Definisi dan Gejala PAP
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka,
sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada
keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta
abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. (Sihombing,
2008) Namun demikian, secara klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang
memperdarahi ekstremitas bawah. (Antono D dan Ismail D, 2009)
PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari
pembuluh darah. (Sihombing, 2008) PAP sering kali merupakan bagian dari proses
penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel.20 Adanya PAP
pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk pada
pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. (Antono D dan Ismail D, 2009)
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang
berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit,
sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak
ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada
arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. (Chaniago LS, 2007)
Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan
walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika
istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah,
20
pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau
kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki. (Antono D dan Ismail D,
2009)
Dampak dan Faktor Risiko PAP
Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti
klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap
berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh. (Sihombing, 2008) Hal ini
menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi
pada pasien. (Hanafi M., 2003) Pasien dengan PAP juga memiliki kemungkinan lebih
besar mengalami infark miokard (MI), stroke, dan kematian akibat penyakit jantung.
(Sihombing, 2008) Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga
dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.
Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus,
dan merokok. (Antono D dan Ismail D, 2009) Jenis kelamin dan ras diketahui juga
merupakan faktor risiko dari PAP. (Chaniago LS, 2007) Faktor risiko potensial lainnya
adalah peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b,
lipoprotein a dan viskositas plasma. (Antono D dan Ismail D, 2009)
Patofisiologi PAP
PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri
multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif,
kelainan displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli.
Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang
paling banyak di dunia adalah aterosklerosis. (Mahameed AA, 2009)
Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium
sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah
dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan
adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi
dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik
yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah. Endothelium
21
normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang
menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan
kegiatan antitrombotik. Disfungsi endotel berhubungan dengan sebagian besar faktor
risiko penyakit kardiovaskular, yang terkait dengan terjadinya mekanisme sentral
pembentukan
lesi
aterosklerotik.
Penurunan
kemampuan
endotel
untuk
22
stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar Kolesterol LDL juga diketahui dapat
meningkatkan risiko terjangkit penyakit kardiovaskular dan PAP.
Tingkat kolesterol yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko
klaudikasio sebanyak 2 kali lipat (Framingham Study). NHANES menyatakan, lebih
dari 60% pasien dengan PAP yang berstatus hiperkolesterolemia. PARTNERS
(Peripheral Arterial Disease Awareness, Risk, and Treatment : New Resources for
Survival) dalam hasil studinya menyatakan prevalensi hiperlipidemia pada pasien PAP
adalah 77%.28 Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan terjadinya PAP sebesar
10% untuk setiap 10 mg / dL kenaikan kolesterol total.
3. Usia
Orang yang berusia 65 tahun atau lebih (Framingham Heart Study ) dan orangorang berusia 70 tahun atau lebih memiliki peningkatan risiko untuk menderita PAP
(NHANES). Adapun prevalensinya adalah 4,3 % pada peserta yang berusia lebih dari
40 tahun dan 14,5 % pada mereka yang berusia lebih dari 70 tahun. Hubungan usia
dengn PAP mencerminkan lamanya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik dan
efek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.
4. Kadar C-reactive Protein
Peningkatan
kadar
C-reactive
protein
merupakan
penanda
serologis
23
konsentrasi homosistein puasa yang lebih besar dari persentil 80 (yaitu, lebih besar
dari 12,1 mikromol per liter) berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit
vaskular aterosklerotik sebesar 2 kali lipat, antara lain PAP, penyakit pembuluh
koroner, dan stroke, dan faktor risiko tradisional independen lainya. Dalam suatu studi,
kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan risiko
PAP sebesar 44%.
6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen
Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan
terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok.
Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis,
dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian. Hiperviskositas dan
hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risiko
terkait dengan prognosis yang buruk.
7. Ras dan Jenis Kelamin
The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di
Amerika Serikat pada hasil penelitianya menemukan informasi bahwa ABI 0,90
umumnya lebih sering terdapat pada ras
24
PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan
atau adanya suatu gangguan fungsi. (Mahameed AA, 2009)
2. Diagnosis Noninvasif PAP
Pasien dengan gangguan pembuluh darah dapat didiagnosis secara anatomi
dengan akurat menggunakan teknik diagnostik vaskular noninvasif modern (misalnya,
ankle- and toe-brachial index, segmental pressure measurements, pulse volume
recordings, duplex ultrasound imaging, Doppler waveform analysis, dan exercise
testing). (Chaniago LS, 2007) Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif
dan dapat memfasilitasi perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan
tanpa risiko, dan dapat memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan ini pada pasien
PAP memungkinkan dokter untuk (a) secara obyektif menentukan diagnosis PAP (b)
secara kuantitatif menilai keparahan penyakit, (c) melokalisasi lesi pada segmen arteri
ekstremitas tertentu, dan (d) menentukan sejauh mana perkembangan penyakit atau
respon terhadap terapi. (Mahameed AA, 2009)
Ankle Brachial Index
1. Definisi, Kelebihan dan Kekurangan ABI
Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk
mengidentifikasi penyakit arteri perifer. (Antono D dan Ismail D, 2009) ABI adalah
rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan
tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan lengan brakialis.
Jika aliran darah normal di ekstremitas bawah, tekanan pada pergelangan kaki harus
sama atau sedikit lebih tinggi dengan di lengan, maka ABI akan bernilai 1,0 atau lebih.
ABI yang bernilai 0,9 menunjukkan adanya PAP. (Vascular Disease Foundation,
2012)
25
Foundation, 2012)
ABI memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta akurasi yang baik
untuk menetapkan diagnosis PAP. ABI telah digunakan dalam banyak studi cross
sectional untuk mendeteksi adanya PAP. Alat ini merupakan alat yang paling hemat
biaya untuk mendeteksi PAP. ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI
sebaiknya dilakukan pada (Antono D dan Ismail D, 2009)
1. Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala
exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
2. Usia 65 tahun.
3. Usia 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.
26
27
berjalan (biasanya menggunakan treadmill dengan kecepatan 3,2 km/h (2 mph), 10%
-12% grade) sampai terjadi klaudikasio (atau maksimal 5 menit), diikuti dengan
pengukuran ulang tekanan darah pada pergelangan kaki. Penurunan ABI dari 15%
-20% didiagnosis sebagai PAP. Jika treadmill tidak tersedia, tes provokasi dapat
dilakukan dengan menaiki tangga. Tes provokasi alternatif yang dapat dilakukan
jikasubjek tidak dapat naik-turun bangku antara lain dengan jalan kaki selama 6 menit
28
29
30
diagnostik ini juga dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan
intervensi pada sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk
mendeteksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90%.
Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga
dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal bypass
atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu plak
pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada bagian distal
pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovascular. (Mahameed AA, 2009)
Computed Tomographic Angiography (CTA)
Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang
seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice). Sensitivitas dan
spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 9599%. Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding
arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika
intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal
penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani
dialysis. (Mahameed AA, 2009)
Magnetic Resonance Angiography (MRA)
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap
kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I
Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama
dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi. Modalitas pemeriksaan
ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan (gadolinium-based
contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada CTA
maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis
arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar 80-90%. (Antono D dan
Ismail D, 2009)
Contrast Angiography
31
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti
klaudikasio, meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi, serangan
penyakit jantung, stroke dan amputasi. Pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis
yang ditemukan, faktor resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang. Tiga
pendekatan utama pengobatan PAD adalah dengan mengubah gaya hidup, terapi
farmakologis dan jika dibutuhkan, dilakukan terapi intervensi dengan operasi.
(American Heart Association, 2011)
32
33
menunjukkan bahwa statin juga meningkatkan jarak berjalan bebas rasa sakit
vascular
pada
pasien
PAD.
ACC/AHA
guidelines
telah
cilostazol sebagai
34
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi
dengan angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari
gejala dan tidak mengalami komplikasi apapun sesudahnya.
2.
36
Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya
ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer
ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang
belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah
timbulnya luka lain pada kulit. (Ibrahim ZS., 2012)
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkan risiko terjadinya dan
risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdasarkan risiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: (Waspadji S., 2013)
1)
2)
3)
4)
5)
Kombinasi/complicated
a)
b)
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik,
berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah. Untuk
kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang
insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas
kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus
dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Merobah gaya hidup, menghindari rokok, memeriksa
kaki sendiri dan merawatnya setiap hari serta pemeriksaan gula darah secara teratur
perlu dilakukan. Bila perilaku yang positif telah dilaksanakan maka dampaknya adalah
gula darah terkendali. Juga perlu diberikan motivasi kepada pasien yang telah cacat
agar dia tidak kehilangan gairah hidup. (Ibrahim ZS., 2012)
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Penyuluhan diberikan
secara komprehensif agar penderita dapat memahami dan menyadari bahwa seorang
penderita diabetes dapat mengalami neuropati dan kelainan pada pembuluh darah
dengan akibat penderita diabetes lebih mudah mengalami luka dibandingkan orang
normal. Untuk itu perlu pengenalan diabetes dan komplikasinya agar pasien dapat
membantu diri sendiri hingga komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi.
(Waspadji S., 2013)
B.
Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multidisipliner sangat diperlukan.
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik untuk memperoleh hasil maksimal
dapat digolongkan sebagai berikut: (Management of peripheral arterial disease (PAD),
2000)
Pengendalian Metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan
insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan
38
diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga
harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat
oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. Semua faktor tersebut tentu akan menghmbat
kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki. (Ibrahim ZS.,
2012)
Pengendalian Vaskuler
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai
langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien.
Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di
samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun invasif dan semiinvasif,
seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, serta
pemeriksaan echo Doppler dan arteriografi. (Ibrahim ZS., 2012)
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan
untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:
Modifikasi Faktor Risiko(Management of peripheral arterial disease (PAD), 2000)
1. Stop merokok
2. Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis, hiperglikemia, hipertensi,
dyslipidemia
3. Walking program latihan kaki merupakan terapi utama yang diberikan oleh
ahli rehabilitasi medik atau fisioterapis.
Nonivasive Vascular Test
PEMERIKSAAN
Trancutaneous oxygen measurement
Ankle-brachial index
NILAI ABNORMAL
< 40 mmHg
< 0.80 : abnormal
< 0.45 : berat
< 45 mmHg
39
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh
darah kaki penyandang DM, tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat
untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada
penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM. (Cahyadi A, 2010)
Pengobatan kaki diabetik meliputi pengendalian gula darah, penanganan kelainan
kaki, neuropati diabetik, sirkulasi darah dan penanganan infeksi serta rehabilitasi.
Pengendalian gula darah harus disertai upaya perbaikan keadaan umum penderita
dengan nutrisi yang memadai. (Ibrahim ZS., 2012)
Untuk memperbaiki neuropati diabetik kita dapat memilih untuk memakai secara
bersama obat yang melancarakan aliran darah dan yang memperbaiki metabolisme.
Dalam memperbaiki aliran darah kita harus memperbaiki struktur vaskuler yang telah
mengalami kerusakan. (Kabo Peter, 2012)
Gangguan endotel, gangguan trombosit,dan dislipidemia menjadi penyebab utama
terjadinya angiopati. Jadi selain pengendalian gula darah, yang mutlak harus dilakukan
adalah pemberian anti agregasi dan vasodilator perifer. Pemberian obat anti agregasi
diharapkan dapat memperbaiki vaskularisasi jaringan atau organ yang terserang. Ada
beberapa pilihan obat yang dapat dipakai, yaitu asetosal, pentoksifilin dan cilostazol.
(Cahyadi A, 2010)
Antibiotik diberikan bila ada infeksi. Oleh karena itu bila ditemukan infeksi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur. Tidak jarang penderita datang dengan sepsis
sehingga pemberian antibiotik tidak perlu menunggu hasil kultur. Pada keadaan ini
pilihan antibiotiknya adalah antibiotik spektrum luas atau dikombinasi dengan
golongan kloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif terhadap kuman
anaerob seperti metronidazol dan klindamisin. (Cahyadi A, 2010)
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio intermiten
yang
hebat,
tindakan
revaskularisasi
40
dapat
dianjurkan.
Sebelum
tindakan
digunakan
sesuai
dengan
keadaan
luka
dan
juga
letak
luka
produktif dan terinfeksi. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu
mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan
sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. (Ibrahim ZS., 2012)
Untuk ulkus dan ganggren dapat dilakukan bedah minor seperti insisi, drainase
abses, debrideman, dan nekrotomi dengan tujuan mengeluarkan semua jaringan
nekrosis untuk eliminasi infeksi, hingga mempercepat penyembuhan luka.
Sebelumnya perlu diketahui batas yang tegas antara jaringan sehat dan jaringan
nekrotik hingga nekrotomi atau amputasi dapat direncanakan dengan seksama. Pada
peradangan yang berat/luas disertai penyebaran yang sangat cepat, amputasi harus
dipertimbangkan dengan segera. Bila ditunda, tidak jarang dapat mengakibatkan
septikemia. (Cahyadi A, 2010)
41
Selama proses inflamasi masih ada, tidak akan terjadi proses granulasi dan
epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka,dapat pula dipakai
kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai
tempat perawatan kaki diabetik. (Ibrahim ZS., 2012)
Pengendalian Metabolik dan Infeksi
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah
yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan
kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial,
campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam
dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan
antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya
golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman
anaerob (misalnya metronidazol). (Schteingart DE., 2006)
Pengendalian Mekanik dan Tekanan
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area pada
plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan
terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearingdapat
dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary
shoes, felt
carts,
maupun cradled
42
keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. (Schteingart DE., 2006)
Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan
untuk pengelolaan kaki diabetik. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik
dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medik sangat
diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Pemakaian
alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu
mencegah terjadinya ulkus baru. (Cahyadi A, 2010)
Prognosis
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin
tua usia penderita diabetes melitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah
yang serius pada kaki dan tungkainya. Selain itu, lamanya menderita diabetes melitus,
adanya infeksi yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga
medis atau paramedis mempengaruhi proses penyembuhan luka, sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi prognosis. (Simadibrata M dan Setiati S, 2009)
43
Daftar Pustaka
American Heart Association. Management of patients with perhiperal artery disease.
2011; Dallas.
Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi
kelima. Jakarta: Interna publishing; 2009.h:1831-6.
Cahyadi A. Terapi terbaru diabetes melitus tipe 2. Medika Jurnal Kedokteran
Indonesia. 2010. Volume 36 (12). Available from: http://jurnalmedika. com/edisitahun-2010/edisi-no-12-volxxxvi-2010/264-artikel-penyegar/470terapi-terbarudiabetes-melitus-tipe-2 [Accesed on Oct 19th 2012].
Chaniago LS. Penyakit Arteri Perifer pada Sindroma Metabolik [Tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2007.
Daniela C.Gey. in : management of peripheral arterial disease. Vol 69,
Germany.University of Heidelberg School of Medicine, Heidelberg, 2004.
Hanafi M. Penyakit pembuluh darah perifer . In: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,eds.
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
h. 185-9
44
Ibrahim ZS. Pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pasien
diabates melitus tipe 2 Di RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2012 [skripsi]. Jakarta:
Universitas Pembangunan Nasional Veteran; 2012.
Kabo Peter, Prof. atherosclerosis dan atherotrombosis. In: Bagaimana menggunakan
obat- obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012 h. 38-59
Mahameed AA, Peripheral Arterial Disease. 2009. Available from :
http://www.clevelandclinicmeded.com/
Management of peripheral arterial disease (PAD). TASC Working Group.
TransAtlantic Inter-Society Concensus (TASC). J Vasc Surg. 31: 2000.
National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial
disease : diagnosis and management. August, 2012. UK
Pdpersi. RI Ranking keempat jumlah penderita diabetes terbanyak dunia. 2011. URL:
http://pdpersi.co.id/content/news. php?mid=5&nid=618&catid=23 [Accesed on
Oct 8,2012].
PB PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta; 2011.
Rangkuti DM. Hubungan kejadian penyakit arteri perifer dengan lamanya menjalani
hemodialisi November 2007Januari 2008 [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2008.
Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price
SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
volume II, edisi keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.126370.
Sihombing B. Prevalensi penyakit arteri perifer pada populasi penyakit diabetes
melitus di Puskesmas Kota Medan Januari-Juli 2008. [Tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi
kelima. Jakarta: Interna publishing, 2009. h.1961.
45
Vascular
Disease
Foundation.
PAD
risk
factors.
Available
from:
Disease
Foundation.
Ankle
Brachial
Index.
Available
from:
46