You are on page 1of 46

Presentasi Kasus

SEORANG WANITA USIA 63 TAHUN DENGAN PERIPHERAL ARTERY


DISEASE PEDIS ET CRURIS BILATERAL DAN DM TYPE II

Oleh :
Fitri Febrianti Ramadhan
G99142099

Pembimbing:
Dr. dr. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I

STATUS PASIEN
I.

ANAMNESIS

A. Identitas Pasien

B.

Nama

: Ny.S

Umur

: 63 tahun

Jenis Kelamin

: Wanita

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Sidomulyo, Jawa Tengah

Status

: Menikah

Tanggal Masuk

: 15 November 2016

Tanggal Periksa

: 22 November 2016

No RM

: 01-09-70-XX
Keluhan Utama

Terasa tebal di kedua kaki


C.

Riwayat Penyakit Sekarang


Saat ini pasien mengeluhkan kedua kaki terasa tebal. Rasa tebal
dirasakan mulai dari ujung kaki makin lama makin ke atas hingga
selangkangan pada kedua kaki. Rasa tebal dirasakan sejak setahun yang lalu.
Kemudian sejak 4 bulan SMRS, kedua tungkai tampak menghitam yang
awalnya didapatkan pada ujung jari kemudian makin lama makin ke atas
hingga tungkai bawah. Kedua tungkai juga dikeluhkan membengkak.
Perabaan hangat tidak didapatkan pada kedua tungkai. Pasien juga mengeluh
kedua kaki berat untuk digerakkan. Keluhan tidak dirasa berkurang dengan
memposisikan kaki lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain. Sejak dirasakan
kaki terasa tebal, pasien memakai kursi roda untuk mobilisasinya.
Pasien merupakan konsulan dari bagian penyakit dalam. Pasien datang
ke RSDM dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 5 hari
2

SMRS. Sesak napas dirasakan memberat saat aktivitas dan berkurang saat
istirahat. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu dan emosi. Pasien
biasa tidur dengan 2 bantal atau lebih. Pasien sering mengeluh terbangun
malam hari karena sesak. Saat ditanya, sekarang ini pasien sudah tidak
merasakan sesak napas sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengaku memiliki
riwayat sakit jantung.
Pasien mengaku memiliki riwayat sakit gula sejak 7 tahun SMRS.
Pasien mengaku berobat rutin ke dokter penyakit dalam di RS Brayat dan
diberikan obat Glikuidone 1 tablet per 12 jam. Pasien mengaku jempol kaki
kanannya diamputasi sekitar 7 tahun yang lalu.
D.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Trauma

: disangkal

Riwayat Mondok

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: (+), sejak 7 tahun yang lalu dan rutin berobat

di RS Brayat, mendapat obat glikuidone 1 tablet per hari


Riwayat Penyakit Jantung

: (+), sejak 1 tahun yang lalu dengan CHF, tidak

rutin kontrol

E.

F.

Riwayat Penyakit Ginjal

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok

: disangkal

Riwayat minum alkohol

: disangkal

Riwayat konsumsi obat-obatan

: disangkal

Riwayat olahraga

: jarang berolahraga

G.

Riwayat Nutrisi
Pasien makan sehari tiga kali, porsi sedang, dengan nasi, sayur dan lauk
seperti tempe, tahu, dan telur atau daging. Pasien tidak sedang menjalani
program diet khusus.

H.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Saat ini pasien dirawat di
RSDM dengan fasilitas kesehatan BPJS.

II.

PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6,
gizi kesan lebih. BB = 90 kg, TB =170 cm , IMT= 31,14 (obese)
B.

Tanda Vital
Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 90 x/menit, isi cukup, irama teratur

Respirasi

: 20 x/menit, irama teratur

Suhu

: 36.5C per aksiler

VAS

:0

C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
sebagian beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut
E. Mata

Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
I. Leher
leher simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thoraks
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Jantung kesan melebar ke caudolateral

Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,


bising (-)

c. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi
: Simetris, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi

: deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

Palpasi

: massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)

Perkusi

: nyeri ketok kostovertebra (-)

L. Abdomen
Inspeksi

: distensi (-)

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

M. Ekstremitas
Terdapat kulit menghitam pada pedis hingga cruris bilateral, nyeri tekan (-),
pulsasi arteri dorsalis pedis bilateral teraba sangat lemah hampir tidak teraba,
pulsasi arteri popliteal dan arteri femoralis masih teraba, tekanan darah di tungkai
kiri 100/60 mmHg dan tekanan darah di tungkai kanan 90/60 mmHg,
ABI tungkai kiri = 100 : 120 = 0,83 ; ABI tungkai kanan = 90 : 120 = 0.75. Arterial
bruit (-)
Oedem
+

Akral dingin

N. Status Neurologis
Kesadaran

: GCS E4V5M6

Fungsi Luhur

: dalam batas normal

Fungsi Vegetatif

: dalam batas normal

Fungsi Sensorik

: Hipoestesi pada cruris hingga pedis bilateral


Lengan

Tungkai

Rasa Eksteroseptik
-

Suhu

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Nyeri

(+ / +)

(+/ +)

Raba

(+ / +)

(+/ +)

Rasa Propioseptik
-

Rasa Posisi

(+ / +)

(+ / +)

Rasa Nyeri Tekan

(+ / +)

(+/ +)

Rasa Nyeri Tusukan

(+ / +)

(+/ +)

Fungsi Motorik dan Reflek


a. Lengan
- Tonus
6

Kanan

Kiri

(N)

(N)

- Reflek Fisiologis
Reflek Biseps
Reflek Triceps
- Reflek Patologis
b. Tungkai
- Tonus
- Klonus
- Reflek Fisiologis
Reflek Patella
Reflek Achilles
-

(+2)
(+2)

(+2)
(+2)

(-)

(-)

(N)
(-)

(N)
(-)

(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)

Reflek Patologis

Nervus Cranialis
-

N. II, III

: pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)

N. III, IV,VI

: dalam batas normal

N. VII

: dalam batas normal

N. XII

: dalam batas normal

O. Range of Motion (ROM)


NECK
Fleksi
Ekstensi
Lateral bending kanan
Lateral bending kiri
Rotasi kanan
Rotasi kiri

Ektremitas Superior
Fleksi
Ektensi
Abduksi
Shoulder

Elbow

ROM Pasif
0-700
0-400
0-600
0-600
0-700
0-700

ROM Aktif
0-700
0-400
0-600
0-600
0-700
0-700

ROM Pasif
Dekstra
0

0-90
0-300
0-1800

0-90
0-300
0-1800

Adduksi

0-45

Eksternal Rotasi
Internal Rotasi
Fleksi
Ekstensi
Pronasi

0-550
0-550
0-800
0-10
0-70
7

ROM Aktif

Sinistra

0-450`
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70

Dekstra
0

0-90
0-300
0-1800
0-45

Sinistra

0-900
0-300
0-1800

0-550
0-550
0-800
0-10
0-70

0-450`
0-550
0-550
0-800
0-10
0-70

Wrist
Finger

Supinasi
Fleksi
Ekstensi
Ulnar Deviasi
Radius deviasi
MCP I Fleksi
MCP II-IV fleksi
DIP II-V fleksi
PIP II-V fleksi
MCP I Ekstensi

0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30

0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30

0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30

TRUNK
Fleksi

ROM Pasif
0-90

ROM Aktif
0-90

Ekstensi

0-30

0-30

Rotasi

0-35

0-35

Ektremitas Inferior

Hip

Knee
Ankle

Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksorotasi
Endorotasi
Fleksi
Ekstensi
Dorsofleksi
Plantarfleksi
Eversi
Inversi

ROM Pasif
Dekstra Sinistra
0-120
0-120
0-30
0-30
0-45
0-45
0-45
0-45
0-60
0-60
0-40
0-40
0-140
0-140
0-10
0-10
0-20
0-20
0-45
0-45
0-50
0-50
0-40
0-40

ROM Aktif
Dekstra Sinistra
0-120
0-120
0-30
0-30
0-45
0-45
0-45
0-45
0-60
0-60
0-40
0-40
0-140
0-140
0-10
0-10
0-20
0-20
0-45
0-45
0-50
0-50
0-40
0-40

P. Manual Muscle Testing (MMT)


Neck
Fleksor M. Sternocleidomastoideum
Ekstensor M. Sternocleidomastoideum

0-80
0-80
0-70
0-30
0-20
0-50
0-90
0-80
0-100
0-30

5
5

Dekstra

Sinistra

M. Deltoideus anterior
M. Biseps anterior
M. Deltoideus
M. Teres Mayor
M. Deltoideus
M. Biseps
M. Latissimus dorsi
M. Pectoralis mayor
M. Latissimus dorsi
M. Pectoralis mayor

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

M. Teres mayor
M. Infra supinatus

5
5

5
5

M. Biseps
M. Brachilais
M. Triseps
M. Supinatus
M. Pronator teres
M. Fleksor carpi radialis
M. Ekstensor digitorum
M. Ekstensor carpi radialis
M. Ekstensor carpi ulnaris
M. Fleksor digitorum
M. Ekstensor digitorum

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

Dekstra

Sinistra

2
2
2
2
2
2
2
2

2
2
2
2
2
2
2
2

Ektremitas Superior
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Shoulder

Adduktor
Internal
Rotasi
Eksternal
Rotasi
Fleksor

Elbow

Wrist
Finger

Eksternsor
Supinator
Pronator
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Fleksor
Ekstensor

Ektremitas Inferior
Hip
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Knee
Fleksor
Ekstensor
Ankle
Fleksor
Ekstensor

M. Psoas mayor
M. Gluteus maksimus
M. Gluteus medius
M. Adduktor longus
Hamstring muscle
Quadriceps femoris
M. Tibialis
M. Soleus

Q. Status Lokalis
Regio Pedis dan Cruris Bilateral
Look : tampak hitam mulai dari cruris bilateral hingga regio pedis, digiti 1
pedis dextra (-)

Feel

: teraba dingin (+), oedema (+), spasme (-), nyeri tekan (-), pulsasi arteri
dorsalis pedis sangat lemah hampir tidak teraba

Move : ROM aktif terbatas, MMT ekstremitas inferior 2/2


R. Pengukuran Skor Activity Daily Living (ADL) Menurut Index Barthel
Activity

Score

Feeding

10

0 = unable
5= butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10= independen
Bathing

0 = dependen
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming

0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri


5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan
bercukur
Dressing

0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian
pekerjaan sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan
pita, dll.
Bowel

10

0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)


5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder

10

0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu

10

menangani sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat
duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50
yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100)

11

Interpretasi hasil :
0-20

: ketergantungan total

21-61

: ketergantungan berat

62-90

: ketergantungan sedang

91-99

: ketergantungan ringan

100

: mandiri

Status Ambulasi : ketergantungan berat

12

III.

Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium Darah (21 November 2016)
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan darah
PT
APTT
INR
Natrium darah
Kalium darah
Calsium Ion
GDS

Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
14.5
g/dl
42
%
6.4
ribu/L
185
ribu/L
4.68
juta/L
O
HEMOSTASIS
14.7
detik
30.5
detik
1.180
ELEKTROLIT
134
mmol/L
2.2
mmol/L
1.08
mmol/L
351

mg/dl

B. Pemeriksaan Radiologi (15 November 2016)


Hasil Foto Thorax PA

13

Rujukan
13.517.5
33 45
4.5 11.0
150450
4.50 5.90
10.0 15.0
20.0 40.0
136 145
3.7-5.4
1.17-1.29
60-140

Cor : CTR > 0.5, apex grounded


Pulmo:
Tak tampak infiltratdi kedua lapang paru, corakan bronkovaskuler normal
Sinus phrenicocostalis kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan :
Cardiomegaly
C. Angiografi (17 November 2016)

14

Dilakukan pemeriksaan angiografi extremitas inferior dextra dengan klinis PAD


pedis sampai dengan cruris bilateral
Kontras mengisi arteri femoralis communis, arteri femoralis profunda, dan
superficial dextra dengan lancar diameter normal, dinding licin
Kontras mengisi 1/3 proksimal arteri tibialis anterior dan truncus tibialis pars
distalis dextra
Tampak cut off abrupt arteri tibialis anterior 1/3 proksimal dan truncus tibialis
pars distalis dextra
Di distal arteri tibialis anterior 1/3 proksimal tak tervisualisasi, arteri tibialis
posterior, arteri peroneus, arteri plantaris pedis dan ateri dorsalis pedis dextra tak
tervisualisasi
Masih tampak gambaran arteri suralis dextra
Kesan :
Oklusi arteri tibialis anterior 1/3 proksimal dan truncus tibialis
-

pars distalis dekstra


Arteri femoralis communis, arteri poplitea dan arteri suralis
dekstra intact

B. Assesment
15

1. Peripheral artery disease dd Burger disease


2. DM type II obese
3. CHF NYHA IV

C. Daftar Masalah
Problem Medis:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hipoestesi Ekstremitas inferior


MMT extremitas inferior 2/2
Pedis hingga Cruris bilateral menghitam
Hiperglikemia, obese
CHF NYHA IV, diabetic cardiomiopathy
Neuropati DM
Hipokalemia berat (2.2)
Hiponatremia ringan (134)
Hipokalsemia ringan (1,08)

Problem Rehabilitasi Medik:


1. Fisioterapi

Kelemahan kedua anggota gerak

bawah, hipoestesi inferior


2. Terapi wicara

Tidak ada

3. Okupasi Terapi :

Gangguan

dalam

melakukan

aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik

Memerlukan

bantuan

melakukan aktivitas sehari-hari


5. Ortesa-protesa :

16

Keterbatasan mobilisasi

untuk

6. Psikologi

Beban pikiran karena kesulitan

melakukan aktivitas seharihari


D. Penatalaksanaan
1.

Bed rest total

2.

Awasi ABC

3.

O2 3 lpm nasal kanul

4.

Diet Jantung DM 1700 kkal

5.

Infus NaCl 0,9% 16 tpm mikro

6.

Injeksi ceftriaxone 2 gr/24 jam (VI)

7.

Injeksi furosemide 20 mg/8 jam

8.

Clopidogrel 75mg/24 jam

9.

Aspilet 80 gr/24 jam

10.

Injeksi novorapid 8-8-6 IU SC

11.

Injeksi lantus 0-0-0-10 IU SC

12.

KSR 1 tab/8 jam

13.

CaCO3 1 tab/8 jam

14.

Infus KCl 46 mg dalam 500 cc NaCl 16 tpm

15.

Cilostazol 100 mg /12 jam

16.

Mecobalamin 500mcg/12 jam p.o.

17.

Konsultasi bagian mata: retinopati DM ?

Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik:


1. Fisioterapi :
a.
Proper bed positioning
b.
Mobilisasi bertahap sesuai kondisi
c.
Breathing excersice
d.
General ROM excersice
e.
Kateterisasi berkala, bladder training
2. Terapi wicara : tidak ada
3. Okupasi terapi : Melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Ortesa-protesa : walker
5. Sosiomedik :

17

a.

Motivasi dan edukasi keluarga tentang penyakit pasien serta

b.

kondisi sosial ekonomi


Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan
merawat pasien

sakit
6. Psikologi

dengan selalu berusaha menjalankan program di rumah

: Evaluasi status mental pasien dan merencanakan terapi psikologis

berdasarkan hasil pemeriksaan status mental pasien tersebut, memberikan terapi


suportif pada pasien dan keluarga pasien.

E. Impairment, Disability, dan Handicap


Impairment: Paraparese inferior, parahipestesi inferior
Disability : Disabilitas personal dengan skor ADL 40 (ketergantungan berat)
Handicap : Membutuhkan bantuan orang lain dalam beraktivitas sehari-hari,
serta kesulitan menghadiri acara sosial
F. Tujuan
A. Jangka Pendek
1. Perbaikan keadaan umum
2. Memelihara ROM
3. Meningkatkan ADL
4. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang
diderita pasien
B. Jangka Panjang
1. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien
2. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot
3. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama seperti ulkus
decubitus, pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik, dan lain-lain.
G. Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad sanam

: dubia ad malam

Ad fungsionam

: dubia ad malam

18

19

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Peripheral Artery Disease (PAD) / Penyakit Arteri Perifer (PAP)
Definisi dan Gejala PAP
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka,
sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada
keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta
abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. (Sihombing,
2008) Namun demikian, secara klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang
memperdarahi ekstremitas bawah. (Antono D dan Ismail D, 2009)
PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari
pembuluh darah. (Sihombing, 2008) PAP sering kali merupakan bagian dari proses
penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel.20 Adanya PAP
pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk pada
pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. (Antono D dan Ismail D, 2009)
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang
berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit,
sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak
ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada
arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. (Chaniago LS, 2007)
Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan
walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika
istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah,
20

pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau
kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki. (Antono D dan Ismail D,
2009)
Dampak dan Faktor Risiko PAP
Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti
klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap
berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh. (Sihombing, 2008) Hal ini
menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi
pada pasien. (Hanafi M., 2003) Pasien dengan PAP juga memiliki kemungkinan lebih
besar mengalami infark miokard (MI), stroke, dan kematian akibat penyakit jantung.
(Sihombing, 2008) Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga
dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.
Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus,
dan merokok. (Antono D dan Ismail D, 2009) Jenis kelamin dan ras diketahui juga
merupakan faktor risiko dari PAP. (Chaniago LS, 2007) Faktor risiko potensial lainnya
adalah peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b,
lipoprotein a dan viskositas plasma. (Antono D dan Ismail D, 2009)
Patofisiologi PAP
PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri
multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif,
kelainan displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli.
Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang
paling banyak di dunia adalah aterosklerosis. (Mahameed AA, 2009)
Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium
sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah
dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan
adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi
dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik
yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah. Endothelium

21

normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang
menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan
kegiatan antitrombotik. Disfungsi endotel berhubungan dengan sebagian besar faktor
risiko penyakit kardiovaskular, yang terkait dengan terjadinya mekanisme sentral
pembentukan

lesi

aterosklerotik.

Penurunan

kemampuan

endotel

untuk

bervasodilatasi juga dikaitkan dengan faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular.


(Chaniago LS, 2007)
Zat yang diperdebatkan sebagai zat paling penting yang berperan dalam proses
relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida (NO). NO tidak hanya terlibat dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah, tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi
trombosit, adhesi, dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan
mencegah adhesi leukosit pada endotel. Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada
pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.
(Mahameed AA, 2009)
Faktor Risiko PAP Lainya (Vascular Disease Foundation, 2012)
1. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama

PAP, terutama pada

penderita usia muda. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada endotel,


mendorong terjadinya koagulasi, dan mempercepat terjadinya aterosklerosis.
Cardiovascular Health Study menyatakan, perokok memiliki risiko relatif sebesar 2,5
kali lebih besar untuk menderita PAP dibanding non perokok. Studi lain menyatakan
bahwa mantan perokok memiliki risiko relatif tujuh kali lipat untuk menderita PAP
dan perokok aktif sebesar 16 kali lipat bila dibandingkan dengan pasien non perokok.
2. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia mempengaruhi struktur endotel dinding arteri, yang dapat
menyebabkan pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL merupakan salah satu
penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan struktur
endotel memungkinkan lipoprotein memasuki dinding arteri, menjadi teroksidasi, dan
mendukung pembentukan fatty streak, yang merupakan lesi awal pada aterosklerosis.
Hal ini akan berkembang menjadi lesi yang lebih kompleks yang menyebabkan

22

stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar Kolesterol LDL juga diketahui dapat
meningkatkan risiko terjangkit penyakit kardiovaskular dan PAP.
Tingkat kolesterol yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko
klaudikasio sebanyak 2 kali lipat (Framingham Study). NHANES menyatakan, lebih
dari 60% pasien dengan PAP yang berstatus hiperkolesterolemia. PARTNERS
(Peripheral Arterial Disease Awareness, Risk, and Treatment : New Resources for
Survival) dalam hasil studinya menyatakan prevalensi hiperlipidemia pada pasien PAP
adalah 77%.28 Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan terjadinya PAP sebesar
10% untuk setiap 10 mg / dL kenaikan kolesterol total.
3. Usia
Orang yang berusia 65 tahun atau lebih (Framingham Heart Study ) dan orangorang berusia 70 tahun atau lebih memiliki peningkatan risiko untuk menderita PAP
(NHANES). Adapun prevalensinya adalah 4,3 % pada peserta yang berusia lebih dari
40 tahun dan 14,5 % pada mereka yang berusia lebih dari 70 tahun. Hubungan usia
dengn PAP mencerminkan lamanya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik dan
efek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.
4. Kadar C-reactive Protein
Peningkatan

kadar

C-reactive

protein

merupakan

penanda

serologis

peradangan sistemik yang berhubungan dengan PAP. Physicians 'Health Study'


menyatakan, orang yang memiliki konsentrasi C-reactive protein pada kuartil tertinggi
memiliki peningkatan risiko 2,1 kali lipat menderita PAP dibanding orang yang sehat.
Penelitian ini juga mencatat bahwa terdapat tingkat protein C-reactive yang tinggi
pada individu penderita PAP dan konsentrasi paling tinggi didapat pada pasien yang
membutuhkan operasi vaskuler.
5. Kadar Homosistein
Beberapa peneliti telah menguji pengaruh homosistein terhadap pertumbuhan
sel-sel endotel pada jaringan yang dikultur. Hasil penelitian tersebut membuktikan
bahwa homosistein dapat memberikan efek sitotoksis langsung terhadap endotel,
sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Peningkatan kadar
homosistein berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya PAP sebesar 2
sampai 3 kali lipat. The European Concerted Action Project memperkirakan bahwa

23

konsentrasi homosistein puasa yang lebih besar dari persentil 80 (yaitu, lebih besar
dari 12,1 mikromol per liter) berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit
vaskular aterosklerotik sebesar 2 kali lipat, antara lain PAP, penyakit pembuluh
koroner, dan stroke, dan faktor risiko tradisional independen lainya. Dalam suatu studi,
kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan risiko
PAP sebesar 44%.
6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen
Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan
terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok.
Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis,
dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian. Hiperviskositas dan
hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risiko
terkait dengan prognosis yang buruk.
7. Ras dan Jenis Kelamin
The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di
Amerika Serikat pada hasil penelitianya menemukan informasi bahwa ABI 0,90
umumnya lebih sering terdapat pada ras

kulit hitam non - Hispanik (7,8 %)

dibandingkan dengan ras kulit putih (4,4 %).


Prevalensi PAD, baik yang simptomatik maupun asimptomatik, sedikit lebih besar
pada pria daripada wanita , terutama pada kelompok usia yang lebih muda. Pada
pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki dibandingkan dengan wanita
adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio ini meningkat pada beberapa studi setidaknya
hingga 3 : 1 pada tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb ischemia
kronis. Namun demikian, terdapat penelitian lain yang menyatakan bahwa prevalensi
PAP pada wanita maupun laki-laki adalah sama. Terdapat pula studi yang menyatakan
bahwa klaudikasio intermiten didominasi oleh jenis kelamin wanita.
Tolak Ukur Penilaian status PAP
1. Diagnosis PAP
Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif. Penilaian

24

PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan
atau adanya suatu gangguan fungsi. (Mahameed AA, 2009)
2. Diagnosis Noninvasif PAP
Pasien dengan gangguan pembuluh darah dapat didiagnosis secara anatomi
dengan akurat menggunakan teknik diagnostik vaskular noninvasif modern (misalnya,
ankle- and toe-brachial index, segmental pressure measurements, pulse volume
recordings, duplex ultrasound imaging, Doppler waveform analysis, dan exercise
testing). (Chaniago LS, 2007) Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif
dan dapat memfasilitasi perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan
tanpa risiko, dan dapat memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan ini pada pasien
PAP memungkinkan dokter untuk (a) secara obyektif menentukan diagnosis PAP (b)
secara kuantitatif menilai keparahan penyakit, (c) melokalisasi lesi pada segmen arteri
ekstremitas tertentu, dan (d) menentukan sejauh mana perkembangan penyakit atau
respon terhadap terapi. (Mahameed AA, 2009)
Ankle Brachial Index
1. Definisi, Kelebihan dan Kekurangan ABI
Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk
mengidentifikasi penyakit arteri perifer. (Antono D dan Ismail D, 2009) ABI adalah
rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan
tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan lengan brakialis.
Jika aliran darah normal di ekstremitas bawah, tekanan pada pergelangan kaki harus
sama atau sedikit lebih tinggi dengan di lengan, maka ABI akan bernilai 1,0 atau lebih.
ABI yang bernilai 0,9 menunjukkan adanya PAP. (Vascular Disease Foundation,
2012)

25

Tabel 1. Interpretasi Nilai ABI


American College of Cardiology Foundation/American Heart Association

(Sumber: Vascular Disease Foundation, 2012)

Gambar 1. Cara Pengukuran Ankle Brachial Index

(Sumber: Vascular Disease

Foundation, 2012)
ABI memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta akurasi yang baik
untuk menetapkan diagnosis PAP. ABI telah digunakan dalam banyak studi cross
sectional untuk mendeteksi adanya PAP. Alat ini merupakan alat yang paling hemat
biaya untuk mendeteksi PAP. ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI
sebaiknya dilakukan pada (Antono D dan Ismail D, 2009)
1. Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala
exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
2. Usia 65 tahun.
3. Usia 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.

26

Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan skrining


ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor
risiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan lamanya
menderita DM >10 tahun. Keterbatasan ABI (Vascular Disease Foundation, 2012)
1. ABI adalah pemeriksaan yang menyimpulkan lokasi anatomi dari oklusi atau
stenosis secara tidak langsung. Lokasi pasti dari stenosis atau oklusi tidak bisa
ditentukan hanya dengan menggunakan ABI.
2. ABI dapat meningkat (>1,3) karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan kaki
pasien yang memiliki penyakit diabetes, gagal ginjal dan rheumatoid arthritis; dan
pada keadaan ini, tes vaskular lainnya seperti TBI (Toe Brachial Index) perlu
dilakukan.
3. Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762 subyek, melaporkan bahwa
ABI meningkat pada 8,4% individu dan prevalensi PAP pada individu ini adalah
62,2%.
4. Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala klaudikasio saat
beraktivitas namun memiliki tekanan pergelangan kaki yang normal saat istirahat,
pada kasus ini diperlukan evaluasi vaskular lainya.
Prosedur Penggunaan ABI
ABI dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah Doppler gelombang
kontinyu, tensimeter dan manset untuk mengukur tekanan darah brakialis dan
pergelangan kaki. Jika dilakukan oleh profesional yang terlatih, menggunakan
peralatan yang tepat, dan mengikuti prosedur berbasis penelitian, ABI yang diperoleh
menggunakan Doppler saku setara dengan Tes pembuluh darah di laboratorium untuk
mendeteksi PAP. (Mahameed AA, 2009)
Pada pelayanan kesehatan primer, dimana alat doppler tidak selalu ada, ABI
yang diukur dengan stetoskop merupakan pendekatan alternatif yang dapat dilakukan.
Sebuah penelitian yang membandingkan ABI yang diukur dengan stetoskop dan ABI
yang diukur dengan Doppler memberikan informasi bahwa nilai keduanya ternyata
berkorelasi baik, sehingga pengukuran ABI dengan stetoskop dapat digunakan sebagai
alat skrining PAP pada pelayanan kesehatan primer. (Vascular Disease Foundation,
2012)

27

Persiapan Pasien dan Lingkungan (Vascular Disease Foundation, 2012)


1. Menanyakan kapan terakhir merokok, mengkonsumsi kafein ataupun alkohol;
apakah ada aktivitas berat yang baru saja dilakukan sebelumnya, dan adanya nyeri.
(Catatan: Jika memungkinkan, menyarankan pasien untuk menghindari stimulan
atau latihan berat selama satu jam sebelum tes.)
2. Melakukan pengukuran ABI di tempat yang tenang, lingkungan yang hangat untuk
mencegah vasokonstriksi arteri (21-23 + 1 C).
3. Hasil ABI terbaik akan diperoleh ketika pasien santai, nyaman, dan dengan
keadaan kandung kemih yang kosong.
4. Menjelaskan prosedur kepada pasien.
5. Melepaskan kaus kaki, sepatu, dan pakaian yang ketat untuk penempatan manset
dan memberi akses ke daerah yang akan dipulsasi oleh Doppler.
6. Menempatkan pasien pada posisi terlentang, memberikan satu bantal kecil di
belakang kepala pasien untuk kenyamanan pasien.
7. Sebelum penempatan manset, memberi pelindung/ penghalang (misalnya, bungkus
plastik) pada ekstremitas jika terdapat luka atau perubahan integritas kulit)
8. Menempatkan manset pada lengan sekitar 2-3 cm di atas fossa cubiti dan maleolus
di pergelangan kaki
9. Memastikan pasien merasa nyaman dan mempersilakan pasien beristirahat selama
minimal 10 menit sebelum pengukuran ABI untuk menormalkan tekanan darah.
Pasien yang mengalami klaudikasio dengan stenosis arteri iliaka terisolasi
memiliki kemungkinan untuk tidak mengalami penurunan tekanan darah saat istirahat,
sehingga, pada kasus ini akan dijumpai nilai ABI yang normal. Namun, dengan
dilakukannya tes provokasi dengan exercise oleh pasien ini, lesi hemodinamik akan
terlihat signifikan karena adanya peningkatan kecepatan aliran darah. Pada kondisi ini,
exercise akan menyebabkan penurunan ABI yang dapat dideteksi segera sebelum
periode recovery, dan dengan demikian dapat ditegakkan diagnosis PAP. Prosedur ini
memerlukan pengukuran

ABI saat istirahat, dan pasien kemudian diminta untuk

berjalan (biasanya menggunakan treadmill dengan kecepatan 3,2 km/h (2 mph), 10%
-12% grade) sampai terjadi klaudikasio (atau maksimal 5 menit), diikuti dengan
pengukuran ulang tekanan darah pada pergelangan kaki. Penurunan ABI dari 15%
-20% didiagnosis sebagai PAP. Jika treadmill tidak tersedia, tes provokasi dapat
dilakukan dengan menaiki tangga. Tes provokasi alternatif yang dapat dilakukan
jikasubjek tidak dapat naik-turun bangku antara lain dengan jalan kaki selama 6 menit
28

atau melakukan dorsoflexi-plantarflexi selama 6 menit. (Antono D dan Ismail D,


2009)

Gambar 2. Alogaritma untuk mendiagnosis PAP


(Sumber: Vascular Disease Foundation, 2012)
Kontraindikasi untuk ABI: (Antono D dan Ismail D, 2009)
1. Apabila terdapat rasa sakit luar biasa di kaki bagian bawah / kaki.
2. Pada kondisi terdapat trombosis vena dalam, yang dapat menyebabkan lepasnya
trombus, sebaiknya dirujuk untuk dilakukan tes duplex ultrasound
3. Nyeri berat terkait dengan luka pada ekstremitas bawah.

Toe-Brachial Index (TBI)


TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien
diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada
pembuluh darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan
dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga
pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI
yang 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri. (Pdpersi, 2011)

29

Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)


Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan
suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi
yang mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk
gelombang. PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi
pada arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua,
pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita penyakit ginjal
kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki
yang terkena PAD ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika
akan dilakukan amputasi pada kaki tersebut. Interpretasi dari tes ini dapat
menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri
yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi dengan puncak yang tajam
yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar. Namun jika arteri tersebut
mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat gelombang yang pendek
dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan pemeriksaan ini untuk
menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-95%. (Pdpersi, 2011)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah,
fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Hematokrit untuk melihat
polisitemia. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin
di urine. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis. (Vascular Disease
Foundation, 2012)
Foto Thorax
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat kardiomegali. (Pdpersi, 2011)
Ultrasonografi Dupleks
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri
perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang
nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penggunaan angiografi dengan kontras. (Antono D dan Ismail D, 2009) Modalitas

30

diagnostik ini juga dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan
intervensi pada sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk
mendeteksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90%.
Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga
dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal bypass
atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu plak
pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada bagian distal
pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovascular. (Mahameed AA, 2009)
Computed Tomographic Angiography (CTA)
Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang
seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice). Sensitivitas dan
spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 9599%. Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding
arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika
intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal
penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani
dialysis. (Mahameed AA, 2009)
Magnetic Resonance Angiography (MRA)
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap
kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I
Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama
dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi. Modalitas pemeriksaan
ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan (gadolinium-based
contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada CTA
maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis
arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar 80-90%. (Antono D dan

Ismail D, 2009)
Contrast Angiography

31

Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan


merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih merupakan
standar baku emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi kontras. Pemeriksaan ini
menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan direkomendasikan oleh
ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD khususnya yang akan
menjalani tindakan revaskularisasi. Seperti halnya pemeriksaan yang menggunakan media
kontras, prosedur angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko
terjadinya nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan
hidrasi yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan setelah
tindakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl)
dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien
diabetes yang menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat
setelah angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari
setelah tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik
oral sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi
klinis termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk
dilakukan dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek samping
lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah akses kateter
pembuluh darah. (Chaniago LS, 2007)

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti
klaudikasio, meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi, serangan
penyakit jantung, stroke dan amputasi. Pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis
yang ditemukan, faktor resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang. Tiga
pendekatan utama pengobatan PAD adalah dengan mengubah gaya hidup, terapi
farmakologis dan jika dibutuhkan, dilakukan terapi intervensi dengan operasi.
(American Heart Association, 2011)

32

Gambar 3. Tatalaksana PAD (Sumber: American Heart Association, 2011)


Terapi Non-Farmakologi (Daniela C.G, 2004)
1. Perubahan pola hidup
a. Berhenti merokok
b. Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)
c. Menurunkan tekanan darah
d. Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
e. Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes
f. Olahraga teratur
2. Terapi suportif
a. Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan
memberikan krim pelembab.
b. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pasa dari bahan sintetis yang
berventilasi
c. Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke kulit
d. Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40
menit
Terapi Farmakologis
Terapi Farmakologi dapat diberikan untuk menurunkan faktor resiko yang ada
seperti menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk mengobati diabetes.
Selain itu, terapi farmakologis juga diberikan untuk mencegah terjadinya thrombus
pada arteri yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi
rasa nyeri pada pasien ketika berjalan. (Daniela C.G, 2004)
Anti cholesterol
Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala
klaudikasio intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama. HMGCo A reductase inhibitor (Simvastatin) secara signifikan mengurangi tingkat
kejadian kardiovaskular iskemik sebesar 23%. Beberapa laporan telah

33

menunjukkan bahwa statin juga meningkatkan jarak berjalan bebas rasa sakit

dan aktivitas rawat jalan


Anti hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta blocker,
angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin receptor blocker
(ARB), dan calcium channel blockers semua efektif. Penggunaan beta blockers
aman dan efektif; mengurangi kejadian koroner baru sebesar 53% pada mereka

dengan MI sebelumnya dan gejala PAD yang bersamaan.


Anti platelet
Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI, stroke dan
kematian

vascular

pada

pasien

PAD.

ACC/AHA

guidelines

telah

merekomendasikan penggunaan antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to 325 mg daily,


or clopidogrel, 75 mg daily) pada pasien PAD dengan aterosklerosis pada
ekstrimitas bawah.
Cilostazol (Pletal), adalah reversible phosphodiesterase inhibitor yang
menghambat agregasi platelet, pembentukan thrombin dan proliferasi otot polos
pembuluh darah, memicu vasodilatasi dan meningkatkan HDL dan menurunkan
kadar TG.

Pedoman ACC / AHA telah memberikan

cilostazol sebagai

rekomendasi grade IA kelas untuk pasien dengan klaudikasio intermiten dengan


dosis 100 mg dua kali sehari (diminum pada saat perut kosong setidaknya jam
sebelum atau 2 jam setelah sarapan dan makan malam). Efek samping yang
umum dari cilostazol termasuk sakit kepala (30% pasien), diare dan gangguan
lambung (15%), dan palpitasi (9%). Efek samping hanya berjangka pendek dan
jarang dilakukan penghentian obat. Kontraindikasi obat ini adalah pasien dengan
gagal jantung. (Simadibrata M dan Setiati S, 2009)
Operasi
1. Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka
sumbatan dengan cara mendorong plak ke dinding arteri. (Daniela C.G, 2004)
2. Operasi By-pass

34

Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi
dengan angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari
gejala dan tidak mengalami komplikasi apapun sesudahnya.

Gambar 3. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksaaan Pasien dengan Penyakit


Arteri Perifer
(Sumber: Simadibrata M dan Setiati S, 2009)
2. Diabetes
Definisi, klasifikasi dan diagnosis DM
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. (Schteingart DE., 2006)
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis
DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas
DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, sedangkan gejala yang tidak khas diantaranya lemas, kesemutan, luka yang
sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita).
Apabila ditemukan satu kali saja gejala khas DM, maka pemeriksaan glukosa darah
abnormal dalam satu kali saja sudah cukup digunakan untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka yang diperlukan adalah dengan
melakukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat
ditegakkan melalui cara dibawah ini. (PB PERKENI., 2011)
35

Kriteria Diagnosis DM: (PB PERKENI., 2011)


1.

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu


200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

2.

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau


Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa

126 mg/dl ( 7,0 mmol/L)


Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau
3.
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200
mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrasi yang dilarutkan ke dalam air.
3. Diabetes Melitus dan PAP
Diabetes meningkatkan risiko kejadian PAP simptomatik dan asimptomatik
sebesar 1,5-4 kali lipat, dan mengarah pada peningkatan kejadian penyakit
kardiovaskuler dan kematian lebih dini.15 Risiko terjadinya PAP proporsional dengan
keparahan dan durasi diabetes.22 Risiko terjadinya Klaudikasio intermiten juga lebih
besar pada pasien diabetes dibanding pasien non diabetes.28 Pasien diabetes dengan
PAP memiliki kemungkinan 7-15 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami amputasi
dibanding pasien non diabetes dengan PAP. (Chaniago LS., 2007)
Diabetes mellitus mengakselerasi perjalanan proses aterosklerosis, yang dapat
menghasilkan insiden penyakit perifer, koroner, dan serebrovaskular yang lebih tinggi.
Hubungan patofisiologis diabetes dalam menimbulkan PAP tidak diketahui dengan
jelas, karena terdapat dua efek langsung, yakni dari hiperglikemia serta adanya
hipertensi dan hiperlipidemia yang sering terjadi pada pasien dengan diabetes.
(Sihombing B., 2008)
Banyak bukti menunjukkan bahwa disfungsi endotel terlibat dalam patogenesis
penyakit vaskuler pada pasien diabetes. Dalam sebuah studi, didapatkan informasi
bahwa pembuluh darah pada pasien diabetes tipe-2 ternyata mengalami gangguan
relaksasi.15 Disfungsi endotel pada DM 1 terjadi karena berkurangnya sensitivitas selsel otot polos pembuluh darah terhadap NO.15 Pada individu dengan DM tipe 2,

36

disfungsi endotel tampaknya didasarkan pada penurunan bioavailabilitas NO.


(Chaniago LS., 2007)
Peningkatan produksi superoksida radikal tidak hanya menyebabkan
peningkatan inaktivasi NO, tetapi juga meningkatkan sintesis prostanoid yang
berfungsi sebagai vasokonstriktor dengan adanya pembentukan hidrogen peroksida
(H2O2) dan radikal hidroksil.15 Namun demikian, belum ditentukan dengan jelas
bahwa hiperglikemia, hiperinsulinemia, atau resistensi insulin merupakan mekanisme
penyebab disfungsi endotel pada DM-2. (Chaniago LS., 2007)
4. Pengelolaan Kaki Diabetik
Pengelolaan kaki diabetik dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum
terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan atau
deformitas (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangrene diabetik yang sudah
terjadi). (Ibrahim ZS., 2012)

Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya
ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer
ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang
belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah
timbulnya luka lain pada kulit. (Ibrahim ZS., 2012)
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkan risiko terjadinya dan
risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdasarkan risiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: (Waspadji S., 2013)
1)

Sensasi normal tanpa deformitas

2)

Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi

3)

Insensitivitas tanpa deformitas

4)

Iskemia tanpa deformitas

5)

Kombinasi/complicated

a)

Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas


37

b)

Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.


Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,

disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik,
berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah. Untuk
kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang
insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas
kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus
dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Merobah gaya hidup, menghindari rokok, memeriksa
kaki sendiri dan merawatnya setiap hari serta pemeriksaan gula darah secara teratur
perlu dilakukan. Bila perilaku yang positif telah dilaksanakan maka dampaknya adalah
gula darah terkendali. Juga perlu diberikan motivasi kepada pasien yang telah cacat
agar dia tidak kehilangan gairah hidup. (Ibrahim ZS., 2012)
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Penyuluhan diberikan
secara komprehensif agar penderita dapat memahami dan menyadari bahwa seorang
penderita diabetes dapat mengalami neuropati dan kelainan pada pembuluh darah
dengan akibat penderita diabetes lebih mudah mengalami luka dibandingkan orang
normal. Untuk itu perlu pengenalan diabetes dan komplikasinya agar pasien dapat
membantu diri sendiri hingga komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi.
(Waspadji S., 2013)
B.

Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multidisipliner sangat diperlukan.
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik untuk memperoleh hasil maksimal
dapat digolongkan sebagai berikut: (Management of peripheral arterial disease (PAD),
2000)
Pengendalian Metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan
insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan

38

diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga
harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat
oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. Semua faktor tersebut tentu akan menghmbat
kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki. (Ibrahim ZS.,
2012)
Pengendalian Vaskuler
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai
langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien.
Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di
samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun invasif dan semiinvasif,
seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, serta
pemeriksaan echo Doppler dan arteriografi. (Ibrahim ZS., 2012)
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan
untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:
Modifikasi Faktor Risiko(Management of peripheral arterial disease (PAD), 2000)
1. Stop merokok
2. Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis, hiperglikemia, hipertensi,
dyslipidemia
3. Walking program latihan kaki merupakan terapi utama yang diberikan oleh
ahli rehabilitasi medik atau fisioterapis.
Nonivasive Vascular Test
PEMERIKSAAN
Trancutaneous oxygen measurement
Ankle-brachial index

NILAI ABNORMAL
< 40 mmHg
< 0.80 : abnormal
< 0.45 : berat
< 45 mmHg

Absolute toe systolic pressure


Terapi Farmakologik

39

Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh
darah kaki penyandang DM, tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat
untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada
penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM. (Cahyadi A, 2010)
Pengobatan kaki diabetik meliputi pengendalian gula darah, penanganan kelainan
kaki, neuropati diabetik, sirkulasi darah dan penanganan infeksi serta rehabilitasi.
Pengendalian gula darah harus disertai upaya perbaikan keadaan umum penderita
dengan nutrisi yang memadai. (Ibrahim ZS., 2012)
Untuk memperbaiki neuropati diabetik kita dapat memilih untuk memakai secara
bersama obat yang melancarakan aliran darah dan yang memperbaiki metabolisme.
Dalam memperbaiki aliran darah kita harus memperbaiki struktur vaskuler yang telah
mengalami kerusakan. (Kabo Peter, 2012)
Gangguan endotel, gangguan trombosit,dan dislipidemia menjadi penyebab utama
terjadinya angiopati. Jadi selain pengendalian gula darah, yang mutlak harus dilakukan
adalah pemberian anti agregasi dan vasodilator perifer. Pemberian obat anti agregasi
diharapkan dapat memperbaiki vaskularisasi jaringan atau organ yang terserang. Ada
beberapa pilihan obat yang dapat dipakai, yaitu asetosal, pentoksifilin dan cilostazol.
(Cahyadi A, 2010)
Antibiotik diberikan bila ada infeksi. Oleh karena itu bila ditemukan infeksi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur. Tidak jarang penderita datang dengan sepsis
sehingga pemberian antibiotik tidak perlu menunggu hasil kultur. Pada keadaan ini
pilihan antibiotiknya adalah antibiotik spektrum luas atau dikombinasi dengan
golongan kloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif terhadap kuman
anaerob seperti metronidazol dan klindamisin. (Cahyadi A, 2010)
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio intermiten
yang

hebat,

tindakan

revaskularisasi

40

dapat

dianjurkan.

Sebelum

tindakan

revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran


pembuluh darah yang lebih jelas. (Kabo Peter, 2012)
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi
yang pendek dapat dipikirkan prosedur endovaskular (PTCA). Pada oklusi akut dapat
pula dilakukan tromboarterektomi. (Kabo Peter, 2012)
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, dan kesembuhan
luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang turut berperan. (Cahyadi A,
2010)
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki
vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik sebagai terapi adjuvant.
Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara
rutin pada pengelolaan umum kaki diabetik. (Kabo Peter, 2012)
Pengendalian Luka
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus
dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin.
Klasifikasi PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Dressing (pembalut)
dapat

digunakan

sesuai

dengan

keadaan

luka

dan

juga

letak

luka

tersebut. Dressing mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated dressing,


alginate dressing atau silver impregnated dressing yang

bermanfaat untuk luka

produktif dan terinfeksi. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu
mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan
sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. (Ibrahim ZS., 2012)
Untuk ulkus dan ganggren dapat dilakukan bedah minor seperti insisi, drainase
abses, debrideman, dan nekrotomi dengan tujuan mengeluarkan semua jaringan
nekrosis untuk eliminasi infeksi, hingga mempercepat penyembuhan luka.
Sebelumnya perlu diketahui batas yang tegas antara jaringan sehat dan jaringan
nekrotik hingga nekrotomi atau amputasi dapat direncanakan dengan seksama. Pada
peradangan yang berat/luas disertai penyebaran yang sangat cepat, amputasi harus
dipertimbangkan dengan segera. Bila ditunda, tidak jarang dapat mengakibatkan
septikemia. (Cahyadi A, 2010)

41

Selama proses inflamasi masih ada, tidak akan terjadi proses granulasi dan
epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka,dapat pula dipakai
kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai
tempat perawatan kaki diabetik. (Ibrahim ZS., 2012)
Pengendalian Metabolik dan Infeksi
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah
yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan
kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial,
campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam
dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan
antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya
golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman
anaerob (misalnya metronidazol). (Schteingart DE., 2006)
Pengendalian Mekanik dan Tekanan
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area pada
plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan
terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearingdapat
dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary
shoes, felt

padding, crutches, wheelchair, electric

carts,

maupun cradled

insoles. (Daniela C.G., 2004)


Berbagai metode pembedahan juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada
luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah
(misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon
lengthening, dan partial calcanectomy). (Cahyadi A, 2010)
Pengendalian Edukasional
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik. Dengan
penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun

42

keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. (Schteingart DE., 2006)
Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan
untuk pengelolaan kaki diabetik. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik
dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medik sangat
diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Pemakaian
alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu
mencegah terjadinya ulkus baru. (Cahyadi A, 2010)
Prognosis
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin
tua usia penderita diabetes melitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah
yang serius pada kaki dan tungkainya. Selain itu, lamanya menderita diabetes melitus,
adanya infeksi yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga
medis atau paramedis mempengaruhi proses penyembuhan luka, sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi prognosis. (Simadibrata M dan Setiati S, 2009)

43

Daftar Pustaka
American Heart Association. Management of patients with perhiperal artery disease.
2011; Dallas.
Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi
kelima. Jakarta: Interna publishing; 2009.h:1831-6.
Cahyadi A. Terapi terbaru diabetes melitus tipe 2. Medika Jurnal Kedokteran
Indonesia. 2010. Volume 36 (12). Available from: http://jurnalmedika. com/edisitahun-2010/edisi-no-12-volxxxvi-2010/264-artikel-penyegar/470terapi-terbarudiabetes-melitus-tipe-2 [Accesed on Oct 19th 2012].
Chaniago LS. Penyakit Arteri Perifer pada Sindroma Metabolik [Tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2007.
Daniela C.Gey. in : management of peripheral arterial disease. Vol 69,
Germany.University of Heidelberg School of Medicine, Heidelberg, 2004.
Hanafi M. Penyakit pembuluh darah perifer . In: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,eds.
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
h. 185-9

44

Ibrahim ZS. Pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pasien
diabates melitus tipe 2 Di RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2012 [skripsi]. Jakarta:
Universitas Pembangunan Nasional Veteran; 2012.
Kabo Peter, Prof. atherosclerosis dan atherotrombosis. In: Bagaimana menggunakan
obat- obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012 h. 38-59
Mahameed AA, Peripheral Arterial Disease. 2009. Available from :
http://www.clevelandclinicmeded.com/
Management of peripheral arterial disease (PAD). TASC Working Group.
TransAtlantic Inter-Society Concensus (TASC). J Vasc Surg. 31: 2000.
National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial
disease : diagnosis and management. August, 2012. UK
Pdpersi. RI Ranking keempat jumlah penderita diabetes terbanyak dunia. 2011. URL:
http://pdpersi.co.id/content/news. php?mid=5&nid=618&catid=23 [Accesed on
Oct 8,2012].
PB PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta; 2011.
Rangkuti DM. Hubungan kejadian penyakit arteri perifer dengan lamanya menjalani
hemodialisi November 2007Januari 2008 [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2008.
Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price
SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
volume II, edisi keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.126370.
Sihombing B. Prevalensi penyakit arteri perifer pada populasi penyakit diabetes
melitus di Puskesmas Kota Medan Januari-Juli 2008. [Tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi
kelima. Jakarta: Interna publishing, 2009. h.1961.

45

Vascular

Disease

Foundation.

PAD

risk

factors.

Available

from:

http://vasculardisease.org/peripheral-artery-disease/ pad-risk-factors/ [Accesed on


Oct 20th 2012].
Vascular

Disease

Foundation.

Ankle

Brachial

Index.

Available

from:

http://vasculardisease.org/peripheralartery-disease/pad-diagnosis/anklebrachialindex/ [Accesed on Oct 18th 2012].


Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, 12 Jurnal eCliniC, Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 7-12

46

You might also like