You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1
1.
2.
3.

Tujuan Percobaan
Menentukan karakteristik limbah B3
Menjelaskan cara pengolahan limbah B3
Menganalisa limbah B3 dengan cara fisika

1.2 Landasan Teori


Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan atau proses produksi. Awal
munculnya limbah bermula dari aktifitas manusia ynag bisa berupa kegiatan industri,
rumag tangga, dll. Aktifitas tersebut bisa jadi menggunakan bahan awal yang
memang sudah mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Sebuah aktifitas
industri, disamping menghasilkan produk bermanfaat tentu juga menghasilkan limbah
yang mudah diolah dan limbah B3. Yang memerlukan penanganan ekstra adalah cara
penanganan limbah B3 agar tidak berbahaya untuk lingkungan, kesehatan manusia
dan makhluk hidup lain. Dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan pengendalian
pencemaranlimbah B3 merupakan kewajiban bagi sebuah industri disemua sektor dan
bidang industri.
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk
mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya atau
tidak beracun atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun atau memungkinkan
agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Pengolahan limbah B3
merupakan suatu kegiatan yang cukup banyak, antara lain mencakup : penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan pengolahan dan penimbunan atau pembuangan akhir.
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan
mencegah pencemaran lingkungan.
Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika dan

kimia, stabilisasi/solidifikasi, biologis, dan insenerasi (secara thermal). Proses


pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah
B3 atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak
berbahaya. Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk
mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa
pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk
massa monolit dengan struktur yang kekar. Sedangkan proses pengolahan secara
insenerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa yang terkandung didalamnya
menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Pemilihan proses pengolahan limbah
B3, teknologi dan penerapannya didasari atas evaluasi kriteria yang menyangkut
kerja, keluwesan, kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang digunakan, dan
pertimabangan lingkungan. Timbunan limabah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau
dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi
persyaratn yang telah ditetapkan.
1.2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Limbah B3 (Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah sisa suatu usaha
atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat,
konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat
mencemarkan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Bentuk limbah B3 adalah padat, cair dan
udara. Jenis limbah tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga memerlukan
metoda pengelolaan limbah yang berbeda pula, sebelum dibuang ke lingkungan.
Ada beberapa karakteristik limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) :
1. Mudah meledak (eksplosif) (misal : bahan peledak)
2. Mudah terbakar (misal : bahan bakar Extremely flammable and Highly
flammable)
3. Bersifat reaktif (misal : bahan-bahan oksidator)
4. Berbahaya/harmful (misal : logam berat)
5. Menyebabkan infeksi (misal : limbah medis rumah sakit)

6.
7.
8.
9.

Bersifat korosif (asam kuat)


Bersifat irritatif (basa kuat)
Beracun (produk uji toksikologi)
Karsinogenik, Mutagenik dan Teratogenik (merkuri, turunan benzena,

beberapa zat warna)


10. Bahan Radioaktif (Uranium, plutonium, dll)
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik dan
komposisi limbah B3 untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahaya atau sifat
racun. Tujuan dari pengolahan limbah B3 adalah untuk mengurangi, memisahkan,
mengisolasi atau menghancurkan sifat/kontaminan yang berbahaya.
Jenis pengolahan limbah, secara garis besar dapat dikelompokkan atas :
1. Pengolahan fisika-kimia
2. Pengolahan biologis
3. Pengolahan thermal
Jenis pengolahan limbah B3 dapat dikelompokkan atas :
1. Pengolahan secara Fisika/Kimia
Stabilisasi/Solidifikasi
Filtrasi dan Separasi
Oresipitasi Kimia
Reduksi dan Oksidasi
Evaporasi
2. Pengolahan secara Biologi
Aerobic/An-aerobic Digestion
Composting
3. Pengolahan secara Thermal
Insenerasi Tanur Putar
Insenerasi Tanur Semen
Insenerasi Katalitik
Peleburan Gelas dan Oksidasi Termal
1.2.1.1 Pengolahan Limbah B3 secara reaksi kimia atau fisika
Yang harus diperhatikan adalah pada penentuan jenis limbahnya, apakah limbah
organik atau anorganik. Proses reaksi kimia/fisika yang dilakukan adalah :

pH control

redox potential control


precipitation (carbonate, sulfide, silicate)
adsorption
chemisorption
passivation
ion exchange
diadochy
reprecipitation
encapsulation (micro and macro-encapsulation)

1.2.1.2 Kriteria proses pengolahan limbah B3 dengan cara Stabilisasi


Menghilang atau mengurangi potensi racun dan kandungan B3
Melalui
upaya
memperkecil
atau
membatasi
daya

larut,

pergerakan/penyebaran dan daya racunnya


Sebelum dilakukan penimbunan dalam landfill limbah B3
Umumnya dilakukan untuk limbah an-organik
Kriteria pengujian dan baku mutu :
- Uji TCLP
- Uji Compressive Strength
- Uji Paint Filter

Contoh reaksi presipitasi, pada proses stabilisasi polutan Hg dan Cr

Hg++ + S=
HgS
6+
Cr + 3 e
Cr3+
Cr3+ + 3 OH- Cr(OH)3

Tahapan proses kimia/fisika sangan kompleks, namun operasi sederhana. Produk


stabilisasi merupakan suatu ikatan massa monolit dengan struktur yang masif. TCLP
= Toxicity Characteristic Leaching Procedure, Ekstrasi secara dinamik selama 18 jam
oleh pelarut buffer pada PH tertentu (US-EPA Method No. 1311).
1.2.1.3 Pengolahan limbah B3 secara biologis, mengacu kepada KepMen
128/2003
Detoksifikasi atau penurunan kadar polutan dengan dengan agen biologis
Persyaratan material yang diolah
Persyaratan konstruksi pengolahan
Persyaratan operasional

Target kriteria akhir pengolahan


Penanganan bahan hasil olahan
Pemantauan bahan hasil olahan
Pelaporan 6 bulan sekali

1.2.1.4 Pengolahan Limbah B3 secara Thermal (Incenerator)


Prinsip pengolahan limbah B3 secara thermal adalah pemusnahan limbah
dengan cara pemberian panas ada suhu tinggi (Self destruction).
-

Limbah : pada umumnya untuk senyawa organik, flash point < 40oC
Incenerator : tipe, suhu pembakaran, waktu tinggal, tinggi snack, air

supply, bahan bakar


Emisi memenuhi baku mutu
Effisiensi pembakaran
DRE dan dioxin (hanya untuk yang membakar PHOCs)
Perkiraan dampak terhadap udara ambient
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total
solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile
solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta
karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat
mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa
kimia).

1.2.2

Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang

paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/stabilization,


dan inceneration.

1.2.2.1 Chemical Conditioning


Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical coditioning.
Tujuan utama dari chemical conditioning ialah :
1. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur

2. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur


3. Mendestruksi organisme patogen
4. Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion
5. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan
aman dan dapat diterima lingkungan.
Chemical Conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang kaan diolah
dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada
tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada
dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar air pada tahapan
de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge,
beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal
ini.
2. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses
pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia
berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan
partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan
bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian
secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzin dan
reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning,
anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation,
chemical conditioning dan elutriation.
3. De-watering and dying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi

kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada
tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan
adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter dan belt press.
4. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang
terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolisis, wet air oxidation dan composting.
Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya sanitary landfill, crop land, atau
injection well.

1.2.2.2 Solidification/Stabilization
Disamping chemical conditioning, teknologi solidification/stabilization juga
dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan
aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai
arti yang sama. Proses dolidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan, yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulationtetapi bahan
pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik
3. Presipitation
4. Adsorbsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia
pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya
ke bahan padat.
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama
sekali.

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur


(ca(OH)2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda
in-drum

mixing,

in-situ

solidifikasi/stabilisasi

mixing,

diatur

dan
oleh

plant

mixing.

BAPEDAL

Peraturan
berdasarkan

mengenai
Kep-

03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.


1.2.2.3 Inceneration
Teknologi pembakaran (inceneration) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insenerasi mengurangi volume dan massa limbah
hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi
final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan
limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses
insenerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insenerasi memiliki
beberapa kelebihan dimana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat
dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insenerasi memerlukan
lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insenerasi adalah nilai kandungan energi
(heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan
berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya
energi yang dapat diperoleh dari sistem insenerasi. Jenis insenerator yang paling
umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple
hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueos waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insenerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair dan gas
sedihasilkan cara simultan.
Bahaya fisik bahan berbahaya dan beracun (B3)
Bahaya keshatan meliputi :

1. Irritants : Zat kimia yang menyebabkan iritasi atau reaksi peradangan bila kontak
dengan tubuh.
Contoh :

Powdered chemicals
Cutting oils
Solvens
2. Sensitizers : Zat kimia yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan
sementara/alergi. Biasanya tidak ada masalah pada kontak pertama tetapi dapat
menyebabkan alergi pada kontak berikutnya.
Contoh :
Isocuantes/formaldehydes (digunakan sebagai lem dan busa)
Senyawa nickel (plating/metal cutting oils/jewelry)
3. Reproductive Hazard
4. Carsinogen
5. Beracun (toksik)
Contoh : Limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cu, Cd, Fe, Pb, Mn, Hg, san
Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd
dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan
dari industri klor-alkali, industri cat, kegiaan pertambangan, industri kertas, serta
pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu.
Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi
rendah.
1.2.3

Kajian Teoritis Percobaan


Limbah industri yang mengandung logam berat tidak dapat dibuang langsung

ke perairan, karena berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkunganya.


Salah satu metodeyang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar dari limbah
logam berat adalah adsorpsi (Rios et al. 1999 dan Saiful et al. 2005). Adsorpsi
merupakan terjerapnya suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan adsorben.
Mekanisme penjerapan tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu, jerapan fisika

(fisiosorpsi) dan jerapan secara kimia (kemisorpsi). Adsorpsi adalah suatu proses
yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat kepada suatu padatan dan
akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan tersebut. Adsorpsi
berbeda dengan absorpsi, dimana pada absorpsi fluida terserap oleh fluida lainnya
dengan membentuk suatu larutan. Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan
adsorben, dimana adsorbat adalah substansi yang terjerap atau substansi yang akan
dipisahkan dari pelarutnya misalnya logam berat seperti Cu, Cr, Pb, Cd dan lain-lain,
sedangkan adsorben merupakan suatu media penyerap yang dalam hal ini bisa berupa
lempung, karbon aktif, zeolit atau dari limbah biomassa seperti serbuk gergaji atau
ampas tebu yang dihaluskan.
Cara lain yang dikembangkan untuk mengolah limbah cair yang mengandung
logam berat adalah flotasi. Proses flotasi lebih mampu memisahkan partikel-partikel
yang berukuran kecil secara sempurna dan lebih selektif dibandingkan proses-proses
pengolahan limbah lain. Disamping itu flotasi juga lebih menguntungkan karena
pemisahannya lebih cepat dan biaya operasinya relatif lebih murah. Pada flotasi,
separasi dihasilkan oleh gelembung-gelembung gas (diffuser) yang digunakan. Gas
yang ditambahkan ke dalam larutan air limbah akan mengalami kontak dengan
partikel-partikel kandungan air limbah, sehingga menghasilkan gaya apung yang
cukup besar, yang menyebabkan partikel-partikel tersebut mengapung ke permukaan.
Diffuser yang umum digunakan dalam proses flotasi adalah udara atau oksigen.
Udara/oksigen sebagai diffuser atau dapat juga ozon karena mempunyai kemiripan
sifat dengan oksigen dengan beberapa kelebihan diantaranya : merupakan oksidator
yang lebih kuat dan lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan oksigen, dan
juga merupakan bahan bantu koagulan dan disinfektan.
1.2.4

Tanah Lempung
Tanah liat atau lempung dihasilkan oleh alam, yang bersal dari pelapukan

kerak bumi yang sebagian besar tersusun oleh batuan feldspatik, terdiri dari batuan

granit dan batuan beku. Kerak bumi terdiri dari unsur unsur seperti silikon, oksigen,
dan aluminium. Aktivitas panas bumi membuat pelapukan batuan silika oleh asam
karbonat, kemudian membentuk terjadinya tanah liat. Tanah Liat atau tanah lempung
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tanahnya sulit menyerap air sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan
pertanian.
2. Tekstur tanahnya cenderung lengket bila dalam keadaan basah dan kuat
menyatu antara butiran tanah yang satu dengan lainnya.
3. Dalam keadaan kering, butiran tanahnya terpecah-pecah secara halus.
4. Merupakan bahan baku pembuatan tembikar dan kerajinan tangan lainnya
yang dalam pembuatannya harus dibakar dengan suhu di atas 10000C.

Gambar 1.1 Potensi lahan galian tanah liat


1.2.4.1 Jenis-Jenis Tanah Liat
a. Tanah Liat Primer
Yang disebut tanah liat primer (residu) adalah jenis tanah liat yang
dihasilkan dari pelapukan batuan feldspatik oleh tenaga endogen yang tidak
berpindah dari batuan induk (batuan asalnya), karena tanah liat tidak berpindah
tempat sehingga sifatnya lebih murni dibandingkan dengan tanah liat sekunder. Selain
tenaga air, tenaga uap panas yang keluar dari dalam bumi mempunyai andil dalam
pembentukan tanah liat primer. Karena tidak terbawa arus air dan tidak tercampur
dengan bahan organik seperti humus, ranting, atau daun busuk dan sebagainya, maka
tanah liat berwarna putih atau putih kusam. Suhu matang berkisar antara 1300 0C

14000C, bahkan ada yang mencapai 17500C. Yang termasuk tanah liat primer antara
lain: kaolin, bentonite, feldspatik, kwarsa dan dolomite, biasanya terdapat di tempattempat yang lebih tinggi daripada letak tanah sekunder. Pada umumnya batuan keras
basalt dan andesit akan memberikan lempung merah sedangkan granit akan
memberikan lempung putih. Mineral kwarsa dan alumina dapat digolongkan sebagai
jenis tanah liat primer karena merupakan hasil samping pelapukan batuan feldspatik
yang menghasilkan tanah liat kaolinit.
Tanah liat primer memiliki ciri-ciri:

warna putih sampai putih kusam

cenderung berbutir kasar,

tidak plastis,

daya lebur tinggi,

daya susut kecil

bersifat tahan api

Dalam keadaan kering, tanah liat primer sangat rapuh sehingga mudah
ditumbuk menjadi tepung. Hal ini disebabkan partikelnya yang terbentuk tidak
simetris dan bersudut-sudut tidak seperti partikel tanah liat sekunder yang berupa
lempengan sejajar. Secara sederhana dapat dijelaskan melalui gambar penampang
irisan partikel kwarsa yang telah dibesarkan beberapa ribu kali. Dalam gambar di
bawah ini tampak kedua partikel dilapisi lapisan air (water film), tetapi karena
bentuknya tidak datar/asimetris, lapisan air tidak saling bersambungan, akibatnya
partikel-partikel tidak saling menggelincir.

Gambar 1.2 Penampang irisan partikel kwarsa


b. Tanah Liat Sekunder
Tanah liat sekunder atau sedimen (endapan) adalah jenis tanah liat hasil
pelapukan batuan feldspatik yang berpindah jauh dari batuan induknya karena tenaga
eksogen yang menyebabkan butiran-butiran tanah liat lepas dan mengendap pada
daerah rendah seperti lembah sungai, tanah rawa, tanah marine, tanah danau. Dalam
perjalanan karena air dan angin, tanah liat bercampur dengan bahan-bahan organik
maupun anorganik sehingga merubah sifat-sifat kimia maupun fisika tanah liat
menjadi partikel-partikel yang menghasilkan tanah liat sekunder yang lebih halus dan
lebih plastis.

Gambar 1.3 Sumber tanah liat sekunder di alam

Jumlah tanah liat sekunder lebih lebih banyak dari tanah liat primer.
Transportasi air mempunyai pengaruh khusus pada tanah liat, salah satunya ialah
gerakan arus air cenderung menggerus mineral tanah liat menjadi partikel-partikel
yang semakin mengecil. Pada saat kecepatan arus melambat, partikel yang lebih berat
akan mengendap dan meninggalkan partikel yang halus dalam larutan. Pada saat arus
tenang, seperti di danau atau di laut, partikel partikel yang halus akan mengendap di
dasarnya. Tanah liat yang dipindahkan bisaanya terbentuk dari beberapa macam jenis
tanah liat dan berasal dari beberapa sumber. Dalam setiap sungai, endapan tanah liat
dari beberapa situs cenderung bercampur bersama. Kehadiran berbagai oksida logam
seperti besi, nikel, titan, mangan dan sebagainya, dari sudut ilmu keramik dianggap
sebagai bahan pengotor. Bahan organik seperti humus dan daun busuk juga
merupakan bahan pengotor tanah liat.
Karena pembentukannya melalui proses panjang dan bercampur dengan bahan
pengotor, maka tanah liat mempunyai sifat: berbutir halus, berwarna krem/abuabu/coklat/merah jambu/kuning, suhu matang antara 9000C-14000C. Pada umumnya
tanah liat sekunder lebih plastis dan mempunyai daya susut yang lebih besar daripada
tanah liat primer.
Semakin tinggi suhu bakarnya semakin keras dan semakin kecil porositasnya,
sehingga benda keramik menjadi kedap air. Dibanding dengan tanah liat primer, tanah
liat sekunder mempunyai ciri tidak murni, warna lebih gelap, berbutir lebih halus dan
mempunyai titik lebur yang relatif lebih rendah. Setelah dibakar tanah liat sekunder
biasanya berwarna krem, abu-abu muda sampai coklat muda ke tua.
Tanah liat sekunder memiliki ciri-ciri:

Kurang murni.

Cenderung berbutir halus.

Plastis.

Warna krem/abu-abu/coklat/merah jambu/kuning, kuning muda,


kuning kecoklatan, kemerahan, kehitaman.

Daya susut tinggi.

Suhu bakar 12000C13000C, ada yang sampai 14000C (fireclay,


stoneware, ballclay).

Suhu bakar rendah 9000C11800C, ada yang sampai 12000C


(earthenware).

Warna tanah tanah alami terjadi karena adanya unsur oksida besi dan unsur
organis, yang biasanya akan berwama bakar kuning kecoklatan, coklat, merah, wama
karat, atau coklat tua, tergantung dan jumlah oksida besi dan kotoran-kotoran yang
terkandung. Biasanya kandungan oksida besi sekitar 2%-5%, dengan adanya unsur
tersebut tanah cenderung berwarna Iebih gelap, biasanya matang pada suhu yang
lebih rendah, kebalikannya adalah tanah berwama lebih terang atau pun putih akan
matang pada suhu yang lebih tinggi.

Gambar 1.4 Tanah liat sekunder


Menurut titik leburnya, tanah liat sekunder dapat dibagi menjadi lima
kelompok besar, yaitu:
1. Tanah Liat Tahan Api (Fireclay).
Kebanyakan tanah liat tahan api berwarna terang (putih) ke abu-abu gelap
menuju ke hitam dan ditemukan di alam dalam bentuk bongkahan padat, beberapa
diantaranya berkadar alumina tinggi dan berkadar alkali rendah. Titik leburnya

mencapai suhu 1500 C. Yang tergolong tanah liat tahan api ialah tanah liat yang
tahan dibakar pada suhu tinggi tanpa mengubah bentuk, misalnya kaolin dan mineral
tahan api seperti alumina dan silika. Bahan ini sering digunakan untuk bahan
campuran pembuatan massa badan siap pakai, untuk produk stoneware maupun
porselin. Karena beberapa sifatnya yang menguntungkan, antara lain berwarna putih,
mempunyai daya lentur dan sebagainya, maka Kaolin juga dipakai sebagai bahan
pengisi untuk produk kertas dan kosmetik.
2. Tanah Liat Stoneware.
Tanah liat stoneware ialah tanah liat yang dalam pembakaran gerabah
(earthenware) tanpa diserta perubahan bentuk. Titik lebur tanah liat stoneware bisa
mencapai suhu 1400 C. Bisaanya berwarna abu-abu, plastis, mempunyai sifat tahan
api dan ukuran butir tidak terlalu halus. Jumlah deposit di alam tidak sebanyak
deposit kaolin atau mineral tahan api. Tanah liat stoneware dapat digunakan sebagai
bahan utama pembuatan benda keramik alat rumah tangga tanpa atau menggunakan
campuran bahan lain. Setelah suhu pembakaran mencapai 1250 C, sifat fisikanya
berubah menjadi keras seperti batu, padat, kedap air dan bila diketuk bersuara
nyaring.

Gambar 1.5 Tanah liat stoneware


3. Ballclay.
Disebut juga sebagai tanah liat sendimen. Ball Clay berbutir halus,
mempunyai tingkat plastisitas sangat tinggi, daya susutnya besar dan bisaanya

berwarna abu-abu. Tanah liat ini mempunyai titik lebur antara 1250 C s/d 1350 C.
Karena sangat plastis, ball clay hanya dapat dipakai sebagai bahan campuran
pembuatan massa tanah liat siap pakai.
4. Tanah Liat Earthenware.
Bahan ini sangat banyak terdapat di alam. Tanah liat ini memiliki tingkat
plastisitas yang cukup, sehingga mudah dibentuk, warna bakar merah coklat dan titik
leburnya sekitar 1100 C s/d 1200 C. Tanah liat merah banyak digunakan di industri
genteng dan gerabah kasar dan halus. Warna alaminya tidak merah terang tetapi
merah karat, karena kandungan besinya mencapai 8%. Bila diglasir warnanya akan
lebih kaya, khususnya dengan menggunakan glasir timbal.
5. Tanah Liat lainnya
Yang termasuk kelompok ini adalah jenis tanah liat monmorilinit. Contohnya
bentonit yang sangat halus dan rekat sekali. Tanah liat ini hanya digunakan sebagai
bahan campuran massa badan kaolinit dalam jumlah yang relatif kecil.
1.2.5

Spektroskopi Sinar Tampak (Visible)


Spektroskopi visible disebut juga spektroskopi sinar tampak. Yang dimaksud

sinar tampak adalah sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia. Cahaya yang dapat
dilihat oleh mata manusia adalah cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm dan
memiliki energi sebesar 299149 kJ/mol.
Elektron pada keadaan normal atau berada pada kulit atom dengan energi
terendah disebut keadaan dasar (ground-state). Energi yang dimiliki sinar tampak
mampu membuat elektron tereksitasi dari keadaan dasar menuju kulit atom yang
memiliki energi lebih tinggi atau menuju keadaan tereksitasi.
Cahaya yang diserap oleh suatu zat berbeda dengan cahaya yang ditangkap

oleh mata manusia. Cahaya yang tampak atau cahaya yang dilihat dalam kehidupan
sehari-hari disebut warna komplementer. Misalnya suatu zat akan berwarna orange
bila menyerap warna biru dari spektrum sinar tampak dan suatu zat akan berwarna
hitam bila menyerap semua warna yang terdapat pada spektrum sinar tampak. Untuk
lebih jelasnya disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Warna yang diserap dan warna yang terlihat oleh mata pada
berbagai panjang gelombang

Panjang

Warna-warna yang

Warna komplementer

gelombang (nm)

diserap

(warna yang terlihat)

400 435

Ungu

Hijau kekuningan

435 480

Biru

Kuning

480 490

Biru kehijauan

Jingga

490 500

Hijau kebiruan

Merah

500 560

Hijau

Ungu kemerahan

560 580

Hijau kekuningan

Ungu

580 595

Kuning

Biru

595 610

Jingga

Biru kehijauan

610 800

Merah

Hijau kebiruan

Pada spektrofotometer sinar tampak, sumber cahaya biasanya menggunakan


lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram. Wolfram merupakan salah satu
unsur kimia, dalam tabel periodik unsur wolfram termasuk golongan unsur transisi
tepatnya golongan VIB atau golongan 6 dengan simbol W dan nomor atom 74.
Wolfram digunakan sebagai lampu pada spektroskopi tidak terlepas dari sifatnya yang
memiliki titik didih yang sangat tinggi yakni 5930 C.

Gambar 1.6 Spektroskopi sinar tampak


Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis adalah panjang
gelombang dimana suatu zat memberikan penyerapan paling tinggi yang disebut maks.
Hal ini disebabkan jika pengukuran dilakukan pada panjang gelombang yang sama,
maka data yang diperoleh makin akurat atau kesalahan yang muncul makin kecil.
Berdasarkan hukum Beer absorbansi akan berbanding lurus dengan
konsentrasi, karena b atau l harganya 1 cm dapat diabaikan dan merupakan suatu
tetapan. Artinya konsentrasi makin tinggi maka absorbansi yang dihasilkan makin
tinggi, begitupun sebaliknya konsentrasi makin rendah absorbansi yang dihasilkan
makin rendah.

Hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi akan linear (AC) apabila


nilai absorbansi larutan antara 0,2-0,8 (0,2 A 0,8) atau sering disebut sebagai
daerah berlaku hukum Lambert-Beer. Jika absorbansi yang diperoleh lebih besar
maka hubungan absorbansi tidak linear lagi. Kurva kalibarasi hubungan antara
absorbansi versus konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 1.7.

Gambar 1.7 Kurva hubungan absorbansi vs konsentrasi


Faktor-faktor yang menyebabkan absorbansi vs konsentrasi tidak linear:
1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis
termasuk zat pembentuk warna.
2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa,
namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat
rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan
konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan
(melalui pengenceran atau pemekatan).
Zat yang dapat dianalisis menggunakan spektroskopi sinar tampak adalah zat
dalam bentuk larutan dan zat tersebut harus tampak berwarna, sehingga analisis yang
didasarkan pada pembentukan larutan berwarna disebut juga metode kolorimetri. Jika
tidak berwarna maka larutan tersebut harus dijadikan berwarna dengan cara memberi
reagen tertentu yang spesifik. Dikatakan spesifik karena hanya bereaksi dengan spesi
yang akan dianalisis. Reagen ini disebut reagen pembentuk warna (chromogenik

reagent). Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh reagen pembentuk warna:
1. Kestabilan dalam larutan. Pereaksi-pereaksi yang berubah sifatnya dalam
waktu beberapa jam, dapat menyebabkan timbulnya semacam cendawan bila
disimpan. Oleh sebab itu harus dibuat baru dan kurva kalibarasi yang baru
harus dibuat saat setiap kali analisis.
2. Pembentukan warna yang dianalisis harus cepat.
3. Reaksi dengan komponen yang dianalisa harus berlangsung secara
stoikiometrik.
4. Pereaksi tidak boleh menyerap cahaya dalam spektrum dimana dilakukan
pengukuran.
5. Pereaksi harus selektif dan spesifik (khas) untuk komponen yang dianalisa,
sehingga warna yang terjadi benar-benar merupakan ukuran bagi komponen
tersebut saja.
6. Tidak boleh ada gangguan-gangguan dari komponen-komponen lain dalam
larutan yang dapat mengubah zat pereaksi atau komponen komponen yang
dianalisa menjadi suatu bentuk atau kompleks yang tidak berwarna, sehingga
pembentukan warna yang dikehandaki tidak sempurna.
7. Pereaksi yang dipakai harus dapat menimbulkan hasil reaksi berwarna yang
dikehendaki dengan komponen yang dianalisa, dalam pelarut yang dipakai.
Setelah ditambahkan reagen atau zat pembentuk warna maka larutan tersebut harus
memiliki lima sifat di bawah ini:
1. Kestabilan warna yang cukup lama guna memungkinkan pengukuran
absorbansi dengan teliti. Ketidakstabilan, yang mengakibatkan menyusutnya
warna larutan (fading), disebabkan oleh oksidasi oleh udara, penguraian
secara fotokimia, pengaruh keasaman, suhu dan jenis pelarut. Namun kadangkadang dengan mengubah kondisi larutan dapat diperoleh kestabilan yang
lebih baik.
2. Warna larutan yang akan diukur harus mempunyai intensitas yang cukup
tinggi (warna harus cukup tua) yang berarti bahwa absortivitas molarnya ()
besar. Hal ini dapat dikontrol dengan mengubah pelarutnya. Dalam hal ini
dengan memilih pereaksi yang memiliki kepekaan yang cukup tinggi.

3. Warna larutan yang diukur sebaiknya bebas daripada pengaruh variasi-variasi


kecil kecil dalam nilai pH, suhu maupun kondisis-kondisi yang lain.
4. Hasil reaksi yang berwarna ini harus larut dalam pelarut yang dipakai.
5. Sistem yang berwarna ini harus memenuhi Hukum Lambert-Beer.
Konsentrasi sampel dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan rumus yang
diturunkan dari hukum lambert beer (A= a . b . c atau A = . b . c). Namun ada cara
lain yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu spesi yang ada dalam
suatu larutan yakni dengan cara kurva kalibarasi. Cara ini sebenarnya masih tetap
bertumpu pada hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penentuan konsentrasi zat
dengan kurva kalibarasi:
1. Maching kuvet : mencari dua buah kuvet yang memiliki absorbansi atau
transmitansi sama atau hampir sama. Dua buah kuvet inilah yang akan
digunakan untuk analisis, satu untuk blanko, satu untuk sampel. Dalam
melakukan analisis Maching kuvet harus dilakukan agar kesalahannya makin
kecil.
2. Membuat larutan standar pada berbagai konsentrasi. Larutan standar yaitu
larutan yang konsentrasinya telah diketahui secara pasti. Konsentrasi larutan
standar dibuat dari yang lebih kecil sampai lebih besar dari konsentrasi analit
yang diperkirakan.
3. Ambilah salah satu larutan standar, kemudian ukur pada berbagai panjang
gelombang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada panjang gelombang
berapa, absorbansi yang dihasilkan paling besar. Panjang gelombang yang
menghasilkan absorbansi paling besar atau paling tinggi disebut panjang
gelombang maksimum (lmaks).
4. Ukurlah absorbansi semua larutan standar yang telah dibuat pada panjang
gelombang maksimum.

5. Catat absorbansi yang dihasilkan dari semua larutan standar, kemudian


alurkan pada grafik absorbansi vs konsentrasi sehingga diperoleh suatu kurva
yang disebut kurva kalibarasi. Dari hukum Lambart-Beer jika absorbansi
yang dihasilkan berkisar antara 0,2-0,8 maka grafik akan berbentuk garis
lurus, namun hal ini tidak dapat dipastikan.
Misalkan absorbansi yang dihasilkan dari larutan standar yang telah dibuat adalah:
Absorbans
i

konsentras
i

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm 12 ppm 14 ppm 16 ppm

Grafiknya adalah:

6. Ukurlah absorbansi larutan yang belum diketahui konsentrasinya. Setelah


diperoleh absorbansinya, masukan nilai tersebut pada grafik yang diperoleh
pada langkah 5. Misalkan absorbansi yang diperoleh 0,6. Maka jika ditarik
garis lurus konsentrasi sampel akan sama dengan konsentrasi larutan standar
10 ppm. Maka grafiknya sebagai berikut:

Selain dengan cara diatas konsentrasi sampel dapat dihitung dengan persamaan
regresi linear:

persamaan di atas dapat dihitung dengan bantuan kalkulator. Setelah diperoleh


persamaan di atas, absorbansi sampel yang diperoleh dimasukan sebagai nila y
sehingga diperoleh nila x. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi sampel yang
dianalisis.

You might also like