You are on page 1of 16

Savepaperandfollow@newyorkeronTwitter

ModulPelatihanMeliputPilkadaBerbasisOpenData

0.1

Pendahuluan

1.1

Peluang dan Tantangan Pilkada Serentak

1.2

Mencegah Korupsi dengan LHKPN

1.3

Open Tender dan Penanganan Korupsi

1.4

Membaca Laporan Badan Pemeriksa Keuangan

1.5

Jurnalisme Investigasi Berbasis Open Data

1.6

Pengantar Kritis Membaca Data/Informasi

1.7

Investigasi dan Data

1.8

Mendorong Implementasi UU

1.9

PENDAHULUAN

Pada awal Desember 2015, Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di 269 kabupaten/kota
dan provinsi. Sebagian dari peserta pilkada ini adalah calon petahana yang ada di berbagai wilayah di Indonesia. Majunya
kembali pasangan petahana memunculkan kekhawatiran terkait dengan potensi penyalahgunaan anggaran pemerintah daerah
untuk kepentingan pemenangan calon petahana tersebut.
Melihat potensi masalah ini, Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING) Perhimpunan Pengembangan Media
Nusantara (PPMN) telah menyelenggarakan pelatihan peliputan investigasi bagi jurnalis terkait dengan Pemilihan Kepala
Daerah Serentak. Akan tetapi, berbeda dengan investigasi pada umumnya, kali ini kami memperkenalkan jurnalisme investigasi
berbasiskan open data atau data terbuka.
Ada beberapa alasan mengapa liputan investigasi berbasis open data dinilai tepat untuk menelisik permasalahan seputar
potensi penyalahgunaan anggaran daerah maupun kewenangan para petahana dalam Pilkada serentak 2015 ini:
Pertama, dalam suatu pertarungan politik seperti Pilkada, wartawan ada dalam kondisi yang rawan dalam tarik menarik
kepentingan yang ada. Sejumlah narasumber yang dihubungi wartawan pun bisa terjerumus dalam kubu-kubu politik tersebut
dan pada akhirnya akan mengurangi imparsialitas dalam liputannya.
Untuk itu, peliputan investigasi berdasarkan data bisa menjadi solusi alternatif untuk mengungkap hal yang tidak muncul ke
permukaan dan data yang terbuka juga membuat hasil liputan lebih valid, objektif dan bebas kepentingan.
Kedua wartawan membutuhkan metode penelusuran jurnalistik yang tepat sasaran dan efektif, terlebih ketika situasi
politik memanas menjelang pilkada, dan akan ada banyak sekali informasi yang simpang siur dengan agenda politik masingmasing kandidat. Jika wartawan menggunakan metode investigasi berbasis open data diharapkan bisa menjawab tantangan itu.
Alasan terakhir, tentu saja terkait dengan ketersediaan data untuk topik ini. Dalam lima tahun terakhir, perkembangan rezim
keterbukaan informasi di Indonesia cukup memadai sehingga banyak data publik yang sudah bisa diakses. Data audit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah misalnya bisa diakses dengan mudah, tak hanya di situs online Badan Pemeriksa Keuangan, tapi
juga di kalangan masyarakat sipil. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara di
Komisi Pemberantasan Korupsi juga relatif terbuka. Proses pengadaan barang dan jasa juga sudah menunjukkan transparansinya.
TUJUAN
Modul ini dibuat dalam rangka Pelatihan Investigasi Berbasiskan Open Data yang diselenggarakan JARING pada tanggal 3
5 November 2015. Modul ini diperuntukkan bagi jurnalis yang minimal memahami pengoperasian excel dan terampil
menggunakan internet, serta tertarik dalam mempelajari bagaimana memanfaatkan data terbuka dalam liputannya.

Back To Top (#top)


0.1

PELUANG DAN TANTANGAN PILKADA SERENTAK

Pilkada serentak adalah produk yang melewati dinamika saat perumusannya, hingga sekarang kebijakan pilkada serentak ini
masih menyisakan banyak ruang yang bisa menjadi celah untuk terjadinya kecurangan, pelanggaran, atau kesalahan teknis
pelaksanaan. Pilkada serentak ini dari awal kerangka hukumnya saja sudah membuka ruang-ruang kecurangan. Banyak yang
menyayangkan aturan pilkada yang masih banyak kekurangan seakan tidak belajar dari kesalahan- kesalahan pada Pileg dan
Pilpres terdahulu.

Bila melihat balik ke Undang-undang Pilkada sebelum Pemilu 2014, tahun 2012 presiden mengajukan RUU Pilkada pola
pembahasannya dengan menggunakan pendekatan baru yaitu dengan pembahannya dibagi menjadi tujuh cluster, dan
pemerintah yang pertama kali menyampaikan bahwa Pilgub dilakukan oleh DPRD, Pilkada kab/kota secara langsung, namun
mayoritas fraksi menolak.
Pada tahap selanjutnya, setelah Pemilu 2014 dan setelah peta di DPR berubah, Pilkada tidak langsung mulai diangkat padahal
sebelum Pilpres mayoritas anggota DPR menolak usulan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada tidak langsung. Pemerintah
mengusulkan Pilgub langsung dan Pilkada kab/kota tidak langsung. Jadi, ada skenario yang terbalik. Kemudian menyetujui RUU
tentang Pilkada oleh DPRD, lalu presiden mengeluarkan Perppu Pilkada Langsung. Lahirlah UU Nomor 1/2015. Perppu diambil dari
Draft RUU pilkada versi langsung, dibahas dalam waktu singkat dan tidak sempat dikritisi oleh pihak lain. Ada banyak masalah,
misalnya masalah redaksional, masalah sistematika, dan masalah substansi. Sehingga ada revisi tahap satu yang hanya
dilakukan 14 hari pada bulan Februari, yang menjadi UU nomor 8/2015.
Pilkada Serentak
Apa yang terjadi sekarang bukan Pilkada serentak, melainkan hanya menyelenggarakan Pilkada bersama-sama. Pilkada serentak
adalah apabila proses penyelenggaraannya menjadi satu, bukan seperti yang terjadi sekarang, yaitu menggabungkan tahapan dan
hari pemungutan secara bersama-sama. Serentak itu akan esien apabila dilaksanakan serentak Provinsi dan kabupaten/kota di
dalam satu wilayah karena akan bisa menghemat biaya logistik dan biaya sosialisasi dan juga biaya paling besar, yaitu
honorarium penyelenggara. Sehingga skema sekarang belum bisa melahirkan esiensi biaya.
Bila dilihat dari segi pembiayaan, biaya pada pilkada serentak kali ini mengalami kenaikan hingga 100% bila dibandingkan
dengan pilkada 2010. Ketidakesienan pembiayaan ini dapat dilihat misalnya di Provinsi Banten. Ada 4 Kabupaten/Kota yang
melakukan Pilkada, tapi hanya waktunya saja yang bersamaan, namun logistik hingga honorarium dibayar oleh masing-masing
daerah. Jadi, memang benar bila ada yang mengatakan bahwa Pilkada 2015 tidak segaris lurus dengan esiensi karena sekarang
ini baru pra-kondisi sampai punya konsep Pilkada serentak yang menghasilkan esiensi yang direncanakan dapat dicapai pada
Pemilu 2027. Berikut kriteria Pilkada yang ideal:
1. Serentak Nasional: DPR, DPD, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
2. Serentak Daerah: Kepala Daerah dan DPRD.

Desain ini dimaksud untuk menguatkan sistem presidensial karena dengan desain seperti ini akan ada kecenderungan presiden
yang terpilih seiring dengan partai pemenang pemilu.
Untuk menuju ke Pemilu Serentak 2027, akan ada beberapa tahap penyesuaian yang dilakukan. Pemilu Desember 2015 adalah
gelombang pertama yang diikuti oleh 269 daerah. Gelombang kedua direncanakan pada Februari 2017 yang dilaksanakan oleh 99
daerah. Gelombang ketiga dilakukan pada Juni 2018, yang akan dilakukan di 171 daerah. Siklus ini akan berulang pada tahun 2020,
2022, dan 2023. Baru setelahnya akan serentak nasional pada tahun 2027.
Terkait dengan potensi kecurangan, ada masalah lain yang mesti dicermati, yaitu masalah anggaran penyelenggaraan Pilkada.
Awalnya Perppu mengatur anggaran pilkada bersumber dari APBN, namun setelah proses revisi perppu ini kemudian menetapkan
bahwa anggaran pilkada akan diambil dari APBD. Dari sini terlihat ketidakmerataan anggaran, misalnya Kabupaten Jember,
dengan jumlah pemilih lebih dari satu juta dan dilaksanakan di 31 kecamatan menganggarkan dana 71 Miliar. Sementara Kota
Tanggerang Selatan yang hanya memiliki tujuh kecamatan dengan jumlah pemilih sekitar
900 ribu, anggarannya mencapai 60 Miliar. Jadi, ketika anggaran berasal dari APBD, tidak ada standar yang sama di masingmasing daerah yang kemudian rentan menjadi celah kecurangan, terutama di daerah yang diikuti oleh petahana. Ada
kecenderungan untuk memberi anggaran yang lebih besar ke KPU.
Variabel Pembeda Pilkada Serentak
Beberapa faktor lain yang menjadi penyebab Pilkada sekarang menjadi lebih mahal adalah kampanye yang didanai oleh negara.
Misalnya di Indragiri Hulu, anggaran pemilu pada 2010 adalah 10
Miliar dan sekarang menjadi 17 Miliar. Ternyata biaya kampanye yang ditanggung negara membuat peningkatan tinggi pada
pembiayaannya.
Ada 4 jenis kampanye yang dibiayai oleh negara:
1. Debat publik
2. Kampanye media cetak dan elektronik
3. Pemasangan alat peraga kampanye
4. Penyebaran Bahan Kampanye

KPU juga mengatur tempat-tempat pemasangan alat peraga kampanye. Jadi, ada pembatasan kampanye berupa penyebaran
pencitraan di ruang-ruang publik, tapi lebih memperbanyak dialog di ruang-ruang privat. Sayangnya, mesin partai belum bekerja
hingga saat ini, sehingga belum terlihat dialog-dialog tersebut. Ada kemungkinan ini dilakukan partai agar dana dapat
dialokasikan pada saat-saat terakhir.
Variabel lain yang menjadi pembeda pada Pilkada kali ini adalah: adanya pembatasan belanja kampanye, tidak ada proses
rekapitulasi suara di PPS, tidak ada ambang batas kemenangan (pilkada satu putaran), syarat pengajuan sengketa hasil ada
ambang batas maksimal selisih yang harus dipenuhi, larangan mahar politik, Bawaslu dan Pengawas kab/kota memiliki
kewenangan menyelesaikan sengketa, dan terdapat pengawas TPS. Serta fenomena unik lain, yaitu disetujuinya calon tunggal
oleh MK, serta proses rekapitulasi tidak ada lagi di TPS atau tingkat desa.
Beberapa variabel pembeda ini ditujukan untuk meminimalkan peluang kecurangan, namun tentu masih ada peluang untuk
terjadinya sengketa Pilkada. Meskipun sekarang aturan untuk menggugat pelanggaran ke MK ada syarat ambang batas selisih
suara berdasarkan populasi. Apabila suatu kab/kota populasinya sampai dengan 200.000, maka syarat selisih suaranya tidak

boleh lebih dari


2%. Sementara apabila populasinya 2 juta atau lebih, maka syarat selisih suaranya tidak boleh lebih dari 0,5%.
Penanganan sengketa tahapan Pilkada harus dimulai dengan memisahkan antara kewenangan pengawasan dan kewenangan
penyelesaian sengketa. Sebaiknya, demi kepastian hukum dan menghindari terjadinya benturan kepentingan, kewenangan
penyelesaian sengketa pilkada ditangani langsung badan peradilan, dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara. Sebab, Keputusan
KPU masuk kategori keputusan pejabat tata usaha negara. Selain itu, juga harus dibuka mekanisme banding atas putusan tingkat
pertama agar tidak menutup jalan seseorang untuk mencari keadilan.

Back To Top (#top)


0.1

MENCEGAH KORUPSI DENGAN LHKPN

Kunto Ariawan
Pilih yang jujur, merupakan tagline dari Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (PP LHKPN). Dalam memilih pemimpin, KPK menghimbau masyarakat untuk memilih calon yang jujur, baik jujur dalam
berperilaku, jujur kepada keluarga dan masyarakat, serta jujur dalam pelaporan harta. Seorang calon penyelenggara negara yang
akan mengikuti pemilihan umum harus melaporkan harta kekayaan. KPK akan memverikasi ada tidaknya dokumen pendukung,
benar atau tidaknya formulir yang digunakan, dan benar atau tidaknya isiannya. Ketika semua itu sudah benar maka laporan
harta kekayaan itu diumumkan. Jadi untuk calon-calon yang sekarang akan ikut pemilukada laporannya belum bisa diakses lewat
website (http://acch.kpk.go.id). Tapi kalau masyarakat ingin langsung mengaksesnya bisa ke KPU atau KPUD setempat.
Pihak yang mengumumkan laporan ini adalah penyelenggara negara. Di dalam UU 28/1999 Penyelenggara Negara berkewajiban
untuk melaporkan harta kekayaan dan mengumumkannya. Sedangkan dalam undang-undang pemilukada pelaporan harta
kekayaan adalah salah satu syarat sebelum mereka maju sebagai calon. Di sini sebetulnya fungsi masyarakat sangat diperlukan,
kita mengharapkan pengumuman harta kekayaan ini dijadikan sebagai salah satu alat untuk menilai kelayakan seorang calon
untuk memimpin daerah, di sinilah letak fungsi pencegahan korupsi. Ada peran masyarakat untuk tidak memilih calon yang tidak
jujur melaporkan harta kekayaannya. Peran wartawan juga sangat penting untuk memantau kejujuran calon.
Tidak semua kenaikan harta itu disebabkan adanya penambahan harta, dan kalau ada penambahan harta maka juga harus
usulnya.
Data Harta berisi data awal tentang kekayaan, sehingga perlu untuk mengetahui latar belakang calon pejabat negara, terutama
tentang apa usahanya sebelum mencalonkan, mungkin bila dia pengusaha kaya maka hartanya memang sudah sedemikian besar,
atau harta yang didapat dari warisan. Di sinilah pentingnya pengecekan asal-usul kekayaan.
Ada perbedaan antara warisan, hibah, dan hadiah. Warisan adalah harta yang didapat setelah pemberinya meninggal, sedangkan
hibah pemberinya belum meninggal dan tidak memiliki syarat tertentu. Adapun hadiah adalah pemberian yang memiliki
syarat tertentu, misalnya hadiah karena menang undian atau lomba.
Perubahan-perubahan dalam LHKPN juga perlu dicermati, misalnya penambahan baru berarti tidak ada di pelaporan
sebelumnya, keterangan lainnya seperti perubahan, berarti ada koreksi atau pertambahan nilai aset.
Konsep Kepemilikan
Seseorang bisa dikatakan memiliki bila dia dapat mengontrol dan menikmati aset tersebut (control & benet), karena biasanya
ada upaya penyamaran harta dengan menggunakan gatekeeper, seperti notaris, pengacara, atau mendaftarkan harta dengan
nama orang lain. Jadi kadang bukti formal tidak sesuai dengan siapa yang menguasai aset tersebut.
Cara memperoleh informasi ini, KPK bisa mendapat informasi langsung dari instansi terkait, sedangkan untuk orang lain
(misalnya wartawan) bisa memperoleh informasi kepemilikan ini dari lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, dan
informasi dari orang-orang terdekat, atau orang-orang yang secara politik berseberangan, namun tetap harus disertai ketelitian.
Sejarah dan Manfaat LHKPN
Tujuan dari LHKPN di dunia ini menurut Bank Dunia ada dua mazhab besar, yang pertama adalah untuk mendeteksi conict of
interest yang bisaanya digunakan di negara-negara yang sudah maju, yang kedua untuk mendeteksi ilicit enrichment bisa menjadi
tujuan di negara berkembang seperti di Indonesia. Hingga 2006, ada 147 negara yang telah menerapkan laporan harta kekayaan
dengan bentuk dan tujuan yang berbeda.
Di Indonesia sendiri pelaporan harta kekayaan sudah ada sejak Orde Lama, saat itu yang menjadi wajib lapornya adalah TNI
Angkatan Darat, sedangkan yang melakukan pemeriksaan adalah Badan Koordinasi Penilik Harta Benda. Saat itu sanksinya
cukup berat yaitu dirampas dan disita. Jika harta kekayaan tersebut melonjak secara tajam dan tidak dapat dibuktikan asalusulnya maka akan dilakukan penyitaan tetapi kalau berasal dari tindak pidana maka akan dirampas. Pada 2009 PPATK pernah
menginisiasi perampasan aset namun mentok di DPR.
Pada Orde Baru, yang diwajibkan melaporkan harta diperluas menjadi menteri, direksi BUMN, pejabat PNS dan TNI dengan
golongan IVC ke atas atau setara, dikelola oleh Tim khusus presiden, waktu itu harta kekayaan tidak diperiksa tapi prosesnya
hanya terbatas pada pengumpulan data. Kemudian tahun 1971 diperluas lagi cakupan pejabat yang diwajibkan lapor menjadi
hingga golongan IIIA yang khusus dikelola oleh inspektorat masing-masing.

Pada masa reformasi yang mengelola adalah KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara), begitu KPK muncul
KPKPN dilebur ke direktorat PPLHKPN di bawah deputi bidang pencegahan. Pihak yang wajib melaporkan harta kekayaan
menurut UU 28 Tahun 1999 adalah Gubernur, Menteri, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Hakim, Pejabat Negara
lainnya sesuai dengan peraturan dan Undang-undang, Pejabat Strategis lainnya.
Manfaat dari pelaporan ini sendiri adalah membantu penyelenggara negara dalam hal transparansi harta kekayaannya, dengan
asumsi ketika seorang pejabat negara melaporkan kekayaannya maka akan tercegah untuk melakukan tindak pidana, serta
untuk memudahkan bagi yang menggunakan LHK seperti masyarakat, atasan pelapor, penegak hukum, dan sebagainya.
LHKPN juga bisa dimanfaatkan sebagai instrument manajemen sumber daya manusia biasanya digunakan ketika pelapor baru
pertama melaporkan karena masih berstatus calon pejabat Negara, sehingga laporan ini bisa digunakan instansi-instansi untuk
menyeleksi calon pejabatnya, Penilaian LHKPN ini berdasarkan tiga hal yaitu Kepatuhan melaporkan harta dua tahun sekali
atau setiap berubah jabatan, Kelengkapan laporan, dan Kewajaran jumlah harta.

Back To Top (#top)


0.1

OPEN TENDER DAN PENANGANAN KORUPSI

Kes Tuturoong
Kasus korupsi banyak dilakukan oleh penyelenggara negara dengan menggunakan celah dalam hal Penyediaan Barang dan Jasa
(PBJ), mulai dengan tender yang diatur hingga pembengkakan dana proyek. Data korupsi yang ada di Indonesia Corruption Watch
(ICW) diambil dari data KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan sayangnya Polri dan kejaksaan tidak pernah merilis data penanganan
kasus korupsi di lembaganya. Dari semua data tersebut sekitar sepertiga dari kasus korupsi adalah kasus yang terkait dengan
pengadaan barang dan jasa. Angka penyimpangan di PBJ ini sangat tinggi, data KPK saja dalam satu dekade terakhir 44% kasus
korupsi adalah kasus PBJ.
Sejak 2008 ICW akhirnya memberi perhatian lebih ke sistem PBJ yang terbuka, terutama implementasi e-procurement (eproc).
Eproc adalah pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Sekarang eproc ini bisa kita akses secara online di Layanan Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE) masing-masing daerah. Lewat eproc ini penjelasan tentang proyek pemerintah dapat terpantau
dengan mudah 4 Divisi kampanye Indonesia Corruption Watch (ICW) dibandingkan dengan sistem lama. Kita dengan mudah
mengetahui siapa yang terlibat tender, nilai kontrak, dll.
ICW lalu bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP) membuat portal khusus untuk
mengumpulkan tender-tender yang tersebar di LPSE daerah, agar lebih mempermudah pengawasan terhadap proyek-proyek
pemerintah tersebut. Portal yang dinamakan opentender.net ini juga disertai dengan angka atau skor yang menandakan
kerentanan sebuah proyek. Website ini mulai diluncurkan pada 2013, data yang tersedia di sini ada sejak 2008, yaitu ketika eproc
dilaksanakan di Indonesia.
Penghitungan skor yang dilakukan di opentender.net adalah penghitungan angka risiko dengan menggunakan metode Potential
Fraud Analysis. Metode ini mulai dipakai dan dikembangkan tahun
2012. Dengan metode ini akan terlihat proyek dan atau daerah mana saja yang memiliki potensi yang tinggi pada sistem PBJ nya.
Selain itu situs ini juga menampilkan data dari entitas kementerian dan lembaga.
Dalam metode penilaian di opentender.net digunakan beberapa indikator:
1. Cost: value of contract (nilai kontrak).
2. Saving: value of contract againts own estimation value. Nilai kontrak dibandingkan dengan Harga Perkiraan Sendiri untuk menilai esiensi
kontrak.
3. Participation: number of tender participants and level of competition. Jumlah partisipan tender.
4. Monopoly: number of contracts won by the winning company. Jumlah kontrak yang dimenangkan oleh satu pertisipan tertentu.
5. Schedulling: time of construction project completion, khususnya untuk proyek konstruksi yang dilakukan di akhir tahun yang ICW anggap
potensi penyelewengannya lebih tinggi.

Skor risiko dihitung berdasarkan indikator tersebut. Tiap indikator poin risiko maksimalnya adalah 4, hingga jika sebuah
proyek memiliki risiko yang besar akan mendapat poin 20. Secara nasional di opentender.net, Papua merupakan provinsi yang
memiliki skor risiko tertinggi. Ini menunjukkan potensi penyimpangan lebih tinggi, dan dari data potensi ini bisa ditindaklanjuti
dengan investigasi. Tapi bila dipilih berdasarkan jumlah proyek maka provinsi yang tertinggi adalah Jawa Barat.
Jika data ini bisa diurut berdasarkan lembaga negara, data di opentender,net menunjukkan Kepolisian lebih berisiko. Sedangkan
berdasarkan jumlah proyek yang terbanyak adalah Departemen Perhubungan. Dan banyak lagi variasi pemilahan data
di opentender.net. Sekarang ada 627 LPSE se-indonesia, LKPP perlu waktu untuk mengumpulkannya dan memasukkan ke ICW
yang kemudian menghitung skor dari semua data tersebut.
Contoh Kasus
Beberapa kasus yang ditelusuri dari eproc menunjukkan ada hubungan antara skor risiko dengan penyimpangan. Misalnya kasus
pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) di DKI Jakarta. Pada data eproc tahun 2014 di opentender.net ada 52 proyek
pengadaan UPS, Tujuh proyek masuk ke dalam Top-10 proyek berpotensi masalah dengan skor 19-20.

Kasus di provinsi lain yang cocok dengan analisa skor opentender.net adalah kasus pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten,
di opentender.net Pengadaan alat kesehatan merupakan proyek-proyek yang paling banyak mengisi Top-10 dengan potensi
risiko tinggi. Sedangkan di kementerian, yang berhasil terungkap adalah kasus pengadaan katering haji di kementerian
agama, dan kasus e-KTP di kementerian dalam negeri. Beberapa kasus ini bisa menjadi contoh bagaimana mendeteksi
kecurangan dalam PBJ dengan menganalisis data eproc.
ICW juga melakukan engagement dengan beberapa pihak salah satunya dengan Pemerintah DKI Jakarta. Kerjasama ini berupa
penyiapan Unit Layanan Pengadaan (ULP) serta Unit Pengendalian Gratikasi (UPG). Selain itu ICW juga melibatkan CSO
(Civil Society Organisation) atau mitra lokal di daerah sehingga fungsi pengawasan ini bisa lebih luas.

Back To Top (#top)


0.1

MEMBACA LAPORAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Teuku Radja Sjahnan


Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP- BPK) diserahkan oleh BPK pusat setiap semester kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) setiap semester. Isi laporan tersebut adalah Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semesteran (IHPS) dan masing-masing LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan).
Jariungu mengumpulkan LHP BPK sejak 2004 hingga saat ini. Setiap semester ada sekitar 600-an LHP dan hingga saat ini JariUngu
sudah mengumpulkan 12.713 LHP yang terdiri dari 5.927 LHP LK (Laporan Keuangan), 1.138 LHP Kinerja, dan 5.648 LHP PDTT
(Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu).
Dahulu BPK mempublikasikan LHP di situs BPK sebab hal tersebut merupakan amanat Undang-undang dimana. Setiap laporan
yang sudah diserahkan pada parlemen dinyatakan terbuka untuk
umum. Tapi saat ini hal tersebut sudah tidak lagi dilakukan karena pada praktiknya LHP yang dipublikasikan kerap
disalahgunakan beberapa pihak untuk menekan pihak yang diperiksa oleh BPK, terutama Pemerintah Daerah.
Hal yang harus juga dicermati adalah cara BPK menulis laporan kerapkali bombastis dan tidak taat standar auditing
sehingga membuka peluang penyalahgunaan. Misalnya, hanya karena tidak ada tanda tangan (kesalahan administrati ) BPK
kemudian menyimpulkannya ada kerugian Negara di dalamnya. Kesalahan lainnya adalah penyebutan nama jelas pejabat publik
yang seharusnya hanya ditulis dengan inisial saja dalam laporan, atau tidak perlu disebutkan namanya. Hal tersebut
mempermudah orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan blackmail terhadap pejabat terkait dengan
bermodalkan laporan BPK.
Terdapat tiga jenis laporan BPK. Pertama, pemeriksaan laporan pemeriksaan keuangan (LK) pemerintah pusat, pemerintah
daerah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemeriksaan yang dilakukan BPK
bertujuan untuk memutuskan apakah laporan keuangan yang dibuat instansi tersebut sudah sesuai dengan Standar Akutansi
Pemerintah (SAP).
Kedua, pemeriksaan kinerja yang ditujukan untuk memeriksa apakah kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah sudah efektif,
esien, dan hemat. Ketiga, pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sebagai contohnya adalah pemeriksaan terhadap subsidi listrik
untuk memastikan apakah sudah benar jumlahnya.
LHP BPK, khususnya Laporan Pemeriksaan Keuangan, terdiri dari 3 bagian . Pertama, laporan opini BPK. Isinya yang menyatakan
apakah laporan keuangan sudah sesuai dengan SAP. Opini yang diberikan bisa berupa Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), Disclaimer, atau Tidak Wajarterdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, meski lembar ini merupakan
pengantar laporan karena diletakkan di bagian pertama, tetapi dia merupakan inti dari hasil pemeriksaan.
Bagian kedua, Laporan Kepatuhan kepada Peraturan perundangan. Adapun bagian ketiga adalah Laporan atas Sistem
Pengendalian Intern. Jurnalis harus jeli dalam membaca tiap buku tersebut sebab hal menarik yang bisa dijadikan bahan untuk
peliputan investigasi tidak selalu ada di buku tertentu saja, melainkan bisa terdapat di tiap buku tersebut.
Membaca LHP BPK
Laporan hasil pemeriksaan BPK tidak seratus persen benar. Kerapkali ada kesalahan pemeriksaan yang tidak hanya dilakukan
oleh auditor di BPK daerah, tetapi juga auditor BPK pusat. Namun, banyak temuan yang disampaikan melalui LHP BPK bisa
digunakan oleh jurnalis dalam melakukan liputan investigasi.
Mari mencobanya dengan menelaah LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Daerah Khusus Ibukota (LKPD DKI) 2014.
Laporan tersebut, seperti telah disinggung sebelumnya, terdiri dari tiga bagian besar yakni:
1. Opini dan Laporan keuangan. Bagian ini merupakan pembuka LHP LK yang isinya hanya beberapa lembar saja. Dalam LHP
LKPD DKI 2014, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian. Intisari dari alasan pemberian opini tersebutyang bisa
disebut juga sebagai temuanjuga tercantum dalam bagian ini. Sebagai contoh adalah berbagai temuan mengenai aset (lihat
gambar 2).
Opini yang diberikan BPK baik itu WTP, WDP, Tidak Wajar, hingga Disclaimer seharusnya hanya menyatakan apakah laporan
keuangan tersebut sudah disusun berdasarkan SAP atau belum. Misalnya, sebuah LK dinilai sudah memenuhi SAP jika belanja
dicatat apabila uang sudah keluar dari kas daerah dan penerimaan dicatat apabila uang sudah masuk di kas daerah. Sebagai
contoh, pemerintah daerah membeli sebuah barang seharga Rp. 1 juta. Tapi harga tersebut kemudian di-mark up menjadi

Rp1,5 juta dan uang yang keluar dari kas pemerintah daerah sama besarnya dengan harga yang sudah digelembungkan
tersebut. Apabila nilai yang dicatat dalam pos belanja untuk barang tersebut Rp. 1,5 juta, maka hal tersebut sudah memenuhi SAP.
Dengan kata lain, ketika suatu daerah mendapatkan opini WTP, belum tentu di daerah tersebut tidak terjadi penyelewengan dana.
Namun, jika BPK menemukan adanya penggelembungan dana tersebut, bisa saja mereka melaporkannya ke penegak hukum.
Jurnalis juga harus jeli dalam membaca kemungkinan adanya penggelembungan harga tersebut. Kesimpulannya, dalam membaca
laporan BPK saat ini Anda tidak perlu terlalu memfokuskan kepada opini yang diberikan.
2. Laporan Hasil Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern (LHP SPI). Bagian ini berisikan mengenai detil-detil temuan (lihat
gambar 3). Untuk LHP LK DKI 2014, BPK menyebut 10 pokok kelemahan Pemprov DKI mulai dari pencatatan belanja barang dan
jasa yang dilakukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), masih lemahnya pengendalian intern untuk mencegah adanya mark
up harga barang, hingga masih lemahnya pengawasan dan pengendalian kerjasama pemanfaatan aset daerah.
3. Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan terhadap peraturan perundangan. Bagian ini juga bisa mencantumkan berbagai
temuan. Untuk kasus DKI Jakarta BPK menyebut bahwa terdapat
38 temuan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang- undangan senilai lebih dari Rp 2 triliun yang terdiri dari
indikasi kerugian daerah senilai Rp 442,37 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp 1,71 triliun, kekurangan penerimaan senilai
Rp 3,23 miliar, hingga pemborosan senilai Rp 3,04 miliar (lihat gambar 4).
Dari ketiga buku tersebut terdapat temuan-temuan yang bisa ditelusuri lebih lanjut. Tidak ada cara cepat membaca LHP BPK, kita
memang harus mau bersusah-payah menelusuri setiap temuan satu per satu. Tapi setidaknya bagian-bagian awal setiap buku
tersebut bisa dimanfaatkan untuk menemukan topik-topik yang mungkin digunakan sebagai bahan liputan investigasi tanpa
harus membaca ribuan halaman laporan secara berurutan.
Meskipun LHP adalah laporan yang dibuat auditor dan disampaikan pada salah satu pihak, tetapi belum tentu pihak yang
disampaikan tersebut paham mengenai masalah yang disampaikan. Oleh sebab itu, selama beberapa tahun belakangan
JariUngu membantu para anggota parlemen untuk membaca LHP BPK. Lebih jauh, laporan-laporan yang disampaikan BPK hanya
berguna jika dia bisa dipahami oleh orang yang membaca laporan ini, termasuk para jurnalis.
Jurnalis juga sebaiknya mengerti mengenai posisi BPK. Ketika ada uang Negara yang masuk dan keluar dalam sebuah institusi, di
situ BPK punya taring. Banyak masalah di republik ini yang hanya bisa ditembus oleh BPK. Contohnya adalah masalah asap
yang sifatnya lintas sektoral, tetapi satu sektor enggan bicara dengan sektor lainnya. Masalah asap juga melibatkan pemerintah di
tingkat pusat maupun daerah dan adakalanya tidak ada koordinasi di antara keduanya. Hanya BPK yang bisa memeriksa seluruh
pemangku kepentingan yang berkaitan dengan masalah asap. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian bisa dijadikan bahan
evaluasi bagi setiap pemangku kepentingan agar menjalankan fungsinya masing-masing berdasarkan posisi mereka. Jurnalis
harus menyadari hal tersebut agar bisa ikut mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan uang negara.
BPK juga bisa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu tanpa harus diperintahkan oleh lembaga pemerintahan. Jurnalis
dan masyarakat sipil bisa mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut jika mencium adanya hal yang tidak beres pada
sebuah instansi.

Back To Top (#top)


0.1

JURNALISME INVESTIGASI BERBASIS OPEN DATA

Wahyu Dhyatmika
Jurnalisme investigasi dilakukan dengan tujuan mengungkap kesalahan, skandal, dan pelanggaran. Meskipun sebuah karya
jurnalistik berhasil menjelaskan suatu hal baru secara menyeluruh, tetapi jika jurnalis tidak bisa mengungkap adalah kesalahan
melalui tulisan tersebut maka liputan tersebut bukanlah karya investigasi. Jadi patokan karya investigatif adalah pengungkapan
kesalahan yang semula ditutup-tutupi. Mirip dengan yang dilakukan Detektif, Penyidik, maupun Jaksa.
Namun, jurnalis bukanlah penegak hukum sehingga dia tidak bisa memaksa orang untuk memberikan data yang dibutuhkan.
Jurnalis harus menguasai teknik-teknik lain untuk mencari data tersebut. Di tengah perkembangan berbagai tekhnik investigasi
undercover, follow the money, people trail, paper trail, dsbada model baru jurnalisme investigasi yakni data driven
investigative stories. Di Amerika kadang disebut juga sebagai Computer Assisted Reporting (CAR).
Sekilas Sejarah
Jurnalisme investigasi berbasis data bermula di Amerika Serikat ketika wartawan Detroit Free Press di Michigan Philip Meyer
menggunakan komputer untuk menganalisa komposisi penduduk Detroit untuk menjelaskan serangkaian kerusuhan di sana pada
1967. Berkat liputan tersebut, dia menyabet penghargaan Pulitzer. Meyer juga menulis buku Precision Journalism pada 1973
dan program untuk menganalisa data.
Lima tahun berselang, Donald Barlett dan James Steele dari Philadelphia Inquirer, mencoba membuktikan tuduhan bahwa hakim
di Philadelphia berlaku rasis ketika memutuskan hukuman untuk kaum kulit hitam di sana. Tidak ada dokumen/data keras yg
bisa membuktikan tuduhan ini selain cerita-cerita yang berkembang di masyarakat.
Mereka berdua kemudian mereview semua kasus hukum yang terjadi sepanjang 10 tahun terakhir di Negara bagian tersebut. 1.034
kasus hukum diringkas dalam tabel dengan 42 kolom. Selanjutnya, dibuatlah sistem kartu untuk dianalisa oleh program komputer
Data Text yang dibuat Philip Meyer. Tabel tersebut diubah jadi kartu kode yang jumlahnya mencapai 9.618 kartu. Dengan
menggunakan komputer IBM 7090 mereka berhasil membuktikan bahwa bias hakim ketika mengadili terdakwa berkulit hitam
benar adanya.

Pada 1980, wartawan The Providence-Journal Bulletin Elliot Jaspin mendapat penghargaan untuk berita-beritanya yang banyak
menggunakan analisa data. Beberapa diantaranya adalah tulisan investigasi mengenai pinjaman perumahan yang macet dan
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus sekolah. Dia kemudian menggandeng Daniel Wood untuk membuat program komputer
Nine Track Express untuk membantu wartawan menganalisa data. Jaspin juga mendirikan National Institute for Computer
Assisted Reporting (NICAR) di Missouri School of Journalism pada 1989.
Denisi
Investigasi berbasis data berbeda dengan investigasi konvensional yang biasanya memulai peliputan dengan informasi yang
didapatkan dari peniup peluit (whistle blower) atau pembocor. Data yang dimaksud dalam konteks ini adalah sekumpulan
angka yang didapatkan dari pengumpulan pada periode waktu tertentu. Bentuknya spreadsheet dan pasti berisikan angka. Bentuk
data seperti itulah yang digunakan sebagai awalan liputan investigasi berbasis
data.
Perkembangan teknologi digital selama sepuluh tahun terakhir selaras dengan model peliputan investigasi berbasis data. Ketika
komputer semakin mendominasi kehidupan muncul tren yang disebut sebagai Big Data. Muncul mesin-mesin yang bisa menyedot
berbagai informasi mengenai aktivitas individu, misalnya berapa kali dalam sehari kita menggunakan media sosial. Data-data
makro seperti jumlah anak yang dimiliki oleh mayoritas penduduk sebuah negara juga semakin mudah didapat dan diakses oleh
publik.
Selain perkembangan teknologi munculnya Open Government Initiative atau inisatif pemerintahan terbuka juga semakin
mempermudah akses terhadap data. Pemerintah di berbagai negara didorong untuk memublikasikan berbagai data yang terkait
dengan kepentingan publik dan pemerintahan melalui Internet. Di Indonesia ada portal khusus yang bernama data.go.id yang
digagas semasa UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan) dipimpin oleh Kuntoro
Mangkusubroto. Dalam situs tersebut terdapat data-data terkait Kementerian, lembaga pemerintahan, pemerintahan daerah,
dan semua instansi lain di Indonesia.
Data-data tersebut penting agar jurnalis bisa melakukan overview suatu masalah. Selama ini jurnalis seringkali hanya
membuat berita dari hasil wawancara atau berdasarkan insting. Sebagai contoh ketika ide untuk menulis feature mengenai
kemiskinan muncul, jurnalis akan menuju ke desa tertentu yang dikenal sebagai daerah miskin. Kemungkinan lainnya adalah
bertanya kepada dinas tertentu atau pengamat yang ahli di bidang tersebut mengenai lokasi yang cocok untuk dijadikan bahan
peliputan.
Dalam data driven stories hal tersebut tidak dilakukan sebab jurnalis memilih sendiri lokasi berdasarkan data, misalnya saja data
kemiskinan di sebuah Kabupaten atau Kota. Liputan berbasis data lebih realiable dibandingkan dengan yang sekedar berbasis
wawancara karena terdapat kemungkinan pihak yang diwawancara tidak menjawab pertanyaan secara lengkap dan
komprehensif. Pejabat publik bisa saja menafsirkan data berdasarkan kepentingannya dan menyampaikannya pada jurnalis.
Ketika liputan berbasis data dilakukan, lapisan penafsiran tersebut dihilangkan. Dengan demikian, mudah-mudahan kita bisa
mendapatkan gambaran yang lebih objektif. Selain itu peliputan berbasis data lebih akurat dalam menggambarkan sebuah
masalah. Majalah Berita Mingguan Tempo misalnya, pernah membuat liputan mengenai Kapal Siluman di Laut Nusantara yang
menelisik akal- akalan pengusaha dalam menyiasati aturan mengenai keharusan kapal beroperasi di Indonesia dimiliki oleh
perusahaan Indonesia. Awak Tempo memiliki data lengkap mengenai hal tersebut dari Direktorat Perhubungan Laut. Tapi
besarnya data tersebut membuat Tempo memutuskan untuk mewawancara beberapa aktivis LSM yang concern dengan isu
tersebut, salah satunya adalah KIARA.
Dari hasil wawancara didapat bahwa lokasi yang kerap menjadi jalur kapal-kapal siluman tersebut adalah perairan Tual, Maluku,
dan itu yang kemudian ditindaklanjuti. Data yang lengkap tersebut akhirnya tidak terolah. Dari persoalan yang begitu besar,
dipilih persoalan yang secuil, penyelidikan difokuskan ke Tual dan Merauke. Tual merupakan daerah operasi kapal-kapal
siluman asal Filipina, sementara Merauke merupakan jalur operasi kapal asal China dan Taiwan. Investigasi tersebut memang
berhasil mengungkap pelanggaran, tetapi tidak mampu melihat gambaran besarnya. Tempo hanya menggunakan data awal
kemudian fokus ke dua daerah. Magnitude persoalan tidak berhasil diungkap.
Tahap Liputan
Dalam peliputan investigasi berbasis data, terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan oleh jurnalis. Pertama, menemukan
data yang relevan dengan tema (data scrapping). Tahap ini digunakan jika data yang mau kita cari tidak tersedia secara terbuka
alias bukan open data. Proses data scrapping bisa dilakukan dengan menggunakan kode (phyton dan ruby) atau menggunakan
aplikasi seperti import.io.
Kedua, membersihkan data yang sudah terkumpul (data cleaning). Tidak semua data yang kita miliki berguna atau relevan
dengan tema liputan, oleh sebab itu tahap ini harus dilakukan. Untuk membersihkan data yang terdapat dalam datasheet, jurnalis
bisa menggunakan beberapa perangkat lunak seperti open rene dan SQL.
Setelah data dibersihkan, jurnalis harus menemukan pola dalam data tersebut agar bisa dianalisis. Beberapa perangkat lunak
yang lazim digunakan dalam tahap ini adalah Microsoft Excel, Microsoft Access, dan berbagai perangkat lunak yang terkait
dengan statistik semisal SPSS.
Tahap terakhir adalah publikasi hasil investigasi. Data yang sudah ditemukan tentunya tidak bisa ditampilkan mentah-mentah.
Dibutuhkan perangkat lunak untuk visualisasi data agar tampak lebih menarik, sederhana, dan mudah dimengerti. Jurnalis bisa
menggunakan beberapa tools data visualization seperti silk.co dan ArcGIS.
Di tanah kelahirannya, Amerika Serikat, liputan investigasi berbasis data sudah lazim dilakukan oleh jurnalis dan media massa.
Beberapa contohnya antara lain:
1. Innocent Lost. Pada Maret 2014, koran Miami Herald memublikasikan laporan investigasi tentang anak-anak yang tewas akibat kelalaian
dan kekerasan rumah tangga. Mereka menyisir data Department of Children and Family di Miami pada periode 2008-2014 dan menemukan
534 kasus anak yang tewas dalam keluarga. Investigasi ini menemukan bahwa kematian anak-anak balita ini bisa dihindari jika aparat

pemerintah bertindak lebih cepat. Pasalnya, sebelumnya masyarakat sudah melaporkan adanya potensi kekerasan terhadap anak-anak yang
tewas tersebut pada dinas terkait.
2. Echo Chamber. Pada Desember 2014, Reuters memeriksa 10.300 petisi atau perkara yang didaftarkan untuk diperiksa di Mahkamah Agung
Amerika Serikat selama 9 tahun terakhir. Investigasi mereka menemukan ada 66 pengacara yang punya kans 6 kali lebih besar ketimbang 17
ribu pengacara lainnya untuk mengajukan perkara ke Supreme Court of Justice dan 31 kantor pengacara yang kansnya jauh lebih besar
ketimbang 8 ribu kantor lainnya. Ke-66 pengacara ini mewakili rma hukum terkenal dan lebih dari separuh pernah bekerja dengan salah
satu dari 9 hakim agung di MA Amerika. 51 orang dari 66 pengacara ini berasal dari kantor pengacara yg lebih sering mewakili kepentingan
korporasi/pemodal besar. Jumlah mereka kurang dari 1 persen dari total pengacara yang mengajukan perkaranya, mereka memegang 43 persen
kasus yang diadili MA.
3. Medicare Unmasked. Pada Juni 2015, Wall Street Journal mempublikasikan investigasi mereka tentang proporsi dokter yang menerima
pembayaran terbesar dari progam asuransi kesehatan di AS, Medicare. Mereka menemukan kalau 1 persen dari total dokter yang menerima
dana Medicare mendapat 17,5 persen dari total pembayaran pada 2013, dan 16,6 persen pada 2012. Total ada 950 ribu dokter dalam daftar
Medicare dengan jumlah total pembayaran US$ 90 miliar. Artinya ada 9.500 dokter yg menerima US$ 15,7 miliar dana Medicare. Data ini
dibuka setelah pada 2011 WSJ menggugat Asosiasi Dokter Amerika yang bersikeras bahwa data pembayaran Medicare ini merupakan rahasia
dokter. Pada Mei 2013, pengadilan memutuskan ini data terbuka.

Penutup: Konteks Indonesia


Di Indonesia, data driven investigative stories belum banyak dilakukan oleh jurnalis. Peliputan investigasi masih
mengandalkan whistle blower. Meski demikian, liputan MBM Tempo mengenai Ratu Atut, Mantan Gubernur Banten, bisa
dijadikan contoh bagaimana liputan invetigasi berbasis data dilakukan di Indonesia. Pada edisi 6 November 2013 tersebut, Tempo
menggunakan berbagai data terbuka seperti daftar perusahaan yang terdapat di portal milik Kamar Dagang Indonesia (Kadin),
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terdapat di situs
milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belajar dari berbagai kasus tersebut, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar liputan investigasi berbasis data
bisa terus berkembang di Indonesia. Pertama, harus ada open data initiative dari pemerintah sehingga jurnalis bisa mengakses
beragam data sesuai dengan kebutuhan peliputan.
Kedua, media dan jurnalis harus rajin menggunakan UU Kebebasan Informasi. Publik. Melalui penggunaan UU tersebut akses
terhadap suatu data bisa diusahakan secara legal. Ketiga, terdapat aplikasi digital yang bisa membantu mengintegrasikan data
yang terserak. Keempat, redaksi memiliki kemampuan membaca statistik, membersihkan datasheets, menganalisa angka
dan membangun aplikasi (data journalism).

Back To Top (#top)


0.1

PENGANTAR KRITIS MEMBACA DATA/INFORMASI

Yohannes Krisnawan
Data sudah semakin tersedia dengan jenisnya yang bermacam-macam. Oleh karena itu, jurnalis saat ini sudah mulai mengarah
pada data journalist yang terfokus pada dokumentasi. Dokumentasi dapat diartikan sebagai sekumpulan data yang berbentuk
statistik, laporan, dokumen, regulasi, catatan wawancara, rekaman audio-visual, foto peristiwa, dan peta. Melalui dokumentasi
inilah seorang jurnalis akan membingkai hasil liputan dan menentukan fokus liputannya, walaupun tidak menutup kemungkinan
berkembangnya hasil liputan melalui temuan-temuan baru yang memperdalam atau mempertajam data-data awal yang
dikumpulkan.
Semakin banyak dokumentasi yang dimiliki seorang jurnalis, maka harus semakin baik kemampuan menyimpan dan
mengategorisasikannya. Ada beberapa jenis data, yaitu pustaka, record/catatan-catatan, dan arsip. Ketiga data ini sulit dibedakan
dari segi bentuk sik dan media karena ketiganya bisa berbentuk bahan cetakan, rekaman, atau digital. Namun, ketiga data ini
lebih mudah dikenali dari segi informasinya. Pustaka secara umum merujuk semua karya tulis berupa buku, jurnal, laporan,
dan manuskrip. Record adalah dokumen baru yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan biasanya dimiliki
oleh suatu lembaga sehingga cenderung rahasia atau terbatas untuk diakses.
Beberapa contoh data record ini adalah rekening koran bank, penggunaan saluran telepon, rekam medis, dan prol pelaku
kejahatan di kantor polisi. Belum berjalannya kebebasan informasi publik di Indonesia mengakibatkan sulitnya catatan-catatan
penting ini didapatkan masyarakat. Data yang ketiga adalah arsip. Arsip adalah dokumen laporan hasil kegiatan suatu lembaga.
Arsip dibagi menjadi dua, yaitu arsip aktif (masih digunakan) dan arsip tidak aktif (tersimpan).
Bersikap Kritis Terhadap Data
Selain harus memiliki kemampuan untuk melakukan kategorisasi data, seorang jurnalis juga harus dapat bersikap kritis terhadap
data-data yang dimiliki. Hal pertama yang dapat diuji adalah otoritas sebuah data. Sebuah data yang memiliki otoritas harus
memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki keterangan mengenai sumber atau informasi seputar data selengkap-lengkapnya.
2. Mencantumkan nama atau lembaga yang membuat & mempublikasikan, disertai kontak atau alamat jelas pembuat data. Mereka juga
harus merupakan seseorang yang berkompeten atau memiliki reputasi di bidangnya.
3. Jika merupakan hasil penelitian, ada penjelasan tentang metodologi penelitian yang digunakan. Metodologi yang digunakan harus sesuai
dengan topik yang diteliti.

Ketiga kriteria tersebut akan membantu seorang jurnalis untuk bersikap kritis terhadap sebuah data. Semakin terbuka
informasi terkait dengan data yang dipublikasi, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan akan data tersebut karena hal-hal terkait
data dari mulai pengumpulan sampai dengan publikasi dapat dikritisi dan diverikasi.
Setelah sebuah data terbukti otoritasnya, seorang jurnalis harus menilai cakupan dari data yang akan digunakan. Data atau
informasi tersebut harus relevan dan berguna dengan topik liputan/penelitian yang direncanakan, serta dipastikan dapat
memberikan bahan atau inspirasi untuk mempertajam & memperdalam liputan. Setelah kedua hal tersebut telah dapat
dipastikan, maka langkah selanjutnya adalah memastikan isi dari sebuah data melalui objektitas, akurasi, dan periode
pembuatannya.
Sebuah data harus objektif. Seorang jurnalis harus memastikan bahwa data/informasi tidak mengandung bias, tidak cenderung
ke satu pihak atau kepentingan tertentu. Kedua, data/informasi harus didasarkan pada fakta dibanding opini. Namun, fakta yang
dipaparkan juga harus dapat diterima secara logis. Seorang jurnalis harus bisa menentukan mana informasi yang benar. Hal ini
memerlukan bantuan seorang ahli atau bahkan seorang editor untuk melakukan diskusi dalam menentukan pemilahan informasi.
Sebuah data juga harus akurat. Data/informasi bisa diandalkan dan bersih dari kesalahan seperti kesalahan penulisan, salah
hitung, dan penyebutan nama. Hal ini dapat diyakini apabila ada editor atau seseorang yang memang melakukan verikasi
terhadap data-data tersebut sebelum dipublikasi. Terakhir, mengenai periode pembuatannya. Data/informasi harus
mencantumkan tanggal publikasi. Hal ini berguna untuk menelusuri pemutakhiran data yang seharusnya dilakukan secara rutin
dan konsisten.

Back To Top (#top)


0.1

INVESTIGASI DAN DATA

Metta Dharmasaputra
Dalam peliputan investigasi, data harus menjadi pilar utama dan membangun cerita. Penting bagi wartawan untuk menguasai
cara mengulik data, mencari ide di dalamnya, dan menuliskannya menjadi sebuah cerita. Kemampuan menggunakan data dalam
sebuah karya jurnalistik dapat menghindarkan wartawan dari hanya memuat statement (pernyataan narasumber).
Banyak data yang tersedia, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghidupkannya agar tidak menjadi data mati. Sebuah hal
seringkali dimaknai secara sama oleh banyak orang. Misalnya ketika melihat sebuah meja, kecenderungan umum adalah melihat
berdasarkan bentuk dan warnanya. Padahal, bisa saja meja tersebut memiliki sisi lain seperti usianya yang sudah seratus tahun
dan pernah digunakan oleh salah seorang tokoh. Cara kita menggali informasi akan memengaruhi bagaimana kita memaknai
sebuah hal.
Menyaring Data
Saat ini kita diuntungkan dengan kehadiran berbagai sosial media. Ada kecenderungan umum di masyarakat untuk mem-posting
kegiatannya. Sekilas tampak biasa saja, tetapi hal itu bisa menjadi sumber informasi penting. Jurnalis bisa mengetahui perjalanan
seseorang dari foto bandara yang diunggah atau kebiasaan menggunakan tur check-in di sosial media; hubungan persaudaraan
dan bisnis juga bisa dicari tahu melalui sosial media; kita juga bisa tahu di mana orang tersebut biasa bermain tenis dan siapa
lawan mainnya. Ada beberapa liputan investigasi yang baru bisa diselesaikan setelah mendapatkan berbagai informasi dari sosial
media. Selain data yang didapat melalui sosial media, jurnalis juga bisa memanfaatkan berbagai laporan resmi sebagai sumber
data.
Ada empat tips untuk menyederhanakan persoalan yang sedang kita gali dengan data. Pertama, ketika data sudah terkumpul
dan dijadikan landasan awal liputan investigasi, data-data tersebut sebaiknya diurutkan secara kronologis. Berbagai data
tambahan yang baru didapat saat proses peliputan bisa dimasukkan ke dalamnya. Cara tersebut berguna agar jurnalis bisa
membaca alur kasus. Tahu ujung dan pangkal.
Kedua, membuat skema untuk adalah melihat permasalahan secara utuh. Skema bisa digunakan untuk menggambarkan aliran
dana hingga modus kejahatan. Salah satu contoh skema yang bagus pernah ditampilkan Majalah Berita Mingguan Tempo
ketika mengangkat kasus mantan Gubernur Banten Atut Choisiyah.
Ketiga, membuat struktur yang menggambarkan hubungan antar aktor yang terlibat dalam kasus tersebut. Struktur bisa juga
diartikan sebagai struktur perusahaan. Keempat, mencari data yang solid.
Dalam kasus Asian Agri misalnya saya banyak mendapat data, tapi kemudian harus disederhanakan. Solidnya data
merupakan syarat agar karya investigasi kukuh. Selain itu, data yang solid juga bisa membantu jika di kemudian hari hasil liputan
investigasi menghadapi masalah hukum. Solidnya data memerkecil kemungkinan jurnalis kalah di pengadilan.
Menyajikan Data
Saat empat hal tersebut sudah dilakukan, persoalan berikutnya adalah penyajian. Permasalahan yang rumit dan menjemukan
harus bisa disuguhkan secara sederhana dan enak dibaca. Hal ini juga terkait dengan berapa banyak data yang akan disajikan
dalam tulisan. Tidak semua data yang didapat relevan dengan tema liputan. Dengan demikian, data harus dipilah dan diolah.
Jangan memosisikan diri kita sebagai seorang ahli. Tidak mungkin kita menjadi seorang ahli karena setiap harinya jurnalis dijejali
dengan informasi yang banyak dan terus-menerus berubah. Hal yang bisa dilakukan adalah membangun jaringan dengan
sebanyak mungkin orang yang punya keahlian dan sumber-sumber yang kredibel. Mereka bisa membantu kita melihat fenomena
secara berbeda. Selain itu, para ahli juga bisa membantu kita membaca data.

Membangun jaringan juga bisa mempermudah pencarian data yang dibutuhkan. Jaringan tersebut bisa saja berasal dari
lingkungan internal perusahaan atau pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau bahkan dari orang yang sakit hati.
Untuk mendapatkan informasi, carilah orang yang sakit hati, misalnya mereka yang kalah tender, orang yang jabatannya
hilang, dan sebagainya.
Informasi yang diberikan pihak yang sakit hati biasanya cukup akurat karena mereka punya akses terhadap informasi tersebut.
Tapi jurnalis harus hati-hati karena seseorang mau memberikan informasi akan disertai dengan motif tertentu. Dalam kasus pajak
PT. Asian Agri saya beruntung mendapatkan narasumber yang sangat kredibel. Vincent merupakan whistleblower dalam kasus
tersebut. Dia punya data yang sangat detil karena posisinya sebagai pengelola dan pemonitor arus keuangan PT. Asian Agri.
Namun, saya harus hati-hati karena Vincent adalah orang yang sakit hati dengan Sukanto Tanoto yang merupakan bosnya.
Saya selidiki motifnya dan ternyata dia pernah mencuri uang perusahaan senilai US$3,1 juta, atau setara dengan Rp. 28 miliar
ketika itu. Meski baru dicairkan Rp. 200 juta, aksi tersebut terlanjur tercium. Akhirnya, dia lari ke Singapuramelalui Batam
dengan menggunakan paspor palsu.
Akibat aksi pencurian tersebut Vincent dikejar oleh detektif swasta yang disewa perusahaan. Dia sudah minta pengampunan pada
Sukanto Tanoto, tetapi tidak dikabulkan. Dengan demikian, Motifnya membocorkan skandal pajak Asian Agri adalah balas
dendam karena pengampunan yang tidak dikabulkan. Motif itu yang saya pegang kuat-kuat ketika menerima dan
memperlakukan berbagai data dari Vincent.
Data yang diberikan Vincent sangat rinci karena berasal dari internal perusahaan. Total ukuran le data keuangan yang disimpan
di komputer jinjingnya mencapai 11 giga byte. Selain itu ada data berbentuk hard copy yang disimpan dalam beberapa koper. Tapi
saya juga kesulitan membacanya karena kurangnya pengetahuan akuntansi.
Hal yang bisa jurnalis lakukan ketika menghadapi kondisi ketersediaan data yang melimpah di satu sisi dan kesulitan membaca
data di sisi lainnya adalah meminta bantuan informan. Dalam kasus pajak PT. Asian Agri saya meminta bantuan Vincent untuk
membacanya. Tapi informan juga tidak bisa dibiarkan terus bicara tanpa arahan karena akan banyak hal tidak relevan yang
dia sampaikan.
Jurnalis harus menuntun informan agar penjelasan yang diberikan terstruktur dan bisa dimengerti. Salah satu caranya adalah
dengan mengajukan pertanyaan. Saat Vincent menceritakan tentang penggelapan pajak Asian Agri, saya menuntunnya dengan
beberapa pertanyaan kunci seperti berapa nilai penggelapan pajak dan bagaimana modusnya?
Modus yang dilakukan Asian Agri adalah membuat biaya siluman untuk menaikkan nilai belanja perusahaan. Hal tersebut
dilakukan untuk menyusutkan laba agar pajak yang dibayarkan lebih kecil dari yang seharusnya. Saya kemudian mengajukan
pertanyaan lanjutan: Data mana yang bisa menggambarkan pembuatan biaya siluman?. Vincent kemudian menunjukkan
adanya transaksi siluman pada 1 November 2004 senilai Rp 20,8 miliar. Transaksi tersebut melibatkan 11 perusahaan yang terkait
dengan Asian Agri. Data ini cukup untuk menunjukkan adanya indikasi penggelapan pajak karena disokong oleh bukti-bukti yang
berlapis.
Jangan berambisi untuk mengolah semua data. Cukup ambil satu data yang bisa bercerita, tetapi harus tuntas. Selain itu
dibutuhkan sumber yang bisa membaca data karena jurnalis bukan seorang ahli tapi seorang generalis yang ingin
menyampaikan sesuatu secara benar dan akurat kepada publik.
Pentingnya Pemetaan dan Skema
Kasus yang terlihat rumit karena banyaknya pihak yang terkait bisa disederhanakan lalu kemudian dijelaskan dengan
membuat skema dan pemetaan. Waktu itu saya tertarik menginvestigasi tentang Misbakhun, karena waktu itu Misbakhun adalah
salah satu anggota Tim Sembilan, inisiator pengusul hak angket. Tim ini tak menyetujui penyelamatan dan bail out Century senilai
Rp 6,7 triliun oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Namun ternyata dalam laporan BPK terlihat jelas bahwa perusahaan milik
Misbakhun menikmati kredit pembiayaan perdagangan (L/C) dari Century.
Saya harus membangun hipotesa tentang ini berdasarkan data, agar tidak sekadar sebagai dugaan tanpa dasar. Argumen yang
saya butuhkan ternyata terdapat di audit BPK yang mencatat adanya aliran dana kredit impor sebesar $ 178 Juta kepada sepuluh
debitor. Ternyata di antara debitor itu ada perusahaan Misbakhun yang menerima $ 22,5 Juta.
Dari data awal tersebut kemudian saya membuat skema L/C dan aliran dana serta memetakan siapa saja yang terkait dalam
proses tersebut. Pemetaan itu kemudian memunculkan nama-nama yang terkait baik langsung maupun tidak, mulai dari Robert
Tantular, Lila Gondokusumo, Teguh Boentoro, hingga Boedi Sampoerna. Dari keterkaitan inilah cerita dan argumen bisa dibangun.
Dalam peliputan investigatif penting untuk selalu membuat skema dan mapping, dengan tergambarnya alur kasus serta
hubungan- hubungan yang terkait dengan kasus tersebut, baik berupa hubungan bisnis, politik, dan juga keluarga. Bila jurnalis
berhasil mengolah data-data dan menggali hubungan tersebut dengan teliti maka sebuah kasus yang rumit akan bisa diurai.

Back To Top (#top)


0.1

MENDORONG IMPLEMENTASI UU

Berikut beberapa tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan modul ini:
1. Mendorong implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik dengan memperkenalkannya kepada jurnalis.
2. Memperkenalkan penggunaan Open Data kepada jurnalis dan media massa.

3. Membantu media massa dan jurnalis melakukan investigasi dan peliputan mendalam tentang Pilkada serentak yang akan diselenggarakan
pada Desember 2015.

MATERI
Materi pelatihan ini dibagi menjadi dua bagian besar: (1) penjelasan mengenai potensi masalah dalam Pilkada serentak dan data
yang sudah tersedia secara publik untuk membaca potensi masalah-masalah itu, serta (2) penjelasan mengenai proses analisa
data dan keterampilan apa yang harus dimiliki para peserta untuk memulai investigasi berbasiskan open data. Modul ini akan
berisi narasi dari materi yang akan diberikan oleh masing-masing narasumber. Secara lebih mendetail, berikut ini materi pelatihan
yang akan diberikan:
Pilkada Serentak dan Keterbukaan Informasi
Pada sesi ini, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan tahapan Pilkada serentak,
persiapannya sejauh ini dan apa saja aturan mainnya. Tak hanya itu, Komisioner KPU ini juga diharapkan menjelaskan apa saja
tantangan dan hambatan yang mereka alami saat mempersiapkan proses demokrasi ini.
Peluang dan Tantangan Pilkada serentak
Pada sesi ini, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan potensi
masalah dalam Pilkada 2015. Berdasarkan riset dan observasi mereka, Perludem akan mengelaborasi sejauhmana kandidat
petahana berpeluang menjadi pemenang pilkada dan apa potensi pelanggaran yang bisa terjadi.
Mencegah Korupsi dengan LHKPN
Pada sesi ini, Kunto Ariawan dari Direktorat Pendaftaran & Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara,
Komisi Pemberantasan Korupsi (PP LHKPN KPK) menjelaskan bagaimana mengakses laporan harta kekayaan penyelenggara
negara di KPK, dan bagaimana menggunakan data itu untuk mendeteksi korupsi pada penyelenggaraan negara. Apa saja kasus
korupsi yang ditangani KPK, yang berawal dari data LHKPN dan bagaimana data itu berguna untuk proses penyidikan korupsi.
Open Tender dan Penanganan Korupsi
Pada sesi ini, Kes Tuturoong dari ICW (Indonesian Corruption Watch) menjelaskan aplikasi yang mereka kembangkan, yakni
opentender.net dan bagaimana membaca data di sana untuk mendeteksi apakah ada masalah dalam proses pengadaan barang
dan jasa di suatu daerah. Sesi ini juga diharapkan bisa memberikan ide liputan untuk peserta ketika menginvestigasi petahana di
daerahnya.
Membaca Laporan Badan Pemeriksa Keuangan
Pada sesi ini, Teuku Radja Sjahnan dari JariUngu.com menjelaskan dasar-dasar audit APBD dan apa saja yang harus diperhatikan
dalam data audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Diharapkan dengan memahami cara membaca audit BPK, peserta bisa
memperoleh gambaran bagaimana efektivitas penyerapan anggaran di daerahnya, potensi masalah yang ada, dan politik
anggaran petahana di daerah tersebut.
Jurnalisme Investigasi Berbasis Open Data
Pada sesi ini, Wahyu Dhyatmika, Redaktur Pelaksana Investigasi Majalah Tempo, menjelaskan apa yang membedakan jurnalisme
data dengan metode jurnalisme lain, apa saja keterampilan yang harus dimiliki untuk menggali cerita melalui data, apa pula
kelebihan dari metode ini dan bagaimana investigasi berbasis data dilakukan.
Pengantar Kritis Membaca Data/Informasi
Pada sesi ini, Yohannes Krisnawan, peneliti senior Litbang Kompas, menjelaskan bagaimana sebaiknya seorang periset
data/peneliti/wartawan mendekati data pertama kali. Pembicara akan menjelaskan mengapa data selalu perlu dibersihkan, dan
teknik dasar untuk menguji kesahihan sebuah dataset. Verikasi awal terhadap data merupakan kunci dari keberhasilan proses
liputan selanjutnya.
Investigasi dan Data
Pada sesi ini, Metta Dharmasaputra dari KataData membantu peserta memahami keseluruhan materi jurnalisme data dan
menghubungkannya dengan tugas mereka selanjutnya, yakni menyusun angle peliputan investigasi berbasiskan data. Pembicara
memberikan contoh-contoh liputan investigasi yang dimulai dari data, dari memahami dan menganalisa data, dan
membimbing peserta melakukan hal serupa.
Memantau Petahana dengan Memanfaatkan Data Terbuka
Muhammad Kholikul Alim, peneliti Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING), memberikan paparan teknis
mengenai cara memantau petahana dengan memanfaatkan data terbuka berdasarkan pengalamannya membantu 12
peserta fellowship dalam melakukan liputan investigasi terhadap petahana di wilayah kerja mereka masing-masing.

Back To Top (#top)


0.1

MEMANTAU PETAHANA DENGAN OPEN DATA

{:en}-Muhammad Kholikul Alim

Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara penggagas Open Government Partnership (OGP), sebuah inisiatif multilateral
yang diteken 20 September 2011 untuk mempromosikan transparansi, memperkuat kewenangan warga negara, memerangi
korupsi, dan memanfaatkan teknologi untuk memperkuat tata kelola[1] (#_ftn1).Hal tersebut sejalan dengan komitmen
transparansi yang diamanatkan oleh UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
OGP meletakkan pemanfaatan teknologi sebagai elemen sentral dalam mencapai tujuannya. Penetrasi teknologi, khususnya
Internet, diharapkan berjalan linear dengan transparansi. Guna mewujudkan hal tersebut pemerintah, asosiasi perusahaan,
Organisasi Non-Pemerintah, maupun kolaborasi berbagai pemangku kepentingan mulai menyediakan berbagai data terbuka
(open data) yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh publik dalam laman resmi mereka.
Tulisan ini berusaha memaparkan pengalaman, kemungkinan, dan hambatan penggunaan data terbuka dalam meliput Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada), khususnya dalam memantau kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana yang
mencalonkan diri kembali. Meski demikian, beberapa data tertutup, tetapi bisa diakses secara terbatas juga digunakan untuk
memperkaya dan atau memverikasi data terbuka.
A. Mencari Potensi Penyalahgunaan APBD
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) rawan
diselewengkan oleh kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali dengan beragam modus[2] (#_ftn2). Guna
mengendus adanya ketidakberesan dalam penggunaan anggaran, data APBD yang terdapat di laman Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan[3] (#_ftn3) bisa dimanfaatkan.
Laman DJPK Kemenkeu menyediakan data APBD seluruh Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia sejak tahun anggaran 1994
hingga yang paling anyar, baik yang berupa perencanaan maupun realisasi. Data tersedia dalam format .xlx sehingga mudah
untuk dimodikasi dan dianalisis secara sederhana dengan berbagai tur yang tersedia dalam program Microsoft Excel.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeriyang terakhir no.52 tahun 2015tentang Pedoman Penyusunan APBD, data yang
disediakan DJPK dipilah dalam tiga bentuk APBD.Pertama, anggaran ringkas yang berisi Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan
Pembiayaan Daerah.Dalam bentuk ini, terdapat informasi mengenai sumber-sumber pendapatan daerah beserta nilainya, alokasi
belanja langsung dan tidak langsung, serta sumber pembiayaan.Kedua, anggaran menurut urusan yang berisi alokasi anggaran
untuk 36 sektor.Beberapa diantaranya adalah berbagai sektor seperti pelayanan umum, ekonomi, lingkungan hidup, kesehatan,
pendidikan, dan seterusnya.Ketiga, APBD berdasarkan fungsi yang alokasi anggarannya dibagi berdasarkan 11 fungsi
pemerintahan yaitu:
Pelayanan umum,
Pertahanan,
Ketertiban dan keamanan,
Ekonomi,
Lingkungan hidup,
Perumahan dan fasilitas umum,
Kesehatan,
Pariwisata dan budaya,
Agama,
Pendidikan,
Perlindungan sosial.

Tiga bentuk APBD tersebut bisa digunakan sebagai bahan liputan dengan angle yang beragam.
Namun, untuk mengendus adanya penyalahgunaan APBD, bentuk ringkas akan lebih banyak membantu dibandingkan dua
bentuk lainnya.Dalam bentuk ini bisa ditemukan alokasi APBD untuk belanja barang, belanja modal, belanja hibah, dan belanja
bantuan sosial yang dinilai sebagai pos rawan penyelewengan (Sirait 2014:78).Kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi menyebut
Dari data APBD 2010-2013 dan pelaksanaan pilkada 2011- 2013, terjadi peningkatan persentase dana hibah terhadap total
belanja. Kenaikan juga terjadi pada dana hibah di daerah yang melaksanakan pilkada pada tahun pelaksanaan pilkada dan
satu tahun menjelang pelaksanaan pilkada [] Kenaikan dana hibah terhadap total belanja cukup fantastis. Ada daerah
yang persentase kenaikannya mencapai 117 kali lipat pada 2011-2012, dan 206 kali lipat pada kurun 2012-2013. Sedangkan
dana bansos, mencapai 5,8 kali lipat pada 2011-2012 dan 4,2 kali lipat pada 2012-2013.[4] (#_ftn4)
Panjangnya rentang waktu anggaran yang disediakan oleh data di situs DJPK (mulai dari tahun anggaran 1994) memungkinkan
kita untuk menemukan pola tertentu dalam pos-pos belanja yang dicurigai rawan penyelewengan.Dalam konteks petahana yang
mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Kepala Daerah, data set yang bisa digunakan adalah data APBD ketika petahana
tersebut menjabat.
Hal yang harus dicermati adalah bahwa dana hibah dan bantuan sosial baru dibuat secara terpisah dalam pos belanja tidak
langsung baru dibuat pada APBD tahun anggaran 2007. Sebelumnya kedua jenis dana tersebut disatukan dalam satu pos yang
dinamai belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Dengan demikian, untuk menelisik penyalahgunaan dana hibah dan bansos
rentang waktu data set yang bisa digunakan bisa dimulai sejak tahun 2007.
APBD Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Klaten bisa digunakan sebagai ilustrasi dana hibah dan bansos yang sifatnya
uktuatif. Sebagai catatan, dua Kabupaten tersebut dipimpin oleh Bupati yang menjabat selama dua periode hingga masa
jabatannya berakhir pada 2015.

Naik turunnya alokasi Dana Hibah


Pada Pilkada serentak 2015 terdapat beberapa daerah yang petahananya kembali berpasangan dan mencalonkan diri kembali
diantaranya Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Binjai, Kota Tangerang Selatan, Kota Surakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten
Gunung Kidul, Kabupaten Indramayu, dan Kota Mataram. Gambaran alokasi pos belanja hibah di daerah-daerah tersebut bisa

dilhat pada tabel di bawah ini


Di beberapa daerah terjadi kenaikan signikan alokasi dana hibah tahun anggaran 2015 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Bahkan di Kabupaten Pakpak Bharat kenaikannya mencapai 616,62%. Daerah lain yang juga mengalami kenaikan signikan
adalah Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Indramayu. Hal yang perlu dicatat, biaya penyelenggaraan
Pilkada oleh KPUD setempat masuk dalam pos ini sehingga kenaikan alokasi sangat mungkin terjadi. Tapi apakah hal tersebut
merupakan satu-satunya alasan kenaikan alokasi dana hibah? Jawaban atas pertanyaan tersebut yang perlu ditelusuri lebih jauh.

Alokasi Dana Bantuan Sosial (Bansos)


Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada alokasi dana Bantuan Sosial (Bansos). Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
no.32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (dan disempurnakan dengan Permendagri no.39 tahun 2012), Bansos diberikan kepada anggota masyarakat (individu atau
keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum) atau lembaga non pemerintah yang berperan melindungi individu,
kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan risiko sosial. Daerah yang alokasi dana bansosnya mengalami kenaikan
signikan adalah Kota Binjai. Pada 2015 alokasinya naik hingga 179,62% dari Rp3,34 miliar menjadi Rp9,35 miliar. Di daerah lain
seperti Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Bantul kenaikan alokasi juga cukup besar.

Dana Bantuan Keuangan


Selain dana hibah dan bansos, terdapat Dana Bantuan Keuangan yang ditujukan kepada Partai Politik dan Pemerintah Daerah
yang juga kerap menjadi bagian dari politik anggaran petahana untuk mendapatkan sokongan politik. Walau jumlah dananya tak
sebesar dana hibah atau bansos, namun jumlahnya tak dapat dilihat sebelah mata.
Alokasi bantuan keuangan kepada partai politik dan pemerintah desa juga mengalami kenaikan signikan pada 2015 di beberapa
daerah. Kenaikan di Kabupaten Indramayu nilainya paling signikan, hingga 202,18%. Di Kabupaten Bantul nilainya naik hingga
144,27% dan di Kabupaten Gunung Kidul hingga 188,5%. Sementara itu, di Kabupaten Pakpak Bharat, kenaikan mencapai
96,37%. Kenaikan tersebut tidak wajar jika dibandingkan dengan CAGR (Compound Annual Growth Rate)[5] (#_ftn5) alokasi dana
bantuan keuangan kepada partai politik dan pemerintah desa 20112014 di daerah-daerah tersebut.
Gambaran di atas merupakan indikasi awal kemungkinan penyalahgunaan tiga pos belanja APBD, khususnya menjelang
Pemilihan Kepala Daerah.Tapi data-data di atas hanya merupakan data awal yang perlu ditelusuri lebih lanjut oleh jurnalis. Salah
satu cara mendalaminya adalah dengan memeriksa Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD adalah rancangan kerja
tahunan yang dibuat seluruh Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) berserta kebutuhan anggaran dan perinciannya menjadi dasar
bagi penyusunan APBD.
Seiring dengan komitmen terhadap transparansi yang digaungkan pemerintah pusat, beberapa daerah sudah mulai mengunggah
RKPD di laman situs pemerintahannya sehingga bisa diakses secara bebas oleh publik.
Kabupaten Indramayu misalnya, mengunggah RKPD Perubahan 2015 lengkap dengan berbagai detil rinciannya. Dalam data
tersebut, terlihat bahwa kenaikan dana hibah disebabkan oleh helatan Pilkada. Dalam pos Belanja Hibah kepada Pemerintah
terlihat bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Indramayu menerima hibah senilai Rp30 miliar dan Panitia Pengawas
Pemilu Rp5 miliar. Tanpa kedua komponen tersebut, alokasi dana hibah Kabupaten Indramayu tahun anggaran 2015 (sebelum
perubahan) nilainya Rp 22,18 miliar. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada potensi penyalahgunaan pos belanja hibah APBD Kabupaten Indramayu. Hibah kepada
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kabupaten Indramayu senilai Rp14,1 miliar yang sudah berlangsung sejak tahun
anggaran 2013 misalnya, dinilai sudah menyalahi aturan[6] (#_ftn6).
Selain itu, perlu juga ditelusuri lebih jauh apakah besaran dana hibah yang diberikan kepada KPUD dan Panwaslu memang sesuai
dengan kebutuhan di lapangan. Misalnya dengan membandingkan besarannya dengan daerah lain atau berbagai variabel seperti
jumlah pemilih, jumlah Tempat Pemungutan Suara, jumlah Panitia Pemungutan Suara, dan sebagainya. Data terbuka terkait hal
tersebut bisa diakses di laman Komisi Pemilihan Umum yang beralamat di kpu.go.id.
B. Memantau Lelang Proyek Secara Elektronik
Potensi penyalahgunaan APBD bukan hanya terjadi di tiga pos belanja yang disebutkan di atas.APBD juga digunakan untuk
belanja lainnya seperti konstruksi, pengadaan barang, dan konsultasi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerapkali menemukan
adanya nilai proyek yang tidak wajar sehingga menimbulkan kerugian negara. Kongkalikong pengusaha dengan penguasa
memang masih kerap terjadi misalnya dengan pemberian gratikasi untuk memuluskan proyek tertentu.
Model pemberian gratikasi hanyalah lapis terluar dari korupsi sistemik. Pada jantung kekuasaandan adakalanya sulit
dideteksikerapkali terjadi korupsi politik yang berlangsung ketika politikus atau pejabat lainnya menggunakan kedudukan
istimewa mereka untuk mengakses sumberdaya (dalam bentuk apapun) secara ilegal untuk menguntungkan mereka atau pihak
lainnya (Aditjondro 2004:22).Proyek-proyek pemerintah daerah yang dibiayai oleh APBD seringkali jatuh ke tangan perusahaan
yang dimiliki oleh keluarga, kolega, atau anggota partai poitik yang dekat dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Saat ini, hampir seluruh lelang proyek yang dibiayai oleh APBD dilakukan secara elektronik (e-procurement).Data mengenai
proyek-proyek tersebut bisa didapat di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang ada di seluruh Kabupaten/
Kota.Provinsi Jawa Barat bahkan sudah menggunakan aplikasi Pakar yang secara otomatis merekapitulasi proyek-proyek eprocurement. Adapun LPSE yang tidak memiliki sistem PAKAR proyek-proyek yang ada bentuknya terserak sehingga
merekapitulasinya memakan waktu yang tidak sebentar.

Merekapitulasi data proyek

Situs yang bisa mempersingkat kerja rekapitulasi proyek adalah opentender.net yang dikelola oleh Indonesia Corruption Watch
(ICW) bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Peremerintah (LKPP). Sebelum merekapitulasi proyek,
data set yang dibutuhkan harus diunduh terlebih dahulu. Langkah pertama adalah mengklik link database yang yang berada di
sebelah kanan link berita. Setelah itu di bawahnya akan muncul beberapa kolom yang harus diisi seperti tahun anggaran, kategori,
sumber dana, entitas, daerah, dan agency LPSE untuk mendapatkan data sesuai yang diinginkan. Setelah semua kolom tersebut
diisi, klik link database untuk memunculkan data set yang diinginkan. Langkah terakhir adalah mengunduhnya dengan mengklik
link yang berada persis di bawah link database.
Data yang diunduh memiliki format .xlx sehingga mudah dimodikasi. Sayangnya, input yang diberikan LKPP dan muncul dalam
situs opentender belum sepenuhnya sempurna sehingga tidak memungkinkan pengguna untuk secara langsung mengetahui
perusahaan apa saja yang sering memenangkan proyek yang dibiayai APBD. Langkah manual harus dilakukan untuk mengisinya.
Untuk mengetahui pemenang proyek tersebut pertama-tama kita perlu mengetahui kode proyek. Caranya adalah dengan mengklik
proyek tersebut satu per satu di laman opentender. Jendela pop up akan muncul dan di sebelah kanan atas terdapat enam digit
angka yang merupakan kode proyek yang dibutuhkan.
Kode proyek kemudian diinput di laman LPSE daerah yang kita tujudalam contoh ini adalah Kabupaten Aceh Selatan. Lalu klik
link cari paket lelang yang ada di bagian kiri laman.Setelah muncul page baru masukkan 6 digit kode proyek yang sudah
didapatkan lalu klik tanda panah berwarna merah yang berada di sebelah kanan kolom kode proyek.Jendela pop up yang
berisikan nama peserta dan pemenang lelang akan muncul. Namatersebut diinput ke data proyek yang sudah diunduh
sebelumnya.
Setelah selesai memasukkan nama pemenang semua proyek, langkah selanjutnya adalah membersihkan data. Bentuk perusahaan
(CV atau PT) biasanya muncul di depan nama perusahaan, tetapi adakalanya juga tidak dicantumkan. Perbedaan semacam itu
bisa menganggu saat melakukan proses analisis sehingga bentuk perusahaan yang ditaruh di depan nama perusahaan bisa
dihilangkan saja.
Pembersihan data juga bisa dilakukan dengan menghilangkan variabel yang tidak dibutuhkan dalam data set. Beberapa variabel
penting yang harus tetap ada a.l nama paket proyek, nama pemenang, kategori, nama satuan kerja, PAGU, dan hasil lelang.
Data set yang sudah bersih sebaiknya diformat sebagai tabel dengan tur yang dimiliki Microsoft Excel. Hal tersebut akan
mempermudah analisis karena memungkinkan pengurutan data secara alfabetis maupun mengurutkan nilai secara berurutan
(besar ke kecil dan sebaliknya). Selain itu, tur lter memudahkan penyortiran proyek yang dimenangkan perusahaan tertentu,
dilakukan oleh satuan kerja tertentu, dan kategori tertentu.

Mencari identitas pemilik perusahaan


Terdapat empat kategori proyek dalam data set yang sudah dibersihkan yakni pengadaan barang, jasa konstruksi, jasa konsultasi
badan usaha, dan jasa lainnya. Proyek pengadaan barang dan konstruksi biasanya memakan sebagian besar alokasi APBD.Tak
heran ketika banyak perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi adakalanya juga memenangkan proyek pengadaan barang
biasanya pengadaan bahan bangunan.
Empat kategori tersebut juga memengaruhi cara mencari identitas pemilik perusahaan. Guna menelusuri identitas pemilik
perusahaan konstruksi langkah awal yang bisa dilakukan adalah mencarinya di situs Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK).Tautan langsung yang bisa digunakan untuk mencari berbagai keterangan perusahaan konstruksi adalah
http://www.lpjk.net/status-proses-registrasi-badan-usaha-kbli-lpjk# (http://www.lpjk.net/status-proses-registrasi-badan-usahakbli-lpjk).
Data perusahaan konstruksi dari seluruh asosiasi konstruksi terdapat di situs ini.Perusahaan dipilah berdasarkan provinsi
sehingga kolom provinsi harus diisi. Adapun kolom NPWP dan nama perusahaan bisa diisi salah satunya saja. Pencarian
menggunakan NPWP lebih presisi karena adakalanya terjadi perbedaan penulisan format nama perusahaan, misalnya nama
perusahaan yang seharusnya terdiri dari dua suku kata tetapi tercatat sebagai satu suku kata. Kelebihan lain situs ini adalah
detail data mengenai perusahaan konstruksi mulai dari alamat, nama pengurus, hingga pemilik saham.

Melacak pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan


Lazim terjadi seorang Pengusaha memiliki beberapa badan usaha yang bergerak di sektor yang sama. Hal tersebut memperbesar
kemungkinan menang lelang karena dia bisa dengan mengikutkan beberapa badan usaha yang dimiliknya dalam sebuah
lelang.Alasan lainnya adalah agar publik tidak mengendus bahwa proyek-proyek tersebut dimenangkan oleh segelintir pengusaha
saja.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melacak hal tersebut dengan menggunakan detail badan usaha yang ada di LPJK.
Pertama, memperhatikan pengurus badan usaha. Meski jarang dilakukan, tetapi adakalanya pengusaha tidak menyamarkan
kepemilikannya dengan nama orang lain.

Kedua, memperhatikan alamat badan usaha dan nomer telepon. Sebagai contoh adalah perusahaan milik istri kedua politisi PDIP
Idham Samawi, Linsiana yakni CV Kartika Buana dan CV Sasmita yang beralamat di RT 12 Dusun Karanggondang, Pendowoharjo,
Sewon, Bantul. Kedua perusahaan tersebut termasuk badan usaha yang paling sering memenangi proyek konstruksi di Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketiga, memerhatikan nama tenaga kerja yang didaftarkan. Perusahaan dengan nama berbeda dan pengurus berbeda, adakalanya
mendaftarkan nama tenaga kerja yang sama. Secara logis hal tersebut sulit dilakukan karena seseorang yang bekerja penuh waktu
biasanya hanya bekerja untuk satu perusahaan saja.

Keempat, menggunakan data yang terdapat di situs asosiasi pengusaha seperti Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional
Indonesia (Gapensi). Situs Gapensi hanya memuat data badan usaha secara ringkas saja seperti nama, alamat, pimpinan badan
usaha, dan no. telepon. Meski demikian, detil-detil tersebut adakalanya berbeda dengan yang dimuat di situs LPJK, terutama
terkait dengan pimpinan badan usaha. Langkah satu dan dua yang dilakukan di situs LPJK juga bisa dilakukan di situs ini.
Situs lain yang bisa digunakan untuk melacak kepemilikan badan usaha adalah http://www.kadin-indonesia.or.id/
(http://www.kadin-indonesia.or.id/) milik Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Perusahaan yang terdaftar di Kadin lebih beragam,
bukan hanya sektor konstruksi.Untuk mengakses data badan usaha di situs ini, pengguna harus mendaftarkan diri terlebih
dahulu. Meski demikian prosesnya mudah, cepat, dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Detil badan usaha yang terdapat di situs
Kadin tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di situs Gapensi.
Data yang lebih detil mengenai sebuah badan usaha bisa didapatkan dengan membelinya secara online melalui laman Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) yang beralamat di ahu.go.id.
Terdapat dua jenis data yang bisa dibeli dengan yakni prol lengkap perseroan dan prol terakhir perseroan. Prol lengkap
perseroan berisikan data mulai dari pendirian badan usaha, perubahan pemilik (akta perubahan), hingga pemilik terakhir dan
bisa didapat dengan biaya Rp500 ribu. Sementara itu, prol terakhir tidak mencantumkan akta perubahan di dalamnya harganya
Rp50ribu. Data yang didapat berbentuk softcopy dengan format .pdf.
C. Memetakan Kepentingan
Perusahaan yang sering memenangkan proyek bisa saja memiliki kapabilitas dan mengikuti proses lelang secara legal. Tapi tidak
tertutup kemungkinan jika berbagai proyek yang dimenangkan sebuah perusahaan disebabkan oleh kedekatannya dengan kepala
daerah. Oleh sebab itu, setelah mendapatkan nama-nama perusahaan dan identitas pemilik perusahaan pemenang proyek,
langkah selanjutnya adalah memetakan kepentingan. Pertanyaan yang diajukan adalah: bagaimana latar belakang dan jenis
hubungan apa yang terjalin antara pemilik perusahaan dengan kepala daerah? Pemilik perusahaan bisa saja merupakan anggota
keluarga, lingkaran politik, atau kolega kepala daerah.
Pemetaan bisa dilakukan secara dua arah. Pertama, memulainya dari kepala daerah yang bisa dilakukan dengan cara:
1. Membuat prol kepala daerah. Langkah ini bisa dilakukan melalui paper trail atau membuka kembali surat kabar lama. Di beberapa daerah,
khususnya menjelang pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah, ada kecenderungan para politisi untuk minta dibuatkan prol
kepada surat kabar. Dengan demikian, agar tidak memakan waktu terlalu panjang, surat kabar yang diteliti bisa dibatasi pada masa menjelang
Pileg atau Pilkada saja.Prol yang dimuat biasanya mencakup nama anggota keluarga seperti adik, kakak, istri, dan anak. Hal-hal lain seperti
pengalaman organisasi[7] dan posisi di perusahaan yang pernah dijabat juga dicantumkan. Biodata yang diunggah oleh laman milik KPUD saat
masa kampanye Pilkada juga bisa digunakan untuk melengkapi prol yang sudah dibuat.
2. Aditjondro (2004:88-89) menganjurkan untuk meneliti iklan sukacita dan dukacita yang dimuat di surat kabar. Menurutnya, ucapan sukacita
misalnya terkait dengan peresmian proyekbiasanya dipasang oleh perusahaan yang mendapat keuntungan dari proyek tersebut. Sementara
itu, ucapan dukacita membantu membeberkan nama-nama perusahaan dan yayasan yang ada hubungan dengan pejabat tersebut (ibid:89)
3. Data pengurus partai politik di tingkat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atau Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang terdapat di laman KPU[8].
Data tersebut mencantumkan nama ketua, wakil ketua, hingga sekertaris, dan bendahara. Mungkin terjadi pengurus partai politik yang
memiliki perusahaan mendapatkan kemudahan memenangkan proyek karena ketika Pilkada berlangsung partainya turut mendukung kepala
daerah.

Kedua, memulainya dari nama pemilik perusahaan pemenang proyek. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan yakni:
1. Memanfaatkan mesin pencari. Fitur pencarian lanjut sebaiknya digunakan untuk mempersempit pencarian. Misalnya dengan
mengkombinasikan nama pemilik perusahaan dengan nama kepala daerah atau mempersempit rentang waktu data yang ditampilkan[9].
2. Menggunakan situs jejaring sosial. Facebook adakalanya sangat berguna untuk mencari kaitan antara pemilik perusahaan dengan kepala
daerah. Pertama, kebiasaan memasukkan nama-nama anggota keluarga di Facebook bisa mengungkap pemilik asli sebuah perusahaan. Sebab,
ada kecenderungan pemilik perusahaan menyamarkan identitas perusahaan dengan mengatasnamakan anak atau istrinya sebagai pemilik
perusahaan.

Kedua, ada pemilik yang secara terang-terangan memasukkan nama perusahaan miliknya di laman Facebook. Ketiga, Facebook
juga kerap digunakan sebagai album foto yang merekam keseharian pemilik perusahaan. Seorang pemilik perusahaan misalnya,
mengunggah foto ketika turut serta dalam kegiatan kampanye Pilkada untuk mendukung calon tertentu.
Keempat, Facebook bisa digunakan untuk memverikasi kebenaran identitas pemilik perusahaan. Untuk nama-nama yang
cenderung unik, hal ini bisa dilakukan. Dari berbagai hal yang ditampilkan dalam laman Facebook-nya, bisa ditimbang apakah dia
memang pemilik sebuah perusahaan atau tidak.
D. Penutup
Tren data terbuka tentunya semakin mempermudah kerja Jurnalis, setidaknya dalam hal pengumpulan data. Seperti telah
dipaparkan, banyak data terbuka yang bisa digunakan untuk memantau petahana agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya
atau bahkan mengendus penyalahgunaan dan menginformasikannya kepada publik melalui media massa.
Namun, kesadaran mengenai data terbuka belum tersebar secara merata di Indonesia. Sebagai contoh peserta fellowship JARING
yang mengalami kesulitan mendapatkan data RKPD pemerintah daerah meskipun hal tersebut masuk dalam kategori informasi
publik yang wajib disediakan setiap saat.
Terkait dengan data yang tersedia, masih terdapat banyak lubang yang perlu ditambal. Data badan usaha konstruksi yang tercatat
di LPJK misalnya, tidak seluruhnya mencantumkan siapa pemilik saham perusahaan tersebut, khususnya ketika perusahaan
tersebut berbentuk persekutuan komanditer (CV). Badan usaha berbentuk PT pun adakalanya tidak mencantumkan nama-nama
pemegang sahamnya, sehingga biaya tambahan harus dikeluarkan untuk membeli prol perusahaan.

Selain itu, belum ada lembaga khusus seperti LPJK yang mencatat perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pengadaan
barang dan jasa. Padahal, alokasi APBD untuk proyek dalam kategori ini tidaklah kecil. Publik dan Jurnalis pun kesulitan
mengawasinya. Tak heran kalau beberapa tahun belakangan kasus-kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pun terus
bermunculan.
Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa data terbuka tidak berarti apa-apa kecuali jika dia dimanfaatkan oleh publik atau
Jurnalis. Tren data terbuka harus disambut oleh Jurnalis dan Media massa dengan kemampuan menggali data dan menjadikannya
bagian dari sebuah liputan yang penting dan enak dibaca. Seperti dikatakan Houston (2015:4) database alone is not story [] it isa
eld of information that needs to be harvested carefully with insight and caution. It needs to be compared with and augmented
with observation and interviews.
Daftar Pustaka
Aditjondro, George Junus (2004). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan.
Houston, Brant (2015). Computer-Assisted Reporting: a Practical Guide. New York: Routledge
Sirait, Hasudungan P. (2014). Mengawal Transparansi Anggaran: Panduan Bagi Jurnalis. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
[1] (#_ftnref1) http://www.opengovpartnership.org/about
[2]
(#_ftnref2)http://nasional.kompas.com/read/2015/08/03/13481761/Tujuh.Celah.Penyelewengan.APBD.oleh.Petahana.Jelang.Pilkada
[3] (#_ftnref3)http://www.djpk.depkeu.go.id/ (http://www.djpk.depkeu.go.id/)
[4] (#_ftnref4) http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1657-cegah-dana-bansos-dan-hibah-dari-penyalahgunaan
[5] (#_ftnref5)Tingkat pertumbuhan tahunan dalam rentang waktu tertentu yang lebih dari setahun.
[6] (#_ftnref6)http://news.fajarnews.com/read/2015/05/18/2825/penyaluran.hibah.dan.bansos.dt.dinilai.menyalahi.aturan
[7] (#_ftnref7) Kerap terjadi kepala daerah mengucurkan dana hibah ke organisasi yang pernah dia bentuk atau pimpin.
[8] (#_ftnref8) http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/404
[9] (#_ftnref9) Penggunaan tur pencarian lanjut bisa dipelajari di http://www.theguardian.com/technology/2016/jan/15/how-touse-search-like-a-pro-10-tips-and-tricks-for-google-and-beyond

Back To Top (#top)

You might also like