You are on page 1of 14

TUGAS I

KEBIJAKAN TAMBANG
UUT & K3

Disusun Oleh :
Nama : Fitri Indania Sari
NIM

: 03021381419137
Kelas A

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

I.

PERATURAN PERUNDANGAN DAN PERIJINAN


Seringkali kita mendengar istilah Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik
(Good Mining Practice: GMP) di setiap proses pertambangan. Pengertian
mengenai GMP ini menjadi sangat penting agar tidak diinterpretasikan dalam arti
yang lain. Untuk itu, kita mulai dengan pengertian dari pertambangan itu sendiri.
Pertambangan adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan bisnis yang berkaitan
dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi,
penambangan, pengolahan, pemurnian sampai dengan pemasarannya
Sedangkan untuk GMP sendiri didefinisikan sebagai suatu kegiatan usaha
pertambangan yang memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan normanorma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil
yang optimal dan dampak buruk yang minimal.
Hal ini meliputi perizinan, teknik pertambangan, keselamatan dan kesehatan
kerja,

lingkungan,

keterkaitan

hulu/hilir/konservasi/nilai

tambah

dan

pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan, dalam bingkai


kaidah peraturan perundang-undangan, standar yang berlaku, sesuai tahap-tahap
kegiatan pertambangan. Kegiatan-kegiatan tersebut harus sesuai dengan peraturan
perundangan dan perizinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Seperti yang
terdapat pada :

UUD No.4 Tahun 2009 Ttg Pertambangan Mineral Dan Batubara


Pasal 95 (A) Mengamanatkan Bahwa, Pemegang Iup Wajib Menerapkan
Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik

II.

TEKNIK PERTAMBANGAN
Teknik pertambangan yang diterapkan hrs benar-benar berpedoman pada
metode

penambangan yang efektif, aman dan berwawasan lingkungan, sesuai

kaidah yang berlaku. Artinya penambangan harus memiliki tingkat perolehan


yang tinggi (tambang sampai habis-Total mining), sehingga tak banyak yang
terbuang sia-sia bahkan tidak tertambang.
Pada prinsipnya, Teknis Pertambangan yang baik dapat dilakukan apabila
didalam aktifitas pertambangan tersebut bila dilakukan hal-hal sebagai berikut :

Eksplorasi harus dilaksanakan secara baik, benar dan memadai.


Perhitungan cadangan layak tambang harus ditetapkan dengan baik

(tingkat akurasi tinggi).


Studi Geohidrologi, Geoteknik dan Metalurgi harus dilakukan secara baik

dan benar.
Studi Kelayakan (Feasibility Study) yang komprehensif dengan didukung
data

yang

cukup,

perlu

disusun

dengan

baik,

termasuk

studi

lingkungannya (AMDAL atau UKL/UPL).


Teknik dan sistim tambang serta proses pengolahan/pemurnian harus
direncanakan dan dilaksanakan secara baik (sistim tambang pada material

lepas dan padu sangat berbeda, demikian pula proses pengolahannya)


Penerapan prinsip dan nilai lindung lingkungan.
Kepedulian terhadap K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) terutama

bagi pekerjanya.
Teknis konstruksi dan Pemilihan peralatan harus tepat guna.
Sistim pengangkutan bahan tambang harus terencana baik, termasuk

pemilihan alat angkut dan alat berat lainnya.


Program pasca tambang harus terencana dengan baik sebelum seluruh
aktifitas dihentikan.
Teknis penambangan yang baik adalah suatu upaya yang dilakukan baik

secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak
menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri
maupun terhadap lingkungan.
Jika Teknis Pertambangan tidak dilakukan dengan baik dan benar, maka
akan beakibat pada:

Kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan.


Hasil tambang tidak akan efisien dan ekonomis.
Produksi akan tersendat / tidak lancar.
Kemungkinan terjadinya kecelakaan tambang akan tinggi.
Pengrusakan dan gangguan terhadap lingkungan akan timbul.
Terjadinya pemborosan bahan galian.
Pasca tambang akan mengalami kesulitan dan sulit penanganannya.
Semua pihak akan mendapat rugi (Pemerintah, perusahaan dan

masyarakat).
Kegiatan pertambangan akan dituding sebagai suatu kegiatan yang
merusak lingkungan.

Hal ini ditetapkan dalam:

UUD No.4 Tahun 2009 Ttg Pertambangan Mineral Dan Batubara


Pasal 96 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP wajib melaksanakan antara lain :
a.

Ketentuan K3 Pertambangan

b.

Keselamatan operasi pertambangan

c.

Pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk


reklamasi dan pasca tambang

d.

Upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara

e.

Pengelolaan sisa tambang dari kegiatan pertambangan dalam


bentuk padat, cair atau gas sampai memenuhi baku mutu
lingkungan

III.

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERTAMBANGAN


Keselamatan kerja merupakan kondisi yang harus diutamakan di dalam
pertambangan. Dalam membina sistem keselamatan kerja tambang, pendekatan
yang paling efektif ialah dengan cara mencegah atau menghilangkan penyebab

terjadinya kecelakaan. Jadi prinsip dasar dari pencegahan kecelakaan adalah


menghilangkan penyebab dari kecelakaan itu sendiri.
Sarana keselamatan kerja, di samping alat pelindung diri (APD) seperti
pakaian kerja, helm, sepatu kerja, masker untuk debu/gas/sinar, di tambang bawah
tanah dilengkapi dengan sistem komunikasi. Sistem komunikasi ini mulai dari
yang sederhana seperti bunyi/suara, warna, gerakan tangan, sampai yang modern
seperti intercom dan telepon.
Menurut Heinrich berdasarkan Teori Akibat Heinrich (Heinrichs
Causation Teory), penyebab terbesar dari kecelakaan ialah faktor kelakuan
manusia (88% dari jumlah kecelakaan yang terjadi), kemudian peralatan atau
kondisi fisik (8%), dan faktor yang tidak dapat dihindari (2%). Contoh kecelakaan
akibat faktor kelakuan manusia misalnya pekerja terjatuh karena menaikiban
berjalan (belt conveyor) atau menumpang alat angkut, terbentur karena tidak
menggunakan topi (helm), terkena ledakan, dsb.
Sedangkan yang disebabkan oleh factor peralatan misalnya pekerja
terbentuk alat gal ikarena sistem hidrolik tidak bekerja, rem tidak berfungsi, dll.
Selanjutnya, kecelakaan akibat kondisi kerja tidak aman misalnya pekerja
kejatuhan bongkah batu yang tiba-tiba jatuh dari atap terowongan.
Oleh karena itu dalam setiap pekerjaan selalu ada prosedur kerja baku
(standard operating procedure = SOP) yang harus ditaati oleh setiap pekerja.
Apabila prosedur kerja baku itu ditaati, maka penyebab kecelakaan yang
diakibatkan oleh kelalaian dan kecerobohan pekerja dapat dihindari. Inilah kunci
pokok sistem keselamatan kerja di pertambangan.
Hal ini diatur dalam :

UUD No.4 Tahun 2009 Ttg Pertambangan Mineral Dan Batubara


Pasal 96 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP wajib melaksanakan antara lain :

a.

Ketentuan K3 Pertambangan

b.

Keselamatan operasi pertambangan

PP No. 50 Tahun 2010


Pasal 16 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
dilakukan terhadap:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;

d. pengelolaan data mineral dan batubara;


e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa serta
rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut
kepentingan umum;
n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

IV.

LINGKUNGAN-LINGKUNGAN PERTAMBANGAN
Pada saat pengembangan operasi penambangan, termasuk fasilitas
pemrosesan dan infrastruktur yang terkait dengannya, biasanya mencakup
pengubahan permanen bentang alam yang ada, gangguan terhadap vegetasi dan
tumbuhan, gangguan terhadap habitat hewan, dampak secara hidrologi, dan
berpotensi menyebabkan kontaminasi dalam tingkat tertentu
Perubahan Topografi
Perubahan sementara terhadap topografi yang diakibatkan oleh
operasi penambangan mencakup jalan akses dan jalan angkut, area
penimbunan,topsoil, pabrik pemrosesan, serta infrastruktur pendukung.
Perubahan permanen mencakup lubang pit; tempat waste dump, serta

fasilitas penyimpanan tailing.


Peubahan Flora dan vegetasi
Dampak langsung pada komunitas flora dan vegetasi biasanya
terjadi selama pembukaan lahan untuk tambang, pembuangan batuan sisa,

pabrik pemrosesan, fasilitas penyimpanan tailing dan infrastruktur yang

terkait
Perubahan Fauna
Dampak pertambangan pada fauna secara umum dapat dibagi
menjadi primer atau sekunder. Dampak primer pertambangan pada fauna
adalah pengrusakan habitat langsung akibat aktivitas pembukaan lahan dan
penggalian. Dampak sekunder berkaitan dengan berbagai tingkatan
aktivitas yang mengganggu di luar area langsung pertambangan, misalnya
jalan akses dan angkut, jalur kabel listrik, koridor pemipaan dan

infrastruktur lain, hewan liar dan aktivitas tenaga kerja pada umumnya.
Perubahan Hidrologi Air Permukaan dan Air Tanah
pembuatan lubang terbuka, penimbunan, pembuangan batuan sisa,
fasilitas penyimpanan tailing, pabrik pemrosesan dan infrastruktur
seringkali mengganggu jalur aliran air alam. Gangguan terhadap pola
aliran air dapat mengakibatkan kelangkaan air pada sistem pengairan ke
bagian hilir dari pembangunan pertambangan, atau efek lokal yang tak
terlihat pada beberapa jenis vegetasi, yang mungkin bergantung pada

aliran-aliran air yang terputus-putus.


Kontaminasi Tanah dan Air
Reaksi kimia pada batuan sisa dan tailing berpotensi merusak
pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kontaminasi di air permukaan
maupun air tanah. Selain itu, operasi penambangan dan pemrosesan
melakukan transportasi, penyimpanan dan penggunaan berbagai bahan
berbahaya, seperti bahan bakar, zat reagen proses, pelumas, bahan peledak,
larutan kimia dan cat. Jika bahan-bahan ini tidak dikelola dengan baik,
akan berpotensi mengkontaminasi udara, tanah atau air, dan berpotensi
menyebabkan risiko yang terus menerus terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan.
Pengelolaan masalah lingkungan ini jika dilakukan dari awal, yaitu dari

studi kelayakan, dapat membantu meminimalkan dampaknya. Namun demikian,


tak terhindarkan adanya dampak residual saat operasi penambangan dan
pemrosesan sudah selesai, dan masalah ini harus dikelola dengan prioritas berikut:
bahaya dan risiko keamanan publik, potensi sumber polusi yang berkelanjutan,

penggunaan lahan dan kebutuhan sumberdaya di masa depan dan, kecocokan


dengan ekologi, harapan masyarakat, estetika, serta biaya.
Banyak aspek-aspek yang dijabarkan di atas dan dampak resultannya
bergantung pada sifat proyek dan faktor lingkungan yang spesifik terhadap lokasi.
Oleh karena itu, penting untuk mendefinisikan aspek-aspek dan dampak-dampak
terhadap masing-masing proyek sebagai bagian dari proses perencanaan
penutupan tambang.
Mungkin akan ada peluang untuk mengurangi dampak lingkungan dari
pertambangan dan pemrosesan mineral melalui perancangan dan operasi pabrik
pemrosesan yang dapat mengurangi limbah beracun, atau melakukan daur ulang
atau pemanfaatan ulang limbah melalui inisiatif produksi yang lebih bersih dan
inisiatif ekologi industrial.
Selain itu, dampak pertambangan terhadap lingkungan mungkin dapat
dikurangi sebagian dengan cara rehabilitasi lahan yang tak ditambang. Ini
menegaskan pentingnya

V.

PENINGKATAN NILAI TAMBAH PERTAMBANGAN


Menjelang pelaksanaan globalisasi bidang pertambangan , isu Peningkatan
Nilai Tambah (PNT) menjadi sangat penting mengingat peran Indonesia selama
ini hanya sebagai penjual bahan galian tambang yang sebagian besar tanpa diolah
terlebih dahulu sementara industri dalam negeri yang berbasis tambang masih
mengimpor bahan baku tersebut dari negara lain yang bahan bakunya berasal dari
Indonesia. Peningkatan usaha dari produsen atau penjual bahan baku mentah
meningkat menjadi produsen bahan baku setengah jadi yang bertujuan untuk
dapat menghasilkan nilai tambah dan bermanfaat secara langsung bagi
kepentingan nasional umumnya dan khususnya bagi pengembangan suatu wilayah
dimana bahan galian tersebut berada.
PNT

Pertambangan

sebagai

action

plan

actual

pembangunan

pertambangan yang berkelanjutan, pada dasarnya merupakan implementasi


kegiatan konservasi pertambangan, yaitu dalam hal berkelanjutan manfaat
ekonomi dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang diperoleh semenjak
perencanaan, selama berlangsungnya kegiatan pertambangan sampai dengan
pasca tambang. Dengan demikian PNT adalah upaya optimalisasi atas
pengelolaan proses hulu hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah
dan pengembangan masyarakat disekitar kegiatan pertambangan baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan
berkelanjutan
Hal ini Diataur dalam

PP No. 23 Tahun 2010


Pasal 95
(1) Komoditas tambang yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya
terdiri atas pertambangan:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam;
c. batuan; atau
d. batubara.
(2) Peningkatan nilai tambah

mineral

logam

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui kegiatan:


a. pengolahan logam; atau
b. pemurnian logam.

(3) Peningkatan nilai tambah mineral bukan logam sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui kegiatan
pengolahan mineral bukan logam.
(4) Peningkatan nilai tambah batuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan
batuan.
(5) Peningkatan nilai tambah batubara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan
batubara.

VI.

STANDARISASI PERTAMBANGAN
Standarisasi di pertambangan bertujuan antara lain dalam rangka
meningkatkan efisiensi, perlindungan konsumen, tenaga kerja dan masyarakat lain

baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi


lingkungan hidup.
Memasuki era perdagangan global, pelaku usaha dituntut untuk memiliki
daya kompetitif tinggi(kinerja,harga,mutu dan jaminan produk), dengan mengikuti
standar dan aturan negara tujuan ekspor/impor. Kecenderungan dunia menuju satu
pasar, satu standar, satu sistem penilaian kesesuaian serta transparasi dalam
pemberlakuan peraturan teknis akan mewujudkan persaingan yang sehat dan tidak
ada diskriminatif terhadap produk yang beredar di pasar.
Permasalahan yang dihadapi adalah, bahwa kondisi nasional dan beberapa
daerah masih dirasa kurang tanggap untuk menerapkan standar/pedoman/kriteria
teknis di bidang mineral dan batubara. Hal tersebut masih dipicu rendahnya
kemampuan daya saing industri serta belum meratanya kesadaran masyarakat
terhadap standar dan budaya mutu menjadi bagian dari kehidupan.
Tujuan standarisasi pertambangan :
Meningkatkan efisiensi, perlindungan konsumen, tenaga kerja dan
masyarakat lain baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun
pelestarian fungsi lingkungan hidup
Untuk merealisasikannya di bentuk Panitia Teknis Perumusan SNI dibidang
pertambangan yang terdiri dari : Sub Panitia Teknis Penambangan dan
Pengolahan, Komoditas Tambang dan Uji Mineral/Logam, Standar Istilah
Pertambangan dan Standar Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan
Hidup/Tambang.
Tersedianya SNI Pertambangan yang dibutuhkan pasar dan selaras dengan
standar internasional harus didukung dengan penyediaan sistem penilaian
kesesuaian yang dapat memberikan jaminan mutu dan keberterimaan pasar produk
nasional, memfasilitasi produk unggulan berpotensi ekspor serta mewujudkan
persaingan usaha yang sehat dalam pengusahaan mineral dan batubara dengan
sasaran utama untuk menjadikan SNI Pertambangan sebagai sarana kompetisi
nasional dalam perdagangan global.
Kegiatan standarisasi di lingkungan pertambangan umum berkembang
sesuai sistem standarisasi nasional yang berlaku. Hal ini terlihat dengan telah
lengkapnya komponen standarisasi yang selama ini merupakan kegiatan rutin unit

teknis. Oleh sebab itu, program yang perlakukan saat ini adalah pengembangan
kegiatan yang selaras dengan perkembangan standarisasi secara nasional serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu sebagai bagian dari
perangkat yang dibutuhkan dalam pengelolaan dan pengembangan standarisasi
dilingkungan departemen energi dan sumber daya mineral.
Disamping itu, dalam mendukung serta memacu program penerapan
standarisasi dilingkungan pemerintah daerah, maka diperlukan perangkat
kebijakan yang mapan dan transparan sehingga mempunyai dampak positif bagi
pengembangan usaha pertambangan di Indonesia, terutama dengan kebijakan
penerapan SNI baik wajib maupun sukarela dalam setiap kegiatan usaha
pertambangan. Oleh karena itu dengan terbitnya PP No. 102/2000 yang akan
segera diangkat menjadi Undang undang maka departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral Cq. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral terus
merumuskan kebijakan baru dibidang standarisasi pertambangan serta selaras
dengan kebijakan standarisasi secara nasional.
Dengan berlakunya UU No. 13/ 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan , maka
seluruh komponen industri dan jasa berkewajiban meningkatkan kompetensi
profesi tenaga kerjanya agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing. Untuk itu
menjadi kewajiban dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mneral dan
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral untuk merumuskan
kebijakan yang terkait sehingga dalam penerapannya berjalan secara optimal.

VII.

PERENCANAAN PENUTUPAN TAMBANG


Menurut Undang-undang No.4 tahun 2009 (UU No.4/2009) tentang
Ketentuan Umum pada Pasal 1 disebutkan bahwa kegiatan pascatambang, yang

selanjutnya disebut pasca tambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan


berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di
seluruh wilayah penambangan.
Pengelolaan pasca tambang merupakan kewajiban dalam menerapkan
GMP berdasarkan pasal 96 UU No. 4/2009. Pelaksanaan pascatambang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 78/2010 dan Peraturan Menteri ESDM No.
7/2014.
Tujuan dari pasca-tambang menurut Australian Government (2006)
adalah:
1. Membangun minat para stakeholders dengan proses pasca-tambang
2. Memastikan proses pasca-tambang teratur, ekonomis, dan mempunyai
cukup waktu
3. Memastikan masyarakat ikut terlibat dalam perencanaan pasca-tambang
4. Memastikan adanya sumberdaya yang cukup untuk pasca-tambang
5. Membuat kriteria keberhasilan pasca-tambang
Hal ini diatur dalam :

PP No. 50 Tahun 2010


Pasal 16 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
dilakukan terhadap:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengelolaan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa serta
rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang
menyangkut kepentingan umum;
n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
Pasal 26

(1)

Pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan

(2)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf terdiri atas:


a. keselamatan kerja;
b. kesehatan kerja;
c. lingkungan kerja; dan
d. sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya
dilakukan oleh Inspektur Tambang berkoordinasi dengan pengawas
ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.
PP No. 78 Tahun 2010
Pasal 10, Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 memuat:
a. profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah,
kepemilikan dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, dan
kegiatan usaha lain di sekitar tambang;
b. deskripsi kegiatan pertambangan, meliputi keadaan cadangan
awal, sistem dan metode penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta fasilitas penunjang;
c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan
cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan
dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial;
d. program pascatambang, meliputi:
1. reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar
bekas tambang;
2. pemeliharaan hasil reklamasi;
3. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan
4. pemantauan.
e. organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang;
f. kriteria keberhasilan pascatambang; dan
g. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya
tidak langsung.

You might also like