You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan
dalam sistem kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut
data dari WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika menderita
CHF. Menurut American Heart Association ( AHA ) tahun 2012 dilaporkan bahwa
ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal jantung

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi Jantung
Jantung (bahasa latin, cor) adalah sebuah rongga, organ berotot yang
memompa darah lewat pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang.
Istilah kardiak berarti berhubungan dengan jantung, dari Yunani cardia untuk
jantung. Jantung hampir sepenuhnya diselubungi oleh paru-paru, namun
tertutup oleh selaput ganda yang bernama perikardium, Lapisan pertama
menempel sangat erat kepada jantung, disebut dengan perikardium viseral,
yang dipersarafi oleh saraf otonom. Sedangkan lapisan luarnya lebih longgar
yang dinamakan dengan perikardium parietal. Secara internal, jantung terbagi
atas 4 ruangan, 2 atrium (serambi) dan 2 ventrikel (bilik). Dinding otot
ventrikel lebih tebal dibandingkan atrium, terkait dengan fungsinya dalam
memompa darah ke seluruh tubuh.
a.

Sistem Pengaturan Jantung


Serabut purkinje adalah serabut otot jantung khusus yang mampu
menghantar impuls dengan kecepatan lima kali lipat kecepatan hantaran
serabut otot jantung. Nodus sinoatrial (nodus S-A) adalah suatu masa
jaringan otot jantung khusus yang terletak di dinding posterior atrium
kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior. Nodus S-A mengatur
frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung. Nodus
atrioventrikular (nodus A-V) berfungsi untuk menunda impuls seperatusan
detik, sampai ejeksi darah atrium selesai sebelum terjadi kontraksi
ventrikular. Berkas A-V berfungsi membawa impuls di sepanjang septum
interventrikular menuju ventrikel.

b. Siklus Jantung
Siklus jantung mencakup periode dari akhir kontraksi (sistole) dan
relaksasi (diastole) jantung sampai akhir sistole dan diastole berikutnya.
Kontraksi jantung mengakibatkan perubahan tekanan dan volume darah

dalam jantung dan pembuluh utama yang mengatur pembukaan dan


penutupan katup jantung serta aliran darah yang
melalui ruang-ruang dan masuk ke arteri. Peristiwa mekanik dalam
siklus jantung :
Selama masa diastole (relaksasi), tekanan dalam atrium dan
ventrikel sama-sama rendah, tetapi tekanan atrium lebih besar dari
tekanan ventrikel.
Atrium secara pasif terus menerus menerima darah dari vena
(vena cava superior dan inferior, vena pulmonar).
Darah mengalir dari atrium menuju ventrikel melalui katup A-V
yang terbuka
Tekanan ventrikular mulai meningkat saat ventrikel mengembang
untuk menerima darah yang masuk.
Katup semilunar aorta dan pulmonar menutup karena tekanan
dalam pembuluh-pembuluh lebih besar daripada tekanan dalam
ventrikel.
Sekitar 70% pengisian ventrikular berlangsung sebelum sistole
atrial.
Akhir diastole ventrikular, nodus S-A melepas impuls, atrium
berkontraksi dan peningkatan tekanan dalam atrium mendorong
tambahan darah sebanyak 30% ke dalam ventrikel.
Sistole ventrikular. Aktivitas listrik menjalar ke ventrikel yang
mulai berkontraksi. Tekanan dalam ventrikel meningkat dengan
cepat dan mendorong katup A-V untuk segera menutup
Ejeksi darah ventrikular ke dalam arteri
Tidak semua darah ventrikular dikeluarkan saat kontraksi.
Volume sistolik akhir darah yang tersisa pada akhir sistole adalah
sekitar 50 ml
Isi sekuncup (70 ml) adalah perbedaan volume diastole akhir (120
ml) dan volume sistole akhir (50 ml)
Diastole ventricular, ventrikel berepolarisasi

dan

berhenti

berkontraksi.Tekanan dalam ventrikel menurun tiba-tiba sampai di


bawah tekanan aorta dan trunkus pulmonary, sehingga katup
semilunar menutup (bunyi jantung kedua).

Adanya peningkatan tekanan aorta singkat akibat penutupan katup


semilunar aorta.Ventrikel kembali menjadi rongga tertutup dalam
periode relaksasi isovolumetrik karena katup masuk dan katup
keluar menutup. Jika tekanan dalam ventrikel menurun tajam dari
100 mmHg samapi mendekati nol, jauh di bawah tekanan atrium,
katup A-V membuka dan siklus jantung dimulai kembali.
c.

Bunyi Jantung
Bunyi jantung secara tradisional digambarkan sebagai lup-dup dan
dapat didengar melalui stetoskop. Lup mengacu pada saat katup A-V
menutup dan dup mengacu pada saat katup semilunar menutup. Bunyi
ketiga atau keempat disebabkan vibrasi yang terjadi pada dinding jantung
saat darah mengalir dengan cepat ke dalam ventrikel, dan dapat didengar
jika bunyi jantung diperkuat melalui mikrofon. Murmur adalah kelainan
bunyi jantung atau bunyi jantung tidak wajar yang berkaitan dengan
turbulensi aliran darah. Bunyi ini muncul karena defek pada katup seperti
penyempitan (stenosis) yang menghambat aliran darah ke depan, atau
katup yang tidak sesuai yang memungkinkan aliran balik darah.

d. Frekuensi Jantung
Frekuensi jantung normal berkisar antara 60 samapi 100 denyut per
menit, dengan rata-rata denyutan 75 kali per menit. Dengan kecepatan
seperti itu, siklus jantung berlangsung selama 0,8 detik: sistole 0,5 detik,
dan diastole 0,3 detik. Takikardia adalah peningkatan frekuensi jantung
sampai melebihi 100 denyut per menit. Bradikardia ditujukan untuk
frekuensi jantung yang kurang dari 60 denyut per menit.
e.

Pengaturan Frekuensi Jantung


Impuls eferen menjalar ke jantung melalui saraf simpatis dan
parasimpatis susunan saraf otonom. Pusat refleks kardioakselerator adalah
sekelompok neuron dalam medulla oblongata. Efek impuls neuron ini
adalah untuk meningkatkan frekuensi jantung. Impuls ini menjalar melalui
serabut simpatis dalam saraf jantung menuju jantung. Ujung serabut saraf
mensekresi neropineprin, yang meningkatkan frekuensi pengeluaran

impuls dari nodus S-A, mengurangi waktu hantaran melalui nodus A-V
dan sistem Purkinje, dan meningkatkan eksitabilitas keseluruhan jantung.
Pusat refleks kardioinhibitor juga terdapat dalam medulla oblongata. Efek
impuls dari neuron ini adalah untuk mengurangi frekuensi jantung. Impuls
ini menjalar melalui serabut parasimpatis dalam saraf vagus.
Ujung serabut saraf mensekresi asetilkolin, yang mengurangi
frekuensi pengeluaran impuls dari nodus S-A dan memperpanjang waktu
hantaran melalui nodus V-A. Frekuensi jantung dalam kurun waktu
tertentu ditentukan melalui keseimbangan impuls akselerator dan inhibitor
dari saraf simpatis dan parasimpatis.
Impuls aferen (sensorik) yang menuju pusat kendali jantung berasal
dari

reseptor,

yang

terletak

di

berbagai

bagian

dalam

sistem

kardiovaskular. Presoreseptor dalam arteri karotis dan aorta sensitive


terhadap perubahan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah akan
mengakibatkan suatu refleks yang memperlambat frekuensi jantung.
Penurunan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang
menstimulasi frekuensi jantung yang menjalar melalui pusat medular.
Proreseptor dalam vena cava sensitif terhadap penurunan tekanan darah.
Jika tekanan darah menurun, akan terjadi suatu refleks peningkatan
frekuensi jantung untuk mempertahankan tekanan darah.
2.2 Gagal Jantung Kongestif (CHF)
2.2.1 Definisi CHF
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrien. Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis
berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal
jantung sisi kiri dan sisi kanan.
2.2.2 Etiologi CHF

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :


1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan

menurunnya

kontraktilitas

jantung.

Kondisi

yang

mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis


koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung

dan

pada

gilirannya

mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Peradangan dan


penyakit miokardium degeneratif Berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
4. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya,

yang

secara

langsung

mempengaruhi

jantung.

Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang


masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung
untuk

mengisi

darah

(tamponade,

perikardium,

perikarditif

konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.


5. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan
dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal:
demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia
juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis

respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat


menurunkan kontraktilitas jantung.
2.1.2 Patofisiologi Congestif Heart Failure
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan
satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon
hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan
patologik

berupa

penurunan

fungsi

jantung.

Salah

satu

respon

hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian


(filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh
darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan
aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan
air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa
(pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function).
Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal
jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik.
Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara
klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang
ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh
terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin
aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya
merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah
yang adekuat.
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah
jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara
waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload

akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila


keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload
dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel
menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi
cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi
tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace).
Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner)
selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu
kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada
gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik
dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik
miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi
kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan
penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian
jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi
ventrikel menurun. WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa
terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti penurunan
aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli pulmo,
jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik
dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah
fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Curah jantung yang
berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah

utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup


berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume
sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:
1. Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang
mengisi

jantung

berbanding

langsung

dengan

tekanan

yang

ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.


2. Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang
serabut jantung dan kadar kalsium.
3. Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan
oleh tekanan arteriole.

2.1.3 Klasifikasi gagal jantung


Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal
jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung
akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard
akut, dengan pembagian:
a.

Derajat I

: Tanpa gagal jantung

b.

Derajat II

Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal

paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis


c.

Derajat III :

Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh

lapangan paru.
d.

Derajat IV :

Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah

sistolik < 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis


dan diaforesis)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat
tanda kongesti (adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks
hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke
kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava) dan
kecukupan perfusi (adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans,
hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran).
Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut
kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:
a.

Kelas I (A)

: kering dan hangat (dry warm)

b.

Kelas II (B)

: basah dan hangat (wet warm)

c.

Kelas III (L)

: kering dan dingin (dry cold)

d.

Kelas IV (C)

: basah dan dingin (wet cold)

Berdasarkan New York Heart Association, Klasifikasi gagal jantung :


a. Kelas I

: Tanpa keluhan Masih bisa melakukan aktivitas fisik

sehari-hari tanpa disertai kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi.


b. Kelas II

: Ringan aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan

kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi, tetapi jika aktivitas ini


dihentikan maka keluhan pun hilang.
c. Kelas III

: Sedang aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan

kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi, tetapi keluhan akan berkurang


jika aktivitas dihentikan.

d. Kelas IV

: Berat tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari,

bahkan pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika
melakukan aktivitas
2.1.4 Manifestasi Klinis
2.1.2.4Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kiri:
a.

Dispnea (sulit bernapas)

Merupakan keluhan yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh


peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang
mengurang kelenturan paru dan peningkatan tahanan aliran udara.
Dispnea saat beraktivitas (dyspneu deffort) menunjukan gejala awal dari
gagal jantung kiri.
b. Orthopnea
Orthopnea yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada
posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal
jantung dibandingkan dyspneu deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi
dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam
sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan
kapiler pulmoner.
c. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari)
Merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali
menyamarkan gejala gagal jantung yang lain.
d. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan
batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien
dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi
sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan
tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara,
disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan
resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan
setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk

dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk


tegak.
e. Ronki
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru merupakan
ciri khas dari gagal jantung kiri. Awalnya terdengar dibagian bawah paruparu karena pengaruh gaya gravitasi.
f. Hemoptisis
Disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi
vena.
g. Disfagia (sulit menelan)
Disebabkan oleh distensi atrium kiri atau vena pulmonalis yang
menyebabkan kompresi esofagus dan disfagia.
Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kanan:
a. Kongesti vena sistemik
Dapat diamati dengan peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), venavena leher mengalami bendungan. Tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal
tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke
jantung selama inspirasi.
b. Hepatomegali (pembesaran hati)
Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
c. Keluhan gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri
abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan
dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar.
d. Edema perifer
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mulamula tampak pada bagian tubuh yang bergantung seperti palpebra pada
pagi hari. Siangnya edema akan tampak pada ekstremitas terutama tungkai
akibat gravitasi.
e. Nokturia (diuresis malam hari)

Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu


berbaring.
f. Asites dan edem anasarka
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema tubuh
generalisata.
Gejala dan tanda gagal ke depan jantung kiri:
a. Hipoperfusi ke organ-organ nonvital
Penurunan cardiac output menimbulkan hipoperfusi ke organ-organ
nonvital demi mempertahankan perfusi ke jantung dan otak sehingga
manifestasi paling dini dari gagal ke depan adalah berkurangnya perfusi ke
organ seperti kulit, otot rangka, dan ginjal.
Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer.
Demam ringan dan keringat yang berlebihan disebabkan oleh
vaskonstriksi kulit yang dapat menghambat kemampuan tubuh
untuk melepaskan panas.
Kelemahan dan keletihan disebabkan oleh kurangnya perfusi ke
otot rangka. Gejala juga dapat diperberat oleh ketidakseimbangan
elektrolit dan cairan atau anoreksia.
Anuria akibat kurangnya perfusi darah ke ginjal.
b. Pernapasan Cheyne-Stokes
Sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan CheyneStokes umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan
dengan rendahnya cardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan
oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan
PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2
arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas
darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan
Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas
parah (berat) atau napas berhenti sementara.

c. Gejala serebral
Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan Gejala serebral,
seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada
pasien dengan gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia dengan
arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia
umum terjadi pada gagal jantung dan dapat berperan dalam insomnia
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan
penunjang.
a.

Anamnesis

b. Manifestasi klinis

Gagal jantung ringan dan moderat :


Perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar
dalam beberapa menit.
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi.

Gagal jantung berat :

Pasien harus duduk dengan tegak

Sesak nafas

Tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang


dirasakan

Tekanan darah sistolik berkurang karena adanya disfungsi LV berat

Peningkatan aktivitas adrenergic menyebabkan

Sianosis pada bibir dan kuku

Sinus takikardi (merupakan tanda nonspesifik)

Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang menandakan


adanya penurunan stroke volume

Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian


perifer

c. Pemeriksaan fisis : inspeksi perut bisa membuncit, palpasi dapat


ditemukan hepatomegali, perkusi, dan auskultasi bising usus biasanya
normal
d. Pemeriksaan penunjang :
1. Foto toraks
Mengarah ke kardiomegali, LVH jantung membesar ke kiri, apeks
menekan diafragma (tertanam),RVH jantung membesar ke kiri dengan
apeks terangkat dari diafragma, pinggang jantung merata atau
menonjol,dan ada gambaran double kontur.
Corakan vascular paru menggambarkan kranialisasi
Garis Kerley A/B
Infiltrat prekordial kedua paru
Efusi pleura
2. EKG untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miokard dan
aritmia. Hipertropi ventrikel kiri dimana S d V1 + R di V5/V6 35 mm ,
aritmia misalnya terdapat fibrilasi atrium dimana jarak R ke R tidak
seragam.
e. Pemerikasaan lain : pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi untuk
kelainan katup , angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid dilakukan
atas indikasi.

Laboratorium :
i.
ii.

Faal ginjal :
Urin : Berat jenis <, volume urin menurun, Na urin menurun,
rennin meningkat aldosteron

iii.

Darah : Ureum meningkat dan kreatinin clearance menurun, maka


menunjukkan gagal jantung yang berat, Na, Bl dan albumin
menurun, sehingga meningkatkan volume darah dan cairan udema
karena rennin dan aldosteron meningkat, Asidosis metabolic : pH
turun, HCO3 turun, maka menunjukkan gagal jantung dan gagal
ginjal.

iv.

Faal hati

Bilirubin darah, urin dan urobilinogen meningkat


LED turun
LDH naik, terutama LDH5
Fosfatase alkali naik (ringan/berat)
Protombin agak naik
v.

Faal paru

Tekanan O2 turun karena pertukaran gas terganggu , paru


udema

Alkalosis respiratorik : pH naik, pCO2 turun, maka terjadi


dapat hiperventilasi, respon terhadap hipoksemia

Asidosis respiratorik : pH turun, pCO2 naik, maka dapat


terjadi udema paru akut yang menyebabkan kegagalan
ventilasi dan retensi CO2.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosa ditegakkan gagal


jantung kongestif, yaitu ditemukan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor.
Kriteria mayor :
a. Paroksismal nocturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Peningkatan tekanan vena jugularis
d. Rongki basah halus tidak nyaring
e. Kardiomegali
f. Edema paru akut
g. Gallop S3
h. Refluks hepatojugular
Kriteria minor :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dyspneu deffor

d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi (>120x/menit)
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada gagal jantung, suatu
latihan rutin ringan terbukti bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan
NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan
latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis,
yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan fisik
memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan
kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat
pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum diketahui
secara jelas.
2. Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien gagal
jantung
3. Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik gagal jantung sedang hingga berat
diakibatkan oleh retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan
gejala kongestif. Diuretik adalah satu-satunya agen farmakologik yang
dapat mengendalikan retensi cairan pada gagal jantung berat, dan
sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume
pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema)
atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis,
edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop
of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl
pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone

mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus
distal, dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada
tingkat duktus koligens.
4. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line
theraphy, apabila hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tandatanda kongesti dengan diuresis sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer
dan mengurangi pre-load. Contoh vasodilator Gliseril trinitrat 5mononitrat, Isosorbid dinitrat, Nitropusid, dan Nesitirid.
5. ACE Inhibitor (ACEI)
Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya
digunakan pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF (Ejection
fraction)

menurun. ACE

inhibitor

mempengaruhi

sistem

rennin-

angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan terhadap konversi


angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE inhibitor
(ACEI)

juga

dapat

menghambat

kininase

II,

sehingga

dapat

mengakibatkan peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek


bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling,
meringankan

gejala,

mengurangi

kemungkinan

opname,

dan

memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan


efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi
ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal
pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi
simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan
peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem
renin angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat
terjadi selama pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik
sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti
dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting

untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon


dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.
6. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan
ACE karena batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB
menghambat sistem rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja
dalam mekanisme yang berbeda. ACEI memblokir enzim yang berperan
dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II, ARB
memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa
penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB
pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan
darah, fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat
tersebut serupa pula.

7. -Adrenergic Receptor Blockers


Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan
pasien dengan penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari
aktivasi sistem adrenergic yang berkepanjangan dengan secara kompetitif
memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (1, 1, and 2). Walaupun
terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini, kebanyakan
efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor 1. Jika
diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV
remodeling,

meringankan

gejala

pasien, mencegah

opname,

dan

memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan


pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun
(<40%).
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang
timbul dari penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi
beberapa hari setelah permulaan terapi dan biasanya responsive setelah

dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat menyebabkan bradykardia


dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta blocker
sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang
dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.
8. Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang
memblokir efek aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek
bermanfaat yang independent dari efek keseimbangan sodium. Walaupun
ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara transient, dengan terapi
jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi
ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron
dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang
memiliki EF yang menurun (<35%).
Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan
resiko hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang
menerima terapi suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal
sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin
serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.
9. Antikoagulan dan Antiplatelet
Pasien

HF

memiliki

peningkatan

resiko

terjadinya

kejadian

thromboembolik. Pada penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari


1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan
relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan
peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan
warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal,
atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau
transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati
simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya
thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan
setelah MI, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.

Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung


iskemik untuk menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis
rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat dipilih karena kemungkinan
memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

You might also like