Professional Documents
Culture Documents
HALAMAN
SAMPUL................................................................................ i
HALAMAN
PENGESAHAN ..................................................................... ii
DAFTAR
ISI ...................................................................................................
iii
RINGKASAN........................................................................................
...... iv
BAB 1.
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
2
BAB 3.METODE PENELITIAN...............................................................
9
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN ........................................ 13
4.1 Anggaran Biaya ........................................................................
13
4.2 Jadwal Penelitian ......................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 14
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. JUSTIFIKASI ANGGARAN PENELITIAN ................. 17
LAMPIRAN 2. SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITI DAN
PEMBAGIAN TUGAS ....................................................... 18
LAMPIRAN 3. BIODATA KETUA DAN ANGGOTA... ........................ .. 19
LAMPIRAN 4. SURAT PERNYATAAN KETUA PENELITI .. 26
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL................................................................................ i
HALAMAN
PENGESAHAN ..................................................................... ii
DAFTAR
ISI ...................................................................................................
iii
RINGKASAN........................................................................................
...... iv
BAB 1.
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
2
BAB 3.METODE PENELITIAN...............................................................
9
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN ........................................ 13
4.1 Anggaran Biaya ........................................................................
13
4.2 Jadwal Penelitian ......................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 14
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. JUSTIFIKASI ANGGARAN PENELITIAN ................. 17
LAMPIRAN 2. SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITI DAN
PEMBAGIAN TUGAS ....................................................... 18
LAMPIRAN 3. BIODATA KETUA DAN ANGGOTA... ........................ .. 19
LAMPIRAN 4. SURAT PERNYATAAN KETUA PENELITI .. 26
RINGKASAN
BAB 1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan dalam menentukan
diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka
atau kelainan pada manusia atau hewan, termasuk memperindah tubuh atau
bagian tubuh
manusia. Obat adalah unsur yang penting dalam upaya penyelenggaraan
kesehatan, sehingga
obat harus tersedia dalam jumlah yang cukup, berkhasiat, dan memiliki
kualitas yang baik
(Sambara, 2007).
Produk obat yang beredar di Indonesia terdiri dari produk obat paten, produk
dengan
nama dagang (bermerek) dan generik berlogo. Obat generik merupakan salah
satu alternatif
pilihan bagi masyarakat karena harganya lebih murah dibandingkan harga obat
dengan nama
dagang dan pemerintah saat ini sedang menggalakkan penggunaan obat
generik, namun
masyarakat lebih suka mengkonsumsi produk bermerek/produk dengan nama
dagang
dibandingkan produk generik. Hal ini disebabkan adanya asumsi masyakarat
bahwa produk
generik memiliki mutu yang lebih rendah daripada obat bermerek (Rahayu,
dkk., 2006).
aktif yang sama) atau merupakan alternatif farmasetik (mengandung zat aktif
yang sama
tetapi berbeda dalam bentuk sediaan atau kekuatan) dan pada pemberian
dosis molar yang
akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan
sama, baik dalam
hal efikasi maupun keamanan (BPOM, 2004; Shargel, 1999).
Ofloksasin adalah antibiotik golongan fluoroquinolon yang memiliki sensitivitas
yang
tinggi baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif. Ada korelasi antara
kadar plasma
obat dengan aktivitas terapetiknya, sehingga absorpsi obat yang cepat
menjadi prasyarat
untuk mulai kerja antibiotik ini. Sediaan tablet ofloksasin tersedia di pasaran
dalam dua
jenis, yaitu obat generik berlogo dan obat generik bermerek. Perbedaan bahan
tambahan
(seperti bahan pengisi, penghancur, pengikat) dan proses produksi masingmasing pabrik
(misalnya tekanan pada saat pengempaan tablet, proses pencampuran, dan
lain-lain)
menyebabkan perbedaan kualitas tablet yang dihasilkan. Berdasarkan syarat
yang tercantum
pada Farmakope Indonesia, suatu sediaan padat harus memenuhi persyaratan
sifat fisik dan
disolusi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bioavailabilitas dan bioekivalensi
beberapa
sediaan ofloksasin. Bioavailabilitas adalah kecepatan dan jumlah ketersediaan
zat aktif dari
suatu sediaan obat yang diberikan; sebagaimana ditunjukkan dalam kurva
konsentrasi-waktu
berdasarkan pengukuran konsentrasi obat dalam sirkulasi sistemik atau eksresi
obat dalam
urine. Sedangkan jika dua produk farmasi dinyatakan bioekivalensi apabila
kedua produk
tersebut secara farmasetika sama dan setelah pemberian dalam dosis (molar)
yang sama akan
menunjukkan bioavailabilitas (kecepatan dan jumlah ketersediaan zat aktif)
yang sama,
sehingga diharapkan kedua obat tersebut akan memberikan efek terapi yang
sama. Dalam
studi bioekivalensi, sebagai pembanding digunakan obat dengan zat aktif yang
sama.
Pembanding hendaknya diberikan dengan rute yang sama seperti formulasi
yang
dibandingkan. Oleh karena itu digunakan tablet ofloksasin generik, tablet
dengan nama
dagang Akilen dan produk innovator ofloksasin Tarivid.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekivalensi
lebih mengandung zat aktif sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan
yang sama,
sedangkan jika dua produk atau lebih memikili zat aktif sama namun berbeda
dalam bentuk
kimia (garam, ester, dan sebagainya) atau berbeda bentuk kekuatan dan
sediaan, dikatanya
sebagai alternative farmasetik (BPOM, 2004).
Beberapa kriteria untuk ekivalensi (BPOM, 2004), antara lain :
1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi farmakokinetik, studi
farmakodinamik komparatif, atau uji klinik komparatif. Produk yang termasuk
dalam
kategori ini adalah : produk obat oral lepas lambat yang bekerja sistemik,
produk obat
non oral atau non parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik (sediaan
transdermal,
suppositoria, gel, permen nikotin, dan kontraseptif bawah kulit), produk obat
lepas
lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik, produk kombinasi tetap untuk
bekerja
sistemik, produk obat bukan larutan bukan untuk penggunaan non sistemik
(nasal,
ocular, dermal, vaginal, dsb).
2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi
terbanding)
Produk obat yang termasuk kategori ini adalah produk obat copy yang hanya
berbeda
kekuatan, dimana kekuatan obat copy lebih rendah berdasarkan profil
disolusi.
3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
Produk obat copy untuk penggunaan intravena dan parenteral lain (missal
intramuscular,
subkutan), produk obat copy berupa larutan untuk penggunaan oral (sirup,
eliksir, tingtur
atau bentuk larutan lain tetapi bukan suspensi) yang mengandung zat aktif
dalam kadar molar
yang sama dengan produk pembanding, produk obat copy yang berupa
bubuk untuk
dilarutkan, berupa gas, sedian obat mata atau telinga, sediaan obat topical
serta produk aerosol
atau inhalasi nebulizer atau semprot hidung termasuk dalam kategori obat
yang tidak
memerlukan uji ekivalensi.
B. Syarat-syarat tablet
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V, tablet harus memiliki syarat-syarat
sebagai
berikut :
a. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan
b. Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakan
bagian terbesar
dari tablet dan uji keseragaman bobot dianggap cukup mewakili keseragaman
kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup dari
keseragaman
kandungan jika zat aktif merupakan bagian kecil dari tablet atau jika tablet
bersalut gula.
Oleh karena itu, umumnya farmakope mensyaratkan bahwa tablet bersalut dan
tablet
yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang, dan bobot zat aktif lebih kecil
dari 50%
bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang
pengujiannya
dilakukan pada tiap tablet (Syamsuni, 2007).
c. Uji kekerasan
Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya
kompresi yang
diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka kekerasan tablet meningkat
sedangkan
ketebalan tablet berkurang. Selain itu metode granulasi juga menentukan
kekerasan
tablet. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap
sebagai batas
minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan. Alat yang digunakan
untuk uji
ini adalah hardness tester, alat ini dapat mengukur berat yang diperlukan
untuk
memecahkan tablet (Lachman, 1994; Parrot, 1970).
d. Uji keregasan
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet adalah dengan menguji
keregasannya
(kerapuhan). Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi
hancur. Untuk
menguji kerapuhan tablet digunakan alat friabilator, yaitu dengan
memasukkan tablet ke
dalam alat (sebelumnya tablet dibebasdebukan dan ditimbang), kemudian alat
dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet
dibebasdebukan kembali
dan ditimbang. Selisih berat mula-mula dan berat setelah diuji dihitung sebagai
keregasan (kerapuhan) tablet. Persyaratan harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel,
1989).
e. Waktu hancur
Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberikan secara per oral, kecuali
tablet yang
harus dikunyah sebelum ditelan atau beberapa jenis sediaan lepas lambat. Uji
ini
dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang
ditetapkan pada
masing-masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan
atau
bahan aktifnya terlarut sempurna, waktu hancur diharapkan dapat memberikan
gambaran
mudah tidaknya tablet terdisintegrasi sebelum melepaskan zat aktifnya.
Pada pengujian waktu hancur, tablet dinyatakan hancur jika tidak ada bagian
tablet yang
tertinggal di atas kasa, kecuali fragmen yang berasal dari penyalut. Kecuali
dinyatakan
lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan keenam tablet tidak lebih
dari 15
menit untuk tablet tidak bersalut dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet
bersalut
(Syamsunim 2007).
f. Disolusi
Disolusi adalah suatu proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke
dalam
larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat
aktif yang
terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat
tergantung
pada cara pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan
frekuensi
pemberian obat (Syamsuni, 2007).
g. Penetapan kadar zat aktif
Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif
yang
terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan
memenuhi
syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat
tidak
memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan
juga tidak
layak untuk dikonsumsi (Syamsuni, 2007).
C. Disolusi
Disolusi adalah suatu proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke
dalam
larutan pada suatu medium. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa
banyak
persentasi zat aktif dalam obat yang terabsorbsi dan masuk ke dalam
peredaran darah untuk
memberikan efek terapi. Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian
dengan
persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali
pada etiket
dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi.
Dalam
penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai
macam proses
disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses
pembasahan sediaan,
kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses
pengembangan, proses
disintegrasi, dan degradasi sediaanm merupakan sebagian dari faktor yang
mempengaruhi
kerakteristik disolusi obat dari sediaan (Ditjen POM, 1995).
Laju suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut telah diajukan dalam
batasan-batasan
kuantitatif oleh Noyes dan Whitney pada tahun 1897 dan telah dikerjakan
dengan teliti oleh
peneliti-peneliti lain. Persamaan Noyes-Whitney bisa dituliskan sebagai bentuk
modifikasi
berikut ini (Kim, 2004)
dt
dM =
h
DS (Cs-C) (1) atau
dt
dC =
Vh
DS (Cs-C) (2)
Dimana M adalah massa zat terlarut yang dilarutkan pada waktu t, dM/dt
adalah laju disolusi
dari massa teresebut, D adalah koefisien difusi dari zat terlarut dalam larutan,
S adalah luas
permukaan zat padat yang menyentuh larutan, h ketebalan lapisan difusi, Cs
kelarutan dari
zat padat, yakni konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut pada
temperatur percobaan
dan C konsentrasi zat terlarut pada waktu t. Besarnya dC/dt adalah laju disolusi
dan V adalah
volume larutan (Martin et al, 1993). Dalam teori disolusi dianggap bahwa
lapisan difusi air
atau lapisan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang
sedang
berdisolusi, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Disolusi obat dari matriks padat (Martin et al, 1993).
Ketebalan lapisan larutan stasioner dinyatakan sebagai h, Cs dan C adalah
konsentrasi
molekul-molekul zat terlarut. Di belakang lapisan difusi statis, pada nilai x yang
lebih besar
dari h, terjadi pencampuran dalam larutan dan obat terdapat pada konsentrasi
yang sama, C
pada seluruh pelarut yang digunakan.
Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat dalam bentuk
padat
berada dalam keseimbangan dengan obat dalam lapisan difusi. Perbedaan atau
perubahan
konsentrasi dengan berubahnya jarak untuk melewati lapisan difusi adalah
konstan, seperti
terlihat oleh garis lurus yang mempunyai kemiringan (slope) menurun. Ini
adalah penurunan
yang dinyatakan dalam persamaan (1) dan (2) dalam bentuk (Cs-C)/h.
Jika C jauh lebih kecil daripada kelarutan obat Cs, sistem tersebut digambarkan
oleh
keadaan sink dan konsentrasi C bisa dihilangkan dari persamaan (1) dan (2).
Maka persamaan
(1)menjadi :
(2)
dM = DS
h
Cs (3)
Pada saat melarutnya zat padat, disekelilingnya akan terbentuk lapisan tipis
dari larutan
jenuhnya. Dari lapisan ini akan terjadi difusi ke bagian sisa larutan di
sekitarnya. Dengan
mempertimbangkan hambatan proses difusi ini dalam proses melarut, dapat
memberikan
kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara lebih konkret (Martin et al,
1993).
Efektivitas suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik
bergantung
pada laju disintegrasi bentuk sediaan dan deagregasi granul-granul. Tetapi
biasanya yang
lebih penting adalah laju disolusi obat padat tersebut. Seringkali disolusi
merupakan tahapan
yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang
mempunyai
kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang
paling lambat dari
berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan
perjalanannya
ke dalam sirkulasi sistemik (Kim, 2004).
Efisiensi disolusi dapat dirumuskan pada persamaan di bawah ini :
ED(%) =
Luas segi empat
Luas daerah di bawah kurva x 100 %
=t
t0
Y.100
Y.dt x 100 %
Alat untuk uji disolusi (Menkes RI, 2014)
Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua (2) tipe alat, yaitu :
1. Alat tipe 1 (Tipe keranjang)
Alat terdiri dari wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
lain yang
inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup
sebagian dalam
penangas sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37 5 C
selama pengujian
berlangsung dan juga menjaga agar gerakan air dalam penangas air halus dan
tetap.
Dayung yang digunakan terdiri dari batang logam dan keranjang. Sediaan
dimasukkan ke
dalam keranjang yang kering pada tiap awal pengujian. Selama pengujian
berlangsung
jarak antara bagian dasar dalam wadah dan keranjang adalah 25 2 mm.
2. Alat tipe 2 (Tipe Basket)
Spesifikasi alat sama seperti alat tipe 1, kecuali pada alat ini digunakan dayung
yang terdiri dari
daun dan batang sebagai pengaduk yang merupakan satu kesatuan dapat
disalut dengan suatu
penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah
sebelum dayung mulai
diputar.
D. Bioavailabilitas
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui
maupun terhadap obat dengan efek terapeutiknya yang belum disetuji oleh
FDA (Food and
Drug Assosiation). Bioavailabilitas absolut merupakan rasio ketersediaan zat
aktif dalam
sirkulasi sistemik suatu sediaan obat terhadap pemberian iv, parenteral.
Sedangkan
bioavailabilitas relatif merupakan rasio etersediaan dalam sistemik suatu
produk obat
dibandingkan dengan standar dengan jenis zat aktif dan rute pemberian yang
sama. (shargel,
dkk., 2005).
E. Model Farmakokinetika
Model farmakokinetika adalah suatu hubungan matematika yang
menggambarkan
perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang diperiksa. Kita
mempunyai model
satu kompartemen jika obat setelah pemakaian segera terdistribusi dalam
ruang distribusi
yang dapat dilalui dengan merata, jika proses eliminasi mungkin terjadi, model
satu
kompartemen disebut terbuka. Pada model dua atau lebih kompartemen,
terhadi distribusi
obat ke dalam ruang distribusi yang dapat dilewatinya dengan kecepatan yang
berbeda-beda.
ratanya.
Hasil yang didapatkan tidak boleh lebih dari dua tablet yang menyimpang dari
bobot
rata-rata yang ditetapkan pada kolom A dan tidak boleh ada tablet yang
menyimpang
dari bobot rata-rata yang ditetapkan pada kolom B.
b. Pengujian kerapuhan
Sejumlah 20 tablet dibebasdebukan dengan aspirator, lalu ditimbang seksama
pada
neraca analitik, kemudian dimasukkan dalam friabilator tester. Pengujian
dilakukan
selama empat menit atau sebanyak 100 putaran. Tablet dikeluarkan dari alat,
lalu
harga puratanya.
d. Pengujian waktu hancur
Sebanyak lima buah tablet dimasukkan ke dalam alat uji waktu hancur
(disintegration
tester). Setiap tabung diisi satu tablet, kemudian dimasukkan ke dalam
penangas air
dengan temperatur 37 5 C. Ketinggian permukaan air penangas sama
dengan posisi
lubang ayakan pada bagian bawah alat pada saat tabung naik dalam
kedudukan
tertinggi. Alat dijalankan sampai semua fraksi pecahan tablet lewat ayakan
yang
terletak pada bagian bawah alat, lalu dicatat waktu yang diperlukan sebagai
waktu
hancur (10).
e. Pengujian disolusi
Disolusi ofloksasin diuji berdasarkan USP 30, menggunakan alat tipe 2 (metode
dayung). Tablet diletakkan dalam media disolusi, berupa dapar fosfat pH 7,4
sebagai
simulated gastric juice sebanyak 900 ml dengan temperatur yang
dipertahankan yaitu
370.5oC.. Masing-masing menggunalan 12 tablet sesuai dengan ketentuan
dari
BPOM. Kecepatan pengadukan diatur pada 50 putaran per menit. Pengujian
dilakukan
selama 60 menit. Pada setiap selang waktu tertentu, diambil sampel sebanyak
5 ml
yang kemudian digantikan dengan medium dengan volume yang sama. Sampel
tersebut dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum 288 nm. Data yang diperoleh digunakan untuk menentukan profil
disolusi
sediaan generik dan sediaan bermerek.
pada kelinci dengan pemberian tablet ofloksasin generik secara oral. Pada
menit ke
tertentu 15, 20, 30, 45, 60, 90, 120, 150, 180 setelah perlakuan, darah dari
vena kelinci
sebanyak 1,5ml disentrifuge selama 15 menit, 3000 rpm. Mengambil 0,5 ml
plasma
dalam tabung sentrifuge kemudian ditambahkan 2 ml TCA 20%. Divortex
selama 1
menit, lalu sentrifuge pada 3000 rpm selama 15 menit. Mengambil 0,5 ml
supernatan
dalam tabung reaksi. Menambahkan 0,5 ml HCl 6 N dan 1 ml NaNO2 10%,
didiamkan
selama 15 menit. Menambahkan asam sulfamat 15% dan 3,5 ml NaOH 10%.
Didegassing sampai gelembung hilang, didiamkan selama OT. Membaca
absorbansi
pada maksimum. Membuat plot kadar vs waktu. Membuat plot ln kadar vs
waktu.
Menentukan model farmakokinetiknya. (cara yang sama dilakukan untuk
sediaan Akilen
dan Tarivid).
4. Analisis data
a. Data sifat fisik yang meliputi keseragaman bobot, kerapuhan, kekerasan,
dan waktu
hancur tablet dibandungkan dengan persyaratan sifat fisik yang tercantum
pada
Farmakope Indonesia dan pustaka lainnya. Hasil penetapan kadar ofloksasin
dalam
tablet sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan BPOM yaitu kandungan zat
aktif
tidak boleh lebih dari 5%. Data yang diperoleh dari uji disolusi berupa kadar zat
terlarut (Q) pada menit ke 30 dibandingkan dengan persyaratan Farmakope
Indonesia edisi ke V. Selain itu juga dihitung sebagai Dissolution Efficiency
selama
60 menit (DE 60) dan dianalisis secara deskriptif. Selain itu, profil disolusi
antara
masing-masing produk akan dibandingkan dengan menggunakan factor
kemiripan
(f2) yang dihitung dengan persamaan berikut :
dengan Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling
dari
produk pembanding (R=reference), dan Tt = persentase kumulatif obat yang
larut
pada setiap waktu sampling dari priduk uji (T=test). Nilai f2 sama dengan 50
atau
lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva yang
berarti kemiripan profil disolusi kedua produk (BPOM, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, S., Soemardi, F., dan Indriyani, 2006, Penetapan Kadar Kaplet Amoxsisilin
(generik) dan
Amoxsisilin (merk) dengan metode KCKT, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol IV, No 1 42-43
Sambara, J. 2007. Pola Penggunaan Obat Generik Berlogo Dari Rumah sakit Umum
Daerah Kupang
periode Juli-Desember 2006.(online). http//www. Medicastore.com. diakses tanggal 01
maret
2015.