You are on page 1of 12

Latar Belakang

Menurut Gordon Allport nilai adalah keyakinan yang membuat


seseorang bertindak atas dasar pilihanya. Sedangkan menurut Thomas
Kuhn ilmu adalah himpunan aktifitas yang menghasilkan banyak penemuan
baik dalam bentuk penolakan maupun pengembanganya. Setiap ilmu akan
menghasilkan teknologi yang akan diterapkan kepada masyarakat. Hasil
dari ilmu itu tidak selalu memberi berkah atau penyelamat pada manusia.
Dengan kemajuan ilmu manusia dapat menciptakan berbagai bentuk
teknologi yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negative
yang menimbulkan mala petaka bagi manusia iu sendiri.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia ilmu diartikan sebagai
pengetahuan tentang satu bidang yang di susun secara sistematis yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu. Menurut
(Rahmat,2011) bahwa ilmu pengetahuan di peroleh secara sahih dan andal
dengan suatu penyelidikan ilmiah yaitu penelitian maka ia merupakan
sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil dari sebuah kesimpulan proses
pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol.
Menurut Minto Rahayu ilmu adalah pengetahuan yang telah di
susun secara sistematis dan berlaku untuk umum. Dari papara di atas berarti
ilmu harus di letakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai
kebaikan dan kemausiaan. Sebab jik ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai,
maka yang terjadi adalah bencana dan mala petaka. Seorang ilmuan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat yang akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta
masalah bebeas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan harus
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung
jawab moral.
Bedasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka ilmu harus sesuai
dengan keperluan dan kebutuhan manusia aagar terpenuhi secara lebih
cepat dan lebih mudah dengan itu ilmu dapat mengubah wajah dunia seperti
membeerantas penyakit kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah

kehidupan yang sulit lainya. Singkatnya ilmu merupakan saran untuk


membantu manusia dalam membantu tujuan hidupnya.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan aksiologi: nilai kegunaan ilmu
2. Bagaimana nilai kegunaan ilmu dalam aksiologi
3. Bagaimana macam-macam kategori dasar aksiologi
4. bagaimana kaitan
TUJUAN
1. untuk memahami arti dan maksud dari aksiologi: nilai kegunaan
ilmu
2. untuk mengetahui dan memahami kegunaan aksiologi: nilai
kegunaan ilmu
3. untuk menyebutkan dan menjelaskan kategori dasar aksiologi
4. untuk mengetahui kegunaan teori nilai: nilai kegunaan ilmu

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Dengan demikian aksiologi adalah teori tentang nilai (Amsal
Bakhtiar, 2004). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 2000).
MenurutBramel dalam Amsal Bakhtiar (2004), aksiologi terbagi dalam tiga
bagian. Pertama, moral conduct yaitu tindakan moral yang melahirkan
etika. Kedua, esthetic expression yaitu ekspresi keindahan. Ketika, sosio
political life yaitu kehidupan social politik yang akan melahirkan filsafat
sosio politik. Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa
aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan
valuation, yaitu
A. Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam arti sempit: berupa
sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian
luas: kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Aksiologi merupakan
bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Sebagai instrument untuk menjadi baik, atau sesuatu
menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti
estetika dari sebuah karya seni, sebagai nilai instrinsik menjadi baik
dalam dirinya sendiri, sebagai nilai contributor atau nilai yang
merupan pengalaman yang berupa kontribusi.
B. Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk
kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system
nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau
bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak
dianggap baik atau bernilai.
C. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai, dan dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal
tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi (Paul
Edwards, (ed.) dalam Amsal Bakhtiar, 2004).

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan


sebuah polemic tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang
biasa disebut sebagai netralisasi pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada
jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau lebih dikenal
dengan value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralisasi
penngetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Bagi ilmuan penganut paham terikat nilai, perkembangan pengetahuan akan
terjadi sebaliknya karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan
penggunaan oleh nilai. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat
ilmu maupun dengan ilmu, maka muncullah dua penilaian yang sering
digunakan yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang
membahas secara kritis dan sistematik masalah-masalah moral. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi
pembahasan menarik sejak masa Socrates.
Ilmu merupakan salah satu pengetahuan yang diperlukan manusia dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan secara lebih cepat dan lebih mudah,
sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradapan
manusia sangat tergantung pada kemajuan ilmu.
Pertanyaan yang juga akan muncul seputar aksiologi, antara lain apakah
ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Atau
sebaliknya, apakah ilmu juga dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat
negative yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri? Semua
jawabannya ada pada sikap ilmuan itu sendiri dan hakikat dari ilmu yang
berfungsi untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Disinilah ilmu
harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan
dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai maka
yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmj akan menghasilkan teknologi yang dapat diterapkan kepada


masyarakat. Proses ilmu menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari sikap ilmuan.
Seorang ilmuan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi
ataukah kepentingan masyarakat, akan berimpilkasi pada persoalan etika
keilmuan. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan haruslah dijaga
dengan baik, dalam hal tanggung jawab dalam bidang akademis maupun
tanggung jawab moral sebagai seorang ilmuan.
Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tida dapat disangka lagi bahwa ilmu
telah banyak mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan sebagai wajah kehidupan yang duka. Apakh ilmu selalu
merupakan berkat dan penyelamat bagi maunsia? Bukankah atom yang
diciptakan memiliki dua sisi mata uang, dimana satu sisi bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energy bagi pemenuhan hajat manusia di muka bumi,
sedangkan sisi sebaliknya, digunakan sebagai bahan perakit bom atom yang
berakibaat dahsyat bagi penghancuran eksistensi manusia dan makhluk
hidup lainya di area dan di sekitar ledakan. Begitu juga berbagai upaya
yang telah di lakukan manusia sebagi contoh, usaha untuk memerangi
kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman
yang dipakai sebagai alat untuk membunu sesame manusia. Einstein
mengeluh dihadapan manusia California institut of technology:
Dalam peperangn ilmu menybabkan kita saling meracuni dan saling
menjegal. Dikerumunan dunia yang sedang tercipta perdamaian, ilmu
membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh dengan ketidak pastian.
Mengapa ilmu yang amat indah itu, yang menghemat kerja dan membuat
hidup lebih mudah hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali
kepada kita?. (Suriasumantri, 2000: 35)
Kalau kita mengkaji pernyataan Enstein itu dalam-dalam maka
masalahanya terleta dalam hakikat ilmu itu sendiri. Seperti dicanangkan
oleh Francis Bacon berabad-abad yang silam, pengetahuan adalah

kekuasan. Apakah keukasan itu merupakan berkat atau mala petaka bagi
manusia, semua itu terletak pada orang yang menggunakan kekuasaan
tersebut. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau
buruk dan pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan
mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar
terletak pada sistm nilai pemilik pengetahuan tersebut.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
di terapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadisebuah
teknolgi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari siilmuannya. Seorang ilmuan akan dihadapkan pada
kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk
itulah tanggung jawab seorang ilmuan haruslah dipupuk dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, tanggung jawab moral.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahua. Seoraang
ilmuan haruslah bebas dalam menetukan topic penelitianya, bebas dalam
melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan
dapat dapat mengukur kualitas kemampuanya. Ketika seseorang ilmuan
bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmuanya dan tujuan agar
penelitianya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilainilai dalam masyarakat, nilai agama, niali adat, dan sebagainya. Bagi
seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang
sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai
bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian?
Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa mala petaka
dan kesengsaraan? Memang dengan jalan mempealajari teknologi seperti

pembuatan bom atom, manusia bias memanfaatkan wujudnya sebagai


sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bias
juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan
bom atom yang menimbulkan mala petaka. Menghadi hal yang demikian,
ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagai mana
adanya,mulai memepertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
dipergunakan? Untuk menjawap pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuan
harus berpaling kehakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan
persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nila-nilai moral
(Agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengemukakan
teorinya bumi yang berputar mengelilingi matahari sementara ajaran
agama menilai sebaliknya, maka timbulah interaksi antara ilmu dengan
moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama.
Timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan
dipaksa untuk mencabut pernyataan-pernyataannya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih
dua setengah abad menpengaruhi proses perkembangan berpikitr di Eropa.
Dalam kurun waktu ini, para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu
bedasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu
yang bebas nilai, setelah pertarungan itulah ilmuan mendapatkan dengan
memperoleh keotomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan
penelitiannya dalam mempelajari alam sebagaimana adanya.
Setelah ilmu mendapatkan otomi yang terbebeas dari segenap nilai yang
bersifat dormatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik
dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Teknologi tidak
diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pernyataan,
bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi,
apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral?

Apabila teknologi itu menimbulkan akses yang negatif terhadapa


masayarakat.
Dihadapan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuan berbagi kedalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
ilmuan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepad orang lain
untuk memepergunakanya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang
baik ataukah untuk tujua yang buruk. Golongan ini ingin melanjutka
tradisis kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.
Golonga kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nila-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaanya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golonga kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
1. Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua pernag dunia yang
mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga
kaum ilmuan lebih mengetahuai tentang akses-akses yang mungkin
terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat merubah manusia dan kemanusiaan
yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika and teknik
perbuatan social.
Bedasarkan ketiga hal diatas, maka golongan kedua berpendapat bahwa
ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manuisa tanpa
merandahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Dari dua pendapat golongan diatas kelihatanya netralitas ilmu terletak pada
epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain
kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan seca ontologis dan aksiologis,
ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang

pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral


yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuan akan lebih merupakan seorang momok
yang lebih paling menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip
etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat
diterpakan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar
seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik
dan menghindarkan dari yang buruk kedalam perilaku keilmuanya,
sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan perilaku
ilmiahnya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
pemberian penilaiaan terhadap perbuatan-pernuatan apa yang seharusnya
dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertantangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemenelemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab,
nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini
adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dihubungkan dengan
perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berbeda pada etika keilmuan adalah nilai dan
norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral
itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ian berada pada atau menjadi
milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang adil seperti nilai dan
agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai
moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral
menetukan apakah sesorang berlaku baik atau buruk dari sudut etis. Bagi
seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi
penetu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau buruk.

Penerapan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuan, apakah itu
berupa teknologi maupun teori-teori emansipasi mayarakat dan sebagainya
itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai
adat, dan sebaginya. Ini berarti ilmu pengetauan tersebut sudah tidak bebas
nilai. Karena itu sudah berada di tengah-tengah masyaraka luas dan
masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu karena tanggung jawab lain yang berkaitan dengan
penerapan teknologi dimasyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun,
tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak
positif ketika berada ditengah msayarakat. Kadang kala teknologi
berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu
teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau
pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik
( kloning manusia) yang dapat dianggap berentangan dengan kodrat
manusia atau ajaran agama. Dalam persolan ini perlu ada penjelasan leih
lanjut. Bagi seorang ilmuan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu,
dia harus berjiwa besar, berisfat terbuka untuk menerima kritik dari
masyarakat. Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitianya
sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuan, bukan lagi memberi
informasi namun harus memberi contoh. Dia harus lagi bersifat objektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penetuan kebenaran
secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai mengalami keguncangan, maka
seorang ilmuan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikanya
merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama
harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seseorang
ilmuan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan contoh yang baik.

Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai-nilai? Ilmu
pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi
konteksnya itu. Agama memngarahakan ilmu pengetahauan pada tujuan
hakikinya, yakni memahami ralitas alam, dan memahami eksistensi Allah,
agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan diri, dan tidak
mengarahkan ilmu pengetahuan melalu pada praxis, pada kemudahankemudahan material duniawi. Solusi yang di berikan oleh Al-Quran
terhdapa ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara
mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkat dan
rahmat pada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat
Bedarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada arah
terkendali, tapi ia harus bergerak kearah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikanya. Kekusaaan manusia atas ilmu pegetahuan harus
mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu
untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaan yang menggenggam
ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka pengembangan
diri kepada sang pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan antara filosof
denga para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka
ungkapakan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk
ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk satra, dan lain sebagainya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk
mengembangakan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti
atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagi alat untu menambahkan
kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi
ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk
meringankan beban hidup manusai atau untuk membuan manusia senang
karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinnay akan melahirkan
teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatsi

berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energy, kesehatan,


dan lain sebaginya. Sedangkan pendapat yang lainya cenderung menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan
kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.

You might also like