Professional Documents
Culture Documents
A.
berani
untuk
beraspirasi
dan
mengekspresikan
tuntutannya
terhadap
27
Universitas Sumatera Utara
dengan pembangunan
20
http://www.wikipedia.org.
A. Martanti Dwifebri, 2007, Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya ikut
serta perbaiki perekonomian bangsa diakses dari situs : http://72.
14.235.104/search?q=cache:HN9RRTtGGung J:www.isei.or.id/page.php%3Fid%,11/29/20
21
melakukan
pemenuhan
kewajiban
perpajakan
dan
22
Yenni Mangoting, Biaya Tanggung Jawab Sosial sebagai Tax Benefit, diakses dari situs :
Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting
23
A. Martanti Dwifebri, Op.cit.
24
Ibid.
sebagai
kejahatan
korporasi.
Beberapa
raksasa
korporasi
25
Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of Gold
Rating : Sustainable CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, dapat juga diakses dari situs :
http://www.menlh.go.id2/36
26
The Business Watch Indonesia, Desember 2007 3/36
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
B.
2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru
kemampuan
perusahaan
untuk
dapat
beradaptasi
dengan
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO
meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan
standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut
mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory
Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan
pre-conference dan conference bagi negaranegara berkembang, selanjutnya di
tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada
seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005,
dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.
Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari
CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility
saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena
pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua
bentuk organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar
pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu
institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di
negara berkembang maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan memberikan
tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini
dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung
jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsipprinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek
terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional.
ISO
26000,
penerapan
sosial
responsibility
Ibid.
Ibid.
saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun
perusahaan
tersebut
masih
mengiklankan
penerimaan
pegawai
dengan
Chrysanti Hasibuan, Sekali Lagi, CSR, 10 November 2006, diakses dari situs :
http://www.swa.co.id
C.
tekanan publik dan politik., tetapi pelaksanaan CSR (khususnya yang dikaitkan
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam
melaksanakan CSR (CSR leadership). Karena itu faktor pendukung daya saing
juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan.
D.
bahwa gerakan sosial terbesar dalam periode saat ini adalah gerakan CSR yang
memberikan tekanan terhadap multinasional, negara, dan bahkan hukum
internasional yang dipandangnya terlalu banyak mengabaikan, jika tidak mau
dikatakan sangat miskin, dalam memerhatikan persoalan globalisasiIa berkata,
penerimaan terhadap prinsip CSR pada dasarnya bukan terletak pada persoalan
hukum, tetapi lebih pada perlawanan ekonomi dan politik.
30
30
korporasi, dunia usaha di Indonesia terus menjerit dan menganggap seolah CSR
sebagai beban, bukan soal tanggung jawab.
Inti persoalan kemudian digeser dari masalah prinsip kehidupan manusia
dan lingkungannya ke persoalan yang bersifat teknis perusahaan, yang berakhir
pada masalah perhitungan antara untung dan rugi. Padahal, CSR berkaitan juga
dengan kelangsungan kehidupan setiap korporasi. Meskipun demikian, patut
dicatat, memahami persoalan dunia usaha di Indonesia memang membutuhkan
pendekatan lebih khusus. Jangan berharap berbicara tentang CSR di belahan Bumi
yang lain akan sama nikmatnya jika berbicara soal yang sama dalam konteks
Indonesia.
31
Di belahan Bumi yang lain, ketika korupsi dibabat habis dan seluruh mata
rantai birokrasi dibereskan dengan memberikan tekanan kepada pemberesan
kelembagaan hukum, reformasi birokrasi, remunerasi, dan reformasi hukum
berjalan, dunia usaha mulai bergerak pasti dan siap bicara soal CSR dalam
konotasi yang pahit sekalipun. Sementara itu, di wilayah Nusantara, pengusaha
harus berhadapan dengan semua urusan yang berkonotasi uang, birokrasi yang
panjang dan melelahkan, kepastian hukum yang masih menjadi angan-angan,
merosotnya daya saing, seretnya kredit dari perbankan, relatif tingginya pajak
badan yang dikenakan negara, dan serentetan masalah lainnya yang membuat
dunia usaha bagaikan hidup segan mati tak hendak.
Dalam situasi seperti itu, sangat masuk akal jika adopsi terhadap semua
prinsip-prinsip yang berlaku di negara yang faktor kelembagaan ekonomi, sosial,
31
Ibid.
budaya, hukum, dan politiknya sudah tertata dengan baik menjadi tak dapat
bekerja dengan baik ketika dicoba untuk diterapkan di Indonesia. Masalahnya
tidak terletak pada adanya UU PT yang baru, tetapi lebih terletak pada bagaimana
pemerintah memberikan ruang yang luas pada kenyamanan berusaha dengan
memerhatikan faktor kelembagaan sebagai faktor yang dominan sebelum adopsi
terhadap konsep apa pun hendak dijalankan. Bantahan terhadap kelemahan ini
dapat dilakukan, tetapi tetap saja akan sia-sia.
E.
Kaitan Tanggung
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
dikenai
sanksi
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan.
modal
berkewajiban
melaksanakan
tanggung
jawab
sosial
GC terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM, empat di bidang standar
tenaga kerja , tiga di bidang lingkungan hidup, dan satu di bidang anti-korupsi.
Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan
perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan
lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk
kepada HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang
HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002). Sebagaimana
diketahui, GC merupakan nilai-nilai yang mempedomani CSR. Dua dari sepuluh
asas dalam GC secara langsung merujuk pada penghormatan HAM sebagaimana
diakui oleh dunia internasional. Dasar internasional tentang HAM adalah
Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Indonesia menghormati UDHR
dan telah memasukkan sebagian asas-asas tersebut dalam konstitusi (UUD 1945
yang telah diamandemen). Meskipun memang pada dasarnya negara yang
bertanggung jawab tentang penegakan HAM ini, tetapi peranan perusahaan juga
tidak kecil dalam turut serta menghormati HAM. Karena GC merupakan pedoman
bagi CSR dan GC merujuk pada penghormatan HAM, maka pelaksanaan CSR
oleh perusahaan berarti pula kewajiban perusahaan untuk menghormati
perlindungan HAM di Indonesia. Ketidaktaatan perusahaan melindungi HAM di
Indonesia, terutama yang tertuang dalam konstitusi, akan merupakan pelanggaran
serius dari perusahaan bersangkutan.
Namun, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk menentukan pelanggaran
HAM. Belum ada indikasi yang standard mengenai apakah sebuah perusahaan
telah melakukan pelanggaran atau tidak. Indikasi pelanggaran hanya mungkin
dilakukan cases by cases, itupun dengan kajian yang rumit dan makan waktu yang
sangat panjang, seperti ketika perusahan mengeluarkan kebijakan yang tidak
berpihak pada buruh, misalnya masalah gaji yang masih dibawah UMR, belum
memadainya jaminan kesehatan (health insurance) kepada para buruh, masalah
lembur, jam kerja, PHK dan sebagainya. Kemudian ketika satuan pengamanan
perusahaan (security) yang tidak cooperative dalam menyikapi demonstrasi kaum
buruh, sepert melakukan tindakan-tindakan (misalnya mulai dari menggeledah
badan buruh sampai dengan menghalau demontrasi buruh).
Tindakan-tindakan seperti tersebut di atas pada dasarnya dapat diindikasikan
sebagai pelanggaran HAM, yang dengan sendirinya akan menyebabkan
perusahaan harus bertanggung jawab baik secara gugatan sipil (civil liability),
maupun dakwaan kriminal (criminal liability). Hal ini juga sesuai dengan asas
Global Compact yang meminta that businesses should make sure that they are
not complicit in human right abuses, berarti bahwa suatu perusahaan harus
memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam melakukan pengeksploitasian dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kajian berikutnya mengenai indikasi pelanggaran HAM oleh perusahaan
adalah apabila perusahaan tidak mengelola limbah dengan baik sehingga
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Banyak kasus-kasus yang
terjadi di Indonesia yang memenuhi indikasi ke arah itu. Sebut saja, Kasus PT.
Lapindo Brantas yang tidak saja membuat berhentinya denyut nadi kehidupan
rakyat Sidoarjo, tapi juga telah meluluhlantakkan lingkungan di sekitarnya.
Kemudian kasus PT. Freefort yang telah melongsorkan sungai Wanagon yang
HAM
dan
perusahaan
yag
bersangkutan
dapat
dimintai