Professional Documents
Culture Documents
JAI
Sejawat terhormat,
Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Ikatan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi
Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Semoga bermanfaat.
Salam,
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Kamtini, Nik Sumarni
Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.
DAFTAR ISI
PENELITIAN
Moch. Rahardi Hamsya, Mohamad Sofyan Harahap
Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Kreatinin
Fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin
Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatan kadar
kreatinin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium,
tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Rosa Afriani, Heru Dwi Jatmiko
Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran
Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan
menggunakan agen inhalasi isofluran.
Eva Susana Putri Daya, Uripno-Budiono, Heru Dwi Jatmiko
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu
Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam
Intravena
Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu
persalinan
Agatha Citrawati Anom, Mohamad Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran Dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit
Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan
gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran
TINJAUAN PUSTAKA
Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana
Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma
Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktorfaktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca
trauma.
Satrio Adi Wicaksono, Hari Hendriarto, Heru Dwi Jatmiko
Anestesi Pada Mediastinoskopi
Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena
diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan
kesulitan pengendalian perdarahan.
Igun Winarno, Jati Listiyanto Pujo, Mohamad Sofyan Harahap
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP.
Hal
1
10
17
24
36
44
52
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubation and induction, short
operation emergency, day case anaesthesia and difficult airway controlled. Unexpected
complication after succinylcholine administration is fasciculation, myalgia and increase
of potassium blood level and creatin phosphokinase serum.
Methods: This research was a clinical trial stage I (human sample) for 60 patients benign
breast tumors undergoing surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6
hours fasting period and give no premediacation. Peripheral blood sample were taken to
measure the potassium level and creatin phosphokinase serum before premedication given.
Patients randomly divided in to two grou., group I pretreatment with atrakurium 0,05
mg/kgBW and group II pretreotment with MgSO4 40mg/kgBW. Induction with
succinylcholine 1,5mg/kgBW fifteen minute after premedication. Seven minute after
induction, peripheral blood sample were taken on contralateral inffusion to measure
potassium blood level after induction and 24 hours post operation. Peripheral blood
sample were taken on contralateral infusion to measure creatine phosphokinase serum
level. Statistical analysis were performed by independent t-test, Mann-Whitney U test and
rank spearman correlation which were = 0,05 was considered significant.
Results: There was no difference for patients characteristics distribution data, creatin
phosphokinase serum and blood potassium level before induction between two groups, For
potassium blood level elevation between two group were significantly difference ( p =
0,029). Creatin phosphokinase level elevation between two group were no significantly
difference ( p > 0,05 ). There was no significantly correlation (p = -0,138; p = 0,466)
proved is between creatin phosphokinase serum and blood potassium level elevation on
atrakurium group such no significantly correlation ( = 0,186; p = 0,325) proved is
between creatine phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium
group.
Conclusions: The administration of 40% magnesium sulphate 40 mg/kg BW could prevent
the elevation of serum creatin phosphokinase following succinylcholine induction and
blood potassium ion level, althought not as effective as atrakurium but better than other
pretreatment.
Keywords: succinylcholine, magnesium sulphate, potassium, potassium, fasciculation
ABSTRAK
Latar belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi dan induksi masih
merupakan pilihan untuk tindakan yang singkat, emergensi, rawat jalan dan keadaan
dimana jalan napas belum tentu dapat dikuasai. Efek samping yang sering timbul adalah
fasikulasi dan mialgia yang ditandai
meningkatnya kadar serum kreatin fosfokinase (CPK) dan ion kalium.
________________________________________________________________________________
1
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap I ( subyek manusia ) pada 60 penderita
tumorjinak mama yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita
dipuasakan 6 jam dan tidak diberi obat premedikasi.Pengambilan sampel darah perifer di
daerah antebrakhii kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium dan kreatin
fosfokinase sebelum induksi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2
kelompok. Kelompok I mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan kelompok II
mendapat pretreatment MgSO4 40% 40 mg/kgBB. 15 menit kemudian dilakukan induksi
dengan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB pada masing-masing kelompok. 7 menit setelah intubasi
dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar
ion kalium pasca perlakuan dan 24 jam setelah operasi dilakukan pengambilan sampel
darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar kreatinin fosfokinase. Uji
statistik menggunakan independent t-test dan Mann-whitney U test serta uji korelasi
dengan rank Spearman dengan derajat kemaknaan : 0,05.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada distribusi karateristik penderita serta
kadar serum kreatin fosfokinase dan kadar kalium sebelum perlakuan. Peningkatan kadar
ion kalium antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat terdapat
perbedaan bermakna (p = 0,029) dan peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat tidak terdapat perbedaan bermakna
( p > 0,05 ). Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna ( = 0,138; p =0,466) peningkatan kadm kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok
atrakurium demikian juga hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan
bermakna ( = 0,186; p = 0,325) peningkatan kadar kalium dan peningkatan kadar CPK
pada kelompok MgSO4.
Kesimpulan: Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah
peningkatankadar kreatin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak
seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Kunci : suksinilkolin, magnesium sulfat, kalium, fasikulasi
PENDAHULUAN
Hampir sebagian besar pasien pasca
operasi memberikan keluhan adanya rasa
nyeri otot dari sebagian anggota badan
setelah
menjalani
operasi
yang
menggunakan pelumpuh otot golongan
depolarisasi suksinilkolin sebagai obat
induksi dalam anestesi umum. Oleh
karenanya banyak para ahli anestesi
melakukan berbagai macam penelitian
untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit tersebut dengan berbagai
macam jenis obat di antarannya adalah
pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil, anestesi lokal, klorpromazine,
benzodiazepin, golongan OAINS dan
lain-lain.1,2,3,4 Insiden nyeri otot ini
menurut Aitkenhead 50%.5 dan
Shrivastava 45%.6 sedang menurut
________________________________________________________________________________
2
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
3
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
METODE
Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang
dilakukan secara acak tersamar ganda
(double blind randomized controlled
trial) dengan tujuan untuk mengetahui
bukti yang obyektif derajat beratnya
fasikulasi-mialgia pasca operasi 24 jam
yang dilihat dari peningkatan kadar
kreatin fosfokinase dan ion kalium
dengan membandingkan 2 kelompok
penelitian, yaitu kelompok kontrol
atrakurium (I) dan magnesium sulfat (II)
melalui rancangan pretest posttest group
design untuk variabel kadar kreatin
fosfokinase darah dan ion kalium.
Untuk homogenitas sampel dengan luka
operasi yang sama sehingga dihasilkan
kualitas penelitian yang baik dipilih
pasien tumor mama jinak di RS. Dr.
Kariadi yang dipersiapkan untuk pembedahan dengan menggunakan teknik
anestesi umum yang memenuhi kriteria
seleksi tertentu.
Populasi target adalah semua penderita
tumor mama jinak wanita berusia 15-60
th, berat badan 35-60 kg tinggi badan
135-170 cm yang akan menjalani
pembedahan elektif dengan teknik
anestesi umum.
Kriteria inklusi, yaitu usia 15-60 tahun,
ASA I-II, BMI 17-25 kg/m2, tinggi badan
135-170 cm, bersedia sebagai sukarela-
HASIL
Sampel penelitian berjumlah 60 orang
perempuan yang merupakan pasien tumor
mama jinak di RS. Dr. Kariadi Semarang
yang dipersiapkan untuk pembedahan
dengan menggunakan teknik anestesi
umum yang memenuhi kriteria seleksi
tertentu.
Jumlah
sampel
tersebut
kemudian dibagi menjadi dua kelompok
yaitu 30 orang mendapat perlakuan
atrakurium dan 30 orang lagi mendapat
perlakuan MgSO4.
Rerata berat badan kelompok atrakurium
55,2 kg ( 8,0) sedangkan rerata tinggi
badan 1,57 m (t 0,06). Rerata umur
kelompok atrakurium adalah 36 tahun
8,8 sedikit lebih tua dibandingkan
kelompok MgSO4 yaitu 31 tahun 11,3.
Deskripsi umur, berat badan dan tinggi
badan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Rerata tekanan darah sistole awal pada
kelompok atrakurium adalah 128 mmHg
16,6, sedangkan rerata tekanan darah
sistol awal pada kelompok MgSO4 adalah
126 mmHg 10,2. Rerata tekanan darah
diastol awal pada kelompok atrakurium
adalah 74 mmHg 9,2, sedangkan rerata
tekanan darah diastole awal pada
kelompok MgSO4 adalah 73 mmHg
7,7. Gambaran lengkap hemodinamik
awal sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Distribusi data umur, berat badan dan
tinggi badan berdasarkan uji Kolmogorov
Smirnov menunjukkan data yang normal,
sehingga uji beda di antara ke dua
________________________________________________________________________________
4
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
5
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
dan
P
0,057
0,811
0,073
0,642
0,651
0,870
0,810
________________________________________________________________________________
6
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
7
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
8
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
9
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Every patient undergoing surgery should receive proper pain management.
A non steroid antiinflamation drug, 30 mg ketorolac provide analgesic effect as well as 10
mg morphine or 100 mg meperidine without any cardio respiration depression side effect.
Ketorolac non selectively inhibit the function of cyclooxigenase enzyme and prostaglandin
synthesizes which cause endogenous vasoconstriction and decrease renal perfusion and
glomerular filtration.
Purpose: To detect effect of intravenous administration of ketorolac on Glomerular
Filtration Rate in anesthesia with isoflurane.
Method: This research was a second phase clinical trial, designed as double blind
randomize control trial. Sample of this study consisted of 48 patients, divided in to two
groups. Group Kl : receive intravenous 30 mg ketorolac (1 ml) 1 hour before the end of
surgery, and Group K2 : receive intravenous 1 ml saline 1 hour before the end of surgery.
Serum creatinine level was measured before and at 6 hours after surgery.
Result: There were no significant increase of serum creatinine and no significant decrease
of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group.
Conclusion: There were no significant increase of serum creatinine and decrease of
creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group in anesthesia with isoflurane.
Key words: ketorolac, Glomerular Filtration Rate, isoflurane
ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan
penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg
memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg
dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non
selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
giomerulus pada anestesi isofluran.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok
K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan
kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum
kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai.
Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo.
Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo,
dengan menggunakan agen inhalasi isofluran.
Kata kunci: ketorolak, laju filtrasi glomerulus, isofluran
________________________________________________________________________________
10
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
PENDAHULUAN
Setiap penderita yang mengalami
pembedahan
sebaiknya
diberikan
penanganan nyeri yang sempurna, karena
dampak dari nyeri itu sendiri dapat
mengakibatkan timbulnya Metabolic
Stress Response (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh
penderita. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan
hambatan
pada
penyembuhan luka, mobilisasi yang
terganggu, dan jangka waktu rawat di
rumah sakit akan semakin bertambah.
Analgesia lebih efektif tercapai dengan
menggunakan kombinasi obat yang
bekerja pada tempat-tempat yang berbeda
sepanjang jalur nyeri dan dengan efek
samping yang minimal. Terapi analgetik
dengan opioid menimbulkan banyak efek
samping antara lain: sedasi, narkosis,
depresi respirasi, dan ileus intestinal.
Beberapa efek samping tersebut tidak
terjadi dengan pemberian anti inflamasi
non steroid.3
Obat antiinflamasi non steroid ketorolak
30 mg memberikan efek analgesia yang
sebanding dengan morfin 10 mg atau
meperidin
100
mg
dan
tidak
menimbulkan efek samping depresi
respirasi.4,5
Ketorolak bekerja secara non selektif
menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostagiandin
yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan filtrasi
glomerulus.6
Pada penelitian sebelumnya, Merja dkk
melaporkan bahwa ketorolak 30 mg
menurunkan fungsi glomerulus dan
tubulus ginjal meskipun secara statistik
tidak bermakna.6 Merja dkk menggunakan agen inhalasi sevofluran.
Sampai saat ini belum terdapat penelitian
yang menerangkan pengaruh ketorolak
________________________________________________________________________________
11
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
HASIL
Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien
yang menjalani operasi di bidang THT,
mata, bedah tumor, bedah ortopedi,
badah digestif, dan bedah plastik di
Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi
Semarang dan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok Kl (ketorolak)
dan K2 (plasebo). Uji statistik untuk data
normal meliputi jenis kelamin dan status
ASA dengan menggunakan MannWhitney.
Nilai dinyatakan dengan rerata dan
simpangan baku. Uji t dan MannWhitney terhadap karakteristik kedua
kelompok menunjukkan perbedaan tidak
bermakna (p<0,05), sehingga dapat
dibandingkan. Karakteristik klinis pasien
sebelum dan sesudah operasi yang terdiri
dari tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, dan laju nadi menunjukkan
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05),
sehingga
kedua
kelompok
dapat
dibandingkan.
Fungsi ginjal kelompok ketorolak dan
plasebo terdapat perbedaan tidak
bermakna (p>0,05) pada saat sebelum
operasi. Fungsi ginjal pada kelompok
ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan
tidak bermakna (p > 0,05) pada saat
setelah operasi.
________________________________________________________________________________
12
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Tabel 1. Data numerik umur, BMI, serum kreatinin, dan klirens kreatinin menggunakan uji {(independent i
test dan paired t test) dengan derajat kemaknaan p< 0,05.
Variabel
Umur (th)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat badan (kg)
BMI
Status ASA (%)
ASA I
ASA II
Kelompok
K1 (n=24)
31,58 9,86
Kelompok
K2 (n=24)
31,33 9,16
Uji Statistik
Uji-t
0,928
12
12
56,58 7,19
21,62 1,53
10
14
53,79 5,59
21,13 1,07
Mann Whitney
0,140
Uji t
Uji t
0,140
0,206
16
8
19
5
Mann Whitney
0,335
Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Laju
Nadi
(x/mnt)
Pre operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
121,25 9,89
120,58 11,4
75,46 7,14
74,58 8,66
86,08 8,77
88,13 9,28
Uji
Statistik
Independent
t test
Independet
t test
Independent
t test
0,827
Uji
Statistik
Independent
t test
Independet
t test
Independent
t test
0,835
0,704
0,438
Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Laju
Nadi
(x/mnt)
Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
121,17 9,40
121,75 9,84
73,46 7,05
76,75 6,28
83,75 8,7
85,46 8,65
0,095
0,499
Tabel 4. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo sebelum operasi
Variabel
Kreatinin
Klirens
kreatinin
Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
0,75 0,18
0,746 0,13
117,30 21,91
111,44 22,66
Uji
Statistik
Independent
t test
Independet
t test
0,940
0,367
________________________________________________________________________________
13
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Tabel 5. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo setelah operasi
Variabel
Kreatinin
Klirens
kreatinin
Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
0,777 0,19
0,776 0,15
113,65 22,24
108,27 24,76
Uji
Statistik
Independent
t test
Independet
t test
0,987
0,432
Kelompok K1
(n=24)
Kelompok K2
(n=24)
Uji
Statistik
Selisih
klirens
kreatinin
pre op
post op
Kelompok K1
(n=24)
Kelompok K2
(n=24)
3,6463
16,5139
3,1733
21,2519
Paired t test
0,291
Paired t test
0,472
________________________________________________________________________________
14
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Pemeriksaan klirens kreatinin menggunakan serum kreatinin untuk menentukan fungsi ginjal dengan menggunakan
rumus Cockcroft dan Gault cukup
nyaman karena cara penghitungan yang
mudah dan praktis akan tetapi kurang
akurat sensitivitasnya, sedangkan penggunaan inulin untuk pemeriksaan laju
nitrasi glomerulus yang lebih akurat
membutuhkan banyak tenaga dan mahal,
sehingga diperlukan penggunaan penanda
baru yang akurat, cepat, dan murah
sebagai pengganti serum kreatinin untuk
menentukan fungsi ginjal misalnya Cyst
at in C dalam serum.
SIMPULAN
________________________________________________________________________________
15
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
________________________________________________________________________________
16
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
PENELITIAN
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik
Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat
Premedikasi Midazolam Intravena
Eva Susana Putri Daya*, Uripno-Budiono*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Routine midazolam premedication is given in spinal anesthesia because very
useful to give sedation, amnesia, decrease anxiety so that the patients hemodynamic is
more stabile. To date, midazolam premedication for Cesarean section is still controversial
because can depress nenonate respiratory. It is because data about the pharmacology of
transplacental is still limited. In Cesarean section didnt have bad effect to neonate. This
study want to add information about transplacental pharmacology so that analysis the
relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and
time of labor.
Objective: To prove the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor.
Method: There were 15 sample who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Patient was
injected with 0,02 mg/kgBW intravenous midazolam premedication just before spinal
anesthesia ( 2 minute). After the umbilical cord cut, the maternal blood sample and
umbilical vein blood sample was taken. The level of midazolam plasma was measured by
HPLC. Statistic Corelation was analyzed using Person.
Result: The aged of mother had positive significant correlation with blood plasma
midazolam level of mother (r=0,932 ; =0,000) and baby ( r=0,578 ; =0,024 ). The aged
of pregnancy had negative significant correlation with mother blood plasma midazolam
level ( r= -0,648 ; = -0,009 ). The weight of the baby had negative significant correlation
with baby blood plasma midazolam level ( r= -0,954 ; =0,000 ). Time of labour have
negative significant correlation with blood plasma midazolam level of mother ( r= - 0,760;
=0,001 ) and the baby (r= -0,558 ; = -0,031 ).
Conclusion: There is relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor
Keywords : Midazolam, Spinal Anesthesia, Sectio Caesaria
ABSTRAK
Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena
sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan
kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial
karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi
farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis
0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai
studi farmakokinetika
yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan
bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.
________________________________________________________________________________
17
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Tujuan : Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan
kondisi fisik serta waktu persalinan.
Metode : Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample
sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi
midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal ( 2 menit).
Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil
sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC.
Analisa statistik korelasi dengan pearson.
Hasil : Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma
ibu (r=0,932 ; =0,000) dan bayi (r=0,578 ; =0,024). Usia kehamilan mempunyai
hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; = -0,009).
Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam
plasma bayi (r= -0,954 ; =0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna
negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; =0,001) maupun bayi (r= 0,558 ; = -0,031).
Kesimpulan : Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik
serta waktu persalinan
Kata kunci : Midazolam, Anestesi Spinal, Sectio Caesaria
PENDAHULUAN
Teknik anestesi spinal pada sectio
caesaria mempunyai banyak keuntungan
seperti onset cepat, risiko terhadap bayi
minimal, serta pencegahan dan penyulit
anestesi sudah diketahui dengan baik,
sedangkan premedikasi sedasi intravena
pada wanita hamil sangat bermanfaat
dalam persiapan untuk prosedur medis
dan pembedahan pada sectio caesaria,
dimana obat premedikasi anestesi yang
biasa digunakan untuk sedasi yaitu
midazolam.
Midazolam
selain
memberikan sedasi juga dapat mengatasi
rasa cemas pasien, memberikan amnesia
dan sedikit relaksasi, dengan demikian
diharapkan hemodinamik pasien lebih
stabil. Dosis premedikasi midazolam
intravena untuk ibu hamil yang
direkomendasikan aman bagi janin yaitu
dengan menggunakan dosis rendah 0,02
mg/kgbb. 1,2,3
Beberapa
laporan
mendiskusikan
pemberian midazolam secara intra vena
selama kehamilan tanpa memberikan
informasi lebih banyak mengenai
________________________________________________________________________________
18
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
19
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Gambar 1. Subyek
kategori skor ASA
12
10
Rerata (Simpang
Baku = SB)
29,1 (3,22)
Umur kehamilan
(minggu)
38,8 (1,27)
66,5 (11,83)
28,9 (4,30)
berdasarkan
14
penelitian
ASA I
ASA II
Tabel 2. Rerata waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor
APGAR (n=15)
Karakteristik
17,2 (7,19
3126,7 (278,94)
8,6 (0,63)
9,3 (0,59)
10,0 (0,00)
Tabel 3. Parameter hemodinamik subyek penelitian sebelum premedikasi, 1 menit setelah premedikasi dan
durante operasi
Karakteristik
Sebelum
premedikasi
1 menit
setelah
premedikasi
Rerata (SB)
Denyut
Jantung
(x/menit)
10
15
30
45
60
Rerata (SB)
Rerata
(SB)
Rerata
(SB)
Rerata
(SB)
Rerata
(SB)
Rerata
(SB)
Rerata
(SB)
103,3 (4,98)
91,4 (4,01)
90,1
(3,73)
94,8
(4,41)
99,3
(6,40)
94,3
(4,30)
91,5
(4,78)
90,5
(3,56)
Sistol
(mmHg)
118,6 (8,09)
113,2 (7,37)
109,9
(6,56)
108,5
(3,81)
111,1
(5,33)
112,9
(6,51)
117,1
(6,73)
117,9
(7,03)
Diastol
(mmHg)
73,9 (6,29)
67,6 (7,38)
64,1
(6,68)
62,5
(7,06)
62,9
(6,50)
66,5
(6,72)
70,5
(6,92)
68,9
(7,53)
MAP
(mmHg)
78,5 (5,20)
80,5 (4,53)
84,0
(5,04)
83,6
(5,61)
105,5
(2,15)
105,9
(2,24)
91,3
(2,10)
89,2
(2,46)
SpO2 (%)
99,7 (0,59)
99,9 (0,35)
100,0
(0,00)
100,0
(0,00)
100,0
(0,00)
100,0
(0,00)
100,0
(0,00)
100,0
(0,00)
________________________________________________________________________________
20
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Tabel 4. Kadar midazolam plasma darah vena maternal, vena umbilikalis dan rasio fetomaternal kadar
midazolam
Karakteristik kadar
midazolam
Vena Maternal (ng/ mL)
Vena Umbilikalis (ng/ mL)
Rasio fetomaternal
Rerata (SB)
Median
Minimal
Maksimal
55,04 (32,819)
14,83 (5,909)
0,31 (0,135)
43,55
14,90
0,37
19,87
2,19
0,08
129,64
23,73
0,51
Tabel 5. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah ibu
Indikator
Usia ibu
Berat badan ibu
BMI ibu
Usia kehamilan
Waktu premed s/d lahir
r hitung
0,932
0,006
0,269
0,648
0,760
0,000
0,982
0,333
0,009
0,001
Kriteria
Korelasi sangat kuat
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Korelasi kuat (-)
Korelasi kuat (-)
Tabel 6. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah bayi
Indikator
Usia ibu
Berat badan ibu
BMI ibu
Usia kehamilan
Waktu premed s/d lahir
BB bayi
Rasio Fetomaternal
r hitung
0,578
0,358
0,425
0,375
0,558
0,954
0,347
0,024
0,190
0,114
0,168
0,031
0,000
0,205
Kriteria
Korelasi cukup
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Korelasi cukup (-)
Korelasi sangat kuat (-)
Tidak bermakna
________________________________________________________________________________
21
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
22
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
3.
4.
5.
SIMPULAN
Makin tua usia ibu makin besar kadar
midazolam dalam plasma darah ibu dan
bayi. Makin tua usia kehamilan ibu
makin rendah kadar midazolam dalam
plasma darah ibu. Makin besar berat
badan bayi makin rendah kadar
midazolam yang berada dalam plasma
darah bayi. Makin lama waktu persalinan
makin rendah kadar midazolam dalam
plasma darah ibu maupun bayi. Kadar
midazolam dalam plasma darah ibu tidak
dipengaruhi oleh ; berat badan ibu atau
BMI ibu. Kadar midazolam plasma darah
bayi tidak dipengaruhi oleh : berat badan
ibu, BMI ibu dan usia kehamilan.
6.
7.
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
10.
________________________________________________________________________________
23
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
PENELITIAN
ABSTRACT
Background : Perioperatif haemorrage is a serious problem often faced in every operation
process. It is said that the administration of volating anesthetic agents have an effect to
inhibit thrombocyte aggregation. Using the same capture point, ADP, as an inductor, we
will observe the difference effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Objective : To find out the effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Methods : Experimental study with sampling quota design to 48 patients underwent
general anesthetic procedures. The subjects was devided into two groups, 24 patients each,
The first group using enflurane as the anesthetic agent while the other group taken
halothane during operation process. Each agent was given start from induction until the
end of operation process, with the given rate 0,5-1 MAC along with O2 : N2O = 50% :
50% ( Enflurane and Halothane MAC is 1,2 and 0,8, respectively). The specimens were
taken from each group before intervention start which is before operation begin and after
intervention which is shortly before the administration of anesthetic agents stoped.
Specimens was collected from vein as much as 10 cc than stored in the plastic vaccum
tubes contain citrate anticoagulant. The speciments immidietly sended to Clinical
Pathology Laboratory of Kariadi Hospital to do the thrombocyte aggregation examination.
The statistical test using pair t-test and independent samples test (significancy degree <
0,05).
Result : The distributionbetween patients characteristic data and variable data was
statisticly normal. This study shows that the administration of Halothane using ADP 2 M
as inductor causing a significant decrease (p=0,003) on thrombocyte maximal aggregation
percentage, but there was no significant difference (p= 0,340) with enflurane. When using
ADP 10 M as inductor found a simmiliar result, there was a significant difference
(p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after
administration of halothane and not with enflurane (p=0,066). Other results shows there
was a significant diference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage
before and after the administration both halothane and enflurane using 10 M inductor.
Conclusion : Halothane have higher effect in inhibitting thrombocyte aggregation than
enflurane.
Key word : Enflurane, Halothane, ADP, thrombocyte aggregation
ABSTRAK
Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah serius yang sering dihadapi
dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi inhalasi dikatakan mempunyai pengatuh
dalam menghambat agregasi trombosit. Dengan titik tangkap yang sama yaitu ADP
sebagai induktor akan diamati perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan
terhadap Agregasi Trombosit.
________________________________________________________________________________
24
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
25
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
26
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
27
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Data yang terkumpul kemudian diedit, dikoding dan di-entry ke dalam file
komputer. Setelah itu dilakukan cleaning
data. Analisis deskriptif dilakukan
dengan menghitung proporsi gambaran
karakteristik
responden
menurut
kelompok perlakuan (isofluran dan
halotan). Hasil analisis akan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Dilakukan
pembuatan grafik pada gambaran
agregasi trombosit menurut kelompok
perlakuan (isofluran dan halotan).
Analisis analitik dilakukan untuk menguji
perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit pada kedua kelompok dengan
uji paired t-test. Semua uji analitik
menggunakan = 0,05. Semua
perhitungan
statistik
menggunakan
software SPSS 11.5
HASIL
Telah dilakukan penelitian tentang
perbedaan pemberian isofluran dan
halotan terhadap agregasi platelet pada 48
orang penderita yang menjalani operasi
dengan status fisik ASA I dan II.
Uji normalitas One Sample Kolmogorov
Smirnov digambarkan pada tabel 1,
dimana karakteristik umum subyek pada
masing-masing
kelompok
memliki
distribusi yang normal (p > 0,05),
sehingga
untuk
uji
homogenitas
diperlukan analisis statistik dengan
independent t test. Hasilnya didapatkan
data yang homogen (perbedaan yang
tidak bermakna, p > 0,05) dari semua
variable yakni umur, BMI, tekanan darah
sistole, tekanan darah diatole, nadi, status
ASA dan lama operasi sebelum dilakukan
perlakuan.
Pada Tabel 2 menunjukkan data sebelum
perlakuan pada kelompok I (Isofluran)
dan II (Halotan) didapatkan hasil uji
normalitas menunjukkan nilai % agregasi
trombosit maksimal berdistribusi normal
________________________________________________________________________________
28
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Variabel
Umur (tahun)
Body Mass Index
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Nadi
Status ASA
ASA I
ASA II
Lama Operasi (menit)
Kel. Isofluran
(n=24)
27,006,34
23,132,01
120,7111,91
73,2113,35
85,468,65
Kel. Halotan
(n=24)
29,635,72
23,671,48
125,0013,14
70,6711,63
83,758,70
22
2
58,1313,42
21
3
60,1714,47
p
0,139
0,296
0,242
0,486
0,499
0,640
0,615
Induktor
10 m ADP
Perlakuan
Kel I
Kel II
P
0,828
0,954
Keterangan
distribusi normal
distribusi normal
Induktor
10 m ADP
Perlakuan
Kel I
Kel II
p
0,447
0,975
Keterangan
distribusi normal
distribusi normal
Tabel 4. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 M)
No
Keterangan
1
Kel Isofluran
2
Kel. Halotan
* = bermakna (p<0,05)
Sebelum
82,894,11
82,904,42
Sesudah
81,464,38
76,585,15
P
0,066
0,001*
________________________________________________________________________________
29
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
84
82
80
78
76
74
72
adp 10
isofluran
sebelum sesudah
Grafik 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok isofluran dan halotan
Tabel 5. Perbedaan rerata persen agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok isofluran
dan halotan (dengan induktor ADP 10 M)
No
Keterangan
Kel Isofluran
Kel. Halotan
Sebelum
82,894,11
82,904,42
0,995
Sesudah
81,464,38
76,585,15
0,001*
82
81
80
79
78
adp 10 isofluran
77
adp 10 halotan
76
75
74
sesudah
30
20
20
14
10
10
Count
kelompok
4
kel halotan
kel i sof luran
Normoagregasi - hipoagregas i
________________________________________________________________________________
30
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
PEMBAHASAN
Hellem di tahun 1960 melakukan
observasi tentang suatu molekul kecil
yang berasal dari eritrosit dapat memacu
adhesi trombosit pada gelas. Olligard
menjumpai bahwa molekul tersebut juga
menyebabkan
agregasi
trombosit.
Gaardener dan kawan-kawan mengidentifikasi molekul/ substansi tersebut
sebagai ADP.25
Selanjutnya ADP dikenal sebagai salah
satu agonis/ induktor tertua yang dapat
memicu aktivasi trombosit. Agonis ini
akan menginduksi tranduksi sinyal yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan.26
ADP yang terikat pada reseptor (integrin)
di permukaan trombosit mengaktifkan
enzim fosfolipase A untuk memecah
fosfolipid membran trombosit sehingga
asam arakidonat dilepaskan. Enzim
siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin
sintase) mengkatalisis transformasi asam
arakidonat menjadi prostaglandin G2
(PGG2),
lalu
enzim
peroksidase
mengubah PGG2 menjadi PGH2
(prostaglandin H2), selanjutnya PGH2
akan diubah menjadi tromboksan A2
(TxA2).27,28
Efek biologik TxA2 menyebabkan
pelepasan
granula
sekunder
dari
trombosit, merangsang sekresi ADP oleh
trombosit sendiri sehingga terjadi
agregasi
trombosit
irreversible.
Disamping itu, setelah ADP terikat pada
reseptornya maka trombosit akan
mengalami perubahan bentuk dari
cakram menjadi bulat, sehingga reseptor
untuk fibrinogen yaitu GP IIb-IIIa,
fibrinogen, tromboksan A2, diperlukan
kofaktor ion kalsium atau magnesium,
fibronektin, GP Ib-IX, untuk mengawali
agregasi trombosit. Ion kalsium akan
menghubungkan
fibrinogen
dimana
fibrinogen menjadi jembatan antar
trombosit yang akan mengikat trombosit
yang berdekatan dalam suatu agregat.
________________________________________________________________________________
31
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
32
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
dibandingkan
operasi.
preinduksi
dan
pasca
________________________________________________________________________________
33
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
7.
8.
9.
10.
11.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
________________________________________________________________________________
34
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
18.
19.
20.
21.
________________________________________________________________________________
35
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical,
because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher.
Management of trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of
hypothermia, coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is
because of these factors is the leading cause of death in the first hours after trauma.
ABSTRAK
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU, tingkat survival pasien trauma
menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada
pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS,
hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam
pertama pasca trauma.
PENDAHULUAN
Trauma karena tindak kekerasan dan
kecelakaan lalu lintas membunuh lebih
dari 2,5 juta orang tiap tahun. Menurut
WHO pada tahun 2002 ada 1,6 juta
kematian karena tindak kekerasan dan 1,2
juta kematian karena kecelakaan lalu
lintas, kombinasi keduanya menunjukkan
mortalitas sebesar 48 kematian tiap
100.000 orang tiap tahun. Hampir semua
kematian terjadi pada jam pertama
setelah trauma, dengan proporsi 34-50%
kematian terjadi di rumah sakit.
Kematian ini bisa dicegah dengan
mengoptimalkan penanganan trauma,
keberhasilan pencegahan kematian akibat
trauma bisa mencapai 76% atau bisa
hanya 1% bila penanganan
kurang
optimal.
Trauma merupakan penyebab utama
kematian pada pasien berusia kurang dari
45 tahun, di Amerika Serikat, dan trauma
menempati urutan ketiga penyebab
kematian secara umum, yaitu > 100.000
pada tahun 2002 dan setidaknya > 1,5
________________________________________________________________________________
36
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
37
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
38
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
39
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
40
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
41
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Goal
Observations
Perdarahan
terkontrol
mengurangi
konsumsi oksigen (VO2) dan reperfusi,
untuk meningkatkan VO2 di atas
baseline. Ketika durasi syok memanjang
fase hipermetabolik tidak terjadi,
menunjukkan syok menyebabkan gangguan metabolik intraseluler terhadap
oksigen dan pemanfaatan substrat yang
tidak lagi responsif pada peningkatan
pengiriman oksigen. Fenomena ini
dibuktikan dalam sebuah studi pasien
trauma yang mendapatkan resusitasi
adekuat. Satu kelompok terjadi peningkatan konsentrasi laktat terus-menerus
dan berkurangnya konsumsi dan ekstraksi
oksigen dibandingkan dengan kelompok
asidosis dan defek ekstraksi yang telah
dikoreksi, tingkat kegagalan organ adalah
35% dibandingkan dengan 5% (p<0,001),
________________________________________________________________________________
42
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
DAFTAR PUSTAKA
Kriteria ARDS: PaO2/ FiO2 < 200,
gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks. Sedangkan kriteria ALI;
PaO2/ FiO2 < 300, dan ditemukan
gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks.
1.
2.
3.
4.
5.
Sepsis
Sepsis pasca operasi dapat terjadi akibat
soiling peritoneal, intubasi trakea lama,
jalur intravaskular, dan pneumonia
pretrauma.
Bakteremia
dapat
diklasifikasikan
menjadi onset awal,
terjadi dalam 96 jam setelah trauma, dan
onset lambat, muncul setelah 96 jam
setelah trauma. Risiko onset-awa
lbakteremia meningkat dengan adanya
kontusio paru, pneumonia aspirasi, dan
trauma abdomen skala besar.
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada
pasien trauma sangat menentukan hasil
akhir pasien, karena dengan pengelolaan
yang baik di ICU tingkat survival pasien
________________________________________________________________________________
43
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Mediastinoskopy increasingly used in health centers. Mediastinoscopy is a minimally
invasive technique for excision biopsy of lung cancer. Mediastinoscopy provides access to
the mediastinal lymph nodes and is used for diagnosis or resektabilitas intrathorakal
malignancy. Preoperative CT is important for the evaluation and if there is compression of
trachea. Mediastinoscopy using general anesthesia. Venous access with a large diameter
intravenous catheters (14 to 16 gauge) is required because of the risk of excessive bleeding
and difficulty controlling bleeding. And is expected to review the above it can be
understood how the management of anesthesia in patients undergoing mediastinoscopy
surgery.
ABSTRAK
Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi
merupakan tehnik minimal invasif untuk eksisi biopsi pada kanker paru-paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk
diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperatif penting untuk
mengevaluasi dan bila terdapat kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan
anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge)
diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan.
Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi
PENDAHULUAN
Mediastinoskopi
merupakan
suatu
prosedur diagnostik, yang pertama kali
dijelaskan oleh Carlens pada tahun 1959.
Meskipun semakin canggihnya teknik
pencitraan (misalnya emisi positron
tomogafi), mediastinoskopi tetap penting
dalam pementasan kanker paru-paru
karena sifat sensitivitasnya tinggi
(0,80%) dan spesifisitasnya yang tinggi
(100%).1
Indikasi lainnya untuk mediastinoskopi
adalah biopsi massa mediastinum
terutama di mana pemeriksaan lainnya,
misalnya CT kurang sensitif dan biopsi
________________________________________________________________________________
44
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
pasien-pasien yang
mediastinoskopi.
akan
dilakukan
Anatomi
Mediastinum yaitu rongga yang berada
di antara paru kanan dan kiri.
Mediastinum berisi jantung, pembuluh
darah arteri, pembuluh darah vena,
trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.3,4
Rongga mediastinum ini sempit dan
tidak dapat diperluas, maka pembesaran
tumor dapat menekan organ di dekatnya
dan dapat menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. Kebanyakan tumor
mediastinum tumbuh lambat sehingga
pasien sering datang setelah tumor cukup
besar, disertai keluhan dan tanda akibat
penekanan tumor terhadap organ
sekitarnya.4
Secara garis besar mediastinum dibagi
atas 4 bagian penting :4
1. Mediastinum superior, mulai pintu
atas rongga dada sampai ke vertebra
torakal ke-5 dan bagian bawah
sternum, berisi: arkus aorta, arteri
innominata dan bagian toraks dari
carotis communis kiri dan arteri
subklavia kiri; vena innominata dan
setengah bagian atas vena kava
superior; v. Interkostalis kiri; nervus
vagus, jantung, nervus, frenikus,
trakea, esofagus, duktus toraksikus,
sisa-sisa timus, dan beberapa kelenjar
getah bening.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas
mediastinum superior ke diafargma di
depan jantung, berisi sejumlah
jaringan areolar yang tipis, beberapa
pembuluh limfatik yang naik dari
permukaan hati, dua atau tiga kelenjar
getah bening dari mediastinum
anterior, dan cabang-cabang kecil dari
arteri mammaria interna.
________________________________________________________________________________
45
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
MEDIASTINOSKOPI
________________________________________________________________________________
46
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
47
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Pengelolaan Anestesi
Sebuah short-cting benzodiazepine dapat
diberikan untuk menurunkan kecemasan,
namun, obat sedatif harus dihindari jika
terdapat obstruksi trakea.4
Kanula intravena yang besar harus
dimasukkan dan crossmatched darah
harus tersedia karena potensi risiko
perdarahan. Jika pasien asimtomatik,
preoksigenasi diikuti dengan induksi
________________________________________________________________________________
48
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
49
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
50
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Mediastinoskopi
semakin
banyak
digunakan di pusat-pusat kesehatan.
Mediastinoskopi merupakan minimal
invasive teknik untuk eksisi biopsi kanker
paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke
limfonodi mediastinal dan digunakan
untuk diagnosis atau resektabilitas
keganasan intrathorakal. CT preoperative
penting untuk evaluasi dan bila ada
kompresi
trakhea.
Mediastinoskopi
menggunakan anestesi umum. Akses
vena dengan kateter intravena diameter
besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan
karena resiko perdarahan berlebihan dan
kesulitan pengendalian perdarahan. Dan
diharapkan dengan tinjauan diatas maka
dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani
operasi mediastinoskopi
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Thoracic
Surgery.
Philadelphia:
WB
Saunders, 1995; 491512
Hammer GB. Anaesthetic management for
the child with mediastinal mass. Paed Anaes
2004; 14: 9597
Narang S, Harte B, Body S. Anaesthesia for
patients with a mediastinal mass. Anesthesiol
Clin North America 2001; 19: 55983
Bechard P, Letourneau L, Lacasse Y, et al.
Perioperative cardiorespiratory complications
in
adults
with
mediastinal
mass.
Anesthesiology 2004; 100: 82634
Jahangari M, Goldstraw P. The role of
mediastinoskopi in superior vena caval
obstruction. Ann Thorac Surg 1995; 59: 453
552
Cybulsky IJ, Bennett WF. Mediastinoskopi
as a routine outpatient procedure. Ann
Thorac Surg 1994; 58: 1768
Park BJ, Flores R, Downey RJ, et al.
Management of major haemorrhage during
mediastinoskopi. J Thorac Cardiovasc Surg
2003; 126: 72631
Lohser J, Donington JS, Mitchell JD, et al.
Anaesthetic
management
of
major
haemorrhage during mediastinoskopi. J
Cardiothorac Vasc Anesth 2005; 19: 67883
________________________________________________________________________________
51
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
CNS trauma is a major health problem as the cause of death and disability worldwide. The
severity of the injury is crucial primary outcome, whereas secondary injury caused by
physiological factors hypotension, hypoxemia, hiperkarbi, hyperglycemia, hypoglycemia,
and other develop further will cause further brain damage and aggravate CNS trauma.
Appropriate perioperative anesthetic management and began preoperative period,
especially when the patient is in the emergency, determine the outcome of the patient.
ABSTRAK
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen
anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat
pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.
Pendahuluan
Trauma pada susunan saraf pusat
merupakan problematika yang komplek,
bila tidak mendapat penanganan dengan
baik akan mempengaruhi kualitas hidup
seseorang, baik terhadap fungsi motorik,
fungsi sosial maupun mental. Kejadian
lanjutan juga dapat memberikan dampak
kerugian perekonomian yang yang lebih
besar diakibatkan beaya yang dibutuhkan,
akibat pemutusan kerja, dan juga
tanggungan untuk kelangsungan hidup
berikutnya.
Angka kejadian trauma pada susunan
saraf pusat dari tahun ke tahun semakin
meningkat, di Amerika dikatakan
berkisar 1/1000 orang dengan kejadian
terbanyak pada usia 15-24 tahun dan
lebih dari 75 tahun. Angka ini tidak
menunjukkan yang sebenarnya, hal ini
dikarenakan hanya pada korban yang
ditangani di rumah sakit dan angka
kematian 19,3/1000 orang. Sedangkan
________________________________________________________________________________
52
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
53
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Tabel 1: Regio susunan saraf pusat, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan.3
Regio SSP
Lobus frontal
Lobus parietal
Lobus temporal
Fungsi primer
Motorik
Intelegency
personality
Fungsi aspektif dan bicara (area
broca)
Fungsi sensoris primer
Lobus occipital
Thalamus
Pendengaran
Bahasa
Persepsi
Acalculia
pemahaman komunikasi (Wernikes
area)
Fungsi primer penglihatan
Area memory
Sistem limbik
Cerebellum
Emosi
Keseimbangan motorik
Temporoparietal
sensoris
gangguan penglihatan
gangguan sinyal
gangguan ingatan
ketidakstabilan emosi
gangguan keseimbangan
Nilai
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
________________________________________________________________________________
54
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
55
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Trauma
Primer
iskemia
Kerusakan langsung
sel dan pem.darah
Perdarahan dan
hematom
Peningkatan
CBF
Mediator
inflamasi
Oedem
Kematian sel
________________________________________________________________________________
56
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
57
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
dekompresi
atau
evakuasi
masa,
pengurangan volume darah ke cerebral
(elevasi kepala, hiperventilasi, menaikkan
tekanan darah, menghilangkan sumbatan
vena), pemberian obat hyperosmotic,
diuretic, kortikosteroid, dan anestesi
vasokontriksi pembuluh darah cerebral
(mis. barbiturate, propofol),8-9,12
Manitol
Manitol adalah obat yang paling umum
digunakan pada pasien dengan cedera
kepala, obat ini diklasifikasikan sebagai
diuretik osmotik untuk mengurangi
tekanan intra kranial. Kemampuan ini
didasari oleh sifat hiperosmotik manitol,
dimana akan menarik cairan dari sel-sel
otak
menuju
intravaskuler
dan
dikeluarkan melalui ginjal.9-11 Mannitol,
dengan dosis 0,25-0,5 g/kg, secara
khusus efektif dalam menurunkan TIK,
hati-hati dengan penambahan volume
intravaskuler karena dapat menyebabkan
edema paru.9 Manitol telah terbukti
meningkatkan tekanan perfusi serebral
(CPP)
dan mikrosirkulasi
perfusi.
Dalam sebuah studi oleh Kirkpatrick et
al,
manitol
ditemukan untuk
meningkatkan CPP sebesar 18% dan
penurunan TIK sebesar 21% tanpa
mempengaruhi tekanan darah arteri.
Dikatakan manitol digunakan oleh 83%
pusat kesehatan dan lebih dari 50%
digunakan untuk cidera kepala berat.10
Kombinasi penggunaan manitol dan
furosemid bisa bersinergi namun
membutuhkan
monitoring
dari
9
konsentrasi serum Kalium.
Pengelolaan tekanan darah
Hipotensi pada trauma kepala sering
berhubungan dengan trauma lainnya
(biasanya intraabdominal). Perdarahan
dari laserasi kulit kepala bisa berkaitan
pada anak-anak. Hipotensi dapat timbul
bersama dengan trauma tulang belakang
________________________________________________________________________________
58
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
59
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Komentar
Tekanan vena jugularis
Menghilangkan fleksi kepala atau rotasi leher ekstrim,
menghilangkan kompresi atau obstruksi dalam bentuk
apapun (kateter leher yang besar, prengkat fiksasi leher).
Tahanan jalan nafas : menghilangkan obstruksi, PEEP tinggi,
kurangi bronkospasme, terapi pneumothoraks
Pastikan PaO2 (60-300 mmHg)
Pastikan PaCO2 (35-40 mmHg)
Peningkatan TIK dapat menurunakan PaCO2 < 35 mmHg)
Meminimalkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan
Mengobati kejang, meminimalkansuhu (menjaga 3536.58C)
Meminimalkan atau menghilangkan anestesi volatile, N2O,
nitropruside, nitrogliserin. Ca chanel bloker
Darah, edema, N2O
Jika TIK, pertahankan PaCO2<35 sampai lesi didekompresi
PaCO2
PaCO2 CBF
PaO2
PaO2 CBF
CMRO2
CMRO2 CBF
Obat
Vasoaktif
Obat
vasodilator
(nitropruside,
nitrogliserin)
menyebabkan CBF
Komentar
MAP antara 70-150
CBF akan terjadi autiregulasi 50 ml/100 gms/min
MAP<50 CBF , MAP>150 akan meningkat seiring
MAP
PaCO2 < 25 berkaitan dengan sikemia cerebral
PaCO2 25-60 berkorelasi dengan CBF
PaCO2 < 60 mempunyai hubungan terbalik dengan
CBF
PaO2 60-300 tidak akan merubah CBF, bila >300 bisa
jadi CBF
Demam, gelisah, nyeri, kejang akan menaikkan
CMRO2 dan CBF
Obat anestesi inhalasi
semua menyebabkan
vasodilatasi, sehingga CBF (berkaitan dosis)
Semua obat intravena anestesi(kecuali ketamin)
menyebabkan vasokonstriktor cerebral, ketamin sgb
vasodilator cerebral
CPP = MAP-TIK1,3,7,9
Tabel 5 . Kriteria Intubasi11
GCS < 8
Pernafasan irreguler
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
Vital capacity < 15 ml/kgBB
PaO2 < 70 mmHg
PaCO2 > 50 mmHg
________________________________________________________________________________
60
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Excitotoxicity
Sistem
kardiovaskuler
biasanye
memberikan efek awal ditandai dengan
sympatomimetik yang meningkat :
hipertensi, takikardi, dan peningkatan
cardiac output. Faktor kehilangan darah
berperan dalam kejadian hipotensi,
penurunan cardiac output dan penurunan
CPP.
cerebri
dan
Proses inflamasi
Peningkatan sitokin sebagai respon dari
iskemia cerebri, interleukin 6 (IL-6) dan
tumor necrosis alpha akan lebih
meningkat seiring penurunan GCS pada
trauma kepala. Keadaan ini akan
merespon radikal bebas dan asam
arachidonat yang mengaktivasi adhesi
sehingga menyebabkan gangguan dalam
mikrosirkulasi dan memperberat efek
cedera sekunder otak.
Pengelolaan preoperatif
Pemberian anestesi pada pasien dengan
trauma kepala idealnya dimulai sejak di
UGD. Pastikan jalan nafas pasien baik,
ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan
koreksi hipotensi sistemik dilakukan
secara simultan bersamaan evaluasi
neurologis. Obsruksi jalan nafas dan
hipoventilasi sering terjadi, sekitar 70%
dari pasien tersebut dalam keadaan
hipoksemi, yang bisa diperburuk dengan
adanya kontusio pulmo, emboli lemak,
atau
edema
pulmo
neurogenik.
Pemberian oksigen harus diberikan pada
seluruh pasien dan dilakukan evaluasi
terhadap jalan nafas serta ventilasinya.
Seluruh pasien harus dipikirkan memiliki
trauma leher (sekitar 10% insiden) hingga
dinyatakan secara radiologis. Stabilisasi
in-line digunakan selama melakukan
tindakan terhadap jalan nafas untuk
menjaga kepala dalam posisi normal.
Pasien dengan hipoventilasi yang jelas,
tidak adanya reflek muntah, atau GCS <8
yang persisten membutuhkan intubasi
trakea dan hiperventilasi. Seluruh pasien
________________________________________________________________________________
61
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
harus
diawasi
perburukan.7,9,11,12
terhadap
adanya
terkontrol,
atau
fentanyl
sedikit
________________________________________________________________________________
62
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
________________________________________________________________________________
63
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Ventilasi mekanik
Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk
menjaga oksigenasi dan mempertahankan
PaCO2 sekitar 35, penyesuaian FiO2
dengan target PaO2 lebih dari 100
mmHg. Pada perlakuan khusus dengan
edema pulmonum dapat diberikan dengan
PEEP yang memadai. PEEP yang
berlebihan
dapat
menyebabkan
peningkatan
tekanan
intrathorakal
sehingga mengganggu sistem vena
cerebral dan kemingkinan peningkatan
TIK semakin besar.
Sistem sirkulasi
CPP harus dipertahankan antara 60 110
mmHg.
Pemantauan
langsung
hemodinamik dapat melalui kateter arteri.
Bila kondisi ventilasi dan oksigenasi
baik, kecukupan cairan pasien dalam
kondisi
hipotensi,
pertimbangan
pemberian inotropik atau vasopressor
dapat dibenarkan. Fenilephrin 0.1-0.5
mcg/kg/mnt
dan
dopamin
1-10
mcg/kg/mnt adalah obat yang dianjurkan.
Pemberian bolus dan peningkatan
tekanan darah secara tiba-tiba tidak
dianjurkan, karena dapat meningkatkan
TIK terutama. Kejadian hipertensi harus
disikapi
hati-hati
kemungkinan
mencerminkan efek kompensasi sistem
saraf simpatik akibat TIK meningkat dan
kompresi batang otak (refleks Cushing).
Peningkatan TIK Intraoperatif
Posisi pasien dengan kepala sedikit
dielevasikan 10-30o dan pastikan bahwa
sistem vena pada daerah leher baik tanpa
ada sumbatan.
Ventilasi pertahankan PaCO2 pada
kisaran 35 mmHg, hiperventilasi
sebaiknya dihindari bila tidak ada
monitoring yang memadai Tekanan darah
bila sistolik < 90 mmHg atau > 160
mmHg sebaiknya dikoreksi.
________________________________________________________________________________
64
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Diuretik
bila
diperlukan
dapat
menggunakan manitol dan kombinasi
dengan furosemide 0.1 - 0.2 mg bisa
diberikan bila ada resiko kelainan jantung
Pemantauan
ventilasi,
oksigenasi,
kedalaman anestesi dan pemberian
diuretik terakhir diperhatikan. Bila otak
tetap menonjol dapat diberikan thiopental
atau pentobarbital dan hiperventilasi
dengan monitoring SjO2 secara ketat.
Tabel 6. Obat indukasi intra vena dan pengaruh terhadap tekanan intrakranial, proses lanjutan, tekanan darah7
Obat
ICP
CMRO2
CBF
CSFproda
MAP
Etomidate
Propofol
Thiopental
Midazolam
Fentanyl
ketamin
?
(reabsorbsi)
Lokal
anestesi
Catatan: Bila dua panah disajikan, panah pertama menunjukkan efek dosis obat yang rendah dan panah kedua
meunjukkan efek dosis obat yang tinggi
Tabel 7. Perbandingan efek agen anestesi pada fisiologi cerebral.14
Produksi
CSS
Absorp
si CSS
Agen
CMR
ADO
CBV
TIK
Halothan
Isofluran
Desfluran
Sevofluran
Nitrogen
oksida
Barbiturat
Etomidate
Propofol
Benzodiazepi
n
Ketamin
Opioid
Lidokain
Keterangan : , peningkatan; , penurunan; , sedikit atau tidak berubah; ?, tidak diketahui; CMR, cerebral
metabolic rate; ADO, aliran darah otak; CSS, cairan serebrospinal; CBV, volume darah serebral; TIK,
tekanan intrakranial.
________________________________________________________________________________
65
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Hematome
Keadaan ini seharusnys telah melewati
skrining sejak awal melalui pemeriksaan
faktor pembekuan darah, trombosit lebih
dari 100 000, protombine time, partial
tromboplastin international normalized
ratio (INR). Pada gambaran klinis tidak
menunjukkan secara spesifik, misalnya
menunjukkan
tanda-tanda
fokal
hemipharesis, aphasia, kelainan saraf
cranial, kejang dan perubahan tanda vital
seperti
trias
Cushing
(hipertensi,
bradikardi dan depresi pernafasan) yang
mencerminkan peningkatan tekanan intra
kranial.
Terlepas
dari
perlunya
monitoring CT Scan atau diooperasi
ulang, ada langkah awal yang perlu
dilakukan, misalnya pemberian manitol
antara 1 1,5 g/kg dan dilanjutkan 0,5
g/kg tiap 4 jam. Pemberian manitol
memerlukan pemantauan BGA dan
osmolaritas cairan. 17
Edema cerebri
Keadaan ini mungkin disebabkan karena
faktor pengelolaan cairan maupun
komplikasi operasi. Edema cerebri pada
prinsipnya akan menambah volume
intrakranial sehingga akan menyebabkan
TIK yang meningkat. Pemberian steroid
dapat memberikan manfaat pada kasus
neoplastik. Sedangkan bila karena trauma
pemberian manitol lebih memberikan
manfaat dibandingkan dengan steroid.
Pneumoenchephalus
Kondisi menumpuknya udara didalam
ruang kepala sebagai akibat craniotomy
atau penutupan tulang tengkorak yang
kurang baik.
Hydrochepalus
Infeksi selaput otak
Pada sistem metabolik bisa terjadi
gangguan elektrolit, hiponatremi atau
hipernatremi.
Periode pasca operasi pada hakekatnya
sama dalam memonitoring pasien tanpa
operasi di bangsal perawatan resiko
tinggi maupun di ICU. Beberapa hal yang
dapat dilakukan adalah :
Oksigenasi
Pasca trauma cerebri maupun pasca
bedah craniotomi kejadian iskemia
sekunder sering terjadi, oleh karena itu
pengelolaan hipoksia dengan oksigenasi
sangat diperlukan. Keadaan pasca
resusitasi diusahakan PaO2 tidak kurang
dari 60 mmHg.1
Pengelolaan cairan untuk pengendali
hipotesi
Kedaaan hipotensi seperti diatas telah
diterangkan sangat berperan untuk
menunjang terjadinya hipoksia sel-sel
otak, oleh karena itu harus dijaga dengan
baik. Pengelolaan hipotensi harus
mencakup tidak hanya penggantian
cairan tetapi juga diidentifikasi faktor
penyebabnya.1,7
Ventilasi dan monitoring PaCO2 dan
evaluasi efek tekanan intrathorak
Pada pasien dengan riwayat trauma
kepala atau dalam kondisi koma, tidak
ada jaminan untuk jalan nafas, oleh
karena itu ventilasi harus terjamin dengan
baik, hal ini bisa dilakukan dengan
pemasangan endotracheal tube dan
ventilator mekanik. Keadaan ini juga
diusahakan untuk mencegah hiperkapnia,
kondisi yang direkomendasikan antara
PaCO2 30-45 mmHg. Pemberian PEEP
yang tinggi juga dapat mengganggu vena
balik sehingga akan meningkatkan TIK,
dan
blok
drainase
Diuretik osmotik
Loop diuretik
Furosemide efektif digunakan bila
pemberian
tunggal
manitol
tidak
memberikan
manfaat
yang
diinginkan.1,11 Dosis furosemide dapat
diberikan 0,5-1 mg/kgBB.
Pengendalian kejang
Kejang dapat dikendalikan dengan
pemberian phenitoin 5-20 mg/kg, atau
diazepam 0,3 mg/kg titrasi pelan-pelan,
barbiturat dan pentotal.
________________________________________________________________________________
67
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Steroid
Pada
cedera
otak,
pemberian
kortikosteroid di Amerika sudah tidak
dianjurkan.7
Vasopressor
Untuk menjaga CPP dapat diberikan
vassopressor pada kondisi kebutuhan
cairan telah terpenuhi, yang sering
digunakan
adalah
norephinephrin,
dopamin, adrenalin, dobutamin.7
Kontrol suhu
Kontrol gula darah
Rehabilitasi
Hendaknya perawatan rehabilitasi untuk
menunjung kualitas hidup seseorang
pasca trauma susunan saraf pusat dimulai
sejak awal di ICU atau lebih dini. Tujuan
dari rehabilitasi adalah untuk menunjang
kemampuan fisik secara maksimal,
dukungan psikologis, fungsi sosial,
kemampuan berkarya, rekreasi, dan
ekonomi.1
Ringkasan
Cedera kepala merupakan problematika
yang komplek, karena hal ini dipengaruhi
keadaan
saat
cedera
dan
akan
mempengaruhi keadaan setelah cedera.
Oleh karena itu penanganan yang tepat
sangat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang.
Penanganan
yang
tepat
dengan
mempertimbangkan penanganan pertama,
sistem transportasi dan penanganan
ditingkat rumah sakit. Kejadian setelah
trauma merupakan komplikasi yang
sering terjadi dan menyebabkan keadaan
menjadi
lebih
berat,
misalnya
penanganan yang kurang baik dan
iskemia sekunder. Penanganan psikologis
sangat diperlukan untuk penderita pasca
cedera kepala maupun keluarga dan
orang-orang
terdekat,
hal
ini
dimungkinkan timbulnya penurunan
kualitas hidup seseorang pasca cedera
kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1.
________________________________________________________________________________
68
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
________________________________________________________________________________
69
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010