You are on page 1of 73

JAI

Volume II Nomor 01, Maret 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi
(IDSAI) Jawa Tengah

JAI

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sejawat terhormat,

Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Ikatan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi
Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini


memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Diantaranya adalah mengenai Atrakurium dan
MgSO4 untuk mencegah peningkatan kratininin
serum akibat Suksinilkolin , Pengaruh Ketorolak
terhadap klirens kreatinin, dan pengaruh agen
inhalasi terhadap agregasi trombosit.

Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn

Dua tinjauan pustaka, mengenai pengelolaan


rawat intensif pasien pasca trauma dan anestesi
pada mediastinoskopi diharapkan menambah
wawasan kita dalam bidang anestesi dan terapi
intensif.

Wakil Ketua Redaksi:


dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Kamtini, Nik Sumarni
Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk


kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
hendaknya mencantumkan artikel tersebut
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

DAFTAR ISI
PENELITIAN
Moch. Rahardi Hamsya, Mohamad Sofyan Harahap
Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Kreatinin
Fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin
Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatan kadar
kreatinin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium,
tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Rosa Afriani, Heru Dwi Jatmiko
Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran
Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan
menggunakan agen inhalasi isofluran.
Eva Susana Putri Daya, Uripno-Budiono, Heru Dwi Jatmiko
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu
Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam
Intravena
Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu
persalinan
Agatha Citrawati Anom, Mohamad Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran Dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit
Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan
gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran
TINJAUAN PUSTAKA
Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana
Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma
Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktorfaktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca
trauma.
Satrio Adi Wicaksono, Hari Hendriarto, Heru Dwi Jatmiko
Anestesi Pada Mediastinoskopi
Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena
diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan
kesulitan pengendalian perdarahan.
Igun Winarno, Jati Listiyanto Pujo, Mohamad Sofyan Harahap
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP.

Hal
1

10

17

24

36

44

52

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum


Kreatin fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin
Moch. Rahardi Hamsya*, Mohammad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubation and induction, short
operation emergency, day case anaesthesia and difficult airway controlled. Unexpected
complication after succinylcholine administration is fasciculation, myalgia and increase
of potassium blood level and creatin phosphokinase serum.
Methods: This research was a clinical trial stage I (human sample) for 60 patients benign
breast tumors undergoing surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6
hours fasting period and give no premediacation. Peripheral blood sample were taken to
measure the potassium level and creatin phosphokinase serum before premedication given.
Patients randomly divided in to two grou., group I pretreatment with atrakurium 0,05
mg/kgBW and group II pretreotment with MgSO4 40mg/kgBW. Induction with
succinylcholine 1,5mg/kgBW fifteen minute after premedication. Seven minute after
induction, peripheral blood sample were taken on contralateral inffusion to measure
potassium blood level after induction and 24 hours post operation. Peripheral blood
sample were taken on contralateral infusion to measure creatine phosphokinase serum
level. Statistical analysis were performed by independent t-test, Mann-Whitney U test and
rank spearman correlation which were = 0,05 was considered significant.
Results: There was no difference for patients characteristics distribution data, creatin
phosphokinase serum and blood potassium level before induction between two groups, For
potassium blood level elevation between two group were significantly difference ( p =
0,029). Creatin phosphokinase level elevation between two group were no significantly
difference ( p > 0,05 ). There was no significantly correlation (p = -0,138; p = 0,466)
proved is between creatin phosphokinase serum and blood potassium level elevation on
atrakurium group such no significantly correlation ( = 0,186; p = 0,325) proved is
between creatine phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium
group.
Conclusions: The administration of 40% magnesium sulphate 40 mg/kg BW could prevent
the elevation of serum creatin phosphokinase following succinylcholine induction and
blood potassium ion level, althought not as effective as atrakurium but better than other
pretreatment.
Keywords: succinylcholine, magnesium sulphate, potassium, potassium, fasciculation
ABSTRAK
Latar belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi dan induksi masih
merupakan pilihan untuk tindakan yang singkat, emergensi, rawat jalan dan keadaan
dimana jalan napas belum tentu dapat dikuasai. Efek samping yang sering timbul adalah
fasikulasi dan mialgia yang ditandai
meningkatnya kadar serum kreatin fosfokinase (CPK) dan ion kalium.

________________________________________________________________________________
1
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap I ( subyek manusia ) pada 60 penderita
tumorjinak mama yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita
dipuasakan 6 jam dan tidak diberi obat premedikasi.Pengambilan sampel darah perifer di
daerah antebrakhii kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium dan kreatin
fosfokinase sebelum induksi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2
kelompok. Kelompok I mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan kelompok II
mendapat pretreatment MgSO4 40% 40 mg/kgBB. 15 menit kemudian dilakukan induksi
dengan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB pada masing-masing kelompok. 7 menit setelah intubasi
dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar
ion kalium pasca perlakuan dan 24 jam setelah operasi dilakukan pengambilan sampel
darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar kreatinin fosfokinase. Uji
statistik menggunakan independent t-test dan Mann-whitney U test serta uji korelasi
dengan rank Spearman dengan derajat kemaknaan : 0,05.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada distribusi karateristik penderita serta
kadar serum kreatin fosfokinase dan kadar kalium sebelum perlakuan. Peningkatan kadar
ion kalium antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat terdapat
perbedaan bermakna (p = 0,029) dan peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat tidak terdapat perbedaan bermakna
( p > 0,05 ). Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna ( = 0,138; p =0,466) peningkatan kadm kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok
atrakurium demikian juga hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan
bermakna ( = 0,186; p = 0,325) peningkatan kadar kalium dan peningkatan kadar CPK
pada kelompok MgSO4.
Kesimpulan: Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah
peningkatankadar kreatin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak
seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Kunci : suksinilkolin, magnesium sulfat, kalium, fasikulasi

PENDAHULUAN
Hampir sebagian besar pasien pasca
operasi memberikan keluhan adanya rasa
nyeri otot dari sebagian anggota badan
setelah
menjalani
operasi
yang
menggunakan pelumpuh otot golongan
depolarisasi suksinilkolin sebagai obat
induksi dalam anestesi umum. Oleh
karenanya banyak para ahli anestesi
melakukan berbagai macam penelitian
untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit tersebut dengan berbagai
macam jenis obat di antarannya adalah
pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil, anestesi lokal, klorpromazine,
benzodiazepin, golongan OAINS dan
lain-lain.1,2,3,4 Insiden nyeri otot ini
menurut Aitkenhead 50%.5 dan
Shrivastava 45%.6 sedang menurut

Dennis dkk 5-83 % .7 Besarnya angka


kejadian ini sampai sekarang masih
merupakan tantangan bagi dokter anestesi
untuk menurun-kannya.
Obat pelumpuh otot suksinilkolin
golongan sampai sekarang merupakan
obat yang menguntungkan sebagai rapid
sequence induction atau crash induction
yang merupakan fasilitas induksi oleh
karena mempunyai sifat onset of action
yang cepat dan duration of action yang
pendek oleh karena sifatnya itu sampai
sekarang suksinilkolin masih merupakan
obat gold standard untuk tindakan
intubasi cepat.8,9,10 Munculnya fasikulasi
biasanya dimulai dari otot rahang, leher,
bahu dan dada. Pada pemakaian obat
golongan OAINS yang bersifat inhibitor
prostaglandin hasilnya belum memuaskan

________________________________________________________________________________
2
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena hanya mengatasi mialgia oleh


karena kerusakan otot akibat pemakaian
suksinilkholin bukan mencegah mialgia
oleh karena kerusakan otot yang ditandai
peningkatan kadar kreatin fosfokinase
(CPK).11,12,13
Timbulnya nyeri otot ini dikarenakan
timbulnya kontraksi-depolarisasi motor
unit yang tidak sinkron sehingga
menyebabkan kekuatan tarikan serabutserabut otot rangka yang dirasakan pasien
setelah 24 jam pasca operasi.11 Menurut
Leeson-Payne dkk kerusakan otot ini
menyebabkan peningkatan kadar CPK
serta terganggunya proses pertukaran
elektrolit yaitu kalium (hiperkalemi).14
Terjadinya proses depolarisasi repolarisasi ini merupakan peran utama akibat
adanya pertukaran ion kalium dan
natrium pada permukaan membran sel
motorik yang menghasilkan perubahan
listik dalam tubuh.15
Pada penelitian pasien preeklamsi yang
mendapatkan magnesium sulfat dapat
mencegah dan menghentikan proses
terjadinya kejang, hal ini disebabkan efek
ion magnesium pada otot diketahui
mempunyai efek kerja secara kompetitif
ion kalsium pada prejunctional site.
Ketika kadar ion kalsiumnya tinggi di
dalam plasma akan meningkatkan
pelepasan asetilkolin pada presynaptic
nerve terminal sebaliknya manakala
kadar magnesium tinggi di plasma akan
menghambat
pelepasan
asetilkolin,
disamping itu keuntungan magnesium
lainnya adalah hambatan pada postjunctional potensials sehingga menyebabkan menurunnya eksitabilitas pada
membran sel serat-serat otot. Selanjutnya
kontraksi otot tidak terjadi sehingga
fasikulasi, mialgia, peningkatan CPK dan
hiperkalemi tidak terjadi. Fakta ini
menunjukkan peran dari CPK secara
umum merupakan tolak ukur untuk
menilai kerusakan otot.

Pada penelitian sebelumnya dikatakan


penggunaan
pelumpuh
otot
nondepolarisasi
dosis
kecil
sebagai
pretreatment juga memberikan kemampuan untuk mengurangi mialgia
khususnya atrakurium pada dosis kecil
lebih dominan pada postsynaptic receptor
colinergic nicotinic dibandingkan dosis
besar target organ pada presynaptic dan
postsynaptic nerve terminal. Pretreatment dengan pelumpuh otot non
depolarisasi (termasuk atrakurium) ini
terbukti lebih baik (superior) dibandingkan metode pretreatment dengan
obat-obat lain sehingga menjadi semacam
baku emas.2,3
Dengan alasan target kerja organ masingmasing obat diatas inilah disamping obat
MgSO4 mudah didapat didaerah terpencil
sekalipun dan harganya murah dibanding
atrakurium kami mencoba berusaha
membuktikan bahwa obat MgSO4 lebih
menguntungkan dalam mencegah terjadinya fasikulasi dan mialgia yang
dilihat dari peningkatan kadar ion kalium
serum CPK dibandingkan atrakurium.
Dengan penggunaan suksinilkolin 1,5
mg/kgBB dan magnesium sulfat 40% 40
mg/kgBB
atau
suksinilkolin
1,5
mg/kgBB dengan atrakurium 0,05
mg/kgBB angka kejadian fasikulasi,
mialgia hiperkalemi dan peningkatan
CPK post operasi dapat dikurangi atau
bahkan
dihilangkan.
Apabila
ini
dikerjakan pada pasien-pasien operation
ambulatory system maka dapat mengurangi atau menekan biaya dan waktu
yang diperlukan untuk rawat inap di
rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan menilai secara
obyektif efektifitas pemberian pretreatment atrakurium dan magnesium
sulfat pada induksi suksinilkolin yang

________________________________________________________________________________
3
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilihat dari kadar kreatin fosfokinase dan


ion kalium.

wan (informed consent), lama dan jenis


operasi (1-2 jam).

Dari beberapa jurnal penelitian dalam


satu dekade belakangan ini baik dinegara
Amerika, Eropa maupun Asia diketahui
bahwa penggunaan MgSO4 dapat
menurunkan/ mengurangi angka kejadian
infark miokard akut, aritmia, kejang
akibat eklamsia, level epineprin atau
norepineprin dalam darah sehingga
hemodinamik pasien lebih stabil.

Kriteria eksklusi : pasien tidak


kooperatif, riwayat hipertermia maligna,
meng-gunakan obat tertentu (CPZ, vit E),
penyakit atau kelainan neuromuskuler,
penyakit atau kelainan metabolik, latihan
fisik atau trauma, keganasan, hemolisis,
luka bakar dan kejang.

METODE
Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang
dilakukan secara acak tersamar ganda
(double blind randomized controlled
trial) dengan tujuan untuk mengetahui
bukti yang obyektif derajat beratnya
fasikulasi-mialgia pasca operasi 24 jam
yang dilihat dari peningkatan kadar
kreatin fosfokinase dan ion kalium
dengan membandingkan 2 kelompok
penelitian, yaitu kelompok kontrol
atrakurium (I) dan magnesium sulfat (II)
melalui rancangan pretest posttest group
design untuk variabel kadar kreatin
fosfokinase darah dan ion kalium.
Untuk homogenitas sampel dengan luka
operasi yang sama sehingga dihasilkan
kualitas penelitian yang baik dipilih
pasien tumor mama jinak di RS. Dr.
Kariadi yang dipersiapkan untuk pembedahan dengan menggunakan teknik
anestesi umum yang memenuhi kriteria
seleksi tertentu.
Populasi target adalah semua penderita
tumor mama jinak wanita berusia 15-60
th, berat badan 35-60 kg tinggi badan
135-170 cm yang akan menjalani
pembedahan elektif dengan teknik
anestesi umum.
Kriteria inklusi, yaitu usia 15-60 tahun,
ASA I-II, BMI 17-25 kg/m2, tinggi badan
135-170 cm, bersedia sebagai sukarela-

HASIL
Sampel penelitian berjumlah 60 orang
perempuan yang merupakan pasien tumor
mama jinak di RS. Dr. Kariadi Semarang
yang dipersiapkan untuk pembedahan
dengan menggunakan teknik anestesi
umum yang memenuhi kriteria seleksi
tertentu.
Jumlah
sampel
tersebut
kemudian dibagi menjadi dua kelompok
yaitu 30 orang mendapat perlakuan
atrakurium dan 30 orang lagi mendapat
perlakuan MgSO4.
Rerata berat badan kelompok atrakurium
55,2 kg ( 8,0) sedangkan rerata tinggi
badan 1,57 m (t 0,06). Rerata umur
kelompok atrakurium adalah 36 tahun
8,8 sedikit lebih tua dibandingkan
kelompok MgSO4 yaitu 31 tahun 11,3.
Deskripsi umur, berat badan dan tinggi
badan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Rerata tekanan darah sistole awal pada
kelompok atrakurium adalah 128 mmHg
16,6, sedangkan rerata tekanan darah
sistol awal pada kelompok MgSO4 adalah
126 mmHg 10,2. Rerata tekanan darah
diastol awal pada kelompok atrakurium
adalah 74 mmHg 9,2, sedangkan rerata
tekanan darah diastole awal pada
kelompok MgSO4 adalah 73 mmHg
7,7. Gambaran lengkap hemodinamik
awal sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Distribusi data umur, berat badan dan
tinggi badan berdasarkan uji Kolmogorov
Smirnov menunjukkan data yang normal,
sehingga uji beda di antara ke dua

________________________________________________________________________________
4
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok dengan independent t-test.


Tidak terdapat perbedaan bermakna
berat badan, tinggi badan dan umur
antara kelompok atrakurium danMgSO4
(p> 0,05). (Tabel l)
Hasil uji Kolmogornov Smirnov menunjukkan bahwa data kadar kalium awal
dan data kadar CPK awal tidak
berdistribusi normal sehingga uji beda
kadar kalium awal dan kadar CPK awal
antara kelompok atrakurium dan MgSO4
dengan uji Mann Whitney. Tidak terdapat
perbedaan bermakna kadar kalium awal
dan kadar CPK awal antara kelompok
atrakurium dan MgSO4. (Tabel 2)
Hasil uji Kolmogomov Smirnov menunjukkan bahwa data kadar kalium
akhir, data kadar CPK akhir tidak
berdistribusi normal. Sehingga uji beda
kadar kalium akhir, kadar CPK akhir,
antara kelompok atrakurium dan MgSO4
dengan Uji Mann Whitney. Tidak
terdapat perbedaan bermakna kadar
kalium akhir dan kadar CPK akhir antara
kelompok atrakurium dan MgSO4 (p >
0,05) (Tabel 3).
Hasil uji Kolmogornov Smirnov menunjukkan bahwa data selisih kadar
kalium dan data selisih kadar CPK, tidak
berdistribusi normal,. sehingga uji beda
selisih kadar kalium dan selisih kadar
CPK, antara kelompok atrakurium dan
MgSO4 dengan uji Mann Whitney.
Tidak terdapat perbedaan bermakna
selisih kadar CPK antara kelompok
atrakurium dan MgSO4 (p > 0,05) namun
terdapat perbedaan bermakna selisih
kadar kalium (p = 0,029), antara
kelompok atrakurium dan MgsO4 (Tabel
4).
Pada kelompok Atrakurium, selisih kadar
kalium dan selisih kadar CPK untuk
kelompok atrakurium tidak berdistribusi
normal, sehingga uji hubungan selisih

kadar kalium dan selisih kadar CPK


dilakukan dengan uji rank Spearman
Hasil uji hubungan menunjukkan tidak
terdapat hubungan bermakna (p = 0,138; p: 0,466) selisih kadar kalium dan
selisih kadar CPK pada kelompok
atrakurium. Diagram tebar selisih kadar
CPK data dilihat pada hubungan antara
selisih kadar kalium dan Gambar 1. Pada
kelompok MgSO4, selisih kadar karium
dan serisih kadar CPK untuk kelompok
MgSo4 tidak berdistribusi normal,
sehingga uji hubungan selisih kadar
kalium dan selisih kadar CPK dilakukan
dengian uji rank sparman. Hasil uji
hubungan menunjukkan tidak terdapat
hubungan bermakna (p = 0,186; p =
0,325) selisih kadar kalium dan selisih
kadar CPK pada kelompok MgSo4.
Diagram tebar hubungan antara selisih
kadar kalium dan selisih kadar CPK
kelompok MgSO4 dapat dilihat pada
Gambar 2.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini kedua kelompok,
kelompok Atrakurium dan kelompok
MgSO4 untuk karateristik penderita, jenis
operasi, sistolik, diastolik, MAP, kadar
kalium dan CPK preoperasi tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna
dan berdistribusi normal sehingga data
dapat dikatakan homogen dan dapat
dibandingkan.
Secara statistik peningkatan serum
konsentrasi ion karium didapatkan
perbedaan bermakna
pada
kedua
kelompok. Fakta ini berbeda dengan
penelitian Stoelting dan Peterson12 serta
Ferres15 dkk dalam penelitiannya
mengatakan peningkatan ion kalium
sama
antara
yang
menggunakan
pretreatment atau tidak menggunakan
pretreatment
obat
golongan
non
depolarisasi.
Kejadian ini dapat diterangkan secara
teori bahwa pelumpuh otot golongan

________________________________________________________________________________
5
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Rerata umur, antropometri


hemodinamik sampel pada kedua kelompok
Variabel
Rerata (
Rerata (
SD)
SD)
Kelompok
Kelompok
Atrakurium
MgSO4
55,2 8,01
51,47,26
Berat
badan
(kg)
1570,06
1580,05
Tinggi
(m)
368,7
3111,3
Umur
(tahun)
12816,6
12610,2
Sistol
(mmHg)
749,2
737,7
Diastol
(mmHg)
9110,4
918,4
MAP
89,812,6
90,611,9
Laju
jantung

dan
P

Gambar 1. Diagram tebar antara selisih kadar


kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok
Atrakurium

0,057

0,811
0,073
0,642
0,651
0,870
0,810

Tabel 2. Perbedaan Nilai Awal Kadar Kalium


dan CPK pada kedua kelompok
Variabel
Rerata
Rerata
P
(SD)
(SD)
Kelompok
Kelompo
Atrakurium k MgSO4
4,24 (0,34)
4,2
0,660*
Kadar
(0,46)
Kalium
64,7 (43,69)
51,8
0,301**
Kadar
(29,72)
CPK
Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney
Tabel 3. Perbedaan Nilai Akhir Kadar Kalium dan
CPK pada ke dua kelompok
Variabel
Rerata (
Rerata (
P
SD)
SD)
Kelompok
Kelompok
Atrakurium
MgSO4
4,320,33
4,380,35
0,639
Kadar
Kalium
209,6223,7 140,4137,7 0,128
Kadar
CPK
Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney

Gambar 2. Diagram tebar antara selisih kadar


kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok
Atrakurium

Tabel 4. Perbedaan Peningkatan Akhir dengan


Awal Kadar Kalium dan CPK
Variabel
Rerata
Rerata
P
(SD)
(SD)
Kelompok
Kelompok
Atrakurium
MgSO4
0,08 0,12
0,18 0,20 0,029
Kadar
Kalium
144,9 196,7 88,6 134,8 0,080
Kadar
CPK

________________________________________________________________________________
6
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

nondepolarisasi bekerja dengan cara


berkompetisi dengan neurotransmitter
asetilkolin untuk menduduki reseptor
asetilkolin sedangkan magnesium bekerja
dengan cara kompetitif inhibitor terhadap
ion kalsium sehingga asetilkolin yang
dilepaskan dari presinap berkurang.
8,15,16,17

Di post sinap magnesium menurunkan


efek asetilkolin pada reseptor dan
meningkatkan batas ambang eksitasi
akson. Pada penelitian yang dilakukan
Sugirt tentang penggunaan MgSo4 untuk
penatalaksanaan
paroksismal
atrial
takikardi juga mendapatkan hasil yang
berbeda bermakna antara yang mendapatkan MgSO4 dengan yang tidak
mendapatkan MgSO4. Aktivitas listrik
jantung berasal dari pergerakan berbagai
ion yang melintasi membrane sel
miokardium. Dalam hal ini ion natrium
(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++) dan
magnesium (Mg++) merupakan ion yang
paling berperan. Ion Mg merupakan
elemen penting untuk kinerja berbagai
enzim vital, termasuk energi yang
mengatur distribusi ion Na+, K+, Ca+ pada
saat melintasi membran sel, sehingga
perubahan ion Mg+ dalam serum
mempunyai potensi besar terhadap
pengaturan aktivitas listrik jantung. Aksi
antagonis ion Mg++ terhadap ion Ca+
adalah dengan berkompetisi pada
membrane sel juga dengan memodulasi
pergerakan
transmembran
maupun
fuansportasi ion Ca+ melalui sistem
retikulo endoplasmik. Disamping itu
pemberian Mg+ akan mengakibatkan
penurunan sekresi katekolamin dalam
miokardium.18-20
Dalam hal peningkatan kadar kreatin
fosfokinase, pada kedua kelompok tidak
didapatkan perbedaan bermakna secara
statistik (p = 0.080) namun secara klinis
nilai peningkatan kadar CPK kelompok
MgSO4 mempunyai kecenderungan lebih

rendah dibandingkan kelompok atrakurium. Fakta ini sesuai teori bahwa


atrakurium dosis besar (dosis induksi)
mempunyai efektivitas kerja pada
presinap dan postsinap neuromuscular
junction, sedangkan pada dosis kecil
(dosis pretreatment) Atrakurium lebih
dominan pada postsinap, sehingga
blokade pada pintu gerbang ion kalsium
dipresinap tidak terjadi dengan sempurna
menyebabkan asetilkolin banyak diproduksi dan dikeluarkan kedalam rongga
lipatan postsinap yang memungkinkan
masih terjadinya proses depolarisasi yang
membutuhkan energi yang besar yang di
suplai oleh enzim CPK untuk membentuk
energi tersebut.21
Secara biokimia dapat diterangkan salah
satu enzim yang diaktifkan oleh Ca2+kalmodulin adalah glikogen fosforilase
kinase, enzim yang sama yang diatur oleh
fosforilase yang diaktifkan oleh hormon.
Sewaktu kalmodulin diaktifkan oleh Ca2+
yang
dibebaskan
dari
retikulum
sarkoplasma sewaktu otot berkontraksi,
C2+-kalmodulin mengikat glikogen fosforilase kinase otot dan mengaktifkannya. Akibatnya glikogen otot diuraikan
menjadi glukosa l-fosfat selama olahraga
untuk memberi bahan bakar bagi otot
dengan demikian bila terjadi blok
gerbang Ca2+ maka pembentukan bahan
energi tidak terbentuk.22
Peningkatan CPK merupakan indikasi
adanya kerusakan otot oleh suksinilkolin.
Peningkatan ini terjadi 24 jam setelah
pemakaian suksinilkolin.23 Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Maddineni dkk
didapatkan hubungan antara mialgia
dengan meningkatnya serum CPK akibat
induksi suksinilkolin.24
Besamya angka kejadian peningkatan
CPK dan peningkatan ion kalium tidak
didapatkan hubungan yang signifikan,
sesuai dengan hasil penelitian Jae Hwan

________________________________________________________________________________
7
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kim dkk dan Naguib M dkk. Mcloughlin


mencatat menurunnya kejadian mialgia
(CPK menurun) pada peningkatan ion
kalium tidak berbeda bermakna antara
kelompok yang mendapatkan pretreatment non depolarisasi atau tidak
fakta ini berbeda dengan hasil penelitian
Chatterji.18
Perbedaan ini semua dapat disebabkan
oleh perbedaan dosis yang digunakan
serta dimungkinkan oleh karena masingmasing obat mempunyai dominasi tempat
kerja yang berbeda disamping itu
kelompok sebaran umur yang lebar
menyebabkan data tidak normal, ini
disebabkan jumlah pasien yang tidak
terlalu banyak sehingga merupakan salah
satu keterbatasan dari penelitian ini.
SIMPULAN
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/KgBB
sebagai pretreatment tidak seefektif
Atrakurium dalam mengurangi kenaikan
kadar ion kalium darah meskipun lebih
baik dibanding dengan obat preteatnent
yang lain akibat suksinilkolin.
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB
sebagai pretreatment dapat mengurangi
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah
akibat suksinilkolin. Tidak ada korelasi
antara peningkatan serum CPK dan
peningkatan ion kalium akibat induksi
suksinilkolin antara kelompok yang
mendapatkan premedikasi MgSO4 40%
40 mg/kgBB dan kelompok yang
mendapatkan premedikasi Atrakurium
0,05 mg/kgBB.
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB
sebagai pretreatment dapat dijadikan
alternatif untuk mengurangi kenaikan
kadar serum kreatin fosfokinase akibat
pemberian
suksinilkolin,
sehingga
kejadian mialgia dapat dikurangi. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut korelasi

antara peningkatan kadar CPK dengan


angka kejadian mialgia
DAFTAR PUSTAKA
1.

Mc Loughlin C, Elliot P, McCarthy JG,


Mirakhur KR. Muscle pains and Biochemical
changes
Following
Suxamethonium
Administration After Six pretreatrnent
Regimens. Anaesthesia 1993 : 41 : 202-206.
2. Laurence AS. Myalgia and Biochemical
change
following
intermittent
Suxamethonium Administration. Anaesthesia
1987 ; 42 : 503-5 I 0
3. Cannon JE. Precurarization. Can J Anaes
1994; 44:177-183
4. PaseNL. Prevention of Succinylcholie
Myalgias : A Meta Analysis. Anasthesia and
Analgesia 1990; 70 : 477-483
5. Aitkenhead A.& G Smith. Neuromuscular
Blockade-Textbook of Anaesthesia, 2nd Ed.
New york, 1991:218-219, 417, 446447,
6. Shrivastava chatterji S, Kachhwa s, Daga SR
calcium
Glukonate
prctneatment
for
prevention
of
succinylcholine-induced
myalgia Anesthesia and analgesia 1983; 62 :
59-62.
7. Spence DLT, Domen & Herbert, Boulette E,
Vachiano C, Maye J. A comparation of
Rocuronium and Lidocain for The prevention
of
Postoperative
Myalgia
After
Succinylcholine A&ninistration. AANA
Joumal 2002:70 :367-372.
8. Hemmerling TIVI, schimidt J, wolf, Klein,
Jacobi. comparation of succinylcholine with
two dosds of rocuronium using a new
methode of monitoring neuromuscular block
at the laryngeal muscles by surface laryngeal
electromyography.Britis J Anaes 2000; 85
:251-255.
9. Kim JH, [Iun Chq Lee [IW- Lim HJ, Chang
SIf Yoon SM, Comparation of rocuronium
and vecuronium hetreatment for Prevention
of Fasciculations, Myalgia and Biochemical
Changes
Following
Succinylcholine
Administration. Acta Anaethesia Sin 1999;
37 : 173-177.
10. Naguib H. Effect of Pretreafinent with Lysine
Acetyl Salicylate on Suxamethoniuminduced myalgia. In : General issues W. Fitch
ed. British J Anaes. 1987; 59 : 606-610.
11. Houghton IT. Aunt CST, Lau JTF.
Suxamethonium Myalgia : An Ethnic
Comparation With and Without pancuronium
pretreatment. In : The Association of
Anaesthetists of Gt Britian and Irpland ed.
Anaesthesia 1992; 69:200-210.

________________________________________________________________________________
8
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

12. Leeson-Payng Nicoll, Hobbs. use ou


Ketorolac
in
The
hevention
of
Suxamethonium Myalgia. In : British J
Anaes.1994:73 :788-790
13. Samad R. Muscle Pain After Succinylcholine
Injection and Its Management. Journal
Surgery Pakistan. 2003;volume 09, Number
03.
14. Krisnanto D, Saleh SC, Sylvaranto T,.
Pengaruh suksinitkholin dosis intubasi
terhadap kalium pada penderita di RSUD Dr.
Sutomo surabaya. Dalam : Kumpulan
Makalah Pra PIB VIII IDSAI Surakartq
1994.
15. Vaugh RS. Potasssium and the perioperative
periods. British J Anaes l99l; 67:194-200.
16. Worthley LIG. Fluid and elecholyte therapy.
In: T.E.OH, ed. Intensive care Manual. 3'd
ed. London: Butterworttrs. 1990:502-5 11.
17. Dobb GJ. Electrolytes and Parenteral
rherapy. In: Davidson c. wylie. A Practice of
Anaesthesia 5s ed. singapore: Lroydruke.1996:566-568.
18. Moir DD. Thorburn J. obstefic Anaesthesia
and Analgesia. 3d ed. London: Balliere
Tindal, 1986: 13.

19. Myles PS, Hunt Jo, and Moloney JT.


Postoperativi:
minor
complications.
Anaesthesia, 1997 ; 52: 300-306.
20. Katnng, BG, Editor Bahsa Indonesia oleh :
sjabana D. dkk : Farmakologi Dasar dan
Klinilq Edisi 8-Buku 2 Jakarta; salemba
Medika, 2002 : 177-203
21. Sugiri. Penggunaan Magnesium Sulfat dalam
tatalaksana Paroksismal Atrial Takikardi.
Media Medika Indonesiana 2002: 36(4): 12734.
22. Pokharel M.comparative study of Intravenous
Magnesium sulphate and Lignocain in
Attenuation of Hemodynamic response to
raryngoscopy and tracheal Intubation. Can J
Anaesth 2004:49:11286
23. Glaaser IW, clancy cE.cardiac Na+ channel as
therapeutic
Taget dor Antiarrhyhnic
Agents.I.:Kass Rs, Clancy cE. Basis and
Treatment of cardiac Arrhyhnias Berlin ;
Springer 2006 :99 120
24. Chakraborti S, Makdal M, Ghosh S.
Protective
role
of
Magnesium
in
Cardiovasculer disease : A Riview . J
Molecular and Celluler biochemistry
2002;238:163-179

________________________________________________________________________________
9
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran


Rosa Afriani*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Every patient undergoing surgery should receive proper pain management.
A non steroid antiinflamation drug, 30 mg ketorolac provide analgesic effect as well as 10
mg morphine or 100 mg meperidine without any cardio respiration depression side effect.
Ketorolac non selectively inhibit the function of cyclooxigenase enzyme and prostaglandin
synthesizes which cause endogenous vasoconstriction and decrease renal perfusion and
glomerular filtration.
Purpose: To detect effect of intravenous administration of ketorolac on Glomerular
Filtration Rate in anesthesia with isoflurane.
Method: This research was a second phase clinical trial, designed as double blind
randomize control trial. Sample of this study consisted of 48 patients, divided in to two
groups. Group Kl : receive intravenous 30 mg ketorolac (1 ml) 1 hour before the end of
surgery, and Group K2 : receive intravenous 1 ml saline 1 hour before the end of surgery.
Serum creatinine level was measured before and at 6 hours after surgery.
Result: There were no significant increase of serum creatinine and no significant decrease
of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group.
Conclusion: There were no significant increase of serum creatinine and decrease of
creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group in anesthesia with isoflurane.
Key words: ketorolac, Glomerular Filtration Rate, isoflurane
ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan
penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg
memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg
dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non
selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
giomerulus pada anestesi isofluran.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok
K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan
kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum
kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai.
Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo.
Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo,
dengan menggunakan agen inhalasi isofluran.
Kata kunci: ketorolak, laju filtrasi glomerulus, isofluran
________________________________________________________________________________
10
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN
Setiap penderita yang mengalami
pembedahan
sebaiknya
diberikan
penanganan nyeri yang sempurna, karena
dampak dari nyeri itu sendiri dapat
mengakibatkan timbulnya Metabolic
Stress Response (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh
penderita. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan
hambatan
pada
penyembuhan luka, mobilisasi yang
terganggu, dan jangka waktu rawat di
rumah sakit akan semakin bertambah.
Analgesia lebih efektif tercapai dengan
menggunakan kombinasi obat yang
bekerja pada tempat-tempat yang berbeda
sepanjang jalur nyeri dan dengan efek
samping yang minimal. Terapi analgetik
dengan opioid menimbulkan banyak efek
samping antara lain: sedasi, narkosis,
depresi respirasi, dan ileus intestinal.
Beberapa efek samping tersebut tidak
terjadi dengan pemberian anti inflamasi
non steroid.3
Obat antiinflamasi non steroid ketorolak
30 mg memberikan efek analgesia yang
sebanding dengan morfin 10 mg atau
meperidin
100
mg
dan
tidak
menimbulkan efek samping depresi
respirasi.4,5
Ketorolak bekerja secara non selektif
menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostagiandin
yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan filtrasi
glomerulus.6
Pada penelitian sebelumnya, Merja dkk
melaporkan bahwa ketorolak 30 mg
menurunkan fungsi glomerulus dan
tubulus ginjal meskipun secara statistik
tidak bermakna.6 Merja dkk menggunakan agen inhalasi sevofluran.
Sampai saat ini belum terdapat penelitian
yang menerangkan pengaruh ketorolak

intravena terhadap laju filtrasi glomerulus


pada pasien yang menggunakan agen
inhalasi isofluran, padahal isofluran lebih
sering digunakan di Instalasi Bedah
Sentrai RSUP. Dr. Kariadi Semarang
dibandingkan dengan sevofluran.
Penelitian yang akan kami lakukan
adalah bagaimana pengaruh ketorolak
intravena terhadap laju filtrasi glomerulus
pada anestesi dengan isofluran. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberian ketorolak intra vena
terhadap laju filtrasi glomerulus pada
anestesi isofluran. Sedangkan tujuan
khususnya, pertama untuk mengukur
kadar kreatinin sebelum dan sesudah
pemberian ketorolak intra vena terhadap
laju filtrasi glomerulus pada anestesi
isofluran, kedua menghitung klirens
kreatinin sebelum dan sesudah pemberian
ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
glomerulus pada anestesi isofluran.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik tahap
2 (subjek manusia) fase 3 (bertujuan
mengevakuasi obat atau cara pengobatan
baru dibandingkan dengan pengobatan
yang telah ada/standar) dengan cara
double blind randomized controled trial,
dengan bentuk rancangan eksperimental
ulang (pretest-postest control group
design). Dalam rancangan eksperimental
ulang, pengukuran atau observasi
dilakukan awal sebelum diberikan
perlakuan dan setelah perlakuan.
Kelompok penelitian dibagi menjadi dua
kelompok sebagai berikut: Kelompok I
(K1): mendapat tramadol 2 mg/kgBB i.v
dan ketorolak 30 mg intravena 1 jam
sebelum operasi diperkirakan selesai.
Kelompok 2 (K2): mendapat tramadol 2
mg/kgBB i.v dan plasebo intravena 1 jam
sebelum operasi diperkirakan selesai.
Tempat penelitian adalah Instalasi Bedah
Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Waktu penelitian dimulai setelah

________________________________________________________________________________
11
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

proposal disetujui sampai tercapai sampel


yang telah ditetapkan.

diberikan 20 menit setelah pemberian


fentanyl.

Kriteria inklusi, yaitu : usia antara 16-50


tahun, status fisik ASA I - II, menjalani
operasi dengan anestesi umum, lama
operasi 2 - 3 jam, tidak ada kontraindikasi pemakaian obat anestesi yang
digunakan, berat badan normal (BMI 2025 kg/m2). Kriteria eksklusi, yaitu :
penyakit otot, penyakit jantung, penyakit
ginjal.

Ketika operasi berlangsung, infus


diberikan dengan kecepatan yang
disesuaikan dengan kebutuhan cairan
intra operatif, sedangkan operasi dibatasi
2-3 jam. Satu jam sebelum operasi
diperkirakan selesai, pasien diberikan
ketorolak (kelompok tramadol-ketorolak)
dan plasebo (kelompok tramadolplasebo). Enam jam pasca bedah diambil
sampel darahnya untuk pemeriksaan
serum kreatinin.

Pemilihan sampel dilakukan dengan


concecutive random sampling, dimana
setiap penderita yang memenuhi kriteria
yang telah ditentukan diatas dimasukkan
dalam sampel penelitian sampai jumlah
yang diperlukan terpenuhi. Pasien dibagi
dalam 2 kelompok yaitu kelompok
tramadol-ketorolak (Ki) dan kelompok
tramadol-plasebo (K1), sehingga masingmasing kelompok berjumlah 24 orang.
Semua pasien diberi penjelasan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kondisi
yang akan dialami selama perlakuan dan
bersedia mengikuti penelitian. Pasien
dikeluarkan dari penelitian apabila
menolak perlakuan, tidak kooperatif, dan
lama operasi lebih dari 3 jam.
Semua pasien dipuasakan selama 6 jam
dan diberikan premedikasi sulfas
atropine 0,01 mg/kgBB, midazolam 0,07
mg/kgBB intramuskuler, dan ondansetron
4 mg intramuskuler 30 menit sebelum
induksi. Setelah sampai di kamar operasi
segera diperiksa sampel darah pasien.
Penderita diinduksi dengan thiopentone 5
mg/kgBB, atrakurium besylate 0,5
mg/kgBB, fentanyl 2 g/kgBB intravena
untuk
fasilitas
pemasangan
pipa
endotrakeal. Anestesi dirumat dengan O2
50% dan N2O 50%, isofluran 0,5-1
MAC., serta penambahan 0,2 mg/kgBB
atrakurium besylale untuk rumatan
pelumpuh otot, tramadol 100 mg

HASIL
Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien
yang menjalani operasi di bidang THT,
mata, bedah tumor, bedah ortopedi,
badah digestif, dan bedah plastik di
Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi
Semarang dan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok Kl (ketorolak)
dan K2 (plasebo). Uji statistik untuk data
normal meliputi jenis kelamin dan status
ASA dengan menggunakan MannWhitney.
Nilai dinyatakan dengan rerata dan
simpangan baku. Uji t dan MannWhitney terhadap karakteristik kedua
kelompok menunjukkan perbedaan tidak
bermakna (p<0,05), sehingga dapat
dibandingkan. Karakteristik klinis pasien
sebelum dan sesudah operasi yang terdiri
dari tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, dan laju nadi menunjukkan
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05),
sehingga
kedua
kelompok
dapat
dibandingkan.
Fungsi ginjal kelompok ketorolak dan
plasebo terdapat perbedaan tidak
bermakna (p>0,05) pada saat sebelum
operasi. Fungsi ginjal pada kelompok
ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan
tidak bermakna (p > 0,05) pada saat
setelah operasi.

________________________________________________________________________________
12
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Data numerik umur, BMI, serum kreatinin, dan klirens kreatinin menggunakan uji {(independent i
test dan paired t test) dengan derajat kemaknaan p< 0,05.
Variabel
Umur (th)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat badan (kg)
BMI
Status ASA (%)
ASA I
ASA II

Kelompok
K1 (n=24)
31,58 9,86

Kelompok
K2 (n=24)
31,33 9,16

Uji Statistik

Uji-t

0,928

12
12
56,58 7,19
21,62 1,53

10
14
53,79 5,59
21,13 1,07

Mann Whitney

0,140

Uji t
Uji t

0,140
0,206

16
8

19
5

Mann Whitney

0,335

Tabel 2. Karakteristik klinis pasien pre operasi


Variabel

Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Laju
Nadi
(x/mnt)

Pre operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
121,25 9,89
120,58 11,4
75,46 7,14

74,58 8,66

86,08 8,77

88,13 9,28

Uji
Statistik

Independent
t test
Independet
t test
Independent
t test

0,827

Uji
Statistik

Independent
t test
Independet
t test
Independent
t test

0,835

0,704
0,438

Tabel 3. Karakteristik klinis pasien post operasi


Variabel

Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Laju
Nadi
(x/mnt)

Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
121,17 9,40
121,75 9,84
73,46 7,05

76,75 6,28

83,75 8,7

85,46 8,65

0,095
0,499

Tabel 4. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo sebelum operasi
Variabel

Kreatinin
Klirens
kreatinin

Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
0,75 0,18
0,746 0,13
117,30 21,91

111,44 22,66

Uji
Statistik

Independent
t test
Independet
t test

0,940
0,367

________________________________________________________________________________
13
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 5. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo setelah operasi
Variabel

Kreatinin
Klirens
kreatinin

Post operasi
Kelompok K1
Kelompok K2
(n=24)
(n=24)
0,777 0,19
0,776 0,15
113,65 22,24

108,27 24,76

Uji
Statistik

Independent
t test
Independet
t test

0,987
0,432

Tabel 6. Delta perubahan kliners kretinin kelompok ketorolak dan placebo


Variabel

Kelompok K1
(n=24)

Kelompok K2
(n=24)

Uji
Statistik

Selisih
klirens
kreatinin
pre op
post op

Kelompok K1
(n=24)
Kelompok K2
(n=24)

3,6463
16,5139
3,1733
21,2519

Paired t test

0,291

Paired t test

0,472

Delta perubahan klirens kreatinin pada


kelompok ketorolak dan plasebo terdapat
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05).
PEMBAHASAN
Ketorolak
sangat
berguna
untuk
mencegah nyeri pasca operasi, baik
sebagai obat tunggal atau diberikan
bersama opioid sehingga mempunyai
efek potensiasi. Ketorolak adalah obat
analgesia ami inflamasi non steroid dan
merupakan analgesia yang bekerja
diperifer dengan cara menghambat fungsi
enzim siklooksigenase dan sintesis
prostaglandin
yang
mengakibatkan
terjadinya
vasokonstriksi
endogen,
sehingga
menyebabkan
penurunan
perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus.6
Laju filtrasi glomeruius paling tepat
menggunakan klirens inulin, karena
inulin difiltrasi secara lengkap di
glomerulus, tidak toksik terhadap ginjal,
tidak direabsorbsi dan disekresi di
tubulus ginjal serta tidak mengalami
metabolisme di ginjal.20,21
Karena nilai LFG dengan klirens inulin
dirasakan sulit dan tidak praktis, maka
untuk keperluan klinis praktis klirens
kreatinin telah digunakan secara luas

untuk memperkirakan LFG karena


kreatinin difiltrasi dan sebagian kecil
disekresi tetapi tidak direabsorbsi dalam
dalam Ginjal Diasumsikan bahwa
kreatinin diekskresikan semata-mata
melalui filtrasi glomerulus.24
Pada penelitian ini diteliti pengaruh
ketorolak intravena terhadap laju filtrasi
glomerulus
pada
pasien
anestesi
isofluran. Penelitian dilakukan terhadap
48 penderita yang menjalani operasi di
bidang THT, mata, bedah tumor, bedah
ortopedi, badah digestif, dan bedah
plastik di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr.
Kariadi Semarang dan dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok Kl
(ketorolak) dan K2 (plasebo), yang
masing - masing kelompok terdiri dari 24
penderita.
Dari data karakteristik penderita pada
Tabel 1 dan karakteristik klinis penderita
sebelum operasi pada Tabel 2,
menunjukkan
bahwa
pada
kedua
kelompok tidak terdapat perbedaan yang
bermakna sehingga keduanya layak untuk
diperbandingkan.
Hasil pengamatan tambahan meliputi
pengukuran tekanan darah sistolik,
tekanan darah diastolik, dan laju nadi

________________________________________________________________________________
14
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sebelum dan sesudah operasi. Tekanan


darah sistolik, tekanan darah diastolik,
dan laju nadi menunjukkan penurunan
yang tidak bermakna pada kelompok
ketorolak dan plasebo. Pada tekanan
darah tersebut, autoregulasi masih
bekerja sehingga masih dapat mempertahankan aliran darah ginjal dan iaju
nitrasi giomerulus yang stabil. Respon
ginjal terhadap penurunan tekanan darah
menyebabkan
timbulnya
aktivasi
simpatis. Aktivasi simpatis ini menyebabkan konstriksi arteriol aferen dan eferen
yang akan mengakibatkan penurunan laju
filtrasi glomerulus.

Pemeriksaan klirens kreatinin menggunakan serum kreatinin untuk menentukan fungsi ginjal dengan menggunakan
rumus Cockcroft dan Gault cukup
nyaman karena cara penghitungan yang
mudah dan praktis akan tetapi kurang
akurat sensitivitasnya, sedangkan penggunaan inulin untuk pemeriksaan laju
nitrasi glomerulus yang lebih akurat
membutuhkan banyak tenaga dan mahal,
sehingga diperlukan penggunaan penanda
baru yang akurat, cepat, dan murah
sebagai pengganti serum kreatinin untuk
menentukan fungsi ginjal misalnya Cyst
at in C dalam serum.

Hasil penelitian terutama ditujukan


terhadap klirens kreatinin yang dilakukan
sebelum dan sesudah operasi. Metoda
perhitungan klirens kreatinin pada
penelitian ini memakai rumus Cockcroft
dan Gauit.

SIMPULAN

Terdapat penurunan klirens kreatinin


tidak bermakna pada kelompok ketorolak
dan plasebo. Ketidakbermaknaan ini
terjadi mungkin pengamatan klirens
kreatinin dilakukan 6 jam setelah
pemberian ketorolak, sedangkan dari
kepustakaan
pengamatan
dilakukan
sampai 3 hari, walaupun pernah
dilaporkan juga pada beberapa pasien
setelah
pemberian
dosis
tunggal
ketorolak terjadi penurunan klirens
kreatinin,
atau
diperlukan
tehnik
tambahan untuk menghitung klirens
kreatinin menggunakan jumlah produksi
urin dan kreatinin urin.
Penurunan klirens kreatinin tidak
bermakna juga dikemukakan oleh Merja
dkk6 yang mengukur klirens kreatinin
dengan menggunakan agen inhalasi
sevofluran. Pemberian obat-obatan yang
tidak termonitor, pasien melakukan
latihan fisik berat, adanya penyakit otot
yang tidak diketahui sebelumnya
merupakan factor-faktor yang bisa
mempengaruhi laju nitrasi glomerulus.

Dari hasil penelitian terhadap 48


penderita berusia 16-50 tahun yang tidak
menderita penyakit otot, penyakit
jantung, penyakit ginjal, syok (MAP <
50), menstruasi, demam, menggunakan
obat-obatan
seperti
oksitetrasiklin,
netilmisin,
trimethoprim-sulfadiazin,
metoksifluran, flunixin, gentamisin,
penisilin, neomisin, dan kanamisin, yang
menjalani operasi di bidang THT, mata,
bedah tumor, bedah ortopedi, bedah
digestif, dan bedah plastik dengan ASA III di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr.
Kariadi Semarang, diperoleh kesimpulan
yaitu terdapat peningkatan kreatinin
serum secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara tidak
bermakna, pada kelompok ketorolak dan
plasebo, selama operasi 2 - 3 jam dengan
menggunakan agen inhalasi isofluran.
Diperlukan pengamatan terhadap serum
kreatinin dan klirens kreatinin pada
penderita yang mendapat ketorolak
intravena dalam jangka waktu yang lama.
Diperlukan penggunaan penanda baru
yang lebih akurat, cepat, dan murah
untuk menentukan fungsi ginjal, sebagai
pengganti serum kreatinin.

________________________________________________________________________________
15
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Pederson D. Accelerated surgical stay


programme. Annals of surgery 1994;
219:374-81.
Bardram L, Funch - Jensen P, Crawford ME,
Kehlet H. Recovery after laparoscopic
colonic surgery with epidural analgesia and
early oral nutrition and mobilisation. Lancet
1995; 345 : 763-4.
Wong HY. Non opioid analgesic : use in the
perioperative periode. In : Collms VJ.
Physiologic and pharmacologic bases of
anesthesia. Pennsylvania : William &
Wilkins ; 1996, 599-610.
Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism
of action of anti inflamatory drugs. Kluwer
academic publisher / William Haqrvey Press ;
1996, 2 - 27.
Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac,
bupivacain and low - dose heparin on
tromboelastographic variables in vitro. Br. J.
Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30.
Merja L, Maija AT, Koivusalo, Honkanen E,
Yalta P,Lindgren L. The effect of ketorolac
and sevoflurane anesthesia on renal
glomerular and tubular function. 2001.
Available from : The Electronic Anesthesia
Library.
Jung
D,
Mroszozak EJ,
Wu A.
Pharmacocinetic of ketorolac and p-hydroxy
ketorolac following oral and intramuscular
administration of ketorolac tromethamine.
Pharmaceutical Res 1989 ; 35 : 423-5.
Ding Y, Fredman B, White PF. Use of
ketorolac and fentanyl during outpatient
gynecologic surgery. Anesth Analg 1998 ;
77: 205 -10.
Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism
of action of anti inflamatory drugs. Kluwer
academic publisher / William Haqrvey Press ;
1996, 2 - 27.
Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac,
bupivacain and low-dose heparin on
thromboelastographic variables in vitro. Br. J.
Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30.
Jung D, Mroszcak EJ, Bynum L.
Pharmacokinetics of ketorolac tromethamine
in human after ntravenous, intramuscular
and oral administration. Eur J Clin Pharmacol
1998 ; 35: 423 - 25.
Gillis JO, Brogden RN. Ketorolac : a
reappraisal of its pharmacodynamic and
pharmacokinetic properties and therapeutic
use in pain management. Drug Adis Drug
Evaluation 1997, 53(1): 139 - 88.
Malmberg AB, Yaksh TL. Hyperalgesia
Mediated by Spinal Glutamate or Subtance P

14.

15.

16.

17.
18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

receptor Blocked by Cyclooxygenase


Inhibition. Sience 1997;257:1276-9.
Stoelting RK. Pharmacology and physiology
in anesthetic practice, 3 rd ed. Philadelphia
and New York: Lippincott Raven ; 1999,247
- 56.
Ketorolac. Available from : URL : http :
//www.rmhonline.com/
modules/goldstandard/ketorolac.html. May
08 2006.
Galli G, Panzetta G. Do non-steroidal antiinfl amatory drugs and COX-2 selective
inhibitors have different renal effects? J
Nephrol 2002; 15: 480-8.
Arthur V. Renal physiology. New york : Me
Graw-Hill Inc ; 1991,19-52.
Markun MS, Suhardjono. Evaluasi penderita
penyakit ginjal. Dalam : Soeparman,
Waspadji, penyunting. Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Jakarta : Badan penerbit FKUI;
1990,189-98.
Behnia
R.
Renal
physiology,
physiopathology and pharmacologic effect on
kidney function. In : Collins VJ. Physiologic
and pharmacologic base of anesthesia.
Baltimore : William & Wilkins ; 1996,42145.
Achmadi N, Marwoto. Penatalaksanaan
anestesi pada penderitaan gagal ginjal kronik.
Kumpulan karya ilmiah. Semarang : Bagian
Anestesiologi FK Undip ; 1998.
Lessard MR, Trepanier CA. Renal function
and
haemodynamics
during
prolong
isoflurane-induced hypotension in human.
Anesihesiology 1991 ; 74 : 860-5.
Smith JF. Medical Library. Available from :
URL
:
http:
//www.chclibrarv.org
/micromed/Q0044300.html. March 20,2005.
Boswell MV, Collins VJ. Fluorinated ether
anesthetics. In : Collins VJ (editor).
Physiologic and pharmacologic bases of
anesthesia. Baltimore : William & Wilkins A
Waferly Co; 1996, 687-91.
Nam YT, Kim JS, Park KW. Effect of
hypotensive
anesthesia
with
sodium
nitroprusside or isoflurane on haemodynamic
and metabolic changes. Yonsei MedJ 1991;
33: 320-5.

________________________________________________________________________________
16
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik
Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat
Premedikasi Midazolam Intravena
Eva Susana Putri Daya*, Uripno-Budiono*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Routine midazolam premedication is given in spinal anesthesia because very
useful to give sedation, amnesia, decrease anxiety so that the patients hemodynamic is
more stabile. To date, midazolam premedication for Cesarean section is still controversial
because can depress nenonate respiratory. It is because data about the pharmacology of
transplacental is still limited. In Cesarean section didnt have bad effect to neonate. This
study want to add information about transplacental pharmacology so that analysis the
relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and
time of labor.
Objective: To prove the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor.
Method: There were 15 sample who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Patient was
injected with 0,02 mg/kgBW intravenous midazolam premedication just before spinal
anesthesia ( 2 minute). After the umbilical cord cut, the maternal blood sample and
umbilical vein blood sample was taken. The level of midazolam plasma was measured by
HPLC. Statistic Corelation was analyzed using Person.
Result: The aged of mother had positive significant correlation with blood plasma
midazolam level of mother (r=0,932 ; =0,000) and baby ( r=0,578 ; =0,024 ). The aged
of pregnancy had negative significant correlation with mother blood plasma midazolam
level ( r= -0,648 ; = -0,009 ). The weight of the baby had negative significant correlation
with baby blood plasma midazolam level ( r= -0,954 ; =0,000 ). Time of labour have
negative significant correlation with blood plasma midazolam level of mother ( r= - 0,760;
=0,001 ) and the baby (r= -0,558 ; = -0,031 ).
Conclusion: There is relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor
Keywords : Midazolam, Spinal Anesthesia, Sectio Caesaria

ABSTRAK
Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena
sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan
kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial
karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi
farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis
0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai
studi farmakokinetika
yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan
bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.

________________________________________________________________________________
17
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan
kondisi fisik serta waktu persalinan.
Metode : Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample
sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi
midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal ( 2 menit).
Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil
sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC.
Analisa statistik korelasi dengan pearson.
Hasil : Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma
ibu (r=0,932 ; =0,000) dan bayi (r=0,578 ; =0,024). Usia kehamilan mempunyai
hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; = -0,009).
Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam
plasma bayi (r= -0,954 ; =0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna
negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; =0,001) maupun bayi (r= 0,558 ; = -0,031).
Kesimpulan : Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik
serta waktu persalinan
Kata kunci : Midazolam, Anestesi Spinal, Sectio Caesaria

PENDAHULUAN
Teknik anestesi spinal pada sectio
caesaria mempunyai banyak keuntungan
seperti onset cepat, risiko terhadap bayi
minimal, serta pencegahan dan penyulit
anestesi sudah diketahui dengan baik,
sedangkan premedikasi sedasi intravena
pada wanita hamil sangat bermanfaat
dalam persiapan untuk prosedur medis
dan pembedahan pada sectio caesaria,
dimana obat premedikasi anestesi yang
biasa digunakan untuk sedasi yaitu
midazolam.
Midazolam
selain
memberikan sedasi juga dapat mengatasi
rasa cemas pasien, memberikan amnesia
dan sedikit relaksasi, dengan demikian
diharapkan hemodinamik pasien lebih
stabil. Dosis premedikasi midazolam
intravena untuk ibu hamil yang
direkomendasikan aman bagi janin yaitu
dengan menggunakan dosis rendah 0,02
mg/kgbb. 1,2,3
Beberapa
laporan
mendiskusikan
pemberian midazolam secara intra vena
selama kehamilan tanpa memberikan
informasi lebih banyak mengenai

penggunaannya pada saat persalinan.4,5


Penelitian sebelumnya menyatakan dosis
tunggal midazolam pada sectio caesar
tidak berpengaruh buruk pada Apgar
Score dan neurobehaviour score.6
Untuk menyediakan lebih banyak
informasi farmakologi klinis terutama
mengenai farmakologi transplasenta pada
prosedural premedikasi midazolam pada
kehamilan aterm yang akan dilakukan
sectio caesar dengan anestesi spinal,
maka pada penelitian ini kami bermaksud
mengukur berapa kadar midazolam
plasma darah ibu dan bayi setelah diberi
premedikasi midazolam dosis 0,02
mg/kgBB iv.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental
dengan
consecutive
sampling. Tempat penelitian adalah
Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Pemeriksaan kadar midazolam plasma
darah dilakukan di Bio Equivalen Lab

________________________________________________________________________________
18
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Jakarta. Penelitian dilakukan sejak


November 2008 sampai Januari 2009.
Jumlah sampel yang diperlukan untuk
penelitian ini seluruhnya adalah 15
sampel ibu dan 15 sampel bayi.

Adapun pelarut untuk HPLC grade antara


lain : dichloromethane, hexane, isopropyl
alcohol, tetrahydrofuran, t-butyl methyl
ether, acetonitrile. Standar internal
menggunakan climazolam.

Pasien diberikan oksigen kanul nasal 3


l/mnt,
dipasang
alat
monitoring,
diberikan koloid HES 6% sebanyak
500ml dimana sebelumnya dari ruangan
telah diberikan kristaloid RL 500 ml dan
dievaluasi monitoring hemodinamik.
Kemudian
pasien
mendapatkan
premedikasi midazolam 0,02 mg/kgbb iv
sesaat ( 2 menit ) sebelum dilakukan
spinal anestesi. Anestesi spinal dengan
bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg,
sebelum dilakukan insersi spinal needle
25 G dilakukan infiltrasi subcutis dengan
lidokain 2%.

Data-data meliputi data demografi dasar


(usia ibu, tinggi badan, berat badan), lab
pre operasi (darah rutin, elektrolit, ureum,
creatinin, albumin, GDS, ppt), status
obstetric (multiparitas, umur kehamilan),
hemodinamik ibu (pre operasi, durante
operasi (tiap 5 menit), post op),
manajemen operatif (waktu yang
diperlukan mulai dari premedikasi s/d
bayi lahir, durasi operasi, total efedrin),
berat badan bayi baru lahir dan Skor
apgar menit 1, 5, dan 10. Sampel plasma
darah vena umbilikalis diambil sesaat
setelah bayi lahir bersamaan diambil
sampel darah vena ibu @ 2 cc. Sampel
darah vena diambil plasmanya dengan
centrifuge
kemudian
besar
kadar
midazolam plasma diukur dengan metode
HPLC.

Setelah bayi lahir dan tali pusar dipotong


diambil sampel darah pada vena
umbilikalis bersamaan juga diambil
sampel darah vena maternal di regio ante
brachii ibu untuk mengukur kadar
midazolam dalam plasma darah vena
umbilikalis dan plasma darah ibu. Sampel
darah masing-masing diambil 2 cc dan
dimasukkan ke dalam tabung vakum
plastik berisi EDTA, dan segera dikirim
ke laboratorium. Kemudian darah vena
diambil plasmanya dengan alat pemusing.
Selain itu mencatat data penilaian Skor
APGAR menit ke 1 dan ke 5 oleh dokter
anak/residen anak dan berat badan bayi.
Masing-masing sampel darah vena
diambil plasmanya dengan sentrifus 3000
rpm selama 45 detik kemudian disimpan
dalam lemari es -80 C. Media transport
sampel menggunakan cooling box yang
berisi dry ice. Kadar midazolam plasma
darah diukur dengan menggunakan
metode HPLC ( High Performance
Liquid Chromatography ) dengan sistem
grading tehnik column switching. Reagen
grade analistis yang digunakan antara
lain : sodium hydroxide, orthophosporic
acid, disodium hydrogen orthophospat.

Analisa Statistik deskriptif untuk masingmasing variabel numerik dinyatakan


dalam rerata simpang baku ( mean
SD ). Semua variabel numerik diuji
normalitas untuk sebaran data. Analisa
korelasi antara usia ibu, berat badan ibu,
BMI ibu, usia kehamilan, berat badan
bayi serta waktu persalinan dengan kadar
midazolam plasma darah ibu dan bayi
menggunakan statistik korelasi Pearson.
Penyaji dalam bentuk tabel dan grafik.
HASIL
Didapat 15 ibu hamil aterm yang
menjalani section caesar dengan anestesi
spinal yang memenuhi kriteria penelitian.
Karakteristik subyek penelitian dapat
dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan American Society of
Anesthesiologist (ASA) didapat 13 orang
subyek penelitian (86,7%) dengan
kategori ASA I dan 2 orang subyek

________________________________________________________________________________
19
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. Subyek
kategori skor ASA

penelitian (13,3%) dengan kategori ASA


II. Distribusi frekuensi subyek APGAR
penelitian berdasarkan kategori skor ASA
juga ditampilkan pada Gambar 1.

12
10

Rerata (Simpang
Baku = SB)

Umur ibu (tahun)

29,1 (3,22)

Umur kehamilan
(minggu)

38,8 (1,27)

66,5 (11,83)

28,9 (4,30)

Berat badan ibu


(kilogram)

berdasarkan

14

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian


Karakteristik

penelitian

ASA I

BMI ibu (kg/m2)

ASA II

Tabel 2. Rerata waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor
APGAR (n=15)
Karakteristik

Rerata (Simpang Baku)

Waktu dari premedikasi s/d lahir (menit)

17,2 (7,19

Berat Badan Lahir Bayi (gram)

3126,7 (278,94)

Skor APGAR menit ke-1

8,6 (0,63)

Skor APGAR menit ke-5

9,3 (0,59)

Skor APGAR menit ke-10

10,0 (0,00)

Tabel 3. Parameter hemodinamik subyek penelitian sebelum premedikasi, 1 menit setelah premedikasi dan
durante operasi
Karakteristik

Sebelum
premedikasi

1 menit
setelah
premedikasi

Rerata (SB)
Denyut
Jantung
(x/menit)

Durante operasi (menit ke-)


5

10

15

30

45

60

Rerata (SB)

Rerata
(SB)

Rerata
(SB)

Rerata
(SB)

Rerata
(SB)

Rerata
(SB)

Rerata
(SB)

103,3 (4,98)

91,4 (4,01)

90,1
(3,73)

94,8
(4,41)

99,3
(6,40)

94,3
(4,30)

91,5
(4,78)

90,5
(3,56)

Sistol
(mmHg)

118,6 (8,09)

113,2 (7,37)

109,9
(6,56)

108,5
(3,81)

111,1
(5,33)

112,9
(6,51)

117,1
(6,73)

117,9
(7,03)

Diastol
(mmHg)

73,9 (6,29)

67,6 (7,38)

64,1
(6,68)

62,5
(7,06)

62,9
(6,50)

66,5
(6,72)

70,5
(6,92)

68,9
(7,53)

MAP
(mmHg)

78,5 (5,20)

80,5 (4,53)

84,0
(5,04)

83,6
(5,61)

105,5
(2,15)

105,9
(2,24)

91,3
(2,10)

89,2
(2,46)

SpO2 (%)

99,7 (0,59)

99,9 (0,35)

100,0
(0,00)

100,0
(0,00)

100,0
(0,00)

100,0
(0,00)

100,0
(0,00)

100,0
(0,00)

________________________________________________________________________________
20
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Kadar midazolam plasma darah vena maternal, vena umbilikalis dan rasio fetomaternal kadar
midazolam
Karakteristik kadar
midazolam
Vena Maternal (ng/ mL)
Vena Umbilikalis (ng/ mL)
Rasio fetomaternal

Rerata (SB)

Median

Minimal

Maksimal

55,04 (32,819)
14,83 (5,909)
0,31 (0,135)

43,55
14,90
0,37

19,87
2,19
0,08

129,64
23,73
0,51

Tabel 5. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah ibu
Indikator
Usia ibu
Berat badan ibu
BMI ibu
Usia kehamilan
Waktu premed s/d lahir

r hitung
0,932
0,006
0,269
0,648
0,760

0,000
0,982
0,333
0,009
0,001

Kriteria
Korelasi sangat kuat
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Korelasi kuat (-)
Korelasi kuat (-)

Tabel 6. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah bayi
Indikator
Usia ibu
Berat badan ibu
BMI ibu
Usia kehamilan
Waktu premed s/d lahir
BB bayi
Rasio Fetomaternal

r hitung
0,578
0,358
0,425
0,375
0,558
0,954
0,347

Gambar 2. Perbandingan kadar midazolam


plasma darah vena maternal dan umbilical subyek
penelitian (n=15)

0,024
0,190
0,114
0,168
0,031
0,000
0,205

Kriteria
Korelasi cukup
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Tidak bermakna
Korelasi cukup (-)
Korelasi sangat kuat (-)
Tidak bermakna

2500 gram dengan berat teringan adalah


2700 gram dan terberat adalah 3600 gram
Kadar midazolam plasma darah vena
maternal (ibu), vena umbilikalis (bayi)
dan rasio fetomaternal kadar midazolam
stelah premedikasi midazolam dosis 0,02
mg/kgBB iv ditampilkan pada Tabel 4.
Dari Tabel 5 diketahui ada 3 indikator
yang mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kadar midazolam
plasma darah ibu yaitu : usia ibu, usia
kehamilan dan waktu antara premedikasi
sampai bayi lahir, sedangkan usia dan
BMI ibu tidak bermakna.

Waktu dari saat premedikasi sampai


dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi
dan skor APGAR ditampilkan pada Tabel
2. Berat badan lahir bayi seluruhnya >

Dari Tabel 6 dapat dilihat indikator


bermakna terhadap kadar midazolam
dalam plasma darah bayi yaitu : usia ibu,
waktu antara premedikasi sampai bayi
lahir dan berat badan bayi, sedangkan
berat badan ibu, BMI ibu, usia

________________________________________________________________________________
21
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kehamilan, rasio fetomaternal tidak


bermakna terhadap besarnya kadar
midazolam plasma darah bayi.
PEMBAHASAN
Penggunaan midazolam sebagai suatu
metode premedikasi untuk memberikan
sedasi, dan mengurangi rasa cemas pada
pasien yang akan menghadapi operasi
sudah menjadi subyek dari banyak
penelitian.
Penggunaan
midazolam
sebagai obat anestesi tambahan untuk
prosedur operasi selama persalinan masih
jarang, midazolam sebagai premedikasi
untuk anestesi spinal belum diteliti secara
prospektif. 6,7
Nilai skor APGAR yang rendah pada
menit pertama saja tidak menunjukkan
hasil akhir dari bayi. Skor APGAR yang
renda pada menit pertama menunjukkan
bahwa bayi baru lahir memerlukan
perhatian medis tetapi bukan merupakan
indikasi bahwa bayi tersebut akan
mempunyai masalah kesehatan dalam
jangka panjang. Dari penelitian analisis
retrospektif disimpulkan bahwa skor
APGAR pada menit kelima merupakan
predictor yang valid untuk menilai risiko
kematian bayi baru lahir. Skor APGAR
pada menit kelima 7 sampai 10
menunjukkan bahwa kondisi bayi normal,
skor APGAR 4, 5, 6 adalah agak rendah
dan biasanya memerlukan bantuan medis
misalnya dapat diberikan oksigen dan
dibersihkan saluran napas, sedangkan
skor APGAR kurang dari 4 maka bayi
tersebut memerlukan resusitasi. 8,9
Monitoring hemodinamik selama operasi
pada seluruh pasien penelitian ini
didapatkan hasil yang relatif stabil dan
baik. Hal ini menunjukkan tidak ada efek
samping premedikasi midazolam maupun
anestesi spinal yang merugikan bagi ibu.
Perubahan MAP (mean arterial pressure)
selama durante operasi masih dalam batas
normal menunjukkan perfusi yang baik
ke jaringan.

Midazolam dapat menembus sawar


plasenta karena mempunyai berat
molekul < 500 Dalton. Pada tabel 5,
gambar 12 dan 13 didapatkan kadar
midazolam plasma darah v. Umbilikalis
lebih rendah karena kadar midazolam
dalam sirkulasi ib sampai dengan cara
proses difusi untuk dapat melalui
plasenta. Sesuai dengan perjalanan
kehamilan,
volume
plasma
akan
bertambah, tetapi tidak diikuti dengan
peningkatan produksi albumin, sehingga
menimbulkan
hipoalbuminemia
fisiologis. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah protein
pengikat (protein binding), sehingga
kadar obat bebas di dalam darah akan
meningkat.10 Sehingga mempengaruhi
kadar midazolam plasma bayi dimana
pada penelitian ini usia ibu mempunyai
korelasi positif yang cukup dengan kadar
midazolam plasma bayi (r=0,578 ;
=0,024).
Usia kehamilan mempunyai korelasi
negatif yang kuat dengan kadar
midazolam plasma ibu (r= -0,648 ;
=0,009) karena semakin tua usia
kehamilan semakin banyak peningkatan
jumlah volume cairan tubuh yang
berakibat penurunan kadar obat serum.10
Berat badan bayi mempunyai korelasi
negatif yang sangat kuat terhadap kadar
midazolam plasma bayi (r= -0,954 ; =
0,000) karena semakin besar bayi
semakin banyak jumlah cairan tubuhnya
sehingga kadar obat dalam plasma akan
semakin rendah.
Waktu persalinan yang diukur mulai
premedikasi midazolam sampai bayi lahir
(dipotong tali pusat) mempunyai korelasi
negatif yang kuat ( r= -0,760 ; =0,031 ).
Hal
ini
sesuai
dengan
teori
farmakokinetik pemberian obat secara
intra vena dimana obat akam mengalami
distribusi secara cepat sehingga semakin
lama waktu semakin rendah kadar obat
yang berada di dalam plasma darah.10

________________________________________________________________________________
22
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut


diatas, pemberian obat pada wanita hamil
harus memperhitungkan dosis yang tepat
yang didasari pengetahuan tentang
fisologi ibu hamil dan farmakokinetik
obat yang terjadi pada ibu hamil serta
hubungannya dengan kondisi fisik ibu
dan lamanya pemberian obat.

3.

4.

5.

SIMPULAN
Makin tua usia ibu makin besar kadar
midazolam dalam plasma darah ibu dan
bayi. Makin tua usia kehamilan ibu
makin rendah kadar midazolam dalam
plasma darah ibu. Makin besar berat
badan bayi makin rendah kadar
midazolam yang berada dalam plasma
darah bayi. Makin lama waktu persalinan
makin rendah kadar midazolam dalam
plasma darah ibu maupun bayi. Kadar
midazolam dalam plasma darah ibu tidak
dipengaruhi oleh ; berat badan ibu atau
BMI ibu. Kadar midazolam plasma darah
bayi tidak dipengaruhi oleh : berat badan
ibu, BMI ibu dan usia kehamilan.

6.

7.

8.

9.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M,


Fritz HG. A comparison between
meperidine, clonidine and urapidil in the
treatment of postanesthetic shivering.
Anesth Analg 2001 ; 95:257 - 60.
Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW,
Schmidt CC, Reich DGP. A comparison of
urapadil, clonidine, meperidine, and
placebo in preventing postanesthetic
shivering. Anesth Analg 2000 ; 90:954 - 7.

10.

Bigatella L. The post anesthesia care unit.


In : Davidson JK, Eckhart WT, Perese DA,
eds. Cinical anesthesia procedures of the
massachusetts general hospital, 4th ed.
Boston : Little Broun and Co, 1993 : 527 43.
Sessler DL Temperature monitoring. In :
Miller ed. Anesthesia. 3rd ed. New York:
Churchill Livingstone, 1993 : 1227-41.
Collins VJ. Temperature regulation and
heat problems. In : Collins VJ (ed).
Physiologic and pharmacologic bases of
anesthesia. Baltimore : William &
Wilkins, 1996:316-39.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Larson CP. Post anesthesia care. In :
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Larson CP. Clinical Anesthesiology. 3rd
ed. New York : Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing
Edition, 2002: 169-172.
Tsai YC, Chu KS. A comparison of
tramadol, amitriptyline, and meperidine for
postepidural anesthetic shivering in
parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288 1292.
Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic
receptor antagonists. In : Stoelting RK.
Pharmacology
and
physiology
in
anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia :
JB Lippincott Company 1999 : 294 - 305.
Thaib MR, Harjanto E, George YWH.
Comparative study of the effectiveness of
pethidine and clonidine for prevention of
post anesthtetic shivering in enflurane
anesthesia. Asean Otorhinolaryngology
Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3
:108-15.
Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.
Acute pain management. In : Lee's
synopsis of anesthesia. 12l ed. Oxford :
Reed
Education
and
Professional
Publishing
Ltd.,
1999:81-2.

________________________________________________________________________________
23
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran dan Halotan Terhadap Agregasi


Trombosit
Agatha Citrawati Anom*, Mohamad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background : Perioperatif haemorrage is a serious problem often faced in every operation
process. It is said that the administration of volating anesthetic agents have an effect to
inhibit thrombocyte aggregation. Using the same capture point, ADP, as an inductor, we
will observe the difference effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Objective : To find out the effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Methods : Experimental study with sampling quota design to 48 patients underwent
general anesthetic procedures. The subjects was devided into two groups, 24 patients each,
The first group using enflurane as the anesthetic agent while the other group taken
halothane during operation process. Each agent was given start from induction until the
end of operation process, with the given rate 0,5-1 MAC along with O2 : N2O = 50% :
50% ( Enflurane and Halothane MAC is 1,2 and 0,8, respectively). The specimens were
taken from each group before intervention start which is before operation begin and after
intervention which is shortly before the administration of anesthetic agents stoped.
Specimens was collected from vein as much as 10 cc than stored in the plastic vaccum
tubes contain citrate anticoagulant. The speciments immidietly sended to Clinical
Pathology Laboratory of Kariadi Hospital to do the thrombocyte aggregation examination.
The statistical test using pair t-test and independent samples test (significancy degree <
0,05).
Result : The distributionbetween patients characteristic data and variable data was
statisticly normal. This study shows that the administration of Halothane using ADP 2 M
as inductor causing a significant decrease (p=0,003) on thrombocyte maximal aggregation
percentage, but there was no significant difference (p= 0,340) with enflurane. When using
ADP 10 M as inductor found a simmiliar result, there was a significant difference
(p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after
administration of halothane and not with enflurane (p=0,066). Other results shows there
was a significant diference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage
before and after the administration both halothane and enflurane using 10 M inductor.
Conclusion : Halothane have higher effect in inhibitting thrombocyte aggregation than
enflurane.
Key word : Enflurane, Halothane, ADP, thrombocyte aggregation
ABSTRAK
Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah serius yang sering dihadapi
dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi inhalasi dikatakan mempunyai pengatuh
dalam menghambat agregasi trombosit. Dengan titik tangkap yang sama yaitu ADP
sebagai induktor akan diamati perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan
terhadap Agregasi Trombosit.
________________________________________________________________________________
24
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : untuk mengetahui perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan


terhadap agregasi trombosit.
Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 48
pasien yang menjalani anestesi umum. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n:24),
kelompok I menggunakan Enfluran sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi dan
kelompok II menggunakan Halotan sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi, yang
diberi sejak awal induksi sampai dengan operasi berakhir dengan besar pemberian 0,5 1
MAC bersama O2 : N2O = 50 % : 50 %. (MAC enfluran : 1,2 dan halotan : 0,8). Masing
masing kelompok akan diambil spesimen sebelum perlakuan (sebelum operasi) dan
sesudah perlakuan (sesaat sebelum obat anestesi inhalasi dimatikan). Semua spesimen
dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dilakkan pemeriksaan Tes Agregasi
Trombosit Uji statistik menggunakan pair t-test dan independent t-test (dengan derajat
kemaknaan < 0,05).
Hasil : karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna antara sebekum dan sesudah pemberian halotan (p = 0,001)
sementara tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada enfluran (p = 0,066). Pada
kelompok enfluran didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit sebesar
81,464,38 dan pada halotan 76,585,15, sehingga menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara keduanya (p = 0,01). Sesudah perlakuan
didapatkan gambaran
normoagregasi 77,8 % pada kelompok yaang memperoleh enfluran dan 22,2 % pada
kelompok halotan. Sementara gambaran hipoagregasi 66,6 % didapatkan pada kelompok
yang menperoleh halotan dan 33,4 % pada kelompok enfluran. Secara statistik halotan
secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada enfluran, p = 0,03 (p < 0,05).
Kesimpulan : Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan
menyebabkan gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran
Kata Kunci : Enfluran, halotan, ADP, agregasi trombosit
PENDAHULUAN
Perdarahan durante dan pasca operasi
masih merupakan masalah serius yang
sering dihadapi dalam setiap operasi.
Apabila tidak tertanggulangi akan
menimbulkan
kondisi
yang
akan
menyulitkan,
dan
berpeluang
meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas perioperatif. Banyak faktor
yang berpengaruh terhadap terjadinya
kelainan hemodinamik durante dan pasca
operasi, diantaranya: jenis operasi,
lamanya operasi, jumlah perdarahan,
kompetensi operator, obat anestesi yang
digunakan serta faktor intrinsik pasien
seperti beratnya penyakit, penyakit
sistemik yang menyertai maupun
kelainan perdarahan.

Mekanisme fisiologis tubuh untuk


mengendalikan perdarahan yaitu dengan
cara mengaktifkan proses hemostasis dan
pembekuan melalui pembentukan bekuan
trombosit dan fibrin pada tempat cedera.
Pembekuan akan disusul oleh resolusi
atau lisis bekuan dan regenerasi endothel.
Proses ini akan melindungi individu dari
perdarahan masif sekunder akibat trauma.
Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi
perdarahan
atau
trombosis
dan
penyumbatan cabang-cabang vaskuler
yang dapat mengancam nyawa. Tiga
faktor utama yang bertanggungjawab
dalam proses hemostasis adalah: (1)
vasospasme pembuluh darah, (2) reaksi
trombosit (adhesi, pelepasan, dan
agregasi), (3) pengaktifan faktor-faktor
koagulasi.1,2

________________________________________________________________________________
25
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Disfungsi trombosit diketahui merupakan


salah satu penyebab kelainan perdarahan
selama periode perioperatif, yang
merupakan masalah serius dalam
pengelolaan pasien yang menjalani
operasi. Salah satu faktor yang
mempengaruhi
terjadinya
disfungsi
trombosit adalah interaksi obat-obat yang
digunakan selama proses anestesi dengan
trombosit. Interaksi tersebut dapat
memperberat
risiko
komplikasi
perdarahan, mengingat peran trombosit
yang penting pada proses homeostasis
durante dan pasca pembedahan.3
Suatu kepustakaan dari Departement of
Anestesiology and General Intensive
Care University of Vienna Austria,
menyebutkan bahwa halotan merupakan
agen anestesi yang mempunyai pengaruh
dalam menurunkan afinitas ikatan
reseptor tromboksan A2 sebagai suatu
agonis-trombosit yang poten. Sementara
dari sumber yang sama, dikemukakan
bahwa
isofluran
dikatakan
tidak
mempunyai pengaruh terhadap jumlah
trombin, konsentrasi IP3, maupun
konsentrasi Ca2+ intraseluler yang
beperan
dalam
fungsi
agregasi
4
trombosit. Dalam suatu studi in vitro
Ueda,
dkk
menyatakan
isofluran
mempunyai peran dalam menurunkan
aktivasi
agregasi
trombosit
yang
diinduksi oleh ADP, namun tidak
demikian
dengan
pendapat
studi
Hirakata. Sementara sejumlah studi klinis
menunjukkan penurunan yang besar pada
agregasi trombosit yang diinduksi oleh
ADP
pada
pasien-pasien
yang
mendapatkan anestesi halotan, walaupun
dikatakan potensi hambatan agregasi
yang terjadi bersifat reversible namun
menurut penelitian Dalsgaard halotan
juga secara signifikan memperpanjang
waktu perdarahan selama teranestesi
halotan.
Dalam menggunakan obat anestesi
diperlukan pertimbangan yang meliputi

indikasi, kontra indikasi, efek samping


sampai dengan komplikasi. Halotan
termasuk agen inhalasi yang mempunyai
koefisien partisi darah gas yang relatif
tinggi (2,3) karena kelarutannya dalam
darah sedang, sehingga diperlukan lebih
banyak molekul yang larut sebelum
terjadi perubahan tekanan parsial yang
berarti, sehingga waktu yang dibutuhkan
untuk pencapaian tersebut juga relatif
lebih lambat bila dibandingkan isofluran
yang mempunyai koefisien partisi darah
rendah
(1,40).
Halotan
dapat
dikategorikan sebagai agen yang mula
kerjanya sedang dan pemulihannya
sedang (obat dimetabolisme oleh tubuh >
40 %), sementara isofluran mempunyai
mula kerja awal dan pemulihannya
sedang (obat dimetabolisme tubuh hanya
< 2 %). Namun demikian halotan pada
beberapa keadaan tetap menjadi pilihan,
terutama karena sifatnya yang tidak
menyebabkan iritasi saluran jalan napas,
agen ini sering digunakan pada metode
induksi cuff-dalam anestesi pediatrik juga
aman bagi penderita asma karena
mempunyai
sifat
bronkodilator.5
Disamping itu halotan mempunyai
keunggulan dari segi ekonomis, karena
harganya yang relatif lebih murah
dibandingkan agen-agen inhalasi lainnya
termasuk isofluran, sehingga pada
beberapa rumah sakit terutama di
beberapa rumah sakit tipe C, halotan
tetap
menjadi
pilihan
walaupun
mempunyai sifat sifat
merugikan
seperti
aritmogenik, hepatotoksik,
menyebabkan
depresi
miokardium,
meningkatkan tekanan intra kranial (TIK)
serta dapat menurunkan cardiac-output.5
Oleh karena itu pemakaian halotan
dikontraindikasikan pada pasien dengan
penurunan curah jantung (misalnya pada
penderita dengan kelainan jantung atau
keadaan syok), pada pasien dengan
kelainan ritme jantung, gangguan hepar
maupun pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial.6

________________________________________________________________________________
26
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sementara Isofluran saat ini merupakan


agen inhalasi yang paling digemari
mengingat sifatnya yang minimal
menyebabkan
depresi
sistem
kardiovaskuler, tidak bersifat aritmogenik
dan relatif tidak menaikkan tekanan
intrakranial, walaupun mempunyai sifat
menyebabkan iritasi saluran pernapasan
sehingga bukan menjadi pilihan untuk
metode induksi dengan cuff dalam pada
anak-anak
Isofluran dan halotan kita ketahui
mempunyai kelemahan dan keunggulan
masing masing, namun pada penelitian
berikut kami berusaha melihat interaksi
masing-masing obat tersebut terhadap
agregasi
trombosit,
mengingat
pentingnya peran trombosit dalam proses
homesostasis
pada
suatu
proses
pembedahan.
Agregasi trombosit dinilai melalui suatu
pemeriksaan yang disebut dengan Tes
Agregasi Trombosit (TAT). Teknik yang
penting untuk pemantauan in vitro yaitu
hambatan respon agregasi trombosit oleh
agonis trombosit yang diberikan.
Beberapa agonis/induktor yang dapat
digunakan adalah trombin, TxA2, asam
arakidonat, serotonin, vasopresin, dan
ADP yang dipakai pada Laboratorium
Patologi Klinik di RS Dr. Kariadi. TAT
berdasarkan perubahan transmisi cahaya
sampai sekarang masih dianggap sebagai
baku emas untuk menilai fungsi agregasi
trombosit. Spesimen pemeriksaan yang
digunakan adalah plasma dari whole
blood pasien yang diberikan antikoagulan
sitrat. Alat yang digunakan adalah
agregometer dengan daya pemantauan
agregasi tubidimetrik. Setiap peningkatan
transmisi cahaya dicatat sebagai suatu
agregasi trombosit.7
Hasilnya akan
dididapatkan persen maksimum agregasi
trombosit yang terjadi dengan pemberian
ADP 2 M ; 5M dan 10 M sebagai
induktor agonis trombosit.

Pada penelitian ini secara khusus akan


membandingkan hasil TAT sampel yang
terpapar isofluran dengan yang terpapar
halotan, dengan demikian akan diperoleh
perbedaan pengaruh pemberian halotan
dan
isofluran
terhadap
agregasi
trombosit.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik
dengan bentuk rancangan eksperimental
ulang ( pretest dan posttest control group
design). Dalam rancangan eksperimental,
pengukuran atau observasi dilakukan di
awal dan setelah perlakuan.9
Ruang lingkup penelitian Anestesiologi
dan tempat melaksanakan pemeriksaan
laboratorium di Laboratorium Patologi
Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Sampel diambil dari pasien yang
menjalani operasi elektif di Instalasi
Bedah Sentral RS Dr. Kariadi Semarang
yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi, menggunakan Randomized
Clinical Control Trial dibagi menjadi
dua kelompok sebagai berikut: Kelompok
1 (K1): menggunakan Isofluran sebagai
obat anestesi inhalasi selama operasi,
Kelompok 2 (K2): menggunakan Halotan
sebagai obat anestesi inhalasi selama
operasi
Kriteria inklusi : Wanita, usia antara 19 35 tahun, Status fisik ASA I-II,
Menjalani operasi dengan anestesi umum,
Lama operasi 1 - 3 jam, BMI normal.
Kriteria eksklusi : Pasien dengan kadar
trombosit < 100.000 / L, Pasien dengan
kadar kolesterol > 200 mg/dl, Pasien
yang mendapat pemberian koloid > 1000
cc selama perlakuan (selama pemberian
volatile agent), Pasien yang mendapat
pemberian
tranfusi
darah
selama
perlakuan (selama pemberian volatile
agent)

________________________________________________________________________________
27
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Data yang terkumpul kemudian diedit, dikoding dan di-entry ke dalam file
komputer. Setelah itu dilakukan cleaning
data. Analisis deskriptif dilakukan
dengan menghitung proporsi gambaran
karakteristik
responden
menurut
kelompok perlakuan (isofluran dan
halotan). Hasil analisis akan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Dilakukan
pembuatan grafik pada gambaran
agregasi trombosit menurut kelompok
perlakuan (isofluran dan halotan).
Analisis analitik dilakukan untuk menguji
perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit pada kedua kelompok dengan
uji paired t-test. Semua uji analitik
menggunakan = 0,05. Semua
perhitungan
statistik
menggunakan
software SPSS 11.5
HASIL
Telah dilakukan penelitian tentang
perbedaan pemberian isofluran dan
halotan terhadap agregasi platelet pada 48
orang penderita yang menjalani operasi
dengan status fisik ASA I dan II.
Uji normalitas One Sample Kolmogorov
Smirnov digambarkan pada tabel 1,
dimana karakteristik umum subyek pada
masing-masing
kelompok
memliki
distribusi yang normal (p > 0,05),
sehingga
untuk
uji
homogenitas
diperlukan analisis statistik dengan
independent t test. Hasilnya didapatkan
data yang homogen (perbedaan yang
tidak bermakna, p > 0,05) dari semua
variable yakni umur, BMI, tekanan darah
sistole, tekanan darah diatole, nadi, status
ASA dan lama operasi sebelum dilakukan
perlakuan.
Pada Tabel 2 menunjukkan data sebelum
perlakuan pada kelompok I (Isofluran)
dan II (Halotan) didapatkan hasil uji
normalitas menunjukkan nilai % agregasi
trombosit maksimal berdistribusi normal

dengan induktor 10 M ADP ( p = 0,828


dan 0,954).
Sementara pada Tabel 3 menunjukkan
data sesudah perlakuan pada kelompok I
(Isofluran) dan II (Halotan) didapatkan
hasil uji normalitas Shapiro Wilk
menunjukkan nilai % agregasi maksimal
trombosit berdistribusi normal dengan
induktor 10 M ADP ( p = 0,447 dan
0,975). Data kemudian dianalisis secara
parametrik menggunakan uji pair t-test
untuk melihat perbedaan % agregasi
maksimal trombosit antara sebelum dan
sesudah perlakuan dengan 10 M ADP.
Dari Tabel 4 nampak bahwa sebelum dan
sesudah perlakuan dengan induktor ADP
10 M pada kelompok isofluran
didapatkan perbedaan yang tidak
bermakna terhadap % agregasi maksimal
trombosit dengan p = 0,066 (p> 0,05).
Sedangkan untuk kelompok halotan
terbukti menyebabkan penurunan %
agrgegasi maksimal trombosit yang
secara statistik berbeda secara bermakna
p = 0,001 (p< 0,05). Pada Grafik 1
digambarkan perbandingan perubahan %
agregasi maksimal trombosit antara
sebelum dan sesudah perlakuan pada
kedua kelompok dengan menggunakan
induktor 10 M ADP.
Dalam Tabel 5 digambarkan bahwa
sebelum
diberi
perlakuan
antara
kelompok isofluran dan halotan yang
diberi induktor ADP 10 Mditemukan
perbedaan
%
agregasi
maksimal
trombosit yang tidak bermakna p = 0,995
(p > 0,05), kemudian yang sudah diberi
perlakuan antara kelompok isofluran dan
halotan yang diberi induktor ADP 10 M
juga ditemukan perbedaan % agregasi
maksimal trombosit yang bermakna p =
0,001 (p < 0,05). Pada Grafik 2
menggambarkan perbedaan rerata %
agregasi maksimal trombosit antara
sesudah pemberian isofluran dan sesudah

________________________________________________________________________________
28
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pemberian halotan dengan ADP 10 M


sebagai induktor.
Hasil Tes Agregasi Trombosit yang
terbaca oleh PACKS-4 selain menunjukkan persen agregasi trombosit juga
menggambarkan pola kurva agregasi
yang terbentuk oleh masing-masing dosis
induktor ADP pada masing-masing
kelompok perlakuan. Semua sampel pada
kedua kelompok sebelum perlakuan
mempunyai gambaran normoagregasi.

Kemudian sesudah perlakuan didapatkan


gambaran normoagregasi 77,8 % pada
kelompok yaang memperoleh isofluran
dan 22,2 % pada kelompok halotan.
Sementara gambaran hipoagregasi 66,6
%
didapatkan pada kelompok yang
menperoleh halotan dan 33,4 % pada
kelompok isofluran. Secara statistik
halotan secara bermakna menyebabkan
hipoagregasi daripada isofluran, p = 0,03
(p < 0,05).

Tabel 1. Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok


No
1
2
3
4
5
6

Variabel
Umur (tahun)
Body Mass Index
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Nadi
Status ASA
ASA I
ASA II
Lama Operasi (menit)

Kel. Isofluran
(n=24)
27,006,34
23,132,01
120,7111,91
73,2113,35
85,468,65

Kel. Halotan
(n=24)
29,635,72
23,671,48
125,0013,14
70,6711,63
83,758,70

22
2
58,1313,42

21
3
60,1714,47

p
0,139
0,296
0,242
0,486
0,499
0,640
0,615

Tabel 2. Uji normalitas rerata % agregasi trombosit sebelum perlakuan


Variabel
% agregasi maks.
trombosit

Induktor
10 m ADP

Perlakuan
Kel I
Kel II

P
0,828
0,954

Keterangan
distribusi normal
distribusi normal

Tabel 3. Uji normalitas rerata % agregasi trombosi sesudah perlakuan


Variabel
% agregasi maks.
trombosit

Induktor
10 m ADP

Perlakuan
Kel I
Kel II

p
0,447
0,975

Keterangan
distribusi normal
distribusi normal

Tabel 4. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 M)
No
Keterangan
1
Kel Isofluran
2
Kel. Halotan
* = bermakna (p<0,05)

Sebelum
82,894,11
82,904,42

Sesudah
81,464,38
76,585,15

P
0,066
0,001*

________________________________________________________________________________
29
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

84
82
80
78
76
74
72

adp 10
isofluran

sebelum sesudah
Grafik 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok isofluran dan halotan

Tabel 5. Perbedaan rerata persen agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok isofluran
dan halotan (dengan induktor ADP 10 M)
No

Keterangan

Kel Isofluran

Kel. Halotan

Sebelum

82,894,11

82,904,42

0,995

Sesudah

81,464,38

76,585,15

0,001*

82
81
80
79
78

adp 10 isofluran

77
adp 10 halotan

76
75
74
sesudah

Grafik 2. Perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian


pemberian halotan

isofluran dan sesudah

30

20

20

14
10
10

Count

kelompok
4

kel halotan
kel i sof luran

Normoagregasi - hipoagregas i

Grafik 3. Perbedaan isofluran dan halotan dalam menyebabkan hipoagregasi

________________________________________________________________________________
30
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN
Hellem di tahun 1960 melakukan
observasi tentang suatu molekul kecil
yang berasal dari eritrosit dapat memacu
adhesi trombosit pada gelas. Olligard
menjumpai bahwa molekul tersebut juga
menyebabkan
agregasi
trombosit.
Gaardener dan kawan-kawan mengidentifikasi molekul/ substansi tersebut
sebagai ADP.25
Selanjutnya ADP dikenal sebagai salah
satu agonis/ induktor tertua yang dapat
memicu aktivasi trombosit. Agonis ini
akan menginduksi tranduksi sinyal yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan.26
ADP yang terikat pada reseptor (integrin)
di permukaan trombosit mengaktifkan
enzim fosfolipase A untuk memecah
fosfolipid membran trombosit sehingga
asam arakidonat dilepaskan. Enzim
siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin
sintase) mengkatalisis transformasi asam
arakidonat menjadi prostaglandin G2
(PGG2),
lalu
enzim
peroksidase
mengubah PGG2 menjadi PGH2
(prostaglandin H2), selanjutnya PGH2
akan diubah menjadi tromboksan A2
(TxA2).27,28
Efek biologik TxA2 menyebabkan
pelepasan
granula
sekunder
dari
trombosit, merangsang sekresi ADP oleh
trombosit sendiri sehingga terjadi
agregasi
trombosit
irreversible.
Disamping itu, setelah ADP terikat pada
reseptornya maka trombosit akan
mengalami perubahan bentuk dari
cakram menjadi bulat, sehingga reseptor
untuk fibrinogen yaitu GP IIb-IIIa,
fibrinogen, tromboksan A2, diperlukan
kofaktor ion kalsium atau magnesium,
fibronektin, GP Ib-IX, untuk mengawali
agregasi trombosit. Ion kalsium akan
menghubungkan
fibrinogen
dimana
fibrinogen menjadi jembatan antar
trombosit yang akan mengikat trombosit
yang berdekatan dalam suatu agregat.

Respon trombosit tergantung dari kadar


ion kalsium (transmiter) yang dilepaskan
ke dalam sitoplasma. Peningkatan
kalsium intrasel memudahkan pembentukan asam arakidonat yang akan
dimetabolisir menjadi TxA2.29
Menurut penelitian terdahulu pada
kelompok umur yang sama telah
disimpulkan bahwa nilai rujukan %
agregasi maksimal dengan induktor ADP
2 M : 14,51 29,29 % dengan pola
kurva gambaran satu gelombang agregasi
primer reversible (mengalami disagregasi).30 Hal ini sesuai dengan
pendapat bahwa penggunaan ADP
dengan kadar rendah ( 0,5-2,5 M ) akan
menyebabkan terjadinya respons agregasi
primer yang bersifat reversible. Pada
keadaan in vitro ini, pertama-tama ADP
yang
ditambahkan
terikat
pada
reseptornya dan melepaskan ion Ca2+.
Selanjutnya terjadi perubahan bentuk
trombosit yang direfleksikan dengan
peningkatan ringan absorbans pada
agregometer, setelah itu terbentuk
kompleks atau ikatan dengan fibrinogen
pada kontak antar sel sehingga terjadi
agregasi reversible. Disimpulkan bahwa
ADP 2 M merupakan kadar induktor
terendah yang dapat dipakai sebagai
pedoman
untuk
menetapkan
kemungkinan hiperagregasi yaitu apabila
nilai % agregasi maksimal trombosit
lebih tinggi dan rentang nilai rujukan
tertinggi disertai pola kurva agregasi
irreversible.31,32
Sementara nilai rujukan % agregasi
maksimal trombosit dengan induktor
ADP 10 M : 66,3 - 97,7 %, dikatakan
bahwa induktor ADP > 5 M secara
langsung akan memacu pembentukan
agregasi trombosit tanpa tergantung
kandungan ADP yang dilepaskan oleh
trombosit sendiri. ADP dengan dosis ini
dianggap dapat digunakan sebagai
pedoman untuk menetapkan keadaan
hipoagregasi apabila nilai % agregasi

________________________________________________________________________________
31
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

maksimal trombosit lebih rendah dari


rentang nilai rujukan terendah, sehingga
pada penelitian ini induktor yang paling
tepat digunakan yaitu dengan dosis ADP
10 M.
Pada penelitian Tes Agregasi Trombosit
dilakukan pemberian induktor dosis
tinggi diharapkan akan menyebabkan
agregasi trombosit primer irreversible
diikuti pelepasan granula padat dan
granula yang kemudian menyebabkan
aktivasi jalur asam arakidonat dan
pembentukan
tromboksan
A2,
menghambat aktivitas enzim adenil
siklase sehingga terjadi penurunan siklik
AMP (cAMP). ADP yang disekresi
granula padat akan merangsang agregasi
lebih lanjut sehingga agregasi trombosit
bertambah, dan sewaktu-waktu dapat
membentuk kurva bifasik.33
Sementara hasil lain dari penelitian ini
bahwa dengan ADP 10 M untuk
kelompok isofluran antara sebelum dan
sesudah perlakuan juga memberi
perbedaan yang tidak bermakna p = 0,066
(p > 0,05), hal ini semakin memperkuat
pendapat yang mengatakan bahwa
isofluran
bisa
dikatakan
tidak
mempengaruhi secara bermakna respon
trombosit terhadap aktivasi ADP. Pada
pola kurva yang terbentuk dengan ADP
10 M pada kelompok isofuran juga
terlihat terbentuk gelombang bifasik
disebut juga sebagai irreversible double
wave
aggregations
menunjukkan
terjadinya respon optimal dimana respons
agregasi primer terhadap aktivasi GP
IIb/IIIa
di
permukaan
trombosit
membentuk kurva datar singkat yang
diikuti respon sekunder yang diikuti oleh
respon sekunder yang lebih besar (hasil
dari degranulasi trombosit) dan bersifat
irreversible.33
Sedangkan pada kelompok halotan
dengan induktor 10 M antara sebelum
dan sesudah perlakuan didapatkan

perbedaan yang bermakna p = 0,001 (p<


0,05). Hasil ini mendukung pengamatan
awal yang dilakukan oleh Ueda, dimana
dikatakan halotan dalam konsentrasi
klinis terbukti menurunkan agregasi
trombosit yang dirangsang ADP secara in
vitro. Dengan ADP 10 M diharapkan
terjadi pelepasan granula sekunder dari
permukaan trombosit dan terbentuklah
agregasi sekunder, dimana perlu diingat
agregasi
sekunder
terjadi
akibat
pelepasan
granula
padat
setelah
terjadinya agregasi primer sehingga
kembali membuat jalur arakidonat dan
terbentuk tromboksan A2. Tromboksan
A2 ini akan menurunkan konsentrasi
cAMP (Adenosin Mono Phosphat cyclic)
yang berfungsi mengendalikan konsentrasi ion Kalsium bebas yang dibutuhkan
dalam proses agregasi. Kadar cAMP
yang tinggi menyebabkan kadar ion
Kalsium bebas dalam trombosit yang
digunakan dalam proses agregasi.12
Penelitian ini juga disebutkan bahwa
sesudah pemberian isofluran dan sesudah
pemberian halotan dengan induktor 10
M ditemukan perbedaan yang bermakna
antara sesudah pemberian isofluran dan
sesudah pemberian halotan dengan p =
0,001 (p< 0,05), dimana pada halotan
terjadi penurunan rerata % agregasi
maksimal trombosit. Hal tersebut
memperkuat pernyataan yang mengatakan pemberian halotan secara bermakna
menurunkan aktivasi ADP pada proses
terjadinya agregasi
trombosit bila
dibandingkan dengan isofluran.
Pemberian induktor ADP 10 M
merupakan induktor terkuat yang
umumnya digunakan sebagai pedoman
untuk menetapkan keadaan hipoagregasi
apabila nilai % agregasi maksimal
trombosit lebih rendah dari rentang nilai
rujukan terendah dan disertai pola kurva
agregasi reversible. Alasan pemilihan
ADP sebagai induktor disamping
induktor lain seperti : epinefrin, kolagen,

________________________________________________________________________________
32
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

trombin, asam arakidonat yaitu karena


dianggap paling tepat dalan menilai
funsgsi agregasi trombosit, dimana hanya
selektif untuk agregasi trombosit dan
stimulasinya bersifat langsung.
Bersama epinefrin merupakan induktor
berkekuatan lemah dan menimbulkan
respon yang sama namun dilaporkan 30
% dari populasi normal tidak memberi
respon terhadap epinefrin. Sedangkan
kolagen dan trombin sebgai induktor kuat
berperan utama memacu trombosit
melepaskan ADP dan tromboksan A2.7
Hasil dari penelitian ini mendukung
penelitian sejenis penelitian Dalsgaard,
dkk yang menyatakan bahwa halotan
menurunkan sensitivitas ADP terhadap
terjadinya agregasi trombosit, namun
penelitian tersebut juga menghubungkan
dengan kejadian memanjangnya waktu
perdarahan yang secara signifikan
ditemukan hubungan yang kuat di
antaranya.
Walaupun peran agregasi trombosit pada
manifestasi memanjangnya waktu perdarahan dianggap mempunyai peran
besar, namun juga harus dipikirkan
penyebab lainnya dimana juga terjadi
relaksasi sel-sel otot polos pembuluh
darah akibat halotan di samping akibat
pengaruh-pengaruh
komponen
lain
seperti faktor pembuluh darah dan faktor
koagulasi.21
Sementara isofluran yang pada penelitian
ini dinyatakan secara tidak bermakna
menurunkan rerata agregasi maksimal
trombosit berarti mundukung penelitianpenelitian sebelumnya seperti Ueda, dkk
dan
Dogan,
dkk
(1999)
yang
membandingkan isofluran preinduksi,
durante operasi dan 1 jam pasca operasi
sesudah operasi dimana terjadi penurunan
agregasi maksimal trombosit yang tidak
signifikan
pada
durante
operasi

dibandingkan
operasi.

preinduksi

dan

pasca

Menurut beberapa sumber dinyatakan


bahwa potensi hambatan agregasi
trombosit akibat obat-obat anestesi
inhalasi ini bersifat reversible, akan
kembali ke fungsi semula seiring dengan
hilangnya paparan obat. Ini menjelaskan
mengapa beberapa penelitian sukar
menjelaskan hambatan yang terjadi
akibat paparan obat anestesi inhalasi
akibat kemungkinan sebagian konsentrasi
obat yang mengalami evaporasi. Pada
penelitian
ini
sudah
dikecilkan
kemungkinan tersebut dengan pengambilan spesimen langsung dengan
tabung vakum.21
Berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, penilitian ini selain melihat
perbedaan respon pemberian isofluran
maupun halotan terhadap rerata agregasi
maksimal
yang
terjadi,
juga
membandingkan hasil interpretasi tes
agregasi trombosit dengan mengamati
pola kurva agregasi, yang akhirnya bila
keduanya
digabungkan
semakin
mendukung bahwa halotan secara
bermakna selain menurunkan rerata
agregasi maksimal trombosit juga
menyebabkan terjadinya hipoagregasi
trombosit lebih besar daripada isofluran.
Hal ini diharapkan dapat dijadikan
pertimbangan tambahan dalam memilih
obat anestes inhalasi terutama pada
pasien dengan kelainan perdarahan atau
yang beresiko terjadi perdarahan masif
perioperatif, dan dari hasil penelitian ini
isofluran dianggap lebih baik daripada
halotan.21
SIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan bermakna pada
% agregasi maksimal trombosit antara
sebelum dan sesudah pemberian isofluran

________________________________________________________________________________
33
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Terdapat perbedaan bermakna pada %


agregasi maksimal trombosit antara
sebelum dan sesudah pemberian halotan
Terdapat perbedaan bermakna pada %
agregasi maksimal trombosit antara
sesudah pemberian isofluran dan sesudah
pemberian halotan. Halotan secara
bermakna menyebabkan hipoagregasi
lebih
banyak
daripada
isofluran.
Penelitian ini dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam memilih obat
anestesi inhalasi, terutama pada penderita
dengan kelainan koagulasi maupun pada
operasi
yang
cenderung
terjadi
perdarahan masif . Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut apakah pemberian
obat anti perdarahan dapat mengurangi
efek halotan dalam menghambat proses
agregasi trombosit.

7.

8.

9.

10.

11.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Catherine M. Baldy. Pembekuan dalam :


Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep
linis proses proses penyakit. Edisi ke 4.
Jakarta : EGC : 1995, 264 5
Kozek-Langenecker. The effect of drugs
used in anesthesia on trombosit membrane
receptors and on trombosit function. Medical
Chemistry Reviews-online, Volume 1,
Number 1, January 2004 pp 101 110 on
line] : URL. http://www.ingentaconnect.
com/content/ben/mcro/2004/000000001/0000
000/art00012
Lisyani BS. Tes agregasi trombosit untuk
pemantauan terapi anti trombosit. Dalam :
Purwanto AP, Vincencia L, Megawati T.
Kumpulan naskah simposium penyakit
jantung koroner. Semarang : CV Agung ;
2005, 23 34
Rifkin RM. The megakaryocyte trombosit
system. In : Stiene EA. Lotspeich CA,
Koepke JA eds. Clinical hematology
principles, procedurs, correlation. 2nd ed.
Philadelphia : Lippincott ; 1998 : 689 706
Hawinger J. Hemostasis and thrombosis. In :
Colman R, Hirsh J, Marder V, et al. Basic
principles and clinical practice. Philadelphia :
JB Lippincott : 1994, 603 28
Ashby B, Colman RW, Daniel JL, Kunapuli
S, Smith JB. Trombosit stimulatory and
inhibitory receptors. In : Colman RW, Hirsh
J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Hemostasis and thrombosis : basic principles


and clinical practice. 4th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams and Walkins ; 2001 :
505 20
Freedman JE, Keaney JF. Vitamin E
inhibition of trombosit aggregation is
independent of antioxidant activity. Journal
of Nutrition. 2001;131:374S-377S.)
Sluand EM, Klein HG. Effect of albumin on
the inhibition of trombosit aggregation by
beta lactam antibiotics. Blood Journal,
Volume 79. Issue 8, pp 2002 2027,
4/15/1992
Rahman
K,
Billington
D.
Dietary
supplementation with aged garlic extract
inhibits ADP-induced trombosit aggregation
in human. Journal of nutrition ; 2000, 130 :
2662 5
Allison GL, Lowe Gm. Aged garlic extract
and its constituents inhibiut trombosit
aggregation through multiple mechanism.
American Society for Nutrition J. Nutr.
136:782S-788S, March 2006
Hirakata, Nakamura, et al. Trombosit
aggregationis impaired during anesthesia
with sevufluran but not with isofluran.
Canadian Jurnal of Anesthesia, November
1997, Volume 44, Number 11.
Dogan, Varlik, et al. The in vitro effevts of
isofluran, sevofluran and propofol on
trombosit aggregation. Anesthesia and
Analgesia, February 1999, Volume 88,
Number 2.
Patel P, Gonzalez R. Impact of adenosine
diphosphate and kalsium chelation on
trombosit aggregation. Journal of american
College of Cardiology Foundation ; 2006, 47
: 464 465 [on line] : URL.
http://www.content.onlinejacc.org/cgi/conten
t/full/j.jacc.2005.10.032.VI
Colman RW. Aggregin : a platelet receptor
that mediates activation. FASEB J 1990 ; 4 :
1425 35
Parise LV, Boudignon-Prouddhon C, Patricia
J,Naik KP, Naik UP. Platelet ini hemostasis
and thrombosis. In : Lee GR Foerster J,
Lukens J, Paraskevas F,Ge\reer JR, Rodgers
GM eds. Winthrobes Clinical Hemo\atology.
10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ;
1999 : 661 63
Altman R, Luciardi HL, Muntaner J, Herrera
RN. The antithrombotic profile of aspirin.
Aspirin resistance, or simple failure?
Thrombosis Journal 2004 ; 2 (1).
Stenberg PA, Hill RJ. Platelets and
megakaryocytes. In : Lee GR, Foerster J,
Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers
GM eds. Winthrobes Clinical Hemo\atology.

________________________________________________________________________________
34
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

18.

19.

20.

21.

10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ;


1999 : 61560
Lisyani BS. Hasil tes agregasi trpmbosit pada
subyek sehat kelompok usia 19 39 tahun
dibandingkandengan 40 tahun ke atas. Media
Medika Indonesiana vol 41 no.2, 2006 : 69
77
Koepke JA. Laboratory evaluation of
platelets and Quantitive and qualitative
disorders of platelets. In : Martin EAS,
Lotspeich-steininger CA, Koepke FA eds.
Clinical hematologu principles, Procedures,
correlations. 2nd. New York : Lippincott ;
1998 : 70716
Laffan MA, Manning RA. Investigation of
hemostasis. In : Lewis Dm, Bain BJ, Bates I,
eds. Practical hematology. 9th ed. London :
Churchill Livingstone ; 2001 : 339 - 4
Kottke-Marchant K, Corcoran G. The
laboratory diagnosis of platelet disorders. An
algorithmic approach. Arch Panthol Lab
Med, 2002 ; 126 : 133 - 46

________________________________________________________________________________
35
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Pasca Operasi dan Rawat Intensif pada Pasien Trauma


Rindarto*, Jati Listiyanto Pujo*, Ery Leksana *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical,
because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher.
Management of trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of
hypothermia, coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is
because of these factors is the leading cause of death in the first hours after trauma.
ABSTRAK
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU, tingkat survival pasien trauma
menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada
pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS,
hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam
pertama pasca trauma.
PENDAHULUAN
Trauma karena tindak kekerasan dan
kecelakaan lalu lintas membunuh lebih
dari 2,5 juta orang tiap tahun. Menurut
WHO pada tahun 2002 ada 1,6 juta
kematian karena tindak kekerasan dan 1,2
juta kematian karena kecelakaan lalu
lintas, kombinasi keduanya menunjukkan
mortalitas sebesar 48 kematian tiap
100.000 orang tiap tahun. Hampir semua
kematian terjadi pada jam pertama
setelah trauma, dengan proporsi 34-50%
kematian terjadi di rumah sakit.
Kematian ini bisa dicegah dengan
mengoptimalkan penanganan trauma,
keberhasilan pencegahan kematian akibat
trauma bisa mencapai 76% atau bisa
hanya 1% bila penanganan
kurang
optimal.
Trauma merupakan penyebab utama
kematian pada pasien berusia kurang dari
45 tahun, di Amerika Serikat, dan trauma
menempati urutan ketiga penyebab
kematian secara umum, yaitu > 100.000
pada tahun 2002 dan setidaknya > 1,5

juta orang dirawat di RS karena trauma


akut. Trauma yang mengakibatkan
kecacatan merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar. Pada
pasien trauma, 3 penyebab utama
kematiannya adalah karena trauma
kepala, perdarahan dan sepsis atau gagal
multi organ. Truma didefinisikan sebagai
gangguan atau kerusakan struktur atau
fungsi tubuh yang disebabkan oleh
perubahan energi yang mendadak
(mekanik, kimia, panas, radioaktif atau
biologi) yang melebihi kemampuan
tubuh.1,2,3
Tindakan operasi pada pasien trauma
yang diikuti oleh periode pengawasan
dan penatalaksanaan berkelanjutan sangat
erat kaitannya. Resusitasi pasca trauma
yang cukup dan survei sekunder harus
dilakukan. Terminasi anestesi umum
diperlukan, terutama pada pasien dengan
gangguan tingkat kesadaran yang
berubah atau cedera otak traumatis
sebelum operasi. Banyak pasien akan
membutuhkan
dukungan
ventilator

________________________________________________________________________________
36
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena trauma SSP, trauma langsung


dinding paru atau dada, transfusi masif,
edema saluran napas atas dan intoksikasi
berkelanjutan. Obat analgesik yang sesuai
harus diberikan, dengan
sedasi jika
diperlukan. Support 12 sampai 24jam
menentukan keberhasilan resusitasi dan
perbaikan pembedahan, hemodinamik
stabil, titrasi analgesik yang sesuai dan
resolusi intoksikasi. Pasien trauma yang
tidak dapat diekstubasi berada pada risiko
tinggi terjadinya gagal multi organ dan
akan berkembang menjadi ARDS pasca
trauma yang biasanya akan memerlukan
beberapa hari sampai minggu untuk
perawatan intensif. 2
Beberapa masalah yang dihadapi pada
pasien trauma pasca operasi dan
perawatan intensif yaitu :
Nyeri akut pasca operatif
Nyeri neuropatik timbul bila ada trauma
langsung pada saraf sensorik utamadan
umumnya
setelah
trauma
tulang
belakang, amputasi traumatik dan major
crush injury. Nyeri neuropatik ditandai
dengan rasa terbakar, rasa tersengat
listrik intermiten dan disestesia yang
mempengaruhi distribusi dermatomal.
Analgesia
epidural
telah
terbukti
menghasilkan tingkat kepuasan tinggi
pasien dan fungsi paru membaik setelah
operasi thorako abdominal dan ortopedi.3
Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu
inti di bawah 35C, disertai asidosis,
hipotensi dan koagulopati pada pasien
dengan trauma berat.Hipotermia pada
pasien trauma harus dibedakan dari
hipotermia karena sebab lain. Mortalitas
pada hipotermia moderat (28-32C)
karena paparan kurang dari 25% dimana
kematian ini disebabkan oleh penyakit
yang mendasarinya, sementara pada
pasien trauma suhu inti kurang dari 32C
berkaitan dengan tingkat kematian 100%

dan setiap penurunan suhu di bawah


35C memberikan prognosis yang buruk.
Hipotermia lebih sering terjadi dan lebih
berat pada pasien dengan cedera serius,
sehingga sulit untuk dibedakan apakah
kematian ini disebabkan oleh hipotermia
atau parahnya trauma yang mendasarinya. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa pada pasien yang tidak dihangatkan selama resusitasi angka kematiannya
meningkat tujuh kali lebih besar
dibandingkan pasien yang dihangatkan.1,2,3,4,5
Hipotermia merupakan komorbiditas
utama pada pasien dengan trauma. Selain
kehilangan panas dari radiasi (paparan)
dan konduksi (infus dingin), evaporasi
dan konveksi (ekspose permukaan
abdomen), redistribusi darah ke perifer
darah akibat gangguan autoregulasi yang
terjadi akibat penggunaan obat-obat dan
cedera tulang belakang. Paralisis
farmakologis mencegah mekanisme
produksi panas normal (misalnya
menggigil) dan vasodilatasi agen anestesi
mengganggu mekanisme konservasi
panas (misal vasokonstriksi).3
Hipotermia biasanya berkaitan dengan
meningkatnya risiko perdarahan. Efek
hipotermia ternasuk gangguan fungsi
trombosit, gangguan fungsi faktor
koagulasi (setiap penurunan suhu 1C
tejadi
penurunan
fungsi
10%),
penghambatan enzim dan fibrinolisis).
Hipotermia juga mempengaruhi proses
koagulasi platelet, meningkatkan sekuestrasi platelet, mengurangi metabolisme
obat dan menginduksi vasokonstriksi.
Gabungan hipotermia dan asidosis mencerminkan penurunan curah jantung dan
perfusi jaringan. Miokardium hipotermi
rentan terhadap ektopi, terutamadisritmia
ventrikel. Banyak penelitian telah mengidentifikasi hipotermia sebagai faktor
yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien trauma

________________________________________________________________________________
37
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

berat. Menariknya, hipotermia moderat


(33-350C) merupakan neuroproteksi dan
dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu,
terutama ketika tidak adanya manifestasi
klinis
dari
perdarahan,
sehingga
hipotermia bisa dipertimbangkan pada
pasien cedera kepala. Hipotermi moderat
pada pasien trauma kepala harus
dilakukan dalam 3 jam pertama setelah
trauma, khususnya dengan pendinginan
daerah
kepala
dan
leher
yang
dipertahankan selama 48 jam, rewarming
harus dilakukan selama 24 jam dan
perfusi serebral harus dipertahankan
(MAP 70 mmHg). Pasien yang
mendapatkan
keuntungan
dengan
hipotermia adalah pasien dengan GCS
saat masuk 4-7. Efek sampingnya adalah
hipotensi, hipovolemi, gangguan elektrolit, penurunan sekresi insulin dan
meningkatkan resiko infeksi.4
Hipotermia primer terjadi bila produksi
panas normal, tetapi suhu tubuh menurun
sebagai akibat dari kehilangan panas
berat karena kondisi lingkungan.
Hipotermia sekunder merupakan akibat
produksi panas yang berkurang. Oleh
karena panas tubuh dihasilkan dari
konsumsi oksigen maka panas tubuh
yang dihasilkan selama keadaan syok,
ketika konsumsi oksigen patologis
berkurang, mengakibatkan penurunan
suhu inti tanpa stres lingkungan dingin
yang berat. Perdarahan tidak terkontrol
adalah penyebab paling sering kematian
dini pada pasien trauma, dan mungkin
efek terparah hipotermia adalah efek
inhibisi terhadap laju reaksi enzimatik
dari kaskade koagulasi.
Secara klinis yang relevan dari
hipotermia (< 35oC) dapat memperpanjang waktu pembekuan seperti pada
defisiensi berat faktor pembekuan.
Defisiensi faktor IX, menyebabkan
perdarahan abnormal ketika kadarnya
turun di bawah 25-30% dari normal. Pada

pasien trauma, deplesi faktor pembekuan


yang sering menyertai hipotermia.
Hipotermia juga mempengaruhi fungsi
trombosit. Oleh karena itu manajemen
suhu merupakan isu utama dalam
pengelolaan pasien trauma. Tubuh
memiliki panas spesifik relatif tinggi
(heat gain/loss per derajat Celcius
perubahan suhu) 0,83 kkal/kg/oC.
Produksi panas basal sekitar 1
kkal/kg/jam jika konsumsi oksigen
normal, menghasilkan tingkat rewarming
sekitar 1,2 0C/jam jika semua kehilangan
panas dicegah. Namun, sebagian besar
pasien
syok,
telah
mengalami
pengurangan produksi panas dan tidak
mampu melakukan rewarming spontan.
Metode rewarming eksternal membantu
untuk mencegah kehilangan panas, tetapi
transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu
kulit mungkin 10-15 0C lebih dingin dari
suhu inti pasien hipotermia. Panas
mengalir dari area yang bersuhu tinggi ke
suhu yang lebih rendah sebagaimana
hukum kedua termodinamika. Teknik
rewarming eksternal karena itu tidak
dapat mentransfer panas ke inti sampai
suhu kulit meningkat untuk setidaknya
seperti suhu inti. Selama jeda waktu,
suhu inti sebenarnya dapat terus menurun
(afterdrop).
Selimut
pemanas
dengan
cairan
bersirkulasi sangat tidak efisien karena
selimut hanya bersentuhan dengan
permukaan tubuh dalam persentase kecil
(<25%). Selain itu, selama hipotermia,
perfusi kulit menurun dari sekitar 200
ml/menit/m2 menjadi 4 ml/menit/m2,
yang mengurangi konduktivitas termal.
Rewarmer
udara
konvektif
juga
mengirimkan panas yang sangat sedikit
karena kerapatan udara sangat rendah
sehingga sangat sedikit mengandung
panas bahkan pada suhu tinggi. Oleh
karena sebagian besar kehilangan panas
terjadi melalui kulit, membungkus pasien

________________________________________________________________________________
38
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dalam penghangat konvektif secara


efektif dapat mencegah kehilangan
panas.4
Airway rewarming tergantung pada
prinsip bahwa jumlah air yang mampu
ditahan sebagai uap tergantung pada suhu
udara. Ketika seorang pasien hipotermia
membutuhkan udara hangat jenuh,
kondensasi terjadi pada kontak dengan
airway dingin. Peritoneal lavage atau
pleura lavage menunjukkan transfer
panas yang signifikan karena panas
spesifik air adalah 1 kkal/L0C. Pemberian
cairan intravena hangat merupakan salah
satu metode dalam mencegah dan
mengurangi hipotermia. Pasien akan
mendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk
1 L kristaloid dari suhu kamar (210C) ke
370C.
Jika pasien tidak dapat menghasilkan
panas tambahan karena konsumsi oksigen
fixed akan mengakibatkan hilangnya 16
kkal, yang akan menurunkan suhu tubuh
0,280C/L. Rewarming arteriovenosa
kontinyu (Continuous ArterioVenous
Rewarming) adalah metode yang relatif
baru melakukan rewarming sirkulasi
extracorporeal yang tidak memerlukan
pompa mekanis atau heparin, dan dapat
dilakukan oleh personil unit perawatan
intensif dengan pelatihan yang minimal.
Teknik ini analog dengan hemofiltrasi
arteriovena kontinyu.4,5\
Koagulopati
Trauma mayor tidak hanya berakibat
perdarahan karena kerusakan anatomi
tetapi lebih sering karena koagulopati
yang meningkatkan kematian. Koagulopati yang terjadi lebih dini pada pasien
trauma biasanya ditemukan pada pasien
dengan hipoperfusi (base deficit > 6
mEq/l) dan ditandai dengan peningkatan
produksi trombomodulin endotel yang
membentuk kompleks dengan thrombin.
Monitoring dini terhadap koagulasi

penting untuk mendeteksi koagulopati


yang disebabkan oleh trauma dan untuk
menentukan penyebab utama termasuk
hiperfibrinolisis. Terapi intervensi lebih
dini memperbaiki studi koagulasi.5
Efek berkelanjutan hipotermia adalah
koagulopati yang terjadi pada pasien
trauma berat dan merupakan masalah
kompleks dan sulit ditangani. Pembekuan
in vivo dipengaruhi oleh beberapa
variabel, dan pada banyak kasus
fibrinolisis
merupakan
faktor
predominan. Pembentukan clot menyebabkan pembatasan formasi trombus
pada lokasi trauma. Jika perdarahan terus
berlanjut, dapat terjadi aktivitas fibrinolitik lokal berlebihan menghasilkan
koagulopati lokal. Sejumlah inhibitor
platelet ditemukan pada pasien trauma
berat, seperti prostaglandin I2 (PGI2) dan
antitrombin III, mencegah stabilisasi plug
platelet dengan memblok formasi fibrin,
menyebabkan
mekanisme
feedback
negatif yang mencegah aktivasi platelet.
Tranfusi faktor pembekuan dan platelet
sampai proses konsumtif tercapai
merupakan langkah awal penting dalam
penatalaksanaan koagulopati. Transfusi
masif adalah prediktor terpenting
darikoagulopati pada trauma abdomen.
Kemungkinan
koagulopati
(waktu
protrombin [PT] atau waktu parsial
thromboplastin [PTT] sama dengan atau
lebih besar dari dua kali normal)
mengikuti transfusi masif pada pasien
trauma berat, diperkirakan karena
hipotermia persisten, asidosis dan
hipotensi. Dengan semua faktor resiko
(pH 7.10, suhu 340C, tekanan darah
sistolik < 70mmHg), 98% pasien akan
berkembang menjadi koagulopati yang
mengancam kehidupan.4
Kalsium
Kalsium penting untuk pembentukan dan
stabilisai fibrin dan meningkatkan

________________________________________________________________________________
39
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

aktivitas trombosit. Disamping itu


kalsium juga akan meningkatkan
kontraktilitas miokardium dan resistensi
vaskuler. Kombinasi keuntungan antara
kardiovaskuler dan koagulasi didapat bila
tingkat konsentrasi kalsium yang
terionisasi di atas 0,9 mmol/l.
Fresh Frozen Plasma (FFP)
Dosis awal FFP yang direkomendasikan
adalah 10-15 ml/kgBB. Dosis selanjutnya
tergantung studi koagulasi dan produk
darah lain yang diberikan.
Fibrinogen dan Cryopresipitate
Diberikan bila kadar fibrinogen kurang
dari 1,5-2 g/l. Dosis yang direkomendasikan 3-4 g atau 50 mg/kgBB
cryopresipitate yang setara dengan 15-20
unit untuk pasien dengan berat badan 70
kg. Dosis ulangan diberikan berdasarkan
kadar fibrinogen.
Antifibrinolitik
Asam traneksamat bekerja dengan cara
kompetitif inhibitor terhadap plasmin
dan
plasminogen.
Dosis
yang
direkomendasikan
adalah
10-15
mg/kgBB diikuti infus kontinyu 1-5
mg/kgBB/jam.
Sindrom Kompartemen Abdominal
Sindrom kompartemen didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan dalam suatu
ruangan
tertutup
yang
dapat
menyebabkan gangguan fungsi organ
yang ada didalam ruangan tersebut.
Sindrom kompartemen abdominal adalah
peningkatan tekanan intraabdominal
biasanya disebabkan oleh edema jaringan
usus dan interstisial akibat trauma, pada
pasien syokdan resusitasi cairan masif.
Sindroma kompartemen abdominal sering
terjadi pada pasien dengan trauma berat,
khususnya pasien yang menjalani
laparotomi dengan packing abdomen.
Dilaporkan bahwa angka kejadiannya
sebesar 14% dari pasien yang menjalani

laparotomi dan ditemukan adanya trauma


serius pada usus atau organ berongga.
Sindroma
kompartemen
abdomen
dikenali dengan adanya distensi abdomen
kuat, peningkatan tekanan puncak jalan
nafas, ventilasi yang tidak adekuat dan
hipoksia. Peningkatan tekanan intraabdominal
menyebabkan
gangguan
sirkulasi, penurunan perfusi jaringan, dan
disfungsi organ (jantung, ginjal, usus,
paru). Distensi abdomen menyebabkan
peningkatan peak tekanan jalan nafas,
hiperkarbia dan oliguria. Penurunan
venous return dengan penurunan cardiac
output dan penurunan fungsi ginjal
karena hipoperfusi.
Selain
itu
peningkatan
tekanan
intraabdominal menyebabkan penurunan
volume tidal, peningkatan tekanan
ventilasi dan atelektasis. Peningkatan
tekanan intraabdominal juga dapat
menyebabkan hipertensi vena dan
meningkatkan tekanan intrakranial.3,4,5
Tekanan
lebih
dari
30
mmHg
menyebabkan terjadinya oliguria menyebabkan penurunan aliran darah ginjal
akibat peningkatan tekanan vena pada
ginjal yang pada akhirnya juga akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah
ginjal. Sindrom kompartemen abdomen
juga menyebabkan penurunan cardiac
output sebesar 30-40% yang diakibatkan
oleh penurunan venous return dan
peningkatan tekanan darah sistemik.
Penelitian eksperimental menunjukkan
penurunan aliran darah splancnic sebesar
75% disertai asidosis mukosa usus yang
tidak dipengaruhi cardiac output pada
pasien dengan sindrom kompartemen
abdomen. Tekanan intra abdominal
sebesar 25 mmHg juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial
karena peningkatan tekanan vena sentral
yang berakibat penuruna perfusi serebral.

________________________________________________________________________________
40
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sindrom kompartemen abdomen memiliki efek buruk pada fungsi paru


menyebabkan hipoksemia progresif dan
retensi CO2 yang memerlukan tekanan
puncak jalan nafas yang sangat tinggi
untuk mempertahankan volume tidal
yang adekuat.
Risiko terjadinya barotrauma lebih
disebabkan oleh tekanan transpulmoner
daripada tekanan puncak atau statis jalan
nafas. Bila tekanan intra abdomen
meningkat dapat diasumsikan terjadi
peningkatan intra pleura. Suatu penelitian
menyebutkan adanya hubungan antara
peningkatan tekanan intra abdomen
dengan peningkatan tekanan intra pleura.
Bila tekanan intra abdomen meningkat 25
mmHg maka tekanan intrapleura menjadi
18 mmHg atau 24,5 cmH2O. Bila
besarnya tekanan akhir ekspirasi dibawah
tekanan pleura maka akan terjadi kolaps
alveolar.
Banyak diantara pasien ini yang
mengalami hipoksemia refrakter terkait
ketidakmampuan
mempertahankan
tekanan akhir ekspirasi untuk mempertahankan kapasitas residual. Pemberian
tekanan positif pada akhir ekspirasi yang
lebih tinggi mungkin masih diperlukan
selama sirkulasi berjalan baik. Tekanan
intraabdominal lebih besar dari 2025mmHg disertai dengan kegagalan
organ membutuhkan dekompresi.
Tekanan intraabdominal pasca operasi
normal adalah 0-5 mmHg. Jika tekanan
lebih besar dari 10 mmHg, terjadi
penurunan aliran darah arteri hepatika,
pada tekanan 15 mmHg terjadi perubahan
kardiovaskular, pada tekanan 15-25
mmHg terjadi oliguria, dengan anuria
dapat terjadi pada tekanan antara 3040mmHg.4

Deep Venous Thrombosis


Pasien-pasien trauma memiliki resiko
terkena tromboemboli vena. Penelitan
yang dilakukan oleh Schackford et al.
mengidentifikasikan 4 grup pasien
trauma yang beresiko terhadap terjadinya
emboli yaitu pasien dengan trauma
kepala, trauma tulang belakang, fraktur
pelvis kompleks dan fraktur sendi
panggul. Pemberian heparin subkutan,
mobilisasi awal, stocking, dekompresi
vena, alat dekompresi sekuensial dapat
dipertimbangkan
untuk
mengurangi
risiko terjadinya DVT.
Komplikasi Akhir
Stres ulser terjadi akibat penurunan aliran
darah lambung dan kehilangan proteksi
mukosa dan hal ini terjadi hampir lebih
dari 20% pasien ICU dimana dapat
menyebabkan terjadinya gastritis, ulserasi
dan perdarahan. Pemberian inhibitor
pompa proton, antagonis reseptor H2
dapat dipertimbangkan. Komplikasi paru
seperti pneumonia, pneumonitis aspirasi
dan ARDS sering terjadi pada pasien
trauma.
Asidosis
Asidosis mengganggu kontraktilitas
miokard sebagai respon katekolamin
endogen dan eksogen. Kurva disosiasi
oksi hemoglobin bergeser ke kanan oleh
asidosis, dengan demikian meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan. Asidosis
laktat harus ditangani dengan penggantian cairan. Meskipun kontroversial,
pH 7,10 diberikan natrium bikarbonat
dan hiperventilasi.
Penting untuk mengoreksi asidosis
dengan melakukan resusitasi agresif
untuk mencapai end-point yang sesuai.
Laktat serum dan nilai base deficit dari
analisa gas darah memberikan prediksi
tidak langsung tentang asidosis jaringan
secara menyeluruh terkait gangguan
perfusi. Abramson melakukan observasi

________________________________________________________________________________
41
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pasien dengan trauma multiple


untuk mengevaluasi hubungan antara
bersihan laktat dan survival. Semua
pasien yang kadar laktatnya kembali ke
nilai normal ( 2) dalam 24 jam akan
survive. Survival akan menurun menjadi
77,8% bila normalisasi terjadi dalam 48
jam dan menurun lagi menjadi 13,6%
pada pasien yang kadar laktatnya naik di
atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam.
Penelitian ini didukung oleh penelitian
Manikins yang menunjukkan non
survival pada pasien dengan trauma

mayor bila kadar awal laktat tinggi dan


bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam
berkorelasi dengan berkembangnya gagal
organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai
awal base deficit juga merupakan
prediktor tingkat kematian pada pasien
trauma.Davis membagi base deficit
menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l)
dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese
deficit dalam 24 jam menurunkan risiko
gagal organ dan kematian pada pasien
trauma.3,4,5

Tabel 1. Target Resusitasi


Parameter

Goal

Observations

TBI patien need MAP >70 mmHg


Trend to reduction in the first 6 hours
Complete clearence in 24 hour
>-5.0 mEq/L
Trend to reduction in the first 6 hours
Base deficit
Complete clearence in 24 hour
7.0-9.0 g/dL
Patien with significant heart disease or older
Hemoglobin
than 55 years may need higher levels
>94%
With the lowest PEEP that permits keeping
SatP
FiO2 <0.6
Keterangan : MAP,Mean arterial pressure; PEEP, Positive end expiratory pressure; TBI ; traumatic brain
injury
MAP
Lactic Acidocis

>65 mmHg in the first 30 minutes


<2.1 mmol/L

Perdarahan
terkontrol
mengurangi
konsumsi oksigen (VO2) dan reperfusi,
untuk meningkatkan VO2 di atas
baseline. Ketika durasi syok memanjang
fase hipermetabolik tidak terjadi,
menunjukkan syok menyebabkan gangguan metabolik intraseluler terhadap
oksigen dan pemanfaatan substrat yang
tidak lagi responsif pada peningkatan
pengiriman oksigen. Fenomena ini
dibuktikan dalam sebuah studi pasien
trauma yang mendapatkan resusitasi
adekuat. Satu kelompok terjadi peningkatan konsentrasi laktat terus-menerus
dan berkurangnya konsumsi dan ekstraksi
oksigen dibandingkan dengan kelompok
asidosis dan defek ekstraksi yang telah
dikoreksi, tingkat kegagalan organ adalah
35% dibandingkan dengan 5% (p<0,001),

dan kematian adalah 50% dibandingkan


dengan 9% (p< 0,01).
Beberapa
penelitian
menunjukkan
korelasi kuat antara terjadinya gangguan
koagulasi dan durasi hipotensi.Beberapa
penelitian juga membuktikan bahwa
hipoperfusi dikaitkan dengan koagulopati
konsumtif dan perdarahan mikrovaskular
independen dari jumlah kehilangan darah.
Dalam satu studi asidosis diinduksi-syok
lebih dari 150 menit menyebabkan
perpanjangan signifikan dari PTT dan
penurunan aktivitas faktor V.
Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) dan Acute Lung Injury (ALI)
ARDS merupakan gagal respirasi akut
yang terjadi pada pasien dengan paruparu sehat setelah terpapar syok, trauma,

________________________________________________________________________________
42
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi


toksik. Pada ARDS terjadi kerusakan
membran kapiler alveolar sehingga
terjadi kebocoran cairan protein dari
intravsakular ke interstistial yang
menyebabkan gambaran klinis disfungsi
pulmoner sedang sampai berat. ARDS
ditandai dengan hipoksemia, penurunan
compliance
paru,
dan
penurunan
functional residual capacity (FRC)

trauma menjadi lebih tinggi. Pengelolaan


pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini
karena faktor-faktor tersebut merupakan
penyebab utama kematian pada jam-jam
pertama pasca trauma.

DAFTAR PUSTAKA
Kriteria ARDS: PaO2/ FiO2 < 200,
gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks. Sedangkan kriteria ALI;
PaO2/ FiO2 < 300, dan ditemukan
gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks.

1.

2.

3.

Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi


mekanik yang bertujuan meminimalkan
efek pertukaran gas. Tetapi ventilasi
mekanik juga terkait dengan trauma paru
akibat
volume
alveolar
berlebih,
barotraumas. Positive end-expiratory
pressure (PEEP) digunakan untuk
meningkatkan oksigenasi pada FiO2
fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6
ml/kg) pada pasien dengan ARDS
menurunkan
mortalitas,
barotrauma
rendah.

4.
5.

Gentiltllo LM, Pierson DJ. Trauma critical


care. Respir Crit Care Med. 2001; (163) :
6047
Rossaint. Management of bleeding following
major trauma : an updated European
guideline. Critical Care 2010 ; (14) : 52
Miller R.D. Anesthesia for Trauma. 7th ed.
USA :Elseiver ; 2010 ; (2) : 2306-7
Smith
C.E.
Trauma
Anesthesia..UK:
Cambridge Press: ; 2008 : 215
Edwin AD, Saraswati DD. Intensive care unit
management of the trauma patient. Crit Care
Med 2006 ; (34) : 9

Sepsis
Sepsis pasca operasi dapat terjadi akibat
soiling peritoneal, intubasi trakea lama,
jalur intravaskular, dan pneumonia
pretrauma.
Bakteremia
dapat
diklasifikasikan
menjadi onset awal,
terjadi dalam 96 jam setelah trauma, dan
onset lambat, muncul setelah 96 jam
setelah trauma. Risiko onset-awa
lbakteremia meningkat dengan adanya
kontusio paru, pneumonia aspirasi, dan
trauma abdomen skala besar.
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada
pasien trauma sangat menentukan hasil
akhir pasien, karena dengan pengelolaan
yang baik di ICU tingkat survival pasien
________________________________________________________________________________
43
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi pada Mediastinoskopi


Satrio Adi Wicaksono*, Hari Hendriarto*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Mediastinoskopy increasingly used in health centers. Mediastinoscopy is a minimally
invasive technique for excision biopsy of lung cancer. Mediastinoscopy provides access to
the mediastinal lymph nodes and is used for diagnosis or resektabilitas intrathorakal
malignancy. Preoperative CT is important for the evaluation and if there is compression of
trachea. Mediastinoscopy using general anesthesia. Venous access with a large diameter
intravenous catheters (14 to 16 gauge) is required because of the risk of excessive bleeding
and difficulty controlling bleeding. And is expected to review the above it can be
understood how the management of anesthesia in patients undergoing mediastinoscopy
surgery.

ABSTRAK
Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi
merupakan tehnik minimal invasif untuk eksisi biopsi pada kanker paru-paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk
diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperatif penting untuk
mengevaluasi dan bila terdapat kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan
anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge)
diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan.
Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi

PENDAHULUAN
Mediastinoskopi
merupakan
suatu
prosedur diagnostik, yang pertama kali
dijelaskan oleh Carlens pada tahun 1959.
Meskipun semakin canggihnya teknik
pencitraan (misalnya emisi positron
tomogafi), mediastinoskopi tetap penting
dalam pementasan kanker paru-paru
karena sifat sensitivitasnya tinggi
(0,80%) dan spesifisitasnya yang tinggi
(100%).1
Indikasi lainnya untuk mediastinoskopi
adalah biopsi massa mediastinum
terutama di mana pemeriksaan lainnya,
misalnya CT kurang sensitif dan biopsi

lebih meyakinkan dan tepat untuk


menegakkan diagnosis pada beberapa
penyakit dengan limfadenopati mediastinum (misalnya: sarkoidosis, limfoma).
Pada mediastinoskopi kita menggunakan
anestesi umum, dimana relaksan otot
harus dihindari pada pasien dengan
sugestif sindrom klinis myasthenia
gravis, dan akses vena dengan kateter
intravena diameter besar (14 hingga 16
gauge)
diharuskan
karena
resiko
perdarahan berlebihan dan kesulitan
pengendalian perdarahan. Diharapkan
pada tinjauan ini, kita dapat mengerti apa
mediastinoskopi dan bagaimana pengelolaan dan manajemen anestesi pada

________________________________________________________________________________
44
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasien-pasien yang
mediastinoskopi.

akan

dilakukan

Anatomi
Mediastinum yaitu rongga yang berada
di antara paru kanan dan kiri.
Mediastinum berisi jantung, pembuluh
darah arteri, pembuluh darah vena,
trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.3,4
Rongga mediastinum ini sempit dan
tidak dapat diperluas, maka pembesaran
tumor dapat menekan organ di dekatnya
dan dapat menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. Kebanyakan tumor
mediastinum tumbuh lambat sehingga
pasien sering datang setelah tumor cukup
besar, disertai keluhan dan tanda akibat
penekanan tumor terhadap organ
sekitarnya.4
Secara garis besar mediastinum dibagi
atas 4 bagian penting :4
1. Mediastinum superior, mulai pintu
atas rongga dada sampai ke vertebra
torakal ke-5 dan bagian bawah
sternum, berisi: arkus aorta, arteri
innominata dan bagian toraks dari
carotis communis kiri dan arteri
subklavia kiri; vena innominata dan
setengah bagian atas vena kava
superior; v. Interkostalis kiri; nervus
vagus, jantung, nervus, frenikus,
trakea, esofagus, duktus toraksikus,
sisa-sisa timus, dan beberapa kelenjar
getah bening.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas
mediastinum superior ke diafargma di
depan jantung, berisi sejumlah
jaringan areolar yang tipis, beberapa
pembuluh limfatik yang naik dari
permukaan hati, dua atau tiga kelenjar
getah bening dari mediastinum
anterior, dan cabang-cabang kecil dari
arteri mammaria interna.

3. Mediastinum posterior, dari garis


batas mediastinum superior ke
diafragma di belakang jantung berisi
bagian dari aorta torakalis descenden,
vena
azigos
dan
dua
vena
hemiazygos, nervus vagus dan
splanknikus, esofagus, saluran torak
dan beberapa kelenjar getah bening.
4. Mediastinum medial (tengah), dari
garis batas mediastinum superior ke
diafragma di antara mediastinum
anterior dan posterior. Berisi jantung
yang tertutup dalam perikardium,
aorta asendens, bagian bawah dari
vena
kava
superior
dengan
pembukaan vena azigos ke dalamnya,
percabangan dari trakea dan kedua
bronkus, arteri pulmonalis yang
terbagi menjadi dua cabang, vena
pulmonalis kanan dan kiri, nervus
frenikus, dan beberapa kelenjar getah
bening.
Klasifikasi
ini
digunakan
untuk
menggambarkan asal dan penyebaran
tumor (yaitu anterior, berdekatan dengan
atau
di
belakang
jantung
dan
perikardium) dan harus dicatat bahwa
tidak
ada
anatomis
atau
fasia
memisahkan kompartemen yang berbeda.
Mediastinum kaya pada kelenjar getah
bening yang merupakan tempat inflamasi
local penyakit, limfatik utama tumor atau
penyakit metastasis Tabel 1 memberikan
daftar kondisi yang dapat dilihat sebagai
massa mediastinum.3,4
Gambar 1. Potongan melintang melalui batas
atas vertebra thoraks dua

________________________________________________________________________________
45
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 2. Mediastinum medial dan posterior

Gambar 3. Isi mediastinum medial dan posterior

Tabel 1. Gambaran tumor mediastinum


Tumor
Mediastinum anterior
Tumor timus
Tumor tiroid dan paratiroid
Limfoma
Germ cell tumour
Mediastinum medial
Limfoma
Tumor mesenkim
Mediastinum posterior
Kanker sofagus
Tumor neurogenik
Kondisi Jinak
Kista yang berkembang
Kista pericardium
Kista esophagus
Limfadenopati granulomatosa
Tuberkulosis
Sarkoidosis
Vaskular
Aneurisma, aorta torakal, v. innominata
Vasa berlebih, SVC kiri persisten,
anomali a. pulmonalis kiri

MEDIASTINOSKOPI

Gambar 4. Tindakan Mediastinoskopi

Mayoritas mediastinoskopi dilakukan


melalui pendekatan servikal, memasuki
mediastinum melalui sayatan 3 cm pada
insisura suprasternal. Sebuah diseksi
dibuat antara vena innominata kiri dan
sternum menciptakan sebuah terowongan
di lapisan fasia. Kemudian mediastinoskop tersebut dimasukkan lewat
anterior kelengkungan aorta. Pendekatan
anterior yang jarang dilakukan adalah
melalui kedua ruang interkostalis,
perbatasan lateral dari sternum; teknik ini
sering digunakan untuk memeriksa
mediastinum yang lebih rendah.1,6
Kontraindikasi
Mediastinoskopi sebelumnya adalah
kontraindikasi yang relative kuat untuk
dilakukan prosedur ulang karena jaringan
parut menghilangkan letak dari diseksi.
Sindrom Vena kava superior (SVC)
meningkatkan risiko perdarahan dari
vena
yang terdistensi merupakan

________________________________________________________________________________
46
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kontraindikasi relatif. Kontraindikasi


relative lain yaitu; deviasi trakea parah,
penyakit serebrovaskular, gangguan
tulang belakang leher yang parah,
penyakit dengan ekstensi leher yang
terbatas, radioterapi dada, dan adanya
aneurisma aorta torakalis.
Pemeriksaan
Selain hematologi rutin, biokimia, dan
EKG, pemeriksaan preoperatif harus
mencakup ronsen toraks, dan CT scan
bertujuan untuk mengevaluasi lokasi
tumor, hubungannya dengan struktur
yang
berdampingan,
dan
tingkat
kompresi trakea. Tes fungsi paru yang
berguna dalam mendeteksi keparahan
penyakit paru-paru dan efek massa
mediastinum. Arus kurva volume yang
harus diperoleh dalam posisi tegak dan
terlentang untuk mengevaluasi gangguan
fungsional dan memastikan adanya
obstruksi. Kedua arus inspirasi dan
ekspirasi biasanya berkurang bila
terdapat massa intratoraks. Sebuah
proporsional penurunan aliran ekspirasi
maksimal meningkatkan kecurigaan dari
munculnya trakheomalasia.
Pemeriksaan
tambahan
(misalnya
ekokardiografi dan stress test) dapat
diindikasikan dengan adanya gejala
jantung.5 Namun pada pasien yang sesuai,
mediastinoskopi dapat dilakukan.
Manajemen Anestesi
Pertimbangan pra operasi
1. Karsinoma bronkogenik
Kebanyakan pasien dengan kanker
paru-paru adalah perokok sebagai
komorbiditas
yang
signifikan,
termasuk hipertensi, penyakit arteri
koroner, penyakit vaskular perifer,
dan penyakit paru.3, 4
2. Massa mediastinum

Pasien dengan massa mediastinum


yang besar menyajikan sebuah
tantangan yang sulit bagi dokter
anestesi karena kompresi pada
bagian-bagian vital penting yang
berdekatan. Tingkat keparahan gejala
yang dihasilkan tergantung pada
ukuran dan lokasi dari massa, tingkat
pertumbuhan, dan invasi struktur vital
yang berdekatan. Namun, mayoritas
pasien tidak bergejala dan ditemukan
massa di dada pada pemeriksaan rutin
X foto thorax.3, 4
3. Kompresitrakeobronkial
Kompresi trakeobronkial mengarah
ke
persisten
infeksi
saluran
pernapasan, wheezing pada satu sisi,
atau stridor. Kejadian kesulitan
dengan ventilasi dan henti jantung
selama anestesi pada saat dilakukan
prosedur diagnostic atau terapeutik
dengan kasus massa mediastinum
dengan baik dijelaskan.3, 4 Namun,
mendefinisikan
kejadian
yang
sebenarnya dari komplikasi ini adalah
sulit.
Beberapa
pusat
telah
melaporkan kejadian yang pada
pasien pediatrik 7-20% selama
anestesi dan 18% pada periode pasca
operasi. Insiden pada orang dewasa
diyakini
jauh
lebih
sedikit,
kemungkinan karena saluran udara
pada anak-anak yang sempit lebih
rentan terhadap obstruksi.
Obstruksi trakeobronkial berpotensi dapat
memperburuk dengan induksi dari
anestesi umum dan ventilasi tekanan
positif intermiten (IPPV). Penurunan
fungsi dinding dada dan perpindahan
cephalic
diafragma
menyebabkan
hilangnya tekanan transmural distending
gradien. Oleh karena itu, pemeliharaan
ventilasi spontan sangat penting untuk
menghindari pencetus obstruksi pada
pasien ini. Intubasi sadar atau induksi
inhalasi dengan pemeliharaan spontan
ventilasi dianjurkan tergantung pada

________________________________________________________________________________
47
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

derajat obstruksi dan gejala yang


dihasilkan. Jika ada kesulitan dalam
ventilasi karena obstruksi pada tingkat
karina atau bronkus, sebuah bronkoskop
harus
dimasukkan
dan
ventilasi
dipelihara
dengan
menghubungkan
injektor Sanders atau ventilator jet ke
port sisi bronkoskop. Dengan adanya
gejala obstruksi parah, stenting dapat
dilakukan sebelum mediastinoskopi.3,4
Sindroma SVC
Kompresi SVC dengan pembesaran
kelenjar getah bening atau massa
mediastinum
dapat
mengakibatkan
obstruksi aliran darah dari kepala, leher,
dan
ekstremitas
atas,
sehingga
6
mengakibatkan SVC syndrome.
Manifestasi klinis tergantung pada
kecepatan pertumbuhan tumor dan
pengembangan
sirkulasi
kolateral.
Gangguan drainase vena menyebabkan
lidah edema, laring bengkak dan
membuat intubasi berpotensi sulit. Pasien
dengan pembengkakan orofacial yang
luas, suara serak, dan distensi dari vena
azygous pada CT scan meningkatkan
risiko perdarahan dari trauma saat
diintubasi. Kepala elevasi, steroid, dan
diuretic
dapat
membantu
dalam
menurunkan resiko sebelum operasi.6
Efek sistemik
Paru-paru atau tumor mediastinum
menyebabkan gejala ekstra toraks dengan
penyebaran atau metastasis oleh sekresi
hormon endokrin atau zat seperti,
misalnya ACTH, ADH, PTH.5 Tabel 2
memberikan daftar sindrom paraneoplastik yang berkaitan dengan kanker
paru-paru, yang memiliki implikasi
anestesi.
Tumor timus berhubungan dengan
miastenia gravis yang menyebabkan
kelemahan
dan
kelelahan
otot.
Manifestasi klinis berkisar dari gejala

ocular yang terisolasi hingga keterlibatan


pernapasan otot. Pasien dengan miastenia
gravis sensitif terhadap pelumpuh otot
nondepolarisasi dan memiliki respon
variabel untuk agen depolarisasi.
Sindroma
Eaton-Lambert
(sindrom
myasthenic)
miopati
proksimal
berhubungan
dengan
small
cell
carcinoma. Pengurangan asetilkolin yang
dilepaskan dari saraf motorik terminal
presinaptik pada pasien ini menyebabkan
peningkatan sensitivitas untuk semua
obat yang memblokir neuromuskuler.
Berbeda dengan miastenia gravis, dimana
kelemahan otot meningkat dengan
kegiatan fisik yang berat dan tidak dapat
dibalik dengan terapi asetil kolinesterase
inhibitor.4, 6
Tabel 2. Manifestasi non metastatik tumor
mediastinal
Endokrin
Hiperparatiroid
Sindroma Cushing
SIADH
Sindroma karsinoid
Neuromuskular
Miastenia gravis
Sindroma Eaton-Lambert
Neuropati perifer
Neuropati otonom
Hematologi
Anemia
Trombositopenia
Trombosis
Lainnya
Sindroma nefrotik
Amiloidosis

Pengelolaan Anestesi
Sebuah short-cting benzodiazepine dapat
diberikan untuk menurunkan kecemasan,
namun, obat sedatif harus dihindari jika
terdapat obstruksi trakea.4
Kanula intravena yang besar harus
dimasukkan dan crossmatched darah
harus tersedia karena potensi risiko
perdarahan. Jika pasien asimtomatik,
preoksigenasi diikuti dengan induksi

________________________________________________________________________________
48
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi intravena dapat dilakukan.


Dengan adanya obstruksi pernapasan,
sebuah intubasi sadar di bawah anestesi
lokal adalah teknik pilihan. Hal ini
memungkinkananestesi dan tim bedah
melihat keseluruhan tingkat yang tepat
dariobstruksi dan bila tabung endotrakeal
dilewatkan distalobstruksi.
Dalam kasus obstruksi lebih distal
(tingkat carinal), bronkoskop harus
tersedia untuk frekuensi rendah ventilasi.
Atau, induksi inhalasi dapat digunakan,
diikuti olehintubasi trakea dengan
anestesi dalam. Pasien ditempatkan
dalam posisi 20 derajat head-up untuk
mengurangikongesti vena, namun harus
diingat
bahwa
ini.
Posisi
ini
meningkatkan kemungkinan emboli
udara.
Sebuah agen anestesi intravena, anestesi
inhalasi, atau keduanya, bersama dengan
agen blok neuromuskular dan infus
kontinyu short-acting opioid akan
memungkinkan sebuah tingkat yang
memadai anestesi dan pemulihan pasca
operasi cepat. Ventilasi kedua paru-paru
melalui tabung endotrakeal tunggal
lumen biasanya cukup. Sebuah tabung
lebih disukai untuk meminimalkan risiko
tabung
terpuntir
selama
operasi.
Endoskopi fiberoptik harus disiapkan
sebelum ekstubasi untuk menyingkirkan
tracheomalacia.5
Idealnya, relaksan otot harus dihindari
pada pasien dengan sugestif sindrom
klinis
miastenia
gravis.
Jika
menggunakan relaksan, dosis harus hatihati, dan dititrasi dengan respons yang
diukur dengan pemantauan neuromuskular. Pasien diextubasihanya bila
setelah pemulihan refleks dan fungsi
neuromuskuler baik; dalam jangka
pendekventilasi pasca operasi mungkin
diperlukan.

Anestesi lokal lewat infiltrasi luka, blok


saraf interkostal analgesia pasca operasi,
Parasetamol reguler dan NSAID (jika
tidak kontraindikasi) dapat diberikan
sebagai bagian dari multimodal analgesia.
Pasca operasi ronsen toraks harus diambil
pada semua pasien di ruang pemulihan
untuk
menyingkirkan
kemungkinan
pneumotoraks. Selanjutnya, pasien dapat
dirawat di bangsal, dimana mereka harus
diamati secara khusus untuk dispnea dan
stridor, yang mungkin disebabkan oleh
cedera pada laring berulang saraf atau
hematoma paratrakeal.4,5,7
Monitoring
Pemantauan tekanan darah invasive,
arterial line lebih disukai untuk deteksi
dini reflex aritmia dan bila adanya
kompresi pada vena besar selama
tindakan mediastinoskopi, sebaiknya
berlokasi di lengan kanan untuk deteksi
kompresi brakiosefalika, yang berakibat
pengurangan aliran darah ke arteri karotis
kanan dan dapat menyebabkan iskemia
dengan adanya sirkulasi kolateral yang
tidak memadai. Atau probe pulse
oxymeter harus ditempatkan pada tangan
kanan.
Pemantauan
neuromuskular
adalah wajib pada pasien dengan
miastenia gravis dan sindroma EatonLambert. Ventilator pengukur tekanan
juga harus diperhatikan untuk mencatat
setiap peningkatan tekanan saluran napas
akut,
yang
menunjukkan
adanya
kompresi trakea atau bronkus oleh
mediastinoskop tersebut. Penggunaan
ventilasi pressure controlled membantu
dalam deteksi dini kenaikan tekanan
saluran udara.5,7
Komplikasi
Kerusakan pembuluh darah
Insiden perdarahan utama setelah
mediastinoskopi (didefinisikan sebagai
perdarahan
yang
persisten
yang
membutuhkan
eksplorasi
melalui

________________________________________________________________________________
49
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sternotomi median atau torakotomi)


adalah 0,4%,8 tetapi meningkat pada
adanya kelainan pembuluh darah,
peradangan mediastinum, dan SVC
obstruksi. Pembuluh yang paling sering
mengalami cedera adalah vena azigos,
vena innominata, dan arteri pulmonalis.
Kontrol awal perdarahan dicoba dengan
kompresi dan packing luka. Jika gagal
untuk mengontrol perdarahan atau
adanya ketidakstabilan hemodinamik
persisten meskipun sudah dilakukan
resusitasi volume maksimal, maka
eksplorasi bedah diindikasikan. Vena
innominata dan cedera arteri pulmonalis
dapat diperbaiki melalui sternotomi garis
tengah, sedangkan cedera vena azigos
memerlukan torakotomi posterolateral
kanan. Prinsip-prinsip dasar manajemen
adalah sama seperti yang dari setiap
utama perdarahan, tetapi ada beberapa
fitur unik untuk perdarahan mediastinum.
Akses vena besar harus segeradiamankan
di tungkai bawah, karena perdarahan bisa
dari gangguan pembuluh vena mengalir
ke SVC. Beberapa penulis merekomendasikan akses vena pada tungkai rutin
untuk semua pasien yang menjalani
mediastinoskopi. Ini mungkin tidak
dibenarkan mempertimbangkan kelangkaan perdarahan pada mediastinoskopi.9
Dalam kasus intubasi sulit atau
lifethreatening dan resusitasi perdarahan,
dimana dokter anestesi yang sibuk dalam
resusitasi, intubasi pasien dengan lumen
tabung tunggal dapat dilakukan. Selain
itu, sebuah bronchial blocker dapat
digunakan, namun penempatan yang
akurat membutuhkan bronkoskop serat
optic dan lebih banyak waktu diperlukan
untuk menutup paru. Cedera dari
lengkung aorta dan supra-arteri aorta
jarang terjadi. Ini menyebabkan leher
hematoma
dan
bila
dilakukan
reintubation membuat trakea sulit untuk
diintubasi, meskipun pada intubasi awal
mudah. Perdarahan ringan biasanya

akibat dari luka pada pembuluh getah


bening, hal ini respon dengan kompresi
dan packing.9
Kerusakan paru-paru
Kejadian
pneumotoraks
setelah
mediastinoskopi adalah 0,08-0,23%.
Tube torakostomi harus dilakukan pada
akhir operasi jika ada robekan pleura,
dengan trauma jaringan paru-paru.
Seorang pasien asimtomatik dengan
pneumotoraks kecil (20%) terdeteksi di
pasca operasi hanya dapat diamati dengan
ronsen toraks.8
Komplikasi-lain
Komplikasi
berhubungan
dengan
mediastinoskopi termasuk (1) refleks
bradikardi yang dimediasi vagus karena
kompresi trakhea atau pembuluh darah
besar, (2) perdarahan yang banyak, (3)
iskemi cerebral karena kompresi arteri
inominata (dideteksi dengan plethysmograf atau pulse oksimetri di tangan
kanan), (4) pneumothoraks (biasanya
terjadi postoperatif), (5) emboli udara
(karena elevasi kepala 30, resiko
diperbesar selama ventilasi spontan), (6)
kerusakan n. laryngeus reccuren, dan (7)
cedera n. phrenicus.8,9
Kemungkinan
komplikasi
lainnya
termasuk stroke (brakio sefalika arteri
kompresi), cedera trakeobronkial, dan
frenikus dan berulang cedera saraf laring
(Tabel 3).
Tabel 3. Komplikasi mediastinoskopi
Perdarahan mayor
Stroke
Emboli udara
Pneumotoraks
Aritmia reflex
Paralisis n. phrenicus
Kelemahan n. laringeus rekuren
Regangan pada esophagus
Laserasi trakheobronkhial
Cedera duktus toraksikus
Perdarahan minor

________________________________________________________________________________
50
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mediastinoskopi
semakin
banyak
digunakan di pusat-pusat kesehatan.
Mediastinoskopi merupakan minimal
invasive teknik untuk eksisi biopsi kanker
paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke
limfonodi mediastinal dan digunakan
untuk diagnosis atau resektabilitas
keganasan intrathorakal. CT preoperative
penting untuk evaluasi dan bila ada
kompresi
trakhea.
Mediastinoskopi
menggunakan anestesi umum. Akses
vena dengan kateter intravena diameter
besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan
karena resiko perdarahan berlebihan dan
kesulitan pengendalian perdarahan. Dan
diharapkan dengan tinjauan diatas maka
dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani
operasi mediastinoskopi
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Thoracic
Surgery.
Philadelphia:
WB
Saunders, 1995; 491512
Hammer GB. Anaesthetic management for
the child with mediastinal mass. Paed Anaes
2004; 14: 9597
Narang S, Harte B, Body S. Anaesthesia for
patients with a mediastinal mass. Anesthesiol
Clin North America 2001; 19: 55983
Bechard P, Letourneau L, Lacasse Y, et al.
Perioperative cardiorespiratory complications
in
adults
with
mediastinal
mass.
Anesthesiology 2004; 100: 82634
Jahangari M, Goldstraw P. The role of
mediastinoskopi in superior vena caval
obstruction. Ann Thorac Surg 1995; 59: 453
552
Cybulsky IJ, Bennett WF. Mediastinoskopi
as a routine outpatient procedure. Ann
Thorac Surg 1994; 58: 1768
Park BJ, Flores R, Downey RJ, et al.
Management of major haemorrhage during
mediastinoskopi. J Thorac Cardiovasc Surg
2003; 126: 72631
Lohser J, Donington JS, Mitchell JD, et al.
Anaesthetic
management
of
major
haemorrhage during mediastinoskopi. J
Cardiothorac Vasc Anesth 2005; 19: 67883

Hammound ZT, Anderson RC, Meyers BF, et


al.The current role omediastinoskopi in the
evaluation of thoracic disease. J Thoracic
Cardiovasc Surg 1999; 118: 8949
Benumof JL. Anaesthesia for special elective
diagnostic procedures. In: Anesthesia for

________________________________________________________________________________
51
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat


Igun Winarno*, Jati Listiyanto Pujo*, Mohamad Sofyan Harahap

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
CNS trauma is a major health problem as the cause of death and disability worldwide. The
severity of the injury is crucial primary outcome, whereas secondary injury caused by
physiological factors hypotension, hypoxemia, hiperkarbi, hyperglycemia, hypoglycemia,
and other develop further will cause further brain damage and aggravate CNS trauma.
Appropriate perioperative anesthetic management and began preoperative period,
especially when the patient is in the emergency, determine the outcome of the patient.
ABSTRAK
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen
anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat
pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.
Pendahuluan
Trauma pada susunan saraf pusat
merupakan problematika yang komplek,
bila tidak mendapat penanganan dengan
baik akan mempengaruhi kualitas hidup
seseorang, baik terhadap fungsi motorik,
fungsi sosial maupun mental. Kejadian
lanjutan juga dapat memberikan dampak
kerugian perekonomian yang yang lebih
besar diakibatkan beaya yang dibutuhkan,
akibat pemutusan kerja, dan juga
tanggungan untuk kelangsungan hidup
berikutnya.
Angka kejadian trauma pada susunan
saraf pusat dari tahun ke tahun semakin
meningkat, di Amerika dikatakan
berkisar 1/1000 orang dengan kejadian
terbanyak pada usia 15-24 tahun dan
lebih dari 75 tahun. Angka ini tidak
menunjukkan yang sebenarnya, hal ini
dikarenakan hanya pada korban yang
ditangani di rumah sakit dan angka
kematian 19,3/1000 orang. Sedangkan

beaya yang dibutuhkan berkisar 9-10


miliar dolar AS per tahun dan beaya
tanggungan untuk kelangsungan hidup
mencapai 1,85 juta dolar pertahun
perorang.1 Di Indonesia sendiri belum
ada data pasti, tetapi trauma pada susunan
saraf pusat lebih dominan karena faktor
kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala merupakan epidemi yang
tersembunyi, oleh karena sebagian besar
masyarakat belum begitu mengetahui
tentang cedera kepala beserta akibatnya.
Lima belas persen dari pasien yang
dirawat dengan cedera kepala akan
mengalami skuele (problem gangguan
kronik) sepanjang hidupnya.2 Prinsipprinsip pengeloaan trauma pada susunan
saraf pusat sangat penting diketahui oleh
masyarakat umum dan bagi tenaga
profesional juga diperlukan pemahaman
mengenai
neurofisiologi
dan
patofisiologi.1-2
Pada
tulisan
ini
menjelaskan mengenai neurofisiologi dan

________________________________________________________________________________
52
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

patologi, pengelolaan trauma susunan


saraf pusat, dan komplikasi yang terjadi.
Anatomi dan fisiologi
Sistem saraf secara anatomis dibagi
dalam susunan saraf pusat, sistem saraf
perifer dan sistem saraf autonom.
Susunan saraf pusat (SSP) dibagi lagi
menjadi otak, batang otak dan medula
spinalis sedangkan cairan cerebrospinal,
darah dan selaput otak sebagai
pelindung.3
Susunan saraf pusat (SSP) di dalam ruang
kepala pada orang dewasa berisi sekitar
8% adalah cairan serebrospinal, 12%
volume darah, dan 80% jaringan otak dan
medulla spinalis. Ruangan ini bersifat
konstan tetapi tidak selalu penuh tegang,
maka setiap ada peningkatan volume
pada salah satu komponen akan terjadi
pendesakan pada komponen lain,
sehingga akan diimbangi dengan
pengurangan volume pada komponen
lainnya. Bila kompensasi ini telah
terlewati maka akan terjadi peningkatan
tekanan di dalam kepala. Konsep ini
dikenal dengan fisiologi otak dari hukum
Monro-Kellie.2-3
Trauma pada susunan saraf pusat juga
akan menimbulkan gejala kelainan sesuai
dengan regio yang disarafi. Berikut tabel
mengenai regio, fungsi primer dan
kelainan yang ditimbulkan.
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons
dan medulla oblongata, bagian ini
mempunyai peranan untuk mengontrol
pernafasan dan kardiovasculer serta
menjaga kesadaran, siklus tidur. Sistem
hantaran saraf baik ascending dan
descending akan melewati batang otak.3
Medula spinalis berada dalam canalais
medula spinalis didalam vertebra dan
merupakan bagian dari susunan syaraf
pusat, terbentang dari foramen magnum
sampai dengan L1 pada orang dewasa

dan L3 pada anak, di tempat berakirnya


medula spinalis melonjong dan agak
melebar yang disebut conus terminalis
atau conus medullaris. Terdapat 31
pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf
servikal, 12 pasang syaraf torakal, 5
pasang syaraf lumbal, 5 pasang syaraf
sakral dan 1 pasang syaraf koksigeal.
Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul
yang disebut dengan Cauda Equina.
Setiap pasangan syaraf keluar melalui
Intervertebral foramina. Syaraf Spinal
dilindungi oleh tulang vertebra dan
ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan CSF.3-4
Trauma susunan saraf pusat
Trauma SSP merupakan masalah
kesehatan yang utama sebagai penyebab
kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
Tingkat keparahan cedera primer sangat
menentukan hasil, sedangkan cedera
sekunder yang disebabkan faktor fisiologi
hipotensi,
hipoksemia,
hiperkarbi,
hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya
yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan
dan memperburuk trauma SSP.5,12
Mekanisme trauma susunan saraf pusat
bisa berupa tekanan positif, tekanan
negatif, laserasi otak, perdarahan dan
pergeseran
otak
akibat
gerakan
percepatan atau perlambatan yang
mendadak.
Taruma
SSP
dapat
diklasifikasikan sebagai trauma primer
atau sekunder dan fokal atau difus.
Cedera primer sebagai dampak langsung
bisa dari patah tulang, memar atau
perdarahan. Cedera primer akan berlanjut
pada proses inflamasi edema dan
pembentukan axcitotoxicity yang akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intra
kranial (TIK), dampak selanjutkan akan
terjadi penurunan tekanan perfusi
cerebral/cerebral
pressure
perfusion
(CPP), keadaan ini juga akan semakin
mempengaruhi tingkat berat ringannya

________________________________________________________________________________
53
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1: Regio susunan saraf pusat, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan.3

Regio SSP
Lobus frontal

Lobus parietal

Lobus temporal

Fungsi primer
Motorik
Intelegency
personality
Fungsi aspektif dan bicara (area
broca)
Fungsi sensoris primer

Lobus occipital
Thalamus

Pendengaran
Bahasa
Persepsi
Acalculia
pemahaman komunikasi (Wernikes
area)
Fungsi primer penglihatan
Area memory

Sistem limbik
Cerebellum

Emosi
Keseimbangan motorik

Temporoparietal

Kelinan yang ditimbulkan


Hemiparesis kontralateral
Gangguan intelgency
Gangguan penampilan
Gangguan bicara
Gangguan
kontralateral
Apraxia
Gangguan visual
acalculia
alexia
agraphia
gangguan visual
disfasia

sensoris

gangguan penglihatan
gangguan sinyal
gangguan ingatan
ketidakstabilan emosi
gangguan keseimbangan

Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS)6


Jenis Pemeriksaan
Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)
Respon terhadap suara (suruh buka mata)
Respon terhadap nyeri (dicubit)
Tida ada respon (meski dicubit)
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada (flasid)
Respon verbal (V)
Berorientasi baik
Berbicara mengacau (bingung)
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada suara

cedera sekunder yang berkembang,


misalnya : iskemia, hipoksia dan
konsekuensi dari peningkatan tekanan
intrakranial. Dua faktor utama yang
menyebabkan cedera sekunder hipotensi
[tekanan darah sistolik (SBP) <90

Nilai
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

mmHg] dan hipoksemia (Pao2 <60


mmHg). Cedera otak fokus adalah cedera
yang terbatas pada lokasi tertentu dan
termasuk
memar
dan
hematome,
sedangkan cedera otak difus bila
kerusakan menyebar diotak tanpa ada

________________________________________________________________________________
54
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

batas jelas, misalnya: diffuse axonal


injury (DAI) dan diffuse subarachnoid
hemorrhagic. 1,3,5
Klasifikasi
Jika dilihat dari ringan sampai berat,
maka dapat kita lihat sebagai berikut:
Cedera kepala ringan ( CKR ) : GCS
antara 13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit, tetapi ada yang
menyebut kurang dari 2 jam, jika ada
penyerta seperti fraktur tengkorak ,
kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) :
GCS antara 9-12
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30
menit sampai 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak, disorientasi ringan (
bingung ).
Cedera kepala berat ( CKB ) : GCS 3-8
Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga
meliputi contusio cerebral, laserasi atau
adanya hematoma atau edema. Cedera
kepala terbuka kulit mengalami laserasi
sampai pada merusak tulang tengkorak.
Sedangkan cedera kepala tertutup dapat
disamakan gegar otak ringan dengan
disertai edema cerebri.
Gejala dan tanda
Cedera
kepala
akan memberikan
gangguan yang sifatnya lebih kompleks
bila dibandingkan dengan trauma pada
organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan
karena struktur anatomik dan fisiologik
dari isi ruang tengkorak yang majemuk,
dengan konsistensi cair, lunak dan padat
yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan
saraf, pembuluh darah dan tulang.
Struktur anatomi kepala yang merupakan
ruang
tertutup
menyebabkan
permasalahan yang tidak dijumpai pada

organ lain yaitu terjadinya peningkatan


tekanan intrakranial.2,7
Gangguan yang terjadi setelah pasien
mengalami gangguan cedera kepala
ringan dapat berupa: nyeri kepala, vertigo
atau gangguan keseimbangan, mudah
lupa, lamban, fatigue (mudah lelah),
sensitive terhadap suara dan sinar. Cedera
kepala
sedang
sampai
berat
prosentasenya 15% dari seluruh cedera
kepala dan biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit. Seringkali
pasien mengalami penurunan kesadaran
yang signifikan, dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu, selanjutnya
mengalami gangguan berfikir, gangguan
fisik, dan emosi yang berkepanjangan.
Setelah mengalami cedera kepala, pasien
beresiko terjadi cedera kepala berulang 23 kali lipat. Hal ini disebabkan karena
perhatian pasien berkurang, reaksi lebih
lambat (lebih impulsive), dan sulit
mengambil keputusan yang cepat dan
tepat. Cedera kepala berulang ini
mengakibatkan kerusakan otak yang
lebih besar.2
Trauma susunan saraf pusat sering
dihubungkan dengan kejadian edema
paru,
secara
patofisiologi
masih
diperdebatkan, tetapi secara umum
kejadian edema paru bisa disebabkan
karena
menurunnya
osmolaritas,
peningkatan permeabilitas membran
pembuluh darah, atau tekanan onkotik
dan meningkatnya tekanan hydrostatik
sehingga terjadi aliran cairan keluar dari
pembuluh darah. Pada trauma kepala
disebutkan bahwa kerusakan pada
hipothalamus, medula oblongata atau
pada susunan syaraf pusat akan
meningkatkan aktifitas sympatis dan
pelepasan katekolamin, hal ini berakibat
terjadinya peningkatan afterload atau
sytemic vascular resistence sehingga
beban ventrikel kiri meningkat dan
tekanan hydrostatik di paru juga
meningkat.
Peningkatan
ini

________________________________________________________________________________
55
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengakibatkan overload volume cairan


di paru yang mengakibatkan kerusakan
endotelial
paru
dan
peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru
sehingga cairan akan menuju ke
interstitial dan alveolar paru. 18

pada gambaran radiologis dan temuan


klinis yang ada. Pasien dalam keadaan
kritis harus dimonitoring secara dekat
selama dilakukan pemeriksaan CT atau
angiografi. Pasien yang kurang kooperatif
bisa diberikan anestesi umum. Sedasi
tanpa kontrol jalan nafas harus dihindari
karena bisa beresiko meningkatkan TIK

Pilihan antara tindakan operatif dan


medis pada trauma kepala didasarkan

Gambar 1 : Mekanisme cedera kepala16

Trauma
Primer

iskemia

Kerusakan langsung
sel dan pem.darah

Perdarahan dan
hematom

Peningkatan
CBF

Mediator
inflamasi

Oedem

Kerusakan langsung sel


dan pem.darah

Kematian sel

Gambar 2: Proses pada trauma brain injury16

________________________________________________________________________________
56
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

akibat hipoksemi dan hiperkapni. Bila


terjadi defisit neurologis saat studi
dilakukan,
bisa
dipertimbangkan
pemberian mannitol. CT rutin mungkin
tidak diperlukan pada pasien dengan
trauma kepala ringan yang memenuhi
kriteria berikut: tidak ada sakit kepala
atau muntah, berusia dibawah 60 tahun,
tidak mabuk, tidak ada defisit dalam
memori jangka pendek, tidak ada bukti
fisik trauma atas klavikula, dan tidak ada
kejang.9,12
Pengelolaan Cedera Kepala
Pengelolaan
cedera
kepala
merupakan bagian integral dari resusitasi
dan pengobatan pasien trauma, ahli
anestesi memainkan peranan penting
dalam upaya resusitasi otak selama
periode
perioperatif
dengan
merencanakan pengelolaan jalan nafas,
kontrol cairan, kontrol tekanan darah,
kontrol ventilasi dan menentukan pilihan
anestesi serta memonitoring pasien
berkelanjutan.2,7
Perawatan pra rumah sakit
Tujuan dari setiap sistem perawatan prarumah sakit adalah untuk memberikan
perawatan
yang
optimal
sampai
pengelolaan pasien ditransfer ke rumah
sakit. Langkah yang perlu dilakukan
adalah stabilisasi, meliputi stabilisasi
jalan nafas, trauma atau luka, dekompresi
tekanan dinding dada, membuat akses
intravena sebagai persiapan resusitasi
cairan dan kegunaan di rumah sakit serta
untuk akses minimal obat-obatan
emergency. Angka kematian berkisar 25
% segera pada cedera primer dimana
sebagiaan besar akibat cedera susunan
saraf pusat. Sistem komunikasi dengan
rumah sakit juga sangat menentukan
untuk pengelolaan selanjutnya.8

Resusitasi Trauma Kepala


Pertimbangan pertama dalam evaluasi
dan pengelolaan pasien trauma brain
injury
(TBI)
adalah
menentukan
kebutuhan untuk membentuk suatu
definitif jalan napas. Sambil memberikan
pengelolaan saluran napas, sejumlah
kendala yang bertentangan pasti muncul.
Awal masalah pada pasien cedera kepala
meliputi: kenaikan tekanan intrakranial,
isi perut penuh, trauma vertebrae cervic,
problem jalan nafas, trauma trakhea, dan
fraktur tengkorak mungkin fraktur basis,
status hemodinamik, pasien tidak
kooperatif / agresif, dan hipoksemia.
Ada suatu patokan resusitasi awal otak
yaitu pendekatan airway, breathing dan
circulasi kemudian tekanan intra kranial.
Data klinis menunjukkan bahwa cedera
otak sangat rentan terhadap keadaan
hipoksia dan adanya korelasi yang kuat
antara defisit neurologis awal dengan
hipotensi
dan
hipoksia.
Bila
memungkinakan
penderita
dapat
diberikan jalan nafas definitif dengan
pemasangan endotracheal tube dengan
tujuan mengamankan jalan nafas,
menjamin pertukaran gas, menstabilkan
sirkulasi
dan
mengelola
tekanan
intrakranial dengan semestinya.7
Kita perlu segera melakukan intubasi bila
: GCS kurang dari 8, pasien butuh
ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,
pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat
TBI, kerusakan ini perlu pengamatan
selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi
biasanya cukup dalam 24 jam pertama.7
Adanya ketidakpastian integritas tulang
vertebra
cervicalis,
memerlukan
penundaan
pada
tindakan
yang
memerlukan
ekstensi
sendi
atlantooccipial, kecuali bersifat urgenci
untuk mengkontrol jalan nafas, keadaan
ini direkomendasikan untuk dilakukan
stabilisasi leher dahulu. Sekitar 2 %

________________________________________________________________________________
57
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasien dengan TBI yang bertahan hidup


sampai rumah sakit menurut data
memiliki patah tulang cervik. Pada
pemasangan intubasi pasien TBI tidak
dianjurkan melalui nasopharing karena
ditakutkan masuk ke dasar tengkorak,
intubasi ini bisa dilakukan dengan
menggunakan fiber optik.7,9 Fraktur
dasar tengkorak ditandai dengan adanya
cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau
otorhea, hemotimpanum, atau ekimosis di
dalam jaringan periorbital atau di
belakang telinga.9
Pengelolaan tekanan intrakranial
Pengukuran tekanan intrakranial biasanya
berpatokan kepada status neurologis
pasien baik yang akan menjalani operasi
maupun tidak, tetapi pada umumnya
pasien dengan GCS < 9 memerlukan
pemantauan tekanan intrakranial. Untuk
pasien yang memerlukan operasi cito
yang bertujuan untuk dekompresi dan
evakuasi masa, tingkat keparahan pada
CT Scan dan temuan operatif juga
memerlukan pemantauan tekanan intra
kranial.8
Hipertensi intrakranial adalah besarnya
TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur
lain hipertensi intrakranial didefinisikan
sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg
dan menetap lebih dari 20 menit.
Peningkatan progresif dari batas ini atau
TIK yang terus menerus >20 mmHg,
disarankan untuk melakukan pemeriksaan
dan penanganan. Peningkatan progresif
dari
TIK
dapat
mengindikasikan
memburuknya
hemoragik/hematoma,
edema, hidrosefalus, atau kombinasinya
dan merupakan indikasi diakukannya
pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus
menerus TIK akan memperparah resiko
terjadinya cedera sekunder (komplikasi)
berupa iskemik dan/atau herniasi.9
Pengelolaan tekanan intrakranial dapat
dilakukan dengan craniotomi untuk

dekompresi
atau
evakuasi
masa,
pengurangan volume darah ke cerebral
(elevasi kepala, hiperventilasi, menaikkan
tekanan darah, menghilangkan sumbatan
vena), pemberian obat hyperosmotic,
diuretic, kortikosteroid, dan anestesi
vasokontriksi pembuluh darah cerebral
(mis. barbiturate, propofol),8-9,12
Manitol
Manitol adalah obat yang paling umum
digunakan pada pasien dengan cedera
kepala, obat ini diklasifikasikan sebagai
diuretik osmotik untuk mengurangi
tekanan intra kranial. Kemampuan ini
didasari oleh sifat hiperosmotik manitol,
dimana akan menarik cairan dari sel-sel
otak
menuju
intravaskuler
dan
dikeluarkan melalui ginjal.9-11 Mannitol,
dengan dosis 0,25-0,5 g/kg, secara
khusus efektif dalam menurunkan TIK,
hati-hati dengan penambahan volume
intravaskuler karena dapat menyebabkan
edema paru.9 Manitol telah terbukti
meningkatkan tekanan perfusi serebral
(CPP)
dan mikrosirkulasi
perfusi.
Dalam sebuah studi oleh Kirkpatrick et
al,
manitol
ditemukan untuk
meningkatkan CPP sebesar 18% dan
penurunan TIK sebesar 21% tanpa
mempengaruhi tekanan darah arteri.
Dikatakan manitol digunakan oleh 83%
pusat kesehatan dan lebih dari 50%
digunakan untuk cidera kepala berat.10
Kombinasi penggunaan manitol dan
furosemid bisa bersinergi namun
membutuhkan
monitoring
dari
9
konsentrasi serum Kalium.
Pengelolaan tekanan darah
Hipotensi pada trauma kepala sering
berhubungan dengan trauma lainnya
(biasanya intraabdominal). Perdarahan
dari laserasi kulit kepala bisa berkaitan
pada anak-anak. Hipotensi dapat timbul
bersama dengan trauma tulang belakang

________________________________________________________________________________
58
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena simpatektomi berkaitan dengan


syok spinal.9
Konsep bahwa trauma pada susunan saraf
pusat sangat rentan terhadap efek buruk
dari hipotensi dan hipoksia telah
dipahami benar oleh para ahli. Dari
penelitian Chesnul et al dikatakan bahwa
pada saat kedatangan pasien dengan GCS
8 dan dalam kondisi hipotensi (sistole <
90 mmHg) dan kombinasi hipoksemia
(PaO2 < 60 mmHg) telah memberikan
efek negatif pada status neurologis.2,10
Dikatakan pula bahwa CPP < 70 mmHg
pada pemeriksaan saturasi vena jugularis
(SvjO2) dan transkranial Doppler telah
menunjukkan penurunan
perfusi
cerebral, demikian juga dikatakan oleh
Robertson et al bahwa pada MAP < 50
telah terjadi penurunan aliran darah ke
otak dan CPP < 70 terjadi demikian juga.
Prinsip pengelolaan tekanan darah pada
trauma SSP adalah cedera otak sangat
rentan dengan hipotensi, perfusi cerebral
yang dapat ditolerir adalah tidak kurang
dari 70 mmHg.7
Pengelolaan cairan
Perdebatan mengenai cairan kristaloid
atau koloid masih belum terselesaikan,
tetapi fakta berikut dapat digunakan
bahwa pemberian yang menyebabkan
cairan keluar dari intravaskuler dapat
menyebabkan gangguan osmolaritas dan
edeme otak pada orang normal dan
cedera kepala. Sehingga prinsip yang
digunakan dalam pengelolaan cairan pada
trauma SSP adalah hindari cairan yang
dapat mengurangi osmolaritas dan
keluarnya cairan dari intravaskuler,
pengurangan tekanan onkotik koloid
tidak menyebakan edema cerebri,
pendekatan yang memungkinkan dengan
menggunakan campuran koloid dan
kristaloid, dan larutan hipertonik telah
memberikan keuntungan atas solusi
isotonis tetapi karena adanya kekawatiran

akan implikasi fisiologis natrium yang


tinggi
maka
ada
pembatasan
kegunaannya.7
Kontrol gula darah
Kadar
gula
darah
yang
tinggi
berhubungan dengan iskemia cerebri,
sedangkan iskemia cerebri hampir pasti
terjadi pada TBI sehingga pemberian
glukosa eksternal tanpa indikasi khusus
(hipoglikemi) merupakan sebuah kontra
indikasi pada trauma SSP. Ada bukti
pada perawatan jangka panjang bahwa
kontrol gula darah pada kisaran 80-120
gr/dl akan mengurangi tingkat morbiditas
dan mortalitas.7
Kadar CO2
Prinsip utama pengelolaan CO2 adalah
hiperventilasi dan hipokapnia dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan
dapat untuk memfasilitasi bedah saraf,
hiperventilasi dan vasokontriksi cerebral
dapat menyebabkan iskemia cerebral
terutama pada aliran darah ke otak yang
rendah, pada pasca opreasi hiperventilasi
profilaksis berkaitan dengan hasil yang
buruk sehingga dilarang digunakan tanpa
indikasi khusus.
Hipotermia
Efektifitas keadaan hipotermia dalam
menguraikan kerusakan otak setelah
terjadi trauma pada susunan saraf pusat
masih dalam penelitian lanjutan, tetapi
dikatakan kondisi optimal pada kisaran
32-34oC,
dalam literatur dikatakan
bahwa beberapa multicenter melaporkan
pada pasien yang datang dalam kondisi
hipotermi < 35oC lebih menguntungkan
dari pada dalam kondisi normotermi.7
Patofisiologi pada trauma kepala
Pengelolaan anestesi pada trauma kepala
memerlukan
pemahaman
tentang
19
patofiologinya :

________________________________________________________________________________
59
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Cek list untuk pemantauan tekanan intrakranial7


Item
Apakah tekanan yang relevant
untuk dikendalikan ?

Apakah CMRO2 terkendali ?

Apakah ada obat vasodilator


yang digunakan ?
Apakah ada lesi massa tidak
diketahuai ?

Komentar
Tekanan vena jugularis
Menghilangkan fleksi kepala atau rotasi leher ekstrim,
menghilangkan kompresi atau obstruksi dalam bentuk
apapun (kateter leher yang besar, prengkat fiksasi leher).
Tahanan jalan nafas : menghilangkan obstruksi, PEEP tinggi,
kurangi bronkospasme, terapi pneumothoraks
Pastikan PaO2 (60-300 mmHg)
Pastikan PaCO2 (35-40 mmHg)
Peningkatan TIK dapat menurunakan PaCO2 < 35 mmHg)
Meminimalkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan
Mengobati kejang, meminimalkansuhu (menjaga 3536.58C)
Meminimalkan atau menghilangkan anestesi volatile, N2O,
nitropruside, nitrogliserin. Ca chanel bloker
Darah, edema, N2O
Jika TIK, pertahankan PaCO2<35 sampai lesi didekompresi

Tabel 4. Faktor yang berpengaruh terhadap cerebral blood flow (CBF) 7


Faktor
MAP

Efek terhadap CBF


MAP CBF

PaCO2

PaCO2 CBF

PaO2

PaO2 CBF

CMRO2

CMRO2 CBF

Obat
Vasoaktif

Obat
vasodilator
(nitropruside,
nitrogliserin)
menyebabkan CBF

Komentar
MAP antara 70-150
CBF akan terjadi autiregulasi 50 ml/100 gms/min
MAP<50 CBF , MAP>150 akan meningkat seiring
MAP
PaCO2 < 25 berkaitan dengan sikemia cerebral
PaCO2 25-60 berkorelasi dengan CBF
PaCO2 < 60 mempunyai hubungan terbalik dengan
CBF
PaO2 60-300 tidak akan merubah CBF, bila >300 bisa
jadi CBF
Demam, gelisah, nyeri, kejang akan menaikkan
CMRO2 dan CBF
Obat anestesi inhalasi
semua menyebabkan
vasodilatasi, sehingga CBF (berkaitan dosis)
Semua obat intravena anestesi(kecuali ketamin)
menyebabkan vasokonstriktor cerebral, ketamin sgb
vasodilator cerebral

CPP = MAP-TIK1,3,7,9
Tabel 5 . Kriteria Intubasi11

GCS < 8
Pernafasan irreguler
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
Vital capacity < 15 ml/kgBB
PaO2 < 70 mmHg
PaCO2 > 50 mmHg

________________________________________________________________________________
60
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Efek sistemik trauma kepala

Excitotoxicity

Sistem
kardiovaskuler
biasanye
memberikan efek awal ditandai dengan
sympatomimetik yang meningkat :
hipertensi, takikardi, dan peningkatan
cardiac output. Faktor kehilangan darah
berperan dalam kejadian hipotensi,
penurunan cardiac output dan penurunan
CPP.

Pelepasan glutamat yang berlebihan bisa


terjadi pada trauma kepala sehingga
terjadi penumpukan konsentrasi pada
LCS, keadaan ini berakibat terjadinya
peningkatan
kadar
ion
kalsium
intraseluler dan memicu kerusakan dan
kematian sel saraf.

Sistem pernafasan sering memberikan


gambaran
gangguan
jalan
nafas,
hiperventilasi dan apneu serta kejadian
edema paru neurogenik. Kejadian akibat
lambung penuh dan terjadinya aspirasi
pneumonia juga perlu diwaspadai.
Pengaturan suhu juga terganggu, kejadian
hipertermi
dapat
mengakibatkan
peningkatan metabolisme dan semakin
meningkatkan kerusakan sistem saraf
pusat.
Perubahan
sirkulasi
metabolisme

cerebri

dan

Kejadian trauma kepala mengakibatkan


penurunan aliran darah ke kepala dan
menurunkan kadar oksigen untuk
kebutuhan metabolisme di cerebri. Pada
kejadian trauma yang diffus bisa sampai
menggangu sistem autoregulasi sehingga
akan semakain memperberat iskemia
cerebri.
Peningkatan tekanan intra kranial
Peningkatan tekanan intra kranial bisa
dipicu oleh pembengkakan otak oleh
karena penurunan tonus vasomotor dan
peningkatan volume. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial, bila tidak segera dikoreksi bisa
berlanjut menjadi hipertensi intrakranial
dan herniasi batang otak melalui foramen
magnum.

Proses inflamasi
Peningkatan sitokin sebagai respon dari
iskemia cerebri, interleukin 6 (IL-6) dan
tumor necrosis alpha akan lebih
meningkat seiring penurunan GCS pada
trauma kepala. Keadaan ini akan
merespon radikal bebas dan asam
arachidonat yang mengaktivasi adhesi
sehingga menyebabkan gangguan dalam
mikrosirkulasi dan memperberat efek
cedera sekunder otak.
Pengelolaan preoperatif
Pemberian anestesi pada pasien dengan
trauma kepala idealnya dimulai sejak di
UGD. Pastikan jalan nafas pasien baik,
ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan
koreksi hipotensi sistemik dilakukan
secara simultan bersamaan evaluasi
neurologis. Obsruksi jalan nafas dan
hipoventilasi sering terjadi, sekitar 70%
dari pasien tersebut dalam keadaan
hipoksemi, yang bisa diperburuk dengan
adanya kontusio pulmo, emboli lemak,
atau
edema
pulmo
neurogenik.
Pemberian oksigen harus diberikan pada
seluruh pasien dan dilakukan evaluasi
terhadap jalan nafas serta ventilasinya.
Seluruh pasien harus dipikirkan memiliki
trauma leher (sekitar 10% insiden) hingga
dinyatakan secara radiologis. Stabilisasi
in-line digunakan selama melakukan
tindakan terhadap jalan nafas untuk
menjaga kepala dalam posisi normal.
Pasien dengan hipoventilasi yang jelas,
tidak adanya reflek muntah, atau GCS <8
yang persisten membutuhkan intubasi
trakea dan hiperventilasi. Seluruh pasien

________________________________________________________________________________
61
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

harus
diawasi
perburukan.7,9,11,12

terhadap

adanya

menurunkan LCS, tingkat konsumsi


oksigen cerebral dan tekanan intrakranial

Manajemen perioperatif pada pasien


dengan trauma kepala akut, harus
mempertimbangkan
resiko
cedera
sekunder akibat iskemia serebral serta
cedera yang mempengaruhi sistem organ
selain otak. CBF biasanya berkurang di
awal dan kemudian secara bertahap
meningkat seiring dengan waktu. Faktorfaktor yang berkontribusi perburukan
pada pasien yang mengalami cedera
kepala, peningkatan intra cranial pressure
(ICP/TIK) dan MAP kurang dari 70 mm
Hg. Autoregulasi normal dari CBF sering
terganggu pada pasien dengan cedera
kepala akut, tetapi reaktivitas karbon
dioksida biasanya tidak terpengaruh.
Pengendalian peningkatan ICP dengan
manitol
atau
furosemide
juga
menunjukkan perbaikan pada beberapa
pasien yang dilakukan craniectomy.9,12
Hiperventilasi, meskipun efektif dalam
mengendalikan
ICP,
juga
dapat
berkontribusi dalam iskemia serebral
pada pasien yang mengalami cedera
kepala, hal ini menjadi rekomendasi
umum untuk menghindari hiperventilasi
kecuali jika diperlukan. Obat-obat sedasi
mungkin bermanfaat pada beberapa
pasien sebagai alat untuk mengontrol
hipertensi intrakranial ketika cara lain
yang lebih konservatif telah gagal. Pada
orang dewasa, hipotermia ringan pada
pasien dengan cedera kepala akut belum
terbukti memperbaiki hasil. Administrasi
salin hipertonik dan manitol dapat
mengurangi volume otak. Edema paru
neurogenik mungkin juga berkontribusi
pada disfungsi paru akut. 7,9,12, 18

Ketamin memiliki efek saraf antagonis


NMDA (N metil D aspartat), namun
dalam pengaturan cedera kepala akan
meningkatkan TIK, ketamin merupakan
kontra indikasi untuk induksi, ketamin
akan meningkatkan MAP pada orang
normal tetapi akan menurunkan MAP
pada pasien syok hipovolemik karena
terjadinya depresi myokard dan tidak
adanya efek simpatomimetiknya pada
kondisis ini.

Pada dosis tinggi semua obat akan


menurunkan produksi liquor cerebro
spinal (LCS), kecuali ketamin yang
meningkatkan LCS
Jika ventilasi
mempertahankan

terkontrol,
atau

fentanyl
sedikit

Dosis rendah obat anestesi lokal akan


menurunkan TIK, alirandarah serebral
laju
konsumsi
oksigen
cerebral
(CMRO2), sedangkan dosis induksi dapat
menyebabkan kejang dan meningkatkan
CMRO2.
Pasien dengan cedera otak mungkin
memerlukan anestesi untuk intervensi
bedah saraf seperti evakuasi hematoma,
craniectomy pada edema serebral, atau
stabilisasi tulang belakang. Pengelolaan
anestesi
meliputi
upaya
untuk
mengoptimalkan CPP, meminimalkan
terjadinya
iskemia
serebral,
dan
menghindari obat-obatan dan teknik yang
dapat
meningkatkan
ICP
serta
memberikan kondisi yang memadai bagi
ahli
bedah
saraf.
CPP,
jika
memungkinkan, dipertahankan di atas 70
mm Hg, dan hiperventilasi tidak
digunakan kecuali jika diperlukan
sebagai ukuran untuk mengontrol
kenaikan TIK. Selama evakuasi bedah
akut hematoma epidural atau subdural,
tekanan darah sistemik menurun drastis
pada saat bedah dekompresi dan
memerlukan resusitasi agresif. Pasien
dengan cedera kepala parah dapat
mengalami gangguan oksigenasi dan
ventilasi yang merumitkan periode
intraoperatif. Resusitasi cairan yang
memadai dan penggantiannya adalah hal
yang
penting.
Solusi
kristaloid

________________________________________________________________________________
62
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

hipertonik, meningkatkan tekanan plasma


osmotik
dan
dengan
demikian
mengurangi cairan dari ruangan yang
bersinggungan dengan otak. Penggunaan
cairan kristaloid hipotonik dihindari,
karena dapat menurunkan tekanan plasma
osmotik dan meningkatkan edema
serebral bahkan di otak normal. Cairan
yang mengandung glukosa harus
dihindari kecuali dinyatakan secara
khusus (misalnya, perlakuan terhadap
diagnosis-laboratorium
pada
hipoglikemia), dari kepedulian untuk
memperburuk cedera neuronal dalam
penetapan hyperglikemia.
Pemantauan hemodinamik pasien sangat
diperlukan
sehingga
pemasangan
monitoring dengan kateter arteri baik di
a. radialis atau a. dorsalis pedis sangat
diperlukan. Berbagai macam teknik
anestesi dianjurkan, tetapi hal ini
disesuaikan dengan kondisi dan status
hemodinamik pasien.19
Induksi Anestesi
Pasien dalam keadaan hemodinamis
stabil, induksi anestesi dengan induksi
obat-obatan intravena dan relaksan otot
non-depolarisasi
dapat
diterima.
Penggunaan fiberoptic intubasi atau
trakeostomi harus dipertimbangkan pada
pasien, ketika dipertimbangkan terdapat
kesulitan intubasi laryngoscopy secara
langsung, atau dapat memperburuk defisit
neurologis lebih lanjut (misalnya, patah
tulang belakang leher), atau sudah ada
bukti fraktur dasar tengkorak.
Rapid sequence induction (RSI)
RSI memungkinkan digunakan pada
pasien dengan hemodinamik yang stabil
dan ada resiko kemungkinan aspirasi
akibat lambung penuh. Resiko teknik ini
terjadinya kenaikan tekanan darah dan
TIK. Obat yang bisa digunakan dengan
oksigen 100 %, thiopental 3-4 mg/kg atau
propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholine

1,5 mg/kg. Pada pasien dengan


hemodinamik tidak stabil dosis obat
diturunkan atau bahkan tidak dipakai.
Succinylcholine
telah
terbukti
meningkatkan TIK, oleh kerena itu bila
tidak memungkinkan bisa diganti dengan
rocuronium 0,6-1 mg/kg.19
Induksi intravena
Pasien dengan hemodinamik stabil dan
kondisi lambung tidak penuh, teknik ini
merupakan pilihan. Thiopental atau
propofol dapat diberikan secara titrasi
untuk
meminimalkan
depresi
kardiovaskuler, relkasan non depolarisasi
dapat diberikan tanpa priming, fentanyl
1-4 mcg.kg iv dapat diberikan untuk
merespon pengaruh hemodinamik saat
intubasi, lidokain 1,5 mg/kg iv bisa
diberikan 90 detik sebelum intubasi, hal
ini dapat mencegah peningkatan TIK.
Nasogastric tube (NGT)
Pemasangan
NGT
dipertimbangkan
setelah intubasi dan bila dikuatirkan
adanya fraktur dasar tengkorak sebaiknya
pemasangan melalui mulut, pemsangan
ini untuk dekompresi isi lambung.
Pemeliharaan Anestesi
Pemeliharaan anestesi yang ideal adalah
dapat menurunkan TIK, dapat menjaga
pasokan oksigen dan mempunyai efek
brain protector. Pemeliharaan anestesi
bisa dengan obat intra vena atau volatile
dosis rendah, dengan mengingat bahwa
tujuannya adalah untuk mengoptimalkan
CPP dan mencegah peningkatan TIK
(lihat tabel 7).
Nitrous oksida harus dihindari karena
resiko dan kemungkinan penambahan
cedera pneumocephalus non-neurologis
atau pneumotoraks. Sevofluran dosis
rendah dapat meminimalisir kerusakan
auto-regulasi, meskipun isoflurane dosis
rendah juga merupakan pilihan yang

________________________________________________________________________________
63
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

baik. Jika edema otak akut berkembang,


segera perbaiki beberapa hal seperti
hiperkapnia,
hypoxemia,
hipertensi
sistemik, dan obstruksi vena harus
dipertimbangkan dan diperbaiki jika ada.
Pemantauan tekanan darah pada sistemik
dengan arteri line dapat membantu,
sedangkan pemasangan CVP juga dapat
dipertimbangkan
Muscle relaxan
Relaksasi otot yang cukup dapat
memfasilitasi
ventilasi
mekanis,
menghilangkan reflek batuk dan dapat
menurunkan TIK.
Vecuronium
Efek minimal bahkan tidak berpengaruh
terhadap TIK, tekanan darah, heart rate
dan efektif pada cedera kepala. Dosis
awal 0,08-0,1 mg/kg diikuti dengan infus
syringe pump 1-1,7 mcg/kg/menit.
Pankuronium
Obat ini tidak menghasilkan peningkatan
ICP tetapi dapat menyebabkan hipertensi
dan takikardi karena efek vagolytic,
sehingga meningkatkan risiko pasien.
Atracurium
Tidak berpengaruh pada ICP, onset cepat
dan durasi singkat tindakan, dosis bolus
0,5 sampai 0,6 mg / kg diikuti dengan
infus kontinu pada tingkat 4 sampai 10
mcg/kg/menit
diberikan
dengan
pemantauan blokade neuromuskuler.
Laundanosin merupakan hasil metabolit
yang dapat merangsang terjadinya
kejang.
Rocuronium
Berguna untuk RSI karena onset yang
cepat kerjanya dan kurangnya efek pada
dinamika intrakranial.

Ventilasi mekanik
Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk
menjaga oksigenasi dan mempertahankan
PaCO2 sekitar 35, penyesuaian FiO2
dengan target PaO2 lebih dari 100
mmHg. Pada perlakuan khusus dengan
edema pulmonum dapat diberikan dengan
PEEP yang memadai. PEEP yang
berlebihan
dapat
menyebabkan
peningkatan
tekanan
intrathorakal
sehingga mengganggu sistem vena
cerebral dan kemingkinan peningkatan
TIK semakin besar.
Sistem sirkulasi
CPP harus dipertahankan antara 60 110
mmHg.
Pemantauan
langsung
hemodinamik dapat melalui kateter arteri.
Bila kondisi ventilasi dan oksigenasi
baik, kecukupan cairan pasien dalam
kondisi
hipotensi,
pertimbangan
pemberian inotropik atau vasopressor
dapat dibenarkan. Fenilephrin 0.1-0.5
mcg/kg/mnt
dan
dopamin
1-10
mcg/kg/mnt adalah obat yang dianjurkan.
Pemberian bolus dan peningkatan
tekanan darah secara tiba-tiba tidak
dianjurkan, karena dapat meningkatkan
TIK terutama. Kejadian hipertensi harus
disikapi
hati-hati
kemungkinan
mencerminkan efek kompensasi sistem
saraf simpatik akibat TIK meningkat dan
kompresi batang otak (refleks Cushing).
Peningkatan TIK Intraoperatif
Posisi pasien dengan kepala sedikit
dielevasikan 10-30o dan pastikan bahwa
sistem vena pada daerah leher baik tanpa
ada sumbatan.
Ventilasi pertahankan PaCO2 pada
kisaran 35 mmHg, hiperventilasi
sebaiknya dihindari bila tidak ada
monitoring yang memadai Tekanan darah
bila sistolik < 90 mmHg atau > 160
mmHg sebaiknya dikoreksi.

________________________________________________________________________________
64
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Diuretik
bila
diperlukan
dapat
menggunakan manitol dan kombinasi
dengan furosemide 0.1 - 0.2 mg bisa
diberikan bila ada resiko kelainan jantung

dan berikan 15 menit sebelum manitol.


Pemantauan elektrolit, kecukupan cairan
dengan CVP dan hemodinamik dengan
kateter
arteri
sangat
diperlukan.

Pemantauan
ventilasi,
oksigenasi,
kedalaman anestesi dan pemberian
diuretik terakhir diperhatikan. Bila otak
tetap menonjol dapat diberikan thiopental
atau pentobarbital dan hiperventilasi
dengan monitoring SjO2 secara ketat.

Bila ini kembali gagal dipertimbangkan


untuk dekompresi dan ventrikulostomi.
Monitoring 19
Pemantauan dalam operasi bedah saraf
sangat penting diantaranya pemantauan

Tabel 6. Obat indukasi intra vena dan pengaruh terhadap tekanan intrakranial, proses lanjutan, tekanan darah7

Obat

ICP

CMRO2

CBF

CSFproda

MAP

Etomidate

Propofol

Thiopental

Midazolam

Fentanyl

ketamin

?
(reabsorbsi)

Lokal
anestesi

Catatan: Bila dua panah disajikan, panah pertama menunjukkan efek dosis obat yang rendah dan panah kedua
meunjukkan efek dosis obat yang tinggi
Tabel 7. Perbandingan efek agen anestesi pada fisiologi cerebral.14

Produksi
CSS

Absorp
si CSS

Agen

CMR

ADO

CBV

TIK

Halothan
Isofluran
Desfluran
Sevofluran
Nitrogen
oksida
Barbiturat
Etomidate
Propofol
Benzodiazepi
n
Ketamin
Opioid
Lidokain

Keterangan : , peningkatan; , penurunan; , sedikit atau tidak berubah; ?, tidak diketahui; CMR, cerebral
metabolic rate; ADO, aliran darah otak; CSS, cairan serebrospinal; CBV, volume darah serebral; TIK,
tekanan intrakranial.

________________________________________________________________________________
65
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

standar tekanan darah (kateter arteri),


irama jantung (EKG), heart rate, suhu,
SpO2, End Tidal CO2, urine output,
CVP. Laboratorium analisa gas darah
(AGD), elektrolit, glukosa, osmolaritas
serum darah secara berkala. Bila
diperlukan pemantauan emboli udara,
EEG, TCD (trans Cranial dopler), TIK,
SjO2. SjO2 memberikan gambaran
mengenai keseimbangan antara pasokan
oksigen cerebral dan kebutuhan untuk
metabolisme. Bila < 50 % dalam waktu >
15
menit
memberikan
gambaran
prognosis yang buruk.
Proteksi cerebral
Hipotermia antara 33 35oC dapat
memberikan
perlindungan
otak,
mekanisme ini termasuk penurunan
metabolisme,
excitotoxicity,
pembentukan
radikal
bebas,
dan
pembentukan
edema.
Perlakuan
hipotermi pada pasca operasi masih
kontroversial.
Periode Pasca Operasi
Keputusan
saat
mengekstubasi
endotrakea saat akhir pembedahan
tergantung pada berat traumanya, adanya
trauma abdomen atau thoraks yang terjadi
bersamaan,
penyakit
yang
ada
sebelumnya, serta tingkat kesadaran
preoperatif. Pada pasien muda yang sadar
saat preoperatif bisa diekstubasi setelah
pengangkatan lesi, namun pada pasien
dengan trauma otak diffus masih
dipertahankan intubasinya. Selanjutnya,
hipertensi intrakranial yang persisten
membutuhkan agen sedasi, paralisis,
hiperventilasi dan mungkin fenobarbital
pada postoperatifnya.9,12,19

Hematome
Keadaan ini seharusnys telah melewati
skrining sejak awal melalui pemeriksaan
faktor pembekuan darah, trombosit lebih
dari 100 000, protombine time, partial
tromboplastin international normalized
ratio (INR). Pada gambaran klinis tidak
menunjukkan secara spesifik, misalnya
menunjukkan
tanda-tanda
fokal
hemipharesis, aphasia, kelainan saraf
cranial, kejang dan perubahan tanda vital
seperti
trias
Cushing
(hipertensi,
bradikardi dan depresi pernafasan) yang
mencerminkan peningkatan tekanan intra
kranial.
Terlepas
dari
perlunya
monitoring CT Scan atau diooperasi
ulang, ada langkah awal yang perlu
dilakukan, misalnya pemberian manitol
antara 1 1,5 g/kg dan dilanjutkan 0,5
g/kg tiap 4 jam. Pemberian manitol
memerlukan pemantauan BGA dan
osmolaritas cairan. 17
Edema cerebri
Keadaan ini mungkin disebabkan karena
faktor pengelolaan cairan maupun
komplikasi operasi. Edema cerebri pada
prinsipnya akan menambah volume
intrakranial sehingga akan menyebabkan
TIK yang meningkat. Pemberian steroid
dapat memberikan manfaat pada kasus
neoplastik. Sedangkan bila karena trauma
pemberian manitol lebih memberikan
manfaat dibandingkan dengan steroid.
Pneumoenchephalus
Kondisi menumpuknya udara didalam
ruang kepala sebagai akibat craniotomy
atau penutupan tulang tengkorak yang
kurang baik.

Perawatan pasien pasca craniotomi


memerlukan perhatian yang cemat dari
ahli anestesi. Beberapa komplikasi yang
sering ditemukan misalnya: 17
________________________________________________________________________________
66
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hydrochepalus
Infeksi selaput otak
Pada sistem metabolik bisa terjadi
gangguan elektrolit, hiponatremi atau
hipernatremi.
Periode pasca operasi pada hakekatnya
sama dalam memonitoring pasien tanpa
operasi di bangsal perawatan resiko
tinggi maupun di ICU. Beberapa hal yang
dapat dilakukan adalah :
Oksigenasi
Pasca trauma cerebri maupun pasca
bedah craniotomi kejadian iskemia
sekunder sering terjadi, oleh karena itu
pengelolaan hipoksia dengan oksigenasi
sangat diperlukan. Keadaan pasca
resusitasi diusahakan PaO2 tidak kurang
dari 60 mmHg.1
Pengelolaan cairan untuk pengendali
hipotesi
Kedaaan hipotensi seperti diatas telah
diterangkan sangat berperan untuk
menunjang terjadinya hipoksia sel-sel
otak, oleh karena itu harus dijaga dengan
baik. Pengelolaan hipotensi harus
mencakup tidak hanya penggantian
cairan tetapi juga diidentifikasi faktor
penyebabnya.1,7
Ventilasi dan monitoring PaCO2 dan
evaluasi efek tekanan intrathorak
Pada pasien dengan riwayat trauma
kepala atau dalam kondisi koma, tidak
ada jaminan untuk jalan nafas, oleh
karena itu ventilasi harus terjamin dengan
baik, hal ini bisa dilakukan dengan
pemasangan endotracheal tube dan
ventilator mekanik. Keadaan ini juga
diusahakan untuk mencegah hiperkapnia,
kondisi yang direkomendasikan antara
PaCO2 30-45 mmHg. Pemberian PEEP
yang tinggi juga dapat mengganggu vena
balik sehingga akan meningkatkan TIK,

demikian juga pada pemasangan central


venous
pressure
(CVP)
direkomendasikan
melalui
vena
7
subclavia.
Sedasi,
analgesi
neuromuskuler

dan

blok

Pasien dengan menggunakan ventilator


mekanik memerlukan kenyamanan agar
tidak terjadi gejolak hemodinamik,
peningkatan work of brething (WOB)
yang kesemuanya dapat meningkatkan
TIK. Sedasi dapat diberikan propofol 0,1
0,5 mg /kg/jam, midazolam 1-6
mg/jam. Anelgetik dapat diberikan
morphin dengan dosis rendah dalam
titrasi, sedangkan blok neuromuskuler
dapat
diberikan
golongan
nondepolarisasi.7
Elevasi kepala
Secara tradisional pasien diposisikan
dalam
elevasi
30o,
dan
akan
menurunakan TIK berkisar 1-2 mmHg.
Kondisi ini secara umum juga akan
menurunkan CPP, oleh karena itu
pemberian
vassopresor
juga
7
direkomendasikan.
Ventriculostomi
untuk
ventrikeler eksternal

drainase

Diuretik osmotik
Loop diuretik
Furosemide efektif digunakan bila
pemberian
tunggal
manitol
tidak
memberikan
manfaat
yang
diinginkan.1,11 Dosis furosemide dapat
diberikan 0,5-1 mg/kgBB.
Pengendalian kejang
Kejang dapat dikendalikan dengan
pemberian phenitoin 5-20 mg/kg, atau
diazepam 0,3 mg/kg titrasi pelan-pelan,
barbiturat dan pentotal.

________________________________________________________________________________
67
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Steroid
Pada
cedera
otak,
pemberian
kortikosteroid di Amerika sudah tidak
dianjurkan.7
Vasopressor
Untuk menjaga CPP dapat diberikan
vassopressor pada kondisi kebutuhan
cairan telah terpenuhi, yang sering
digunakan
adalah
norephinephrin,
dopamin, adrenalin, dobutamin.7
Kontrol suhu
Kontrol gula darah
Rehabilitasi
Hendaknya perawatan rehabilitasi untuk
menunjung kualitas hidup seseorang
pasca trauma susunan saraf pusat dimulai
sejak awal di ICU atau lebih dini. Tujuan
dari rehabilitasi adalah untuk menunjang
kemampuan fisik secara maksimal,
dukungan psikologis, fungsi sosial,
kemampuan berkarya, rekreasi, dan
ekonomi.1
Ringkasan
Cedera kepala merupakan problematika
yang komplek, karena hal ini dipengaruhi
keadaan
saat
cedera
dan
akan
mempengaruhi keadaan setelah cedera.
Oleh karena itu penanganan yang tepat
sangat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang.
Penanganan
yang
tepat
dengan
mempertimbangkan penanganan pertama,
sistem transportasi dan penanganan
ditingkat rumah sakit. Kejadian setelah
trauma merupakan komplikasi yang
sering terjadi dan menyebabkan keadaan
menjadi
lebih
berat,
misalnya
penanganan yang kurang baik dan
iskemia sekunder. Penanganan psikologis
sangat diperlukan untuk penderita pasca
cedera kepala maupun keluarga dan

orang-orang
terdekat,
hal
ini
dimungkinkan timbulnya penurunan
kualitas hidup seseorang pasca cedera
kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Sutcliffe AJ. Traumatic Brain Injury: Critical


Care Management. In : Marshall LF. Section
D: Neurological Injuries And Considerations.
In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB.
Trauma Critical Care. Informa healt care.
New York. Volume 2.2007 ; 201-94.
2. Retnaningsih. Cedera Kepala Traumatik.
www.kabarindonesia.com. 28-Apr-2008.
3. Picton
P,
Deaki CD,
Jandia
R.
Neurophysiology Review. In : Wilson WC,
Grande CM, Hoyt DB. Trauma Critical Care..
Informa healt care. New York. Volume 2.
2007; 1-19.
4. Kleinman W, Mikhail M. Section III.
Regional Anesthesia & Pain Management,
Chapter 16. Spinal, Epidural, & Caudal
Blocks. In : Morgan GE, Murray Michael J.
Clinical anesthesiology. New York : McGraw
Hill; 2006; 289-323.
5. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
management of traumatic brain injury. Int J
Crit Illn Inj Sci 2011;1:27-35
6. Levin D, Bachtis C, Acosta JA, Jacoby IJ.
Trauma Scoring and Triage. In : Wilson WC,
Grande CM, Hoyt DB. Trauma emergency
resuscitation perioperative anesthesia surgical
management. Informa healt care. New York. .
volume 1.2007; 59-79
7. Atkins GG, Drummond JC. Traumatic Brain
Injury. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt
DB. Trauma emergency resuscitation
perioperative
anesthesia
surgical
management. Informa healt care. New York. .
volume 1.2007;433-444.
8. Christensen EF, Deakin CD, Vilke GM,
Lippert FK. Prehospital Care and Trauma
Systems. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt
DB. Trauma emergency resuscitation
perioperative
anesthesia
surgical
management. Informa healt care. New York. .
volume 1.2007; 43-59.
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Section IV. Physiology, Pathophysiology, &
Anesthetic Management. Chapter 26.
Anesthesia for Neurosurgery , In Clinical
Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;631-646.
10. Abrar Ahad Wani AA, Ramzan AU, Nizami
F, Malik NK, Kirmani AR. Controversy in
use of mannitol in head injury. Indian Journal

________________________________________________________________________________
68
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

11.
12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

of Neurotrauma (IJNT) 2008, Vol. 5, No. 1,


pp. 11-13.
Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Saga
olahcitra, Bandung, 2008
Pasternak JJ, William L Lanier WJ. Chapter
10a Diseases Affecting The Brain. In :
Hines & Marschall: Stoelting's Anesthesia
and Co-Existing Disease, 5th ed,. Churchill
Livingstone, An Imprint of Elsevier,
Philadelpia, 2008.
Traill R. Acute Head Injuries: Anaesthetic
Considerations. Australasian anaesthesia .
Australia dan New zeland;2007.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Section IV. Physiology, Pathophysiology, &
Anesthetic Management. Chapter 25.
Neurophysiology & Anesthesia, In: Clinical
Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;614-630.
Trauma
Brain
Injury.
http://en.wikipedia.org/wiki/Traumatic_brain
_injury
Guha A. Management of traumatic brain
injury: some current evidence and
applications. Postgrad Med J 2004;80:650
653.
Jea A, Razack N. PART VII : Neurosurgical
Complications.
Complications
After
Craniotomy. In : Cohn SM. Complications in
Surgery and Trauma. Informa Healthcare
USA. New York. 2007; 483-490.
Bahlaoul M, Anis N, Kallel H, Khabir A.
Neurogenic Pulmonary Edema Due to
Traumatic Brain Injury: Evidence of Cardiac
Dysfunction. American Journal of Critical
Care. 2006;15(5):462-470.
Takefumi Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic
Management : Anesthetic Management of
Head Trauma. In : Newfield, Philippa,
Cottrell,
James
E.
Handbook
of
Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2007.

________________________________________________________________________________
69
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

You might also like