You are on page 1of 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saraf Perifer


Neuron merupakan sel struktural dan fungsional pada sistem saraf. Neuron
merespon stimulus saraf dan menyalurkan stimulus di sepanjang sel. Badan sel dari
neron disebut dengn soma.2 Sebuah neuron terdiri dari (gambar 1):6
a. Badan sel saraf : Merupakan masa sitoplasma yang didalamnya terdapat
nukleus. Bagian luar dari badan sel saraf dibatasi oleh membrane plasma.
b. Dendrit : Sel saraf memiliki lima hingga tujuh cabang yang disebut dengan
dendrit yang meluas hingga keluar dari badan sel dan menyebar.
c. Axon : Neuron memiliki serabut axon yang berasal axon hillock dari badan
saraf. Axon hillock merupakan bagian yang menebal pada badan saraf.
d. Neuron yang bermielin : Diluar sistem saraf pusat, axon dilapisi oleh
selubung mielin.
e. Epineurium : Epineurium merupkan bagian terluar yang melapisi saraf
perifer. Epineurium terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang menyuplai
darah pada saraf perifer.
f. Serabut saraf

Gambar 1. Anatomi saraf perifer10

2.2 Nervus Fasialis


Nervus fasialis merupakan saraf kranial ketujuh dengan tugas utama untuk
mempersarafi otot - otot wajah, persarafan 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan
sekresi beberapa kelenjar seperti kelenjar lakrimalis, submandibularis, sublingualis,
dan palatina (gambar 2). 2
Nervus fasialis terdiri dari saraf motoris dan sensoris yang lebih dienal dengan
nama saraf intermedius.10
Nervus fasialis mengandung 4 jenis serabut, yaitu:2
a. Serabut somato-sensorik yang menghantarkan rasa nyeri,suhu dan sensasi
raba dari sebagian kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
b. Serabut visero-sensorik yang bertindak sebagai reseptor rasa pada 2/3
anterior lidah.
c. Serabut visero-motorik (parasimpatik) yang berasal dari nucleus salivarius
superior. Serabut saraf ini mempersarafi kelenjar lakrimal, rongga hidung, kelenjar
submandibula dan kelenjar sublingual.
d. Serabut somato-mototrik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah,
stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral tegmentum
pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan dari arah
sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus vestibulokoklearis.12
Saraf intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis dan nervus
vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis
berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam meatus internus, nervus
fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus vestibulokoklearis.12
Nevus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke
ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis keluar dari cranium
melalui foramen stilomastoideus. Dari foramen stilomastoideus, serabut motorik
menyebar ke wajah dan beberapa melewati kelenjar parotis.12

Gambar 2. Nevus fasialis2

Nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:12


a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi
muskulus

aurikularis

anterior

dan

superior,

venter

frontalis

muskulus

oksipitofrontalis, muskulus orbikularis okuli dan muskulus corrugator supercilii.


b.

Ramus zigomatikus muncul dari pinggir anterior glandula dan

mempersarafi muskulus orbikularis okuli.


c. Ramus bukalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah duktus
parotideus dan mempersarafi muskulus buksinator dan otot otot bibir atas serta
nares.
d.

Ramus mandibularis muncul dari pinggir anterior glandula dan

mempersarafi otot otot bibir bawah.

e. Ramus servikalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan
di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini
dapat menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus depressor
anguli oris.

2.3 Bells palsy


2.3.1 Pengertian Bells palsy
Bells palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah yang paling umum terjadi
yang disebabkan oleh inflamasi pada saraf fasialis. Adanya inflamasi menyebabkan
saraf membengkak dan mencegah saraf melewati sinyal antara otak dan otot-otot
wajah.13
Bells palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus fasialis perifer yang bersifat
unilateral dengan penyebab yang tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai
kelainan neurologi lainnya.13

2.3.2 Etilogi
Penyebab Bells palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan. Pada
masa lalu, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagai satu-satunya
penyebab Bells palsy. Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab
Bells palsy adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan
kongenital.5,6,7
Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum dapat menyebabkan
kompresi, iskemi, dan demielinasi axon serta terganggunya pasokan darah pada saraf
dianggap dapat menyebabkan Bells palsy.5
Pada 1972 Mc Cormick pertama kali mengemukakan bahwa Herpes Simplex
Virus (HSV) bertanggung jawab dalam menyebabkan kelumpuhan fasial idiopatik.
Teori ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel,
kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion genikulatum. Sejak saat itu, sering
dilakukan autopsy pada pasien Bells palsy dan hasilnya mengarah kepada
terdapatnya HSV di ganglion genikulatum pada pasien Bells palsy. Diduga HSV

berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion. Sehingga pada saat
terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak selubung mielin. 6,7
Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital sangat
jarang ditemukan. Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran misalnya
pada riwayat persalinan yang sulit.6
Beberapa literatur juga melaporkan tindakan kedokteran gigi dapat
menyebabkan Bells palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan
Bells palsy, yaitu:5,14,15
a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi,
dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bells palsy) yang umumnya bersifat
sementara. Paralisis dapat terjadi secara segera ataupun lambat, berdasarkan waktu
penyuntikan hingga onset dari gejala.
Paralisis yang terjadi secara segera muncul dalam hitungan menit setelah
penyuntikan dan akan sembuh dalam waktu 3 jam ataupun kurang. Paralisis dapat
muncul akibat anestesi pada cabang nervus fasialis yang diakibatkan anatomi saraf
yang abnormal seperti kelainan kongenital seperti gagalnya kelenjar parotis untuk
menutupi/membalut nervus fasialis dan

cabangnya sehingga meningkatkan

kemungkinan untuk terpapar bahan anastesi lokal secara langsung.


Paralisis yang terjadi secara lambat terjadi beberapa jam hingga beberapa hari
setelah dari penyuntikan anestesi. Terdapat tiga hipotesis yang dikemukakan untuk
menjelaskan bagaimana paralisis dapat terjadi, pertama bahan anestesi lokal ataupun
sisanya merangsang plexus simpatis yang berhubungan dengan arteri karotis eksterna
(gambar 3). Dari arteri karotis eksterna, serabut dari plexus tersebut berlanjut ke arteri
stylomastoid hingga masuk ke kelenjar parotis. Ransangan dari cabang stylomastoid
simpatis menyebabkan reflesks spasme yang terlambat dari vasa nervorum nervus
fasialis yang mengakibatkan iskemik neuritis dan oedema sekunder.
Hipotesis kedua mengemukakan bahwa tindakan mekanis dari jarum pada
penyuntikan dapat menyebabkan stimulasi dari plexus simpatis yang berhubungan
dengan arteri karotis eksterna. Dan hipotesis terakhir adalah reaktivasi virus yang
bersifat laten akibat trauma yang terjadi pada saat prosedur.

Gambar 3. Arah yang memungkinkan untuk bahan anatesi lokal


masuk ke glandula parotis

Hipotesis kedua adalah tindakan mekanis dari jarum penyuntikan anestesi


dapat menimbulkan rangsanan pada plexus simpatis yang berhubungan dengan arteri
karotis eksterna. Dan hipotesis terakhir adalah reaktivasi dari virus yang laten akibat
dari trauma prosedur anestesi lokal.
b. Adanya sumber infeksi di daerah mulut seperti radang parotis.
c. Trauma pada saat operasi sendi temporo mandibular, terjadi trauma pada
bagian kondilus mandibular akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis pada
bagian atas.
d. Trauma ketika dilakukan penyingkiran tumor glandula parotis yang
dikarenakan dari terputusnya nervus fasialis dimana terjadi gangguan pada pleksus
saraf fasialis bagian bawah.
e. Fraktur pada ramus mandibular yang dapat mengakibatkan putusnya saraf
fasialis.

2.3.3 Gambaran Klinis


Bells palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot
wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan dan
dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher ataupun
mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah beberapa hari dan dapat mengawali
terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah
beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap.16 Temuan
klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat menutup mata dan
jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata memutar ke atas (Bells
phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat
(gambar 4). Gejala lain Bells palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah yang terkena,
terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga mulut dapat
menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi rasa pada
2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal serta
hiperakusis.16,17

Gambar 4. Gambaran klinis Bells palsy.6

Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda.
Tanda dan gejala klinis pada Bells palsy berdasarkan lokasi lesinya (gambar 5):2
a. Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis, trauma) :
Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara gigi dan gusi,

sensasi pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup
pada sisi yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus
(gambar 5: nomor 4).
b. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan
gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus, ditambah dengan
hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi
saliva akibat terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis (gambar 5: nomor
3).
c. Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam
kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga (gambar 5: nomor 2).
d. Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda dan gejala
klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya
tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulokoklearis (gambar 5: nomor 1).

Gambar 5. Lokasi lesi Bells palsy.2

Derajat keparahan paralisis wajah dapat dinilai dengan sistem grading. Selain
untuk menentukan derajat keparahan, sistem grading juga digunakan untuk menilai
progresivitas paralisis fasialis dan untuk membandingkan hasil dari pengobatan yang
dilakukan. Sistem grading yang dapat digunakan adalah sistem grading yang
dikembangkan oleh House dan Brackmann.6,18
Tabel 1. House Brackmann Facial grading system6
Grade

Deskripsi

Karakteristik

Normal

Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis

II

Ringan

Deformitas ringan, synkinesis ringan, dahi

berfungsi normal, sedikit asimetri


III

Sedang

Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup


dengan baik, asimetri, Bells phenomenon
muncul

IV

Sedang

Kelemahan wajah jelas terlihat, terlihat


synkinesis, dahi tidak dapat digerakkan

Berat

Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak


dapat menutup mata

VI

Total

Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak


ada gerakan

2.3.4 Diagnosis
Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bells palsy adalah
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset,
durasi, perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri serta gejala lain yang menyertai,
penting untuk ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya.
Bells palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya
pada satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 hari dan maksimal dalam 3
minggu kurang.10
Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan
penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini akan
ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang dilakukan
dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut:6
a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator
b. Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter

c. Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot untuk


tertarik pada sudut mulut
d. Menguji pengecapan
e. Pasien diminta untuk meniupkan udara, menahan udara didalam mulut dan
bersiul
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka
suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis
lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang terkena.21
Pada umumnya pasien tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium, namun
pasien yang mengeluhkan paralisis yang persisten tanpa perbaikan yang signifikan
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan, seperti:9
a. Computed tomography (CT) atau MRI diindikasikan pada pasien yang tidak
mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan mengalami paralisis wajah, hilangnya
pendengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada anggota
gerak atau gangguan sensorik.
b. Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan pendengaran,
maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
c. Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala keterlibatan
penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah lebih dari 4 minggu.

2.3.5 Diagnosis Banding


Terdapat beberapa penyakit yang juga memiliki gejala paralisis fasialis yang
menyerupai dengan Bells palsy, namun juga memiliki gejala yang dapat dijadikan
pembeda. Penyakit penyakit tersebut adalah:19,20,21
a. Lyme disease

Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat
unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.
b. Ramsay Hunt Syndrome
Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini memiliki
prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral juga
ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulokoklearis sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
c. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga
dan demam.
d. Sarcoidosis
Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis,
namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe
hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.

2.3.6 Penatalaksanaan
Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak
mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84% mengalami
perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak mengalami
kesembuhan sehingga diperlukan perawatan.22
Penatalaksanaan Bells palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya
yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bells palsy dapat dilakukan
dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan.6,7
Terapi farmakologis yang digunakan pada pasien Bells palsy adalah
kortikosteroid dan antivirus. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa sakit,
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di
kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.
Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70

mg) adalah 1 mg per kg berat badan per hari peroral selama enam hari diikuti empat
hari tappering off.23
Penggunaan anti virus pada pasien Bells palsy didasari oleh dugaan virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi dari virus
tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus yang paling
sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan dilakukan kombinasi
pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan anti virus masih diragukan,
sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi tersebut disimpulkan bahwa tidak
terdapat manfaat signifikan dari antivirus dibandingkan placebo pada pengobatan
Bells palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada
tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon dan
asiklovir.23,24
Pada pasien Bells palsy yang etiologinya diduga akibat dari komplikasi
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, perlu dilakukan kontrol terhadap kadar
gula darah. Pasien yang kadar gula darahnya terkontrol memiliki prognosis yang
lebih baik.25
Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi
panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk
diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada pasien
Bells palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur. Akupuntur
dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi perawatan Bells
palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melihat efisiensinya.10
Bedah dekompresi untuk Bells palsy diajukan untuk dilakuakn karena
hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi patologis
akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan dapat mengurangi
oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan fossa tengah dan lebih
dibaik dilakuakan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut saraf tidak dapat
diperbaiki.6
Penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi menjadi dua bagian yaitu
manajemen primer dan manajemen sekunder. Manajemen primer terdiri dari

perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau transposisi saraf. Sedangkan
manajemen sekunder bertujuan untuk mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan
estetis wajah.6,26
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan primer
adalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct neurorraphy diindikasikan pada
laserasi benda tajam yang melibatkan nervus fasial. Prosedur ini diharapkan dapat
memberikan pengembalian fungsi nervus fasial dengan baik. Prosedur graft
neurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf langsung, yang membedakan adalah
dibutuhkannya anastomosis tambahan untuk setiap cabang saraf yang dirawat. Donor
yang umumnya digunakan untuk prosedur graft neurorrhaphy adalah great auricular
nerve, sural nerve, dan antebrachial cutaneous nerve.6,26
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan
dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya
membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari pembedahan
dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat kembali sudut mulut
yang turun.6,26
Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot
wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar
benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak
mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan
bawah).7

2.3.7 Prognosis
Sekitar 80-90% pasien Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan 5060% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetris muskulus
fasialis presisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat
rekuren.10,27

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus yang memiliki
hasil CT Scan dengan kontras jelas.7,10
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.7

2.3.8 Manifestasi Bells palsy pada Rongga Mulut


Bells palsy dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan rongga
mulut. Kerusakan pada saraf dapat menyebabkan produksi saliva menjadi berkurang.
Pasien dengan produksi saliva yang berkurang dapat mengalami peningkatan resiko
karies. Akibat peningkatan resiko karies pada pasien, maka dokter gigi dapat
membuat pertimbangan strategi seperti aplikasi fluoride varnish dan atau peresepan
terapi fluoride yang dapat dilakukan di rumah.9,28
Pasien dapat mengalami angular cheilitis sebagai akibat kehilangan kekuatan
otot dan drooling yang berat. Kehilangan kekuatan otot dapat mengakibatkan pasien
kehilangan kemampuan untuk mengunyah makanan. Makanan dapat terperangkap
dalam vestibulum pipi karena keterbatasan otot buksinator yang pada normalnya
berfungsi menggerakkan makanan pada dataran oklusal. Hal ini dapat meningkatkan
akumulasi biofilm.29
Dokter gigi perlu menekankan pentingnya menyikat gigi dua kali sehari dan
penggunaan dental floss pada pasien dengan Bells palsy. Dapat dilakukan pula
pemberian obat kumur. Jika pemakaian dental floss dirasa sulit digunakan, dapat
digunakan sikat interdental. Pasien juga perlu berkumur setelah makan untuk
membersihkan sisa makanan yang terperangkap dalam vestibulum.28
Pada pelaksanaan tindakan dental penggunaan pelindung mata harus
digunakan, karena otot sekitar mata yang terkena dampak Bells palsy akan
mengalami kesulitan untuk menutup kelopak mata pada sisi yang terkena.9 Mata

kering dan air mata yang berlebihan merupakan hal yang normal pada pasien Bells
palsy. Mata kering dapat diberikan obat tetes mata untuk melembabkan mata.28

2.2.9 Kualitas hidup pasien Bells palsy


Kelumpuhan

pada

wajah

yang

dialami

pasien

Bells

palsy

dapat

mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari sehingga akan memengaruhi


kualitas hidup. Pada penelitian yang dilakukan Kahn (2001) melaporkan bahwa
pasien facial palsy mendapat pengaruh kualitas hidup akibat facial palsy yang
dialaminya. Beberapa hal yang sangat signifikan dilaporkan setelah mengalami facial
palsy adalah pasien cenderung bersikap berbeda pada lingkungannya, diperlakukan
berbeda oleh lingkungan, membatasi diri dari aktivitas sosial dan kesulitan untuk
makan. Kelumpuhan pada satu sisi wajah mengakibatkan wajah pasien akan terlihat
asimetris dan menyebabkan rasa malu pada diri pasien sehingga pasien cenderung
menarik diri dari lingkungannya.30

2.4 Pengetahuan
2.4.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Pengindraan terjadi melalui panca
indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan
indra penglihatan.31
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikam formal. Pengetahuan sangat
erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan
yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. 32

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pegetahuan


Faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan manusia dibedakan menjadi
dua, yaitu:32
a. Faktor Internal
1. Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang
akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam
pembangunan, pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang maka akan
semakin mudah menerima informasi yang pada akhirnya makin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya.
2. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan seseorang dapat memberikan seseorang pengalaman
dan pengetahuan baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
3. Umur
Pertamabahan umur akan menyebabkan terjadinya perubahan aspek fisik dan
psikologis. Semakin bertambah umur seseorang maka tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
b. Faktor Eksternal
1. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan suau kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang dan
kelompok.

2. Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari
sikap seseorang dalam menerima informasi.

2.4.3 Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan yang cukup didalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan,
32

yaitu:

a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebahai mengingat suatu materi yang tealah dipelajari
sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut
secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang tealah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau dengan kata lain,
sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah
ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan untutk melakukan penilaian terhadap suatu materi
atau objek. Penilaian didasarkan dengan suatu kriteria yang ada.

2.4.4 Kriteria Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan
menggunakan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:33
a. Baik : Hasil presentase 76% - 100%

b. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%


c. Kurang : Hasil presentase <56%

2.4 Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep

Bells palsy

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Definisi Bells palsy


Etiologi
Gambaran klinis
Diagnosis
Diagnosis banding
Penatalaksanaan
Manifestasi Bells palsy
pada rongga mulut

Tingkat pengetahuan
mahasiswa
kepaniteraan klinik

You might also like