Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
aurikularis
anterior
dan
superior,
venter
frontalis
muskulus
e. Ramus servikalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan
di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini
dapat menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus depressor
anguli oris.
2.3.2 Etilogi
Penyebab Bells palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan. Pada
masa lalu, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagai satu-satunya
penyebab Bells palsy. Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab
Bells palsy adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan
kongenital.5,6,7
Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum dapat menyebabkan
kompresi, iskemi, dan demielinasi axon serta terganggunya pasokan darah pada saraf
dianggap dapat menyebabkan Bells palsy.5
Pada 1972 Mc Cormick pertama kali mengemukakan bahwa Herpes Simplex
Virus (HSV) bertanggung jawab dalam menyebabkan kelumpuhan fasial idiopatik.
Teori ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel,
kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion genikulatum. Sejak saat itu, sering
dilakukan autopsy pada pasien Bells palsy dan hasilnya mengarah kepada
terdapatnya HSV di ganglion genikulatum pada pasien Bells palsy. Diduga HSV
berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion. Sehingga pada saat
terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak selubung mielin. 6,7
Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital sangat
jarang ditemukan. Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran misalnya
pada riwayat persalinan yang sulit.6
Beberapa literatur juga melaporkan tindakan kedokteran gigi dapat
menyebabkan Bells palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan
Bells palsy, yaitu:5,14,15
a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi,
dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bells palsy) yang umumnya bersifat
sementara. Paralisis dapat terjadi secara segera ataupun lambat, berdasarkan waktu
penyuntikan hingga onset dari gejala.
Paralisis yang terjadi secara segera muncul dalam hitungan menit setelah
penyuntikan dan akan sembuh dalam waktu 3 jam ataupun kurang. Paralisis dapat
muncul akibat anestesi pada cabang nervus fasialis yang diakibatkan anatomi saraf
yang abnormal seperti kelainan kongenital seperti gagalnya kelenjar parotis untuk
menutupi/membalut nervus fasialis dan
Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda.
Tanda dan gejala klinis pada Bells palsy berdasarkan lokasi lesinya (gambar 5):2
a. Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis, trauma) :
Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara gigi dan gusi,
sensasi pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup
pada sisi yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus
(gambar 5: nomor 4).
b. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan
gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus, ditambah dengan
hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi
saliva akibat terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis (gambar 5: nomor
3).
c. Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam
kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga (gambar 5: nomor 2).
d. Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda dan gejala
klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya
tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulokoklearis (gambar 5: nomor 1).
Derajat keparahan paralisis wajah dapat dinilai dengan sistem grading. Selain
untuk menentukan derajat keparahan, sistem grading juga digunakan untuk menilai
progresivitas paralisis fasialis dan untuk membandingkan hasil dari pengobatan yang
dilakukan. Sistem grading yang dapat digunakan adalah sistem grading yang
dikembangkan oleh House dan Brackmann.6,18
Tabel 1. House Brackmann Facial grading system6
Grade
Deskripsi
Karakteristik
Normal
II
Ringan
Sedang
IV
Sedang
Berat
VI
Total
2.3.4 Diagnosis
Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bells palsy adalah
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset,
durasi, perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri serta gejala lain yang menyertai,
penting untuk ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya.
Bells palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya
pada satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 hari dan maksimal dalam 3
minggu kurang.10
Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan
penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini akan
ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang dilakukan
dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut:6
a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator
b. Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter
Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat
unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.
b. Ramsay Hunt Syndrome
Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini memiliki
prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral juga
ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulokoklearis sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
c. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga
dan demam.
d. Sarcoidosis
Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis,
namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe
hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.
2.3.6 Penatalaksanaan
Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak
mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84% mengalami
perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak mengalami
kesembuhan sehingga diperlukan perawatan.22
Penatalaksanaan Bells palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya
yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bells palsy dapat dilakukan
dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan.6,7
Terapi farmakologis yang digunakan pada pasien Bells palsy adalah
kortikosteroid dan antivirus. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa sakit,
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di
kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.
Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70
mg) adalah 1 mg per kg berat badan per hari peroral selama enam hari diikuti empat
hari tappering off.23
Penggunaan anti virus pada pasien Bells palsy didasari oleh dugaan virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi dari virus
tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus yang paling
sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan dilakukan kombinasi
pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan anti virus masih diragukan,
sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi tersebut disimpulkan bahwa tidak
terdapat manfaat signifikan dari antivirus dibandingkan placebo pada pengobatan
Bells palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada
tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon dan
asiklovir.23,24
Pada pasien Bells palsy yang etiologinya diduga akibat dari komplikasi
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, perlu dilakukan kontrol terhadap kadar
gula darah. Pasien yang kadar gula darahnya terkontrol memiliki prognosis yang
lebih baik.25
Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi
panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk
diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada pasien
Bells palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur. Akupuntur
dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi perawatan Bells
palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melihat efisiensinya.10
Bedah dekompresi untuk Bells palsy diajukan untuk dilakuakn karena
hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi patologis
akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan dapat mengurangi
oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan fossa tengah dan lebih
dibaik dilakuakan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut saraf tidak dapat
diperbaiki.6
Penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi menjadi dua bagian yaitu
manajemen primer dan manajemen sekunder. Manajemen primer terdiri dari
perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau transposisi saraf. Sedangkan
manajemen sekunder bertujuan untuk mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan
estetis wajah.6,26
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan primer
adalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct neurorraphy diindikasikan pada
laserasi benda tajam yang melibatkan nervus fasial. Prosedur ini diharapkan dapat
memberikan pengembalian fungsi nervus fasial dengan baik. Prosedur graft
neurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf langsung, yang membedakan adalah
dibutuhkannya anastomosis tambahan untuk setiap cabang saraf yang dirawat. Donor
yang umumnya digunakan untuk prosedur graft neurorrhaphy adalah great auricular
nerve, sural nerve, dan antebrachial cutaneous nerve.6,26
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan
dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya
membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari pembedahan
dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat kembali sudut mulut
yang turun.6,26
Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot
wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar
benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak
mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan
bawah).7
2.3.7 Prognosis
Sekitar 80-90% pasien Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan 5060% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetris muskulus
fasialis presisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat
rekuren.10,27
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus yang memiliki
hasil CT Scan dengan kontras jelas.7,10
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.7
kering dan air mata yang berlebihan merupakan hal yang normal pada pasien Bells
palsy. Mata kering dapat diberikan obat tetes mata untuk melembabkan mata.28
pada
wajah
yang
dialami
pasien
Bells
palsy
dapat
2.4 Pengetahuan
2.4.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Pengindraan terjadi melalui panca
indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan
indra penglihatan.31
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikam formal. Pengetahuan sangat
erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan
yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. 32
2. Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari
sikap seseorang dalam menerima informasi.
yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebahai mengingat suatu materi yang tealah dipelajari
sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut
secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang tealah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau dengan kata lain,
sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah
ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan untutk melakukan penilaian terhadap suatu materi
atau objek. Penilaian didasarkan dengan suatu kriteria yang ada.
Bells palsy
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tingkat pengetahuan
mahasiswa
kepaniteraan klinik