You are on page 1of 7

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

37/PUU-XIII/2015

Disusun Oleh :
Wildan Syauqi Rifanda (15410546)
Muhammad Nizaela Ghifari (15410599)
Erfan Efendi (15410566)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan


lembaga amat baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan
khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial control dalam kerangka sistem check and
balance di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) yang berkedudukan di Ibukota telah terbentuk dengan 9
orang hakim yang dilantik setelah mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 16 Agustus
20031.
Berdasarkan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
(UU MK) salah satu wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusnanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Wewenang tersebut secara khusus diatur lagi dalam pasal 10 UU MK. Sampai pada saat ini,
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sebanyak 879 perkara Pengujian Undang-Undang
(PUU), 25 perkara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN), dan memutus 412
perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif (PHPU), serta 849
perkara Perslisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada)2.
Salah satu perkara yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi adalah perkara
pengujian materiil Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UndangUndang No. 1 tahun 2015 tentnag penerapan Peraturan Pemerintah pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang diajukan oleh Lanosin ST. Bin
H Hamzah. Judicial Review ini kemudian meskipun di tolak oleh MK, dianggap
kontroversial.
1 Maruar Siahaan, S.H., 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
2 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13169&menu=2#.WAiDolw2v3g disampaikan oleh
Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP)
yang dilangsungkan di ruang Rapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

BAB II
PEMBAHASAN

Judicial Review Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UndangUndang No. 1 tahun 2015 tentnag penerapan Peraturan Pemerintah pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 ini diajukan oleh Lanosin ST. Bin H
Hamzah, yaitu warga negara Republik Indonesia yang pada saat itu merupakan adik kandung
Bupati Petahana Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan. Dengan kuasa
hukumnya Andi Syafrani, SH., MCCL., Yupen Hadi, SH., H. Irfan Zidny, SH., S.Ag.,
M.Si.,Rivaldi, SH., dan Muhammad Ali Fernandez, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 11 Maret 2015.
Norma yang dimohonkan untuk pengujian adalah pasal (7) huruf r yang berbunyi
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... r.tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana;. Kemudian penjelasan dari pasal (7) huruf r menyatakan
bahwasannya yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana
adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu)
tingkat lurus ke atas, ke bawah, kesamping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman,
bibi, kakak, adik,ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Hal tersebut menurut pemohon bertentangan dengan Norma Undang-Undang Dasar 1945
yang meliputi:
1. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan


dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
3. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
4. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
5. Pasal 28 ayat (2) UUD 1945.
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Kemudian pemohon dalam pengajuan uji materiil ini adalah pasal a quo menghalangi
hak konstitusional pemohon sebagai adik kandung petahana untuk mencalonkan diri dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Sumatra Selatan. Kemudian pasal a quo
Juga bertentangan dengan konstitusional karena tidak memberikan kepastian hukum yang
adil sebagaimana dimaksudkan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak memberikan perlakuan
yang sama bagi warga didalam pemerintahan sebagaima dimaksud Pasal 28D ayat (3)
UUD 1945, mendiskriminasi Pemohon karena alasan hubungan darah sebagaimana
dimaksud Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, menghalangi hak kebebasan sipil Pemohon
dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud Pasal
18 ayat (4) UUD 1945, serta melanggar kesetaraan di muka hukum seperti yang diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Lalu yang dimaksud konflik kepentingan adalah sebuah situasi atau keadaan yang
dimiliki dan dihadapi oleh seseorang yang sedang dalam posisi jabatan publik tertentu,
dan subjek yang memiliki konflik kepentingan harusnya adalah seorang pejabat atau
petugas publik, bukan seseorang yang baru akan akan mencalonkan diri dalam kontestasi
jabatan publik, apalagi tidak memiliki posisi jabatan publik sama sekali.
Tidak tepat pula jika Pasal 7 huruf r Undang-Undang a quo menetapkan salah satu
syarat Calon Kepala Daerah untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana.
Harusnya frasa yang benar terkait dengan norma tersebut adalah Petahana tidak boleh
memiliki konflik kepentingan dengan salah satu Calon, bukan sebaliknya sebagaimana
dituliskan oleh Undang-Undang a quo.

Dan seharusnya frasa konflik kepentingan yang tertuang dalam pasal a quo
diartikan dan dimaknai sama dengan apa yang telah dituangkan di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan agar terjadi keselarasan dan
kepaduan hukum (eeinheid van de wet), yakni bersubjek pejabat dan aparatur pemerintahan.
Kemudian adanya pengaturan secara khusus tentang norma adanya konflik
kepentingan bagi calon tanpa penegasan latar belakang calon sebagaimana dimuat Pasal 7
huruf r justru menjadikan norma tersebut tidak jelas, bahkan merupakan pengulangan yang
tak berarti karena dalam pasal-pasal lainnya yaitu Pasal 7 huruf p, Pasal 7 huruf q, Pasal 7
huruf s, Pasal 7 huruf t, Pasal 7 huruf u, Pasal 70 ayat (3), Pasal 71 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
dan Pasal 71 ayat (3), subjek yang diatur lebih tegas dan jelas, yakni bagi calon yang
berstatus sebagai petahana, petahana di daerah lain, petahana sementara, anggota DPR, DPD,
dan DPRD, TNI, Polri, PNS, serta pejabat BUMN atau BUMD.
Lalu penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang a quo telah membuat adanya
ketidakpastian hukum karena menimbulkan norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda
dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan
terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh pasal yang
dijelaskannya.
Pandangan tentang pelarangan seseorang untuk dapat dipilih dalam sebuah
mekanisme pemilihan umum di sebuah negara demokrasi berdasarkan pada asal kelahiran
adalah sebuah tindakan yang berasal pada prasangka seakan-akan setiap orang yang terlahir
dari atau berhubungan darah/perkawinan dengan Petahana adalah seseorang yang telah dinya
takan bersalah.
Dan sistem hukum pemilihan di Indonesia telah menegaskan sebuah sistem pemilihan
yang menganut prinsip kebebasan memilih (to vote) secara langsung secara individual (one
person one vote one value) mulai dari pemilihan Kepala Desa (vide Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa), Kepala Daerah (vide Undang-Undang a quo), hingga Presiden
(vide Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008). Dengan demikian adalah sangat janggal dan
aneh jika kemudian hak untuk dipilih (to be elected) dipisahkan secara individual karena
adanya larangan bagi seseorang terkait dengan latar belakang kelahiran/keluarga/darahnya.
Dan poin selanjutnya pembatasan pencalonan berdasarkan adanya faktor kelahiran /
darah / perkawinan secara nyata telah melanggar prinsip adanya civil liberties yang
dilindungi oleh Hukum Internasional dan ditegaskan oleh UUD 1945.

Dan yang terakhir pelarangan pencalonan bagi orang yang memiliki hubungan darah /
perkawinan / kelahiran dengan Petahana merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan
melanggar prinsip keadilan (fairness) karena telah membelenggu hak asasi seseorang yang
sangat mendasar dan alamiah yang tidak dapat dipilih oleh seseorang, yaitu kelahiran/darah.
Untuk itu pemohon mengajukan petitum yang isinya antara lain untuk mengabulkan
semua isi permohonannya. Kemudian menyatakan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan UUD 1945 karena pasal
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dan pemohon juga meminta MK
untuk Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya, Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya.
Di dalam memutuskan perkara ini hakim memiliki beberapa pertimbangan. Yaitu :

Menimbang bahwa
permohonan

Mahkamah

Pemohon,

telah

keterangan

dari

memeriksa

dengan

saksama

Presiden,

keterangan

Dewan

Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh


Pemohon, serta kesimpulan tertulis Pemohon sebagaimana selengkapnya

termuat pada bagian Duduk Perkara.


Menimbang bahwa terhadap norma Undang-Undang dan penjelasan norma
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam
permohonan a quo, in casu Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r
UU 8/2015, telah

pernah

dimohonkan

pengujian

dan

Mahkamah

telah

pula menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor


33/PUU-XIII/2015, bertanggal 8 Juli 2015, yang amarnya menyatakan
mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian maka pertimbangan
hukum Mahkamah dalam

Putusan

Nomor

33/PUU-XIII/2015

tersebut

mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo.

Sehingga Rapat permusyawaratan Hakim yang berisi 9 hakim MK yaitu Arief Hidayat
selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo,
Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Aswanto, dan Manahan M.P

Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, menyatakan bahwa permohonan tidak dapat


diterima.
BAB III
KESIMPULAN

Bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang


perubahan atas Undang-Undang No. 1 tahun 2015 tentnag penerapan Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang diajukan
oleh Lanosin ST. Bin H Hamzah ditolak MK. Namun permohonan tersebut diberlakukan
mutatis mutandis.

You might also like