You are on page 1of 8

ANALISIS PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KOEFISIEN LIMPASAN

TERHADAP DEBIT DRAINASE PERKOTAAN


Susilowati
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Telp. 0271 634524


Tima Santita N.R.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Telp. 0271 634524


Abstract
The development of infrastructure with impermeable material (water-proof) will increase the runoff at pertinent area.
The aim of this research is to study the changes of land use in the urban area and runoff coefficient. The discharge is
calculated by using Rational Formula. The result of this calculation will be compared with discharge measured in the
outlet of flood gates data in 4 years. Then it will be compared with Surakartas drainage design.
In 4 years, the change of land use, runoff coefficient, and discharge runoff are 1.81 %, 0.37% and 0.44 m3/s or 0.42%
respectively
The difference of discharge at flood gate is 24.71 m3/s or 26.64% and below the discharge design.

Keywords:
catchments area, discharge, land use, runoff coefficient.

PENDAHULUAN
Salah satu masalah genangan air dijumpai di kompleks perumahan. Munadhir (1995) menjelaskan
dua kemungkinan penyebab terjadinya banjir di
suatu kompleks perumahan. Pertama, intensitas
hujan lebih besar daripada perhitungan dalam
perencanaan selokan drainase. Kemungkinan
kedua, intensitas hujan sesuai dengan perencanaan
akan tetapi limpasan air hujan tidak mampu
ditampung oleh saluran drainase yang ada. Untuk
kemungkinan yang kedua bisa disebabkan oleh dua
hal yaitu kesalahan dalam perencanaan saluran
atau terjadi kekeliruan dalam memperkirakan
besarnya aliran. Hal ini diawali dari asumsi bahwa
intensitas hujan yang sama selalu akan
memberikan aliran yang sama pula untuk saat ini
maupun waktu mendatang selama tidak terjadi
perubahan
lahan.
Dalam
penelitian
ini
menggunakan kemungkinan kedua untuk mengkaji
perubahan lahan dan pemakaian koefisien
limpasan dalam perencanaan debit drainase.
Dimensi drainase semula direncanakan dengan
debit Q = 159,91 m3/s, namun kondisi sekarang
yang ada terjadi genangan di beberapa tempat.
Volume pelepasan drainase tidak semata-mata
dipengaruhi oleh intensitas atau durasi hujan.
Ahmed dkk. (1997) memberikan hasil penelitian
bahwa tipe perkerasan jalan memberikan efek yang
signifikan pada respon dari pelepasan drainase
terhadap hujan. Untuk jalan raya dikatakan bahwa
sifat material perkerasan, geometri perkerasan dan

kondisi tepi saluran-saluran drainase juga


menyumbang subdrainase. Di lapangan, hal ini
sering dijumpai adanya genangan di jalan raya yang
tidak segera mengalir karena kondisi saluransaluran drainase yang ada.
Perubahan tata guna lahan memberi dampak yang
signifikan terhadap koefisien limpasan (Tuan,
1991). Penelitian itu dilakukan pada empat DAS
kecil seluas 0,5 ha yang letaknya berdekatan dalam
kurun waktu empat tahun dan satu DAS seluas 7,2
ha selama tiga tahun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa koefisien limpasan, puncak limpasan dan
hasil sedimen per unit luas, meningkat seiring
dengan peningkatan pengembangan tata guna lahan
dan menurun seiring dengan konservasi vegetasi
yang semakin baik. Oleh karena itu perencanaan
drainase perkotaan hendaknya juga seiring dengan
perubahan tata guna lahan sehingga terjadi
keseimbangan dengan kepentingan lingkungan.
Usaha pemanfaatan lahan mendorong adanya
perubahan fungsi lahan dengan kecenderungan
lebih kedap air sehingga menimbulkan genangan
dan limpasan permukaan yang cukup tebal.
(Sulistiono, 1995).
Nur Arifaini dkk. (1995) memberikan analisa
bahwa sumber penyebab banjir sesungguhnya
adalah perubahan percepatan tata guna lahan, laju
pertumbuhan penduduk, perilaku masyarakat,
budaya, kondisi ekonomi dan perundang-undangan
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/27

yang
belum
baku
untuk
mengendalikan
pengembangan suatu kawasan. Selama ini metode
perkiraan banjir hanya memasukkan faktor-faktor
seperti luasan tata guna lahan dan koefisien
limpasan.
Dalam penelitian ini, intensitas hujan diasumsikan
sama atau konstan dalam memberikan aliran untuk
saat ini maupun saat mendatang. Di antara variabelvariabel dalam rumus Rasional yang terkait dengan
perubahan kondisi tata guna lahan adalah nilai
koefisien limpasan. Pada daerah penelitian diamati
sejauh mana perubahan tata guna lahan yang terjadi.
Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan
mempengaruhi perubahan dari nilai koefisien
limpasan. Maka besarnya perubahan koefisien
limpasan juga dicari berdasarkan data-data tata guna
lahan pada periode yang telah ditentukan. Dengan
adanya perubahan tata guna lahan dan nilai
koefisien limpasan akan mempengaruhi perubahan
besarnya aliran limpasan yang dihasilkan dari
daerah penelitian.
Besarnya aliran limpasan di lapangan dalam periode
tertentu (waktu pengamatan) dihitung dari data
ketinggian air di outlet catchment area. Data
ketinggian air tiap tahun pengamatan diambil pada
kejadian dengan saat curah hujan yang sama atau
mendekati curah hujan rancangan. Data ketinggian
air tersebut dimasukkan dalam rumus debit supaya
diperoleh besarnya aliran limpasan tiap tahun
pengamatan. Kemudian besarnya aliran limpasan
tiap tahun pengamatan dibandingkan dengan debit
rencana hasil perhitungan rumus Rasional pada
awal tahun pengamatan. Untuk debit rencana hasil
perhitungan rumus Rasional diperoleh dari
penelusuran
debit
saluran-saluran
sehingga
didapatkan debit total dalam satu catchment area
yang diteliti.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian diambil di daerah Kota
Surakarta yang terdiri dari delapan catchment area.
Sebagai sampel penelitian dipilih catchment area
dua dan empat yang meliputi 30 kalurahan yaitu
Kalurahan Manahan, Mangkubumen, Kestalan,
Gilingan, Setabelan, Kepatihan Kulon, Kepatihan
Wetan, Sudiroprajan, Gandekan, Tegalharjo,
Purwodiningratan, Punggawan, Ketelan, Kemlayan,
Timuran, Sriwedari, Keprabon, Kauman, Sangkrah,
Kampung Baru, Jayengan, Kratonan, Serengan,
Gajahan, Baluwarti, Pasar Kliwon, Danukusuman,
Joyosuran, Kedung Lumbu dan Semanggi. Lokasi
tersebut dipilih sebagai daerah penelitian karena
debit outlet dapat terukur dengan baik dengan
adanya pintu air Demangan, sedangkan pada daerah
lain belum terukur atau bila dapat diukur misalnya
28/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

melalui pintu air Tirtonadi, luas catchment areanya


kurang representatif.
Luas catchment area 1263,4 ha dan tata guna lahan
yang berkembang meliputi : perumahan padat,
industri, perdagangan, perusahaan, area terbuka.
Periode waktu pengamatan perubahan tata guna
lahan kota selama 4 tahun (1992-1996) berdasarkan
data-data dari instansi pemerintahan.
Koefisien Limpasan
Tabel 1. Klasifikasi Tata Guna
Koefisien Limpasan
Koefisien Limpasan ( c )
c1
0,95
c2
0,90
c3
c4
c5
c6

0,80
0,65
0,50
0,25

Lahan

dan

Tata Guna Lahan


Jalan beraspal
Industri,
terminal
induk,
pergudangan umum, perusahaan
Perdagangan
Perumahan
Sarana pendidikan dan jasa
Area terbuka, jalur hijau, kuburan

Sumber : BAPPEDA Kodya Surakarta, 1993

Berdasarkan nilai-nilai koefisien limpasan yang


diberikan dalam Tabel 1 dan luasan tata guna lahan
tiap sub catchment area dapat dicari perubahan nilai
koefisien limpasan selama empat tahun berikut
prosentase perubahannya. Perhitungan koefisien
limpasan tiap sub catchment area yang memiliki lebih dari satu jenis tata guna lahan menggunakan
rumus koefisien limpasan rata-rata tertimbang sebagai berikut :

A xc
n

cx =

n=1

Atotal

.[1]

dengan:
cr
: koefisien limpasan rata-rata tertimbang
An
: luas lahan pada tata guna lahan (ha)
Atotal : luas lahan total (ha)
cn
: nilai koefisien limpasan pada tata guna
lahan.
Perhitungan Debit dengan Metode Rasional
Metode perhitungan debit drainase perkotaan yang
digunakan secara luas adalah metode Rasional.
Metode ini relatif mudah digunakan karena lebih
sederhana dan tidak terlalu banyak menyita waktu
(Chay Asdak, 1995). Rumus perkiraan debit
limpasan dari metode Rasional yang telah
dimodifikasikan adalah :
Q = 0,00278 x c x cs x I x A..[2]
dengan:
Q
: debit puncak pada periode ulang T tahun
(m3/s)
c
: koefisien limpasan

cs
I
A

koefisien penampungan
: rata-rata intensitas hujan (mm/jam)
: luas cacthment area (ha)
:

Waktu konsentrasi (time of concentration) adalah


waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari
titik terjauh daerah pengaliran ke titik outlet suatu
DAS. Untuk saluran air hujan daerah perkotaan,
waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang diperlukan limpasan untuk mengalir di permukaan tanah
untuk mencapai saluran terdekat (t0) dan waktu
pengaliran dalam saluran ke titik yang dimaksud
(td).

h
[3]
D
2.187 xhxc 0.167
to =
...[4]
S 0.5

S=

td =

L
[5]
(60 xv)

tc = to + td...[6]
dengan,
S :
h :
D :
c
:
L :
v
:
to
td
tc

Kemiringan lahan (%)


selisih ketinggian kontur (m)
jarak (m)
koefisien limpasan
panjang saluran yang ditinjau (m)
kecepatan rata-rata sesuai kemiringan
muka tanah (m/s)
: waktu pengaliran di permukaan tanah
(menit)
: waktu pengaliran dalam saluran ke
titik yang dituju (menit)
: waktu konsentrasi (menit)

Apabila catchment area menjadi lebih besar, maka


pengaruh daya tampung saluran (channel storage)
dalam pengurangan gelombang banjir menjadi lebih
besar.
Untuk mendapatkan kemungkinan daya tampung
saluran mempengaruhi debit puncak yang dihitung
atas dasar rumus Rasional maka harus dikalikan
dengan
koefisien
penampungan
(storage
coefficient). Besarnya koefisien penampungan
ditentukan dari rumus (7) berikut :

Cs =

2t c
......................................................[7]
(2t c + t d )

Untuk perhitungan intensitas hujan (I), digunakan


data-data dari empat stasiun hujan yang
berpengaruh terhadap daerah penelitian. Stasiun

hujan tersebut adalah stasiun Kerten nomor 65 G,


stasiun Pabelan nomor 104 D, stasiun Surakarta
nomor 104 (Laweyan) dan stasiun Surakarta nomor
104 B (SPMA Makam Haji). Data-data tersebut
merupakan data hujan harian maximum dari tahun
1970-1991 untuk kemudian dianalisis menjadi
hujan rancangan. Data curah hujan yang dianalisis
menunjukkan distribusi Normal dan diuji dengan
Chi Kwadrat.
Curah hujan rancangan tersebut diubah menjadi
intensitas hujan. Rumus intensitas hujan yang
digunakan yaitu rumus Talbot. Rumus intensitas
hujan (I10) dengan waktu konsentrasi sebagai
variabel disajikan sebagai berikut :

I10 =

a
....[8]
tc + b

Selanjutnya rumus (8) tersebut digunakan dalam


perhitungan intensitas hujan tergantung nilai waktu
konsentrasi (tc) yang diperoleh, dan dimasukkan
dalam rumus Rasional. Luasan areal drainase
tergantung pembagian catchment area yang
disesuaikan dengan kontur dan kondisi lahan.
Debit limpasan (Q) dihitung berdasarkan periode
ulang rencana dalam Tabel 2.
Tabel 2. Periode Ulang Rencana

Perkotaan 1
Perkotaan 2
Perkotaan 3

Kepadatan
Penduduk
(ribuan)
KP < 500
500<KP<2,000
KP > 2,000

Periode
Ulang
( tahun )
10
15
25

Perkotaan 1
Perkotaan 2
Perkotaan 3

KP < 500
500<KP<2,000
KP > 2,000

5
5
10

Macam Alur

Macam
Daerah

Sistem
Drainase
Primer
Sistem
Drainase
Sekunder
Sistem
Drainase
Tersier

Pedesaan /
-2
Pinggiran
Kota / Perkotaan
Sumber : Flood Control Works, Vol.1, W-E-R Engineering,
Bina Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Februari, 1993.

METODE
Perhitungan debit terukur di lapangan menggunakan
Critical Depth Methods karena kondisi air yang
mengalir lewat pintu air dilokasi merupakan aliran
submerge. Aliran merupakan submerge apabila ketinggian tail water di atas mercu dibandingkan dengan ketinggian air upstream di atas mercu lebih dari
70 %. Bila perbandingan tersebut kurang dari 70 %
maka kondisi aliran adalah free flow (Kraatz, 1975).
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/29

Critical Depth Methods memberikan rumus debit


sebagai berikut :
Q = C x b x H1.5.[9]
Dengan:
C : Koefisien debit, yang dihitung menggunakan
Grafik 1 yang tergantung pada nilai H/L dengan H adalah ketinggian air sebelum pintu air
dan L adalah panjang bendung mercu lebar
dalam satuan meter.
b : Lebar efektif saluran (meter).
Untuk lebar efektif saluran dapat dihitung dengan
rumus :
b = L - {2 x ( Nxkp + ka ) x H}......................[10]
dengan L adalah lebar bersih pintu air dalam meter,
N yaitu jumlah pilar antara pintu air, kp merupakan
koefisien kontraksi karena pilar dan ka adalah
koefisien kontraksi karena abutment.
Tabel 3 memberikan nilai-nilai kp yang tergantung
pada bentuk ujung pilar dan Tabel 4 menyajikan
nilai-nilai ka yang tergantung kondisi tembok tepi.
Tabel 3. Harga-harga koefisien kontraksi karena
pilar (kp)
Bentuk Pilar
Untuk pilar berujung segiempat dengan sudutsudut yang dibulatkan pada jari-jari yang
hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar

Nilai kp
0,02

Untuk pilar berujung bulat

0,01

Untuk pilar berujung runcing


Sumber: Dirjen Pengairan PU (1986)

0,00

Gambar 1. Grafik Discharge Coefficient for Rectangular Broad Crested Weir. Sumber: Smith
(1978).
Pembagian Sub Catchment Area
Daerah penelitian meliputi dua catchment area
yaitu catchment area dua yang terdiri dari tujuh sub
catchment area dan catchment area empat yang
terdiri dari lima sub catchment area. Batasan
catchment area dan arah alirannya disajikan dalam
Gambar 2, sedangkan luasan areal disajikan dalam
Tabel 5.

Tabel 4. Harga-harga koefisien kontraksi karena


tembok tepi (ka)
Bentuk tembok tepi

Nilai ka

Untuk pangkal tembok segiempat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran

0,2

Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok


hulu pada 900 ke arah aliran dengan 0,5He > r
> 0,15 He

0,1

Untuk pangkal tembok bulat dengan r > 0,5He


dan tembok hulu tidak lebih dari 450 ke arah
aliran
Sumber: Dirjen Pengairan PU (1986)

0,0

Keterangan :
2.1 = sub catchment area
= arah aliran

= sungai
= pintu air

Gambar 2. Catchment Area Daerah Penelitian

30/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

Tabel 5. Luasan Areal Drainase


Sub Cacthment Area
Luas (ha)
2.1
56,83
2.2
37,43
2.3
88,31
2.4
93,59
2.5
43,44
2.6
59,14
2.7
167,66
4.1
208,90
4.2
64,18
4.3
168,15
4.4
148,98
4.5
126,76
Total
1263,37
Sumber : BAPPEDA Kodya Surakarta, 1993

Debit Terukur di Lapangan


Pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1996 dicari
tanggal kejadian hujan yang mendekati atau sama
dengan ketinggian curah hujan rancangan sebesar
178,18 mm. Pada tanggal kejadian tersebut dicari
ketinggian muka air pada pintu air Demangan (outlet dari catchment area penelitian) dan disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Ketinggian Muka Air pada Pintu Air Demangan
Tanggal/bulan/tahun
Ha
Hb
18 Maret 1992
2,55
2,41
4 Februari 1993
2,79
2,55
9 Januari 1994
2,87
2,69
22 September 1995
2,94
2,76
3 Desember 1996
3,00
2,98
Keterangan :
Ha = tinggi muka air sebelum pintu air (upstream)
Hb = tinggi muka air sesudah pintu air (tail water)
Sumber : PWS Bengawan Solo dan DPU Kotamadya Surakarta.

Tabel 7. Perbandingan Nilai Ha dan Hb dalam


Bentuk Prosentase
Ha
2,55
2,79
2,87
2,94
3,00

Hb
2,41
2,55
2,69
2,76
2,98

Hb/Ha
0,945
0,914
0,937
0,939
0,993

%
94,5 > 70
91,4 > 70
93,7 > 70
93,9 > 70
99,3 > 70

Hasil perbandingan ketinggian muka air upstream


dan tail water dapat diambil kesimpulan bahwa
aliran yang mengalir lewat pintu air merupakan
aliran submerge. Selanjutnya perhitungan debit
yang melalui pintu air menggunakan rumus (9) dan
(10) serta mengacu pada gambar 1, Tabel 3 dan
Tabel 4.
Data :
- panjang bendung mercu lebar
= 5 meter
- jumlah pilar antara pintu air (N)
= 9 buah
- lebar bersih total pintu air (L)
= jumlah pintu air x lebar pintu air
= 10 x 1,5 = 15 meter
- ujung pilar berbentuk setengah lingkaran sehingga
koefisien kontraksi karena pilar (kp) = 0,01 dan
koefisien kontraksi karena abutment (ka) = 0,2
- lebar efektif pintu air (b)
= L - { 2 x ((N x kp ) + ka) x H }
= 15 - { 2 x ((9 x 0,01) + 0,2) x H }
= 15 - (0,58 x H)
Untuk memperjelas data-data lapangan berikut ini
disajikan sketsa pintu air Demangan :

1,5 m

Nilai Ha dan Hb dibandingkan untuk mengetahui


apakah aliran yang mengalir merupakan submerge
atau free flow. Kondisi aliran submerge
digambarkan dalam Gambar 3 dan perbandingan
nilai Ha dan Hb disajikan dalam Tabel 7.

1,5 m
1m
1m

5m

Gambar 4. Tampak Atas Pintu Air Demangan


Tabel 8. Perhitungan Debit dengan H Terukur di
Lapangan
H

Thn

Gambar 3. Kondisi Aliran Submerge di Pintu Air


Demangan

H/L

0,51
0,56
0,57
0,59
0,60

1,685
1,695
1,701
1,703
1,705

(m)
1992
1993
1994
1995
1996

2,55
2,79
2,87
2,94
3,00

5
5
5
5
5

b=
Q=
15 - 0,58H C x b x H1.5
(m)
(m3/s)
13,52
13,38
13,34
13,29
13,26

92,77
105,70
110,29
114,13
117,48

MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/31

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perubahan Tata Guna Lahan
Berdasarkan data-data luas tata guna lahan yang
diperoleh pada tahun 1992 dan tahun 1996 dicermati catchment area penelitian mengalami perubahan dan hasilnya disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9.

Perubahan Tata Guna Lahan Dalam


Catchment Area Penelitian

Tabel 10. Perhitungan Debit Limpasan Akibat


Perubahan Koefisien Limpasan
Nmr
c
salur
an 1992 199
6

cs

I10
A (ha)
(mm/jam)

Q10
(m3/s)
1992 1996

2,1
2,2
2,3
2,4

0,70
0,70
0,67
0,72

0,70
0,70
0,68
0,72

0,94
0,96
0,91
0,94

53,07
48,12
37,22
62,55

56,63
37,43
88,31
93,59

5,52
3,36
5,57
11,01

5,52
3,36
5,65
11,01

(Ha)
117,67

Perubahan
luasan
(Ha)
0,59

Prosentase
Perubahan
(%)
0,50

2,5
2,6
2,7
4,1
4,2
4,3

0,75
0,72
0,65
0,62
0,71
0,69

0,75
0,72
0,65
0,62
0,72
0,69

0,92
0,97
0,98
0,95
0,94
0,91

54,40
68,48
27,43
20,07
64,03
56,67

43,44
59,14
167,66
208,90
64,18
168,15

4,53
7,86
8,14
6,87
7,62
16,63

4,53
7,86
8,14
6,87
7,73
16,63

Industri dan
Perusahaan

147,55

4,54

3,08

4,4
4,5

0,70
0,71

0,70
0,72

0,83
0,89

41,34
79,52

148,98
126,76

9,95
17,71

9,95
17,96

Perdagangan

123,51

0,80

0,65

Perumahan

679,42

10,71

1,58

Jasa

116,09

5,26

4,53

Area Terbuka

79,13

5,18

6,55

Jumlah :

1263,4

22,87

1,81

Tata Guna
Lahan
Jalan
Beraspal

Luas total

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perubahan tata


guna lahan keseluruhan selama empat tahun dalam
catchment area penelitian sebesar 1,81 %.
Perubahan Koefisien Limpasan
Data-data tata guna lahan pada tahun 1992 dan tahun 1996 dapat digunakan pula untuk mencari perubahan koefisien limpasan yang terjadi selama empat tahun. Tiap tata guna lahan memiliki nilai koefisien sendiri sehingga bila luasan tiap guna lahan
diketahui maka dapat dicari koefisien limpasan gabungan per sub catchment area maupun dalam satu
catchment area penelitian.
Secara umum nilai koefisien limpasan dari daerah
penelitian pada tahun 1992 adalah 0,68 dan dalam
jangka empat tahun berubah menjadi 0,69 atau meningkat 0,37 %.
Perubahan Debit Limpasan
Perubahan tata guna lahan sebesar 1,81% dan
perubahan koefisien limpasan sebesar 0,37% akan
mempengaruhi besaran debit limpasan. Pada Tabel
10 berikut ini disajikan perhitungan debit limpasan
dengan rumus Rasional yang dipengaruhi oleh nilai
koefisien limpasan.

Debit limpasan : 104,79 105,23

Dalam Tabel 10 terlihat bahwa nilai debit limpasan


pada tahun 1992 sebesar 104,79 m3/s dan akibat perubahan koefisien limpasan menghasilkan debit
limpasan pada tahun 1996 sebesar 105,23 m3/s. selama 4 tahun terjadi peningkatan debit sebesar 0,44
m3/s atau 0,42%.
Analisis debit terukur di pintu air outlet
Perubahan tata guna lahan juga berpengaruh
terhadap debit limpasan yang dihasilkan oleh daerah
penelitian. Selain debit limpasan dihitung dengan
rumus Rasional, pada pintu air outlet daerah
penelitian juga dihitung debit limpasan per tahun
sebagai pembanding perubahan yang terjadi pada
debit limpasan dengan rumus Rasional.
Pada Tabel 11 berikut ini dapat dilihat peningkatan
nilai debit terukur di pintu air outlet setiap
tahunnya.
Tabel 11. Peningkatan Nilai Debit Terukur di
Lapangan
Tahun

Q (m3/s)

1992

92,77

1993

105,70

1994

110,29

1995

114,13

1996

117,48

Selisih
per tahun
(
)

Prosentase
peningkatan (%)

12,93

13,94

4,59

4,34

3,84

3,48

3,35

2,94

Dilihat dari peningkatannya per tahun semakin lama


semakin kecil dan peningkatan terbesar terjadi dari
tahun 1992 menuju tahun 1993. Dapat diasumsikan
antara tahun 1992 dan 1993 terjadi perubahan lahan
32/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

yang cukup besar dan lebih bersifat kedap air


sehingga permukaan limpasan yang dihasilkan
semakin besar. Sedangkan pada tahun-tahun
berikutnya kondisi tata guna lahan lebih stabil
meskipun masih ada perubahan fungsi lahan di
beberapa tempat sehingga tetap terjadi peningkatan
limpasan meskipun nilainya kecil. Dalam jangka
empat tahun, selisih debit pada tahun 1996 dan
tahun 1992 sebesar 24,71 m3/s atau meningkat
26,64 %.

guna lahan tersebut tidak akan mengakibatkan


permasalahan genangan-genangan karena kapasitas
saluran yang tidak mampu menampungnya. Tetapi
dari hasil penelitian di lapangan, masalah genangangenangan di daerah tertentu terjadi dengan tenggang
waktu yang bervariasi, ada yang dalam waktu yang
cukup lama dan ada pula yang dalam waktu relatif
singkat. Hal ini disebabkan oleh kondisi saluransaluran yang kotor, pengendapan sedimen yang
tidak dikeruk.

Bila dibandingkan dengan debit rencana drainase


semula sebesar 159,91 m3/s, nilai-nilai debit terukur
di pintu air outlet dan debit limpasan dengan rumus
Rasional masih di bawah nilai debit rencana.

Saran
Dalam perencanaan drainase perkotaan, khususnya
perencanaan saluran drainase perlu dilakukan
peninjauan kondisi tata guna lahan dalam jangka
waktu tertentu. Hal ini untuk menjaga relevansi
antara daya tampung saluran dengan limpasan yang
diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan.
Apabila daya tampung saluran sudah tidak memadai
lagi, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan saluran
dimana membutuhkan investasi yang cukup besar.
Perlunya sosialisasi tentang peran masyarakat untuk
selalu menjaga lingkungan dengan tidak membuang
sampah sembarangan. Memberlakukan undangundang yang baku untuk mengendalikan
pengembangan suatu kawasan sehingga anggaran
dalam penyediaan bangunan saluran drainase akan
lebih efisien.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
telah diuraikan sebelumnya, diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
a. Perubahan tata guna lahan pada catchment area
penelitian di Kotamadya Surakarta selama empat
tahun dari tahun 1992 sampai tahun 1996 terjadi
perubahan sebesar 1,81 % dan cenderung pada
pembangunan fisik dengan bangunan yang bersifat kedap air. Perubahan ini bisa dikatakan tidak
begitu pesat, dimungkinkan kondisi perkotaan
yang sudah cukup mapan.
b. Perubahan tata guna lahan berpengaruh pada
peningkatan koefisien limpasan sebesar 0,37 %.
Hal ini menunjukkan hubungan yang sebanding
dengan perubahan tata guna lahan yang
cenderung kedap air. Peningkatan nilai koefisien
limpasan bisa dikatakan relatif kecil (0,37 %)
dan hal ini juga relevan dari hasil perubahan tata
guna lahan yang terjadi juga diperoleh
perubahan yang tidak begitu pesat (1,81 %).
c. Secara keseluruhan daerah penelitian mengalami
peningkatan nilai koefisien limpasan akibat
perubahan tata guna lahan yang cenderung kedap
air. Perubahan lapisan permukaan yang
cenderung kedap air mengakibatkan peningkatan
debit limpasan (debit terukur di lapangan). Akan
tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai debit limpasan per tahun masih dibawah
debit rencana hasil perhitungan rumus Rasional
sehingga dengan adanya peningkatan debit
limpasan ini secara teori masih dapat ditampung
oleh saluran-saluran yang ada di daerah
penelitian.
Implikasi
Dilihat dari perubahan tata guna lahan yang tidak
begitu besar, peningkatan koefisien limpasan yang
relatif kecil dan peningkatan debit limpasan yang
secara teori masih tertampung dalam saluransaluran yang direncanakan berarti perubahan tata

Kajian perubahan tata guna lahan, koefisien


limpasan, debit limpasan dan debit rencana dalam
penelitian ini belum didukung dengan penelitian
dari sisi sistem drainase daerah penelitian yang
ditinjau. Hal ini bisa dilanjutkan untuk penelitian
berikutnya.
Hasil penelitian ini hanya berlaku untuk catchment
area yang diteliti, tidak dapat digeneralisasikan
untuk Kotamadya Surakarta. Untuk catchment area
yang lain dalam lingkup Kotamadya Surakarta perlu
penelitian tersendiri sehingga didapatkan hasil
keseluruhan untuk Kota Surakarta.

REFERENSI
Anonim, 1993, Flood Control Works, Vol. 1, WE-R Engineering, Surakarta: DPU Bina
Karya.
Anonim, Laporan Rekap Ketinggian Air Pintu Air
Demangan Tahun 1992-1996, Surakarta:
DPU Kotamadya Surakarta Dati II Surakarta.
Anonim, 1997, Masterplan Drainase Surakarta
Bagian Utara Kodya Dati II Surakarta,
Surakarta: BAPPEDA Kodya Surakarta
bekerja sama dengan FT UMS.
Anonim, 1993, Monografi Kotamadya Dati I
Surakarta Tahun 1992, Surakarta: Kantor
Statistik Kotamadya Dati II Surakarta.
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/33

Anonim, 1997, Monografi Kotamadya Dati I


Surakarta Tahun 1996, Surakarta: Kantor
Statistik Kotamadya Dati II Surakarta.
Anonim, 1993, Penyusunan Detail Engineering
Drainase Tahap II Drainase Kotamadya Dati
II Surakarta Tahun Anggaran 1993/1994,
Surakarta: BAPPEDA Kodya Surakarta.
Anonim, 1986, Standard Perencanaan Irigasi,
Jakarta: Direktorat Jendral Pengairan
Departemen Pekerjaan Umum.
Bambang Sulistiono, 1995, Pengaruh kerapatan
jaringan drainasi terhadap nilai puncak banjir
di dalam Seminar Nasional Satu Hari
Fenomena Perubahan Watak Banjir, (Ed.
Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta: Panitia
Seminar Nasional Satu Hari enomena
APerubahan Watak Banjir.
Chay Asdak, 1995, Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ching-Hao Tuan, 1991, Effect of landuse changes
on runoff coefficient and sediment yield from
small watersheds di dalam Catchment Runoff
and Rational Formula, (Ed. Ben Chie Yen).
Littleton, Colorado: Water Resources Publications.

34/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

Kraatz, D.B. & Mahajan, I.K.,1975, Small Hydraulic Structures, Rome : Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
Munadhir, 1995, Hubungan aliran-pertambahan
lapisan kedap air di daerah perkembangan perumahan di dalam Seminar Nasional Satu
Hari Fenomena Perubahan Watak Banjir,
(Ed. Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta:
Panitian Seminar Nasional Satu Hari
Fenomena Perubahan Watak Banjir.
Nur Arifani, Kartini Susilowati, Mariyanto & Entoh
Suhana, 1995, Banjir Way Kuala Garuntang
dan Way Galih di Kotamadya Bandar
Lampung di dalam Seminar Nasional Satu
Hari Fenomena Perbuhan Watak Banjir,
(Ed. Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta:
Panitia Seminar Nasional Satu Hari
Fenomena Perunahan Watak Banjir.
Smith,C.D.,1978, Hydraulic Structures, Canada:
University of Saskatchewan Printing Services.
Zubair Ahmed, White, T.D. & Kuczek, T. ,1997,
Comparative field performance of subdrainage systems, Journal of Irigation and
Drainage Engineering, 123 (3), 194-201.

You might also like