You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae.
Jumlah penyakit kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Walaupun penyakit ini masih merupakan
problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di
16 negara, dan 82% nya di 5-negara yaitu brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria. Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang,
distribusi juga tidak merata , yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57 (Kosasih, 2010).
Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan
sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru
terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya (Kosasih, 2010).
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan suatu episode akut
hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan
sistem imunologi (Roy, 1994). Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 %
penderita mengalami reaksi kusta (Prawoto, 2007). Reaksi kusta kebanyakan terjadi pada
pengobatan tahun kedua. Karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, serta mengaktifkan
sistem komplemen. Kompleks tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya
dapat melibatkan berbagai organ (Kosasih, 2010).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Reaksi kusta merupakan suatu episode akut hipersensitifitas terhadap M. leprae yang
menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi (Roy, 1994).
2.2 Kriteria Diagnosa
Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Matsuda) untuk membantu
penentuan tipe. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang
sesuai (Kosasih, 2010).
Bila basil M.Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkoloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran ke arah lepromatosa.

Gambar 1. Patogenesis lepra


2

Ridpley and jopling memeperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit


kusta yang terdiri atas berbagai bentuk atau tipe, yaitu :
TT : Tuberkuloid polar , bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite, bentuk tidak stabil
BT : Borderline Tuberculoid, bentuk tidak stabil
BB : Mid Borderline
BL : Borderline lepromatrous, bentuk tidak stabil
Li : Lepromatosa infdefinite, bentuk tidak stabil
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Gambar 2. Spektrum lepra menurut Ridpley - Jopling


Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, berarti tidak mungkin berubah
tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan
tipe yang stabil dan tidak akan berubah. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe

borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa (Kosasih,
2010).
Multibasilar mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan
Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. Menurut WHO pada
tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Multibasilar memiliki indeks
bakteri ( IB ) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar memiliki indeks bakteri kurang dari 2+.

Gambar 3. Index bakteri M.Leprae


KLASIFIKASI
Ridley &
Jopling
Madrid
WHO
Puskesmas

TT

ZONA SPEKTRUM KUSTA


BT
BB
BL

LL

Tuberculoid
Borderline
Lepromatosa
Pausibasilar ( PB )
Multibasilar ( MB )
PB
MB
Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

PB
1. Lesi kulit ( makula
datar, papul yang
meninggi, nodus )

MB
/
-

1- 5 lesi
Hipopigmentasi
eritema
Distribusi
tidak
simetris
Hilangnya
sensasi
yang jelas
Hanya satu cabang
saraf

> 5 lesi
Distribusi
simetris
Hilangnya
kurang jelas

lebih
sensasi

2. Kerusakan
saraf
- Banyak cabang saraf
(
menyebabkan
hilangnya sensasi /
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena )
Tabel 2. Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
2.3 Faktor resiko tejadinya reaksi kusta
Beberapa faktor risiko yang telah diketahui berpengaruh terhadap tejadinya reaksi
kusta diantaranya adalah umur saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun, tipe kusta MB,
bakteri indeks positip, status nutrisi, lama pengobatan, pembesaran saraf lebih dari 5,infiltrasi
kulit, lesi di wajah, kelelahan, stres, laktasi, kehamilan dan nifas (Roche, 1997 ; Manandar,
1999).
1. Umur saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun
Umur saat didignosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya
reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih sedikit
mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun anak, Th2
diduga kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih
kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori
lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dan
dapat memicu reaksi silang antara antigen M. leprae dengan antigen non M. leprae
seperti M. Tuberculosis (Ranque B, 2004).

Hal ini sama dengan diungkapkan Schollard yang menyatakan bahwa reaksi kusta
tipe I ternyata banyak dialami oleh penderita kusta masa adolesens hingga usia yang
lebih tua. Reaksi kusta tipe II lebih banyak terjadi pada penderita kusta dalam masa
dekade kedua kehidupannya. Hal ini disebabkan karena pengaruh endokrin yang
menyebabkan perubahan imunologi pada penderita kusta (Schollard D.M, et.al, 1994),
2. Lama sakit lebih dari satu tahun
Schollard menyatakan bahwa reaksi kusta tipe II banyak terjadi setelah 3 tahun atau
lebih terinfeksi kuman kusta. Jika reaksi kusta tipe II terjadi terlambat berhubungan
dengan infeksi kusta selama masa remaja, permulaan infeksi yang panjang dan
membutuhkan waktu sampai munculnya gejala (Schollard D.M, et.al, 1994). Hasil ini
juga sama dengan pernyataan W.K Fung (2001), yang menyatakan bahwa reaksi ENL
dapat terjadi pada penderita kusta yang lama tidak mendapat pengobatan sehingga
banyak antigen dari kuman kusta yang dapat memicu terjadinya respon imun
(W.K.Fung, 2001).
3. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik merupakan bentuk dari stres fisik yang akan berpengaruh terhadap
respon imun dan dapat berupa respons non spesifik proliferasi limfosit atas pengaruh
mitogen, timbulnya sel Tc antigen spesifik, aktivasi makrofag, perubahan
keseimbangan Th1 dan Th2 serta sekresi sitokin. Kelelahan fisik dapat menyebabkan
kerentanan terhadap penyakit dan infeksi serta diduga dipengaruhi oleh hormon
kortisol yang berperan dalam menekan sistem imun serta dapat menimbulkan depresi
limfosit, makrofag, leukosit dan IL-2 (Baratawijaya K.G, 2002). Perubahan
keseimbangan hormonal pada penderita kusta akan memicu terjadinya reaksi kusta
(Skilicorn ; Ramaratnam, 2007).
6

2.4 Reaksi kusta


Reaksi kusta adalah eksaserbasi akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya
kronis. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi
imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya (Kosasih, 2010).
1. Eritema Nodusum Leprosum
Eritema nodusum terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada
BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L.
Secara imunopatologis, E.N.L termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.Leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen
sehingga terbentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena
unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Oleh karena salah satu protein
M.leprae bersifat antigenic, maka antibody dapat terbentuk. Ternyata bahwa kadar imunologi
penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena
pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih
banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan,
banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi
dengan antibody, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks tersebut terus beredar
dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ (Kosasih, 2010). E.N.L
juga dipercepat dengan adanya kehamilan dan infeksi piogenic (Wolff, 2008).
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa eritema nodusum dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
adanya proteinuria (Kosasih, 2010). Pada organ lain, gejala athralgia dan arthtritis lebih
dominan daripada neuritis. adenitis, orchitis/epidedimitis atau iritis (Wolff, 2008).

Gambar 4. Nodul eritema pada reaksi kusta

Gambar 5. Lesi dari eritema nodusum pada pasien lepra tipe LL. Karakteristik merah muda
mengkilap, edem,dan pustula. Lesi ini sangat nyeri dan tidak keras.
2. Reaksi Reversal atau reaksi upgrading
Tipe kusta yang termasuk borderline (bentuk tidak stabil) dapat bergerak bebas ke arah TT
dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai
dengan perubahan SIS. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT

dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat (Kosasih,
2010).
Secara imunopatologis, disebabkan karena reaksi hipersensitivitas tipe IV (coombs dan
Gel). Antigen dari M.leprae bereaksi dengan T limfosit karena adanya perubahan yang cepat
dari imunitas seluler (Pedoman Diagnosa danTerapi, 2005). Antigen-antigen terlokalisasi
pada sel-sel Schwann dan makrofage. Sel-sel Schwann mengekspresikan reseptor toll-like
(TLR) 2. Infeksi M. Leprae bisa mengarah pada ekspresi MHC II pada permukaan sel dan ini
bisa menghasilkan presentasi antigen yang memicu pembunuhan limfosit-limfosit CD4 pada
sel yang diperantarai oleh sitokin seperti TNF.

Gambar 6. Demyelinisasi sel saraf oleh bakteri M.Leprae


Gejala klinis reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu yang relaif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama bertambah luas (Kosasih, 2010).

Gambar 7. Reaksi kusta tipe reversal atau upgrading


Gejala syaraf biasanya menonjol berupa keradangan syaraf yang mendadak, pada satu atau
beberapa syaraf tepi (yang paling sering n.ulnaris dan n.medianus), dengan gejala nyeri yang
hebat dan atau adanya gangguan fungsi (Pedoman Diagnosa dan Terapi, 2005).
Neuritis terjadi jika seorang individu mengalami salah satu dari kondisi berikut: nyeri
saraf spontan, parestesia, rasa sakit (tenderness), atau gangguan sensoris atau motoris baru.
Nyeri saraf, parestesia atau rasa sakit (tenderness) bisa mendahului gangguan fungsi saraf,
yang jika tidak diobati dengan cepat akan menjadi permanen.
Kalau diperhatikan kembali, reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi
eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal disebut reaksi non-nodular. Hal ini penting dalam membantu
menegakkan diagnosa reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus (Kosasih, 2010).
3. Fenomena lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non-nodular difusa.

10

Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tidak
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh.
Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura dan bula, kemudian dengan cepat
terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk
jaringan parut.

Gambar 8. Lesi fenomena lucio, didapatkan adanya hemoragic infark dan serrated borders.
Halo yang eritematosa merupakan karakteristik.
Manifestasi pasien berupa infiltrat difus, alopesia total pada alis dan bulumata, perforasi
septum nasi, tanpa lesi nodular, dan kerusakan saraf sensoris dengan gambaran "stockingglove" (Wolff, 2008).
Gambaran histopatologis menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
2.5 Diagnosis banding
Diagnosa banding dari reaksi kusta adalah Eritema nodusum karena penyakit rheuma,
tuberculosis dan sarcoidosis (Pedoman Diagnosa dan Terapi, 2005). Pitiriasis versikolor,
Tinea korporis, Psoriasis, Sifilis II.
2.6 Penatalaksanaan

11

Penatalaksanaan pada reaksi kusta tipe E.N.L adalah kortikosteroid, antara lain prednison.
dosis tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison diberikan 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksi, maka makin tinggi dosis yang diberikan,
sebaliknya bila reaksi terlalu ringan tidak perlu diberikan . Sesuai dengan perbaikan reaksi,
dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Dapat ditambahkan obat
analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap
kortikosteroid, E.N.L akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis
tertentu, sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus (Kosasih,
2010).
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L,
tetap dengan dosis yang lebih tinggi. dosis yang diberikan antara 200-300 mg/hari.
Keuntungan pemberian klofazimin dapat digunakan sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak menguntungkan adalah
kulit menjadi merah kecoklatan tetapi bersifat reversible meskipun menghilangnya lambat
sejak obat dihentikan. Selama penanggulangan E.N.L ini, obat-obat antikusta yang sedang
diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya (Kosasih, 2010).

12

Gambar 9. Multi Drug Therapy pada kusta


Pengobatan reaksi reversal perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai dengan neuritis
atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobaan tambahan.
Apabila terdapat neuritis akut, obat pilihan pertama yang digunakan adalah prednison 40-60
mg/hari, kemudian diturunkan secara perlahan. Pengobatan harus secepatnya dilakukan
dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf. Jarang terjadi
ketergantungan pada kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Analgetik dan sedativa dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal
kurang efektif (Kosasih, 2010).
Penelitian terbaru mendapatkan bahwa kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar
reaksi kusta dengan Amitriptyline 3 x 25 mg dan Terapi Perilaku Kognitif (CBT) sebanyak 6
sesi pertemuan, serta kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar reaksi kusta dengan
Amitriptyline 3 x 25 mg, lebih cepat memberikan pemulihan pada reaksi kusta dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang hanya mendapat terapi standar (Celestinus, 2010).
2.7 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien maupun keluarga adalah tentang efek
terapi yang diberikan. Pemberian terapi pada reaksi kusta dalam jangka waktu lama tentunya
akan memberikan efek samping yang merugikan untuk pasien.
Efek samping terhadap penggunaan dapsone antara lain nyeri kepala, erupsi obat,
anemia

hemolitik,

leukopenia,

insomnia,

nekrolisis

epidermal

toksik,

hepatitis,

hipoalbuminemia (Kosasih, 2010).


Efek yang didapat dari pemberian rifampicin adalah hepatotoksik, nefrtoksik, gejala
GIT, dan erupsi kulit (Kosasih, 2010).
Efek samping terhadap pemberian klofazimin (lamprene) adalah warna kecoklatan
pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut
disebabkan karena klofazimin yang merupakan zat warna dan di deposit terutama pada se
retikulondotelial, mukosa dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering
13

merupakan masalah dalam ketaatan berobat pnderita. Perubahan warna kulit tersebut akan
menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan (Kosasih, 2010).

BAB III
RINGKASAN
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan suatu episode akut
hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan
sistem imunologi. Reaksi kusta kebanyakan terjadi pada pengobatan tahun kedua. Karena
pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks
tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Beberapa faktor risiko yang telah diketahui berpengaruh terhadap tejadinya reaksi kusta
diantaranya adalah umur saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun, tipe kusta MB, bakteri
indeks positip, status nutrisi, lama pengobatan, pembesaran saraf lebih dari 5, infiltrasi kulit,
lesi di wajah, kelelahan, stres, laktasi, kehamilan dan nifas. Tipe reaksi kusta ada 3 bentuk
yaitu tipe eritema nodusum leprosum (E.N.L), upgrading atau reversal, dan fenomena lucio.
Terapi yang diberikan berupa multi drug terapi sesuai tipe kusta menurut Ridpley Jopling,
prednison 15-30 mg/hari dan adjuvant analgetik dan sedative dapat pula diberikan. Edukasi
pasien terhadap terapi yang diberikan serta efek samping perlu dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan minum obat.

14

DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya K.G,, Imunologi Dasar, edisi kelima, FKUI, 2002; 190-1
Celestinus Eigya Munthe, Keefektifan Amitriptyline Dan Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
Untuk Memperpendek Waktu Pemulihan Reaksi Kusta. Tesis : Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2010
Kosasih A, Made Wisnu, Emmy S.J, Linuwih S.M, Kusta, dalam : Juanda, Adhi, Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin, FKUI, edisi IV, Jakarta, 2010 ; 73-88
Listyawan, Agusni, Martodiharjo, Reaksi Kusta, dalam Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, 2005, Surabaya
Manandhar R, Joseph W, Master J.L, Roche P.W, Risk Factors for Erythema Nodosum
Leprosum, International Journal of Leprosy vol. 67, number 3, 1999; 270 7.
Prawoto, Kabulrachman & Ari Udiyono. Faktor faktor risiko yang berpengaruh terhadap
Terjadinya reaksi kusta (studi di wilayah kerja puskesmas kabupaten brebes). 2007.
Ramaratnam S, Leprosy, 2007; 33-4 http://www.emedicine.com/neuro/topic187.htm
Ranque B, Thuc V.N, Thai H.V, Huong T.N, Ba N.N, Khoa X.P, Schurr E, Age is an
Important Risk Faktor for Onset and sequele of Reversal Reactions in Vietnamese Patients
with Leprosy, 2004 ; 33-9.
Roche P.W, Master J.L, Ruth C.B, Risk Factors for Type I Reactions in Leprosy, International
Journal of Leprosy vol. 65,number 4,1997;450- 4
Roy E.P, Gopal R, Clinical Leprosy, in : Hasting RC, editor, Opromolla DVA, 2nd ed.
Edinburg : Churchill Livingstone; 1994; 271-8
Schollard D.M, Smith T, Bhoopat L, Theetranont C, Rangdaeng S, Morens D.M,
Epidemiologic Characteristics of leprosy Reactions, International Journal of Leprosy, 1994,
vol.64, number 2, 1994 ; 559-65.
Skilicorn K, Reactions and Neuritis in
http:www.webspawner.com/user s/REACTNS/

Leprosy

HD

),

2007;

1-4

W.K. Fung, Lepromatous Leprosy and Erythema Nodosum Leprosum, Hongkong


Dermatology & Venereology Bulletin, 2001; 1 3
Wolff, Klaus et all, Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine seventh edition, 2008,
McGrawth Hill, USA

15

You might also like