Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
KELOMPOK VI
1.
2.
3.
4.
5.
Diah Suryani S
201401008
Esti Budi Handayani
201401013
Martha K. Silalahi 201401019
Oliva S. Ningsih
201401022
Ulfah N.K
201401033
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang berjudul: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Hip . Makalah
ini membahas mengenai tinjauan teori fraktur hip dan asuhan keperawatan pada pasien
fraktur hip berdasarkan evidence base practice, melalui pembahasan jurnal yang terkait
dengan fraktur hip. Makalah ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan bagi
perawat profesional untuk mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien fraktur hip
berdasarkan evidence base practice sehingga dapat menghasilkan asuhan keperwatan
yang berkualitas yang dapat meningkatkan derajat kesehatan klien . Penyusunan makalah
ini merupakan salah satu syarat dalam mata kuliahKMB Lanjut I. Dalam penyusunan
makalah ini , kami mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ns. Ni Luh Widani, MKep.Sp.KMB ., selaku koordinator mata ajar KMB Lanjut I
2. Ns. Sr. Lucila CB, MKep. Sp. KMB., selaku pembimbing dalam Asuhan Keperawatan
Pasien Fraktur.
3.
Seluruh
teman-teman
Program
S2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Fraktur hip adalah fraktur pada 1/3 proksimal femur
yang meluas 5 cm
dibawah trochanter. Fraktur hip biasa terjadi pada lansia dengan 90 % fraktur
disebabkan oleh jatuh. Pada usia 90 tahun diperkirakan sebannyak 33 % dari semua
wanita dan sebanyak 17 % dari semua laki-laki mengalami frakture hip. Pada
individu dewasa tua lebih dari 65 tahun fraktur hip lebih sering terjadi pada wanita
dari pada laki-laki karena osteoporosis. Individu dengan fraktur hip diperkirakan
akan meninggal dalam waktu 1 tahun dari injuri karena komplikasi medis yang
disebabkan oleh frakture atau hasil dari imobilisasi. (Lewis, 2011).
Fraktur hip merupakan masalah kesehatan publik yang bersifat global, dimana
kasusnya meningkat 1.6 million di seluruh dunia setiap tahun dan akan meningkat
lebih cepat pada tiga dekade berikutnya karena polulasi penuaan (Neuman, 2012). Di
Amerika Serikat, jumlah fraktur hip meningkat setiap tahun seiring pertambahan
usia populasi Amerika. Resiko fraktur hip meningkat pada usia 50 tahun diperkirakan
sebesar 15.8 % . Frakture hip menyebabkan lebih dari 300.000 hospitalisasi pada
lansia dengan usia lebih dari 65 tahun. Kelemahan otot-otot kuadrisep, reflex yang
lambat, berurangnya kekuatan daya regang tulang, kerapuhan tulang secara umum
akibat lansia, kondisi yang menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan serebral
(transient ischemic attack, anemia, emboli, penyakit kardiovaskuler dan efek obatobatan), berkontribusi untuk meningkatkan jatuh yang dapat meningkatkan fracture
hip. Angka kematian rata-rata tinggi pada 1/3 dari semua pasien pada satu tahun post
frature hip.(Hinkle, 2014).
Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup (AHH), jumlah penduduk
lansia (lanjut usia) atau di atas 60 tahun, diperkirakan akan semakin meningkat. Data
yang dilaporkan oleh Persatuan Gerontologi Medik Indonesia, menyebutkan pada
tahun 2015, jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 36 juta orang atau 11,34% dari
populasi penduduk. (Nazer, 2014). Lansia memerlukan perhatian khusus dalam
aktivitasnya, dikarenakan Lansia akan mengalami masalah kesehatan karena
penurunan fungsi tubuhnya yang terjadi secara alami. Lansia akan mengalami
penurunan penglihatan, kemampuan berjalan, penurunan kewaspadaan. Hal ini akan
meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Jatuh pada lansia akan menimbulkan suatu
masalah yang harus menjadi perhatian penting bagi petugas kesehatan termasuk
perawat. Jatuh dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti patah tulang/ fraktur
(3-5%) . Fraktur hip dapat menjadi morbiditas dan mortalitas pada lansia. Fraktur hip
dapat menyebabkan biaya yang besar karena tindakan yang dilakukan untuk
mengobati dengan tindakan operasi (Black, 2009)
Ada 2 jenis frktur hip yaitu intracapsular fracture dan ekstracapsular fracture.
Intracapsular fracture adalah fraktur pada leher femur. Extracapsular fractures
adalah fraktur pada daerah trochanter ( daerah antara dasar leher dan lebih sedikit
trochanter pada femur) dan daerah subtrochanter. Fracture pada leher femur dapat
menyebakan kerusakan system pembuluh darah yang memberikan suplai darah ke
leher dan kepala dari femur dan tulang dapat menjadi iskemik , sehingga pasien dapat
mengalami Avaskular Necrosis (AVN). Extracapsular intertrochanter fractures
memiliki aliran pembuluh darah yang bagus dan proses proses penyembuhan fracture
lebih cepat. Walupun demikian kerusakan jaringan yang meluas dapat terjadi pada
waktu terjadinya injuri (Hinkle, 2014).
Berbagai komplikasi dapat terjadi akibat fraktur hip. Komplikasi fraktur hip
pada femoral neck fracture adalah nonunion, avaskular nekrosis, dislokasi dan
degenerative arthiris sedangkan intertrochanteric fractures berdampak pada
pemendekan kaki sehingga diperlukan ambulasi yang nyaman. (Lewis, 2011).
Nonunion atau tidak ada penyatuan tulang merupakan hasil dari kegagalan
berakhirnya penyatuan tulang yang mengalami fraktur.Avaskular nekrosis terjadi
ketika tulang mengalami kehilangan suplai darah dan mengalami kematian. Hal ini
terjadi setelah fracture mengalami gangguan suplai darah terhadap daerah distal.
(Hinkle, 2014)
Pembedahan merupakan managemen medis utama pada pasien intracapsular
fracture dan ekstracapsular fracture yang bertujuan untuk mendapatkankenyamanan
fiksasi sehingga pasien dapat mobilisasi dengan cepat dan menghindari komplikasi
medis secara sekunder (Lewis, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Neuman (2012), dari 126 rumah sakit di New York State dari tahun 20072008,
sebanyak 62.8 % pasien frakture hip yang menjalani pembedahan internal fiksasi,
sebanyak 32.7 % hemiartoplasty dan total hip arthoplasty sebanyak 4.5 % dengan
anastesi umum. Setelah managemen pembedahan banyak pasien dengan frakture hip
2.2.1
Tujuan Umum
Tujuan umum pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tinjauan
teori secara umum mengenai fraktur hip dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan fraktur hip
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 FrakturHip
2.1.1 Definisi
Faktur adalah gangguan kontinuitas tulang secara complete atau incomplete dan
didefinisikan berdasarkan jenis dan luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh kecelakaan
secara langsung, tekanan yang kuat dan kontraksi otot yang kuat. Ada 2 jenis fraktur hip
yaitu intracapsular fracture dan ekstracapsular fracture. Intracapsular fraktur adalah
fraktur pada leher femur. Extracapsular fractures adalah fraktur pada daerah trochanter
(daerah antara dasar leher dan lebih sedikit trochanter pada femur) dan daerah
subtrochanter (Hinkle, 2014).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Lukman & Sorensen, 2009).
Fraktur Hip adalah fraktur yang terjadi pada tulang hip, bagian proksimal dari tulang
femur ( leher femur ) atau tulang pelvis berdasarkan lokasi fraktur capital,transcervical,
dan subcapital. ( Lewis, 2011 )
Jadi dapat disimpulkan fraktur hip adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
terjadi pada tulang hip baik pada leher femur maupun pada daerah trochanter yang
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecelakaan secara langsung dan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Tulang merupakan bagian unik dimana terdiri dari jaringan yang sangat vascular,
mendapat aliran darah 200 400 ml/menit. Setiap tulang mempunyai arteri yang
memberikan nutrisi yang masuk dekat poros tengah dan cabang-cabang ke dalam
pembuluh darah, asending dan desending.
cortex, sumsum tulang dan system haversian. Saraf simpatis dan aferen ( sensory )
constitute. Spare nerve mensuplay tulang. Dilatasi pembuluh darah dikontrol oleh system
saraf simpathetik. Saraf aferens meneruskan nyeri yang diderita klien yang mengalami
lesi tulang. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat
10
(kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas luar lempeng yang berdekatan dengan
epifisis. Apabila proses osifikasi (pembentukan tulang ) ini selesai, tulang di sisi diafisis
telah bertambah panjangnya, dan lempeng epifisis telah kembali kekebalannya semula.
Tulang rawan yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng. (Black, 2009)
Femur merupakan tulang panjang bagian dari anggota gerak bawah. Femur terdiri
dari ujung atas (Lewis, 2011)
Kaput : bagian atas berbentuk masa yang bulat mengarah kedalam dan keatas, tulang
tersebut halus dan dilapisis oleh kartilago kecuali fovea, lubang kecil tempat
melekatnya ligamentum pendek yang menghubungkan kaput dan os coxae.
Collum femoris : korpus tulang yang mengarah kebawah dan kesebelah lateral,
menghubungkan kaput dan korpus.
11
menghambat suplay kalsium tulang. Hal ini merupakan contoh dari feedback negatif pada
system endokrin. (Price, 2009)
12
Grouth Hormone
GH disekresikan oleh lobus anterior dari kelenjar pituitary.
Hormon ini
Pemberian
Stimulus
Sesuatu sebagai stimulus seperti hormon, obat atau stressor, aktivitas osteoclast
atau sel penghancur tulang.
Resorpsi
Osteoclast segera memecah tulang, berada di rongga disebut resorpsi cavity.
Tulang baru
Osteoblast sebagai pembentuk tulang baru.
Hematom
13
Ketika terjadi fraktur, akan timbul perdarahan dan bengkak. Hematom terjadi 72
jam setelah injury.
2. Jaringan Granulasi
Selama tahap ini fagositosis secara aktif mengabsorbsi produk nekrosis local.
Hematom berubah menjadi jaringan granulasi. Jaringan granulasi (terdiri dari
pembuluh darah baru, fibroblast dan osteoblash) menghasilkan dasar substansi tulang
baru yang disebut osteosid selama 3-14 hari setelah injuri
3.
Pembentukan kalus
Mineral seperti calcium, fosfat dan magnesium beberapa matriks tulang disimpan
di dalam osteoid , sebuah jaringan tulang yang tidak teratur membentuk jalinan bagian
fraktur. Kalus terutama terdiri dari kartilago, ostoblash, kalsium dan fosfa. Kalus
biasanya tampak pada minggu kedua setelah injuri. Bukti pembentukan kalus dapat
dilihat dengan menggunakan X- Ray
4.
Osifikasi
Osifikasi dari kalus terjadi dari 3 minggu sampai dengan 6 bulan setelah fraktur
dan berlangsung terus sampai fraktur mengalami kesembuhan. Osifikasi kalus cukup
untuk mencegah pergerakan bagian fraktur ketika tulang mengalami stress yang
ringan. Oleh karena itu fraktur tetap dibutuhkan dengan X-ray. Selama tahap
penyatuan klinik pasien diizinkan untuk melakukan aktivitas yang terbatas
5 . Consolidation
Kalus secara terus menerus berkembang, jarak antara fragmen tulang berkurang
dan pada akhirnya tertutup. Dalam tahap ini osifikasi masih terus berlangsung.
Penyatuan tulang secara radiologi pada saat dilakukan X ray dibuktikan dengan
penyatuan tulang secara komplit. Fase ini terjadi sampai satu tahun setelah injury.
6. Remodeling
Kelebihan jaringan tulang, diabsorbsi kembali pada akhir penyembuhan jaringan
tulang dan penyatuan tulang secara komplit. Pada tahap ini secara perlahan tulang yang
mengalami injuri akan kembali ke bentuk dan kekuatan sebelum injuri.
14
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi dan menghambat penyembuhan fraktur (Hinkle, 2014)
Proses penyembuhan fraktur dibutuhkan waktu satu minggu sampai dengan satu
bulan. Beberap factor yang dapat menmpengaruhi proses penyembuhan tulang. Pada
Communited fractured, patahan tulang atau fragment tulang seharusnya sejajar untuk
mendapatkan kemungkinan penyembuhan tulang yang terbaik. Pada proses penyembuhan
tulang yang mengalami fraktur harus memiliki suplai darah yang cukup untuk
memfasilitasi proses penyembuhan. Secara umum fratur tulang pipih ( pelvis, sternum
dan scapula) memiliki proses penyembuhan yang lebih cepat. Fraktur kompleks dan
Communited fractured, penyembuhannya lebih lama
15
Perokok
Diabetes
16
Gambar 2.1 . Letak fraktur berdasarkan jenis (Lukman & Sorensen, 2009)
17
fovea capitis.
Type II adalah dislokasi dengan fraktur terkait kepala femoral cephalad ke capitis
fovea femoris.
Tipe III adalah tipe I atau cedera II terkait dengan fraktur leher femoralis.
Tipe IV adalah tipe I atau cedera II terkait dengan fraktur tepi acetabular.
18
b. Patologis
-
c. Degenerasi
Terjadi karena proses kemunduran fisiologis dari jaringan tulang itu sendiri.
Misalnya pada usia lanjut.
Faktor Resiko fraktur hip adalah sebagai berikut (Black, 2009) dan (Lewis, 2011)
a.
Beberapa studi mengatakan penurunan massa tulang dan peningkatan usia dapat
meningkatkan resiko fraktur HIP.
19
b.
Pada wanita penurunan massa tulang 1,5 tahun sebelum berkahirnya menstruasi.
c.
d.
e.
f.
2.1.5 Patofisiologi
Fraktur hip dapat terjadi pada lansi dan 90 % disebakan oleh jatuh, Pada lansia
lebih dari 65 tahun, fraktur hip lebih sering pada wanita dari pada laki- laki karena
osteoporosi. Pada lansia faktor yang berkontribusi menyebabkan jatuh dan terjadinya
fraktur hip adalah ketidakseimbangan postur, berkurangnya reflex, penurunan penglihatan
hipotensi dan penggunaan obat-obatan (Lewis, 2011)
Frakture HIP digolongkan dalam 2 klasifikasi, yaitu fraktu intrakapsular ( Leher
Femoralis) dan ekstrakapsular. Fraktur intrakapsular terjadi pada daerah yang masih
berada dalam lingkup kapsul sendi yang meliputi fraktur kapital (Fraktur kepala femur),
fraktur subcapital (fraktur dibawah kepala femur), fraktur transervical (fraktur pada leher
femur). Fraktur ini berhubungan dengan osteoporosis dan trauma minor.
Fraktur
ekstrakapsular adalah fraktur yang terjadi di luar kapsul sendi panggul pada daerah sekitar
5 cm dibawah Torachanter Minor. Fraktur ini meliputi : fraktur Intertrochanterteric, terjadi
di daerah antara yg lebih besar dan lebih kecil throchanter) dan fraktur subtrochanteric
yaiut jika terjadi di daerah di bawah trokanter lebih rendah. Fraktur ekstrakapsular
biasanya disebabkan oleh trauma langsung yang parah atau jatuh. (Lewis, 2011)
Pada saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalmi spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot
besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar,
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun
bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping dan, pada suatu sudut (membentuk
20
sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Segmen juga dapat berpindah berotasi. (Black,
2009)
Selain itu, periousteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu. Sering terjadi karena cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada jaringan itu sendiri. Pada saluran sumsum
(medulla), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan di bawah periosteum.
Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma
dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih .
Fraktur pada leher femur dapat menyebakan kerusakan sitem pembuluh darah yang
menyuplai darah ke bagian kepala dan leher femur sehingga tulang menjadi iskemik
sehingga dapat menyebabkan Avaskular Necrosis (AVN) sedangkan pada fraktur
ekstrakapsular intertrochanter, suplai darahnya bagus dan proses penyembuhan lebih
cepat. Mesekipun demikian, keusakan jaringan yang meluas dapat terjadi setelah injuri
(Hinkle, 2014)
2.1.6 Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala dari fraktur hip sebagai berikut (Hinkle, 2014)
Nyeri (Meher, 2012)
Nyeri yang meningkat secara terus-menerus sampai fragmen tulang diimobilisasi.Spasme
otot 20 menit setelah injury dan menghasilkan nyeri yang lebih kuat.Pada fracture hip
pasien melaporkan nyeri pada hip, kelangkangan atau pada sisi medial dari lutut.
Pengaruh dari intracapsular femoral neck fracture ketidaknyamanan yang sedang (pada
saat bergerak) sehingga memungkinkan pasien untuk menopang berat badan, dan pasien
tidak menunjukan pemendekan ekstremitas yang nyata dan perubahan rotasi
Kehilangan fungsi
Setelah fracture ekstermitas tidak dapat berfungsi sebagaimana menstinya karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang sebagai tempat melekatnya otot. Pada
Frakture hip, pasien tidak dapat mengerakan kakinya tanpa peningkatan nyeri yang
signifikan. Pasien akan merasa nyaman dengan fleksi yang sedkit atau tidak sama sekali
pada rotasi eksternal
Deformitas atau perubahan bentuk tulang
Shortening atau pemendekan ekstremitas
21
Fraktur pada tulang panjang terjadi pemendekan pada ekstremitas karena adanya
kompresi tulang akibat fraktur.Kadang-kadang spasme otot menyebabkan bagian distal
dan proksimal dari fracture mengalami overlap yang menyebabkan ekstremitas
mengalami pemendekan. Pada fraktur hip khususnya fracture
Shock
Shok hipovolemik merupakan hasil dari perdarahan yang paling sering terjadi pada
pasien dengan fraktur femur terbuka dengan artery femoral yang terobek akibat
fragment tulang. Pengobatan shock terdiri dari stabilisasi fracture untuk mencegah
perdarahan lebih lanjut. Mnegembalikan volume darah dan sirkulasi, mengurangi
22
pulmonary edema, acute respiratory distress syndrome dan gagal jantung dapat
berkembang.Manifestasi neurologi meliputi gangguan serebral yang ditandai dengan
perubahan status mental, agitasi atau delirium dan koma. Pembentukan petekie
terjadi 48 jam sampai dengan 72 jam setelah injury, kemungkinan disebabkan oleh
trombositopenia. Pasien kemungkianan memiliki demam lebih dari 39 .5 derjata
Celsius. Lemak bebas kemungkinan dapat ditemukan pada urin, jika emboli di
filtrasi
melalui tubulus renal. Akut tubular necrosis dan gagal ginjal dapat
berkembang.
Compartement Syndrome
Secara anatomis kompartemen adalah sebuah area dari tubuh yang dibungkus oleh
tulang atau fasia yang berisi otot, pembuluh darah dan saraf.Tubuh manusia
memiliki 46 kompertement tubuh dan 36 dari kompartemen ini terletak pada
ekstremitas.Compartement Syndrome pada ekstremitas adalah suatu keadaan yang
mengancam anggota badan yang terjadi ketika tekanan perfusi menurun dibawah
tekanan jaringan dalam kompertemen anatomi yang tertutup.
Akut kompartement sindrom meliputi berkurangnya aliran darah secara tiba-tiba
dan berat pada jaringan distal dari daerah injuri yang menghasilkan nekrosi injuri.
Pasien akan mengeluh berdenyut-denyut, nyeri yang tidak dapat ditahan yang terusmenerus meningkat walaupun diberikan opoid. Ciri khas nyeri pada kompartement
sindrom adalah nyeri terjadi atau diperkuat dengan ROM pasif.Nyeri ini dapat terjadi
sebagai hasil dari reduksi dalam ukuran kompartement otot karena terbatasnya fasia
otot dan juga sempit, menigkatnya isi dari kompartement karena edema atau
perdarahan dari lokasi fracture.Tekanan di dalam otot kompartement dapat
meningkatkan derajat berkurangnya mikrosirkulasi, menyebabkan anoxia pada saraf
dan otot serta nekrosis.Fungsi permanent dapat hilang jika situasi anoxia
23
Tanda dan gejala PE adalah takipnea, nyeri dada, takikardia, hemoptisis, cianosis,
ansietas, abnormal AGD.
b. Komplikasi yang tertunda
yang abnormal
Avaskular Necrosis (AVN) dari tulang
AVN terjadi ketika tulang mengalami kehilangan suplai darah dan mengalami
kematian. Hal ini terjadi setelah fracture mengalami gangguan suplai darah terhadap
daerah distal. AVN merupakan salah satu komplikasi dari femoral neck fracture.
Complex Regional Pain Syndrom (CPRS)
CPRS adalah masalah nyeri system saraf simpatis.Hal ini jarang terjadi.
Heterotopic Ossification
Heterotopic Ossification adalah pembentukan tulang yang tidak normal, tulang yang
dekat atau didalam otot, dalam merespon terhadap trauma jaringan atau fracture
setelah trauma tumpul atau total joint replacement
dari 126
rumah sakit di New York State dari tahun 20072008, setelah managemen pembedahan
banyak pasien dengan frakture hip mengalami angka kesakitan, kematian dan
kedidakmampuan yang tinggi dengan perkiraan 5 % meninggal selama di rumah sakit
24
bahwa pasien dengan fraktur hip akan beresiko mengalami luka tekan karena tekanan
dan luasnya tekanan pada jaringan akibat imobilisasi
Confusion. Delirium yang ditandai dengan perubahan perhatian, kognitif, aktivitas
psikomotor, gangguan pola tidur.
emotional klien dan keluarga, dan focus pada keamanan pasien. karena jika tidak ini
akan meningkatkan lama hari rawatn dan biaya yang dibutuhkan.
2.1.8 Test diagnostic (menurut Black, 2009)
Test diagnostic yang dilakukan adalah dengan radiologi dengan posisi
anteroposterior dan lateral, Bone scan, CT Scan dan MRI untuk menentukan lokasi
fraktur, CT scan dapat digunakan untuk melihat abnormal (hematoma) dan organ lain
seperti pembuluh darah.
Pada persiapan operasi dilakukan pemeriksaan darah rutin bedah, stabilisasi
kondisi pasien/ toleransi operasi seperti gagal jantung.
2.1.9 Managemen Fraktur HIP
2.1.9.1 Managemen Medis
25
Managemen Medis pasien dengan fraktur hip adalah sebagai berikut (Hinkle,
2014), (Black, 2009)
a.
Buckextention traction yaitu sebuah bentuk traksi kulit yang bersifat sementara, secara
tradisonal digunakan karena diyakini dapat mengurangi spasme otot, imobilisasi
ekstremitas, dan mengurangi nyeri. Manfaat dari tindakan ini tidak ditemukan dalam uji
klinis, oleh karena itu sebagai petunjuk rutin tidak dianjurkan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan
dari 126
rumah sakit di New York State dari tahun 20072008, sebanyak 62.8 % pasien frakture
hip yang menjalani pembedahan internal fiksasi, sebanyak 32.7 % hemiartoplasty dan
total hip arthoplasty sebanyak 4.5 % dengan anastesi umum
Total hip replacement adalah suatu tindakan operasi yang menggantikan bagian
sendi hip yang mengalami kerusakan. Sendi yang mengalami kerusakan dikeluarkan
26
dan diganti dengan sendi buatan yang disebut prosthesis. Total hip replament bisanya
dilakukan pada pasien dengan fraktur intrakapsular.
2.1.9.2 Managemen Keperawatan
Manajemen penanganan pasien dengan fraktur HIP adalah sebagai berikut (Lewis,
2011):
a. Managemen Pra Operasi.
Karena pasien dewasa yang lebih tua yang paling rentan terhadap fraktur hip, masalah
kesehatan kronis harus sering dipertimbangkan ketika merencanakan pengobatan.
Seperti; Diabetes mellitus, hipertensi, heart failure, penyakit paru, dan arthritis adalah
masalah kronis yang dapat mempersulit status klinis. Pembedahan mungkin tertunda
selama beberapa waktu sampai penderita kesehatannya secara umum stabil. Sebelum
operasi, spasme otot yang parah dapat meningkatkan rasa sakit. Obat Analgesik
sesuai atau relaksan otot, posisi nyaman kecuali kontraindikasi, traksi dapat
membantu dalam manangi mengurangi ketegangan atau spasme otot.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abou-Setta, Beaupre , Rashiq, Dryden,
& Hamm, Comparative Effectiveness of Pain Management Interventions for Hip
Fracture : A systematic Review, 2011) menunjukan bahwa analgetik blok saraf dapat
memberikan efek untuk mengurangi nyeri dan dapat mengurangi dan dapat
mengurangi delirium
Penyuluhan harus dilakukan dengan segera karena intervensi bedah cepat adalah
standar perawatan saat ini.. Bila mungkin, mengajarkan pasien metode dan frekuensi
latihan untuk kaki dan kedua lengan yang tidak berpengaruh . Dorong pasien untuk
menggunakan overhead trapeze bar dan sisi rel yang berlawanan untuk membantu
dalam mengubah posisi. Seorang ahli terapi fisik dapat mulai mengajarkan turun dari
tempat tidur dan pindah ke kursi.
b. Managemen Pasca Operasi
Manajemen pasca operasi awal pasien setelah open reduction dengan fiksasi internal
(ORIF) pada fraktur hip adalah sama dengan untuk setiap pasien bedah yang lebih
tua. Pantau tanda vital, intake, dan output; mengawasi kegiatan pernapasan, seperti
bernapas dalam dan batuk; pemberian obat nyeri; dan mengamati dressing dan luka
serta tanda-tanda perdarahan dan infeksi.
27
Dalam periode pasca operasi awal ada potensi untuk gangguan neurovaskular.
Menilai ekstremitas pasien terhadap :
1) warna,
2) suhu,
3) pengisian kapiler
4) nadi distal ,
5) edema,
6) sensasi,
7) fungsi motorik,
8) rasa sakit.
Edema berkurang dengan mengangangkat kaki setiap kali pasien di kursi.
Nyeri yang dihasilkan di ekstremitas yang terkena dapat dikurangi dengan
menjaga bantal (atau belat abductor) antara lutut saat pasien beralih ke kedua sisi.
Bantal juga digunakan untuk mencegah rotasi eksternal. Jika endoprosthesis
ditempatkan, pasien berisiko untuk dislokasi hip. Hip tindakan pencegahan harus
ditunjukkan dan dijelaskan kepada pasien.
Terapis fisik biasanya mengawasi latihan aktif dibantu untuk ekstremitas yang
terkena dan ambulasi ketika ahli bedah mengijinkannya. Ambulasi biasanya
dimulai pada hari pertama atau kedua pasca operasi. Dalam Kolaborasi dengan
ahli terapi fisik, memantau status pasien ambulasi untuk kruk berjalan tepat atau
penggunaan walker. Untuk penderita di rumah ,
penggunaan yang tepat dari kruk atau walker, kemampuan untuk mentransfer ke
dan dari kursi dan tempat tidur, kemampuan untuk naik dan turun tangga.
Komplikasi terkait dengan fraktur leher femur termasuk nonunion, nekrosis
avascular, dislokasi dan degeneratif arthritis. Jika fraktur Intertrochanter maka
dapat berpengaruh terhadap pemendekan kaki.
Jika Fraktur hip diobati dengan memasukkan head prothesis femoral dengan
pendekatan posterior (mengakses sendi hip dari belakang), langkah-langkah untuk
mencegah dislokasi harus selalu digunakan. Hindari ekstrem fleksi awalnya
setelah penggantian prostetik dari pendekatan posterior. Pasien dan penolong
harus menyadari posisi dan kegiatan yang mempengaruhi dislokasi pasien (lebih
dari 90 derajat fleksi). Banyak kegiatan sehari-hari dapat menjadikan posisi
tersebut, termasuk mengenakan sepatu dan kaus kaki, berdiri atau duduk
sementara tubuh tertekuk lebih dari 90 derajat relatif terhadap kursi, dan duduk
28
Sampai jaringan lunak kapsul sekitar hip telah sembuh cukup untuk menstabilkan
selama minimal 6 minggu.
Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh seperti heart failure,
diabetes mellitus, chronic obstructive pulmonary disease, osteoarthritis,
osteoporosis
Pembedahan atau treatments yang lain : pembedahan fraktur yang pertama, dan
yang kedua.
Kaji ekstremitasa yang mengalami fraktur terhadap warna (pucat, pink, sianosis)
dan temperature (panas, hangat, dingin )
c. Pola eliminasi
-
29
Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena. Nyeri
meningkat dengan aktivitas ( stress fraktur ).
h. Pola hubungan-peran
-
Integumen
Laserasi pada kulit, pallor, kulit teraba dingin atau hangat pada daerah distal injury,
ecchymosis, hematoma, edema disekitar injury.
Cardiovaskuler
Penurunan nadi distal dari injury, penurunan temperature kulit, penurunan capillary
refile
30
Neurovaskuler
Paresthesias, penurunan sensasi.
Musuloskletal
Restriksi, penurunan fungsi, deformitas tulang, crepitasi, kelemahan otot,
pemendekan tulang.
Possible findings
Dapat terlihat pada MRI, CT-Scan, X-Ray.
2.2.2
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berikut ini beberapa diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Fraktur Hip
(Hinkle, 2014) dan (Lewis, 2011)
Pre Operasi :
a. Nyeri b.d fraktur dan injuri jaringan lunak
b. Gangguan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar fraktur, kerusakan rangka
neurovascular
c. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan
menurunnya aliran darah akibat cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus, hipovolemia
Post Opersi :
a.
Nyeri b.d trauma pada tulang dan jaringan yang disebabkan oleh prosedur
pembedahan
b.
c.
imobilisasi.
d.
e.
Resiko infeksi
f.
g.
h.
31
2.2.3
Rencana Tindakan
Pre Operasi (Lewis, 2011) dan (Gulanic, 2014)
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b.d fraktur dan injuri jaringan lunak
A. Hasil yang diharapkan
a. Laporan pasien, nyeri terkontrol pada tingkat kurang dari 3 sampai 4 pada skala
0 sampai 10
b. Pasien menggunakan farmakologis dan strategi nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri.
c. Pasien menunjukkan kenyamanan yang ditandai denga untuk HR, TD,
pernapasan dalam batas normal dan tonus otot dan postur tubuh rileks
B. NOC Hasil:
Kontrol nyeri, dan respon pengobata
C. NIC Intervensi
Manajemen nyeri; pemberian analgesic
D.
Intervensi
32
PCA
membutuhkan
pasien
penggunaannya.
5. Berikan analgesik opiod setiap 3 sampai 4
untuk
memiliki
pengetahuan
R / Sejumlah besar trauma, dan kerusakan jaringan terjadi selama prosedur bedah.
Asumsikan bahwa pasien memerlukan analgesia. Kemampuan bagi penderita untuk
jatuh tertidur pada penilaian nyeri bukan merupakan indikator yang baik dari tingkat
pasien kenyamanan. Mengatasi nyeri tak henti-hentinya menguras cadangan energi
dan masih sakit.
6. Mendorong penggunaan analgesik 30 sampai 45 menit sebelum terapi fisik.
R / nyeri yang berkurang akan meningkatkan pasien dari partisipasi dalam kegiatan
terapi fisik.
7. Mengubah posisi pasien setiap 2 jam atau lebih untuk mingkatkan rasa nyama
R/ Ketidakmampuan pasien untuk bergerak bebas dan mandiri mungkin
mengakibatkan tekanan dan nyeri pada tulang.
Kompres es seperti selama 20-30 menit setiap 1-2 jam
R / Dingin mengurangi edema 24-48 jam pertama) dan mengurangi nyeri
9. Menagajaran teknik relaksasi
R / Terapi komplementer dapat menggantikan efek agen analgesi
8.
keperaawatan
B. Hasil yang diharapkan :
Pasien dapat meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
33
C. NOC Hasil :
-
D. NIC Intervensi :
-
E. Intervensi:
1. Kaji ROM pada bagian sendi proksimal yang tidak mengalami fraktur dan
imbobilasi pada bagian distal
R/ Pasien dengan imobilisasi memiliki batasan ROM pada area yang berpengaruh
2.
3.
Instruksikan klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstrimitas yang sakit
dan tak sakit
R : mempertahankan gerak sendi dan kekuatan otot
4.
Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit diatas dan dibawah fraktur ketika
bergerak
R : Mencegah gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi yang tepat
5.
8.
34
kulit
pucat
merupakan
tanda
gangguan
sirkulasi.ROM
pengkajian
neuromuskuler,
perhatikan
perubahan
fungsi
motorik/sensorik.
R/ Rasa baal, kesemutan, peningkatan nyeri dapat terjadi bila sirkulasi pada saraf
tidak adekuat atau syaraf rusak.
5. Identifikasi tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba.
R/ Dislokasi fraktur dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan.
6. Monitor hasil laboratorium melalui kolaborasi dengan dokter (MP3, Hb, Ht).
R/ Mengidentifikasi tanda-tanda kelainan darah.
7. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
R/ Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
8. Kolaborasi dengan dokter untuk menyiapkan klien intervensi pembedahan.
R/ Intervensi tepat dan cepat dapat mencegah kerusakan yang lebih parah.
35
Post Operasi
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b.d trauma pada tulang dan jaringan yang disebabkan
oleh prosedur pembedahan
A.Hasil yang diharapkan
a. Laporan pasien dapat mengontrol nyeri pada tingkat kurang dari 3 sampai 4 pada skala
0 sampai 10.
b. Pasien menggunakan terapi farmakologis dan nonfarmakologi untuk mengurang nyeri
c. Pasien menunjukan kenyamanan yang ditandai dengan HR, TD, P dalam batas norma
dan tonus otot serta postur tubuh rieks
B. NOC Hasil
a. Kontrol nyeri, respon pengobatan, perawatan diri
b. Obat parenteral.
C. NIC Intervensi
Manajemen nyeri; administrasi analgesik; Patient controlled Analgesia (PCA)
D. Intervensi
1. Menilai keterangan nyeri pasien
R / Langkah pertama dalam mengurangi nyeri menilai keparahan lokasi, dan tingkat
nyeri baik fisik dan emosional. Nyeri Posoperative biasanya terlokalisir pada sendi
yang terkena. Ini akan akut dan tajam. Rasa sakit harus mengurangi intensitas selama
5 hari setelah operasi. Rasa sakit yang terus-menerus atau sakit yang kembali ke
tingkat intensitas sebelumnya dapat megindikasikan
berkembangnya komplikasi
membatasi mobilitas pasien pasca operasi dan kemampuan untuk berpartisipasi aktif
dalam program rehabilitasi.
36
3. Jelaskan terapi analgesik, termasuk obat-obatan dan jadwal. Jika pasien adalah calon
untuk pasien yang dikendalikan analgesia (PCA), menjelaskan konsep dan rutin.
Anjurkan pasien untuk meminta obat nyeri sebelum nyeri menjadi parah.
R / Perawatan sering menganggap bahwa pasien akan meminta obat penghilang rasa
sakit bila diperlukan. Pasien mungkin harus menunggu perawat untuk menawarkan
ketika itu tersedia dan mungkin berpikir itu adalah miliknya atau tugas atau tanggung
jawabnya untuk mentolerir rasa sakit sampai bahkan tidak bisa lagi ditoleransi.
Keberhasilan penggunaan PCA membutuhkan pasien untuk memiliki pengetahuan
penggunaannya.
4. Berikan analgesik opiod setiap 3 sampai 4 jam untuk 24 jam pertama.
R / Sejumlah besar trauma, dan kerusakan jaringan terjadi selama prosedur bedah.
Asumsikan bahwa pasien memerlukan analgesia. Kemampuan bagi penderita untuk
jatuh tertidur pada penilaian nyeri bukan merupakan indikator yang baik dari tingkat
kenyamanan pasien . Koping Mengatasi nyeri tak henti-hentinya menguras cadangan
energi dan berkontribusi terhadap kelemehan
5. Mendorong penggunaan analgesik 30 sampai 45 menit sebelum terapi fisik.
R / nyeri yang berkurang secara adekuat akan meningkatkan partisipasi pasien dalam
kegiatan terapi fisik.
6. Mengubah posisi pasien (dalam pencegahan pinggul setiap 2 jam atau lebih).
R / Ketidakmampuan pasien untuk bergerak bebas dan mandiri mungkin
mengakibatkan tekanan dan nyeri pada tulang.
7. Terapkan kompres es seperti yang diperintahkan
R / Dingin mengurangi rasa sakit, peradangan, dan kelenturan otot dengan
mengurangi pelepasan bahan kimia nyeri merangsang dan memperlambat konduksi
impuls nyeri.
8. Mendorong penggunaan tindakan nonfarmacological (misalnya, pijat, menggosok
punggung , aktivitas pengalihan, relaksasi progresif).
R / Langkah-langkah ini mengurangi ketegangan otot, memfokuskan kembali
perhatian, mempromosikan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
dalam kaitannya dengan rasa sakit.
9. Menjaga posisi yang tepat dari ekstremitas yang terkena.
R / Keselarasan yang benar dan posisi anatomi mengurangi kejang otot dan
ketegangan yang tidak semestinya pada prostesis baru dan jaringan sekitarnya
37
10. Selidiki laporan nyeri sendi tiba-tiba berat dengan kejang otot dan perubahan
mobilitas sendi, dan nyeri dada hebat tiba-tiba yang disertai dengan
dengan sesak
dan gelisah.
R / Peengenalan lebih awal dari berkembangnya masalah seperti dislokasi prostesis
atau emboli paru menyediakan intervensi dan pengobatan komplikasi yang lebih
serius.
2. Diagnosa Keperawatan : Ganguan Mobilisasi fisik b. d prosedur pembedahan,
mungkin
tidak-berat-bantalan
pada
sendi
prostetik.
Kemajuan
38
6.
7.
Menjaga status berat badan pada ekstremitas yang terkena seperti yang
ditentukan.
R / Berlebihan berat-badan pada pinggul akan meningkatkan risiko dislokasi
sampai penyembuhan terjadi. Pasien akan mulai terapi fisik dalam waktu 24 jam
pasca operasi.
39
40
2. Mengajarkan kepada klien tentan pentingnya posisi abduksi/ mendekat pada saat
istirahat sumbuh tubuh untuk mencegah dislokasi
3. Mengajarkan pasien untuk menghindari posis fleksi
menjaukan kaki dari sumbuh tubuh selama proses pemulihan untuk mencegah
dislokasi
4. Mengajarkan kepada pasien untuk menghindari fleksi lebih dari 90 derajat
5. Mengajarka kepada pasien untuk tidak membengkokkan pinggang
6. Mengajarkan kepada pasien ambulasi menggunakan walker dan Crutchs
7. Mengajarkan kepada pasien untuk tidak mengendarai kendaraaan sampai anjuran
dari dokter
8. Mengajarkan kepada pasien untuk segera ke pelyanan kesehatan jika mengalami
nyeri yang hebat. Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang bergizi dan
banyak mengandung serat seperti: nasi ditambah lauk pauk dan susu.
9. Mengajarkan kepada pasien untuk mencegah resiko jatuh dengan menghindari
dari lingkungan yang berbahaya
10. Minum obat sesuai dengan instruksi dokter.
11. Saat berjalan gunakan tumpuan lebih banyak pada kaki yang tidak sakit.
12. Melatih ujung kaki untuk digerakan 1-3 kali dalam setengah jam.
13. Menjaga kebersihan luka dan segera laporkan ke tenaga kesehatan bila ada bau
yang tidak enak, ada rembesan darah keluar, demam tinggi.
14. Anjurkan untuk banyak minum 2-3 liter/hari.
15. Jelaskan penyebab dari fraktur, pengobatan dan komplikasi .
BAB III
ANALISA JURNAL DAN PEMBAHASAN
41
Berikut ini akan dijelaskan mengenai analisa jurnal berkaitan dengan fraktur hip dan
pembahasan
1. Acute nursing care of the older adult with fragility hip fracture: An international
perspective
Peneliti : Ann Butler Maher et all
Jurnal : International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing
Tahun : 2012
Hasil penelitian :
Pada jurnal ini dijelaskan pada jurnal ini bagaimana melakukan perawatan yang optimal
pada pasien fraktur yaitu nyeri, delirium, luka tekan, ketidakseimbangan cairan dan nutrisi,
konstipasi dan infeksi karena pemasangan kateter. Hal ini harus menjadi kewaspadaan
dalam pengkajian keperawatan. Ketidakseimbangan carian/ nutrisi terjadi karena lansia yang
mengalami fraktur hip biasanya mengalami komplikasi seperti delirium, DVT, luka tekan,
aritmia, anemia yang biasanya dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan, nutrisi dan
eliminasi
Luka tekan dapat terjadi karena pasien tidak mampu bergerak setelah jatuh atau operasi.
Untuk menghindari hal tersebut luka tekan harus dilapisi atau dibungkus untuk mengurangi
tekanan. Untuk pasien yang bedrest dianjurkan untuk memakai kasur angin untuk
menghindari tekanan. (Black, 2009). Berdasarkan masalah keperawatan ditemukan diagnosa
kerusakan integritas kulit, infeksi tetapi dengan penyebab yang sama yaitu pada teori
menjelaskan kerusakan integritas kulit terjadi karena luka karena fraktur dan imobilisasi
dan pada penelitian ini ditemukan kerusakan integritas kulit dikarenakan tekanan dan
luasnya tekanan pada jaringan karena pasien imobilisasi. Masalah keperawatan infeksi pada
buku dikarenakan penurunan pertahanan tubuh (Black, 2009) pada penelitian ini ditemukan
infeksi karena pemasangan kateter. Pada teori dapat ditemukan konstipasi karena
keterbatasan aktivitas (Black, 2009).
2. Hip fracture and urinary incontinence use of indwelling catheter post surgery
Peneliti : Liv W. Sorbye PhD, MA, RN (Professor) and Else V. Grue PhD, MA, RN
Associate Professor)
42
43
cukup tentang manfaat dan bahaya yang paling intervensi, termasuk anestesi spinal,
analgesia sistemik, manajemen nyeri multimodal, akupresur, terapi relaksasi, stimulasi
saraf transkutan listrik, dan rejimen terapi fisik, dalam mengelola nyeri akut. Dalan
penelitian ini ditulis keterbatasannya adalah Tidak ada studi mengevaluasi hasil dari sakit
kronis atau eksklusif diperiksa peserta dari panti jompo atau dengan gangguan kognitif..
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah blokade saraf tampaknya efektif dalam
mengurangi nyeri akut setelah patah tulang pinggul. Data Jarang menghalangi kesimpulan
tentang manfaat relatif atau merugikan banyak intervensi manajemen nyeri lainnya untuk
pasien dengan patah tulang pinggul.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pasien yang mengalami fraktur hip akan
mengalami akan mengalami spasme otot yang parah ssehingga dapat menimbulkan rasa
sakit yang hebat dan obat analgetik tidak cukup untuk membantu mengurangi rasa nyeri
sehingga diperlukan blockade saraf untuk mengurangi nyeri. (Lewis, 2011).
4. A systematic review of hip fracture incidence and probability of fracture worldwide
Peneliti : J.A. Kanis, A Oden, E.V. McCloskey, H. Johanson, D.A. Wahl, C. Cooper
Jurnal : International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation
Volume : 23 hal 2239-2256
Tahun : 2012
Hasil penelitian :
Kejadian fraktur hip Secara umum dalam jurnal ini dikatakan secara spesifik risiko satu
negara mengalami patah tulang pinggul dengan kejadian angka Probabilitas 10 tahun pada
sistematis. Dan wanita pada usia 65 tahun lebih beresiko daripada pria.
Hal ini sesuai dengan teori yang didapat bahwa penderita paling banyak wanita pada usia
lanjut dan yang mengalami osteoporosis. Karena pada saat menopose wanita akan
mengalami penurunan serum kalsium yang dapat berakibat osteoporosis . Osteoporosis
menyebabkan tulang mudah rapuh sehingga pasien yang mengalami osteoporosis beresiko
mengalami frakture hip (Lewis, 2011).
44
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Faktur hip adalah gangguan kontinuitas 1/3 tulang femur yang meluas pada 5 cm
dibawah trohanter. Fraktur dapat disebabkan oleh kecelakaan secara langsung, tekanan yang
kuat dan kontraksi otot yang kuat. Ada 2 jenis fraktur hip yaitu intracapsular fracture dan
ekstracapsular fracture. Intracapsular fraktur adalah fraktur pada leher femur. Extracapsular
fractures adalah fraktur pada daerah trochanter (daerah antara dasar leher dan lebih sedikit
trochanter pada femur) dan daerah subtrochanter.
Standar minimum dalam managmen fraktur hip adalah managemen nyeri pre dan post
operasi, pembedahan dilakukan 48 jam setelah injury dan tidak boleh ditunda, mobilisasi
pasien 24 jam setelah dilakukan pembedahan untuk mencegah kompikasi baik pre maupun
post operasi dan mencega terjadinya kejadian fraktur berulang.
Tindakan pembedahan dapat menimbulkan berbagai komplikasi antara lain Deep vein
trombisis dan Pulmonali Emboly (PE) yang dapat mengamcam jiwa bahkan kematian. Hal
45
ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman (2012), dari 126 rumah sakit
di New York State dari tahun 20072008, setelah managemen pembedahan banyak pasien
dengan frakture hip mengalami angka kesakitan, kematian dan kedidakmampuan yang tinggi
dengan perkiraan 5 % meninggal selama di rumah sakit dan 10 % meninggal akibat
komplikasi pulmonal dan kardiovaskuler. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman
(2012), pasien fraktur hip yang menjalankan pembedahan dengan anastesi regional
mengalami komplikasi pulmonaly sebanyak 6.8 % sedangkan
menjalankan pembedahan dengan anastesi general
sebanyak 8.1 % dengan P value 0.005dan dari 18.158 pasien fraktur hip, sebanyak 435 atau
2.4 % yang meninggal di Rumah Sakit
Peran perawat professional penting untuk mencegah komplikasi pada pasien fraktur hip
pre dan post operasi. Peran perawat pada saat preoperasi adalah persiapan pasien untuk
dilakukan operasi dan managemen nyeri serta meningkatan pengetahuan pasien mengenai
pentingnya tindakan emergency pembedahan yang menjadi standar dalam perawatan pasien
fraktur saaat ini dimanan jika tidak segera di operasi, maka pasien akan mengalami gangguan
sirkulasi darah ke bagian yang fraktur. Peran perawat pada saat post operasi fraktur hip
adalah managemen nyeri, pencegahan komplikasi sekunder, dan mobiliasasi lebih awal.
Managemen nyeri dan pencegahan komplikasi 24 48 jam pertama sangat penting dan
membantu pasien dalam proses pemulihan, serta meningkatkan pengetahuan pasien
mengenai mobilisasi setelah pembedahan dan pentingnya mencegah kejadian fraktur yang
berulang.
4.2 Saran
Berikut ini merupakan beberapa saran unutuk meningkatkan praktek keperawatan dalam
managemen pasien dengan frakture hip
Meningkatkan pengetahuan mengenai managemen fraktur hip dan mengenali
-
46
DAFTAR PUSTAKA
Abbou-Sertta, A. M., Beaupre, L. A., & Rashiq, S. (2011). Comperative effektivenns of pain
management intervention for Hip Fractur : A systemetic Riview. Annals Of Internal Medicine ,
234-245.
ACI. (2014). Minimum Standards for the Management of Hip Fracture in the Older Person.
www.aci.health.nsw.gov.au
Black, J. M. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical . Elseiver: Singapore .
Gulani, M. d. (2014). Nursing Care Plans : Diagnoses, Intervention, and Outcome . Philadelphia
: Elseiver.
Hinkle, J. L. (2014). Bruner and Suddarth' s textbook of medical surgical nursing . China :
Lippincott William & Wilkins .
Kanis, J., A, O., & Mloskey, E. (2102). A Systematic Riview of Hip Fracture incidence and
Probabilyty of Fracture wordwide . iInternational Osteoporosis Fondation and National
Osteoporosis Foundation , 2239-2256.
Lewis, S. M. (2011). Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical
Problems . St.Louis: Missouri : Elseiver .
Lukman, J., & Sorensen, K. C. (2009). Medical Surgical Nursing . Philadelphia : Saunders
Company.
Meher, A. B. (2012). Acute Nursing Care of Older adult with fragility hip fracture : An
International Perspective. Inernational Journal Of Orthophedic and Trauma Nursing .
Nazer, D. (2014). Jumah Lansia Indonesia Akan Mencapai 36 juta di tahun 2015. Bandung:
Pikiran Rakyat Online.
47