You are on page 1of 47

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR HIP

OLEH :
KELOMPOK VI

1.
2.
3.
4.
5.

Diah Suryani S
201401008
Esti Budi Handayani
201401013
Martha K. Silalahi 201401019
Oliva S. Ningsih
201401022
Ulfah N.K
201401033

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


STIK SINT CAROLUS JAKARTA
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang berjudul: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Hip . Makalah
ini membahas mengenai tinjauan teori fraktur hip dan asuhan keperawatan pada pasien
fraktur hip berdasarkan evidence base practice, melalui pembahasan jurnal yang terkait
dengan fraktur hip. Makalah ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan bagi
perawat profesional untuk mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien fraktur hip
berdasarkan evidence base practice sehingga dapat menghasilkan asuhan keperwatan
yang berkualitas yang dapat meningkatkan derajat kesehatan klien . Penyusunan makalah
ini merupakan salah satu syarat dalam mata kuliahKMB Lanjut I. Dalam penyusunan
makalah ini , kami mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ns. Ni Luh Widani, MKep.Sp.KMB ., selaku koordinator mata ajar KMB Lanjut I
2. Ns. Sr. Lucila CB, MKep. Sp. KMB., selaku pembimbing dalam Asuhan Keperawatan
Pasien Fraktur.
3.

Seluruh

teman-teman

Program

S2

Keperawatan semester II yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada


kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhirnya kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk meningkatkan
pengetahuan bagi semua pembaca khususnya dalam asuhan keperwatan pasien fraktur hip
Jakarta, Mei 2015
Kelompok VI

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Fraktur hip adalah fraktur pada 1/3 proksimal femur

yang meluas 5 cm

dibawah trochanter. Fraktur hip biasa terjadi pada lansia dengan 90 % fraktur
disebabkan oleh jatuh. Pada usia 90 tahun diperkirakan sebannyak 33 % dari semua
wanita dan sebanyak 17 % dari semua laki-laki mengalami frakture hip. Pada
individu dewasa tua lebih dari 65 tahun fraktur hip lebih sering terjadi pada wanita
dari pada laki-laki karena osteoporosis. Individu dengan fraktur hip diperkirakan
akan meninggal dalam waktu 1 tahun dari injuri karena komplikasi medis yang
disebabkan oleh frakture atau hasil dari imobilisasi. (Lewis, 2011).
Fraktur hip merupakan masalah kesehatan publik yang bersifat global, dimana
kasusnya meningkat 1.6 million di seluruh dunia setiap tahun dan akan meningkat
lebih cepat pada tiga dekade berikutnya karena polulasi penuaan (Neuman, 2012). Di
Amerika Serikat, jumlah fraktur hip meningkat setiap tahun seiring pertambahan
usia populasi Amerika. Resiko fraktur hip meningkat pada usia 50 tahun diperkirakan
sebesar 15.8 % . Frakture hip menyebabkan lebih dari 300.000 hospitalisasi pada
lansia dengan usia lebih dari 65 tahun. Kelemahan otot-otot kuadrisep, reflex yang
lambat, berurangnya kekuatan daya regang tulang, kerapuhan tulang secara umum
akibat lansia, kondisi yang menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan serebral
(transient ischemic attack, anemia, emboli, penyakit kardiovaskuler dan efek obatobatan), berkontribusi untuk meningkatkan jatuh yang dapat meningkatkan fracture
hip. Angka kematian rata-rata tinggi pada 1/3 dari semua pasien pada satu tahun post
frature hip.(Hinkle, 2014).
Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup (AHH), jumlah penduduk
lansia (lanjut usia) atau di atas 60 tahun, diperkirakan akan semakin meningkat. Data
yang dilaporkan oleh Persatuan Gerontologi Medik Indonesia, menyebutkan pada
tahun 2015, jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 36 juta orang atau 11,34% dari
populasi penduduk. (Nazer, 2014). Lansia memerlukan perhatian khusus dalam
aktivitasnya, dikarenakan Lansia akan mengalami masalah kesehatan karena
penurunan fungsi tubuhnya yang terjadi secara alami. Lansia akan mengalami
penurunan penglihatan, kemampuan berjalan, penurunan kewaspadaan. Hal ini akan

meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Jatuh pada lansia akan menimbulkan suatu
masalah yang harus menjadi perhatian penting bagi petugas kesehatan termasuk
perawat. Jatuh dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti patah tulang/ fraktur
(3-5%) . Fraktur hip dapat menjadi morbiditas dan mortalitas pada lansia. Fraktur hip
dapat menyebabkan biaya yang besar karena tindakan yang dilakukan untuk
mengobati dengan tindakan operasi (Black, 2009)
Ada 2 jenis frktur hip yaitu intracapsular fracture dan ekstracapsular fracture.
Intracapsular fracture adalah fraktur pada leher femur. Extracapsular fractures
adalah fraktur pada daerah trochanter ( daerah antara dasar leher dan lebih sedikit
trochanter pada femur) dan daerah subtrochanter. Fracture pada leher femur dapat
menyebakan kerusakan system pembuluh darah yang memberikan suplai darah ke
leher dan kepala dari femur dan tulang dapat menjadi iskemik , sehingga pasien dapat
mengalami Avaskular Necrosis (AVN). Extracapsular intertrochanter fractures
memiliki aliran pembuluh darah yang bagus dan proses proses penyembuhan fracture
lebih cepat. Walupun demikian kerusakan jaringan yang meluas dapat terjadi pada
waktu terjadinya injuri (Hinkle, 2014).
Berbagai komplikasi dapat terjadi akibat fraktur hip. Komplikasi fraktur hip
pada femoral neck fracture adalah nonunion, avaskular nekrosis, dislokasi dan
degenerative arthiris sedangkan intertrochanteric fractures berdampak pada
pemendekan kaki sehingga diperlukan ambulasi yang nyaman. (Lewis, 2011).
Nonunion atau tidak ada penyatuan tulang merupakan hasil dari kegagalan
berakhirnya penyatuan tulang yang mengalami fraktur.Avaskular nekrosis terjadi
ketika tulang mengalami kehilangan suplai darah dan mengalami kematian. Hal ini
terjadi setelah fracture mengalami gangguan suplai darah terhadap daerah distal.
(Hinkle, 2014)
Pembedahan merupakan managemen medis utama pada pasien intracapsular
fracture dan ekstracapsular fracture yang bertujuan untuk mendapatkankenyamanan
fiksasi sehingga pasien dapat mobilisasi dengan cepat dan menghindari komplikasi
medis secara sekunder (Lewis, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Neuman (2012), dari 126 rumah sakit di New York State dari tahun 20072008,
sebanyak 62.8 % pasien frakture hip yang menjalani pembedahan internal fiksasi,
sebanyak 32.7 % hemiartoplasty dan total hip arthoplasty sebanyak 4.5 % dengan
anastesi umum. Setelah managemen pembedahan banyak pasien dengan frakture hip

mengalami angka kesakitan, kematian dan kedidakmampuan yang tinggi dengan


perkiraan 5 % meninggal selama di rumah sakit dan 10 % meninggal akibat
komplikasi pulmonal dan kardiovaskuler. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Neuman (2012), pasien fraktur hip yang menjalankan pembedahan dengan anastesi
regional mengalami komplikasi pulmonaly sebanyak 6.8 % sedangkan pasien fraktur
hip yang menjalankan pembedahan dengan anastesi general mengalami komplikasi
pulmonaly sebanyak 8.1 % dengan P value 0.005dan dari 18.158 pasien fraktur hip,
sebanyak 435 atau 2.4 % yang meninggal di Rumah Sakit.
Peran perawat professional penting dalam managemen pasien fraktur hip baik
preoperasi maupun post operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi. Peran
perawat pada saat preoperasi adalah persiapan pasien untuk dilakukan operasi dan
managemen nyeri .Beberapa persiapan tersebut meliputi pengkajian terhadap status
kesehatan kronik pasien yang dapat berpengaruh terhadap proses pemulihan setelah
pembedahan dan komplikasi yang akan terjadi meliputi hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit pulmonal, heart failure dan arthritis, managemen nyeri dan meningkatan
pengetahuan pasien mengenai pentingnya tindakan emergency pembedahan yang
menjadi standar dalam perawatan pasien fraktur saaat ini dimanan jika tidak segera di
operasi, maka pasien akan mengalami gangguan sirkulasi darah ke bagian yang
fraktur (Lewis, 2011). Peran perawat pada saat post operasi fraktur hip adalah
managemen nyeri, pencegahan komplikasi sekunder, dan mobiliasasi lebih awal.
Managemen nyeri dan pencegahan komplikasi 24 48 jam pertama sangat penting
dan membantu pasien dalam proses pemulihan. (Hinkle, 2014)
Oleh karena itu, mengingat pentingnya peran perawat dalam managemen pasien
dengan fraktur hip, maka kelompok kami tertarik untuk membahas mengenai
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Hip melalui pembahasan mengenai
teori yang berkaitan dengan fraktur hip, asuhan keperawatan pada pasien fraktur hip
dan evidence base practice yang berkaitan dengan fraktur hip melalui pembahasan
jurnal.
2.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah terbagi atas dua bagian yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus.

2.2.1

Tujuan Umum
Tujuan umum pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tinjauan
teori secara umum mengenai fraktur hip dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan fraktur hip

2.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengetahui definisi fraktur hip


Mengetahui tipe fraktur
Mengetahui etiologi fraktur hip
Mengetahui patofisiologi fraktur hip
Mengetahui manifestasi klinik dari fraktur hip
Mengetahui komplikasi dari fraktur hip
Mengetahui tindakan medis dari fraktur hip
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur hip yang meliputi

pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi


9. Mengetahui discharge planning pada pasien fraktur hip
10. Mengetahui evidence based practice pada pasien fraktur hip melalui
pembahasan jurnal.
2.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan dan pembahasan makalah terbagi atas manfaat teoritis
dan praktik keperawatan.
2.3.1 Teoritis
Mengidentifikasi teori yang berkaitan dengan fraktur hip dan asuhan
keperawatan pada pasien fraktur hip berdasarkan evidence based practice
2.3.2 Praktik Keperawatan
Dapat berpikir kritis dan membantu dalam meminimalkan komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien fraktur hip baik komplikasi preoperasi maupun
postoperasi. Selain itu dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
fraktur hip berdasarkan evidence base practice sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pada pasien dengan fraktur hip.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 FrakturHip
2.1.1 Definisi
Faktur adalah gangguan kontinuitas tulang secara complete atau incomplete dan
didefinisikan berdasarkan jenis dan luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh kecelakaan
secara langsung, tekanan yang kuat dan kontraksi otot yang kuat. Ada 2 jenis fraktur hip
yaitu intracapsular fracture dan ekstracapsular fracture. Intracapsular fraktur adalah
fraktur pada leher femur. Extracapsular fractures adalah fraktur pada daerah trochanter
(daerah antara dasar leher dan lebih sedikit trochanter pada femur) dan daerah
subtrochanter (Hinkle, 2014).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Lukman & Sorensen, 2009).
Fraktur Hip adalah fraktur yang terjadi pada tulang hip, bagian proksimal dari tulang
femur ( leher femur ) atau tulang pelvis berdasarkan lokasi fraktur capital,transcervical,
dan subcapital. ( Lewis, 2011 )
Jadi dapat disimpulkan fraktur hip adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
terjadi pada tulang hip baik pada leher femur maupun pada daerah trochanter yang
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecelakaan secara langsung dan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Tulang merupakan bagian unik dimana terdiri dari jaringan yang sangat vascular,
mendapat aliran darah 200 400 ml/menit. Setiap tulang mempunyai arteri yang
memberikan nutrisi yang masuk dekat poros tengah dan cabang-cabang ke dalam
pembuluh darah, asending dan desending.

Pembuluh-pembuluh darah ini mensuplay

cortex, sumsum tulang dan system haversian. Saraf simpatis dan aferen ( sensory )
constitute. Spare nerve mensuplay tulang. Dilatasi pembuluh darah dikontrol oleh system
saraf simpathetik. Saraf aferens meneruskan nyeri yang diderita klien yang mengalami
lesi tulang. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat

untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. (Philpot, Ashwood,


Ockendon, & Moores, 2013)
Tulang adalah jaringan hidup yang terdiri dari matrik ekstrasel organic yang
diserapi oleh kristal hidroksiapatit yang sebagian besar terdiri dari endapan garam-garam
Ca3 (PO4)2 (kalium pospat). Karena merupakan bentuk suatu jaringan ikat, tulang terdiri
dari sel dan matrik organic ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-sel tulang yang
menghasilkan matrik organic adalah osteoblast (pembentukan tulang).Matrik organic
terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel semi padat yang kaya mukopolisakarida yang
disebut juga sebagai bahan dasar (ground substance).Matriks memiliki konsistensi seperti
karet dan menentukan daya rentang tulang (ketahananan tulang terhadap kerusakan ketika
mendapat tekanan).Tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal-kristal kalsium
fosfat di dalam matrik.Kristal organic ini memberikan kekuatan kompresi (kemampuan
tulang untuk mempertahankan bentuknya ketika ditekan atau terjepit) pada tulang. Jika
hanya terdiri dari kristal organic, tulang akan menjadi rapuh seperti kapur tulis. Tulang
memiliki kekuatan structural yang mendekati beton bertulang, namun tulang tidak rapuh
dan jauh lebih ringan akibat pencampuran structural matriks organic yang diperkuat oleh
kristal anorganik. (Black, 2009)
Tulang panjang pada dasarnya terdiri dari batang silindris yang relative uniform
yaitu diafisis dan epifisis yaitu benjolan persendian pada kedua ujungnya. Pada tulang
yang sedang tumbuh, diafisis dipisahkan dari epifisis di kedua ujungnya oleh sebagian
tulang yang dikenal dengan lempeng epifisis. (Black, 2009)
Pertumbuhan kekebalan tulang dicapai oleh penambahan tulang baru diatas tulang
yang sudah ada dipermukaan tulangnya.Pertumbuhan ini terjadi melalui aktivitas
osteoblast di dalam periosteum (pembungkus tulang). Sewaktu tulang baru diendapkan
oleh osteoblast dipermukaan eksternal, sel-sel lain di dalam tulang, osteoklas
(penghancur tulang), melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam yang berdekatan
dengan rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar mengimbangi
peningkatan lingkaran batang tulang (Black, 2009)
Pertumbuhan panjang tulang-tulang panjang dilakukan oleh mekanisme berbeda
dengan pertumbuhan ketebalan.Tulang bertambah panjang sebagai akibat proliferasi sel
tulang rawan di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan, dihasilkan sel-sel tulang rawan

10

(kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas luar lempeng yang berdekatan dengan
epifisis. Apabila proses osifikasi (pembentukan tulang ) ini selesai, tulang di sisi diafisis
telah bertambah panjangnya, dan lempeng epifisis telah kembali kekebalannya semula.
Tulang rawan yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng. (Black, 2009)
Femur merupakan tulang panjang bagian dari anggota gerak bawah. Femur terdiri
dari ujung atas (Lewis, 2011)

Kaput : bagian atas berbentuk masa yang bulat mengarah kedalam dan keatas, tulang
tersebut halus dan dilapisis oleh kartilago kecuali fovea, lubang kecil tempat
melekatnya ligamentum pendek yang menghubungkan kaput dan os coxae.

Collum femoris : korpus tulang yang mengarah kebawah dan kesebelah lateral,
menghubungkan kaput dan korpus.

Trochanter mayor dan trochanter minor : merupakan tempat melekatnya otot-otot


Hormone pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan tulang baik tebal maupun

panjangnya.Hormone ini merangsang proliferasi tulang rawan epifisis, sehingga


menyediakan lebih banyak ruang untuk membentuk tulang serta merangsang
pembentukan osteoblast.Tulang berfungsi sebagai berikut (Black, 2009):
a. Penunjang
b. Perlindungan internal organ
c. Membantu pergerakan tubuh dengan memberikan tempat perlekatan bagi otot dan
membentuk tunas
d. Pembentukan sel darah merah (sumsum tulang)
e. Tempat penyimpanan Ca++ dan PO4= yang dapat dipertukarkan dengan plasma untuk
mempertahankan konsentrasi elektrolit-elektrolit tersebut dalam plasma.
Dalam keadaan normal, pengendapan (deposisi, pembentukan) tulang dan
penyerapan (reasorpsi, pembuangan) tulang berlangsung bersamaan sehingga tulang
secara terus menerus mengalami remodeling. Permbaruan tulang ini mempunyai tujuan
yaitu (Black, 2009):
a. Menjaga agar tulang belulang direkayasa dengan semestinya supaya dapat
digunakan untuk keperluan mekanis dengan keefektifan maksimum
b. Membantu mempertahankan kadar Ca++ plasma.

11

Pertumbuhan dan Metabolisme


Setelah pubertas, tulang mencapai maturitas dan pertumbuhan yang maksimal.
Tulang adalah suatu jaringan yang dinamis. Proses pembentukan dan resorpsinya berjalan
terus menerus atau destruksi. Rata-rata terjadi sampai usia 35 tahun. Pada tahun-tahun
kemudian resorpsi tulang akan berjalan cepat. Menurunnya masa tulang menyebabkan
klien mudah injury. Perunbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh beberapa
mineral-minieral dan hormon-hormon yaitu: Calsium, Pospor, Vitamin D, PTH, GH,
Glucocorticoid, Sex hormon (Price, 2009)
Calsium dan phosphor.
Tulang menyimpan kira-kira 99 % dari kalsium dalam tubuh dan 90% phospor.
Konsentrasi kalsium dan phospor merupakan satu hubungan timbal balik, misalnya saat
kalsium naik, phospor turun. Pada saat serum kalsium dan phospor berubah calsitonin
dan PTH akan bekerja untuk mempertahankan equilibrium. Pada saat kalsium turun
tulang yang menyimpan kalsium melepaskan kalsium kedalam system vascular sebagai
respon untuk menstimulasi PTH. (Price, 2009)
Calcitonin
Vitamin D dan metabolismenya diproduksi dalam tubuh dan ditransfer ke dalam darah
untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor dalam usus halus. Vitamin ini juga
terlihat meningkatkan aktivitas PTH dalam melepaskan kalsium dari tulang.
Menurunnya jumlah vitamin D dalam tubuh dapat menyebabkan osteomalasia pada orang
dewasa. Suplay vitamin D dari luar dapat diberikan pada klien dengan osteomalacia
(Price, 2009)
Hormon Paratiroid
Pada saat serum kalsium turun, sekresi PTH akan meningkat dan merangsang tulang
untuk meningkatkan aktivitas osteoclastic dan menyumbang calsium ke darah. PTH
mengurangi ekskresi renal terhadap kalsium dan memfasilitasi absorpsi vitamin D dari
intestine.

Kebalikannya saat serum kalsium meningkat, sekresi PTH terbatas untuk

menghambat suplay kalsium tulang. Hal ini merupakan contoh dari feedback negatif pada
system endokrin. (Price, 2009)

12

Grouth Hormone
GH disekresikan oleh lobus anterior dari kelenjar pituitary.

Hormon ini

responsible dalam meningkatkan pertambahan panjang tulang dan pembentukan matriks


tulang sebelm pubertas.

Selama masa anak-anak meningkatnya sekresi hormon ini

menyebabkan gigantisme dan menurunnya hormon ini menyebabkan dwarfism. Pada


orang dewasa peningkatan hormon ini menyebabkan acromegaly yang ditandai dengan
deformitas tulang dan jaringan lunak (Price, 2009)
Glococorticoid
Glococorticoid mengatur metabolisme protein, dapat meningkatkan/menurunkan
katabolisme untuk mengurangi atau menguatkan matrik organic daru tulang. Hormon ini
juga mengatur kalsium usus dan absorpsi fosfor. (Price, 2009)
Sex hormon
Estrogen merangsang aktivitas osteoblastik dan menghambat PTH. Saat estrogen
mulai menurun pada menopause, wanita akan mengalami penurunan serum kalsium yang
dapat berakibat osteoporosis. Androgen seperti testosteron meningkatkan anabolisme dan
meningkatkan massa tulang.

Pemberian

estrogen dan testosteron dari luar dapat

diberikan pada pasien dengan osteoporosis. (Price, 2009)


Remodeling tulang (Lewis, 2011)
Struktur internal tulang dipertahankan melalui 3 tahap yaitu:

Stimulus
Sesuatu sebagai stimulus seperti hormon, obat atau stressor, aktivitas osteoclast
atau sel penghancur tulang.

Resorpsi
Osteoclast segera memecah tulang, berada di rongga disebut resorpsi cavity.

Tulang baru
Osteoblast sebagai pembentuk tulang baru.

2.1.3 Proses Penyembuhan Tulang (Lewis, 2011)


1.

Hematom

13

Ketika terjadi fraktur, akan timbul perdarahan dan bengkak. Hematom terjadi 72
jam setelah injury.
2. Jaringan Granulasi
Selama tahap ini fagositosis secara aktif mengabsorbsi produk nekrosis local.
Hematom berubah menjadi jaringan granulasi. Jaringan granulasi (terdiri dari
pembuluh darah baru, fibroblast dan osteoblash) menghasilkan dasar substansi tulang
baru yang disebut osteosid selama 3-14 hari setelah injuri
3.

Pembentukan kalus
Mineral seperti calcium, fosfat dan magnesium beberapa matriks tulang disimpan
di dalam osteoid , sebuah jaringan tulang yang tidak teratur membentuk jalinan bagian
fraktur. Kalus terutama terdiri dari kartilago, ostoblash, kalsium dan fosfa. Kalus
biasanya tampak pada minggu kedua setelah injuri. Bukti pembentukan kalus dapat
dilihat dengan menggunakan X- Ray

4.

Osifikasi
Osifikasi dari kalus terjadi dari 3 minggu sampai dengan 6 bulan setelah fraktur
dan berlangsung terus sampai fraktur mengalami kesembuhan. Osifikasi kalus cukup
untuk mencegah pergerakan bagian fraktur ketika tulang mengalami stress yang
ringan. Oleh karena itu fraktur tetap dibutuhkan dengan X-ray. Selama tahap
penyatuan klinik pasien diizinkan untuk melakukan aktivitas yang terbatas

5 . Consolidation
Kalus secara terus menerus berkembang, jarak antara fragmen tulang berkurang
dan pada akhirnya tertutup. Dalam tahap ini osifikasi masih terus berlangsung.
Penyatuan tulang secara radiologi pada saat dilakukan X ray dibuktikan dengan
penyatuan tulang secara komplit. Fase ini terjadi sampai satu tahun setelah injury.
6. Remodeling
Kelebihan jaringan tulang, diabsorbsi kembali pada akhir penyembuhan jaringan
tulang dan penyatuan tulang secara komplit. Pada tahap ini secara perlahan tulang yang
mengalami injuri akan kembali ke bentuk dan kekuatan sebelum injuri.

14

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi dan menghambat penyembuhan fraktur (Hinkle, 2014)
Proses penyembuhan fraktur dibutuhkan waktu satu minggu sampai dengan satu
bulan. Beberap factor yang dapat menmpengaruhi proses penyembuhan tulang. Pada
Communited fractured, patahan tulang atau fragment tulang seharusnya sejajar untuk
mendapatkan kemungkinan penyembuhan tulang yang terbaik. Pada proses penyembuhan
tulang yang mengalami fraktur harus memiliki suplai darah yang cukup untuk
memfasilitasi proses penyembuhan. Secara umum fratur tulang pipih ( pelvis, sternum
dan scapula) memiliki proses penyembuhan yang lebih cepat. Fraktur kompleks dan
Communited fractured, penyembuhannya lebih lama

Fraktur pada ends of long bones

dengan vaskularisasi lebih banyak, penyebuhannya lebih cepat dibandingkan dengan


fraktur di area tulang yang vaskularisasinya kurang.
Jika penyembuhan fraktur terganggu maka penyatuan tulang akan tertunda atau
berhenti secara keseluruhan. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi peneymbuhan
tulang antara lain sebagai berikut :
a. Faktor yang dapat meningkatkan penyembuhan tulang adalah sebagai berikut

Imobilisasi dari fragmen tulang


Menghubungkan fragmen tulang secara maksimum
Suplai darah yang cukup
Nutrisi yang baik
Exercise ( menopang berat badan untuk tulang panjang)
Hormon (hormone pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D dan anabolic steroid

b. Faktor yang menghambat penyembuhan tulang

Trauma local yang meluas


Kehilangan tulang
Tidak adanya kesejajaran fragment tulang
Imobilisasi yang tidak adekuat
Jarak atau jaringan antara fragment tulang
Infeksi
Keganansan local
Penyakit metabolic tulang
Tulang yang diradiasi
Nekrosis avaskular
Fraktur intra-artikular (cairan synovial berisi fibrolysins)
Usia lebih dari 40 tahun
Kortikosteroid, obat nonsteroid anti- inflamatory

15

Perokok
Diabetes

2.1.5 Tipe Frakture


Ada beberapa tipe fracture antara lain ( (Hinkle, 2014) :
Complete fracture adalah kerusakan yang melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulangdan lebih sering terjadi pergesaran dari posisi tulang
Incomplete fracture adalah kerusakan tulang hanya pada bagian potongan menyilang
tulangbiasanya terjadi pada anak-anak
Communited fractured fraktur yang menghasilakan beberapa fragmen tulang atau patahan
tulang
Close fractured adalah fraktur yang tidak menyebabkan kerusakan kulit
Open fractured adalah fragmen tulang meluas menembusi kulit dan membrane
mukosa. Open fractured atau fracture terbuka dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu
sebagai berikut :
Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm
Grade II : luka yang lebih besar tanpa perluasan kerusakan jaringan lunak
Grade III : kontaminasi luka lebih tinggi dengan disertai meluasnya
kerusakan jaringan lunak. Keadaan ini biasanya disertai dengan amputasi
traumatik dan paling berat
Intra-artikular fracture adalah fraktur yang meluas sampai kedalam permukaan sendi
tulang .
Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang (Hinkle, 2014)
1) Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok
2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
3) Obllik: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil
dibanding transversal)
4) Spiral: fraktur memuntir sepanjang batang tulang
5) Komunitif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
6) Depresi: fraktur dengan pragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada
tulang tengkorak dan tulang wajah)

16

7) Kompresi: fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang


belakang)
8) Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,
penyakit paget, metastasis tulang, tumor)
9) Avulsi: tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlakatannya
10) Epifiseal: fraktur melalui epifisis
11) Impaksi: fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang yang
lainnya.

Gambar 2.1 . Letak fraktur berdasarkan jenis (Lukman & Sorensen, 2009)

17

2.1.3 Lokasi fraktur hip (Black, 2009)


Fraktur hip dapat terjadi di intracapsular (lokasi di dalam kapsul sendi) atau
ekstracapsular (diluar kapsul sendi). Lokasi fraktur terdiri, fraktur leher femur : biasanya
karena kelemahan pada lansia, biasanya wanita dan disertai dengan osteoporosis dan
biasanya terjadi karena trauma sedang. Fraktur intratrokanter ( antara leher femur dan
trochanter besar) dan Fraktur subtrochanter biasanya terjadi pada laki-laki yang ditandai
karena trauma yang lebih besar. Aliran darah pada hip sangat mempengaruhi penyembuhan
fraktur. Lambatnya penyembuhan atau gagal menyatunya terjadi karena gannguan sirkulasi
darah setelah terluka.
The Pipkin classification system menjelaskan empat jenis patah tulang kepala
femoral ( Hip ) terkait dengan hip dislokasi. (Philpot, Ashwood, Ockendon, & Moores,
2013)
Tipe I adalah dislokasi yang terkait dengan fraktur kepala ekor femoral ke femoris

fovea capitis.
Type II adalah dislokasi dengan fraktur terkait kepala femoral cephalad ke capitis
fovea femoris.
Tipe III adalah tipe I atau cedera II terkait dengan fraktur leher femoralis.
Tipe IV adalah tipe I atau cedera II terkait dengan fraktur tepi acetabular.

18

Gambar 2. 2 Posisi fraktur femur (Lukman & Sorensen, 2009)


2.1.4 Etiologi atau Penyebab
Berikut ini adalah penyebab terjadinya fraktur hip (Lewis, 2011)
a. Trauma
Ada dua macam yaitu:
- Langsung : kecelakaan lalu lintas
- Tak langsung ; jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri atau duduk sehinga
terjadi fraktur tulang belakang.

b. Patologis
-

Osteoporosis . Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh J.A.Kanis, Oden,


McCloskey, Johanson, Wahl, & Cooper (2012) klien dengan osteoporosi beresiko
mengalami fraktur hip

c. Degenerasi
Terjadi karena proses kemunduran fisiologis dari jaringan tulang itu sendiri.
Misalnya pada usia lanjut.
Faktor Resiko fraktur hip adalah sebagai berikut (Black, 2009) dan (Lewis, 2011)
a.

Beberapa studi mengatakan penurunan massa tulang dan peningkatan usia dapat
meningkatkan resiko fraktur HIP.

19

b.

Pada wanita penurunan massa tulang 1,5 tahun sebelum berkahirnya menstruasi.

c.
d.

dan penurunan massa tulang secara cepat dan continue


Pada laki-laki penurunan masa tulang terjadi sekitar usia 65-70 trahun.
90% dari fraktur hip disebabkan jatuh.
Jatuh disebabkan oleh hipotensi ortostatik, penurunan penglihatan, gangguan
fungsi bagian bawah, dan gangguan persarafan karena menggunakan barbiturate
atau benzodiazepine.Lingkungan yang berbahaya lantai yang licin, karpet yang

e.
f.

tidak bersih kurang pencahayaan, tidak memakai alas kaki


Ketidakseimbangan posture
Penurunan kekuatan otot rangka

2.1.5 Patofisiologi
Fraktur hip dapat terjadi pada lansi dan 90 % disebakan oleh jatuh, Pada lansia
lebih dari 65 tahun, fraktur hip lebih sering pada wanita dari pada laki- laki karena
osteoporosi. Pada lansia faktor yang berkontribusi menyebabkan jatuh dan terjadinya
fraktur hip adalah ketidakseimbangan postur, berkurangnya reflex, penurunan penglihatan
hipotensi dan penggunaan obat-obatan (Lewis, 2011)
Frakture HIP digolongkan dalam 2 klasifikasi, yaitu fraktu intrakapsular ( Leher
Femoralis) dan ekstrakapsular. Fraktur intrakapsular terjadi pada daerah yang masih
berada dalam lingkup kapsul sendi yang meliputi fraktur kapital (Fraktur kepala femur),
fraktur subcapital (fraktur dibawah kepala femur), fraktur transervical (fraktur pada leher
femur). Fraktur ini berhubungan dengan osteoporosis dan trauma minor.

Fraktur

ekstrakapsular adalah fraktur yang terjadi di luar kapsul sendi panggul pada daerah sekitar
5 cm dibawah Torachanter Minor. Fraktur ini meliputi : fraktur Intertrochanterteric, terjadi
di daerah antara yg lebih besar dan lebih kecil throchanter) dan fraktur subtrochanteric
yaiut jika terjadi di daerah di bawah trokanter lebih rendah. Fraktur ekstrakapsular
biasanya disebabkan oleh trauma langsung yang parah atau jatuh. (Lewis, 2011)
Pada saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalmi spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot
besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar,
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun
bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping dan, pada suatu sudut (membentuk

20

sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Segmen juga dapat berpindah berotasi. (Black,
2009)
Selain itu, periousteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu. Sering terjadi karena cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada jaringan itu sendiri. Pada saluran sumsum
(medulla), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan di bawah periosteum.
Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma
dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih .
Fraktur pada leher femur dapat menyebakan kerusakan sitem pembuluh darah yang
menyuplai darah ke bagian kepala dan leher femur sehingga tulang menjadi iskemik
sehingga dapat menyebabkan Avaskular Necrosis (AVN) sedangkan pada fraktur
ekstrakapsular intertrochanter, suplai darahnya bagus dan proses penyembuhan lebih
cepat. Mesekipun demikian, keusakan jaringan yang meluas dapat terjadi setelah injuri
(Hinkle, 2014)
2.1.6 Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala dari fraktur hip sebagai berikut (Hinkle, 2014)
Nyeri (Meher, 2012)
Nyeri yang meningkat secara terus-menerus sampai fragmen tulang diimobilisasi.Spasme
otot 20 menit setelah injury dan menghasilkan nyeri yang lebih kuat.Pada fracture hip
pasien melaporkan nyeri pada hip, kelangkangan atau pada sisi medial dari lutut.
Pengaruh dari intracapsular femoral neck fracture ketidaknyamanan yang sedang (pada
saat bergerak) sehingga memungkinkan pasien untuk menopang berat badan, dan pasien
tidak menunjukan pemendekan ekstremitas yang nyata dan perubahan rotasi
Kehilangan fungsi
Setelah fracture ekstermitas tidak dapat berfungsi sebagaimana menstinya karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang sebagai tempat melekatnya otot. Pada
Frakture hip, pasien tidak dapat mengerakan kakinya tanpa peningkatan nyeri yang
signifikan. Pasien akan merasa nyaman dengan fleksi yang sedkit atau tidak sama sekali
pada rotasi eksternal
Deformitas atau perubahan bentuk tulang
Shortening atau pemendekan ekstremitas

21

Fraktur pada tulang panjang terjadi pemendekan pada ekstremitas karena adanya
kompresi tulang akibat fraktur.Kadang-kadang spasme otot menyebabkan bagian distal
dan proksimal dari fracture mengalami overlap yang menyebabkan ekstremitas
mengalami pemendekan. Pada fraktur hip khususnya fracture

femoral neck, kaki

mengalami pemendekan, aduksi dan rotasi eksternal. Pada extracapsular femoral


fractures, eksterimitas secara signifikan mengalami pemendekan, derajat rotasi eksternal
lebih besar dari pada fraktur intracapsular, menghambat spasme otot melawan posisi

ekstramitas pada posisi netral dan berhubungan dengan area ekimosis


Crepitus
Pada saat ekstremitas yang mengalami fraktur dipalpitasi dengan lembut maka akan
dirasakan sensasi remukan tulang yang dapat dirasakan atau sangat keras. Hal ini

disebabkan oleh gesekan fragmen tulang melawan yang lain.


Edema dan ekimosis yang terlokalisasi
Lokalisasi edema dan ekimosis terjadi setelah fracture menghasilkan trauma dan
perdarahan pada jaringan.
2.1.7 Komplikasi (Hinkle, 2014)
a. Komplikasi awal

Shock
Shok hipovolemik merupakan hasil dari perdarahan yang paling sering terjadi pada
pasien dengan fraktur femur terbuka dengan artery femoral yang terobek akibat
fragment tulang. Pengobatan shock terdiri dari stabilisasi fracture untuk mencegah
perdarahan lebih lanjut. Mnegembalikan volume darah dan sirkulasi, mengurangi

nyeri pada pasien


Fat emboli syndrome
Fat emboli syndrome terjadi ketiga fat emboli menyebakan kesakitan yang tampak
pada tanda dan gejala . Hal ini biasa terjadi pada individu dewasa tua pada usia lebih
dari 45 tahun dan pada laki-laki. Pada saat fraktur fat globules dapat berdisfusi dari
sum-sum kedalam compertament vascular. Fat globules ini, contohnya emboli
dapat menghambat pembuluh darah kecil yang menyuplai ke paru-paru, otak, ginjal
dan organ lain. Gejala serangan biasanya cepat 12 sampai dengan 72 jam setelah
injury. Tanda dan gejala utama meliputi hypoxemia, respon neurologi, pethecial
rash.Manifestasi utama pada pulmonal adalah hypoxia dan tachypnea.Acute

22

pulmonary edema, acute respiratory distress syndrome dan gagal jantung dapat
berkembang.Manifestasi neurologi meliputi gangguan serebral yang ditandai dengan
perubahan status mental, agitasi atau delirium dan koma. Pembentukan petekie
terjadi 48 jam sampai dengan 72 jam setelah injury, kemungkinan disebabkan oleh
trombositopenia. Pasien kemungkianan memiliki demam lebih dari 39 .5 derjata
Celsius. Lemak bebas kemungkinan dapat ditemukan pada urin, jika emboli di
filtrasi

melalui tubulus renal. Akut tubular necrosis dan gagal ginjal dapat

berkembang.
Compartement Syndrome
Secara anatomis kompartemen adalah sebuah area dari tubuh yang dibungkus oleh
tulang atau fasia yang berisi otot, pembuluh darah dan saraf.Tubuh manusia
memiliki 46 kompertement tubuh dan 36 dari kompartemen ini terletak pada
ekstremitas.Compartement Syndrome pada ekstremitas adalah suatu keadaan yang
mengancam anggota badan yang terjadi ketika tekanan perfusi menurun dibawah
tekanan jaringan dalam kompertemen anatomi yang tertutup.
Akut kompartement sindrom meliputi berkurangnya aliran darah secara tiba-tiba
dan berat pada jaringan distal dari daerah injuri yang menghasilkan nekrosi injuri.
Pasien akan mengeluh berdenyut-denyut, nyeri yang tidak dapat ditahan yang terusmenerus meningkat walaupun diberikan opoid. Ciri khas nyeri pada kompartement
sindrom adalah nyeri terjadi atau diperkuat dengan ROM pasif.Nyeri ini dapat terjadi
sebagai hasil dari reduksi dalam ukuran kompartement otot karena terbatasnya fasia
otot dan juga sempit, menigkatnya isi dari kompartement karena edema atau
perdarahan dari lokasi fracture.Tekanan di dalam otot kompartement dapat
meningkatkan derajat berkurangnya mikrosirkulasi, menyebabkan anoxia pada saraf
dan otot serta nekrosis.Fungsi permanent dapat hilang jika situasi anoxia

berlangsung lebih dari 4 jam.


VTE (Venous Thromembolism)
VTE termasuk DVT (Deep Vein Thrombosis ) dan Pulmonaly emboli (PE), yang
berhubungan dengan berkurangnya kontraksi otot skeletal dan bed rest. PE dapat
menyebabkan kematian berperapa hari sampai minggu setelah injury.VTE biasanya
terjadi setelah pembedahan total hip. Tanda dan gejala DVT dikenal dengan positive
human sign yaitu dorsofleksitibia dan pasien mengalami nyeri pada otot-otot betis.

23

Tanda dan gejala PE adalah takipnea, nyeri dada, takikardia, hemoptisis, cianosis,
ansietas, abnormal AGD.
b. Komplikasi yang tertunda

Union, Malunion dan Nonunion


Tertundanya unionatau penyatuan tulang yang mengalami fraktur terjadi ketika
penyembuhan tulang tidak terjadi dalam waktu yang diharapkan dari dan lokasi dan
tipe dari fracture. Penundaan penyatuan tulang dapat berhubungan dengan distraksi
fragment tulang, infeksi local atau sistemik, nutrisi yang buruk. Waktu penyembuhan
berlangsung lama, tetapi fraktur pada akhirnya akan sembuh.
Nonunion atau tidak ada penyatuan tulang merupakan hasil dari kegagalan
berakhirnya penyatuan tulang yang mengalami fraktur, sedangkan malunion adalah
penyembuhan fraktur tulang pada posisi yang tidak sejajar. Pada kedua keadaan ini
pasien mengeluh ketidaknyamanan yang menetap dan pergerakan lokasi fracture

yang abnormal
Avaskular Necrosis (AVN) dari tulang
AVN terjadi ketika tulang mengalami kehilangan suplai darah dan mengalami
kematian. Hal ini terjadi setelah fracture mengalami gangguan suplai darah terhadap

daerah distal. AVN merupakan salah satu komplikasi dari femoral neck fracture.
Complex Regional Pain Syndrom (CPRS)
CPRS adalah masalah nyeri system saraf simpatis.Hal ini jarang terjadi.
Heterotopic Ossification
Heterotopic Ossification adalah pembentukan tulang yang tidak normal, tulang yang
dekat atau didalam otot, dalam merespon terhadap trauma jaringan atau fracture
setelah trauma tumpul atau total joint replacement

c. Komplikasi yang terjadi setelah operasi (Black, 2009)


Deep vein trombisis dan Pulmonali Emboly (PE) : Pencegahan DVT menjadi tujuan
utama bagi klien post ORIF. Pemberian obat seperti LMW heparin atau warfarin
diberikan untuk mencegah pembekuan. Dokter menganjurkan pasien untuk
menggunakan kompresi pneumatic secara intermiten, atau menggunakan stoking lastis
untuk mencegah DVT .
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman (2012),

dari 126

rumah sakit di New York State dari tahun 20072008, setelah managemen pembedahan
banyak pasien dengan frakture hip mengalami angka kesakitan, kematian dan
kedidakmampuan yang tinggi dengan perkiraan 5 % meninggal selama di rumah sakit

24

dan 10 % meninggal akibat komplikasi pulmonal dan kardiovaskuler. Dari hasil


penelitian yang dilakukan oleh Neuman (2012), pasien fraktur hip yang menjalankan
pembedahan dengan anastesi regional mengalami komplikasi pulmonaly sebanyak 6.8
% sedangkan

pasien fraktur hip yang menjalankan pembedahan dengan anastesi

general mengalami komplikasi pulmonaly sebanyak 8.1 % dengan P value 0.005dan


dari 18.158 pasien fraktur hip, sebanyak 435 atau 2.4 % yang meninggal di Rumah
Sakit
Luka tekan : terjadi karena pasien tidak mampu bergerak setelah jatuh atau operasi.
Daerah yang dapat mengalami luka tekan kepala, scapula, vertebra, coccyx dan tumit,
siku, pergelangan kaki, lutut. Pada pergerakan kaki diberikan bantalan dan dibantu
untuk dilakukanperubahan posisi. Cegah iskemik pada jaringan, berikan dengan kasur
untuk yang dilapis/ dibungkus untuk mengurangi tekanan. Matras egg crate dapat
memberikan kenyamanan tetapi tidak dapat mengurangi tekanan. Pasien dapat
diberikan kasur angin. Menurut

(Meher, 2012) dalam penelitannya membuktikan

bahwa pasien dengan fraktur hip akan beresiko mengalami luka tekan karena tekanan
dan luasnya tekanan pada jaringan akibat imobilisasi
Confusion. Delirium yang ditandai dengan perubahan perhatian, kognitif, aktivitas
psikomotor, gangguan pola tidur.

Bantu klien dalam perawatan diri, kaji status

emotional klien dan keluarga, dan focus pada keamanan pasien. karena jika tidak ini
akan meningkatkan lama hari rawatn dan biaya yang dibutuhkan.
2.1.8 Test diagnostic (menurut Black, 2009)
Test diagnostic yang dilakukan adalah dengan radiologi dengan posisi
anteroposterior dan lateral, Bone scan, CT Scan dan MRI untuk menentukan lokasi
fraktur, CT scan dapat digunakan untuk melihat abnormal (hematoma) dan organ lain
seperti pembuluh darah.
Pada persiapan operasi dilakukan pemeriksaan darah rutin bedah, stabilisasi
kondisi pasien/ toleransi operasi seperti gagal jantung.
2.1.9 Managemen Fraktur HIP
2.1.9.1 Managemen Medis

25

Managemen Medis pasien dengan fraktur hip adalah sebagai berikut (Hinkle,
2014), (Black, 2009)
a.

Buckextention traction yaitu sebuah bentuk traksi kulit yang bersifat sementara, secara
tradisonal digunakan karena diyakini dapat mengurangi spasme otot, imobilisasi
ekstremitas, dan mengurangi nyeri. Manfaat dari tindakan ini tidak ditemukan dalam uji
klinis, oleh karena itu sebagai petunjuk rutin tidak dianjurkan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan

(Abou-Setta, Beaupre , Rashiq, Dryden, & Hamm, Comparative

Effectiveness of Pain Management Interventions for Hip Fracture : A systematic


Review, 2011) menunjukan bahwa penggunaan traksi tidak bermanfaat untuk
mengurangi nyeri.
b. Pembedahan untuk mendapatkan kenyamanan fiksasi sehingga pasien dapat mobilisasi
dengan cepat dan menghindari komplikasi medis secara sekunder. Pengobatan
pembedahan pada fraktur hip terdiri dari :
Open or closed reduction of the fracture and internal fixation
Replacement of femoral head with a prosthesis (hemiarthroplasty)
Close reduction dengan stabilisasi perkutaneus untuk fraktur intracapsular
Intervensi pembedahan harus segera dilaksanakan sesudah injury. Menurut ACI,
(2014) pasien dengan fraktur hip harus menjalankan operasi 48 jam setelah injuri untuk
menghindari terjadinya komplikasi
Pergantian tempat untuk Fraktur femoral neck, merupakan pengobatan emergensi,
dengan reduksi dan fiksasi internal yang dilaksanakan 12 sampai dengan 24 jam setelah
frakture. Femoral head diganti dengan prosthesis jika terjadi gangguan aliran darah
yang komplet terhadap femoral head yang disebabkan oleh Avaskular Necrosis (AVN).
Untuk stabilitas fraktur biasanya difiksasi dengan nail dan kombinasi plat dan multiple
pins (jepit) dan ditekan menggunakan screw (skrup). Total hip arthroplasty dapat
digunakan pada pasien dengan gangguan acetabular.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman (2012),

dari 126

rumah sakit di New York State dari tahun 20072008, sebanyak 62.8 % pasien frakture
hip yang menjalani pembedahan internal fiksasi, sebanyak 32.7 % hemiartoplasty dan
total hip arthoplasty sebanyak 4.5 % dengan anastesi umum
Total hip replacement adalah suatu tindakan operasi yang menggantikan bagian
sendi hip yang mengalami kerusakan. Sendi yang mengalami kerusakan dikeluarkan

26

dan diganti dengan sendi buatan yang disebut prosthesis. Total hip replament bisanya
dilakukan pada pasien dengan fraktur intrakapsular.
2.1.9.2 Managemen Keperawatan
Manajemen penanganan pasien dengan fraktur HIP adalah sebagai berikut (Lewis,
2011):
a. Managemen Pra Operasi.
Karena pasien dewasa yang lebih tua yang paling rentan terhadap fraktur hip, masalah
kesehatan kronis harus sering dipertimbangkan ketika merencanakan pengobatan.
Seperti; Diabetes mellitus, hipertensi, heart failure, penyakit paru, dan arthritis adalah
masalah kronis yang dapat mempersulit status klinis. Pembedahan mungkin tertunda
selama beberapa waktu sampai penderita kesehatannya secara umum stabil. Sebelum
operasi, spasme otot yang parah dapat meningkatkan rasa sakit. Obat Analgesik
sesuai atau relaksan otot, posisi nyaman kecuali kontraindikasi, traksi dapat
membantu dalam manangi mengurangi ketegangan atau spasme otot.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abou-Setta, Beaupre , Rashiq, Dryden,
& Hamm, Comparative Effectiveness of Pain Management Interventions for Hip
Fracture : A systematic Review, 2011) menunjukan bahwa analgetik blok saraf dapat
memberikan efek untuk mengurangi nyeri dan dapat mengurangi dan dapat
mengurangi delirium
Penyuluhan harus dilakukan dengan segera karena intervensi bedah cepat adalah
standar perawatan saat ini.. Bila mungkin, mengajarkan pasien metode dan frekuensi
latihan untuk kaki dan kedua lengan yang tidak berpengaruh . Dorong pasien untuk
menggunakan overhead trapeze bar dan sisi rel yang berlawanan untuk membantu
dalam mengubah posisi. Seorang ahli terapi fisik dapat mulai mengajarkan turun dari
tempat tidur dan pindah ke kursi.
b. Managemen Pasca Operasi
Manajemen pasca operasi awal pasien setelah open reduction dengan fiksasi internal
(ORIF) pada fraktur hip adalah sama dengan untuk setiap pasien bedah yang lebih
tua. Pantau tanda vital, intake, dan output; mengawasi kegiatan pernapasan, seperti
bernapas dalam dan batuk; pemberian obat nyeri; dan mengamati dressing dan luka
serta tanda-tanda perdarahan dan infeksi.

27

Dalam periode pasca operasi awal ada potensi untuk gangguan neurovaskular.
Menilai ekstremitas pasien terhadap :
1) warna,
2) suhu,
3) pengisian kapiler
4) nadi distal ,
5) edema,
6) sensasi,
7) fungsi motorik,
8) rasa sakit.
Edema berkurang dengan mengangangkat kaki setiap kali pasien di kursi.
Nyeri yang dihasilkan di ekstremitas yang terkena dapat dikurangi dengan
menjaga bantal (atau belat abductor) antara lutut saat pasien beralih ke kedua sisi.
Bantal juga digunakan untuk mencegah rotasi eksternal. Jika endoprosthesis
ditempatkan, pasien berisiko untuk dislokasi hip. Hip tindakan pencegahan harus
ditunjukkan dan dijelaskan kepada pasien.
Terapis fisik biasanya mengawasi latihan aktif dibantu untuk ekstremitas yang
terkena dan ambulasi ketika ahli bedah mengijinkannya. Ambulasi biasanya
dimulai pada hari pertama atau kedua pasca operasi. Dalam Kolaborasi dengan
ahli terapi fisik, memantau status pasien ambulasi untuk kruk berjalan tepat atau
penggunaan walker. Untuk penderita di rumah ,

pasien dapat menunjukkan

penggunaan yang tepat dari kruk atau walker, kemampuan untuk mentransfer ke
dan dari kursi dan tempat tidur, kemampuan untuk naik dan turun tangga.
Komplikasi terkait dengan fraktur leher femur termasuk nonunion, nekrosis
avascular, dislokasi dan degeneratif arthritis. Jika fraktur Intertrochanter maka
dapat berpengaruh terhadap pemendekan kaki.
Jika Fraktur hip diobati dengan memasukkan head prothesis femoral dengan
pendekatan posterior (mengakses sendi hip dari belakang), langkah-langkah untuk
mencegah dislokasi harus selalu digunakan. Hindari ekstrem fleksi awalnya
setelah penggantian prostetik dari pendekatan posterior. Pasien dan penolong
harus menyadari posisi dan kegiatan yang mempengaruhi dislokasi pasien (lebih
dari 90 derajat fleksi). Banyak kegiatan sehari-hari dapat menjadikan posisi
tersebut, termasuk mengenakan sepatu dan kaus kaki, berdiri atau duduk
sementara tubuh tertekuk lebih dari 90 derajat relatif terhadap kursi, dan duduk

28

Sampai jaringan lunak kapsul sekitar hip telah sembuh cukup untuk menstabilkan
selama minimal 6 minggu.

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Berikut ini adalah beberapa pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan fraktur
hip Hinkle, (2014 dan (Lewis, 2011)
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
-

Riwayat injury, mekanisme injuri

Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan memadai.

Adanya kegiatan yang berisiko cidera.

Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh seperti heart failure,
diabetes mellitus, chronic obstructive pulmonary disease, osteoarthritis,
osteoporosis

Kaji adanya kebiasaan mengkonsumsi alakohol

Medikasi : penggunaaan corticostiroids ( fraktur osteoporosis ), analgetik.

Pembedahan atau treatments yang lain : pembedahan fraktur yang pertama, dan
yang kedua.

b. Pola nutrisi metabolik


-

Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri.

Kaji intake kalsium dan vitamin D

Kaji adanya demam

Kaji ekstremitasa yang mengalami fraktur terhadap warna (pucat, pink, sianosis)
dan temperature (panas, hangat, dingin )

c. Pola eliminasi
-

Adanya gangguan pola eliminasi akibat imobilisasi

d. Pola aktivitas dan latihan


-

Tidak kuat berdiri/menahan beban.

Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada bagian tungkai bawah.

29

Uji kekuatan otot

Kaji kemampuan aktivitas daily living

Kaji ROM aktif dan pasif

Kaji adanya edema pada ektermitas yang mengalalami frakture

Kelelahan, spasme otot.

e. Pola tidur dan istirahat


-

Pola tidur berubah/terganggu karena adanya nyeri pada daerah cidera.

f. Pola persepsi kognitif


-

Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena. Nyeri
meningkat dengan aktivitas ( stress fraktur ).

Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena.

Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan.

Penurunan sensasi pada daerah distal,

g. Pola konsep diri dan persepsi diri


-

Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cidera.

Rasa khawatir dirinya tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya.

h. Pola hubungan-peran
-

Kaji gangguan hubungan pola peran akibat adanya frakture .

i. Pola seksual dan reproduksi


-

Kaji gangguan pola reproduksi seksual akibat adanya frakture

j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres


- Kaji pola koping dan toleransi terhadap stress akibat fraktur yang dialami
DATA OBYEKTIF

Integumen
Laserasi pada kulit, pallor, kulit teraba dingin atau hangat pada daerah distal injury,
ecchymosis, hematoma, edema disekitar injury.

Cardiovaskuler
Penurunan nadi distal dari injury, penurunan temperature kulit, penurunan capillary
refile

30

Neurovaskuler
Paresthesias, penurunan sensasi.

Musuloskletal
Restriksi, penurunan fungsi, deformitas tulang, crepitasi, kelemahan otot,
pemendekan tulang.

Possible findings
Dapat terlihat pada MRI, CT-Scan, X-Ray.

2.2.2

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berikut ini beberapa diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Fraktur Hip
(Hinkle, 2014) dan (Lewis, 2011)
Pre Operasi :
a. Nyeri b.d fraktur dan injuri jaringan lunak
b. Gangguan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar fraktur, kerusakan rangka
neurovascular
c. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan
menurunnya aliran darah akibat cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus, hipovolemia
Post Opersi :
a.

Nyeri b.d trauma pada tulang dan jaringan yang disebabkan oleh prosedur
pembedahan

b.

Ganguan Mobilisasi fisik b. d prosedur pembedahan, ketidaknyaman dan nyeri.

c.

Resiko Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur

terbuka , bedah perbaikan,

imobilisasi.
d.

Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan


pembedahan, imobilitas

e.

Resiko infeksi

f.

Perubahan eleminiasi urin b/d imobilisasi

g.

Resiko konstipasi b.d immobilisasi

h.

Perubahan koping mekanisme

31

2.2.3

Rencana Tindakan
Pre Operasi (Lewis, 2011) dan (Gulanic, 2014)
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b.d fraktur dan injuri jaringan lunak
A. Hasil yang diharapkan
a. Laporan pasien, nyeri terkontrol pada tingkat kurang dari 3 sampai 4 pada skala
0 sampai 10
b. Pasien menggunakan farmakologis dan strategi nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri.
c. Pasien menunjukkan kenyamanan yang ditandai denga untuk HR, TD,
pernapasan dalam batas normal dan tonus otot dan postur tubuh rileks
B. NOC Hasil:
Kontrol nyeri, dan respon pengobata
C. NIC Intervensi
Manajemen nyeri; pemberian analgesic
D.

Intervensi

1. Menilai ketidaknyaman atau nyeri pasien


R / Segera setelah terjadi fraktur 15-20 menit, nyeri tidak tampak. Periode
anatesi sementara ini berhubungan dengan kerusakan saraf akibat trauma oleh
frakture. Sensasi akan kembali dan klien akan merasakan nyeri pada daerah yang
mengalami fraktur. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan
jaringan. Nyeri akan meningkat dengan pergerakan pada area yang mengalami
trauma
2. Menilai gambaran nyeri pasien
R / Nyeri yang bersifat menetap mengindikasikan kemungkinan berkembangnya
komplikasi seperti infeksi dan kompartement sindrom
3. Jelaskan terapi analgesik, termasuk obat-obatan dan jadwal.
R/ Ketidaknyaman berhubungan seara langsung dengan tipe fraktur dan
kerusakan jaringan lunak

32

4. Jika pasien adalah calon

pasien yang dikendalikan analgesia (PCA/ Patient-

Controlled Analgesia ), menjelaskan konsep dan penggunaan


R / (PCA/ Patient-Controlled Analgesia adalah metode yang mengizinkan pasien
untuk mengontrol nyeri dengan menggunakan obat-obatan IV. Keberhasilan
penggunaan

PCA

membutuhkan

pasien

penggunaannya.
5. Berikan analgesik opiod setiap 3 sampai 4

untuk

memiliki

pengetahuan

jam untuk 24 jam pertama.

R / Sejumlah besar trauma, dan kerusakan jaringan terjadi selama prosedur bedah.
Asumsikan bahwa pasien memerlukan analgesia. Kemampuan bagi penderita untuk
jatuh tertidur pada penilaian nyeri bukan merupakan indikator yang baik dari tingkat
pasien kenyamanan. Mengatasi nyeri tak henti-hentinya menguras cadangan energi
dan masih sakit.
6. Mendorong penggunaan analgesik 30 sampai 45 menit sebelum terapi fisik.
R / nyeri yang berkurang akan meningkatkan pasien dari partisipasi dalam kegiatan
terapi fisik.
7. Mengubah posisi pasien setiap 2 jam atau lebih untuk mingkatkan rasa nyama
R/ Ketidakmampuan pasien untuk bergerak bebas dan mandiri mungkin
mengakibatkan tekanan dan nyeri pada tulang.
Kompres es seperti selama 20-30 menit setiap 1-2 jam
R / Dingin mengurangi edema 24-48 jam pertama) dan mengurangi nyeri
9. Menagajaran teknik relaksasi
R / Terapi komplementer dapat menggantikan efek agen analgesi
8.

10 Memberikan obat anti relaxan jika dibutuhkan


R/ menegah spasme otot yang dapat menimbulkan nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar fraktur,

kerusakan rangka neurovaskular


A. Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan

keperaawatan
B. Hasil yang diharapkan :

Pasien dapat meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin

Pasien dapat mempertahankan posisi fungsinal

Pasien dapat meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit

Pasien Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas

33

C. NOC Hasil :
-

Ambulasi, mobilisasi, keseimbangan dan penyembuhan tulang

D. NIC Intervensi :
-

Terapi Exercise, latihan mobilisasi Sendi , Ambulasi

E. Intervensi:

1. Kaji ROM pada bagian sendi proksimal yang tidak mengalami fraktur dan
imbobilasi pada bagian distal
R/ Pasien dengan imobilisasi memiliki batasan ROM pada area yang berpengaruh
2.

Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan


R/ meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/
penyembuhan.

3.

Instruksikan klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstrimitas yang sakit
dan tak sakit
R : mempertahankan gerak sendi dan kekuatan otot

4.

Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit diatas dan dibawah fraktur ketika
bergerak
R : Mencegah gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi yang tepat

5.

Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas


R : Meningkatkan pemahaman dan penerimaan terhadap keterbatasan
sehingga pasien mengerti dan kooperatif

6. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan aktivias dalam lingkup


keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan Awasi tekanan darah, nadi dengan
melakukan aktivitas
R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi darah
7.

Ubah posisi secara periodic


R : Menurunkan insiden komplikasi kulit

8.

Kolaborasi fisioterapi/okuasi terapi


R : Meningkatkan program rehabilitatif medis dengan penanganan yang tepat dan

34

3. Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer


berhubungan dengan menurunnya aliran darah akibat cedera vaskuler langsung, edema
berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.
A. Hasil yang diharapkan : Perfusi jaringan perifer memadai ditandai dengan terabanya
nadi, kulit hangat, warna kulit baik, capillary refill kurang dari 2 detik, nadi perifer
teraba kuat
B. NOC hasil : Pengetahuan, regimen pengobatan lingkungan rumah yang aman
C. NIC Intervensi : Psikomotor skil, pendidikan, Exercise
D. Intervensi
1. Kaji dan bandingkan status neurovascular sebelum dan sesudah tindakan
pembedahan
R/ Perubahan temuan pengkajian neurovaskuler dapat mengindikasikan
komparement sindrom
2. Observasi TTV tiap 3-4 jam.
R/ Ketidakefektifan volume sirkulasi mempengaruhi tanda-tanda vital.
3. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan bagian distal fraktur dan nadi
perifer, ROM dan nyeri
R/ Warna

kulit

pucat

merupakan

tanda

gangguan

sirkulasi.ROM

mengindikasikan jumlah dan tingkatan batasan akitivitas


4. Lakukan

pengkajian

neuromuskuler,

perhatikan

perubahan

fungsi

motorik/sensorik.
R/ Rasa baal, kesemutan, peningkatan nyeri dapat terjadi bila sirkulasi pada saraf
tidak adekuat atau syaraf rusak.
5. Identifikasi tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba.
R/ Dislokasi fraktur dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan.
6. Monitor hasil laboratorium melalui kolaborasi dengan dokter (MP3, Hb, Ht).
R/ Mengidentifikasi tanda-tanda kelainan darah.
7. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
R/ Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
8. Kolaborasi dengan dokter untuk menyiapkan klien intervensi pembedahan.
R/ Intervensi tepat dan cepat dapat mencegah kerusakan yang lebih parah.

35

Post Operasi
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b.d trauma pada tulang dan jaringan yang disebabkan
oleh prosedur pembedahan
A.Hasil yang diharapkan
a. Laporan pasien dapat mengontrol nyeri pada tingkat kurang dari 3 sampai 4 pada skala
0 sampai 10.
b. Pasien menggunakan terapi farmakologis dan nonfarmakologi untuk mengurang nyeri
c. Pasien menunjukan kenyamanan yang ditandai dengan HR, TD, P dalam batas norma
dan tonus otot serta postur tubuh rieks
B. NOC Hasil
a. Kontrol nyeri, respon pengobatan, perawatan diri
b. Obat parenteral.
C. NIC Intervensi
Manajemen nyeri; administrasi analgesik; Patient controlled Analgesia (PCA)
D. Intervensi
1. Menilai keterangan nyeri pasien
R / Langkah pertama dalam mengurangi nyeri menilai keparahan lokasi, dan tingkat
nyeri baik fisik dan emosional. Nyeri Posoperative biasanya terlokalisir pada sendi
yang terkena. Ini akan akut dan tajam. Rasa sakit harus mengurangi intensitas selama
5 hari setelah operasi. Rasa sakit yang terus-menerus atau sakit yang kembali ke
tingkat intensitas sebelumnya dapat megindikasikan

berkembangnya komplikasi

seperti infeksi atau sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen adalah suatu


kondisi yang dihasilkan dari sifat pantang menyerah penutup fasia otot. Bahwa
proses inflamasi adalah hasil dari jaringan cedera selama operasi menyebabkan
peningkatan aliran balik vena, dan penurunan perfusi arteri. Jika iskemia jaringan
bertahan lebih lama dalam 6 jam, kerusakan jaringan permanen bisa terjadi.
2. Menilai efektivitas nyeri intervensi untuk menghilangkan nyeri
R / Pasien memiliki hak untuk mengurangi nyeri yang efektif. Nyeri tidak akan
menjadi efektif sampai pasien

dapat menerima. Pengobatan nyeri yang kurang

membatasi mobilitas pasien pasca operasi dan kemampuan untuk berpartisipasi aktif
dalam program rehabilitasi.

36

3. Jelaskan terapi analgesik, termasuk obat-obatan dan jadwal. Jika pasien adalah calon
untuk pasien yang dikendalikan analgesia (PCA), menjelaskan konsep dan rutin.
Anjurkan pasien untuk meminta obat nyeri sebelum nyeri menjadi parah.
R / Perawatan sering menganggap bahwa pasien akan meminta obat penghilang rasa
sakit bila diperlukan. Pasien mungkin harus menunggu perawat untuk menawarkan
ketika itu tersedia dan mungkin berpikir itu adalah miliknya atau tugas atau tanggung
jawabnya untuk mentolerir rasa sakit sampai bahkan tidak bisa lagi ditoleransi.
Keberhasilan penggunaan PCA membutuhkan pasien untuk memiliki pengetahuan
penggunaannya.
4. Berikan analgesik opiod setiap 3 sampai 4 jam untuk 24 jam pertama.
R / Sejumlah besar trauma, dan kerusakan jaringan terjadi selama prosedur bedah.
Asumsikan bahwa pasien memerlukan analgesia. Kemampuan bagi penderita untuk
jatuh tertidur pada penilaian nyeri bukan merupakan indikator yang baik dari tingkat
kenyamanan pasien . Koping Mengatasi nyeri tak henti-hentinya menguras cadangan
energi dan berkontribusi terhadap kelemehan
5. Mendorong penggunaan analgesik 30 sampai 45 menit sebelum terapi fisik.
R / nyeri yang berkurang secara adekuat akan meningkatkan partisipasi pasien dalam
kegiatan terapi fisik.
6. Mengubah posisi pasien (dalam pencegahan pinggul setiap 2 jam atau lebih).
R / Ketidakmampuan pasien untuk bergerak bebas dan mandiri mungkin
mengakibatkan tekanan dan nyeri pada tulang.
7. Terapkan kompres es seperti yang diperintahkan
R / Dingin mengurangi rasa sakit, peradangan, dan kelenturan otot dengan
mengurangi pelepasan bahan kimia nyeri merangsang dan memperlambat konduksi
impuls nyeri.
8. Mendorong penggunaan tindakan nonfarmacological (misalnya, pijat, menggosok
punggung , aktivitas pengalihan, relaksasi progresif).
R / Langkah-langkah ini mengurangi ketegangan otot, memfokuskan kembali
perhatian, mempromosikan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
dalam kaitannya dengan rasa sakit.
9. Menjaga posisi yang tepat dari ekstremitas yang terkena.
R / Keselarasan yang benar dan posisi anatomi mengurangi kejang otot dan
ketegangan yang tidak semestinya pada prostesis baru dan jaringan sekitarnya

37

10. Selidiki laporan nyeri sendi tiba-tiba berat dengan kejang otot dan perubahan
mobilitas sendi, dan nyeri dada hebat tiba-tiba yang disertai dengan

dengan sesak

dan gelisah.
R / Peengenalan lebih awal dari berkembangnya masalah seperti dislokasi prostesis
atau emboli paru menyediakan intervensi dan pengobatan komplikasi yang lebih
serius.
2. Diagnosa Keperawatan : Ganguan Mobilisasi fisik b. d prosedur pembedahan,

ketidaknyaman dan nyeri.


A. Hasil yang digharapkan
a. Pasien melakukan aktivitas fisik dalam keterbatasan pembatasan mobilitas yang
ditentukan
a. Pasien mempraktekkan menggunakan teknik adaptif yang mempromosik

ambulasi dan perpindahan


B. NOC Hasil
* Penyembuhan tulang; ambulasi; Gerakan terkoordinasi
C.NIC Intervensi
* Positioning: Latihan Terapi; Mobilitas bersama; Latihan terapi ; ambulasi
D. Intervensi
1. Nilai ketakutan pasien dan kecemasan tentang mentransfer atau ambulating.
R / Pasien mungkin takut atau mempunyai kecemasan berulang. Menyembuhkan
sendi

atau takut akan memungkinkan pasien untuk berkonsentrasi pada teknik

yang benar untuk transfer dan mobilitas.


2. Menilai tingkat pemahaman pasien tentang pembatasan setelah operasi.
R / Derajat pembatasan mobilitas tergantung pada sendi yang terlibat. Initiallty,
pasien

mungkin

tidak-berat-bantalan

pada

sendi

prostetik.

Kemajuan

hubunganberat akan dilaksanakan sebagai sendi prostetik menjadi lebih stabil.


Pembatasan mobilitas setelah operasi harus dijaga setiap saat untuk mencegah
dislokasi
3. Menilai ROM pascaoperasi; peningkatan dan kegagalan kemajuan yang
dibandingkan dengan status pra operasi.

38

R / ROM sendi harus dipertahankan selama periode aktivitas menurun. Sendi


Artritic kehilangan fungsi utama lebih cepat ketika aktivitas dibatasi.
4. Mendorong ROM aktif dengan semua ekstremitas terpengaruh.
R / Penurunan mobilitas menyebabkan kehilngan dari otot di seluruh tulang.
ROM Aktif meningkatkan tonus otot
5.

Mendorong latihan seperti yang ditentukan pada sendi yang terkena.


R / Latihan meningkatkan kekuatan otot dan nada pada ekstremitas yang terkena.

6.

Mendorong penggunaan analgesik sebelum perubahan posisi


R / Penurunan a nyeri memungkinkan kinerja yang lebih baik selama terap

7.

Gunakan trapeze bar di tempat tidur untuk membantu mobilitas.


R / Perangkat memfasilitasi gerakan di tempat tidur dan meningkatkan
kemandirian pasien dan keselamatan pada saat berpindah.
8. Instruksikan pasien dalam menjaga keseluruhan total hip artroplasti selama
perubahan posisi.

R / Tindakan ini mencegah

dislokasi hip . Tindakan

pencegahan dapat mencakup penggunaan ganjalan abduksi di tempat tidur non


hip fleksi lebih dari 90 derajat, dan tidak membungkukan pinggang.
9.

Menjaga status berat badan pada ekstremitas yang terkena seperti yang
ditentukan.
R / Berlebihan berat-badan pada pinggul akan meningkatkan risiko dislokasi
sampai penyembuhan terjadi. Pasien akan mulai terapi fisik dalam waktu 24 jam
pasca operasi.

3. .Diagnosa Keperawatan : Resiko Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur


terbuka , bedah perbaikan, imobilisasi
A. Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan `perawatan
B. Kriteria hasil:
Penyembuhan luka sesuai waktu
Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
C.Intervensi:
1. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainase
R : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin
disebabkan oleh alat dan atau pemasangan gips/bebat atau traksi.

39

2. Monitor suhu tubuh


R : Peningkatan suhu menunjukkan adanya infeksi
3. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
R : Mencegah mikroorganisme berkembang biak.
4. Lakukan alih posisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
R : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang yang cedera
5. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
R : lingkungan yang kotor, lembab dan tekanan merupakan media yang baik
untuk mikroorganisme berkembang biak
6. Bersihkan kulit di sekitar akhir gips dengan antiseptik
R : Mencegah dan menghambat perkembangbiakan bakteri
7. Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
R : Mencegah terjadinya luka tekan (decubitus)
8. Kolaborasi emberian antibiotik.
R : untuk mencegah infeksi dan mempercepat proses penyembuhan
2.2.4 Implementasi
Setelah rencana keperawatan tersusun rapi, kemudian diterapkan dalam tindakan nyata
untuk mendapatkan hasil yang diharapkan
2.2.5. Evaluasi
Mengevaluasi perawatan yang telah diberikan dan menilai apakah hasil yang diharapkan
tercapai.

2.2.6. Discharge Planning


Post Operasi Total Hip Replacment
1. Mengajarkan kepada pasien mobilisasi secara bertahap 24 jam setelah
pembedahan

40

2. Mengajarkan kepada klien tentan pentingnya posisi abduksi/ mendekat pada saat
istirahat sumbuh tubuh untuk mencegah dislokasi
3. Mengajarkan pasien untuk menghindari posis fleksi

kaki dan adduksi /

menjaukan kaki dari sumbuh tubuh selama proses pemulihan untuk mencegah
dislokasi
4. Mengajarkan kepada pasien untuk menghindari fleksi lebih dari 90 derajat
5. Mengajarka kepada pasien untuk tidak membengkokkan pinggang
6. Mengajarkan kepada pasien ambulasi menggunakan walker dan Crutchs
7. Mengajarkan kepada pasien untuk tidak mengendarai kendaraaan sampai anjuran
dari dokter
8. Mengajarkan kepada pasien untuk segera ke pelyanan kesehatan jika mengalami
nyeri yang hebat. Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang bergizi dan
banyak mengandung serat seperti: nasi ditambah lauk pauk dan susu.
9. Mengajarkan kepada pasien untuk mencegah resiko jatuh dengan menghindari
dari lingkungan yang berbahaya
10. Minum obat sesuai dengan instruksi dokter.
11. Saat berjalan gunakan tumpuan lebih banyak pada kaki yang tidak sakit.
12. Melatih ujung kaki untuk digerakan 1-3 kali dalam setengah jam.
13. Menjaga kebersihan luka dan segera laporkan ke tenaga kesehatan bila ada bau
yang tidak enak, ada rembesan darah keluar, demam tinggi.
14. Anjurkan untuk banyak minum 2-3 liter/hari.
15. Jelaskan penyebab dari fraktur, pengobatan dan komplikasi .

BAB III
ANALISA JURNAL DAN PEMBAHASAN

41

Berikut ini akan dijelaskan mengenai analisa jurnal berkaitan dengan fraktur hip dan
pembahasan
1. Acute nursing care of the older adult with fragility hip fracture: An international
perspective
Peneliti : Ann Butler Maher et all
Jurnal : International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing
Tahun : 2012
Hasil penelitian :
Pada jurnal ini dijelaskan pada jurnal ini bagaimana melakukan perawatan yang optimal
pada pasien fraktur yaitu nyeri, delirium, luka tekan, ketidakseimbangan cairan dan nutrisi,
konstipasi dan infeksi karena pemasangan kateter. Hal ini harus menjadi kewaspadaan
dalam pengkajian keperawatan. Ketidakseimbangan carian/ nutrisi terjadi karena lansia yang
mengalami fraktur hip biasanya mengalami komplikasi seperti delirium, DVT, luka tekan,
aritmia, anemia yang biasanya dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan, nutrisi dan
eliminasi
Luka tekan dapat terjadi karena pasien tidak mampu bergerak setelah jatuh atau operasi.
Untuk menghindari hal tersebut luka tekan harus dilapisi atau dibungkus untuk mengurangi
tekanan. Untuk pasien yang bedrest dianjurkan untuk memakai kasur angin untuk
menghindari tekanan. (Black, 2009). Berdasarkan masalah keperawatan ditemukan diagnosa
kerusakan integritas kulit, infeksi tetapi dengan penyebab yang sama yaitu pada teori
menjelaskan kerusakan integritas kulit terjadi karena luka karena fraktur dan imobilisasi
dan pada penelitian ini ditemukan kerusakan integritas kulit dikarenakan tekanan dan
luasnya tekanan pada jaringan karena pasien imobilisasi. Masalah keperawatan infeksi pada
buku dikarenakan penurunan pertahanan tubuh (Black, 2009) pada penelitian ini ditemukan
infeksi karena pemasangan kateter. Pada teori dapat ditemukan konstipasi karena
keterbatasan aktivitas (Black, 2009).
2. Hip fracture and urinary incontinence use of indwelling catheter post surgery
Peneliti : Liv W. Sorbye PhD, MA, RN (Professor) and Else V. Grue PhD, MA, RN
Associate Professor)

42

Jurnal : Scandinavian Journal of Caring Sciences


Volume : halaman 632-642
Tahun : 2012
Hasil penelitian :
Penelitian ini dilakukan di Norwegia karena di dasari dengan tingginya insiden fraktur hip
yang lebih tinggi dari Negara lain.
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang mengalami fraktur hip yang tidak menggunakan
kateter dengan yang menggunakan kateter dalam waktu 72 jam ( baik sebelum dan
sesudah operasi). Dan dilakukan analisa selama 1 tahun, dan juga pada pasien yang
mengalami inkontinensia dan yang tidak mengalami.
Pada pasien yang pemasangan kateter lebih dari 72 jam akan mengalami delirium /
perasaan tidak nyaman dan ISK dan akan memerlukan tindak lanjut dari multidisiplin
setelah dari ruang perawatan. Untuk itu penggunaan kateter sebaiknya di hindari.
Hal ini mempemrkuat pada jurnal sebelumnya yaitu bahwa infeksi karena terjadi
pemasangan kateter. (Maher, et al., 2012)
3.

Comparative effectiveness of pain management interventions for Hip Fracture: A


Systematic review
Peneliti : Ahmed M. Abou-Setta, MD, PhD; Lauren A. Beaupre, PT, PhD; Saifee Rashiq,
MB, MSc; Donna M. Dryden, PhD; Michelle P.Hamm, MSc
Jurnal : Annals of internal medicine
Volume : volume 155, number 4; halaman 234-245
Tahun: 2011
Hasil penelitian : penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas manajemen nyeri pada
pasien fraktur hip. data yang diambil dari data base elektronik dari tahun 1990-2010. Dari
83 sampel ( 64 RCT. 5 non TCT dan 1 studi kohort) anastesi yang dilakukan dengan cara
blok saraf ( 32), anastesi spinal ( 30), anastesi sistemik (3), traksi (11), manajemen nyeri
multi modal (2) neurostimulation (2), rehabilitasi (1) dan pengobatan kompementer dan
alternative (2). 2). Secara keseluruhan , bukti moderat menunjukkan bahwa blokade saraf
yang efektif untuk menghilangkan nyeri akut dan mengurangi delirium. Bukti tingkat
rendah menunjukkan bahwa traksi pra operasi tidak mengurangi nyeri akut. Bukti tidak

43

cukup tentang manfaat dan bahaya yang paling intervensi, termasuk anestesi spinal,
analgesia sistemik, manajemen nyeri multimodal, akupresur, terapi relaksasi, stimulasi
saraf transkutan listrik, dan rejimen terapi fisik, dalam mengelola nyeri akut. Dalan
penelitian ini ditulis keterbatasannya adalah Tidak ada studi mengevaluasi hasil dari sakit
kronis atau eksklusif diperiksa peserta dari panti jompo atau dengan gangguan kognitif..
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah blokade saraf tampaknya efektif dalam
mengurangi nyeri akut setelah patah tulang pinggul. Data Jarang menghalangi kesimpulan
tentang manfaat relatif atau merugikan banyak intervensi manajemen nyeri lainnya untuk
pasien dengan patah tulang pinggul.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pasien yang mengalami fraktur hip akan
mengalami akan mengalami spasme otot yang parah ssehingga dapat menimbulkan rasa
sakit yang hebat dan obat analgetik tidak cukup untuk membantu mengurangi rasa nyeri
sehingga diperlukan blockade saraf untuk mengurangi nyeri. (Lewis, 2011).
4. A systematic review of hip fracture incidence and probability of fracture worldwide
Peneliti : J.A. Kanis, A Oden, E.V. McCloskey, H. Johanson, D.A. Wahl, C. Cooper
Jurnal : International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation
Volume : 23 hal 2239-2256
Tahun : 2012
Hasil penelitian :
Kejadian fraktur hip Secara umum dalam jurnal ini dikatakan secara spesifik risiko satu
negara mengalami patah tulang pinggul dengan kejadian angka Probabilitas 10 tahun pada
sistematis. Dan wanita pada usia 65 tahun lebih beresiko daripada pria.
Hal ini sesuai dengan teori yang didapat bahwa penderita paling banyak wanita pada usia
lanjut dan yang mengalami osteoporosis. Karena pada saat menopose wanita akan
mengalami penurunan serum kalsium yang dapat berakibat osteoporosis . Osteoporosis
menyebabkan tulang mudah rapuh sehingga pasien yang mengalami osteoporosis beresiko
mengalami frakture hip (Lewis, 2011).

44

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Faktur hip adalah gangguan kontinuitas 1/3 tulang femur yang meluas pada 5 cm
dibawah trohanter. Fraktur dapat disebabkan oleh kecelakaan secara langsung, tekanan yang
kuat dan kontraksi otot yang kuat. Ada 2 jenis fraktur hip yaitu intracapsular fracture dan
ekstracapsular fracture. Intracapsular fraktur adalah fraktur pada leher femur. Extracapsular
fractures adalah fraktur pada daerah trochanter (daerah antara dasar leher dan lebih sedikit
trochanter pada femur) dan daerah subtrochanter.
Standar minimum dalam managmen fraktur hip adalah managemen nyeri pre dan post
operasi, pembedahan dilakukan 48 jam setelah injury dan tidak boleh ditunda, mobilisasi
pasien 24 jam setelah dilakukan pembedahan untuk mencegah kompikasi baik pre maupun
post operasi dan mencega terjadinya kejadian fraktur berulang.
Tindakan pembedahan dapat menimbulkan berbagai komplikasi antara lain Deep vein
trombisis dan Pulmonali Emboly (PE) yang dapat mengamcam jiwa bahkan kematian. Hal

45

ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman (2012), dari 126 rumah sakit
di New York State dari tahun 20072008, setelah managemen pembedahan banyak pasien
dengan frakture hip mengalami angka kesakitan, kematian dan kedidakmampuan yang tinggi
dengan perkiraan 5 % meninggal selama di rumah sakit dan 10 % meninggal akibat
komplikasi pulmonal dan kardiovaskuler. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Neuman
(2012), pasien fraktur hip yang menjalankan pembedahan dengan anastesi regional
mengalami komplikasi pulmonaly sebanyak 6.8 % sedangkan
menjalankan pembedahan dengan anastesi general

pasien fraktur hip yang

mengalami komplikasi pulmonaly

sebanyak 8.1 % dengan P value 0.005dan dari 18.158 pasien fraktur hip, sebanyak 435 atau
2.4 % yang meninggal di Rumah Sakit
Peran perawat professional penting untuk mencegah komplikasi pada pasien fraktur hip
pre dan post operasi. Peran perawat pada saat preoperasi adalah persiapan pasien untuk
dilakukan operasi dan managemen nyeri serta meningkatan pengetahuan pasien mengenai
pentingnya tindakan emergency pembedahan yang menjadi standar dalam perawatan pasien
fraktur saaat ini dimanan jika tidak segera di operasi, maka pasien akan mengalami gangguan
sirkulasi darah ke bagian yang fraktur. Peran perawat pada saat post operasi fraktur hip
adalah managemen nyeri, pencegahan komplikasi sekunder, dan mobiliasasi lebih awal.
Managemen nyeri dan pencegahan komplikasi 24 48 jam pertama sangat penting dan
membantu pasien dalam proses pemulihan, serta meningkatkan pengetahuan pasien
mengenai mobilisasi setelah pembedahan dan pentingnya mencegah kejadian fraktur yang
berulang.
4.2 Saran
Berikut ini merupakan beberapa saran unutuk meningkatkan praktek keperawatan dalam
managemen pasien dengan frakture hip
Meningkatkan pengetahuan mengenai managemen fraktur hip dan mengenali
-

tanda-tanda komplikasi baik pre dan post operasi


Mendukung mobilisasi dini post operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi
Managemen nyeri dengan menggunakan evidence base practice

46

DAFTAR PUSTAKA
Abbou-Sertta, A. M., Beaupre, L. A., & Rashiq, S. (2011). Comperative effektivenns of pain
management intervention for Hip Fractur : A systemetic Riview. Annals Of Internal Medicine ,
234-245.
ACI. (2014). Minimum Standards for the Management of Hip Fracture in the Older Person.
www.aci.health.nsw.gov.au
Black, J. M. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical . Elseiver: Singapore .
Gulani, M. d. (2014). Nursing Care Plans : Diagnoses, Intervention, and Outcome . Philadelphia
: Elseiver.
Hinkle, J. L. (2014). Bruner and Suddarth' s textbook of medical surgical nursing . China :
Lippincott William & Wilkins .
Kanis, J., A, O., & Mloskey, E. (2102). A Systematic Riview of Hip Fracture incidence and
Probabilyty of Fracture wordwide . iInternational Osteoporosis Fondation and National
Osteoporosis Foundation , 2239-2256.
Lewis, S. M. (2011). Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical
Problems . St.Louis: Missouri : Elseiver .
Lukman, J., & Sorensen, K. C. (2009). Medical Surgical Nursing . Philadelphia : Saunders
Company.
Meher, A. B. (2012). Acute Nursing Care of Older adult with fragility hip fracture : An
International Perspective. Inernational Journal Of Orthophedic and Trauma Nursing .
Nazer, D. (2014). Jumah Lansia Indonesia Akan Mencapai 36 juta di tahun 2015. Bandung:
Pikiran Rakyat Online.

47

Neuman, M. D. (2012). Comparative Effectiveness of Regional versus General Anesthesia for


Hip Fracture Surgery in Adults. American Society Of Anesthesiologist , 72-92.
Philpot, M., Ashwood, N., Ockendon, M., & Moores, T. (2013). Fractures of the Femoral Head.
Journal Of Trauma , 16-17.
Price, S. A. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Sorbye, L. W., & Grue, E. V. (2012). Hip Frature and Urinary Inkonteinia use Inwellling catheter
post Surgery . Scandinavian Journal Of aring Science , 632-642.
Suddart, B. a. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Jakarta : EGC.

You might also like