You are on page 1of 8

Critical Review

Partai Politik
Penulis dalam tugas mata kuliah mengenai Critical Review Partai Politik
dengan sumber bahan bacaan buku Ramlan Surbakti yang berjudul Memahami Ilmu
Politik, Dalam buku tersebut, Ramlan Surbakti menerangkan adanya tiga teori yang
dapat digunakan untuk menjelaskan tentang awal mula kehadiran partai politik.
1. Teori kelembagaan. Teori kelembagaan melihat bahwa ada hubungan antara
parlemen awal dan timbulnya partai politik. Bahwa partai politik tersebut
hadir karena dibentuk oleh kalangan legislatif (dan eksekutif) karena adanya
kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasar pengangkatan)
untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan meminta dukungan dari
masyarakat. Setelah itu partai politik kemudian dibentuk oleh masyarakat.
2. Teori situasi historis. Teori situasi historis melihat timbulnya partai politik
sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan
dengan adanya perubahan masyarakat. Bahwa teori situasi historis tampil
menjelaskan tentang terjadinya krisis yang menimpa sistem politik dalam
masa transisi karena perubahan masyarakat dari tradisional ke modern. Di
mana perubahan terjadi di berbagai bidang, termasuk terjadinya peningkatan
partisipasi politik masyarakat yang mewujud pada adanya kebutuhan akan
hadirnya partai politik.
3. Teori pembangunan. Teori pembangunan melihat bahwa kehadiran partai
politik merupakan produk dari modernisasi sosial ekonomi. Perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat itu menimbulkan tiga krisis, yaitu
krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Bahwa perubahan-perubahan
tersebut mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang
mendasari legitimasi kewenangan pemerintah, menimbulkan masalah dalam
hal identitas yang menyatakan masyarakat sebagai suatu bangsa, dan juga
menimbulkan adanya tuntutan yang terus meningkat untuk ikut serta dalam
politik. Atas dasar hal-hal inilah kemudian partai politik dibentuk.

Menurut Lapalombara dan Weiner sebagaimana dikutip Ramlan Surbakti


dalam buku Memahami Ilmu Politik, bahwa terdapat tiga ciri yang terkait dengan
partai politik, yaitu:
1. Partai politik itu harus berakar dalam masyarakat lokal.
2. Partai politik harus melakukan kegiatan secara terus-menerus atau
berkesinambungan.
3. Partai politik harus berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan
dalam pemerintahan.
Para ilmuwan politik selanjutnya merumuskan definisi atau batasan
mengenai apa yang disebut sebagai partai politik. Carl Friedrich dalam Ramlan
Surbakti (2013) menyatakan, bahwa partai politik adalah merupakan sekelompok
manusia yang terorganisasi secara stabil dan bertujuan untuk merebut kekuasaan.
Ilmuwan politik lainnya, Robert F. Soltau, menjelaskan partai politik sebagai
sekelompok manusia yang terorganisir paling tidak dalam skala minimal, yang
bertindak sebagai kesatuan politik, dan yang memanfaatkan kekuasaannya untuk
membentuk kebijakan umum. Selanjutnya, banyak definisi mengenai partai politik
yang dikeluarkan oleh para ilmuwan politik.
Menurut Ramlan Surbakti, dari sekian banyak definisi yang dirumuskan oleh
para ilmuwan tersebut, pada umumnya tidak mencantumkan ideologi sebagai salah
satu ciri penting dari suatu partai politik.
Secara umum partai politik memiliki fungsi mencari dan mempertahankan
kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun dengan berlandaskan
ideologi yang mereka anut.
Terdapat beberapa perbedaan dalam cara partai politik mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaannya dalam pemerinthan. Dalam negara-negara yang
yang menganut sistem demokrasi, cara yang digunakan oleh suatu partai politik
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah dengan ikut serta sebagai
partai politik peserta pemilu. Sedangkan dalam negara yang menganut sistem politik
totaliter dengan satu partai, cara yang digunakan berupa paksaan fisik dan psikologis

oleh suatu diktatorial kelompok (pada negara komunis) dan diktatorial individu
(pada negara fasis).
Partai politik juga memiliki fungsi-fungsi yang harus dijalankan, yaitu fungsi
sosialisasi politik, fungsi rekrutmen politik, fungsi partisipasi politik, fungsi pemadu
kepentingan, fungsi komunikasi politik, fungsi pengendalian konflik, dan fungsi
kontrol politik.
Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para
anggota masyarakat. Rekrutmen politik adalah proses seleksi dan pemilihan atau
seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan
sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada
khususnya. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara dalam mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan keikutsertaannya dalam
menentukan pemimpin.
Sedangkan pemadu kepentingan adalah kegiatan dalam menampung dan
memadukan berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda atau bahkan kadang
kala bertentangan. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian informasi
mengenai politik, baik itu dari pemerintah kepada masyarakat, ataupu sebaliknya
dari masyarakat kepada pemerintah.
Pengendalian konflik adalah keberadaan atau peranan yang diambil partai
politik di dalam upaya mengendalikan konflik yang terjadi dalam suatu sistem
politik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan
memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan
membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk
mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.
Terakhir, kontrol politik, yang merupakan kegiatan untuk menunjukkan
kesalahan atau kelemahan, dan penyimpangan, baik itu dalam isi suatu kebijakan
ataupun dalam pelaksanaan kebijakannya yang dilakukan oleh pemerintah.
Partai-partai politik dapat diklasifikasikan atau digolongkan berdasarkan
kriteria-kriteria, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, serta basis
sosial dan tujuan.

Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik dapat diklasifikasikan


menjadi tiga tipe, yaitu partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai
politik kepentingan. Partai politik pragmatis adalah suatu partai politik yang
mempunyai program dan kegiatan yang tak terikat secara kaku pada suatu doktrin
atau ideologi tertentu. Partai politik doktriner adalah suatu partai politik yang
memiliki sejumlah program dan kegiatan kongkret sebagai penjabaran ideologi.
Partai politik kepentingan adalah suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas
dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan
hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan.
Berdasarkan komposisi dan fungsi anggota, partai politik dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu partai massa atau lindungan dan partai kader. Partai massa adalah
partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan
cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai
pelindung bagi berbagai kelompok dalam masyarakat. Sedangkan, partai kader
adalah partai politik yang mengandalkan kualitas anggota, keketatan organisasi, dan
disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utamanya.
Di samping penggolongan sebagaimana tersebut di atas, partai politik dapat
juga digolongkan atas dasar basis sosial dan tujuannya. Berdasarkan basis sosialnya,
partai politik dibagi menjadi empat tipe, yaitu partai politik yang beranggotakan
lapisan-lapisan sosial tertentu dalam masyarakat, seperti kelas atas, menengah, dan
bawah. Partai

politik yang anggota-anggotanya berasal dari kalangan atau

kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, dan pengusaha. Partai politik
yang anggota-anggoatnya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti Islam,
Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Partai politik yang anggota-anggotanya
berasal dari kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah
tertentu.
Berdasarkan tujuannya, partai politik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Partai perwakilan kelompok. Artinya, partai politik yang menghimpun
berbagai kelompok masyarakat untuk memenangkan sebanyak mungkin
kursi dalam parlemen.

2. Partai pembinaan bangsa. Artinya, partai politik yang bertujuan menciptakan


kesatuan nasional dan biasanya menindas kepentingan-kepentingan sempit.
3. Partai mobilisasi. Artinya, partai politik yang berupaya memobilisasi
masyarakat ke arah pencapaian-pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh
pemimpin partai, sedangkan partisipasi dan perwakilan kelompok cenderung
diabaikan.
Ramlan Surbakti untuk selanjutnya membahas tentang sistem kepartaian,.
Dengan mengacu kepada pendapat Maurice Duverger, bahwa sistem kepartaian
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan
sistem banyak partai.
Dalam hal ini Ramlan Surbakti lalu memberikan beberapa catatan kritis
terhadap penggolongan sistem kepartaian Maurice Duverger tersebut, yaitu sebagai
berikut:
1. Istilah sistem dalam kalimat sistem partai tunggal merupakan suatu istilah
yang kontradiktif atau bertentangan (contradictio in terminis). Oleh karena
dalam setiap sistem terdiri atas lebih dari satu bagian. Dalam hal ini,
semestinya lebih dari satu partai.
2. Untuk itu istilah lebih tepat untuk digunakan berupa bentuk partai totaliter
(komunis atau fasis), dengan bentuk partai tunggal otoriter. dan bentuk partai
tunggal dominan (tidak totaliter dan tidak otoriter).
3. Bahwa tidak semua negara di dunia ini memiliki partai politik, sebagaimana
yang terjadi di negara-negara yang menerapkan sistem politik Otokrasi
Tradisional.
4. Penggolongan partai semata-mata hanya berdasarkan jumlahnya saja.
Tetapi, penggolongan sistem kepartaian tidak hanya didasarkan atas jumlah
partai semata. Ada juga penggolongan partai berdasarkan jarak ideologi di antara
partai-partai. Penggolongan partai berdasarkan jarak ideoplogi dikemukakan oleh
Giovanni Sartori.
Menurut Sartori sebagaimana dikutip Ramlan Surbakti, bahwa penggolongan
sistem kepartaian tersebut didasarkan atas jumlah kutub (polar), jarak di antara
kutub-kutub itu (polaritas), dan arah perilaku politiknya.

Selanjutnya, Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu


sistem kepartaian pluralisme sederhana, sistem kepartaian pluralisme moderat, dan
sistem kepartaian pluralisme ekstrim.
1. Dalam sistem kepartaian pluralisme sederhana adalah bipolar, yaitu terdiri
dari dua partai atau dua kutub dan di antara partai tidak terjadi polaritas
(tidak ada jarak di antara kutub-kutub yang ada). Contohnya, sistem dua
partai atau dwipartai seperti di Amerika Serikat, yaitu Partai Republik dan
Partai Demokrat.
2. Dalam sistem kepartaian pluralisme moderat, posisinya hampir sama dengan
pluralisme sederhana yaitu bipolar. Polaritas kalaupun terjadi adalah sangat
kecil, dan sentripetal. Contoh negara dengan sistem kepartaian pluralsime
moderat adalah Belanda. Walaupun pada kenyataannya tidak selalu hanya
dua partai, seringkali terdiri dari banyak partai tetapi tidak terjadi perbedaan
yang tajam di antara partai-partai tersebut.
3. Dalam sistem kepartaian pluralisme ekstrim yang terdiri dari banyak partai
(multipolar), polaritas yang terjadi sangat besar. Polarisasi dan radikalisasi
terjadi karena jarak ideologi di antara kutub-kutub itu sangat jauh, seperti
komunis yang kiri, neofasis yang kanan, atau sosialis yang kiri-kanan, dan
Kristen demokrat yang kanan-tengah, dan sentrifugal. Contoh negara yang
menggunakan sistem ini adalah Italia.
Apabila dikaitkan dengan tingkat stabilitas politik di suatu negara yang
menerapkan sistem kepartaian tertentu, maka Ramlan Surbakti juga memunculkan
pertanyaan. Pertanyaannya, mengapa kondisinya pada berbagai negara bisa berbedabeda padahal berada pada sistem klasifikasi yang sama? Pertanyaan selanjutnya,
adalah mengenai kasus Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru yang telah
menerapkan kebijakan fusi atau penyederhanaan jumlah partai-partai.
Kesimpulan
1. Dari penjelasan teoritis tentang awal mula kehadiran partai politik dapat
diketahui bahwa ada tiga pandangan terkait pembentukan suatu partai politik.
(1) partai politik dibentuk oleh legislatif (dan eksekutif);

(2) partai politik dibentuk sebagai respons atas terjadinya perubahan dalam
sistem politik, dari tradisional ke modern; dan
(3) partai politik dibentuk .
2. Para ilmuwan politik yang berasal dari Barat tidak menempatkan ideologi
sebagai ciri penting dari suatu partai politik. Padahal dalam kasus tertentu,
hasil kesimpulan mereka tidak bisa diterapkan untuk semua situasi alias tidak
sepenuhnya berlaku secara universal.
3. Bahwa suatu organisasi bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai partai
politik apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) berakar dalam masyarakat lokal;
(2) berkegiatan secara berkesinambungan;
(3) berusaha memperoleh serta mempertahankan kekuasaannya dalam
pemerintahan; dan
(4) ikut serta dalam pemilu.
4. Partai-partai politik yang terdapat dalam suatu sistem politik dapat digolonggolongkan berdasarkan jumlah partai dan berdasarkan jarak ideologi.
5. Adanya perubahan yang mempengaruhi lingkungan sistem politik oleh
karena terjadinya modernisasi sosial ekonomi melahirkan kebutuhan akan
hadirnya partai politik.
6. Bahwa fungsi partai politik ialah mencari dan mendapatkan kekuasaan, serta
mempertahankan kekuasaan tersebut guna mewujudkan program-program
yang disusun berdasarkan ideologi yang mereka anut. Di samping itu, partai
politik

juga melengkapi dirinya dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti

fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemandu


kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, dan kontrol politik.
7. Untuk meningkatkan dan juga menjaga kredibilitasnya, partai politik
melakukan kegiatan yang disebut sosialisasi politik. Sosialisai politik ialah
proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat.
Proses ini dilakukan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal
maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari.
8. Dari segi penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi menjadi dua, yaitu
pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik asalah suatu
proses dialogis di antara pemberi dan penerima pesan. Contoh: sekolah,
diskusi, forum, dan lain-lain. Sedangkan indoktrinasi politik adalah proses
sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat

untuk menerima nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol yang dianggap


pihak yang berkuasa ideal dan baik.
9. Dalam sistem totaliter seperti fasis dan komunis partai politik tunggal
dipandang

sebagai

sarana

yang

tangguh

untuk

membina

dan

memobilisasikan massa rakyat untuk mencapai tujuan dengan kader-kader


yang militan dan struktur organisasi yang secara hirarkis sangat ketat.
10. Dalam sistem politik yang bersifat totaliter, partai politik lebih berfungsi
sebagai pengendali pemerintahan dan juga sebagai alat untuk memobilisasi
seluruh rakyat untuk melaksanakan keputusan partai. Dalam sistem totaliter
pemilu digunakan sebagai sarana pengesahan calon tunggal yang ditetapkan
dahulu oleh partai politik yang juga tunggal.

You might also like