Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
2.
3.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Taklid
II.
2.
Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid pada suatu
madzhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan,
sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum fiqih
madzhabnya, sedangkan sebelum ini para hakim yang ditunjuk
oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama
sekali pada suatu madzhab.
3.
Munculnya buku buku fiqih yang disusun oleh tiap tiap
madzhab, hal ini pun menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis
dalam buku buku tersebut.
Penyebab tertutupnya pintu ijtihad ini juga sebagai penyebab
terjadinya taklid. Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode
ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa,
menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman
terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih. Keadaan ini memaksa para
penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada
pertengahan abad keempat hijriah agar mereka yang mengklaim
diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan
menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.
Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek
yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan
ketinggalan zaman.
Di sisi lain pada permulaan periode ini terdapat sejumlah orang
yang tidak layak berijtihad tetapi ikut berijtihad, sehingga
menyebabkan kekacauan. Sementara itu, ulama sederajat Abu
Hanifah , Malik Asy-Syafii, dan Ibnu Hambal sulit ditemui lagi.
Meskipun sisi lain periode ini disebabkan karena tradisi taklid,
secara realitas terdapat kerja ulama. Sebagai contoh Al-Majmu
karya An-Nawawi, Al-Mustasfha dan Ihya Ulum Ad-Din karya AlGhazali. Mereka giat meneliti dan mengklarifikasikan
permasalahan fiqih dan memperdebatkannya dalam forum forum
fiqih sehingga dapat diketahui mana yang disepakati mana yang
tidak. Kemudian mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti AlInshaf karya Al-Bathliyusi, Bidayah Al Mujtahid karya Ibnu Rusyd,
dan lain lain yang merupakan embrio bagi kelahiran fiqih almuqaram pada periode selanjutnya.
B.
2.
Usaha menyusun hukum hukum fiqih secara sistem undang
undang tanpa membatasi diri dengan suatu madzhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui sistem perbandingan, yaitu
mempelajari pendapat semua fuqaha dari semua madzhab,
kemudian membandingkan satu sama lain dan dipilih mana yang
lebih benar. Ada pun cara penulisan pada fase ini umumnya
terfokus pada kajian hukum tertentu seperti kitab khusus
mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.[5] Kebangkitan
fiqih pada masa ini dapat ditandai dengan munculnya majalah AlAhkam Al-Addliyyah di kerajaan Turki Usmani yang memuat
persoalan muamalah (hukum perdata).
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada zaman
modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk
melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqih sebagai
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sejak saat itu, kajian fiqih
tidak lagi terikat pada salah satu madzhab, tetapi telah
mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai madzhab,
yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Muncul banyak pembaharu pasca Muhammad Abduh, Ridha, AlAfgani. Seperti Gamal Al Banna adik kandung Hasan Al-Banna
yang telah menerbitkan banyak buku di Mesir, seperti Nahwa
Fiqhin Jadid (Menuju Fiqih Baru), Tatswirul Quran ( Revolusi AlQuran), dan sebagainya. Meskipun banyak tokoh yang apresiatif
terhadapnya tetapi ada pula yang kontra. Dia tetap konsisten.
Barangkali inilah momentum kebangkitan fiqih dari Mesir maupun
Timur Tengah, meskipun harus diakui beberapa pembaharuan
pada abad ke-20 ini begitu gencar di mana mana. Di indonesia
misalnya, banyak tokoh yang menampilkan wawasan fiqih yang
bernuansa dinamis, seperti Ali Yatie, Hasbi Ash-Shiddieqi,
Abdurahman Wahid, dan tokoh lainnya.