You are on page 1of 7

For All

Selasa, 14 Oktober 2014

Sejarah Fiqih pada Masa Taklid dan kebangkitan Kembali

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Ijtihad telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Menurut


sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai mengalami
penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid terkenal. Hal
ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu
ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran.
Sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat
imam mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini
merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau masa-masa
sebelumnya merujuk pada Al-Quran dan Sunnah, maka pada
masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh
imam-imam yang dipandang lebih berkompeten. Terdapat dua ciri
yang menandai kemunduran fiqih Islam, yaitu munculnya taklid
dan tertutupnya pintu ijtihad.Berbagai faktor, baik politik, mental
sosial dan sebagainya yang telah mempengaruhi kegiatan para
ulama dalam bidang hukum. Sehingga tidak sanggup mempunyai
kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu bertaklid.
Beberapa saat setelah masa taklid ini banyak tokoh yang
menyadari bahwa taklid menyebabkan kemunduran fiqih Islam.
Lalu pada masa ini timbul ide, usaha, dan gerakan gerakan

pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam umat Islam


dan ilmu pengetahuan Islam
Rumusan Masalah
1.

Apa pengertian taklid?

2.

Bagaimana kondisi fiqih pada masa taklid?

3.

Bagaimana kondisi fiqih ketika masa kebangkitan kembali?

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Fiqih pada Masa Taklid


I.

Pengertian Taklid

Taklid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir.


Sedangkan Taklid secara syara adalah melaksanakan pendapat
orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam
yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang
mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.

II.

Kondisi Awal Periode Taklid

Masa ini berlangsung pada pertengahan abad Hijriyah atau


sekitar tahun 300 H. Periode ini juga dikenal sebagai meredupnya

semangat dan keinginan para ulama untuk melakukan ijtihad.


Bahkan mereka membatasi diri dengan mengikuti produk produk
hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya.
Ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir
pemerintah atau dinasti Abbasiyah[1] Pada saat itu Bani
Abbasiyah sedang dalam kondisi lemah. Banyak daerah yang
melepaskan diri dari kekusaan Bani Abbasiyah dan membentuk
kerajaan sendiri.[2]
Masa ini bersamaan waktunya dengan kemunduran pemerintahan
Islam. Pemerintah Islam tidak lagi semaju masa masa
sebelumnya. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan fiqih dan kehidupan para mujtahid. Selain itu,
madzhab madzhab fiqih sudah terbukukan dengan baik sehingga
para fuqaha tidak lagi mencari hukum Al Quran dan As Sunnah ,
tetapi cukup pada karya karya fiqih para ulama sebelumnya.
Mereka membatasi diri dalam lingkungan madzhab madzhab itu,
dan kesungguhan mereka ditujukan untuk memahami lafazh
perkataan para imam madzhab saja. [3]
Mereka lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah
ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al
Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu
Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al
Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafii.[4]
Imam Muhammad abu zahrah menyatakan beberapa
penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode
ini, yaitu :
1.
Munculnya sikap fanatisme madzhab terhadap imamnya di
kalangan pengikut madzhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik
mengikuti pendapat yang ada dalam madzhab daripada
mengikuti metode yang dikembangkan imam madzhabnya untuk
berijtihad.

2.
Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid pada suatu
madzhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan,
sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum fiqih
madzhabnya, sedangkan sebelum ini para hakim yang ditunjuk
oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama
sekali pada suatu madzhab.
3.
Munculnya buku buku fiqih yang disusun oleh tiap tiap
madzhab, hal ini pun menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis
dalam buku buku tersebut.
Penyebab tertutupnya pintu ijtihad ini juga sebagai penyebab
terjadinya taklid. Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode
ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa,
menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman
terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih. Keadaan ini memaksa para
penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada
pertengahan abad keempat hijriah agar mereka yang mengklaim
diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan
menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.
Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek
yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan
ketinggalan zaman.
Di sisi lain pada permulaan periode ini terdapat sejumlah orang
yang tidak layak berijtihad tetapi ikut berijtihad, sehingga
menyebabkan kekacauan. Sementara itu, ulama sederajat Abu
Hanifah , Malik Asy-Syafii, dan Ibnu Hambal sulit ditemui lagi.
Meskipun sisi lain periode ini disebabkan karena tradisi taklid,
secara realitas terdapat kerja ulama. Sebagai contoh Al-Majmu
karya An-Nawawi, Al-Mustasfha dan Ihya Ulum Ad-Din karya AlGhazali. Mereka giat meneliti dan mengklarifikasikan
permasalahan fiqih dan memperdebatkannya dalam forum forum
fiqih sehingga dapat diketahui mana yang disepakati mana yang

tidak. Kemudian mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti AlInshaf karya Al-Bathliyusi, Bidayah Al Mujtahid karya Ibnu Rusyd,
dan lain lain yang merupakan embrio bagi kelahiran fiqih almuqaram pada periode selanjutnya.
B.

Fiqih pada Masa Kebangkitan Kembali

Periode ini menurut Hasbi Ash Shiddieqy disebut juga dengan


periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke 13 H. Disebut
masa kebangkitan fiqih karena pada masa ini timbul ide, usaha,
dan gerakan gerakan pembebasan dari sikap taklid yang
terdapat dalam umat Islam dan ilmu pengetahuan Islam. Gerakan
ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan
kelemahan dan kemunduran kaum muslimin. Sebagai contohnya
di Hijaz pada abad ke 13 H (sekitar abad 18 M) , muncul suatu
gerakan yang dipeloporioleh Muhammad Abdul Wahhab. Gerakan
ini menyerukan pembasmian bidah dan mengajak umat Islam
untuk kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah, serta amalan
amalan sahabat dalam mengamalkan ajaran ajaran Islam.
Gerakan ini keudian diikuti oleh sejumlah gerakan yang diikuti
beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libya dan
Afrika Utara, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh di
Mesir, Al Mahdi di Sudan, K.H. Muhammad Dahlan, H.A. Karim
Amrullah, dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy di Indonesia, dan masih
banyak lagi.
Pada dasarnya gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat
Islam, pengembangan Ilmu pengetahuan Islam, meninggalkan
taklid buta, kembali ke ajaran Al-quran dan sunnah, serta
mengikuti metode sahabat dan ulama sebelum masa
kemunduran.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah :
1.

Usaha pengkajian dan penulisan kitab kitab fiqih.

2.
Usaha menyusun hukum hukum fiqih secara sistem undang
undang tanpa membatasi diri dengan suatu madzhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui sistem perbandingan, yaitu
mempelajari pendapat semua fuqaha dari semua madzhab,
kemudian membandingkan satu sama lain dan dipilih mana yang
lebih benar. Ada pun cara penulisan pada fase ini umumnya
terfokus pada kajian hukum tertentu seperti kitab khusus
mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.[5] Kebangkitan
fiqih pada masa ini dapat ditandai dengan munculnya majalah AlAhkam Al-Addliyyah di kerajaan Turki Usmani yang memuat
persoalan muamalah (hukum perdata).
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada zaman
modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk
melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqih sebagai
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sejak saat itu, kajian fiqih
tidak lagi terikat pada salah satu madzhab, tetapi telah
mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai madzhab,
yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Muncul banyak pembaharu pasca Muhammad Abduh, Ridha, AlAfgani. Seperti Gamal Al Banna adik kandung Hasan Al-Banna
yang telah menerbitkan banyak buku di Mesir, seperti Nahwa
Fiqhin Jadid (Menuju Fiqih Baru), Tatswirul Quran ( Revolusi AlQuran), dan sebagainya. Meskipun banyak tokoh yang apresiatif
terhadapnya tetapi ada pula yang kontra. Dia tetap konsisten.
Barangkali inilah momentum kebangkitan fiqih dari Mesir maupun
Timur Tengah, meskipun harus diakui beberapa pembaharuan
pada abad ke-20 ini begitu gencar di mana mana. Di indonesia
misalnya, banyak tokoh yang menampilkan wawasan fiqih yang
bernuansa dinamis, seperti Ali Yatie, Hasbi Ash-Shiddieqi,
Abdurahman Wahid, dan tokoh lainnya.

[1] DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri ( Sejarah Legislasi


Hukum Islam ),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A
( Jakarta: Amzah, 2009 ) hal.34
[2] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal. 20
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum islam (Bandung : CV Pustaka
Setia,2007) hal 114
[4] . Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002 ) hal. 89
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum islam (Bandung : CV Pustaka
Setia,2007) hal 121

You might also like