Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya
benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang
paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami
perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera
kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan
yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang
tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita
semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi .
Sedangkan berdasarkan Mansjoer , kualifikasi cedera kepala
berdasarkan berat
ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis
dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale) .
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di
atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000
penderitamenderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala,
dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan
di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera
kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami,
dan menjelaskan tentang :
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Klasifikasi
4. Patofisiologi
5. Diagnosis
6. Penatalaksanaan
1.2 Manfaat
a. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai cedera kepala.
b. Bagi institute pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitanntya dengan
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Trauma kapitis ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder)
yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1,2
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.3
2.2. Anatomi Kepala
2.2.1. Kulit Kepala (scalp)
Kulit kepala menutupi cranium/tengkorak yang terdiri dari lima lapis jaringan
yaitu kulit (skin), jaringan ikat (connective tissue), galea aponeurotica (aponeurosis
epicranialis), jaringan ikat jarang (loose connective tissue), dan pericranium. 4
2.2.2. Tengkorak Otak
Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi
yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a. Gubah tengkorak, terdiri dari:
1. Tulang dahi (os frontal)
2. Tulang ubun-ubun (os parietal)
3. Tulang kepala belakang (os occipital)
b. Dasar tengkorak, terdiri dari :
1. Tulang baji (os spheinoidale)
2. Tulang tapis (os ethmoidale)
c. Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan sebagian
dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji.
Gambar 2. Meningen
2.2.4. Otak
Otak adalah pusat pengendali tubuh. Otak terletak dalam
rongga tengkorak yang terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a. Otak besar (cerebrum)
Bagian terluas dan terbesar dari otak. Bertanggung jawab atas
berkembangnya inteligensi pada manusia. Otak besar dibelah dua
dari depan ke belakang. Belahan kanan otak mengendalikan otot
5
dari sisi kiri tubuh dan belahan kiri otak mengendalikan otot dari
sisi kanan tubuh. Lapisan luar otak besar disebut korteks serebri
yang terdiri dari bahan-bahan sel interneuron yang berwarna
kelabu (substantia grisea) dan lapisan cerebrum di bawah korteks
disebut substantia alba (berwarna putih). Di sebelahdalam otak
besar terdapat thalamus (menyampaikan rangsangan sensoris ke
korteks serebri) dan hipotalamus (mengatur kebutuhan dasar
tubuh, seperti suhu badan, tidur, pencernaan, dan pelepasan
hormon).
b. Batang Otak (truncus cerebri).
Struktur yang menghubungkan cerebrum dengan medulla
spinalis, terdiri dari medulla oblongata, pons, dan otak tengah.
Medula oblongata adalah pusat pengendali beberapa fungsi
kehidupan seperti bernafas, tekanan darah, denyut jantung, dan
menelan. Pons adalah berkas serat saraf yang menghubungkan
cerebrum dengan cerebellum dan belahan kanan otak dengan
belahan kiri otak, membantu mengendalikan gerak mata dan
mengatur pernafasan. Otak tengah adalah kelompok saraf yang
mengendalikan gerak involunter seperti ukuran pupil dan gerak
mata. Semua saraf cranial kecuali saraf I (olfactorius) dan II
(opicus) muncul dari batang otak.
c. Otak kecil (cerebellum)
Bagian otak yang mengkoordinasikan otot yang digerakkan,
seperti berlari dan berjalan. Terdapat di bawah dan di belakang
cerebrum dan mengkoordinasikan arus rangsangan saraf dari
tubuh dan cerebrum. Mengatur gerak otot menurut kehendak,
mengendalikan keseimbangan badan, dan mempertahankan sikap
tubuh.4
akibat
terjatuh,
10%
kecelakaan
dalam
pekerjaan,10%
B. Berdasarkan beratnya
1. Ringan (GCS 14-15)
2. Sedang (GCS 9-13)
3. Berat (GCS 3-8)
C. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura tengkorak
a. Kalvaria
1. Linear atau stelata
2. Depressed atau nondepressed
3. Terbuka atau tertutup
b. Dasar tengkorak
1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
2.
Dengan atau tanpa paresis N VII
2. Lesi intrakranial
a. Fokal
1. Epidural
2. Subdural
3. Hematom Intraserebral
b. Difusa
1. Komosio ringan dan klasik
2. Kontusio
3. Cedera aksonal difusa
2.5.1. Cedera Kepala Berdasarkan Beratnya 7
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah; 1. Proses membuka mata (Eye Opening) 2.
Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response) 3. Reaksi bicara (Best
Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Tabel 1. GCS
2.5.1.1.
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CTscan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit atau lama dirawat selama < 48
jam.. Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi . Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena benda
tumpul . Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara . Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata
pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L .
2.5.1.2. Cedera Kepala Sedang 7
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CTscan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit atau dirawat setidaknya 48 jam
.Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L .
10
2.5.1.3.
CKB bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9. Hampir 100%
cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang
permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak
segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis
dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai
dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis
(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak . Penderita cedera kepala berat,
penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L .
Jenis Trauma Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area)
dimana terjadi trauma . Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari
dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma
kepala tertutup merupakan fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara
tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
2.5.2.1 Fraktura Tengkorak 7
Fraktur Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu :
1. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
2. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan splintering.
3. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.
Selain retak terdapat juga hematoma subdural .
11
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus
ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat .
Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan
darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi
pada fossa anterior, media dan posterior . Fraktur maxsilofasial adalah retak atau
kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar
setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan
pada sinus maxilari.
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang
dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita
biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,
bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung
beberapa
hari.
Dapat
tampak
amnesia
retrigad
amnesia
pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau
Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan
darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
12
Lesi Intrakranial 7
13
neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan
gejala herniasi transcentorial. 6
Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala,
muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.7,8
sakit
kepala,
perasaan
mengantuk,
dan
pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar
kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
15
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak
pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat didalam batang otak. Pada komosio serebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelumterjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian antaranya di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu
dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapiny simtomatis
dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang. 9
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa kesadaran turun (pingsan/koma, amnesia retrograde) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri (KS).
Penemuan-penemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia
retrograd singkat , cacat otak tak ada, dan perawatan rumah sakit kurang dari 48 jam
termasuk golongan ini.10
Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit seperti
hematoma, edema serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu istirahat mutlak,
terjaga keseimbangan kardiovaskular, respirasi, cairan/elektrolit dan kalori, dan
terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung kemih.
Mobilisasi hampir tak menjadi persoalan pada pribadi matang dan peenanganan
yang baik dan wajar, tanpa mebesar-besarkan peristiwa trauma.
2.6.
Patofisiologi 12
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses
17
18
19
20
hipertermi. Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang
dapat melalui beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak
dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses
kerusakan
biokimia
yang
menghancurkan
sel-sel
Dan
yang
pada
akhirnya
menyebabkan
peninggian
tekanan
intracranial.
Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal
yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler dan
meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran
neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death.
Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar
kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya
sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas
yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary brain injury)
Penyebab dari proses ini bisa intra kranial atau sistemik:
Intrakranial
21
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsurangsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga
perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh
hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat
juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK
lainnya
adalah
kejang
yang
dapat
menyebabkan
asidosis
22
23
24
Tanyakan pada penderita atau keluarga apakah ada muntah, lupa kejadian
seblum keclakaan, serta perkembangan kesadaran penderita
Lihat dan palpasi adanya laseerasi kulit kepala, fraktur depresi, dan leakage
LCS (Otore, rinore)
Status neurologis
Pencitraan
o CT Scan non kontras
Indikasi :
o CKR, Usia > 3 tahun, dengan nyeri kepala, muntah, kejang, intoksikasi,
amnesia, usia> 60 tahun, luka di atas klavikula
MRI : DAI (FLAIR tampak edema serebri, DWI dan ADC tampak infark)
CT Scan dada, abdomen, pelvis (sesuai indikasi), femur jika ada keluhan dan
terdapat jejas di lokasi tertentu.
GCS
Gambaran Klinis
CT Scan
Amnesia
25
Minimal (SHI)
15
Ringan (CKR)
Sedang
defisit
Normal
(-)
13-15
neurologi (-)
Pingsan < 10 menit, defisit
Normal
<24 jam
9-12
neurologis (-)
Pingsan 10 menit s/d <6
Abnormal
3-8
Abnormal
7 hari
>7 hari
Berat
Pingsan
(-),
neurologis (+)
Tabel 2. Derajat Berat Cedera Kepala
2.8. Penatalaksanaan
Manajemen Cedera Kepala secara umum :
-
Evaluasi ABC
Intubasi untuk GCS <8 atau tidak mampu menjaga jalan nafas / tidak dapat
mempertahankan ventilasi adekuat
Resusitasi cairan
Hipoksia
Hipotensi
Infeksi
Nutrisi
Operatif
Jalan Nafas
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi nettral menggunakan stiffneck collar, head block,
dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pernafasan
Pernafasan dimulai dengan menghitung laju pernafasan, memperhatikan
kesimterisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernafasan
mnunrkan TIK.
Kontrol Pemaparan/kingkungan
Semua pakaiana harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Anakanak sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan
tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar
panas, seimut hangat, maupun pemberian cairan intravena.
28
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah :
-
29
BAB III
TINJAUAN KASUS
I.
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Agama
Alamat
Tanggal Masuk
II.
: Tn. Armalis
: 51 tahun
: Laki-Laki
: Guru
: Islam
: Tanjung Paku
: 11 November 2015
Anamnesa (Alloanamnesa)
Keluhan Utama
Pasien adalah seorang sopir mobil, punya kebiasaan merokok 1 bungkus per
hari dan sering minum kopi. Istri pasien telah meninggal dan punya 1 orang
anak perempuan.
PEMERIKSAAN FISIK
I.
Umum
Keadaan umum
: sedang
Kesadaran
: compos mentis
Kooperatif
: kooperatif
Keaadan gizi
: baik
Tinggi badan
: 160 cm
31
Berat badan
: 65 kg
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 85 kali/menit
Irama
: teratur
Pernapasan
: 21 kali/menit
Suhu
: 36,50C
Turgor kulit
: normal
Leher
Aksila
Inguinal
Thorak
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
II.
Status neurologis
GCS
: E4 M6 V4
32
Kaku kuduk
: (-)
Brudzinsky I
: (-)
Brudzinsky II
: (-)
Tanda kernig
: (+)
Pupil
Kanan
+
+
Kiri
+
+
Kanan
1/60
+
+
Tidak dilakukan
Kiri
1/60
+
+
Tidak dilakukan
Kanan
Orthoporia
Bebas ke segala arah
-
Kiri
Orthoporia
Bebas ke segala arah
-
Kanan
Normal
Kiri
Normal
Refleks Konvergensi
Nervus IV (Troklearis )
Gerakan mata ke bawah
33
Sikap Bulbus
Diplopia
Tenang
-
Tenang
-
Nervus V (Trigeminus)
Motorik :
Membuka Mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik :
Divisi Ophtalmika
- Refleks Kornea
- Sensibilitas
Divisi Maksila
- Refleks Masseter
- Sensibilitas
Divisi Mandibula
- Sensibilitas
Kanan
Kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Nervus VI (Abdusen)
Gerakan mata ke lateral
Sikap Bulbus
Diplopia
Kanan
Normal
Tenang
-
Kiri
Normal
Tenang
-
Kanan
+
+
Normal
+
+
+
+
+
Kiri
+
+
Normal
+
+
+
+
+
Kanan
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kiri
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
34
- Memendek
Nistagmus :
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Kanan
+
Tidak dinilai
Kiri
+
Tidak dinilai
Kanan
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
+
Jelas
+
Teratur , kuat angkat
Kiri
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
+
Jelas
+
Teratur , kuat angkat
Kanan
+
+
+
+
Kiri
+
+
+
+
Kanan
Tenang , deviasi Tenang, deviasi -
Kiri
Tenang, deviasi Tenang, deviasi -
D. Pemeriksaan koordinasi
Cara Berjalan
Romberg test
Berjalan,
dengan
memegang
sesuatu,
Tidak
Disartria
Disgrafia
35
dilakukan
+
+
Ataksia
Rebound phenomen
Tes Tumit Lutut
E. Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Badan
Supinasi-pronasi
Tes jari hidung
Tes hidung jari
kanan
+
Kiri
+
Kekuatan
5/5/5
5/5/5
5/5/5
5/5/5
Trofi
Tonus
C. Ekstremitas
Superior
Gerakan
D. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Pengenalan 2 titik
Pengenalan rabaan
E. Sistem Refleks
1. fisiologis
Kornea
Laring
Maseter
Dinding perut
+
+
+
-
+
+
+
Inferior
kanan
+
Respirasi
Duduk
Gerakan Spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea
+
+
+
Atas
kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
kanan
+
Kiri
+
+
+
+
+
+
+
Biceps
Triceps
APR
KPR
Bulbokavernosu
s
Cremaster
kanan
+
+
+
+
Tidak
dilakuka
n
Tidak
dilakuka
n
kiri
+
+
+
+
Tidak
dilakuka
n
Tidak
dilakuka
n
36
tengah
bawah
2. patologis
Lengan
Hoffman- Tromner
+
+
+
+
Sfingter
Tungkai
Babinsky
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus paha
Klonus kaki
3. Fungsi otonom
Miksi
: Normal
Defekasi
: Berkurang
4. Fungsi Luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi
+
++
Tanda Dementia
Reflek glabela
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Reflek palmomental
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
# Rutin
# Kimia Klinik :
Urine
Feses
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSA
-
Diagnosis klinis
37
Diagnosis topic
Diagnosis etiologi
: trauma mekanik
Diagnosis sekunder
: tidak ada
TERAPI
FOLLOW UP
Kamis 12 november 2015
-
Subjektif
- nyeri kepala (+)
- Mual (-)
- Muntah (-)
- nyeri dada (+)
- BAB susah
-BAK normal
Objektif
- Keadaan umum
: Lemah
- Kesadaran
- Tekanan darah
: 110/90 mmHg
- Nadi
: 85 x/menit
- Nafas
: 20 x/menit
- Suhu
: 36,5oC
Assesment
-
Diagnosis klinis
Diagnosis topic
Diagnosis etiologi
: trauma mekanik
Diagnosis sekunder
: tidak ada
Plan
-
pirasetam 3x800 mg
Subjektif
38
Objektif
- Keadaan umum
: Lemah
- Kesadaran
- Tekanan darah
: 110/70 mmHg
- Nadi
: 85 x/menit
- Nafas
: 20 x/menit
- Suhu
: 36,5oC
Assesment
-
Diagnosis klinis
Diagnosis topic
Diagnosis etiologi
: trauma mekanik
Diagnosis sekunder
: tidak ada
Plan
-
pirasetam 3x800 mg
Betahistin 3x6 mg
Ranitidin 2x100 mg
Cefodrosile 3x100 mg
Subjektif
- nyeri kepala (-)
- Mual (-)
39
- Muntah (-)
- nyeri dada (-)
- BAB normal
-BAK normal
-
Objektif
- Keadaan umum
: baik
- Kesadaran
- Tekanan darah
: 120/80 mmHg
- Nadi
: 82 x/menit
- Nafas
: 19 x/menit
- Suhu
: 36,9oC
Assesment
-
Diagnosis klinis
Diagnosis topic
Diagnosis etiologi
: trauma mekanik
Diagnosis sekunder
: tidak ada
Plan
-
pirasetam 3x800 mg
Asam folat
Ranitidin 2x100 mg
40
BAB 4
PEMBAHASAN KASUS
Seorang laki laki umur 51 tahun datang ke RSUD Solok dengan luka
jahitan pada dahi. Pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas satu minggu
yang lalu. Kecelakaan terjadi di Arosuka. Saat itu pasien baru turun dari mobil dan
disenggol dari arah belakang oleh mobil JM. Kepala pasien bagian depan mengenai
spion mobilnya dan Pasien dibawa ke RSUD Arosuka. Tidak diketahui apakah
pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca trauma tersebut. Dua jam kemudian
keluarga pasien tiba di RSUD Arosuka. Dari penilaian keluarga, pasien dalam
kondisi lemah disertai muntah darah sebanyak 2 kali, pasien dalam keadaan sadar
dan bisa menjawab apa yang ditanyakan keluarganya. Keluarga dalam kondisi ragu
apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca trauma tersebut. Pihak RSUD
41
42
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Trauma kapitis ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang
terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung
(kerusakan sekunder) yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
-
permanent
Cedera kepala dibagi berdasarkan mekanisme, derajat beratnya dan
morfologi.
Cedera kepala berdasarkan beratnya dibagi atas cedera kepala ringan,
sedang dan berat.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI.. Simposium trauma kranio-serebral. Pekanbaru, 2007.
2. Hamid A, Jannis J, Bustami M, Musridharta E, Prasetyo E. Advanced
Neurology Life Support. Jakarta : Pokdi Neuro Intensif PERDOSSI, 2012.
3. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.
Http://www.biausa.org
4. Moore KL, Argur AM. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2002.
5. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam
:Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi trauma IKABI, 2004.
6. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.
7. Torner , J.C., Choi, S., & Barnes, T.Y.epidemiology of head injuries. In D.W.
marion (ed.), traumatic brain injury, (pp.9-28). New York : thieme, 1999
44
45