You are on page 1of 45

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya
benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang
paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami
perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera
kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan
yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang
tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita
semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi .
Sedangkan berdasarkan Mansjoer , kualifikasi cedera kepala

berdasarkan berat

ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis
dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale) .
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di
atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000
penderitamenderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala,
dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan
di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera
kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.

1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami,
dan menjelaskan tentang :
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Klasifikasi
4. Patofisiologi
5. Diagnosis
6. Penatalaksanaan
1.2 Manfaat
a. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai cedera kepala.
b. Bagi institute pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitanntya dengan

pelayanan kesehatan, khususnya

yang berkaitan dengan cedera kepala.

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Trauma kapitis ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder)
yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1,2
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.3
2.2. Anatomi Kepala
2.2.1. Kulit Kepala (scalp)
Kulit kepala menutupi cranium/tengkorak yang terdiri dari lima lapis jaringan
yaitu kulit (skin), jaringan ikat (connective tissue), galea aponeurotica (aponeurosis
epicranialis), jaringan ikat jarang (loose connective tissue), dan pericranium. 4
2.2.2. Tengkorak Otak
Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi
yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a. Gubah tengkorak, terdiri dari:
1. Tulang dahi (os frontal)
2. Tulang ubun-ubun (os parietal)
3. Tulang kepala belakang (os occipital)
b. Dasar tengkorak, terdiri dari :
1. Tulang baji (os spheinoidale)
2. Tulang tapis (os ethmoidale)
c. Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan sebagian
dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji.

Fraktur tengkorak dianggap mempunyai kepentingan primer sebagai penanda dari


tempat dan keparahan cidera.4

Gambar 1. Tengkorak Otak


2.2.3. Selaput Otak (Meningen)
Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah
dan airan sekresi (cairan serebrospinal), memperkecil benturan
atu getaran.
Terdiri dari tiga lapisan yaitu:
a. Lapisan Dura mater (selaput otak keras)
Lapisan dura mater terdapat di bawah tulang tengkorak dan
diantaranya terdapat ruangan yang disebut Epidural/Extradural
space. Pembuluh arterimeningen media berjalan pada ruangan ini
dan mempunyai peranan penting untuk terjadinya Epidural
Hemorrhagi.
b. Lapisan Arachnoidea (selaput otak lunak)
Lapisan arachnoidea terdapat di bawah dura mater dan
mengelilingi otak serta berhubungan dengan sumsum tulang
4

belakang. Ruangan diantara dura mater dan arachnoidea disebut


subdural space. Pada ruangan ini berjalan pembuluh-pembuluh
bridging vein yang menghubungkan system vena otak dan
meningen. Gerakan kepala dapat membuat vena-vena ini trauma
dan menimbulkan subdural hemorrhagi, karena vena-vena ini
sangat luas.
c. Pia mater
Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti
gyrus dari otak. Ruangan diantara arachnoidea dan pia mater
disebut subarachnoidea. Cairan cerebrospinalis dari otak ke
sumsum tulang belakang berjalan pada ruangan ini.4

Gambar 2. Meningen
2.2.4. Otak
Otak adalah pusat pengendali tubuh. Otak terletak dalam
rongga tengkorak yang terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a. Otak besar (cerebrum)
Bagian terluas dan terbesar dari otak. Bertanggung jawab atas
berkembangnya inteligensi pada manusia. Otak besar dibelah dua
dari depan ke belakang. Belahan kanan otak mengendalikan otot
5

dari sisi kiri tubuh dan belahan kiri otak mengendalikan otot dari
sisi kanan tubuh. Lapisan luar otak besar disebut korteks serebri
yang terdiri dari bahan-bahan sel interneuron yang berwarna
kelabu (substantia grisea) dan lapisan cerebrum di bawah korteks
disebut substantia alba (berwarna putih). Di sebelahdalam otak
besar terdapat thalamus (menyampaikan rangsangan sensoris ke
korteks serebri) dan hipotalamus (mengatur kebutuhan dasar
tubuh, seperti suhu badan, tidur, pencernaan, dan pelepasan
hormon).
b. Batang Otak (truncus cerebri).
Struktur yang menghubungkan cerebrum dengan medulla
spinalis, terdiri dari medulla oblongata, pons, dan otak tengah.
Medula oblongata adalah pusat pengendali beberapa fungsi
kehidupan seperti bernafas, tekanan darah, denyut jantung, dan
menelan. Pons adalah berkas serat saraf yang menghubungkan
cerebrum dengan cerebellum dan belahan kanan otak dengan
belahan kiri otak, membantu mengendalikan gerak mata dan
mengatur pernafasan. Otak tengah adalah kelompok saraf yang
mengendalikan gerak involunter seperti ukuran pupil dan gerak
mata. Semua saraf cranial kecuali saraf I (olfactorius) dan II
(opicus) muncul dari batang otak.
c. Otak kecil (cerebellum)
Bagian otak yang mengkoordinasikan otot yang digerakkan,
seperti berlari dan berjalan. Terdapat di bawah dan di belakang
cerebrum dan mengkoordinasikan arus rangsangan saraf dari
tubuh dan cerebrum. Mengatur gerak otot menurut kehendak,
mengendalikan keseimbangan badan, dan mempertahankan sikap
tubuh.4

Gambar 3. Anatomi Otak

Gambar 4. Anatomi Otak


2.3. Penyebab Cedera Kepala
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis
kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam
Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas
(kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda
tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam
(bacok) dan tembakan.
Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera
kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30%
7

akibat

terjatuh,

10%

kecelakaan

dalam

pekerjaan,10%

kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul.


Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah
kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar
(>85%) pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang
tidak memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah
terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi
benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah
dan melukai kepala.
2.4. Epidemiologi Cedera Kepala
Di Amerika Serikat, cedera kepala merupakan peenyebab kematian terbesar.
Terdapat 100.000 sampai dengan 150.000 anak berusia kurang dari 15 tahun dirawat di
rumah sakit setiap tahunnya karena cedera kepala. 4 Kejadian cedera kepala setiap
tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). 5 Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. 6
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal.

2.5. Klasifikasi Cedera Kepala1


Klasifikasi cedera kepala:
A. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor,jatuh, atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.

B. Berdasarkan beratnya
1. Ringan (GCS 14-15)
2. Sedang (GCS 9-13)
3. Berat (GCS 3-8)
C. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura tengkorak
a. Kalvaria
1. Linear atau stelata
2. Depressed atau nondepressed
3. Terbuka atau tertutup
b. Dasar tengkorak
1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
2.
Dengan atau tanpa paresis N VII
2. Lesi intrakranial
a. Fokal
1. Epidural
2. Subdural
3. Hematom Intraserebral
b. Difusa
1. Komosio ringan dan klasik
2. Kontusio
3. Cedera aksonal difusa
2.5.1. Cedera Kepala Berdasarkan Beratnya 7

Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah; 1. Proses membuka mata (Eye Opening) 2.
Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response) 3. Reaksi bicara (Best
Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

Tabel 1. GCS
2.5.1.1.

Cedera Kepala Ringan 7

Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CTscan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit atau lama dirawat selama < 48
jam.. Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi . Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena benda
tumpul . Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara . Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata
pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L .
2.5.1.2. Cedera Kepala Sedang 7

Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CTscan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit atau dirawat setidaknya 48 jam
.Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L .

10

2.5.1.3.

Cedera Kepala Berat 7

CKB bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9. Hampir 100%
cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang
permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak
segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis
dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai
dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis
(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak . Penderita cedera kepala berat,
penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L .

2.5.2. Berdasarkan Morfologi

Jenis Trauma Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area)
dimana terjadi trauma . Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari
dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma
kepala tertutup merupakan fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara
tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
2.5.2.1 Fraktura Tengkorak 7
Fraktur Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu :
1. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
2. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan splintering.
3. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.
Selain retak terdapat juga hematoma subdural .

11

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus
ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat .
Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan
darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi
pada fossa anterior, media dan posterior . Fraktur maxsilofasial adalah retak atau
kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar
setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan
pada sinus maxilari.
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang
dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita
biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,
bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung
beberapa

hari.

Dapat

tampak

amnesia

retrigad

amnesia

pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau
Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan
darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior

12

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur


dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata
sehingga penderita dapat mati seketika.
2.5.2.2.

Lesi Intrakranial 7

Gambar 5. Lesi-lesi Intrakranial


2.5.2.2.1. Lesi Fokal
a. Hematom Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada

mata ke sisi dan mungkin terjadi

hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas


tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen)
yang membaik setelah beberapa hari.6
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media .
Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala

13

neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan
gejala herniasi transcentorial. 6
Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala,
muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.7,8

Gambar 6. Hematom Epidural dan Subdural

Gambar 7. Hematom Epidural


b. Hematom Subdural 8
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
14

a. Perdarahan subdural akut


- Gejala klinis berupa

sakit

kepala,

perasaan

mengantuk,

dan

kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah.


Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral

pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar

dan cedera batang otak.


b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah
-

cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.


Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat

kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural.

Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran

vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala mungkin tidak terjadi


dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.Pada proses yang lama akan
terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

Gambar 8. Hematom Subdural


c. Hematom intraserebral 8

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral

15

traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan


kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan
otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio
terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan didaerah parietal,
temporalis dan oksipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada
sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.
Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula terjadi
disepanjang garis gaya benturan ini dan pada permukaan bagian otak yang
menggeser karena gerakan akibat benturan itu.
Pada pemeriksaan neurologic pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai
kelianann neurologic yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio
serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada
pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai deficit neurologic. Pada kontusio serebri
yang berlangsung lebih dari 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu
dijumpai defisit neurologic yang jelas. Gejalanya bergantung pada lokasi dan
luasnya daerah lesi keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan yang besar
atau tersebar didalam jaringan otak. Sering pula disertai perdarahan subarahnoid
atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat
dan menyebabkan meningkatnya TIK.
2.5.2.2.2. Lesi Difus
a. Komusio serebri
Komosio serebri atau gegar otak ialah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
16

otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak
pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat didalam batang otak. Pada komosio serebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelumterjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian antaranya di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu
dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapiny simtomatis
dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang. 9
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa kesadaran turun (pingsan/koma, amnesia retrograde) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri (KS).
Penemuan-penemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia
retrograd singkat , cacat otak tak ada, dan perawatan rumah sakit kurang dari 48 jam
termasuk golongan ini.10
Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit seperti
hematoma, edema serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu istirahat mutlak,
terjaga keseimbangan kardiovaskular, respirasi, cairan/elektrolit dan kalori, dan
terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung kemih.
Mobilisasi hampir tak menjadi persoalan pada pribadi matang dan peenanganan
yang baik dan wajar, tanpa mebesar-besarkan peristiwa trauma.
2.6.

Patofisiologi 12
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses

cedera otak dibagi menjadi cedera kepala primer dan skunder.


2.6.1. Proses primer 12
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu
ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang

17

disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan


berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam
tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (contrecoup).
Pada benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior,
sedangkan benturan pada daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang
sumbu axis, sedangkan lateral impact menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke
sisi lain.
Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusion
adalah sebagai berikut:
1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan
tulang yang tidak rata
3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa
contra coup efek
4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi
contra coup tanpa lesi coup.

Gambar 9. Cedera Kepala Primer

18

Gambar 10. Coup and Contrecoup

. Gambar 11. Coup and Contrecoup


Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala.
Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup
mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang
tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang
akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas
dari pusat pukulan sampai ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan
fraktur stellata dan bila lebih hebat lagi dapat menyebabkan depresi fraktur.
Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari kecepatan pukulannya, tetapi
yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang mengenai

19

tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak


sedangkan objek yang lebih besar dengan kecepatan yang sama menyebabkan
depresi fraktur. Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak
bergerak lebih cepat dari otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami
Hontusion pada tempat bawah benturan, tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada
permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolan-tonjolan tulang, crista galli, pada
sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat pada Hontusion pada
fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal).
Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala
yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak,
robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah
yang terkena.

Gambar 12. Derajat Kerusakan Cedera Kepala


2.6.2 Proses sekunder 12
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena
kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya
stru\ktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang,

20

hipertermi. Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang
dapat melalui beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak
dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses

kerusakan

biokimia

yang

menghancurkan

sel-sel

Dan

sistokeletonnya. Kerusakan ini dapat berakibat:


- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutamapada
-

dendrit dan sel glia.


Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa

kalsium mengenai semua jenis sel


- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran
kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini
tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan
ini sawar darah otak menjadi rusak.
o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang
kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan
multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di
sekitarnya

yang

pada

akhirnya

menyebabkan

peninggian

tekanan

intracranial.
Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal
yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler dan
meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran
neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death.
Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar
kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya
sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas
yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary brain injury)
Penyebab dari proses ini bisa intra kranial atau sistemik:
Intrakranial

21

Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsurangsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga
perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh
hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat
juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK
lainnya

adalah

kejang

yang

dapat

menyebabkan

asidosis

danvasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.


Sistemik
Perubahan sistemik akan sangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global.
Penyebab gangguan sistemik ini disebut sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi ,
hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia,
hiponatremia dan hipoproteinemia.
2.6.3. Munculnya Gejala dan Tanda

22

Gambar 13. Patofisiologi munculnya gejala dan tanda


2.7 Diagnosa
2.7.1 Gejala dan Tanda Klinis

23

Gambar 14. Geajala dan tanda


Trauma kapitis akan menyebabkan kerusakan primer dan sekunder. Cedera primer
adalah cedera yang timbul pada saat rudapaksa, sedangkan cedera sekunder terjadi
setelah ruda paksa yakni edema serebri, rusaknya blood brain barrier, nekrosis jaringan,
hipertermi dan lainnya.2 Cedera primer dapat menimbulkan kerusakan pada :
1. Kulit kepala : laserasi, luka robek, hematoma
2. Tulang tengkorak : fraktur linear, kompresi, basis kranii (otore, rinore, Battles
sign, brill hematome)
3. Wajah : fraktur os nasal, mandibula, multiple
4. Jaringan otak : fokal atau difus
a. Fokal ; pada tempat cedera atau counter coup timbul edema, laserasi,
perdarahan atau kontusio (sering terjadi pada lobus temporal dan
frontal; biasanya multiple/bilateral)
b. Difus ; terjadi DAI (diffuse : axonal injury) terutama di daerah
subkortikal.
5. Selaput otak : perdarahan epidural, subdural, subarachnoid
2.7.2 Anamnesis

24

Kejadian seputar kecelakaan : penggunaan sabuk pengaman atau helm, jenis


kendaraan (motor atau mobil), posisi pasien di kendaraan, mekanisme trauma

Penggunaan obat sebelum kecelakaan (dapat mempengaruhi pemeriksaan)


misalnya alcohol

Tanyakan pada penderita atau keluarga apakah ada muntah, lupa kejadian
seblum keclakaan, serta perkembangan kesadaran penderita

Tanyakan apakah pasien mengalami kejang setelah terjadinya kecelakaan

2.7.3. Pemeriksaan Fisik


-

Lihat dan palpasi adanya laseerasi kulit kepala, fraktur depresi, dan leakage
LCS (Otore, rinore)

Lihat tanda fraktur basis : Racoons eye dan Battles sign

Status neurologis

Pemeriksaan lengkap : GCS, saraf cranial, motorik, reflex, sensorik,


fungsi kesiembangan

Koma adalah apabila GCS 8

2.7.4. Pemeriksaan Penunjang


-

Pencitraan
o CT Scan non kontras
Indikasi :
o CKR, Usia > 3 tahun, dengan nyeri kepala, muntah, kejang, intoksikasi,
amnesia, usia> 60 tahun, luka di atas klavikula

MRI : DAI (FLAIR tampak edema serebri, DWI dan ADC tampak infark)

CT Scan dada, abdomen, pelvis (sesuai indikasi), femur jika ada keluhan dan
terdapat jejas di lokasi tertentu.

2.7.5. Penentuan Derajat Cedera Kepala


Kategori

GCS

Gambaran Klinis

CT Scan

Amnesia
25

Minimal (SHI)

15

Ringan (CKR)
Sedang

defisit

Normal

(-)

13-15

neurologi (-)
Pingsan < 10 menit, defisit

Normal

<24 jam

9-12

neurologis (-)
Pingsan 10 menit s/d <6

Abnormal

>24 jam sampai

3-8

jam, deficit neurologis (+)


Pingsan > 6 jam, defisit

Abnormal

7 hari
>7 hari

Berat

Pingsan

(-),

neurologis (+)
Tabel 2. Derajat Berat Cedera Kepala

2.8. Penatalaksanaan
Manajemen Cedera Kepala secara umum :
-

Evaluasi ABC

Intubasi untuk GCS <8 atau tidak mampu menjaga jalan nafas / tidak dapat
mempertahankan ventilasi adekuat

Resusitasi cairan

Cegah secondary injury

Hipoksia

Hipotensi

Peningkatan tekanan intracranial


o Elevasi kepala 30-45
o Manitol: loading dose 0,25-1,5 g/kgBB
o Hiperventilasi (PaCO2 30-35 mmHg)
o Koma barbiturate

Hiperglikemia (normal 90 150 mg/dl )

Kejang (profilaksis dengan fenitoin), <7 hari


- Factor resiko
26

o Lesi korteks/subkorteks baru pada MRI


o Perdarahan korteks
o Amnesia lama (>24 jam)
o Perubahan GCS

Hipertermia (normal <37,5C)

Infeksi

DVT dan emboli paru

Nutrisi

Profilkasis vasospasme (SAH)

Operatif

2.8.1. Survei Primer 12


-

Jalan Nafas
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi nettral menggunakan stiffneck collar, head block,

dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pernafasan
Pernafasan dimulai dengan menghitung laju pernafasan, memperhatikan
kesimterisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernafasan

tambahan, dan auskultasi bunyi nafas di kedua aksila


Sirkulasi
Resustasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti ringer laktat atau
normal saline (20 ml/kg BB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15

ml/kgBB harus dipertimbangkan


Defisit Neurologis
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS.
Anak dengan kelainan meurologis yang berat, seperti anak dengan nilai
GCS 8 harus diintubasi.
27

Hipervntilasi menurunkan Pco2 dengan sasaran 30-45 mmHg, sehingga


terjadi vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah
ke otak dan menurnkan tekanan intracranial. Peenggunaan manitol dapat
-

mnunrkan TIK.
Kontrol Pemaparan/kingkungan
Semua pakaiana harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Anakanak sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan
tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar
panas, seimut hangat, maupun pemberian cairan intravena.

2.8.2. Survei Skunder 12


Observasi ketat penting [ada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, penafasan
dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang
dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selain
itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika :
- Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher
- Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
- Rasa baal pada lengan
- Gangguan keseimbangan atau berjalan
- Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan meurologis berupa :
-

Penurunan kesadaran (menururt GCS) dari observasi awal


Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya


di rumah. Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam
pertama, pendrita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cedera
kepala yang dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan
yang berbeda.

28

Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah :
-

Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)


- EDH simtomatik
- EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1 cm
- EDH pada pasien pediatric
Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)
- SDH Simtomatik
- SDH dengan ketebalam > 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada
pediatric
2.9. Prognosa12
Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya
lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.

29

BAB III
TINJAUAN KASUS
I.

Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Agama
Alamat
Tanggal Masuk

II.

: Tn. Armalis
: 51 tahun
: Laki-Laki
: Guru
: Islam
: Tanjung Paku
: 11 November 2015

Anamnesa (Alloanamnesa)
Keluhan Utama

Korban Kecelakaan Lalu Lintas dengan luka jahitan pada dahi.

Riwayat Penyakit Sekarang


:
Pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas satu minggu yang
lalu. Kecelakaan terjadi di Arosuka. Saat itu pasien baru turun dari mobil
dan disenggol dari arah belakang oleh mobil JM. Kepala pasien bagian
depan mengenai spion mobilnya dan Pasien dibawa ke RSUD Arosuka.
Tidak diketahui apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca
trauma tersebut. Dua jam kemudian keluarga pasien tiba di RSUD
Arosuka. Dari penilaian keluarga, pasien dalam kondisi lemah disertai
muntah darah sebanyak 2 kali, pasien dalam keadaan sadar dan bisa
menjawab apa yang ditanyakan keluarganya. Keluarga dalam kondisi
ragu apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca trauma
tersebut. Pihak RSUD menyarankan pasien agar dirujuk ke RSUP M.
30

Djamil Padang dan keluarga menyetujuinya. Di Padang pasien dirawat


selama 1 minggu dan disarankan untuk dioperasi karena ada kelainan
pada CT scan kepala. Namun keluarga menolak. Setelah 1 minggu
dirawat di Padang, Keluarga meminta agar pasien dirawat di Solok saja.
Saat di RSUD Solok pasien dalam keadaan sadar dan tidak
kooperatif. Pasien dalam kondisi lemah dan maunya ingin tidur saja.
Menurut keluarga, pasien tidak mau makan, frekuensi BAB dan BAK
sedikit. Pasien juga dirasakan menjadi pemarah semenjak kecelakaan
tersebut. Pasien tidak mengenal beberapa anggota keluarganya dan

mengalami disorientasi. Pandangan pasein kabur setelah trauma.


Riwayat Penyakit Dahulu
:
o Pasien belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya,
riwayat pingsan dalam waktu lama (-), riwayat trauma kepala
sebelumnya (-).
o Riwayat alergi, penyakit hipertensi, DM, Kelainan vaskuler, dan

kelainan jantung di sangkal.


Riwayat Penyakit keluarga
:
o Riwayat hipertensi,DM, kelainan jantung serta kelainan vaskuler
disangkal.
Riwayat Pribadi dan sosial

Pasien adalah seorang sopir mobil, punya kebiasaan merokok 1 bungkus per
hari dan sering minum kopi. Istri pasien telah meninggal dan punya 1 orang
anak perempuan.
PEMERIKSAAN FISIK
I.

Umum

Keadaan umum

: sedang

Kesadaran

: compos mentis

Kooperatif

: kooperatif

Keaadan gizi

: baik

Tinggi badan

: 160 cm

31

Berat badan

: 65 kg

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 85 kali/menit

Irama

: teratur

Pernapasan

: 21 kali/menit

Suhu

: 36,50C

Turgor kulit

: normal

Kelenjar getah bening

Leher
Aksila

: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Inguinal

: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorak
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi

: simetris kiri = kanan , statis dinamis, retraksi (-), kelainan(-)


: fremitus kanan = kiri, deviasi trakea (-), nyeri (-)
: sonor
: vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis kuat angkat di RIC V LMC sinistra

Perkusi

: jantung dalam batas normal

Auskultasi

: reguler, gallop (-),bising (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: simetris, skafoid (-), bulat (-)


: Hepar, lien, gaster tidak teraba, massa(-), nyeri tekan (-)
: tympani, kelainan (-)
: peristaltik (+)

II.
Status neurologis
GCS
: E4 M6 V4

32

A. Tanda Rangsangan Selaput Otak


-

Kaku kuduk

: (-)

Brudzinsky I

: (-)

Brudzinsky II

: (-)

Tanda kernig

: (+)

B. Tanda Peningkatan Tekanan Intracranial


-

Pupil

: midriasis keduanya , isokor

C. Pemeriksaan Nervus Kranialis


Nervus I (Olfactorious)
Penciuman
Subjektif
Objektif dengan bahan
Nervus II (Opticus)
Penglihatan
Tajam Penglihatan
Lapangan Pandang
Melihat Warna
Funduskopi
Nervus III (Okulometer)
Penglihatan
Bola Mata
Ptosis
Gerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso / Endoftalmus
Pupil :
Bentuk
Refleks Cahaya
Refleks Akomodasi

Kanan
+
+

Kiri
+
+

Kanan
1/60
+
+
Tidak dilakukan

Kiri
1/60
+
+
Tidak dilakukan

Kanan
Orthoporia
Bebas ke segala arah
-

Kiri
Orthoporia
Bebas ke segala arah
-

Bulat besar (d=7 mm)


-

Bulat besar (d=7 mm)


-

Kanan
Normal

Kiri
Normal

Refleks Konvergensi

Nervus IV (Troklearis )
Gerakan mata ke bawah

33

Sikap Bulbus
Diplopia

Tenang
-

Tenang
-

Nervus V (Trigeminus)
Motorik :
Membuka Mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik :
Divisi Ophtalmika
- Refleks Kornea
- Sensibilitas
Divisi Maksila
- Refleks Masseter
- Sensibilitas
Divisi Mandibula
- Sensibilitas

Kanan

Kiri

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+

Tidak dapat dinilai


+

Tidak dapat dinilai


+

Nervus VI (Abdusen)
Gerakan mata ke lateral
Sikap Bulbus
Diplopia

Kanan
Normal
Tenang
-

Kiri
Normal
Tenang
-

Nervus VII (Facialis)


Raut Wajah
Sekresi air mata
Fisura Palpebra
Menggerakkan dahi
Menutup mata
Mencibir / bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakuisis

Kanan
+
+
Normal
+
+
+
+
+

Kiri
+
+
Normal
+
+
+
+
+

Kanan
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Nervus VIII (Vestibularis)


Suara berbisik
Detik arloji
Rinne test
Weber test
Scwabach test :
- Memanjang

34

- Memendek
Nistagmus :
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal

Kanan
+
Tidak dinilai

Kiri
+
Tidak dinilai

Kanan
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
+
Jelas
+
Teratur , kuat angkat

Kiri
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
+
Jelas
+
Teratur , kuat angkat

Kanan
+
+
+
+

Kiri
+
+
+
+

Pengaruh Posisi kepala


Nervus IX (Glossopharingeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Reflek Muntah gangguan
reflek
Nervus X (Vagus)
Arkus Faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
Nervus XI (Asesorius)
Menoleh ke kanan
Menoleh ke kiri
Mengangkat bahu ke kanan
Mengangkat bahu ke kiri
Nervus XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dalam
Kedudukan lidah dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atrofi

Kanan
Tenang , deviasi Tenang, deviasi -

Kiri
Tenang, deviasi Tenang, deviasi -

D. Pemeriksaan koordinasi
Cara Berjalan
Romberg test

Berjalan,
dengan
memegang
sesuatu,
Tidak

Disartria
Disgrafia

35

dilakukan
+
+

Ataksia
Rebound phenomen
Tes Tumit Lutut
E. Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Badan

Supinasi-pronasi
Tes jari hidung
Tes hidung jari

kanan
+

Kiri
+

Kekuatan

5/5/5

5/5/5

5/5/5

5/5/5

Trofi

Tonus

C. Ekstremitas

Superior

Gerakan

D. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Pengenalan 2 titik
Pengenalan rabaan
E. Sistem Refleks
1. fisiologis
Kornea
Laring
Maseter
Dinding perut

+
+
+
-

+
+
+
Inferior
kanan
+

B. Berdiri dan berjalan

Respirasi
Duduk
Gerakan Spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea

+
+
+

Atas

kiri
+

+
+
+
+
+
+
+
+

kanan
+

Kiri
+

+
+
+

+
+
+

Biceps
Triceps
APR
KPR
Bulbokavernosu
s
Cremaster

kanan
+
+
+
+
Tidak
dilakuka
n
Tidak
dilakuka
n

kiri
+
+
+
+
Tidak
dilakuka
n
Tidak
dilakuka
n

36

tengah
bawah
2. patologis
Lengan
Hoffman- Tromner

+
+

+
+

Sfingter

Tungkai
Babinsky
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus paha
Klonus kaki

3. Fungsi otonom

Miksi

: Normal

Defekasi

: Berkurang

Sekresi keringat : Normal

4. Fungsi Luhur

Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi

+
++

Tanda Dementia
Reflek glabela
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Reflek palmomental

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah

# Rutin

# Kimia Klinik :
Urine

Feses

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSA
-

Diagnosis klinis

: cedera kepala sedang

37

Diagnosis topic

: bagian frontal hemisfer dextra dan sinistra

Diagnosis etiologi

: trauma mekanik

Diagnosis sekunder

: tidak ada

TERAPI
FOLLOW UP
Kamis 12 november 2015
-

Subjektif
- nyeri kepala (+)
- Mual (-)
- Muntah (-)
- nyeri dada (+)
- BAB susah
-BAK normal

Objektif
- Keadaan umum

: Lemah

- Kesadaran

: Compos mentis cooperative

- Tekanan darah

: 110/90 mmHg

- Nadi

: 85 x/menit

- Nafas

: 20 x/menit

- Suhu

: 36,5oC

Assesment
-

Diagnosis klinis

: cedera kepala sedang

Diagnosis topic

: bagian frontal hemisfer dextra dan sinistra

Diagnosis etiologi

: trauma mekanik

Diagnosis sekunder

: tidak ada

Plan
-

pirasetam 3x800 mg

Ibu profen 3x400 mg

Metil prednisolon 3x8 mg

Jumat 13 november 2015


-

Subjektif

38

- nyeri kepala (+)


-susah menelan
- nyeri dada (+)
- Mual (+)
- Muntah (-)
-nafsu makan
- BAB susah
-BAK normal
-

Objektif
- Keadaan umum

: Lemah

- Kesadaran

: Compos mentis cooperative

- Tekanan darah

: 110/70 mmHg

- Nadi

: 85 x/menit

- Nafas

: 20 x/menit

- Suhu

: 36,5oC

Assesment
-

Diagnosis klinis

: cedera kepala sedang

Diagnosis topic

: bagian frontal hemisfer dextra dan sinistra

Diagnosis etiologi

: trauma mekanik

Diagnosis sekunder

: tidak ada

Plan
-

pirasetam 3x800 mg

Ibu profen 3x400 mg

Metyl prednison 3x8 mg

Betahistin 3x6 mg

Ranitidin 2x100 mg

Cefodrosile 3x100 mg

Sabtu 14 november 2015


-

Subjektif
- nyeri kepala (-)
- Mual (-)

39

- Muntah (-)
- nyeri dada (-)
- BAB normal
-BAK normal
-

Objektif
- Keadaan umum

: baik

- Kesadaran

: Compos mentis cooperative

- Tekanan darah

: 120/80 mmHg

- Nadi

: 82 x/menit

- Nafas

: 19 x/menit

- Suhu

: 36,9oC

Assesment
-

Diagnosis klinis

: cedera kepala sedang

Diagnosis topic

: bagian frontal hemisfer dextra dan sinistra

Diagnosis etiologi

: trauma mekanik

Diagnosis sekunder

: tidak ada

Plan
-

pirasetam 3x800 mg

Ibu profen 3x400 mg

Metil prednisolon 3x8 mg

Asam folat

Ranitidin 2x100 mg

40

BAB 4
PEMBAHASAN KASUS
Seorang laki laki umur 51 tahun datang ke RSUD Solok dengan luka
jahitan pada dahi. Pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas satu minggu
yang lalu. Kecelakaan terjadi di Arosuka. Saat itu pasien baru turun dari mobil dan
disenggol dari arah belakang oleh mobil JM. Kepala pasien bagian depan mengenai
spion mobilnya dan Pasien dibawa ke RSUD Arosuka. Tidak diketahui apakah
pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca trauma tersebut. Dua jam kemudian
keluarga pasien tiba di RSUD Arosuka. Dari penilaian keluarga, pasien dalam
kondisi lemah disertai muntah darah sebanyak 2 kali, pasien dalam keadaan sadar
dan bisa menjawab apa yang ditanyakan keluarganya. Keluarga dalam kondisi ragu
apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak pasca trauma tersebut. Pihak RSUD
41

menyarankan pasien agar dirujuk ke RSUP M. Djamil Padang dan keluarga


menyetujuinya. Di Padang pasien dirawat selama 1 minggu dan disarankan untuk
dioperasi karena ada kelainan pada CT scan kepala. Namun keluarga menolak.
Setelah 1 minggu dirawat di Padang, Keluarga meminta agar pasien dirawat di
Solok saja.
Saat di RSUD Solok pasien dalam keadaan sadar dan tidak kooperatif. Pasien
dalam kondisi lemah dan maunya ingin tidur saja. Menurut keluarga, pasien tidak
mau makan, frekuensi BAB dan BAK sedikit. Pasien juga dirasakan menjadi
pemarah semenjak kecelakaan tersebut. Pasien tidak mengenal beberapa anggota
keluarganya dan mengalami disorientasi. Pandangan pasein kabur setelah trauma.
Berdasarkan pembahasan teori tentang cedera kepala, dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, pasien tergolong cedera kepala berat. Karena pada ct scan
didapatkan perdarahan intraserebral dan pasien juga mengalami amnesia lebih dari
7 hari. Pada CT scan terlihat gambaran hiperdens pada frontal kiri dan kanan.
Gambaran hiperdens menunjukkan adanya perdarahan pada intra karnial pasca
trauma. Kemungkinan daerah yang terkena adalah kortikal dan jaras nervus II
eferen. Ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi kognitif pasien dan amnesia post
truma yang terjadi. Selain itu reflex pupil pasien yang tidak ada, menggambarkan
adanya kerusakan pada jaras eferen N. II.
Pada pasien tidak diketahui skor GCS saat setelah trauma. Karena keluarga
pasien datang setelah 2 jam pasca trauma. Saat itu, keluarga menilai bahwa pasien
dalam keadaan sadar karena melihat mata yang terbuka dan pasien bisa menjawab
apa yang ditanyakan dn merespon cukup baik.
Dari pernyataan di atas kami berkesimpulan bahwa pasien AL mengalami
Cedera Kepala Berat.

42

BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Trauma kapitis ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang
terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung
(kerusakan sekunder) yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
-

permanent
Cedera kepala dibagi berdasarkan mekanisme, derajat beratnya dan

morfologi.
Cedera kepala berdasarkan beratnya dibagi atas cedera kepala ringan,
sedang dan berat.

43

Anamnesa yang sistematis, pmeriksaan fisik yang baik dan pemeriksaan


penunjang yang tersedia sangat membantu untuk menegakkan diagnosa ,

rencana terapi dan tindakan.


Tatalaksana yang tepat dan cepat sangat diperlukan pada seseorang dengan
cedera kepala

DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI.. Simposium trauma kranio-serebral. Pekanbaru, 2007.
2. Hamid A, Jannis J, Bustami M, Musridharta E, Prasetyo E. Advanced
Neurology Life Support. Jakarta : Pokdi Neuro Intensif PERDOSSI, 2012.
3. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.
Http://www.biausa.org
4. Moore KL, Argur AM. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2002.
5. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam
:Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi trauma IKABI, 2004.
6. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.
7. Torner , J.C., Choi, S., & Barnes, T.Y.epidemiology of head injuries. In D.W.
marion (ed.), traumatic brain injury, (pp.9-28). New York : thieme, 1999

44

8. Hickey JV. Craniocerebral trauma. Dalam :the clinical practice of neurological:


lippincont William & wilkins, 2003.
9. Harsono. Kapita selekta neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
2009.
10. Harsono, Ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2005.
11. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Medan : USU digital library,
2002.
12. Deswanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis : Diagnosis
dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC, 2009.

45

You might also like