You are on page 1of 21

EKOLOGI BENTANGLAHAN KARST

PENDAHULUAN
Karst merupakan topografi yang proses pembentukannya dikontrol oleh proses
pelarutan. Mengacu pada White (1988), topografi karst dicirikan oleh:
1. Adanya depresi tertutup dengan varisasi bentuk, ukuran, dan polanya
2. Langkanya atau tidak terdapatnya drainase sungai permukaan
3. Drainasi permukaan yang tiba-tiba hilang membentuk sistem drainasi gua dan
sistem sungai bawah permukaan (White, 1988).

KARAKTERISTIK BENTANGLAHAN KARST


Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan
lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif),
seperti batuan gypsum dan batugaram. Karst merupakan kawasan yang mempunyai relief
dan drainase khas, disebabkan oleh derajat pelarutan batuan lebih tinggi dibanding
dengan batuan lain.
Proses terbentuknya karst dapat dibedakan menjadi 4 stadium, yaitu :
a. Stadium muda, pada masa ini telah berkembang ledokan yang berbentuk corong,
sering disebut dolin. Gabungan beberapa dolin oleh proses pelapukan dan erosi
membentuk uvala. Pada dasar uvala berkembang alur sungai pendek yang menyebar
di permukaan. Sungai-sungai tersebut berasal dari gua dan kemudian menghilang,
masuk ke dalam lorong-lorong gua, sedang drainase permukaan menjadi saluransaluran bawah tanah.
b.

Stadium dewasa, pada masa ini terbentuk beberapa ledokan, kemudian runtuh
membentuk graben. Pada ledokan sering terjadi konsentrasi aliran air, dan ledokan ini
disebut dengn polje. Kondisi drainase permukaan masih dapat dilihat dengan jelas
pada stadium ini.

c. Stadium tua, pada permukaan tanah asli telah hilang secara menyeluruh, membentuk
permukaan tidak rata. Dolin banyak yang telah mengalami kerusakan, mengakibatkan

permukaan tanah turun, muncul lagi lembah-lembah dan batuan dasar mulai
tersingkap. Kondisi demikian menyebabkan drainase tanah tidak berfungsi dan
muncullah drainase permukaan. Aliran air pada awalnya tidak membentuk alur yang
panjang pada permukaan tanah. Aliran air sering keluar masuk dalam sistem gua.
Permukaan yang tersisa menjadi tidak teratur, seperti menara berlereng curam,
bentukan seperti sisir memanjang. Ketinggian bentukan tersebut sangat bervariasai
dari beberapa centimeter hingga 5 meter atau lebih. Batuan dasar polje telah meluas
dan membentuk daratan, kecuali beberapa bukit seperti Hum dan Butte.
d. Stadium lanjut, pada stadium ini sistem aliran sungai di permukaan telah menjadi
normal kembali. Batuan yang tersingkap masih dapat ditemukan bahkan
mendominasi kawasan ini dengan beberapa bentukan bukit sisa yang terisolir atau
disebut Hum.
FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUKAN BENTANGLAHAN KARST
Untuk dapat berkembangnya topografi karst, menurut Thornbury (1969)
dibutuhkan 4 syarat, meliputi :
1.

Harus ada batuan yang mudah larut pada atau dekat permukaan tanah,
terutama batugamping.

2.

Batuan yang mudah larut tersebut harus kompak, terkekarkan secara intensif,
dan berlapis tipis.

3.

Dikelilingi oleh lembah sehingga air permukaan dapat masuk melalui


rekahan-rekahan yang ada pada batuan sambil melarutkannya.

4.

Terletak pada daerah yang curah hujannya sedang sampai tinggi.


Namun menurut Ritter (1978) topografi karst justru berkembang baik pada

batugamping yang tebal dan masif, disebabkan adanya material sukar larut dan lempung
yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan mengurangi kebebasan sirkulasi air
untuk menembus seluruh lapisan.
Kandungan mineralogi batuan juga berpengaruh pada perkembangan topografi
karst. Corbel (1957 dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk membentuk topografi

karst diperlukan sedikitnya 60% kalsit dalam batuan, dan perkembangan terbaik pada
batuan yang kandungan kalsitnya lebih kurang 90%. Tetapi bila kandungan kalsitnya
lebih dari 95%, maka batuan tersebut tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk
membentuk topografi karst. Dolomit mempunyai kelarutan dan kekuatan yang lebih kecil
dibanding kalsit sehingga perkembangan topografi karst pada dolomit lebih jelek
dibanding pada kalsit.
Intensitas struktur, terutama kekar, sangat berpengaruh pada proses karstifikasi.
Kekar yang saling berpasangan dengan sudut antara 70o sampai 90o dan saling
berhubungan, selain mempertinggi porositas dan permeabilitas batuan, juga menjadi zona
lemah yang menyebabkan pelarutan dan erosi berjalan lebih intensif (Ritter, 1978).
Namun apabila kekarnya sangat intensif, maka proses karstifikasi justru menjadi
terhambat. Hal ini disebabkan karena batuan menjadi mudah hancur sehingga tidak
mempunyai kekuatan yang cukup dan waktu sentuh batuan dengan air menjadi sangat
cepat karena permeabilitasnya yang sangat tinggi.
Faktor biologis juga berpengaruh pada perkembangan topografi karst. Menurut
Bloom (1979) aktifitas biologis dapat menghasilkan humus yang akan menutup batuan
dasar. Humus ini mengakibatkan kondisi batuan dasar menjadi anaerob sehingga air
permukaan yang masuk sampai ke batuan dasar (sampai zona anaerob) tekanan parsial
CO2-nya bertambah besar sampai 10 kali lipat dibandingkan di permukaan. Karena
tekanan parsial naik, maka kemampuan air untuk melarutkan batuan menjadi lebih tinggi,
sehingga proses karstifikasi menjadi lebih intensif.
Disamping meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan, pada saat
pembentukan humus juga terjadi proses dekomposisi material organik yang menghasilkan
CO2, yang dikenal dengan istilah biogenic CO2, yang merupakan bagian terbesar dalam
kandungan CO2 di dalam tanah (Ritter, 1978). CO2 ini akan diikat oleh airtanah sehingga
menjadi lebih reaktif.
Pembentukan topografi karst terjadi ketika batuan yang mudah larut (batugamping,
batudolomit) terangkat ke permukaan. Proses karstifikasi dimulai pada saat air
permukaan memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan
tersebut. Akibat adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada semakin lebar

sehingga membentuk bermacam-macam kenampakan yang unik pada topografi karst,


meliputi lapies, karst split, parit karst, palung karst, doline, uvala, polje, jendela karst,
lembah karst, gua, terowongan alam, jembatan alam, kerucut karst, menara karst, mogote,
dan lain-lain.

TAHAP PEMBENTUKAN BENTANGLAHAN KARST


1.Tahap Awal : Terendapkannya batugamping
Batugamping merupakan kumpulan dari sisa binatang dan tumbuhan karang.
Kumpulan binatang dan tumbuhan karang ini kalau membatu disebut dengan
batugamping terumbu. Batugamping terumbu oleh penduduk sering disebut dengan
bedes yang mempunyai sifat sangat keras dan tidak berlapis. Bila kita memecah
batugamping terumbu, fosil dari sisa-sisa binatang dan tumbuhan karang ini dapat kita
temukan. Pada waktu masih di laut, sebagian terumbu karang dihancurkan oleh
gelombang dan kemudian hancurannya diendapkan di sekitarnya. Endapan hancuran
terumbu karang ini membentuk batugamping yang berlapis dan lebih lunak. Batugamping
hancuran terumbu inilah yang dikenal dengan nama keprus. Kadang-kadang selama
pembatuan di bagian atas batubedes dan batu keprus terbentuk mineral kalsit atau batu
lintang. Batulintang terbentuk sebagai akibat dari menguapnya air yang mengandung
unsur gamping.
2. Tahap Kedua : Batugamping terangkat dan menjadi daratan
Kulit bumi kita ini sebenarnya terdiri dari lempengan-lempengan dan mengapung
pada cairan. Contoh cairan ini dapat kita amati pada saat meletusnya gunungapi, yaitu
lelehan yang berwarna merah menyala mengalir dari puncak gunungapi ke bawah. Cairan
panas di perut bumi ini terus bergerak seperti gerakan air kalau kita sedang merebus air.
Karena cairan perut bumi bergerak maka kulit bumi kita juga ikut bergerak. Gerakan
lempengan kulit bumi ini menabrak lempengan yang lain menyebabkan bagian yang
tertabrak melengkung atau terangkat ke permukaan.
3. Tahap Ketiga : Air hujan melarutkan batugamping
Salah satu karakteristik batugamping adalah dapat larut dalam air. Air hujan yang
yang jatuh dalam batugamping akan menembus batugamping melewati celah-celah
batuan. Karena celah-celah lebih banyak dilewati air akan terlarut lebih intensif daripada

daerah sekitarnya, sehingga akan menghasilkan cekungan-cekungan. Cekungan ini


disebut dengan doline, uvala, dan cockpit. Tempat-tempat yang tidak atau sedikit larut
akan meninggalkan bukit-bukit karst. Pelarutan juga terjadi di bawah permukaan (bawah
tanah) membentuk gua-gua yang saling berhubungan. Gua ini sebagian dialiri oleh
sungai-sungai bawah tanah yang kemudian keluar sebagai mataair di darat maupun di
laut.

KLASIFIKASI BENTANGLAHAN KARST


Kondisi lingkungan abiotik yang terdapat di kawasan karst meliputi : kawasan yang
berada di permukaan disebut eksokarst dan kawasan yang berada di bawah permukaan
atau endokarst.
Bentukan pada eksokarst antara lain, yaitu :
1) perbukitan karst, berbentuk : bukit kerucut asimetris, bukit poligonal dan bukit
menara ;
2) lembah karst, dalam bentuk : dolin, uvala, dan polje;
3) ponor, luweng atau sinkhole.
Bentukan pada endokarst antara lain, yaitu : gua karst, stalaktit, stalakmit, dan ornamen
gua. Secara geomorfologis, panorama masing-masing kenampakan eksokarst dan
endokarst memberikan corak yang khas.

Foto Gua dan berbagai ornamennya


Lingkungan abiotik karst yang bervariasi disebabkan oleh bervariasinya faktorfaktor yang berpengaruh, antara lain : sesar dan kekar, batuan karbonat, iklim, waktu
proses berlangsung, pengaruh lereng regional dan aliran permukaan pada kawasan karst.
POTENSI BENTANGLAHAN KARST
1. Sumberdaya Mineral

a. Batugamping dan Dolomit


Batu pondasi, bahan baku semen, kapur tohor, peleburan dan permurnian baja,
pengendapan bijih logam non-ferous, campuran keramik, soda abu, penjernik air
dan kaca, penjernih industri gula, bahan pemutih dalam industri kertas, kosmetik,
karbid, pupuk, bahan lantai, hiasan interior dan ekterior rumah

Foto Penambangan Batugamping


b. Batumarmer dan Onyx
Lantai dan interior dan ekterior rumah (meja, kursi, lampu, patung, tempat tisue,
asbak, papan catur, batunisan, dll)
c. Phospat guano
Bahan pupuk
2. Sumberdaya Air
a. Telaga,
Telaga merupakan bentukan depresi tertutup di daerah karst (doline, uvala, atau
polje) yang bagian dasarnya terlapisi oleh lapisan kedap air, sehingga depresi
tersebut mampu menampung air hujan.

Di kawasan Pegunungan Sewu pada tahun 1960an jumlah telaga sekitar 460
buah (Prastisto, 1995, dalam Kusumayudha, 2000). Pada tahun 1984 jumlah
telaga menjadi 289 buah (MacDonald & Partners, 1984). Dari jumlah itu hanya 39
buah (16,3%) yang merupakan telaga parenial, sedang telaga-telaga yang lain
menjadi kering setelah beberapa bulan hujan berhenti. Bahkan pada musim
kemarau tahun 1987 telaga yang mengalami kekeringan mencapai 262 buah
(Pemda Gunung Kidul, 1987, dalam Martopo, 1988). Sedang pada tahun 2000
jumlah telaga di Pegunungan Sewu hanya tinggal 250 buah (Kusumayudha,
2000).

Foto Telaga Karst


b. Mataair
Mata air di daerah karst mempunyai debit yang bervariasi, kualitas air baik, dan
persebaran tidak merata. Keunggulan mata air karst adalah waktu tunda (time
lag) yang panjang antara hujan hingga keluar ke mata air. Pengukuran 11 mata air
di Kecamatan Ponjong-Karst Gunung Sewu rnenunjukkan tiga mata air
mempunyai waktu tunda empat bulan, dua mata air dengan waktu tunda tiga
bulan, satu mata air dengan waktu tunda dua bulan, satu mata air dengan waktu
tunda satu bulan, dan empat mata air dengan waktu tunda kurang dari satu bulan.
Bila waktu tunda mata air empat bulan, hujan maksimum yang jatuh Januari akan

menghasilkan debit maksimum bulan Mei. Dengan demikian beberapa mata air
karst justru debitnya besar saat kermarau.
Keunggulan lain dari mata air karst adalah kualitas air yang relatif baik.
Pengukuran sampel air

dari 11 mata air karst di Kabupaten Gunungkidul

menunjukkan bahwa enam mata air termasuk kategori A dan lima mata

air

termasuk kategori B. Air dalam kategori A berarti dapat digunakan sebagai


sumber air minum langsung tanpa diolah. Sedangkan golongan B kualitasnya di
bawah golongan A.
c. Sungai bawah tanah,
Sungai bawah tanah merupakan fenomena yang khas di daerah karst, biasanya
mempunyai debit besar, kualitas air sedang hingga baik, namun daerahnya sulit
dijangkau. Sungai bawah tanah di Gunung Kidul : Bribin, Baron, Seropan,
Ngobaran, Bekah.

Foto kemunculan sungai bawah tanah di Pantai Baron


3. Sumberdaya Lahan
a. Dasar dolin

Dolin merupakan cekungan tertutup di kawasan karst. Lahan tidak terlalu luas,
kesuburan sedang hingga kurang subur, potensi lahan sedang. Tersebar di semua
kawasan karst Kabupaten Gunungkidul di anrata bukit-bukit karst

Foto Dasar doline merupakan lahan yang subur


b. Polje
Daerah datar dan luas di kawasan karst yang dibatas oleh diding terjal di salah
satu atau kedua sisinya, air melimpah akibat dari banyak mataair yang muncul di
tempat ini, potensi lahan tinggi. Contoh di daerah persawahan Ponjong dan
Petoyan-Giritirto

Gambar potensi lahan di dasar polje


4. Sumberdaya Hayati
Pada kondisi alami, keaneka ragaman hayati kawasan karst tidak jauh berbeda
dengan kawasan lain. Hampir semua kawasan karst di Indonesia awalnya merupakan
hutan tropis yang sangat lebat. Pada saat masih menjadi hutan, semua satwa dan flora

dapat hidup di kawasan karst. Namun karena tanah di kawasan karst sangat tipis, hutan di
kawasan karst sangat rentan/peka terhadap gangguan dan sangat sulit dikembalikan ke
kondisi alami. Contoh kawasan karst di P. Jawa yang masih berhutan lebat adalah karst
Karangbolong (Kab Kebumen) dan karst Blambangan (Kab. Banyuwangi). Sumberda
hayati yang paling bernilai ekonomis tinggi adalah burung wallet
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN DALAM BENTANGLAHAN KARST
Permasalahan utama yang sering dijumpai di daerah karst adalah di setiap musim
kemarau tidak tersedia air permukaan dalam jumlah cukup, sehingga bencana kekeringan
menjadi ancaman di setiap tahun. Padahal jauh di bawah permukaan, air mengalir dengan
percuma kemudian muncul di tempat lain yang jauh. Salah satu kawasan karst yang
memiliki kondisi ekstrim seperti tersebut di atas adalah kawasan di Kabupaten
Gunungkidul yang terkenal dengan nama Kawasan Karst Gunung Sewu. Tercatat di tahun
1987, bencana kekeringan diderita oleh sekitar 193.900 jiwa di 7 kecamatan wilayah
Kabupaten tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan air, penduduk kawasan ini rela
melakukan apa saja. Mereka mengkonsumsi air dari telaga-telaga yang, ada sekalipun di
telaga tersebut juga berlangsung aktifitas mandi, cuci, dan memandikan ternak. Juga
sumber-sumber air lainnya seperti gua-gua yang terdapat aliran sungai bawah tanah.
Kualitas air sistem bawah tanah secara alami akan mengalami perubahan
dipengaruhi oleh iklim, geologi, vegetasi, dan waktu. Proses ini biasanya terjadi dalam
rentang waktu yang panjang. Perubahan kualitas air tanah akan sangat cepat terjadi
terutama disebabkan oleh faktor non alami, yaitu oleh manusia. Air sistem bawah tanah
di kawasan karst pada umumnya berkonsentrasi pada saluran lereng gua dan membentuk
sungai bawah tanah. Pengeringan air permukaan yang salah satunya melalui saluran
seperti luweng atau ponor dimungkinkan akan dapat mentransfer polutan dari permukaan
dan masuk dalam sistem air bawah tanah tanpa melalui proses penyaringan. Polutan ini
akan cepat sekali menyebar karena jaringan sungai bawah tanah yang sangat komplek
dan saling terhubung.
Penggunaan lahan adalah cerminan dari aktivitas manusia, tanpa adanya
pengelolaan

kawasan

dengan

bijaksana

akan

menimbulkan

pencemaran

mempengaruhi peresapan. Pemukiman adalah salah satu bentuk penggunaan lahan.

dan

Penyebaran penduduk di wilayah Kabupaten Gunungkidul umumnya tidak


merata. Penduduk tinggal di suatu lingkungan permukiman dengan luasan tertentu dalam
suatu wilayah administrasi. Aktivitas masyarakat sehari hari di lingkungan ini juga
menghasilkan limbah, yang berupa limbah rumahtangga, seperti air buangan, sisa cucian,
septic tank, sampah organik maupun non organik. Hingga saat ini belum dipikirkan untuk
membuat suatu sistem drainase untuk limbah rumah tangga di daerah karst ini. Sistem
buangan air biasanya dibuat terbuka dan dialirkan ke tempat yang lebih rendah bahkan
sebagian mengalir ke lubang pengeringan alam seperti luweng ataupun ponor baik
disengaja maupun tidak disengaja. Septic tank juga dibuat dengan menggali batugamping,
tanpa dibuat sebuah sistem penyaringan terlebih dahulu. Unsur pembentuk detergen,dan
peningkatan kandungan bakteri coli menjadi tanda adanya pencemaran akibat aktivitas
rumah tangga. Sistem hidrologi kawasan

karst didominasi oleh drainase bawah

permukaan. Air tanah di daerah karst keberadaannya sangat dalam dan tidak mudah
diketahui keberadaannya. Selain itu, air tanah di kawasan karst sangat rentan terhadap
polusi.
Setiap bahan pencemar yang masuk ke daerah karst cepat sekali tersebar tanpa
ada penyaringan. Air permukaan dapat dengan mudah membawa polutan berupa sedimen,
sisa pupuk, sisa pestisida, kotoran hewan, limbah domestik, dan limbah industri ke
jaringan sungai bawah tanah melului ponor/luweng (lubang masuknya air permukaan ke
dalam sistem sungai bawah tanah).
Permasalahan yang juga krusial adalah penambangan batu gamping di kawasan
karst. Kapur sebagai salah satu sumber mineral banyak digunakan sebagai bahan baku
berbagai industri seperti semen, cat, kosmetik, gelas,dan lain lainnya. Aktivitas
penambangan harus diatur dengan sebuah undang udang yang akan mengurangi tingkat
kerusakan suatu area yang memiliki sistem air bawah tanah. Di Indonesia saat ini hanya
ada satu produk hukum yang mengatur tentang pengelolaan kawasan karst yaitu
KEPMEN ESDM NO. 1456/K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaan kawasan
karst. DAS aliran Bribin terdiri dari bukit bukit yang tersusun dari batugamping chalky
linestone atau keprus yang merupakan bahan baku kualitas terbaik untuk berbagai
industri. Berdasar undang undang tersebut diatas,wilayah DAS sistem Bribin termasuk
sebagai kawasan Karst kelas I,yaitu kawasan yang berfungsi sebagai penyimpan air

bawah tanah secara tetap dalam bentuk akuifer. Di kawasan kelas I tidak boleh ada
kegiatan penambangan. Kenyataan di lapangan terlihat bahwa di daerah ini telah tersebar
banyak kegiatan penambangan batugamping, baik yang berskala industri maupun
dilakukan oleh tambang rakyat. Mendapatkan PAD dari kegiatan ini harus dikaji ulang
terhadap kerugian jangka panjang karena rusaknya system air bawah tanah lembah
tertutup dan run off baru. Dari hasil pemantauan hidrologis yang dilakukan terusmenerus, ditemukan adanya perubahan karakteristik pada kuantitas air system Bribin. Di
musim hujan puncak debit musim hujan akan semakin cepat dan tinggi, di musim
kemarau debit semakin turun, meningkatnya sifat agresifitas air, serta meningkatnya
sediment di musim hujan karena erosi.
Permasalahan lain di kawasan karst adalah semakin pendeknya usia telaga karena
rehabilitasi telaga yang salah kaprah. Pengerukan telaga yang dimaksud untuk menambah
daya tampung telaga justru membuat telaga bocor dan tidak mampu lagi menampung air.
Telaga di kawasan karst terbentuk karena rongga dan lubang pelarutan tertutup/tersumbat
oleh sedimen, sehingga pengerukan sedimen berarti melubangi telaga. Umur telaga yang
semakin pendek dan bocor selanjutnya akan mengakibatkan waktu tunda mata air
semakin pendek dan kualitas air sungai bawah tanah turun. Soalnya,air hujan yang
awalnya dapat disaring oleh sedimen dasar telaga menjadi langsung masuk ke sistem
sungai bawah tanah.
MANAJEMEN SUMBERDAYA EKOLOGI KARST
a. Konservasi Daerah Tangkapan Sungai Bawah Tanah
Seperti layaknya sungai permukaan, sungai bawah tanah juga memiliki Daerah
Tangkapan Air dan Daerah Aliran Sungai. Usaha-usaha pelestarian sungai bawah tanah
ini dilaksanakan dengan menyentuh aspek pelestarian kuatintas dan kualitas air
(:mikrobiologis dan fisiolimianya).
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah air yang dapat disimpan
dan lama waktu tinggal (residence time)nya. Di permukaan, faktor yang berpengaruh
adalah tanaman penutup, tanah penutup, dan bentuk lahan. Faktor lain adalah jenis batu
gamping (tiap jenis batu gamping memiliki angka porositas berbeda), luas sebaran dan

ketebalan batu gamping. Dari uraian tersebut diatas satu usaha perbaikan yang
menyentuh satu atau keseluruhan faktor, diharapkan akan memberikan hasil akhir yaitu
mempertahankan atau menambah jumlah air di bawah permukaan dan mempertinggi
angka residence time air. Pelestarian tanaman penutup, bila dilakukan dipilih jenis
tanaman yang memiliki laju penguap-peluhan rendah tidak bernilai ekonomis tinggi,
mudah dan cepat tumbuh dan tahan panas. Usaha pelestarian lainnya dapat dilakukan
dengan memperbaiki bentuk bentang lahan, misalnya dengan pembuatan teras siring.
Disamping itu perlu diusahakan juga penjagaan kualitas air sungai bawah tanah.
Pemakaian pestisida dan penyubur buatan dipermukaan dapat mengakibatkan
terkontaminasinya air sungai bawah tanah oleh polutan kimia. Polutan-polutan kimia
lainnya yang mungkin dapat membahayakan perlu mendapatkan perhatian pula, misalnya
penelitian kadar trace elemen, khususnya Lithium terbukti mempunyai pengaruh terhadap
proses psiko-fisiologis. Sebagai contoh, kawawan karst Gunung Sewu memiliki angka
bunuh diri tertinggi di Indonesia.
Area karst adalah sebuah area yang sangat rentan terhadap pengaruh dari luar.
Kestabilan kualitas dan kuantitas sistem bawah permukaan tidak hanya dipengaruhi
secara alami. Pengelolaan wilayah karst menjadi faktor utama bagi keseimbangan sistem
di daerah ini. Perlu adanya kajian yang mendalam terhadap aspek lingkungan di daerah
tangkapan air terutama masalah konservasi.
Untuk mengelola sumber daya air di kawasan karst perlu diketahui lebih dulu
daerah tangkapan air

di kawasan karst secara menyeluruh. Perlu diketahui, sistem

hidrologi kawasan karst mendapat masukan dari kawasan nonkarst. Fenomena ini dapat
diamati dari sungai-sungai permukaan yang masuk ke dalam sungai bawah tanah (lembah
buta).

Foto Sungai Permukaan yang masuk menjadi sistem sungai bawah permukaan
Kawasan non karst yang sungai-sungainya masuk ke dalam kawasan karst harus
mendapat perhatian lebih, karena semua pencemar yang berasal dari kawasan non karst
dan terbawa melalui sungai akan masuk ke dalam sistem air tanah karst tanpa
penyaringan. Apabila di bagian hilirnya dimanfaatkan untuk air minum (seperti di Bribin,
Baron, dan Ngobaran di Kabupaten Gunungkidul), maka dengan sendirinya air yang
dimanfaatkan akan tercemar, padahal air yang diambil dari sungai bawah tanah langsung
didistribusikan tanpa diolah. Identifikasi jaringan sungai bawah tanah dan daerah
tangkapan dalam hal ini merupakan langkah awal yang sangat penting dalam menjaga
kualitas dan kuantitas air tanah di daerah karst
Rekomendasi tersebut merupakan pengelolaan makro. Pada skala mikro di sekitar
ponor/luweng juga harus dikelola. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan ponor adalah sebagai berikut.
1. Dilarang meletakkan septik tank, pembuangan kotoran hewan, atau sumber
pencemar lain dekat ponor maupun tempat yang diduga sebagai ponor.
2. Dilarang menerapkan pemupukan, pembasmian hama dengan pestisida, atau
pemakain unsur-unsur kimia lain dalam jarak 30 meter dari lubang luweng.
3. Dilarang membuang sampah, bangkai binatang dan limbah lain ke dalam ponor.

4. Membersihkan kembali ponor yang digunakan untuk pembuangan.


5. Menanami rumput dan tanaman lain pada radius 30 meter untuk menyaring
sedimen sebelum masuk luweng.
6. Membuat bangunan/tumpukan batu di mulut ponor untuk mencegah mu1ut ponor
semakin besar.
b. Penataan areal penambangan
Kegiatan pertambangan harus diletakkan di suatu lokasi yang tidak termasuk
tangkapan utama jaringan sungai bawah tanah. Penambangan harus diarahkan pada lokasi
yang batuan karbonatnya tidak mengalami karstifikasi atau sedikit mengalami
karstifikasi. Kawasan batuan karbonat dengan perkembangan karst baik atau holokarst
sama sekali tidak boleh ditambang. Karst dengan perkembangan baik inilah yang dikenal
dengan kawasan. Karst Kelas I dalam KEPMEN Energi dan Sumberdaya Mineral No
1456 K/20/MEM/2000.
Pemilihan lokasi penambangan juga harus mempertimbangkan kebutuhan.
Penambangan batuan kabornat untuk bahan bangunan seperti batu pondasi dan campuran
plester tidak perlu dilakukan di kawasan batuan karbonat dengan kualitas baik.
Batugamping dengan kualitas baik hanya boleh ditambang untuk pemenuhan bahan baku
industri dengan nilai ekonomi tinggi seperti kosmetik.
Selain penetapan lokasi penambangan, teknik reklamasi juga menjadi bagian
penting dalam konservasi kawasan karst. Teknik konservasi yang dikenal di kalangan ahli
karst adalah teknik landform replication technique, yaitu suatu teknik reklamasi yang
mengupayakan lokasi bekas penambangan kembali berkarakteristik karst alami.
Menghijaukan kembali kawasan karst yang gersang merupakan hal lain yang
mutlak dilakukan. Mengacu pada nama kota Wonosari (wono=hutan) dan laporan
Junghun, kawasan karst Gunungsewu pada awal abad 20 merupakan kawasan hutan.
Menghutankan kawasan karst tidak perlu dilakukan pada semua lahan, melainkan cukup
di bagian puncak dan lereng atas bukit karst. Bagian lereng tengah dan bawah haruslah
dibiarkan

sebagai

lahan

budidaya

c. Konservasi Sumberdaya Air

untuk

memenuhi

kebutuhan

penduduknya.

Di samping rekomendasi di atas, perlu dikaji pula corak budaya karstik dalam
soal konservasi sumber air. Tidak dapat dipungkiri bahwa roh dari hampir semua tradisi
yang berkembang di daerah karst berbasis keairan. Bentuk-bentuk perjuangan masyarakat
karstik yang miskin air pemukaan, ditambah bencana klimatologis berupa kekeringan
yang dihadapi setiap kemarau, termanifestasikan di dalam format tradisi ritual dan mitosmitos. Upacara bersih sumber, bersih telaga, bersih sendhang, dan upacara srabi kocor
untuk meminta hujan, merupakan bentuk keprihatinan akibat kelangkaan air.
Sisi lain yang tampak dari tradisi-tradisi tersebut adalah siratan perasaan nostalgis
akan kemakmuran masa lalu sebagaimana tercermin melalui sebaran data arkeologis,
yang membuktikan bahwa telah terjadi perubahan besar di dalam sistem lingkungan yang
mengarah kepada suatu degradasi.
Bagi masyarakat Gunung Sewu, pengkeramatan sumber-sumber air merupakan
bentuk perlakuan yang dianggap paling pantas untuk menyelamatkan sisa-sisa sumber
air. Berbagai bentuk pantangan (tabu) untuk menebang tetumbuhan di sekitar mata air
merupakan salah satu perilaku etnokonservasi yang paling nyata. Selama beratus-ratus
tahun mekanisme seperti ini terbukti ampuh. Namun, ancaman terhadap eksistensi tradisi
ini sudah mulai muncul sejalan dengan masuk dan beroperasinya penambangan besar
yang menggeser tata nilai masyarakat ke arah pemuasan ekonomis. Bisa jadi, sama sekali
tak terlintas di benak mereka bahwa suatu mata air dan bukit kapur saling terkait dalam
keseluruhan sistem hidrologi karst.

KESIMPULAN DAN SARAN


Daftar Pustaka
Bartstra, G.J., 1976, Constributions to the Study of The Palaelolithic Patjitan Culture
Java, Indonesia, Leiden E.J. Brill.
Beasley, C. W., and Ward, S.H., 1986, Three-dimentional mise-a-la-masse modeling
applied to mapping fracture zones, Geophysics, vol. 51, no. 1, p. 98 113.

Boukelman, R.H., 1988, Hidrologi Daerah Kapur, Materi kursus singkat hidrologi pada
daerah tropika basah, PAU Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
tidak dipublikasikan.
Clemo, T., and Smith, L., 1997, A hierarchical model for solute transport in fractured
media, Water Resources Research, vol. 33, no. 8, p. 1763 1783.
Dreybrodt, W., 1996, Principles of early development of karst conduits under natural and
man-made conditions revealed by mathematical analysis of numerical models,
Water Resources Research, vol. 32, no. 9, p. 2923 2935.
Dwiyana, R. A., 1989, Geologi Dan Analisis Pengembangan Wilayah Daerah Kemadang
dan Sekitarnya Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Tugas Akhir Tipe I, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.
Edyanto, C. B. H., 1996, Perencanaan Kawasan Danau yang Berwawasan Lingkungan,
Alami, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1996, Direktorat Teknologi Pengembangan
Sumberdaya Lahan dan Mitigasi Bencana, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta, hal. 18 21.
Haryani, G.S., 1996, Tinjauan Ekologis dalam Pengelolaan Danau, Alami, Vol. 1 Nomor
1 Tahun 1996, Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Lahan dan
Mitigasi Bencana, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, hal. 9
12.
Hehanussa, P.E., 1996, Perencanaan Manajemen Danau dengan Pendekatan Limno
Sedimentologis, Alami, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1996, Direktorat Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Mitigasi Bencana, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, Jakarta, hal. 3 8.
Hohmanm, G.W., 1975, Three-dimentional induced polarization and electromagnetic
modeling, Geophysics, vol. 40, no.2, p. 309 324.
Hong, G.B, 1996, Pembentukan Karst, Simposium II Karst 1 3 April 1996
Kelompok Hidrogeologi Karst ITB, 1980, Geohidrologi Karst di Gunung Sewu
Gunungkidul, Jawa Tengah (IV), tidak dipublikasikan.

Ko, R.K.T., 1997, Hidrologi Karst, Aspek hidrodinamika, materi seminar dan kunjungan
lapangan Hidrologi dan Pengelolaan Kawasan Karst, Yogyakarta, tidak
dipublikasikan.
Kodoatie, R.J., 1996, Pengantar Hidrogeologi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kusumayudha, S.B., & Santosa, A., 1998, Daerah Aliran Sungai Bawah Tanah di
Gunungsewu Berdasarkan Peta Anomali Gravitasi dan Pola Struktur Geologi,
Pros. PIT HAGI XXIII, hal. 66-72.
Kusumayudha, S.B., Zen, M.T., Notosiswoyo, N., & Gautama, R.S., 1999, Hydrological
System of the Gunungsewu Area, Proceedings of Indonesian Association of
Geologists, The 28th Annual Convention, Jakarta, p. 73 83.
MacDonald, Sir M. & Partners in association with Binnie & Partners, 1984, Greater
Yogyakarta Groundwater Resources Study, Volume 1: Main Report, Directorate
General of Water Resources Development, Ministry of Public Works.
Mackinnon, J., Mackinnon, K., Child, G., & Thorsell, J., 1996, Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika, alih bahasa oleh Amir, H.H., Cetakan ke2,
Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Palmer, A.N., 1990, Groundwater processes in karst terranes, in Higgins, C.G., and
Coates, D.R., eds., Groundwater geomorphology; The role of subsurface water in
Earth-surface processes and landforms; Boulder, Colorado, Geological Society of
America Special Paper 252, p. 177 209.
Palmer, A.N., 1991, Origin and Morphology of Limestone Caves, Geological Society of
America Bulletin, v. 103, p.1 22.
Poernomo, H.S., 1999, Penyusunan Zona Tata Guna Air di Wilayah Kecamatan Rongkop
Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tugas Akhir S1, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, tidak
dipublikasikan.
Smith, D.I., 1977, Applied Geomorphology and Hydrology of Karst Regions, in Hails,
J.R., eds., Applied Geomorphology, Elsevier Scientific Publishing Company, New
York, p. 157 209.

Smith, D.L., 1986, Application of the pole-dipole resistivity technique to the detection of
solution cavities beneath highways, Geophysics, vol. 51, no. 3, p. 833 836.
Soedarmo, D. & Purnomo, S. J. E., 2001, Mekanika Tanah 1, Cetakan ke5, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta
Soekardi, S., 1971, Laporan Hasil Eksplorasi Airtanah di Daerah Aliran Kali Opak
Kali Progo, Khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pekerjaan
Umum & Tenaga Listrik, Direktorat Jendral Pengairan, Direktorat Bina Program
Pengairan, tidak dipublikasikan.
Soenarto, B., 1995, Hidrologi Kawasan Karst Gunung Sewu dan Aspek-Aspek yang
Berkaitannya,
Sudarsono, U., 1998, Pengembangan airtanah di batuan karbonat, studi kasus di
pegunungan selatan, Buletin Geologi Tata Lingkungan No.25, Direktorat Geologi
Tata Lingkungan, Bandung, hal 24 36.
Suratmo, Hs., 1985, Percobaan Tracing di Daerah Gunung Sewu Kabupaten Gunung
Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Direktorat Irigasi II, Sub Direktorat
Pengembangan Airtanah, Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan
Umum.
Suryantoro, S., 2000, Pengelolaan Lingkungan Kawasan Kars, Buletin Informasi
Lingkungan, Volume IV Nomor 33 Tahun 2000, Biro Lingkungan dan Teknologi,
Sekretariat Jendral Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, hal. 24 30
Toding, F., 1999, Penyusunan Zona Tata Guna Air dan Arahan Pengembangannya di
Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Tugas Akhir S-1, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.
Triutomo, S., 1996, Prinsip Dasar Pengelolaan Danau, Alami, Vol. 1 Nomor 1 Tahun
1996, Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Mitigasi
Bencana, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, hal. 13 17.

Untung, M, Ruswandi, E., & Ujang, K., 1973, A Gravity Survey in the Yogyakarta
Wonosari Area, Central Java, GPI Publication (Publikasi Teknik, Seri Geofisika
No. 3).
Untung, M., Sartono, Nainggolan, D.A., & Marino, 1996, Usaha Pelacakan Alur-Alur Air
di Kawasan Kras, Suatu Studi Kasus di Daerah Semanu, Wonosari, Yogyakarta,
van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherland.
White, W.B., 1969, Conceptual Models for Carbonat Aquifers, Ground Water, 7, 15 21.
White, W.B., 1988, Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains, Oxford University
Press, Oxford, pp. 464.
White, W.B., 1990, Surface and near-surface karst landforms, in Higgins, C.G., and
Coates, D.R., eds., Groundwater geomorphology; The role of subsurface water in
Earth-surface processes and landforms; Boulder, Colorado, Geological Society of
America Special Paper 252, p. 157 175.

You might also like