You are on page 1of 53

BAB I

PENDAHULUAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV
memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih
ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun
oleh HIV.1
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia

retrovirus

yaitu kelompok

virus berselubung (envelope virus) yang

mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA
dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan
kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus
mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang
cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.1
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel
darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS
adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh
HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering terjadi pada
anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama,
tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta
gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama.
Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan
remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.1

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Nama Mahasiswa : Yasmine Salida

Dokter Pembimbing : dr.Mas Wishnuwardhana, Sp.A

NIM

Tanda tangan

: 030.10.279

BAB II
ILUSTRASI KASUS
I.

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien
Ayah
An. M
Tn. F
3 tahun
36 tahun
Laki-laki
Laki-laki
Perumahan ALINDA 1 Blok F3 NO. 14
Islam
Islam
Sunda
Sunda
SMA
Pelaut
Hubungan dengan

Ibu
Almh. Ny. D
26 tahun
Perempuan
Islam
Sunda
SMA
Ibu Rumah Tangga
-

orang tua : Anak


Tanggal Kontrol RS

kandung
23 Juni 2015

II. ANAMNESIS
Dilakukan sacara Alloanamnesis kepada kakek pasien pada hari Selasa, 23 Juni
2015.
a.

Keluhan Utama :
Pasien datang kontrol rutin ke Poli Anak RSUD Kota Bekasi.
b. Keluhan Tambahan :
Terdapat bentol-bentol berisi cairan di kedua telapak tangan.

c.

Riwayat Penyakit Sekarang :


2

Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD kota Bekasi untuk melakukan kontrol
rutin penyakit HIV. Kakek pasien mengatakan bahwa di kedua telapak tangan
pasien sekarang mengeluhkan terdapat bentol-bentol berisi cairan dan terasa
gatal. Kakek mengaku telah berobat ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin,
dan diberi obat sehingga keluhan sudah berkurang, dokter Spesialis tersebut
mengatakan bahwa bentol tersebut akibat dari kutu kasur. Kakek pasien juga
mengaku bahwa pasien sering mengalami diare. Batuk, pilek, dan demam
disangkal. Sesak nafas(-), berat badan yang menurun (-). Ayah pasien HIV +.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


Penyakit
Alergi
Cacingan

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare

Umur
+

Penyakit
Jantung
Ginjal

Umur
-

Darah
Radang paru
Tuberkulosis

Sejak berusia

paru

1 tahun, dan

Sejak berusia 1
bulan

sering

mengalami
diare
DBD
Thypoid
Otitis

Kejang
Gastritis
Varicela

berkepanjangan
-

kurang lebih
1 tahun yang
lalu

sudah

dinyatakan
Parotis

e.

Operasi

Morbili

sembuh.
-

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ayah pasien terkena HIV + dan sedang menjalani pengobatan. Awalnya
Ayah pasien sering mengalami diare berkepanjangan, dan pada bulan Mei
2012 Ayah pasien melakukan pemeriksaan darah untuk HIV, dan ternyata
hasilnya reaktif, sehingga dokter menganjurkan agar anak-anak Ayah pasien
ikut diperiksa. Pasien merupakan tiga bersaudara, kedua kakak kandung
pasien telah diperika HIV juga, namun hasilnya negatif. Menurut pengakuan
3

kakek pasien, ibu pasien telah meninggal dunia pada bulan Desember 2012
dikarenakan penyakit lupus dan dicurigai memiliki penyakit HIV juga, namun
tidak sempat memeriksakannya. Pasien merupakan pasien rujukan dari
Puskesmas Kaliabang Tengah, datang dengan membawa lembar hasil VCT
(reaktif). Pasien dinyatakan memiliki penyakit HIV + pada 1 bulan setelah
Ayahnya dinyatakan HIV +, yaitu pada bulan Juni 2010.
Ayah pasien merupakan seorang pelaut yang jarang pulang ke rumah, dan
kakek pasien juga tidak menyangkal mengenai Ayah pasien yang pernah
berhubungan seksual dengan perempuan lain. Tidak ada riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, asma dan alergi obat dan makanan pada keluarga.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal

Tidak ditemukan kelainan


Melakukan pemeriksaan ke
bidan rutin tiap 1 bulan

KEHAMILAN

sekali.
Tempat kelahiran

Rumah sakit

Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

Bidan
Spontan
9 bulan 10 hari
Kakek
pasien

KELAHIRAN

tidak

mengatahuinya. (tidak ada


Keadaan bayi

data)
Tidak ada kelainan bawaan

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I

:-

Psikomotor
Tengkurap

:-

Duduk

:-

Berat badan

: 12 g

Tinggi badan : 95 cm
4

h. Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/biscuit
Bubur susu
Nasi tim
0-2
+/2-4
+/4-6
-/+
6-7
-/+
+
8-10
-/+
+
+
10-12
-/+
+
+
+
Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 4 bulan ini, dan pasien mulai
mengkonsumsi susu formula sejak berumur 4 bulan lebih.

i. Riwayat Imunisasi :
Vaksin
BCG
DPT
POLIO
CAMPAK
HEPATITIS B

Dasar (umur)
Lahir

2 bln

Ulangan (umur)
4 bln

6 bln

Lahi

r
Kesan : Pasien hanya mendapatkan Imunisasi lengkap pada vaksin Polio saja.

j.

Riwayat Keluarga :
Ayah

Ibu

Anak

Anak

Pasien

Nama
Perkawinan

Tn. F
Pertama

Almh. Ny. D
Pertama

pertama
An. R
-

kedua
An. N
-

An. M
-

ke
Umur

36 tahun

Meninggal

8 tahun

4 tahun

3 tahun

Baik

Baik

Baik.

dunia

pada usia 26 tahun


diare

(3 tahun yang lalu)


Meninggal dunia

Keadaan

Sering

kesehatan

berkepanjangan

dikarenkan

Dalam

.
Dalam

penyakit lupus dan

pengobata
5

pengobatan

dicurigai

ARV

memiliki
penyakit

n ARV

HIV

juga, namun tidak


sempat
memeriksakanny
a

k.

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah bersama kakek dan neneknya. Dinding terbuat dari tembok, atap

terbuat dari genteng, dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan kakek pasien, keadaan
lingkungan rumah padat, ventilasi, dan pencahayaan baik. Sumber air bersih berasal
dari PAM.

III.PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum/ kesadaran
b. Tanda Vital
- Frekuensi nadi
- Frekuensi pernapasan
- Suhu tubuh
c. Data antropometri
- Berat badan
- Tinggi badan

: tampak sakit ringan/compos mentis


: 120x/menit, regular
: 24x/menit, regular
: 36,6oC
: 12 kg
: 95 cm

Kesan : BB/TB -1 - -2 SD (Gizi baik)

Kesan : BB/U 0 - -2 SD (Gizi baik)

Kesan : TB/U 0 - -2 SD (Gizi baik )


8

d. Kepala
- Bentuk
- Rambut

Telinga
Hidung

e. Leher

: normocephali, ubun-ubun rata


: rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
- Mata
: konjungtiva anemis-/-, sklera ikterik -/-,
pupil
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
: normotia, membran timpani intak, serumen -/: bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung -/- Mulut
: sianosis (-), lidah kotor (-), faring
hiperemis (-/-), tonsil T1/T1 tenang
: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar

f. Thorax
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
- Palpasi
-

Perkusi

: pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)


: vocal fremitus simetris
: sonor di kedua lapang paru
: suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/: ictus cordis tidak nampak
: ictus cordis teraba pada ICS V garis midclavicula
kiri
: batas atas : ICS II garis parasternal kiri
batas kanan: ICS IV garis parasternal kanan
batas kiri : ICS IV garis midclavicula kiri
- Auskultasi
: BJ I-II reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

Perkusi
Ekstremitas
Kulit
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan
Sup dan Inf
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Patologis

: perut datar
: bising usus (+)
- Palpasi
: supel,turgor kulit normal, nyeri tekan
(-), hepar dan lien tidak teraba membesar
: timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok (-)
: akral hangat (+/+), sianosis (-)
: terdapat beberapa vesikel di kedua telapak tangan.
Kanan

Kiri

+
+
+
+

+
+
+
+

Refleks

Pemeriksaan
Sup dan Inf
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Gordon
Schaeffer
Klonus patella
Klonus achilles

Kanan

Kiri

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk
Brudzinski I
Brudzinski II
Kernig
Laseq

:::::-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (2 Januari 2013, pukul 10:17 wib)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED
50
0-10
Leukosit
21,7
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0
<1
Eosinofil
3
1-3
Batang
3
2-6
Segment
38
52-70
Limfosit
53
20-40
Monosit
3
2-8
Eritrosit
4,91
4-5
Hemoglobin
9,6
11-14,5
Hematokrit
31,7
37-47
Index Eritrosit
MCV
64,5
75-87
MCH
19,5
24-30
MCHC
30,2
31-37
Trombosit
498
150-400
Total Eosinofil
176
50-300

Laboratorium (29 Juni 2013, pukul 09:59 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap

Satuan
mm
ribu/uL
%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
ribu/uL
sel/uL

Satuan

10

LED
Leukosit
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segment
Limfosit
Monosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit

15
12,5

0-10
5-10

mm
ribu/uL

0
3
2
30
60
5
5,40
12,8
37,5

<1
1-3
2-6
52-70
20-40
2-8
4-5
11-14,5
37-47

%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%

69,5
23,7
34,1
424

75-87
24-30
31-37
150-400

fL
Pg
%
ribu/uL

Laboratorium (2 Desember 2013, pukul 10:23 wib)


Nilai normal
IMUNOSEROLOG Hasil

I
CD 4
CD 4 Abs
CD 4%
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin

Satuan

2432
42

410-1590
31-60

Sel/uL
%

47
60

<37
<41

U/L
U/L

22
0,40

20-40
0,5-1,3

mg/dL
mg/dL

V. RESUME
a)
Anamnesis
Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD kota Bekasi untuk melakukan kontrol
rutin penyakit HIV. Kakek pasien mengatakan bahwa di kedua telapak tangan
pasien sekarang mengeluhkan terdapat bentol-bentol berisi cairan dan terasa
gatal. Kakek mengaku telah berobat ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin,
dan diberi obat sehingga keluhan sudah berkurang, dokter Spesialis tersebut
mengatakan bahwa bentol tersebut akibat dari kutu kasur. Kakek pasien juga
11

mengaku bahwa pasien sering mengalam diare. Batuk, pilek, dan demam
disangkal. Sesak nafas(-), berat badan yang menurun (-). Ayah pasien HIV +.
Menurut pengakuan kakek pasien, ibu pasien telah meninggal dunia pada
bulan Desember 2012 dikarenakan penyakit lupus dan dicurigai memiliki
penyakit HIV juga, namun tidak sempat memeriksakannya. Pasien merupakan
pasien rujukan dari Puskesmas Kaliabang Tengah, datang dengan membawa
lembar hasil VCT (reaktif). Pasien dinyatakan memiliki penyakit HIV + pada
1 bulan setelah Ayahnya dinyatakan HIV +, yaitu pada bulan Juli 2010. Pasien
merupakan tiga bersaudara, kedua kakak kandung pasien telah diperika HIV
juga, namun hasilnya negatif. Riwayat TB paru +.

b)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum/ kesadaran

: tampak sakit sedang/ compos mentis

Antropometri

c)

Berat badan
Tinggi badan
Kulit

: 12 kg
: 95,5 cm (keadaan gizi : baik)
: terdapat beberapa vesikel di kedua telapak tangan.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (2 Januari 2013, pukul 10:17 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED
50
0-10
Leukosit
21,7
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0
<1
Eosinofil
3
1-3
Batang
3
2-6
Segment
38
52-70
Limfosit
53
20-40
Monosit
3
2-8
Eritrosit
4,91
4-5
Hemoglobin
9,6
11-14,5
Hematokrit
31,7
37-47
Index Eritrosit
MCV
64,5
75-87
MCH
19,5
24-30
MCHC
30,2
31-37
Trombosit
498
150-400

Satuan
mm
ribu/uL
%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
ribu/uL
12

Total Eosinofil

176

50-300

Laboratorium (29 Juni 2013, pukul 09:59 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED
15
0-10
Leukosit
12,5
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0
<1
Eosinofil
3
1-3
Batang
2
2-6
Segment
30
52-70
Limfosit
60
20-40
Monosit
5
2-8
Eritrosit
5,40
4-5
Hemoglobin
12,8
11-14,5
Hematokrit
37,5
37-47
Index Eritrosit
MCV
69,5
75-87
MCH
23,7
24-30
MCHC
34,1
31-37
Trombosit
424
150-400

Laboratorium (2 Desember 2013, pukul 10:23 wib)


Nilai normal
IMUNOSEROLOG Hasil

I
CD 4
CD 4 Abs
CD 4%
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin

sel/uL

Satuan
mm
ribu/uL
%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
ribu/uL

Satuan

2432
42

410-1590
31-60

Sel/uL
%

47
60

<37
<41

U/L
U/L

22
0,40

20-40
0,5-1,3

mg/dL
mg/dL

13

VCT Reaktif

VI. DIAGNOSIS
a.
HIV + stadium 3
b.
Skabies pada kedua telapak tangan.
VII. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Edukasi kepada orang tua/orang tua asuh (keluarga terdekat) tentang
penyakit yang diderita
b. Medikamentosa
D4TFDC (Junior) 2-0-2

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: Dubia ad malam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad malam

14

BAB III
ANALISIS KASUS

15

Dari anamnesis diketahui bahwa Ayah pasien terkena HIV +. Menurut


pengakuan kakek pasien, ibu pasien telah meninggal dunia pada bulan Desember
2012 dikarenakan penyakit lupus dan dicurigai memiliki penyakit HIV juga, namun
tidak sempat memeriksakannya. Pasien dinyatakan memiliki penyakit HIV + pada 1
bulan setelah Ayahnya dinyatakan HIV +, yaitu pada bulan Juli 2010. Selain itu pasien
juga sering mengalami diare yang berkepanjangan.
Pasien didiagnosis HIV + stadium 3 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang.
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
1. Ayah kandung terinfeksi HIV +.
2. Lahir dari ibu yang dicurigai terinfeksi HIV, dan mengingat Pasien sempat
diberikan ASI oleh ibu.
Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap
mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya
respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini,
hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon
serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA),
immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).2
3.

Sering mengalami diare yang berkepanjangan.

4.

Riwayat TB paru +.

Pada Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum/ kesadaran

: tampak sakit sedang/ compos mentis

Antropometri

Berat badan
Tinggi badan
Kulit

: 12 kg
: 95,5 cm (keadaan gizi baik)
: terdapat beberapa vesikel di kedua telapak

tangan.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,
rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur,
herpes, dan timbulnya kelainan-kelainan kulit.1
16

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (2 Januari 2013, pukul 10:17 wib)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED
50
0-10
Leukosit
21,7
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0
<1
Eosinofil
3
1-3
Batang
3
2-6
Segment
38
52-70
Limfosit
53
20-40
Monosit
3
2-8
Eritrosit
4,91
4-5
Hemoglobin
9,6
11-14,5
Hematokrit
31,7
37-47
Index Eritrosit
MCV
64,5
75-87
MCH
19,5
24-30
MCHC
30,2
31-37
Trombosit
498
150-400
Total Eosinofil
176
50-300
Laboratorium (29 Juni 2013, pukul 09:59 wib)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED
15
0-10
Leukosit
12,5
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0
<1
Eosinofil
3
1-3
Batang
2
2-6
Segment
30
52-70
Limfosit
60
20-40
Monosit
5
2-8
Eritrosit
5,40
4-5
Hemoglobin
12,8
11-14,5
Hematokrit
37,5
37-47
Index Eritrosit
MCV
69,5
75-87
MCH
23,7
24-30
MCHC
34,1
31-37
Trombosit
424
150-400

Satuan
mm
ribu/uL
%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
ribu/uL
sel/uL

Satuan
mm
ribu/uL
%
%
%
%
%
%
juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
ribu/uL

Laboratorium (2 Desember 2013, pukul 10:23 wib)


17

IMUNOSEROLOG
I
CD 4
CD 4 Abs
CD 4%
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin

Hasil

Nilai normal

Satuan

2432
42

410-1590
31-60

Sel/uL
%

47
60

<37
<41

U/L
U/L

22
0,40

20-40
0,5-1,3

mg/dL
mg/dL

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang system
kekebalan

tubuh

manusia

dan

kemudian

menimbulkan

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency Syndrome). AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau


penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi HIV.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1

2.2 EPIDEMIOLOGI
18

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang
dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan
kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia
Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut
catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS.
dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal
karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di
setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau
AIDS.3

2.3 ETIOLOGI
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus diketemukan oleh
Luc Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada
waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (national
Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic
Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan
bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International
Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO member nama resmi HIV. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS,
disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2
dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua
virus itu disebut sebagai HIV saja.3
19

2.3 PATOGENESIS HIV

20

Gambar 1. Patogenesis Virus HIV4

HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk
ke dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel.
Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada
permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang
berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T
yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell).

Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan
kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses
21

reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini
dilakukan oleh enzim reverse transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama
dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah
DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang
diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh
enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke
dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses
replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan
proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini
virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus
memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan
sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien
HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke
dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+
merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai

afinitas terhadap

molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah


fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model
infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat menginfeksi limfosit
CD4+ dan monosit pada mukosa vagina.3

22

Gambar 2. Penyebaran virus ke organ seluruh tubuh.4

Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional.
Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah
inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di
deteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi . Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di
kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel
yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan
di hubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden
dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+ menyebabkan
23

kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steadystate beberapa bulan setelah infeksi . Kondisi ini bertahan relatif stabil selam
beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu,
adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun
secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas
netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan
virus.1,3

2.5 PERJALANAN PENYAKIT1,3


Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua
orang yang terinfeksi HIV sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit
yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (1,8)
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah
infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya
amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat
(non-pogresor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis,
infeksi jamur, herpes, dll.
24

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan


gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien
masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya
bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifetasi dari awal dari kerusakan
sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah
bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bias mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunakan narkotika suntik , makin mudah terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.

2.6 MANIFESTASI KLINIS1,3,5


Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit
ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadangkadang dalam 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas
25

berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah
bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri
dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala.
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare
berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan
pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan
terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1
bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.
Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang
bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV
sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai
masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa
seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila
seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan
menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi
adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan karena tubuh kita membutuhkan
waktu sekitar 3 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi
oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam
masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya
(walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV
melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi.
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah
sampai pada tahapan AIDS adalah:
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :

Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)


Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah
telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.
26

Perbedaan antara HIV dan AIDS, yaitu:


A. HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel
darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh,
sehingga mudah terserang infeksi/penyakit.
B. AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan
gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya
virus HIV di dalam darah
- Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang
meninggal

Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.


Pada masa tanpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain.
Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.
Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.

- Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul :

Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum


membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes
darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah
tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan

masa jendela
Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes
darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam
darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak
timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut

menderita AIDS, atau dia tampak sehat.


Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai
penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya
penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan
kemudian meninggal.

Tahapan Klinis
27

Stadium 1.

Tanpa gejala (asimtomatik)

Limfadenopati generalisata persisten.

Stadium 2.

Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan

Erupsi pruritik papular

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur pada kuku

Keilitis angularis

Eritema Gingiva Linea

Infeksi virus human papiloma yang luar atau moluskum kontagiosum (>5%
area tubuh)

Luka di mulut atau sariawan yang berulang (2 atau lebih episode dalam 6
bulan)

Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan

Herpes zoster

Infeksi respiratorik bagian atas kronik atau berulang (2 atau lebih dalam 6
bulan)

Stadium 3.

Gizi kurang yang tidak dapat dijelaskan dan tidak bereaksi terhadap
pengobatan baku

Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan ( 14 hari)

Demam persisten (intermitten atau konstan selama > 1 bulan)

Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama kehidupan)

Oral hairy leukoplakia

Tuberculosis paru

Pneumonia bacteria berat yang berulang (2 atau lebih episode dama 6 bulan)

Gingivitis atau stomatitis ulseratif nekrotikans akut

LIP simtomatik.

28

Anemia yang tak dapat dijelaskan (<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau


trombositopenia (<30000/mm3) selama lebih dari 1 bulan.

Stadium 4.
Sangat kurus yang tidak dapat dijelaskan atau gizi buruk yang tidak bereaksi

dengan pengobatan baku

Pneumonia pneumosistis

Dicurigai infeksi bakteri berat atau berulang (2 atau lebih episode demam dlm
1 tahun)
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial atau kutaneuous selama > bulan

atau viseralis di lokasi manapun)

Tuberculosis ekstrapulmonal atau diseminata

Sarcoma Kaposi

Kandidiasis esophagus

Anak <18 bulan denga simtomatik HIV seropositif dengan 2 atau lebih dari
hal berikut :
-

Oral trush, +/- pneumonia berat, +/- gagal tumbuh, +/- sepsis berat

Infeksi CMV retinitis atau pada organ lain dengan onset > 1 bulan

Mikosis endemic diseminata (histoplasmosis, koksidiomikosis,


penisiliosis)

Kriptosporidiosis kronik atau isosporiasis (dgn diare > 1 bulan)

Infeksi sitomegalovirus (onset pd umur >1 bulan)

Penyakit mikobakterial diseminata selain tuberculosis

Kandida pada trakea, bronkus atau paru

Acquired HIV-related recto-vesico fistula

Limfoma sel B non-Hodgkins atau limfoma serebral1,3,5,6

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG1,3,5,6


Tes darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes
dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes
29

tersebut. Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan
tes secara sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib. Gagasan wajib
melakukan tes ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan masalah logistik
yang terkait.3 Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen warga dites),
Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen).
Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan
virus yang diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh
penduduk dilihat sangat mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat
menimbulkan perlakuan tidak adil. Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan
sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Kelompok ini
mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan
wanita hamil.
Penolakan terhadap tes HIV berarti program harus mengembangkan strategi
untuk membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena
akan bermanfaat untuk mereka.
Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika
seseorang mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsure
penting dalam mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan
menerapkan penggunaan narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk
melindungi pasangannya, dan orang yang memakai narkoba bersamanya. Untuk
mereka yang HIV-negatif, akan mendorong perubahan perilaku agar meyakinkan
bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang. Sebaliknya, ada yang
menganggap bahwa setiap orang yang menggunakan narkoba dengan jarum suntik dan
melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah
mereka HIV-positif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat
meningkatkan perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan
tes secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya.
Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan
surveilans sentinel.

30

Tes HIV
Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans masyarakat
(surveilans sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya
dilakukan dengan melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam
masyarakat agar mengetahui luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan
dengan mengadakan skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar
mengetahui berapa yang terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di
kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam masyarakat tertentu
itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya
juga anonim (tanpa nama).
Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh
HIV melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes
seperti ini harus mencakup konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut
lihat ini). Melakukan tes memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya sehingga
mereka tidak menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka
negatif, untuk meyakinkan mereka supaya tidak tertular virus ini di masa mendatang.
Tes juga bisa berarti bahwa orang mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan
kesehatan mereka, pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi
tentang bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang
belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.

FAKTOR RISIKO PENULARAN


Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi:
1. Faktor ibu dan bayi
a. Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar
31

HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu
setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh
seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada
menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai
risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4 kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan
vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat.
Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya
maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat kadar
CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka
di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan menjadi meningkat bila
ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.
b.

Faktor bayi

1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang
meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
2. Faktor cara penularan
a.

Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi,

b.

Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,

c.

Persalinan yang berlangsung lama,

d.

Ketuban pecah lebih dari 4 jam

e.

Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,


dan tindakan episiotomi

f.

Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI


32

2.8 PENCEGAHAN

PENULARAN LEWAT SUNTIKAN

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan
penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau
pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar
2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian
dengan orang lain

PENULARAN LEWAT HUBUNGAN SEKS

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)
Ada tiga cara:
1. Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)
2. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia
kepada pasangannya
3. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan
melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

PENULARAN LEWAT ASI

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko
dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada sendiri dan bayinya, sehingga
keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
33

PENULARAN DARI IBU KE BAYI7

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi


2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
3. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya.
4. pemberian dukugan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif
berserta bayi dan keluarganya.
Strategi yang digunakan untuk emncegah penularan disaat kehamilan, persalinan dan
penyusuan adalah.
1. penggunaan terapi ARV pada ibu dan bayi.
2. seksio sesaria sebelum terjadinya pecah selaput ketuban.
3. pemberian susu formula.

Pemberian terapi arv pada bayi yang lahir denga ibu HIV.
AZT 2X/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu dosis 4 mg/kgBB/kali

34

PEMBERIAN ARV PROFILAKSIS PADA BAYI YANG LAHIR DARI IBU


HIV.7

Status HIV dari wanita


hamil
Sudah didiagnosis HIV
sebelumnya dan sudah
mendapatkan terapi ARV

Tes HIV (+)

Tes HIV (-)

AZT + 3TC + NVP atau


TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
ANTENATAL

Atau AZT + 3TC + EFV atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV


------------------------------------------------------------------------------------------------------------PERSALINAN

Lanjutkan terapi ARV

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------POSTPARTUM

ASI eksklusif atau susu formula


Ibu:lanjutkan ARV
Bayi: AZT, 2x/hari, dari lahir
hingga usia 4-6 minggu (tidak
melihat cara pemberian makanan
pada bayi)

2.9 PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL8


Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang
banyak dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia
(chemotherapy). Obat-obat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk
replikasi virus, seperti inhibitor reverse transcriptase dan protease.
35

Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali


digunakan. Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai
digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti
indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food and Drug Administration
(FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama
lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu
munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi
menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, yang disebut highly active antiretroviral
threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif.

2.9.1 LINI PERTAMA8


No.
1.

Nama generik
Zinovudin

Formulasi
Tablet:

(NRTIs)

300mg

Data farmakokinetik
Semua umur

Dosis menurut umur.


<
4
minggu:
mg/kg/dosis,

240

3.

Lamivudin

Tablet:

(NRTIs)

150 mg

Kombinasi

Tablet:

tetap

300

Semua umur

plus

300

2x/hari.
<
30
mg/kg/dosis,

Remaja dan dewasa


mg

Zinovudin plus (AZT)


Lamivudin

mg/m2/dosis,

2x/hari
dosis maksimal:
tahun,

2.

2x/hari

(profilaksis)
minggu 13 tahun: 180

>13

mg/dosis,
hari<

2x/hari

(profilaksis)
> 30 hari atau <60kg: 4

mg/kg/dosis. 2x/hari.
Dosis maksimal: 150

mg/dosis, 2x/hari.
Dosis maksimal: < 13 tahun
atau > 60 kg: 1 tablet/dosis,
2x/hari (tidak untuk berat badan

150

30 kg)
36

4.

Nevirapin

mg (3TC)
Tablet:

(NNRTIs)

200 mg

Semua umur

< 8 tahun: 200 mg/m2

Dua minggu pertama 1x/hari.


Selanjutnya 2x/hari.

>

tahun:

120-150

mg/m2,
Dua minggu pertama, 1x/hari
5.

Efavirenz

Selanjutnya 2x/hari.
Hanya untuk anak
10-15 kg:

600mg

(NNRTIs)

>3 tahun dan berat


>10 kg

Stavudin, d4T 30 mg

Semua umur

Abacavir

300 mg

Umur > 3 bulan

mg

1x/sehari.
15 - <20 kg: 250 mg

1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg

1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg

1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg

1x/hari
Dosis maksimal: > 40

kg: 600 mg 1x/hari


< 30 kg: 1 mg/kg/dosis,

2x/hari
30 kg atau lebih : 30

mg/dosis, 2x/hari
< 16 tahun atau < 37.5

(NRTIs)

7.

200

(NRTIs)

kg:

mg/kg.dosis,

2x/hari
Dosis maksimal:

>16

tahun atau > 37.5 kg


8.

Tenofovir

Tablet:

300 mg/dosis, 2x/hari


Diberikan setiap 24 jam.

disoproxil

300 mg

Interaksi obat dengan ddl, tidak

fumarat
9.

(NRTIs)
Tenofovir
emtricitabin

lagi dipadukan dengan ddl.


+ tablet 200
mg/

300

mg
37

2.9.2 LINI KEDUA8


No

Nama generik

Formulasi

.
1.

Data

Dosis

farmakokin
Lopinavir/

etik
Tablet tahan suhu 6 bulan

ritonavir (PI)

panas, 200 mg

jam untuk pasien naf baik

Lopinavir + 50

dengan

mg ritonavir

400 mg/100 mg setiap 12


atau

tanpa

kombinasi EFV atau NVP.


600 mg/ 150 mg setiap 12
jam

bila

dikombinasi

dengan EFV atau NVP


untum pasien yag pernah

2.

Tenofovir

mendapat terapi ARV


2 minggu- 6 bulan: 16

mg/4 mg/kg BB, 2x/hari


6 bulan 18 bulan: 10

mg/lgBB/dosis lopinavir
Diberikan setiap 24 jam interaksi

Tablet: 300 mg

disoproxil

obat

dengan

ddl,

fumarat

dipadukan dengan ddl.

tidak

lagi

(NRTIs)

2.9.3 REGIMEN ARV KOMBINASI UNTUK ANAK-ANAK8


Singkatan

FDC Stavudinr (D4T)

Lamivudine(3TC)

Nevirapine

(NVP)

menurut WHO
Dosis/tablet (mg)
Paediatric FDC 12 12

Dosis/tablet (mg)
60

Dosis/tablet (mg)
-

dual
Paediatric FDC 12 12

60

100

tripel

38

2.9.4 DOSIS KOMBINASI TERAPI ARV UNTUK ANAK7


REGIMEN d4T 3TC NVP
Pengobatan
inisial Dosis

BB

hari ke 1-14

setelah

REGIMEN d4T 3TC EFV


rumatan D4T 3TC
EFV
2

minggu

Tab

pengobatan inisial
Tab dual Tab tripel Tab tripel Tabl dual Tab dual Kapsul

tripel am

pm

am

pm

am

pm

efavirens
pm

68.9 kg
9-12 kg
12-13.9

0.5
1
1

0.5
0.5
1

0.5
1
1

0.5
0.5
1

1
1

0.5
1

200 mg
200 mg

kg
14-16.9

1.5

1.5

1.5

200

mg

plus

50
mg

kg
17-19,9

1.5

1.5

1.5

mg
200

kg
20-24.9

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

plu 50 mg
200 mg

kg

plus 2x50

25-29.9

mg
200

kg

mg

plus 3x50
mg

2.9.5 REGIMEN KOMBINASI UNTUK DEWASA7


2NRTI + 1NNRTI atau

AZT + 3TC +EFV


AZT + 3TC + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Tidak dianjurkan regiman berbasis Protease Inhibitor (PI)


2.9.6 REKOMENDASI WAKTU MEMULAI ARV7
Target pasien
Asimtomatik

Klinis
WHO stadium 1

Rekomendasi
CD4 < 350
39

Simtomatik
TB dan Hepatitis B

WHO stadium 2
WHO stadium 3 atau 4
TB aktif

CD4 < 350


CD4 berapa pun
CD4 berapa pun diberikan
secepatnya setelah OAT 2

Ibu hamil

bulan
CD4 berapa pun

WHO stadium apa pun

Pemilihan obat yang berdasarkan pada kondisi pasien diantaranya adalah.


1. Kombinasi awal yang digunakan bagi pasien HIV dengan hasil lab normal
adalah AZT+3TC (Duviral) + NVP (Neviral).
2. Bila pasien tersebut sedang dalam pengobatab TB maka yang digunakan
adalah EFV. Setelah selesai pengobatan TB maka yang digunakan adalah EFV.
Setelah selsai pengobatan TB, EFV diganti dengan NVP.
3. Bila pasien tersebut memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah
TDF=3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T_3TC selama 6-12 bulan kemudian
regimen diganti menjadi AZT+3TC atau TDF+3TC.
4. Lopanavir/ritonavir digunakan sebagai lini kedua.

2.9.7 REGIMEN LINI PERTAMA YANG DIREKOMENDASIKAN PADA


DEWASA YANG BELUM PERNAH TERAPI ARV7
Populasi target

Pilihan

Dewasa remaja

direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC atau Piliha regimen yang sesuai

Perempuan hamil

yang Catatan

FTC + EFV atau NVP

untuk mayoritas odha

AZT+ 3TC _ EFV atau NVP

gunakan FDC
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertaa
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang
pernah

menjalani

regimen

PMTCT, lihat rekomendasi


Koinfeksi

dibagian lain
AZT atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat
FTC + EFV

mungkin (dalam 8 minggu


pertama) setelah mulai terapi
40

TB
Gunakan MVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
Koinfeksi HIV/HBV

digunakan.
TDF + 3TC atau FTC + EFV Pertimbangkan
atau NVP

screening

HBsAg sebelum mulai terapi


ARV
diperlukan

penggunaan

terapi ARV yang memiliki


aktivitas anti- HBV

2.9.8 REKOMENDASI WAKTU MEMULAI ARV PADA ANAK7


Jangka waktu
<24 bulan
>24 bulan

Stadium klinis
Status imunologis
Semua diobati
Stadium 4 (setelah stabilisasi
IO)
Stadium 3 (setelah stabilisai
(OI)
Stadium 2
Stadium 1

Yang diobati adalah CD4


kurang dari ambang batas
menurut umur, bila tidak ada
pemeriksaan CD4 tidak usah
diobati.

Selain itu regimen lini pertama yang digunakan pada bayi dan anak adalah sebagai
berilut;
Bayi:
1. pada bayi yang belum terpapar terapi ARV, mulai terapi dengan NVP + 2
NRTI
2. Pada bayi sudah terpapar NVP atau NNTRI lain pada saat dikandungan atau
pada saat bayi untuk pengobatan ibu atau PMTCT, mulai ARV dengan LPV/r
+ 2NRTI.
3. Untuk bayi yang terpapar terhadap terapi ARV tidak diketahui mulai dengan
NVP + 2NRTI.
41

Anak :
1. untuk anak yang berumur antara 12-24 bulan yang susah terpapar NVP atau
NNRTI lain pada saat di kandungan atau pada saat bayi untuk pengobatan ibu
atau PMCTC.
2. Untuk anak berumur antara 12-24 bulan yang belu terpapar NNRTI, mulai
terapi ARV dengan NVP + 2 NRTI.
3. Untuk anak yang berumur lebih 24 bulan dan kurang 3 tahun mulai terapi
ARV dengan NVP + 2 NRTI.
4. Untuk anak yang berusia 3 tahun atau lebih, mulai terapi ARV dengan regimen
NVP atau EFV + 2 NRTI.
5. Untuk bayi dan anak dasar nukleosida untuk regimen art harus satu diantara
berikut ini (tersusun menurut pilihan yang disarankan) 3TC + AZT atau 3TC +
ABC atau 3TC + d4T.

2.9.9 TERAPI RETROVIRAL UNTUK POPULASI KHUSUS7


- ARV PADA WANITA HAMIL
Terapi arv dimulai pada semua perempuan hamil dengan hiv. Regimen yang
digunakan adalah sama dengan regimen terapi antiretroviral dewasa lainnya, yaitu:
AZT + 3TC + EFV
AZT _ 3TC _ NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Efavirenz sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama

- ARV PADA KOINFEKSI HIV/HBV


Semua individu dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi
HBVnya (kepatitis kronik aktif0 terlepas dari jumlah CD4 atau stadium klinis WHO
harus memulai terapi ARV. Regimen terapi yang mengandungi aktivitas terhadap
42

HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV
dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat.

- ARV PADA KOINFEKSI HCV


Terapi infeksi hep C pada koinfeksi dengan HIV tidak berbeda dengan monoinfeksi
hep C, yaitu menggunakan kombinasi pegylated interferon alpha dan ribaviri (rbv).
Hanya saja pemberian obat ini harganya masih cukup mahal. Terapi untuk hepatitis C
ini sebaiknya diberikan pada saat CD4+ sudah tinggi, lebih dari 350 sel/mm3 untuk
mendapatkan respon pengobatan yang lebih baik.
Regimen ART pada keadaan koinfeksi HIV/HCV seperti biasa, dengan perhatian
khusus pada interaksi antara obat ARV dan ribaviri atau interferon sebagai berikut.
1. Ribaviri dan AZT
Kombinasi obat ini dapat menyebabkan anemia sehingga dalam penggunaan
keduanya perlu pengawasan ketat.
2. Interferon dan EFV
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan depresi berat sehingga dalam
penggunaannya perlu pengawasan ketat.

- ARV UNTUK KOINFEKSI HIV/TUBERKULOSIS


Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun
jumlah CD4. Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi
ARV sesegera setelahnya (dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI
pilihan pada pasien yang akan memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.
Lini
Lini
pertama

Regimen
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP

Pilihan
Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau

Lini

2 NRTI + PI

Lanjutkan dengan 2NNRTI + NVP


Ganti kea tau lanjutkan (bila sudah mulai )regimen
43

kedua

yang berisi LPV/r dengan dosis ganda.

2.9.10 GAGAL TERAPI ARV7


Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu criteria klinis, imunologis
dan virologist. Viral load yang menetap di atas 5000 kopi/ml mengkonfirmasi gagal
terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan gagal terap
menggunakan criteria imunologis untuk memastikan gagal klinis.
KRITERIA GAGAL TERAPI
Kegagalan
Gagal klinis

Komentar
Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang

SPI
Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria

berat)

dapat

merupakan tanda kegagalan


Imunologis

pengobatan.
Penurunan CD4 kembali seperti awal Tanpa infeksi penyerta lain
sebelum pengobatan (atau lebih rendah) yang
atau
Penurunan

menyebabkan

penurunan CD4 sementara.


sebesar

50%

dari

nilai

tertinggi CD4 yang pernah dicapai ketika


pengobatan atau
Virologis

Jumlah CD4 tetap < 100 sel/m3


Viral load plasma > 5000 kopi/ml

Ambang

batas

viral

load

optimal untuk mendefinisikan


kegagalan virologist belum
ditentukan VL>5000 kopi/ml
berhubungan
perkembangan

dengan
klinis

penurunan CD4
44

dan

Alur pemindahan lini pertama ke lini kedua7

Dicurigai kegagalan klinis atau


imunologis
VL > 5000 kopi/ml

Penatalaksanaan kepatuhan

Pemeriksaan ulang VL

VL <5000 kopi/ml

VL <5000 kopi/ml

Jangan pindah ke
lini kedua

Pindah ke lini
kedua

REGIMEN TERAPI ARV LINI KEDUA7


Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen lini
kedua direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah
TDF/AZT + 3TC + lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila padalini pertama
menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar
NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan TDF makan
gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua.
Panduan penggunaan regimen lini-2

Berbasis AZT/d4T
Berbasis TDF

Regimen lini 1
Regimen lini 2
AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV TDF +3TC/FTC + LPV/r
TDF
+
3TC/FTV
+ AZT + 3TC + LPV/r
45

Hepatitis B

NVP/EFV
TDF
+

3TC/FTC

NVP/EFV

+ AZT + TDF + 3TC/FTC +


LPV/r

2.9.10 MONITORING PASIEN7


Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor perjalanan
klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan seklai. Evaluasi klinis meliputi
parameter seperti pada evaluasi awal termausk pemantauan berat badan dan
munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan
CD4 ini digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap
kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai memenuhi syarta untuk terapi
profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu
dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekato ambang dan syarta memulai terapi
ARV.
Pasien dalam terapi ARV
Monitoring klinis.
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV. Monitoring
klinis perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak memulai terapi ARV.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping
obat atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi bacterial, kandidiansis dan atau infeksi
oportunistik lainya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi
ARV dan dukungan kepatuhannya.
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien dalam terapi ARV.
Tahap terapi ARV
Pada saat diagnosis HIV
Sebelum memulai ARV
Pada saat memulai ARV

Tes yang direkomendasikan


CD4
CD4
CD4

Tes yang dianjurkan


HbsAG
Hb untuk AZT, keratinin
klirens untuk TDF, SGPT

Pada saat menjalani ARV

CD4

untuk NVP
Hb untuk AZT, keratinin
46

klirens untuk TDF, SGPT


untuk NVP
Viral load

Pada saat kegagalan klinis


CD4
Pada
saat
kegagalan Viral load
imunologis
Wanita
yang

menjalani Viral load enam bulan setelah

PMTCT dengan NVP dosis memulai terapi ARV


tunggal

dengan

lanjutan

dalam 12 bulan

Monitoring lain
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak
direkomendasikan untuk digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC
tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan
penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan
imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau
terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana
pasien sepertinya mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu
keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan).

EFEK SAMPING TERAPI ARV


Obat
Zidovudin

Efek samping
Supressi sum sum tulang
Anemia

makrositi

Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini pertama,
atau TDF (atau d4T jika tidka ada pilihan

neutropenia

lain)

Intoleransi gastrointertinal, sakit Jika digunakan pada terapi lini kedua,


kepala, insomnia, asthenia

d4T

Pigmentasi kulit dan kuku


Asidosis laktat dengan steatosis
47

Stavudin

hepatic
Pancreatitis,

neuropati

perifer, AZT dan TDF

asidosis laktat denga steatosis


Lamivudin

hepatitis (jarang), lipotrofi


Toksisitas renda

Asidosis laktat dengan steatoses


Abacavir

hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas (dapat AZT atau TDF
fatal),
Demam, ruam kelelahan, mul
muntah, tidak napsu makan
Gangguan

pernapasan

(sakit

tenggorok, batuk)
Asidosis laktat dengan steatosis
Tenofovir

hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare, Jika digunakan pada lini pertama AZR
mual muntah, sering buang angin, (atau d4t jika tiada pilihan)
insufisiensi

ginjal,

sindroma Jika digunakan pada lini kedua,

fanconi

Secara

pendekatan

kesehatan

Osteomalasia

masyarakat, makan tidak ada pilihan

Penurunan densittas tulang

lain jika pasien telah gagal

Hepatitis eksaserbasi akut berat AZT/d4t pada terapi lini pertama,


pada

pasein

HIV

dengan Jika

koinfeksi

kemungkinan

dipertimbangkan

merujik ke tingkat perawatan yang

Hepatitis B yang menghentikan lebih tinggi dimana terapi individual


Emtricitabine
Nevarapin

Ritonavir
Lopinavir

TDF
Ditoleransi dengan baik
Reaksi hipersensitivitas

tersedia.
EFV

Sindroma steven-johnson

Bpi jika tidak toleransi terhadap kedua

Ruam

NNRTI

Toksisitas hepar

Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan lain.

hiperlipidemia
Hiperlipidemia
Jika digunakan pada lini kedua.
Intoleransi gastrointertinal, mual, Jika digunakna pada lini kedua.
pancreatitis,

hiperglikemial,

pemindahan

lemak

dan
48

Efavirenz

abnormalitas lipid
Reaksi hipersensitivitas sindroma NVP
steven-johnson

Bpi jika tidak toleran terhadap kedia

Ruam

NRTI

Toksisitas hepar

Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain.

Toksisitas sisterm saraf pusat


yang berat dan persisten (depresi
dan pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan efek teratogenik
(pada

kehamilan

trimester

pertama atau wanita yang tidak


mengganggu

kontrasepsi

yang

adekuat)

TERAPI GEN7
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan
dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini
bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus
tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk
menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi
menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA
antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu
translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk
replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di
dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang dilakukan
dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak
mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan
pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam
49

tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang
efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh
HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing)
dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV
sebagai vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen
asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan
dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan
HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children
Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National
Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan
menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi
HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan
HIV dengan menggunakan ribozyme.
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari
hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vector yang bisa
mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ,
seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis,
aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang
berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan
antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp
(base pair) sehingga lebih mudah digunakan.
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA)
berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA
terhadap protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV
digunakan sebagai sistem pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan
untuk pengobatan AIDS di seluruh dunia.

50

PENATALAKSANAAN STADIUM LANJUT1


Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak
komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa
penderita.
Zidovudin (ZDV)
Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan
penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke
susunan syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi
sebagai dosis awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV
1000mg, dalam 4-5 kali pemberian.
Pengobatan infeksi oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks
sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan
kelompok-kelompok pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut
lanjut, bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam
infeksi
bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul
keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah
tim.

PERAWATAN FASE TERMINAL1


Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat
disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada
fase terminal sebelum datangnya kematian.
Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan
hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak,
bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

2.10 PROGNOSIS
51

Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko
perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal
berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS
lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang
lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C
atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas
dan morbiditas menjadi rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2, edisi bahasa
Indonesia edisi 15, Jakarta 2010.
3. Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi:
Konsep Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG 2006. Hal .
224.

52

4. HIV

Discussion.

HIV

webstudy.

Available

at:

http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html. Accessed on
23 June.
5. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti
Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI; 2000. Hal162-163
6. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar
ilmu penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI: 2006. Hal 545-6
7. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional
pelayanan kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
8. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009
Current Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 11761205.

53

You might also like