Professional Documents
Culture Documents
TUGAS
MATA KULIAH
TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Oleh:
Bambang Sasmitoaji
140910301030
legalitas politik menjadi alasan kuat kenapa identitas komunitas LGBT menjadi semu, ilegal dan
sekaligus membawa polemik baru di dalam realitas pragmatis masyrakat Indonesia. Bagi mereka
(LGBT) tidak adanya pengakuan ini sangat bertentangan dengan hak-hak dasar negara yang
dijamin oleh konstitusi itu sendiri. Apalagi jika melihat nomenklatur Hak Azazi Manusia (HAM)
yang mewajibkan setiap negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negaranya. Menurut
deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), hak dasar individu terdiri dari; hak hidup, hak
kebebasan, dan hak memiliki kebahagiaan. Atas dasar deklarasi ini setiap individu berhak
mendapatkan ketiga hak tersebut dan wajib dijamin oleh negara. Hak-hak inilah yang lantas
dipermasalahkan oleh komunitas LGBT di Indonesia.
Dewasa ini, studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT atau Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender telah semakin ramai. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya fenomena
pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri. Kemudian diangkatnya wacana atau
sosok LGBT dalam media populer sehingga masyarakat semakin familiar. Hal tersebut turut
meramaikan pembahasan LGBT sekarang ini.
LGBT tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, status sosial maupun pekerjaan
bahkan agama. Dua tahun lalu atau tahun 2012 adalah masa dipertemukannya saya dengan isu
LGBT terutama gay. Alasan kala itu tak lain karena ingin mengetahui seperti apa dinamika
permasalahan LGBT khususnya gay secara langsung. Isu tersebut dipilih setelah mengamati
masih adanya tindakan pemberian stigma pada kalangan LGBT. Di kesempatan magang itulah
saya dipertemukan secara khusus dengan komunitas gay. Sebuah kesempatan yang cukup
mengejutkan. Sebab apa yang dibayangkan tentang gay melalui cerita dan pandangan
masyarakat sungguh berbeda. Penampilan luar mereka tidak ada beda dengan saya. Mereka tidak
kemayu rese menggoda seperti dalam sinetron atau program komedi. Tidak pula memakai baju
dengan warna mencolok mata. Sangat berbeda dari gambaran gay yang kerap muncul di layar
kaca.
Keberadaan kaum LGBT memang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat perkotaan.
Tidak sedikit tempat di setiap sudut kota besar selalu diramaikan dengan hingar bingar
kehidupan malam yang serba glamour, dan ditempat seperti itulah kaum LGBT seringkali dapat
kita. Keberadaan kaum LGBT ini di tengah-tengah masyarakat menuai kontroversi. Hal ini
dikarenakan kaum LGBT ini dianggap sebagai kaum minoritas yang memiliki penyimpangan
orientasi seksual.
Dengan demikian maka penting dilakukan analisa apakah LGBT merupakan tindakan
penyimpangan? Analisa fenomena LGBT tersebut dalam Ilmu Kesejahteraan sosial dapat dikaji
berdasarkan teori-teori penyimpangan perilaku.
TINJAUAN PUSTAKA
a.) Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpangdapat didefinisikan secara brbeda berdasarkan empat sudut pandang.
Pertama, secara statiskal. Definisi secara statiskal ini adalah salah satu yang paling umum dalam
pemicaraan awam. Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan secara statiskal adalah segala
perilaku yang bertolak suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku yang jarang dan tidak
sering dilakukan. Pendekatan ini berasumsi bahwa sebagaian besar masyrakat dianggap
melakukan cara-cara dan tindakan yang benar. Definisi ini sulit untuk diterima, karena dapat
mengarah pada beberapa kesimpulan yang membingungkan. Misalnya, ada kelompok minoritas
yang memiliki kebiasaan bebeda dengan kelompok mayoritas, maka apabila menggunakan
definisi statiskal, kelompok ini dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Jadi barang
siapa yang tidak pernah menggunakan mariyuana atau sabu-sabu, yang tidak pernah minumminuman berakohol, tidak pernah melakukan hubungan seksual premartial (sebelum menikah)
atau ekstramartial (diluar lembaga pernikahan, seperti perselingkuhan), mungkin dianggap atau
dipertimbangkan menyimpang apabila kelompok mayoritas melakukan tindakan tersebut.
Kedua, secara absolut atau mutlak. Definisi perilku menyimpang yang bersala dari kaum
absolutis ini berangkat dari aturan-aturan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang mutlak
atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dahulu, serta berlaku tanpa terkecuali, untuk semua warga
masyarakat. Kelompok absolutis berasumsi, bahwa aturan dasar dari masyarakat adalah jelas dan
anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai menyimpang dan bukan. Itu
karena standar atau ukuran dari suatu perilaku yang dianggap konformis sudah ditentukan
terlebih dahulu, begitupula dengan apa yang disebut menyimpang juga sudah ditetapkan secara
tegas. Dengan demikian, diharapkan setiap orang dapat bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
dianggap benar dan menghindari perilaku yang dianggap menyimpang.
Ketiga, secara reaktif. Perilaku menyimpang menurut reaktif bila berkenaan dengan dengan
reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.Artinya,
apabila ada reaksi dari masyarakat atau agen kontrol sosial dan kemudian mereka memberi cap
atau tanda (labeling) terhadap si pelaku, maka perilaku itu telah dicap menyimpan, demikian
pula si pelaku juga dikatakan menyimpang. Menurut Becker (dalam Clinard dan Meier, 1989: 5)
penyimpangan adalah sesuatau akibat yang kepada siapa cap itu telah berhasil diterapkan;
perilaku menyimpang adalah perilaku yang dicapkan kepadanya atau orang lain telah memberi
cap kepadanya. Dengan demikan, apa yang menyimpang dan apa yang tidak, tergantung dari
ketetapa (atau reaksi-reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan. Kaum reaktivis
menolak anggapan, bahwa apa yang dipertimbangkan menyimpang tergantung dari kualitas
pembawaan lahir seseorang atau tindakan-tindakan yang dianggap sebagai pembawaan lahir
seseorang. Artinya, merek menolak menolak pendapat dari ahli biologi yang mengatakan bahwa
ciri-ciri fisik tertentu dari seseorang dapat menjadi penanda khas seorang penjahat, misalnya
bentuk kepala dan rahang yang besar, hidung bengkok, rambut keriting, kulit puca, dan
sebagainya. Kaum reaktivis juga menolak anggapan bahwa perilaku menyimpang adalah turunan
atau warisan genetis orang tuanya.
Keempat, secara normatif. Sudut pandang ini didasarkan atas asumsi, bahwa penyimpangan
adalah pelanggaran dari norma sosial. Norma dalam hal ini adalah standar tentang apa yang
seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan, dikatakan, atau dilakukan oleh warga masyarakat
pada keadaan tertentu. Pelanggaran terhadap norma, seringkali diberi sanksi oleh penonton
sosialnya. Sanksi-sanksi ini merupakan tekanan dari sebagaian besar anggota masyarakat yang
merasa konfromis dengan norma-norma tersebut. Ada dua konsepsi umum tentang norma, yaitu:
(1) sebagai evaluasi atau penilaian dari tingkah laku, yaitu penilaian terhadap perilaku yang
dianggap baik atau tidak harusnya terjadi; (2) sebagai tingkah laku yang diharapkan atau dapat
diduga, yaitu menunjuk pada aturan-aturan tingkah laku yang didasarkan pada keiasaan atau adat
istiadat masyarakat.
b.) LGBT
LGBT merupakan sebuah singkatan dari, Gay, Biseksual, dan Transgender. Masing-
masing memiliki definisi sendiri jika di uraikan satu persatu. Lesbian adalah orientasi
seksual seorang perempuan yang hanya mempunyai hasrat sesama
perempuan. Gay adalah
dalam Ardhanary Institute dan HIVOS menyebutkan bahwa seksualitas memiliki aspek
kehidupan yang menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi
seksual dan identitas gender, identitas seksual. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktorfaktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual.
c.) Teori Perilaku Menyimpang
Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat
berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari perspektif teoritis. Perspektif
yang dapat digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang
seseorang atau sekelompok orang yang berprilaku menyimpang salah
satunya ialah perspektif dari teori-teori sosiologi yaitu salah satunya ialah
teori anomi dan teori labeling.
Teori Anomi, teori ini berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari
adanya bebagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu
yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Pandangan
tersebut dikemukakan oleh Robert Merton pada sekitar tahun 1930-an.
Teori lebeling (teori pemberian cap atau teori reaksi masyarakat),
menjelaskan
seseorang
penyimpanagan
terutama
ketika
perilaku
individu
atau
akan dianggap sebagai perilaku menyimapang. Titik permasalahan yang menjadikan sekelompok
orang menjadi menyimpang adalah cara manusia itu sendiri dalam mencapai tujuan. Semua
orang memiliki tujuan dan kehendak untuk mencapai kepuasan diri. Fenomena LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia masih dianggap menyimpang dan tidak mengikuti
norma-norma dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari stereotype LGBT yang ada di
dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Stereotype LGBT dalam masyarakat. Stereotype menurut Durkin (1995) adalah: An
extreme characteristics to the group with usually negative values attached to that group. Hal ini
menyebabkan kita akan kesulitan melihat kenyataan yang ada karena kita sudah terdoktrin oleh
pandangan-pandangan umum karena stereotype tersebut.
masyarakat kepada kaum Gay adalah feminim atau flamboyant. Mereka dinilai sebagai pria yang
memiliki sikap lebih feminism dari pada pria pada umumnya. Sedangkan Lesbian dinilai sebagai
wanita yang lebih maskulin dari pada wanita pada umumnya. Hal ini sangat berbeda dengan
kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Gay belum tentu bersifat feminim, dan Lesbian belum
tentu maskulin. Stereotype ini terjadi dikarenakan masyarakat lebih mudah menemukan kaum
Gay yang feminim dan kaum Lesbian yang maskulin dari pada kaum Gay yang maskulin dan
kaum Lesbian yang feminim, hal ini dikarenakan Gay maskulin dan Lesbian feminim lebih sulit
untuk dibedakan dengan pria dan wanita heteroseksual.
Heteroseksual adalah kebalikan dari homosesksual, atau ketertarikan seksual terhadap
lawan jenis. Laki-laki pada perempuan dan pula sebaliknya. Sedangkan biseksual hadir diantara
homoseksual dan heteroseksual, maka posisi biseksual bila digambarkan akan menjadi seperti
ini; heteroseksual hiseksual homoseksual (Oetomo, 2003). Biseksual menjadi diskursus
tersendiri bagi kalangan LGBT akibat posisinya yang berada di tengah-tengah. Tidak
Heteroseksual namun tidak pula Homoseksual sepenuhnya. Ini disebabkan sifat ketertarikan
pada dua jenis kelamin yang sama kuat pada Biseksual. Sedangkan Homoseksual adalah
ketertarikan secara emosional juga seksual kepada sesama jenis (baik untuk laki-laki maupun
perempuan) dimana ketertarikan tersebut tidak selalu diwujudkan dalam berhubungan seksual
penis-anus (Oetomo, 1996). Hubungan seksual penis-anus bukan eksklusif milik pasangan gay,
ini berupa satu dari banyak variasi perilaku seksual yang dapat juga ditemukan pada kalangan
heteroseksual. Artinya selama seseorang memiliki keterarikan emosional terhadap sesama jenis
maka ia punya sikap atau perilaku homoseksual dalam dirinya.
Seperti yang telah diuraikan diatas, gay adalah istilah yang merujuk pada lelaki
homoseksual, sedangkan lesbian untuk perempuan homoseksual. Pemberian istilah ini mengacu
pada persoalan identitas gender serta orientasi seksual yang meliputi emosional, pola pikir dan
perilaku dari laki-laki atau perempuan homoseksual. Pada perkembangannya istilah gay diartikan
bersifat meriah, riang, cerah dan penuh kehebohan dalam kamus Merriam Webster. Sikap
meriah, riang, dan cerah yang melekat gay diartikan juga sebagai bentuk keberanian mereka
untuk memunculkan diri di masyarakat, dan memposisikan diri dalam tren budaya populer
(Gauntlett, 2002). Sayangnya sikap riang, meriah, cerah serta keterbukaan kebanyakan gay ini
membangun persepsi yang salah dalam masyarakat, yakni disamakan dengan waria (Oetomo,
2003). Penyamarataan gay dengan waria lantaran masyarakat tidak bisa menerima keberadaan
lelaki, yang kadang kemayu atau bertingkah feminin (Budiman, 2000) sebab dianggap tidak.
memenuhi standart maskulin pada laki-laki dalam budaya masyarakat heteroseksual yang
patriarki (Abdullah, 2001). Oleh sebab mereka berada diluar kebiasaan masyarakat
Heteroseksual, maka lahirlah stigma dan diskriminasi.
Undang-undang HAM 39/1999 pasal 1 ayat 3 mencatat definisi diskriminasi, adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
azasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Meskipun begitu,
agama sering kali menjadi tameng bagi para penentang hak LGBT, dalam. wilayah Indonesia
terutama agama Islam. Oleh karena kajian komprehensif mengenai islam Indonesia sangat jarang
menyinggung homoseksual, hal ini mencerminkan homoseksual atau gay menjadi sesuatu yang
tidak dapat dibandingkan dengan Islam sebagai wacana publik di Indonesia (Boellstorff, 2005).
Stigma dan diskriminasi telah merebut hak-hak para gay, antaranya hak mendapat
perlindungan, rasa aman serta berkumpul sebagai sarana aktualisasi diri sebagai kebutuhan
mendasar setiap manusia (Maslow,1943 dalam Gibson dkk, 1996). Hilangnya hak-hak dalam
hidup seperti disebut oleh Maslow, ditanggapi Gibson dkk dengan lahirnya motivasi pada atau
dalam diri individu masingmasing. Proses mendapatkan kembali hak mendasar ini, diwujudkan
dengan merangkul individu berdasarkan kesamaan latar belakang, kesamaan motivasi dan
tujuan, lantas membangun perkumpulan atau komunitas. Komunitas yang dijadikan sebagai
ruang membangun identitas mereka guna merespon proses kehidupan yang terus berlangsung
(Friedman, 1994). Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia
masih dianggap menyimpang dan tidak mengikuti norma-norma dalam masyarakat. Fenomena
seperti ini merupakan ranah pekerja sosial sebagai suatu ilmu yang memfokuskan intervensinya
pada proses interaksi antara manusia dengan lingkunganya, dengan menggunakan teori-teori
penyimpangan perilaku.
Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia masih
dianggap menyimpang dan tidak mengikuti norma-norma dalam masyarakat. Fenomena seperti
ini merupakan ranah pekerja sosial sebagai suatu ilmu yang memfokuskan intervensinya pada
proses interaksi antara manusia dengan lingkunganya, dengan menggunakan teori-teori perilaku
menyimpang dari perspektif sosiologi.
Sosiologi merupakan slah satu Ilmu sosial yang banyak mempengaruhi perkembangan
disiplin pekerjaan sosial secara lebih khusus, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial secara lebih umum.
Salah satu disiplin Sosiologi pada Ilmu Kesejahteraan Sosial antara lain dalam kaitan dengan
pemahaman keteraturan sosial dan norma sosial. Dalam suatu masyrakat selalu terdapat norma
sosial yang membuat keteraturan sosial di masyarakat tersebut. Akan tetapi bentuk norma sosial
dan keteraturan sosial di suatu daerah ataupun komunitas belum tentu sama dengan di daerah
lain. Sehingga seorang agen perubah harus memahami norma sosial dan keeraturan sosial yang
terdapat di daerah tertentu.