Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) atau juga dikenal eritema multiforme mayor adalah
suatu kelainan mukokutaneus akut akibat reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis pada kulit
bervariasi dari mekula eritema, papula, vesikel dan bula disertai lesi yang mengenai dua atau
lebih mukosa (oral,konjungtiva,anogenital) dan dapat menyerang organ lain disertai gejala
sistemik (Parrillo,2010;Djuanda,2008).
Penyebab utama SJS adalah alergi obat (50%). Sebagian kecil lainnya adalah karena
infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Obat-obat yang sering
menyebabkan SJS adalah antibiotic golongan sulfonamid, antikonvulsan, NSAID golongan
oksikam dan diklofenak, allopurinol, lamotrigin dan nevirapine. Selain itu antibiotik golongan
penisilin, kuinolon, tetrasiklin dan kortikosteroid dilaporkan dapat menjadi penyebab SJS.
(Allanore,2008;Djuanda,2008)
Angka kejadian SJS pada umumnya jarang terjadi. Di Eropa dan Amerika Serikat,
dilaporkan angka kejadiannya berkisar antara 1-6/1 juta populasi. Di Indonesia sendiri pada
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI RSCM terdapat kira-kira 12 pasien dalam 1
tahun. Prevalensi9 kejadian SJS lebih sering terjadi pada usia dewasa, hal ini dikarenakan sistem
imunitasnya telah berkembang. Rasio angka kejadian SJS pada pria disbanding wanita adalah
2:1. ((Allanore,2008;Djuanda,2008;Parrillo,2010).
SJS ini merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Gejala klinis SJS
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan berat pasien mengalami penurunan kesadaran
menjadi sopor bahkan koma (Djuanda,2008)
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Suatu kelainan mukokutaneus akut akibat reaksi hipersensitivitas dengan gejala
klinis pada kulit bervariasi dari mekula eritema, papula, vesikel dan bula disertai lesi
yang mengenai dua atau lebih mukosa (oral,konjungtiva,anogenital) dan dapat
menyerang organ lain disertai gejala sistemik (Parrillo,2010;Djuanda,2008).
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian SJS pada umumnya jarang terjadi. Di Eropa dan Amerika Serikat,
dilaporkan angka kejadiannya berkisar antara 1-6/1 juta populasi. Di Indonesia
sendiri pada bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI RSCM terdapat kira-kira
12 pasien dalam 1 tahun. Prevalensi9 kejadian SJS lebih sering terjadi pada usia
dewasa, hal ini dikarenakan sistem imunitasnya telah berkembang. Rasio angka
kejadian
SJS
pada
pasien
pria
dibandingkan
wanita
adalah
2:1.
(Allanore,2008;Djuanda,2008;Parrillo,2010).
2.3 Etiologi
Penyebab utama SJS adalah alergi obat (50%). Sebagian kecil lainnya adalah i,
vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Obat-obat yang sering
menyebabkan SJS adalah antibiotic golongan sulfonamid, antikonvulsan, NSAID
golongan oksikam dan diklofenak, allopurinol, lamotrigin dan nevirapine. Selain itu
antibiotik golongan penisilin, kuinolon, tetrasiklin dan kortikosteroid dilaporkan
dapat menjadi penyebab SJS. (Allanore,2008;Djuanda,2008)
3
2.4 Patogenesis
Penyakit ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan sistem imun
(hipersensitivitas tipe II). Walaupun secara biomolekuler dan seluler belum dapat
diketahui pasti namun beberapa penelitian telah menduga beberapa pathogenesis
terjadinya SJS. Metabolit obat tertentu yang tidak dimetabolisme secara sempurna
dianggap sebagai hapten antigen. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T termasuk
CD-4 yang terutama terdapat di dermis dan CD-8 yang terutama terdapat pada epidermis.
Pola imunologi pada lesi awal diduga terjadi akibat reaksi cell mediated citotoxic (CD-8)
yang menyerang sel keratinosit yang berikatan dengan metabolit obat sehingga terjadi
apoptosis keratinosit besar-besaran (massive apoptosis). CD-8 dan sel NK (natural killer)
merusak sel-sel epidermis pada reaksi bula di fase awal. Sedangkan dominasi monosit
terjadi pada fase akhir. CD-8 mengikat sel keratinosit dan hapten obat melalui reseptor
dan , kemudian kerusakan sel keratinosit disebabkan oleh protein sitotoksik yaitu
granzyme B dan perforin. Di saat terjadi ekspansi CD-8 besar-besaran, terdapat sel-T
regulator yaitu CD-4 dan CD-25 yang mencegah meluasnya lesi yang terjadi pada SJS.
Sitokin-sitokin yang berperan pada SJS adalah IL-6 & TNF selain itu juga terdapat Fas
Ligand yang diduga memperberat lesi (Allanore,2008;Djuanda,2008).
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis SJS biasanya dimulai sejak 8 minggu (terutama 4-30 hari) setelah
minum obat yang diduga sebagai penyebabnya. Tetapi pada individu tertentu juga dapat
berkembang cepat dalam beberapa jam. Gejala nonspesifik seperti demam, headache,
rhinitis, dan myalgia mengawali lesi mukokutan dalam 1-3 hari pertama. Gejala awal
lainnya yang tidak khas adalah nyeri menelan dan rasa terbakar pada mata. Terdapat 3
4
gejala klinis yang terjadi, yaitu gejala non spesifik, gejala yang menyerang kulit dan
gejala yang menyerang mukosa (Allanore,2008).
Gejala yang menyerang kulit berupa erupsi kulit yang bervariasi yang terjadi
secara simetris pada wajah, tubuh bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal. Dan lesi
dapat menyebar secara cepat dalam hitungan jam. Lesi-lesi awal yang terjadi berupa
macula eritematous, purpura, vesikel, dengan batas tidak jelas, dan bergabung secara
cepat. Target lesi yang tidak spesifik berwarna gelap ditengahnya juga sering dijumpai.
Nikolsky sign dapat dijumpai dengan menekan bagian yang eritema. Pada tahap ini
muncul bula yang kendor dan mudah pecah. Pada SJS epidermolisis/nikolsky sign kurang
dari 10% luas permukaan tubuh, berbeda dengan Nekrolisis epidermal toksik yang
mencapai lebih dari 30% (Allanore,2008).
Gejala yang menyerang mukosa hampir ditemukan 90% pada seluruh kasus
dengan lesi kulit. Diawali dengan eritema kemudian diikuti erosi yang nyeri pada mukosa
buccal, mata dan genetalia. Cavum oris dan tepi vermillion dari bibir adalah tempat yang
paling sering terkena dengan gambaran erosi dengan perdarahan yang nyeri dan tertutup
pseudomembran putih abu-abu serta crusta pada bibir. Sekitar 85% pasien didapatkan lesi
konjungtiva berupa hiperemi, erosi, kemosis, fotofobia dan lakrimasi. Pada gejala yang
berat dapat menyebabkan ulkus kornea, uveitis anterior, konjungtivitis purulen dan
sinekia (Allanore,2008).
Gambar 2.2 Lesi mukosa Stevens-johnson
Syndrome. A. Erosi dan nekrosi pada
mukosa oral dan bibir bawah. B. Erosi,
krusta pada bibir dan pergantian bulu mata.
MN pembuluh darah dermis superfisialis, edema dan ekstravasasi sel darah merah di
dermis papil, degenerasi hidropik lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis
intrasel di epidermis (Djuanda, 2008, Magro, 2009).
Akut, prodromal
8
2.4
Gambaran
Epidermal
klinis
Toksik
(Allanore,2008).
dan anak-anak
Lesi kulit: eritema, bula kendor, epidermolisis
Lesi mukosa: jarang terjadi
2.9 Penatalaksanaan
SJS ini merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat meliputi:
2.10 Komplikasi
Selama fase akut komplikasi yang paling berat adalah sepsis, hal ini dikarenakan
hilangnya lapisan epidermis menyebabkan kulit mudah terinfeksi. Kehilangan elektrolit
dan cairan dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama dapat menyebabkan
komplikasi syok. Sekitar 15% dari seluruh kasus SJS didapatkan komplikasi pulmonal
dan sekitar 30% terjadi kegagalan multiorgan. Komplikasi juga terjadi pada mata sekitar
20-75% seluruh kasus SJS. Komplikasi lain dapat memberikan gambaran kulit
10
11
BAB 3
RINGKASAN
12
Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat memberikasn prognosis yang baik.
Prognosis buruk apabila telah terjadi komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
13