You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki kurang lebih 18.110 pulau
dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan konvensi hukum
laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan
seluas 3,2 juta km^2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta
km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu, Indonesia juga
memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan
berbagai
kepentingan
terkait
seluas 2,7 juta km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEE) (Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).
Olehnya itu dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia
seperti laut yang demikian luas itu diperlukan berbagai macam payung
hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola, memanfaatkan dan
menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan di seluruh Indonesia.
Disinilah peran dan fungsi hukum untuk melindungi dan mempertahankan
keberadaan wilayah agar tetap dalam wewenang dan kedaulatan rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Perilaku masyarakat haruslah mencerminkan
sikap yang pro penegakan hukum dan sesuai dengan hukum dan mekanisme
yang berlaku di dalam masyarakat. Kedua aspek tersebut baik kesejahteraan
dan keselamatan harus berjalan seiring sejalan untuk mencapai harmonisasi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setiap individu bersamaan
kedudukannya didepan hukum (equal before the law). Prinsip inipun harus
tetap diterapkan dalam perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan dan
pengawasan wilayah pesisir di seluruh Indonesia.
Sementara itu hukum positif yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir sampai saat ini tidak pernah memberikan pengaturan secara
spesifik, artinya wilayah pesisir sebagai bagian dari wilayah nasional tunduk
pada pengaturan yang berlaku umum baik untuk unsur lautnya maupun
unsur daratnya. Unsur lautnya tunduk pada pengaturan hukum laut dan
mengenai unsur daratnya tunduk pada pengaturan mengenai tanah dan air.
Sedangkan pengaturan mengenai sumber-sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalam tanah dan airnya tunduk pada undang-undang yang
memberikan
wewenang
khusus
kepada masingmasing departemen secara sektoral-sentralistik (Suparman).
Dalam pengelolaan wilayah pesisir tersebut, hukum harus mampu
memberikan dan fungsi dan peranannya dengan sebaik-baiknya. Fungsi dan
peranan
hukum
menurut
Suparman adalah sebagai berikut :

1. Fungsi direktif, dimana hukum harus berfungsi sebagai pengarah


pembangunan secara terencana dan konsisten sehingga dapat mencapai
tujuannya
secara
efektif
dan
efisien.
2. Fungsi integratif, artinya tidak ditemukan adanya kontradiksi atau
inkonsistensi baik dalam perumusan pasal-pasalnya maupun dalam
pelaksanaanya. Selain itu, integral juga berari hukum harus berfungsi
sebagai
sarana
pengintegrasian
bangsa
dalam
artian
harus
dapat mencegah perpecahan yang disebabkan oleh timbulnya berbagai
kesenjangan baik secara ekonomi maupun sosial.
3. Fungsi stabilitatif, artinya memberikan stabilitas terhadap kehidupan
bermasyarakat
secara umum.
4. Fungsi korektif, dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau
kekeliruan dalam penetapan pengaturan, antara lain karena adanya
perubahan
dalam
pemilihan
kebijakan yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaannya.
5. Fungsi perfektif, yaitu untuk menyempurnakan keadaan yang sudah baik
kearah keadaan yang mendekati kesempurnaan. Tujuannya agar banyak
anggota masyarakat yang dapat merasakan manfaat positif dari kinerja
pengaturan
sehingga
kehidupan
dapat dinikmati dengan lebih baik dan dalam suasana tertib dan damai.
Sedangkan peranan hukum adalah untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat pada umumnya agar
kehidupan bermasyarakat dapat berlangsung dengan tertib dan teratur.
Sedangkan manfaat hukum sangat tergantung pada bidang-bidang yang
diaturnya
dan
siapa
saja
yang
memiliki kepentingan atas bidangbidang pengaturan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir?
2. Bagaimana prinsip keadilan social di wilayah pesisir?
3. Bagaimana pengaturan penguasaan dalam kepemilikan tanah di
wilayah pesisir?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir.
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip keadilan social di wilayah
pesisir.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan penguasaan dalam
kepemilikan tanah di wilayah pesisir.

D. Manfaat
Manfaat makalah ini yaitu agar dapat mengetahui apa yang dimaksud
dengan wilayah pesisir, bagaimana prinsip keadilan social dalam hal
pengaturan penguasaan kepemilikan tanah di wilayah pesisir.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wilayah Pesisir
1. Pengertian
Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang
unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan
tempat bertemunya daratan dan lautan. Sementara itu, Soegiarto (1976)
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan
laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran.
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan
daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh
percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah
paparan benua (continental shelf) (Beatley et al., 1994)
2. Batas-batas wilayah pesisir
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore).
Belum ada ukuran baku mengenai batas ke arah darat dan ke arah laut dari
wilayah pesisir. Namun, berdasarkan ukuran yang telah diimplementasikan

dalam pengelolaan wilayah pesisir di beberapa negara, dapat dirangkum


sebagai berikut:
1. Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak
secara arbitrater dari rata-rata pasang tinggi (Mean Hight Tide), dan
batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi
propinsi
2. Untuk kepentingan pengelolan, batas ke arah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk
wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah
pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day
management). Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh
daerah daratan
(hulu)
apabila
terdapat
kegiatan
manusia
(pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
(significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Oleh karena
itu, batas wilayah pesisir ke arah darat utuk kepentingan perencanaan
(planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu program
pegelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah
pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka
wilayah
perencanaan
selalu
lebih
luas
daripada
wilayah
pengaturan.Dalam pengelolaan wilayah sehari-hari, pemerintah (pihak
pengelola) memilki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau
menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, kewenangan
semacam ini di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone)
sehingga menjadi tanggung jawab bersama antara instansi
pengelolaan wilayah pesisir dalamregulation zone dengan instansi
yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.
3. Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah.
Contohnya negara bagian California yang pada tahun 1972
menetapkan batas wilayah pesisirnya sejauh 1.000 meter dari garsi
rata-rata pasang tinggi, kemudian sejak 1977 batas tersebut menjadi
batas arbitrater yang bergantung pada isu pengelolaan.

B. Pengaturan Penguasaan Dalam Kepemilikan Tanah Di


Wilayah Pesisir
Penguasaan, berasal dari kata kuasa, artinya kemampuan atau
kesanggupan untuk berbuat sesuatu; atau kekuatan; kewenangan atas
sesuatu yang menentukan; memerintahkan; mengurus dan lain-lain.

Penguasaan atau menguasai dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti
yuridis. Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh
hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang haknya
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Penguasaan juga ada yang
disebut penguasaan hak bawah dan hak atas. Penguasaan hak bawah atas
tanah adalah penguasaan yuridis, artinya mempunyai bukti-bukti
kepemilikan berupa sertifikat atau bukti lain, kemudian penguasaan hak atas
tanah adalah penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau
menguasai tanah secara legal maupun ilegal.
Faktor penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting
dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebidang
tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang
selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti
tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Dengan demikian tidak
cukup hanya dengan menguasai secara yuridis yaitu dengan memegang
surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada penguasaan secara fisik atas
tanah.
Berdasarkan aspek penguasaan tanahnya, sebagai contoh kawasan
pantai di Kecamatan Medan Belawan. Perumahan penduduk nelayan yang
letaknya sporadis yang berada pada kawasan pantai pada umumnya dengan
konstruksi rumah panggung dengan ketinggian lantai dari permukaan air laut
pada saat surut sekitar 1-2 meter. Letak rumah panggung tersebut banyak
yang masih berada di kawasan pelabuhan Belawan atau dalam daerah Hak
Pengelolaan, namun demikian pihak pelabuhan Belawan membiarkan
penduduk setempat membangun rumah di kawasan tersbut. Menurut pihak
Administratur Pelabuhan Belawan telah berkali-kali melakukan pelarangan
atas penguasaan tanah dengan membangun rumah panggung di kawasan
pelabuhan, namun diakuinya sulit ditertibkan, bahkan melalui kerjasama
dengan pihak Pemerintah Daerah, sudah beberapa kali diupayakan pindah
ke Desa Nelayan Kecamatann Labuhan Deli, tetapi masyarakat nelayan
tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan air, mencari nafkah dari laut
merupakan satu kesatuan dengan kehidupannya. Oleh karena itu penduduk
nelayan tetap bertahan dengan kondisi ekonomi seadanya.
Hingga saat ini, penguasaan tanah oleh masyarakat nelayan yang
membangun rumah tempat tinggal dengan konstruksi panggung di kawasan
pantai tersebut tidak ada ditemukan bukti-bukti penguasaan secara tertulis,
kalaupun ada hanya dalam bentuk surat segel atau sudah di bawah tangan
yang dibuat oleh penduduk itu sendiri, tidak pernah ada surat-surat
penduduk yang menerangkan penguasaan atas tanah di kawasan pantai
tersbut yang dilegalisasi oleh aparat pemerintah, baik dalam surat
keterangan maupun surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Lurah atau
Camat setempat. Penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut tidak
didasarkan pada surat-surat tanah yang sah, tetapi rumah yang dikuasai
oleh penduduk setempat telah berlangsung sejak lama dan turun-temurun
dari nenek moyangnya.

Pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang


per orang, kelompok orang atau badan hukum tertentu dengan tanah
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang UUPA.
Ketentuan hukum pengaturan penguasaan tanah dilihat dari Pasal 33
ayaat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya
alam tersebut termasuk dalam pengertian dikuasai oleh Negara tersebut
kemudian dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditetapkan :
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian
pada ayat (2) diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam
ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan
bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian dikuasai
bukan berarti dimiliki akan tetapi adalah pengertian yang memberi
wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa
Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal
2 ayat (2) UUPA tersebut.
Secara normatif, kekayaan sumber daya pesisir dikuasai oleh Negara
untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian
besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir
justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan
dengan masyarakat darat lainnya.
Perbedaan penerapan konsep pemilikan dan penguasaan
sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang
berhak untuk mengelolanya. Hal ini mendorong berbagai stakeholder untuk
mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau
tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif
untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.
Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia terjadi konflikkonflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing
mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya

pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendorong


terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status
kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir
dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut
dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat
yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.
Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan
wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960
terjadi Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas
pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai.
Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang
berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini
pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim.
Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama
dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland).
Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki
kekayaan
sumberdaya
alam
dan
jasa-jasa
lingkungan
(environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan
ekonomi.
Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2,
dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;
2. Secara ekologis, terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki
batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga
bersifat insular;
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang
tipikal
dan
bernilai
tinggi;
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian
besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, masyarakat pulau-pulau bersifat
khas dibandingkan dengan pulau induknya.
Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang
tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil. Di sinilah ekosistem
dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun
(sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove)
ditemukan. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa
lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Pada sisi yang lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang
cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan
resiko erosi (penenggelaman). Oleh karena itu, pilihan pembangunan pulaupulau kecil merupakan gabungan dari 2 sisi ini. Kegiatan yang bersifat
ekstraktif (eksploitatif), seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi

air, dan sebagainya, merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas


ekstraktif justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya
lain, dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam. Negaranegara yang telah maju dalam mengelola pulau-pulau kecilnya, di antaranya
Fiji, mengandalkan pariwisata dan budidaya perikanan berbasis masyarakat
sebagai strategi pembangunannya.

C. Penerapan Prinsip Keadilan Di Wilayah Pesisir


Selama ini ada perdebatan menarik menyangkut privatisasi wilayah
pesisir hingga pulau kecil. Pasalnya hak pengusahaan perairan pesisir (HP3)
dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil menjadi biang keroknya. Belum usai kontroversi itu, pemerintah
kembali membuat blunder. Pemerintah mau meng-cluster laut di sebelas
wilayah pengelolaan perikanan (WPP) melalui Peraturan Menteri (Permen) No
5 Tahun 2008 lalu direvisi menjadi Permen No 12 Tahun 2009. Intinya semua
memprivatisasi kelautan dan perikanan.
Privatisasi pulau kecil mulai dari penjualan hingga penyewaan
sebetulnya sudah lama berlangsung. Sayangnya pemerintah daerah kerap
tak tahu atau mendiamkannya. Apalagi secara geografis letaknya jauh dari
daratan induknya sehingga kerap abai dari perhatian. Jangankan di
perbatasan maritim Indonesia semacam Kepulauan Mentawai, Kepulauan
Natuna hingga perairan Laut Timor di Nusa Tenggara (NTT dan NTB).
Rencana penjualan Pulau Sitabok di Kabupaten Sumenep seharga Rp 3 miliar
oleh warga Kanada yang bermukim di Bali mengagetkan hingga luput dari
perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Asas pemerataan ditujukan pada manfaat ekonomi sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dinikmati oleh sebagian besar
anggota
masyarakat.
Asas peran serta masyarakat dimaksudkan:
1. agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peran dalam
perencanaan,
pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian;
2. memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan
pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber
daya
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil;
3. menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan
tersebut;
4. Memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil.
Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dari tahap perencanan,
pemanfaatan,
pengendalian,
sampai
tahap

pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan


atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan dari
Pemerintah kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus
urusan
pemerintahan
di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau
kecil
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Asas keadilan merupakan asas yang berpegang pada kebenaran, tidak berat
sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam pemanfaatan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Adanya, klausul HP3 (termasuk pulau kecil) dalam UU No 27 Tahun
2007 justru semakin melegitimasi penguasaan, penyewaan, hingga
penjualan sebuah pulau kecil. Pengusaha asing hingga domestik yang sudah
dan berniat menguasai/memiliki pulau kecil bagaikan kejatuhan durian
runtuh. Hak eksklusif (exclusive right) yang selama ini tak legal berubah jadi
legal. Pengusaha asing akan menggunakannya baik secara langsung (direct)
maupun tak langsung (indirect). Secara langsung, pengusaha asing akan
menggunakan mekanisme HP3 untuk menguasai sebuah pulau kecil mulai
dari daratan, permukaan air, badan air, hingga di bawah dasar laut
sekelilingnya. Hak guna usahanya pun berlangsung hingga 20 tahun.
Secara tak langsung, pengusaha asing akan menggunakan dan
mengatasnamakan orang domestik melalui mekanisme perkawinan.
Penguasaan Pulau Penyawaan oleh orang asing di gugusan Kepulauan
Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, yang mengatasnamakan istrinya orang asli
daerah itu sudah membuktikannya. Pola serupa tak hanya berlangsung di
Kepulauan Karimun Jawa melainkan juga di Kepulauan Riau. Orang-orang
kaya Singapura yang menguasai/memiliki kawasan pesisir Pulau Bintan,
Kepulauan Natuna, Kepulauan Anambas, hingga pulau kecil dengan
membangun resor yang kepemilikannya juga mengatasnamakan istrinya
atau orang lokal sebagai mitranya. Orang luar yang mau masuk kawasan itu
harus membayar tiket hingga Rp500.000. Padahal, pengusaha Singapura
sekaligus pemilik resor tidak butuh tiket masuk. Tapi, kapal pesiarnya
langsung berlabuh di pinggir resornya tanpa rintangan apa pun. Ini berarti
pulau-pulau sudah jadi miliknya.
Bisa juga mengatasnamakan orang lokal hingga memosisikan
pemerintah daerah sebagai mitra bisnisnya, tapi permodalannya bersumber
pihak asing. Hal ini akan mempermudah mendapatkan perizinan termasuk
nantinya pola HP3. Contohnya, orang Malaysia yang ikut memiliki saham
kepemilikan mengelola hingga memanfaatkan Pulau Komodo bersama The
Natura Conservation (TNC) dan Pemerintah Daerah NTT sebagai daerah
wisata. Pulau Komodo berubah jadi kawasan eksklusif dan nelayan
tradisional amat sulit mendapatkan hak akses hingga kelola akibat
keamanan swasta (private security) menjaganya. Pun, orang Inggris telah
menguasai/membeli Pulau Bidadari di kawasan Taman Nasional Komodo.

Pola terakhir tak menggunakan mekanisme perkawinan atau mitra


bisnis. Melainkan melalui 'kolusi' dengan pemerintah lokal yang bermental
pedagang. Hadirnya HP3 bagai aji mumpung bagi birokrat demikian. Mereka
akan berkolusi dengan pengusaha asing hingga lokal untuk memuluskan
perizinan untuk penjualan hingga penyewaan sebuah pulau. Apalagi undangundang otonomi daerah membolehkan investasi langsung (foreign
investment) ke daerah.
Mekanisme HP3 yang membolehkan penguasaan pulau kecil oleh
pengusaha (asing hingga domestik) identik dengan tindakan pengurangan
luas wilayah negara. Bukankah tindakan ini mengancam kedaulatan nasional
kita atas pulau-pulau kecil baik yang berlokasi di wilayah perbatasan
maritim, laut teritorial, hingga perairan khusus (teluk, delta, estuaria, hingga
selat)? Amat disayangkan lagi, pemerintah memosisikan masyarakat adat
sebagai alat untuk mempercepat pemberlakuan HP3 dengan alasan
melindunginya. Sulit membayangkan kepentingan bisnis (pemilik modal)
yang berorientasi 'keuntungan' bersanding dengan kepentingan masyarakat
adat yang berorientasi 'budaya dan ekologis'. Pasti kepentingan pemilik
modal akan memenanginya karena masyarakat kita amat rentan dengan
kemiskinan hingga ketidakadilan ekonomi. Buktinya, di Pulau Kandui yang
mau dijual itu sudah mengambil alih tanah ulayat milik masyarakat adat
Mentawai yang berubah jadi resor mewah. Padahal hingga kini, pulau itu
masih menyisakan tujuh rumah adat simbol masyarakat adat Mentawai.
Selama ini, perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah
bayang-bayang doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak
atas
perairan
pesisir.
Harus diakui dominasi doktrin open access masih kuat menguasai benak
para pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka menganggap perairan pesisir
dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan
bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Bagi
penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya
diterbitkan hak, sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan
membatasi akses orang lain.
Pandangan semacam ini sangat anti-sejarah dan tidak sesuai dengan
tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Sebuah risalah
menjelaskan bahwa doktrin open access sebenarnya berakar pada tradisi
masyarakat Negara-negara Atlantik Utara. Menurut tradisi ini, setiap orang
mempunyai hak untuk menangkap ikan di perairan mana saja sebagai
perwujudan hak asasi manusia. Karena itu, pengaturan yang membatasi hak
asasi tersebut, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota, tidak
diperkenankan.
Akan tetapi, sesudah wilayah perikanan mereka mengalami degradasi
dan overfishing, maka muncul kepentingan untuk menularkan doktrin
tersebut ke negara lain, tidak terkecuali Indonesia, demi kelangsungan
industri perikanan mereka. Harapannya, ketika doktrin menular ke negara
lain, maka kebijakan negara itu sudang barangtentu akan memberi akses
bagi armada perikanan Atlantik untuk ikut mengeksploitasi perairan pesisir

dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal, negaranegara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan perairan pesisir
dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka, Filipina, dan Thailand,
jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan keikutsertaan, bahkan
ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi
pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan
secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan ijin
dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para nelayan
seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk
menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang
hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan.
Sasi laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di
Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan
pesisir
bernuansa
property
right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian tertentu
dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas tertentu dengan
memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri. Mereka yang
bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan sumberdaya perairan
pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Seiring perkembangan sejarah, berkembang pulalah budidaya laut,
seperti budidaya mutiara dan rumput laut, pada kenyataannya juga
memerlukan penguasaan perairan pesisir secara permanen dan eksklusif.
Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya diberikan ijin sebagai basis
legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga tingkat kepastian hukumnya
pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian, perusahaan budidaya mutiara
tergusur lantaran ada peruntukan lain yang datang belakangan. Sesuatu
yang tidak akan pernah terjadi sekiranya mereka memiliki HP3. Bahkan
untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun mereka tidak punya, sehingga
sangat rentan terhadap penggusuran untuk kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis,
sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga pembuat UU tidak ada keraguan
untuk mengesahkannya. HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha
kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup
permukaan laut, kolom air hingga permukaan dasar laut. HP3 dapat
diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20
tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat
kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka
peluang perpanjangan kedua. Seperti halnya hak-hak tradisional atas
perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk
mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat
dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka
waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.

Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan


pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan
pelaksanaannya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi
syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan pengelolaan),
administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung
ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak
masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah
ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana
Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi
dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa
tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan
wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan
kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. Seperti halnya
sumberdaya
alam
lainnya,
sumberdaya
perairan
pesisir
diatur
peruntukannya oleh Negara yang diwakili oleh Pemerintah dan DPR sebagai
representasi politik rakyat. Inilah basis konstitusional pengaturan HP3
melalui UU-PWP3K.
UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah
WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat (Pasal 18). Norma ini
belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek
hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang
memberikan prioritas kepada masyarakat adat. Seperti disinggung
sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat
level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai
dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan ditetapkan
dalam waktu dekat ini, Pemda wajib membentuk Komite Representasi
Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan
tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk
nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan
Komite yang demikian ini diharapkan mampu menjaga kepentingan
masyarakat adat/lokal.
Derajat keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda juga
diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
Peran serta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Renstra, Rencana Zonasi,
Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Dalam proses penyusunan Renstra,
misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan
tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional
keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana. Proses
penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang
HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan
sebaliknya, kita boleh berharap Perda-Perda tersebut nantinya justru akan
memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan.
Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir
akan tetap terjaga.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengertian penguasaan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara
laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena

pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi
daerah paparan benua
2. Faktor penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam
memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebidang
tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang
selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti
tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Dengan demikian tidak
cukup hanya dengan menguasai secara yuridis yaitu dengan memegang
surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada penguasaan secara fisik atas
tanah.
3. Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian dikuasai bukan
berarti dimiliki akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang
kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk
melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
4. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang
berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini
pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim.
Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama
dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland).
Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki
kekayaan
sumberdaya
alam
dan
jasa-jasa
lingkungan
(environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan
ekonomi.
5. HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan
atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air hingga
permukaan dasar laut. UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak
mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat
adat (Pasal 18). HP3 dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat
diperpanjang hingga 20 tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara
masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UUPWP3K membuka peluang perpanjangan kedua. Seperti halnya hak-hak
tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan
diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat,
maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat
berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk
kepentingan umum.
6. HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti
kesesuaian dengan rencana zonasi dan pengelolaan), administratif (seperti
dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat
operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan
demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur
Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.

B. SARAN

1. Agar aspek penguasaan atas tanah menjadi pertimbangan penting dalam


hal pemilikan tanah dan pemberian hak atas tanah, sekalipun tidak ada bukti
pemilikan tanah secara tertulis tetapi dengan penguasaan secara terusmenerus secara fisik selama 20 tahun atau lebih yang dilakukan dengan
itikad baik, perlu penegasan dan penerapan ketentuan Pasal 24 PP Nomor 24
Tahun 1997 untuk menunjukkan bukti pemilikan tanahnya.
2. Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana penerapan HP3. Sebab HP3
bukannya mencegah penguasaan pulau kecil oleh asing, tapi justru
sebaliknya. Makanya, membatalkan HP3 identik dengan mempertahankan
kedaulatan atas tanah air utamanya pulau-pulau kecil agar tak berpindah
tangan ke pengusaha asing.

You might also like

  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document3 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Document3 pages
    Bab Vi
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document3 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document3 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Makalah Stunting
    Makalah Stunting
    Document17 pages
    Makalah Stunting
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document16 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document16 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document16 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Analisis 20 Jurnal
    Analisis 20 Jurnal
    Document16 pages
    Analisis 20 Jurnal
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Makalah Stunting
    Makalah Stunting
    Document17 pages
    Makalah Stunting
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Makalah Organisasi Dan Manajemen
    Makalah Organisasi Dan Manajemen
    Document14 pages
    Makalah Organisasi Dan Manajemen
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Renstra Irma
    Renstra Irma
    Document2 pages
    Renstra Irma
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Document7 pages
    Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Document7 pages
    Akreditasi Kesehatan Masyarakat
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Renstra Irma
    Renstra Irma
    Document2 pages
    Renstra Irma
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet
  • Isi Makalah
    Isi Makalah
    Document11 pages
    Isi Makalah
    Saiaairmachacibenk Loverzzselalusaiankpramuka Selamanyaaluvpangeranimpian
    No ratings yet