You are on page 1of 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar-Dasar Al-umuru bi maqasidiha

Al-umuru bima qashidiha (segala sesuatu tergantung pada niatnya)


merupakan salah satu dari kaidah-kaidah fiqhiyyah. Para ulama
merumuskan kaidah tersebut sesuai dengan sumber hukum yang menjadi
landasan hidup umat muslim.
Nabi Muhammad Saw bersabda:

Artinya: Sesungguhnya setiap perbuatan berdasarkan pada niat.


Dalam Al-umuru bima qasidiha (segala sesuatu itu tergantung pada
niatnya) maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung di dalam hati
seseorang saat melakukan perbuatan menjadi kriteria yang dapat
menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,
baik yang berhubungan dengan ibadah maupun adat kebiasaan.
Al-umuru merupakan Jama dari Al-Amru yang artinya Lafadz
umum untuk pekerjaan dan perkataan yang universal, Sebagaimana Firman
Allah :



,): (
) : (
Al-umuru dalam kaidah adalah, secara universal tidak terbatas

dalam perbuatan saja, tetapi juga mencakup perkataan sebagaimana


mencakup Janji.
Maqashid merupakan jama dari Maqshud, yang artinya adalah
Niat. Supaya Maqashid tersebut terbatas dan diterima maka tidak bertolak
belakang dengan Maqashid syariah.
Secara Bahasa, Kata dengan tasydid pada huruf ya adalah
bentuk masdar dari kata kerja nawa-yanwi. Dan inilah yang terkenal
dikalangan ahli bahasa. Niat adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah
dengan niat akan diketahui baik dan buruknya amalan seseorang.

Secara Terminologi, niat adalah mengoreintasikan ketaatan diri


kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Niat menurut pandangan ulama
:
1. Al-Mawardi mengatakan bahwa niat adalah maksud yang mengiringi
suatu tindakan.Begitu pula Imam Haramain ia menukil bahwa niat
termasuk kategori maksud ( )dan keinginan ().
2. Dalam kitab Syiah Imamiyah dinyatakan bahwa niat adalah keinginan
yang memberikan efek pada terjadinya suatu tindakan sehingga tindakan
tersebut menjadi tindakan yang dipilih.
Kesimpulan dari semua istilah yang ada, sebenarnya

memiliki

perbedaan dari segi tekstualitas semata. Namun dari segi substansial


memiliki kesamaan. Arti dari Kaidah tersebut ialah setiap perbuatan
mukallaf dan perkataannya memiliki perbedaan astar beserta hukum
syariah dengan adanya perbedan maksud atau niat. Maka Niat yang
menjadi latar belakang hukum suatu perbuatan, dan berdasarkan Niat setiap
mukallaf dapat menerima balasan perbuatan berupa pahala atau dosa.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda:


: :

) (

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan

kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.
(HR. Muslim No. 2564, dari Abu Hurairah)
Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

Artinya: Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati


adalah tempat dugaan niat, inilah rahasia perhatian Allah terhadap niat.

Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian


pahala dan siksa juga karena niat.
Oleh karena itu, jika ada dua orang saling membunuh, maka yang
membunuh dan terbunuh keduanya masuk neraka. Hal ini lantaran keduanya
sama-sama berniat untuk membunuh.




.
: :

Artinya: Ibnu Ajlan berkata bahwa tidak bernilai baik suatu amal
yang dikerjakan kecuali memenuhi 3 (syarat): Taqwa kepada Allah swt.,
niat yang baik, dan bersungguh-sungguh. Fudhail bin Iyadh berkata:
bahwasanya yang Allah inginkan dari kalian adalah niat dan kehendak
(baik) kalian.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:




: :
:



) (

Artinya: Jika dua orang muslim masing-masing membawa


pedang, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka. Aku (Abu
Bakrah) bertanya: Wahai Rasulullah, kalau yang membunuh iyalah, lalu
kenapa yang terbunuh juga neraka? Beliau bersabda: Karena dia juga
berhasrat untuk membunuh saudaranya. (HR. Bukhari No. 31, Muslim No.
2888)

B. Sumber-Sumber Kaidah Al-Umuru bi Maqashidiha


a. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran (3) : 145


Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan


padanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,
kami berikan (pula) pahala akhirat itu. Kami akan memberikan balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.

b. Firman Allah dalam Q.S. Al Bayyinah (98) : 5







Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam agama dengan lurus.

c. Sabda nabi Muhammad saw yang berbunyi:

) (

Bahwa sesungguhnya segala amal itu menurut niat dan bagi


seseorang itu hanyalah akan memperoleh apa yang diniatkannya. Barang
siapa yang hijrahnya itu untuk Allah dan RasulNya, maka hijrahnya
adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barang siapa yang hijrahnya
untuk mempeoleh keuntungan dunia atau untuk dapat mengawini
seseorang wanita, maka yang akan diperoleh ialah dunia dan wanita yang
diingininya (tidak memperoleh pahala dari Allah).

d. (Hadits kedua)

: :

) " (
" :
Disampaikan dari Yazid dari Ibrahim bin Saad berkata : ayah saya
(Ibrahim bin Abdurrrahman bin Auf) memberitahu dari Qasim dari
Aisyah R.a, berkata : Rasulullah Saw bersabda : Barang siapa yang
mengada-adakan dalam urusan agamaku ini dengan sesuatu yang tidak
berasal dari agama maka tertolak. (Muttafaq Alaih)

C. Cabang - cabang dari Al-umuru bi maqasidiha


a. ( tidak ada pahala, kecuali disertai dengan niat)
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika
tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala
selama tidak diniati dengan baik, sebagaimana pendapat yang disepakati
oleh seluruh ulama. Sementara itu, tentang sahnya amalan, ada yang telah
disepakati oleh para ulama, bahwa niat itu sebagai syaratnya, seperti shalat
dan tayammum dan juga yang masih diperselisihkan, seperti niat dalam
wudlu. Dalam hal ini, Shifiiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa niat
itu termasuk fardhu (wajib). Sedangkan, Hanabilah berpendapat bahwa
niat itu sebagai syarat sahnya dan Hanafiyyah berpendapat bahwa niat itu
sunnah muakkad. Artinya, jika dengan niat, maka wudhunya merupakan
ibadah yang diberi pahala. Sedangkan, jika tidak diniati, maka tidak diberi
pahala walaupun shalatnya sah juga.

b.

( amal yang disyaratkan menentukan

niat jika keliru dalam penyataannya, maka dapat membatalkan)


Misalnya, kekeliruan menyatakan niat dalam hal berikut:
1) Shalat zuhur dengan shalat asar.

2) Shalat Idul Fitri dengan shalat Idul Adha.


3) Shalat rawatib zuhur dengan rawatib asar.
4) Puasa arafah dengan puasa asy-syura.
Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan. Hal ini
disebabkan masing-masing dari perbuatan dituntut adanya pernyataan
niat untuk membedakan antara ibadah satu dengan yang lainnya.

c.







(perbuatan yang harus dijelaskan atau diterangkan secara garis besar, tidak
harus ditentukan secara rinci jika ditentukan dan ternyata keliru, maka
berbahaya).
Contoh kaidah ini sebagai berikut :
1) Seorang shalat jamaah dengan niat makmum kepada Ahmad, ternyata
yang menjadi imam bukan Ahmad, tetapi Muhammad, maka shalat
jamaah orang tersebut tidak sah. Hal tersebut didasarkan bahwa
keimamannya telah digugurkan oleh Ahmad, lantaran bermakmumnya
dengan Muhammad dengan tanpa diniati. Dalam hal ini, menentukan
imam dalam shalat berjamaah tidak disyaratkan, tetapi yang
syaratkannya ialah niat berjamaah.
2) Seorang shalat zuhur dengan menyatakan 3 (tiga) atau 5 (lima) rakaat,
maka shalatnya tidak sah, sebab menyatakan bilangan rakaat shalat itu
tidak merupakan syarat mutlak shalat.

d.




( perbuatan

yang tidak disyaratkan dijelaskan, baik secara garis besar maupun rinci,
jika ditentukan dan ternyata keliru, maka tidak berbahaya).
Contoh kaidah ini sebagai berikut:
1) Seseorang shalat asar dengan menyatakan niatnya shalat di masjid
Ulul Albab IAIN Sunan Ampel Surabaya, padahal dia shalat di masjid

Ngampel Surabaya, maka shalatnya tidak batal. Hal ini, karena niat
shalatnya sudah terpenuhi dan benar. Sedangkan, yang keliru adalah
pernyataan tntang tempatnya. Dalam hal ini, kekeliruan tentang
perrnyataan tempat shalat yang tidak ada hubungannya dengan niat
shalat, baik secara garis besar maupun secara rinci.
2) Seorang melakukan shalat dengan menyatakan dalam niat shalatnya
pada hari kamis, padahal harinya adalah hari jumat, maka shalatnya
tidak batal sama sekali, karena menentukan hari dan tanggal dia shalat
tidak disyariatkan.

e.



( tujuan lafal itu bergantung

pada niat orang yang melafalkan, kecuali dalam satu tempat).


Contoh dari kaidah ini sebagai berikut:
1) Seorang suami meninggalkan istrinya yang bernama Thaliq (orang
yang tertalak) atau seorang tuan pemilik budak memanggil budaknya
yang bernama Hurrah (orang yang merdeka/bebas), maka jika
memanggilnya tersebut diniatkan untuk menceraikan istrinya atau
memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksudnya. Sedangkan,
jika bermaksud untuk memanggil belaka, maka tidak membawa akibat
yang demikian.
2) Jika seseorang ditengah-tengah melakukan shalat, yang mengeluarkan
ucapan-ucapan yang berupa ayat alQuran dan tidak ada maksud lain,
kecuali

membaca

alQuran,

maka

yang demikian

itu

jelas

diperbolehkan. Akan tetapi, jika dimaksudkan untuk memberitahukan


atau memerintahkan kepada seseorang, seperti mengucapkan QS. AlHijr : 46 UDKHULUHA BI SALAMIN AMINI (masuklah ke
dalamnya dengan sejahtera lagi aman) dengan tujuan memberikan izin
masuk kepada orang yang sedang mengunjunginya dan lafal dalam
QS. Maryam : 12 YA YAHYA KHUDHI AL-KITAB memberikan

10

perintah kepada Yahya untuk mengambil buku yang telah ditunjuk,


maka shalatnya batal.

f.




( yang dimaksud dalam

akad adalah maksud atau makna, bukan lafal atau bentuk perkataan).
Kaidah ini bermakna bahwa dalam suatu akad jika terjadi perbedaan antara
maksud (niat) orang yang melafalkan dengan apa yang diucapkan maka
yang dianggap akad adalah niat atau maksudnya, selama yang demikian
itu masih diketahui. Misalnya, ada dua orang yang mengadakan transaksi
dengan lafal membeli barang dengan syarat adanya pembayaran harga
barang itu, maka transaksi ini dianggap sebagai transaksi jual beli, karena
transaksi inilah yang dimaksud atas makna dari pembuatan transaksi,
bukan transaksi pemberian sebagaimana dikehendaki oleh lafal.

You might also like