You are on page 1of 45

BAB 1

PENDAHULUAN
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik
dengan karakteristik rasa gatal yang hebat dan sering terjadi kekambuhan (Darsow
et al, 2013). Terdapat berbagai istilah yang digunakan sebagai sinonim dermatitis
atopi seperti eczema atopik, eczema fleksural, neuodermatitis diseminata, dan
prurigo Besnier (Solomon, 2005 ; Sularsito, Djuanda 2011). Dermatitis atopik
menjadi salah satu masalah kesehatan dunia mengingat adanya peningkatan
prevalensi di seluruh dunia (Shaw et al, 2011; Halim et al, 2014). Prevalensi
dermatitis atopik diperkirakan sekitar 15-30% pada anak-anak dan 2-10% pada
dewasa dan insiden dermatitis atopik meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam
tiga dekade terakhir di negara industri. Menurut International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) prevalensi dermatitis atopik pada anak
bervariasi dari 1 hingga 20% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Eropa
Utara (Bieber, 2010).
Prevalensi dermatitis atopik pada anak etnis Asia belum banyak
dilaporkan. Angka prevalensi yang dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di
Jepang dan 20,8% di Singapura (Tabri et al, 2011). Data dari enam rumah sakit di
Indonesia yang memiliki pelayanan dermatologi anak, yaitu RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung, RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP H. Adam Malik
Medan, RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, dan RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang mendapatkan 261 kasus dermatitis atopik dari 2.356 pasien baru pada
tahun 2013, dengan angka kejadian sebesar 11,8% (Morina, 2015). Sedangkan

data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan
jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan, yaitu 116 pasien pada
tahun 2006, tahun 2007 sebanyak 148 pasien dan tahun 2008 sebanyak 230 pasien
(Putri, 2013).
Banyak faktor yang berperan pada dermatitis atopik baik eksogen atau
endogen, maupun kombinasi keduanya. Faktor genetik adalah salah satu faktor
yang berperan pada dermatitis atopik. Faktor eksogen misalnya alergen makanan
dan alergen hirup banyak dilaporkan sebagai pencetus dermatitis atopik (Kunz,
Ring 2000 ; Siregar, 2004 ; Boediardja, 2004). Riwayat atopi (asma, rinitis
alergika, urtikaria) pada penderita sendiri atau keluarganya merupakan salah satu
faktor risiko dermatitis atopik dan juga mempengaruhi beratnya penyakit. Studi
genetik telah mengidentifikasi lebih dari 40 gen yang berhubungan positif dengan
dermatitis atopik. Selain itu, faktor risiko lain yang berkontribusi adalah faktor
lingkungan. Aeroallergen, seperti serbuk sari, tungau, dan bulu binatang, alergen
makanan, detergen, dan sabun diketahui berhubungan dengan dermatitis atopik.
Pada satu penelitian, anak dengan dermatitis atopik memperlihatkan tingkat
sensitisasi terhadap alergen yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak tanpa
penyakit kulit. Tingkat sensitisasi berhubungan langsung dengan tingkat
keparahan dermatitis atopik (Correa dan Nebus, 2012).
Dermatitis atopik biasanya dimulai pada masa bayi, dan nantinya terjadi
kekambuhan yang bersifat kronik dengan karakteristik kulit kering, inflamasi,
likenifikasi, dan pruritus (Kim, 2013; Julian-Gonzales et al, 2012). Tipe dan
lokasi lesi kulit berbeda-beda sesuai dengan usia, durasi, dan perjalanan penyakit.

Dermatitis atopik tipe infantil banyak ditemukan lesi pada wajah, sedangkan tipe
anak terjadi di daerah lipatan siku dan lutut (Julian-Gonzales et al, 2012). Selain
gangguan fisik seperti rasa gatal dan gangguan tidur pada anak, dermatitis atopik
juga dapat menyebabkan masalah emosional dan disfungsi sosial (Brenninkmeijer
et al, 2009). Dermatitis atopik dilaporkan menyebabkan efek negatif terhadap
kualitas hidup anak dan orang tuanya (Ukawa et al, 2013).
Gejala klinis dan perjalanan penyakit dermatitis atopik sangat bervariasi.
Dermatitis atopik dapat menyebabkan perasaan gatal yang dapat mengganggu
penderitanya dan memperlihatkan kemerahan pada kulit serta terbentuknya
vesikel dan mengeluarkan air (Solomon, 2005). Keluhan utama pada dermatitis
atopik yaitu rasa gatal dan rasa sakit yang hebat pada kulit yang diperparah
dengan garukan penderitanya. Epidermis kulit yang terabrasi akibat garukan
memudahkan agen infeksi untuk menginfeksi kulit sehingga penyakit yang timbul
dapat lebih berat (Solomon, 2005).
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologi
yang diperantarai oleh sel sel yang berasal dari sumsum tulang. Diagnosis
dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi berdasarkan kriteria
diagnosis Hanifin dan Rajka, skor Svennson, kriteria William, dan Score in Atopik
Dermatitis (SCORAD) (Solomon, 2005 ; Sularsito, Djuanda 2011).
Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Tanah Jambo Aye
bulan Agustus tahun 2016, dermatitis menempati urutan kedua setelah ISPA
jumlah kasus sebanyak 286 kasus (Data Puskesmas Tanah Jambo Aye, 2016).
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa angka kejadian dermatitis atopik

mengalami peningkatan dan merupakan salah satu penyakit kulit terbanyak pada
anak yang menurunkan kualitas hidup anak.

BAB 2
LAPORAN KASUS
4

2.1

Identitas

Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Suku Bangsa
Agama
No. MR
Tanggal pemeriksaan
2.2

: An. Revan
: Laki-laki
: 1 tahun 8 bulan
: Ds. Rawang Itek, Kec. Tanah Jambo Aye
: Aceh
: Islam
: 07.08.69
: 15 September 2016

Anamnesis

1. Keluhan Utama : Gatal di Leher dan Punggung


2. Keluhan Tambahan : tidak ada
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien di antar ke Puskesmas Tanah Jambo Aye oleh Ibu nya dengan
keluhan utama gatal di sekitar leher dan punggung sejak 5 hari ini. Keluhan
ini hilang timbul yang sudah dirasakan sejak usia 1 tahun. Gatal disertai
dengan bentol-bentol merah yang berisi cairan berwarna jernih dan juga
terdapat bentol-bentol yang pecah dan membentuk sisik. Ibu pasien mengaku
pasien sudah diberikan salep kulit yang dibeli di depot namun gatal tidak

kunjung berkurang. Ibu pasien juga mengaku gatal yang dirasakan tidak
diperberat setelah mengkonsumsi makanan seperti: udang, ayam, telur, mie
instan. Gatal tersebut memberat di malam hari sehingga mengganggu tidur.
Selain itu, pada kaki pasien terdapat bekas ruam yang sudah menghitam.
Pasien mengaku bahwa bekas hitam tersebut dulunya juga sama dengan
keadaan leher dan dadanya saat ini.
4. Riwayat penyakit dahulu : pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan
yang sama.
5. Riwayat penyakit keluarga : ayah pasien memiliki riwayat rhinitis alergi dan
kakak pasien memiliki riwayat alergi makanan seperti daging ayam dan telur
ayam.
6. Riwayat kehamilan dan persalinan
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara (P3A0H3). Selama
kehamilan ibu pasien tidak pernah sakit berat atau rawat inap di rumah sakit.
Riwayat muntah berlebih, tekanan darah tinggi, kejang, asma, diabetes
melitus, infeksi, dan trauma selama kehamilan disangkal. Pasien dilahirkan
secara pervaginam dengan BBL 3000 gram, lahir cukup bulan, atas
pertolongan dukun kampung.
7. Riwayat Nutrisi : pasien mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama
kelahiran.
8. Riwayat Imunisasi: Ibu mengaku pasien mendapatkan imunisasi lengkap.
9. Riwayat pemakaian obat: krim Nosib 14 gr. Kandungannya As. Salisilat, As.
Benzoat dan Sulfur.

10. Riwayat sosial dan lingkungan


Orang tua pasien memiliki pengetahuan kesehatan yang kurang. Penyediaan
air bersih di rumah pasien sudah memadai. Air minum, mandi, dan mencuci
sehari-hari berasal dari sumur, sumur yang digunakan pasien sehari-hari
menggunakan cincin. Selain itu disekitar pekarangan rumah pasien terdapat
tanah kosong yang di tanami beberapa pohon pisang, pohon rambutan dan
pohon mangga. Ventilasi rumah pasien kurang memadai, dengan pencahayaan
yang kurang sehingga di dalam rumah terkesan gelap. Menu makanan yang
dikonsumsi pasien dan keluarga pasien sudah memenuhi kriteria diet
seimbang, umumnya pasien dan keluarga mengkonsumsi nasi dengan lauk dan
ditambah dengan menu sayur dan buah.

2.3

Pemeriksaan fisik
A. Status Present
a. Keadaan umum : Sakit ringan
b. Kesadaran

: Compos mentis

c. Tanda vital:
a.Nadi

: 100 x/menit.

b.Frekuensi pernafasan : 20 x/menit.


c.Suhu

: 36,8 C

B. Status Gizi
Berat badan

: 11 kg

Tinggi badan

: 86 cm

IMT

: 14,84 kg/m2

Kesan

: Gizi Baik

C. Status Generalis
a. Status dermatologis:
Lokasi

: at regio leher dan punggung

Distribusi: Generalisata
Bentuk

: bentuk tidak khas

Susunan : tidak khas


Batas

: tidak tegas

Ukuran

: tidak dapat diukur

Efloresensi: eritema, papul, vesikel, papulovesikel, ekskoriasi,


dan skuama.
b. Kepala
a.Rambut

: hitam lurus.

b. Fontanela

: datar (+)

c.Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), kornea jernih


(-++), reflex cahaya (+/+).

d. Telinga

: Simetris, sekret (+/+), otorrhea (-/-)

e.Hidung

: Normal, sekret (-/-), rinorrhea (-/-)

f. Mulut

: Bibir kering (-) sariawan (-),perioral sianosis (-).

c. Leher
a.Pulsasi Vena Jugularis : tidak terlihat
b. Pembesaran kelenjar : tidak ada
c.Kuduk kaku

: tidak diperiksa

d. Massa

: tidak ada

e.Tortikolis

: tidak ada

d. Toraks
a.Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
b. Palpasi

: tidak dilakukan

c.Perkusi : tidak dilakukan


d. Auskultasi :Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
e. Jantung
a.Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

b. Palpasi

: Iktus tidak teraba

c.Perkusi batas jantung : tidak dilakukan


d. Auskultasi : BJ I > BJ II, bising jantung (-)
f. Abdomen
a.Inspeksi : Simetris, distensi (-)
b. Palpasi

: Soepel, turgor kembali lambat (-), organomegali

(-)
c.Perkusi : Timpani
d. Auskultasi: Bising usus (+) normal
g. Anogenitalia : Anus dalam batas normal. Genital Laki-laki.
h. Ekstremitas:

2.4

Atas

: teraba hangat (+/+), Edema (-/-)

Bawah

: teraba hangat (+/+), Edema (-/-)

Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang apapun. Anjuran pemeriksaan

penunjang kepada pasien adalah skin prick test untuk menentukan jenis allergen
dan hitung jenis leukosit.
2.5
Diagnosa
a. Diagnosa Banding :
1. Dermatitis atopik
2. Dermatitis kontak alergi
3. Dermatitis kontak Iritan
4. Dermatitis seboroik
b. Diagnosa Kerja: dermatitis atopik

10

2.6

Penatalaksaan
a. Dexamethasone 0,5mg 2x1
b. Cetirizine 10mg 2x1
c. Vitamin C 50mg 2x1

2.7

Prognosis
Quad ad Vitam

: ad bonam

Quad ad functionam : ad bonam


Quad ad sanactionam : ad bonam

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi
Dermatitis atopik, atau eczema atopik adalah penyakit inflamasi kulit

kronis dan residif yang gatal yang ditandai dengan eritema dengan batas tidak
tegas, edema, vesikel dan medidans pada stadium akut dan penebalan kulit
(likenifikasi) pada stadium kronik dan sering berhubungan dengan peningkatan
kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga dan gangguan atopi lainnya
seperti rhinitis alergika dan spesifik pada kompartemen dermo-epidermal, terjadi
pada kulit atopik yang bereaksi abnormal, dengan manifestasi klinik timbulnya
gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematous (Kariosenono, 2006).

11

3.2

Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-

anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20% dan prevalensi pada orang
dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan Negara industri lain.
Sedangkan pada Negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi
dermatitis atopik lebih rendah. Di Indonesia, angka prevalensi kasus dermatitis
atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar
23,67% dimana dermatitis atopik menempati peringkat pertama dari 10 besar
penyakit kulit anak. Dermatits atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3:1 (Sularsito, 2011)
Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopik muncul dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus
muncul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopik). Sebagian besar yaitu 70% kasus
penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi saat dewasa (late onset dermatitis atopik)
(Bieber, 2010; Bantz, Zhu, Zherg, 2014)
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi
maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita dermatitis atopik pada 3
bulan pertama. Bila salah satu orangtua menderita atopi maka lebih separuh
anaknya menderita atopi sampai usia 2 tahun, dan bila kedua orangtua menderita
atopi angka ini meningkat sampai 75% (Sularsito, 2011).

12

3.3

Manifestasi klinik
Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul

sepanjang hari dan memberat ketika malam hari yang menyebabkan insomnia dan
penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita
menggaruk kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark)
yang diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau eksoriasi
dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis. Gambaran lesi
eksematous dapat timbul secara akut (plak eritomatosa, prurigo papules,
papulovesikel), subakut (penebalan dan plak eksoriasi), dan kronik (likenifikasi).
Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi
yang berakhir dengan lesi lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping)
dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut. Gambaran dermatitis
atopik dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan lokalisasinya terhadap usia (Sularsito,
2011; Bieber, 2010; Remitz, 2008).
1.

Dermatitis Atopik Infantil (0-1 tahun)


Dermatitis Atopi sering muncul pada tahun pertama kehidupan dan
dimulai sekitar usia 2 bulan. Jenis ini disebut milk scale. Karena lesinya
menyerupai bekas susu. Lesi berupa plak eritomatosa, papulo-vesikel yang
halus dan menjadi krusta akibat garukan pada pipi dan dahi. Rasa gatal
yang timbul menyebabkan anak menjadi gelisah, sulit tidur dan sering
menangis. Lesi eksudatif, erosif dan krusta dapat menyebabkan infeksi
sekunder dan meluas generalisata dan menjadi lesi kronis dan residif.

13

2.

Dermatitis Atopik pada Anak (1-4 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri. Pada
umumnya lesi berupa papul eritomatosa simetris dengan eksoriasi, krusta
kecil dan likenifikasi. Lesi dapat ditemukan dibagian fleksura dan
ekstensor ekstremitas, sekitar mulut, kelopak mata, tangan dan leher.

3.

Dermatitis Atopik pada Anak (4-16 tahun)


Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan
wajah. Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura,
tangan dan kaki.

4.

Dermatits Atopik pada Dewasa (4-16 tahun)


Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik dapat diwajah,
tubun baian atas, fleksura, bibir dan tangan. Lesi kering, papul datar, plak
likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering terjadi eksoriasi dan
eksudasi karena garukan. Terkadang dapat berkembang menjadi
eritroderma. Stress dapat menjadi factor pencetus karena saat stress
ambang rasa gatal menurun.
Dermatitis atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti hiperlinearis
palmaris xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris,
tanda Hertoghe, kelitis, likenspinulosus dan keratokonus (Sularsito, 2011).

3.4

Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis

yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya

14

untuk mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin
pricktest) dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun
1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis atopik
yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor (Sularsito, 2011;
Kariosentono, 2006).

Kriteria Mayor:
1. Pruritus (gatal)
2. Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas
3. Bersifat kronik eksaserbasi
4. Ada riwayat atopi individu atau keluarga
Kriteria Minor:
1. Hiperpigmentasu daerah periorbita
2. Tanda Denni- Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis alba
9. Fissura pre-aurikular
10. Dermatitis di lipatan leher anterior
11. Facial pallor

15

12. Hiperliniar palmaris


13. Keratosis palmaris
14. Papul perifokular hyperkeratosis
15. Xerotic
16. Iktiosis pada kaki
17. Eczema of the nipple
18. Gatal bila berkeringat
19. Awitan dini
20. Peningkatan IgE serum
21. Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
22. Kemudahan mendapat infeksi stafilokokus dan Herpes Simpleks
23. Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
24. Intoleransi makanan tertentu
25. Perjalanan penyakit dipengaruhi factor lingkungan dan emosi
26. Tanda Hertoghr (kerontookan pada alis bagian lateral).
Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor jika menggunakan kriteria Hanifin dan Rajka. Kriteria ini cocok
digunakan untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental,
namun tidak cocok pada peelitian berbasisi populasi. Oleh karena itu William, dkk
pada tahun 1994 memodifikasi dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka
menjadi suatu pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat digunakanuntuk
diagnosis dengan cepat. Kriteria William, dkk yaitu: (Sularsito, 2011;
Kariosentono, 2006)

16

a.

Harus ada: rasa gatal (pada anak-anak dengna bekas garukan).

b.

Ditambah 3 atau lebih:


1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, didepan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak dibawah usia 10 tahun)
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
atopi pada anak-anak)
3. Kulit kering secara menyuluruh pada tahun terakhir
4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4
tahun)
5. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak
<4 tahun)
Kriteria diagnostik dermatitis atopik yang lain adalah kriteria diagnostik

menurut Svensson, 1985, yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok. Dalam


menegakkan diagnosis dermatitis atopik berdasarkan kriteria Svensson, pasien
harus memiliki dermatitis didaerah fleksural kronik yang hilang timbul ditambah
dengan memiliki 15 nilai dari sistem skor Svensson (Kariosentono, 2006).
Kelompok kesatu (p<0,001, bernilai 3):
1. Perjalanan penyakit dipengaruhi musim
2. Xerosis
3. Diperburuk dengan tegangan jiwa
4. Kulit keringsecara berlebihan atau terus-menerus
5. Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
6. Serum IgE 80 IU/ml

17

7. Menderita rhinitis alergi


8. Riwayat rhinitis alergi pada keluarga
9. Iritasi dengan tekstil
10. Hand Eczema pada waktu anak=anak
11. Riwayat dermatitis atopi pada keluarga
Kelompok kedua (p<0,001, berilai 2):
1. Kulit muka yang pucat/kemerahan
2. Knucle dermatitis (dematits dengan likenifikasi pada jari-jari)
3. Penderita menderita asma
4. Keratosis pilaris
5. Alergi terhadap makanan
6. Dermatitis numularis
7. Nipple eczema
Kelompok ketiga (p<0,001, bernilai 1):
1. Pomfolik
2. Ikhtiosis
3. Dennie-Morgan fold
The Europian Task Force on Atopik Dermatitis membuat suatu indeks
untuk menilai derajat dermatitis atopik, dikenal dengan istilah SCORAD (Score of
atopik dermatitis). SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis
atopik dengan menilai (A) luas luka, (B) tanda-tanda inflamasi, dan (C) keluhan
gatal dan gangguan tidur.

18

Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala
penilaian 0-100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria:
eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta dan kulit kering yang
masing-masing dinilai dari skala 0-3, Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan
gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan visual analogue scale dari
skala 0-10 sehingga skor maksimum unruk bagian ini adalah 20. Formula
SCORAD yaitu A/5 + 7/B + C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B
adalah intensitas (0-18) dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal
SCORAD adalah 10 (Wahyuni, 2014).

19

Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi, papul, dan likenifikasi.


Eritema adalah kemerahan kulit karena pelebaran pembuluh darah. Indurasi
adalah pengerasan, misalnya tentang jaringan. Ekskoriasi adalah kerusakan kulit
yang lebih dalam dari pada kulit epidermis sehingga berdarah (lecet). Papul
adalah tonjolan kulit yang kecil, berbatas jelas dan padat. Likenifikasi adalah
perubahan suatu erupsi kulit misalnya eksema, sehingga berwujud seperti liken
(penyakit kulit yang ditandai dengan bintil-biltil kecil padat, teratu, secara
berkelompok), kulit menjadi lebih tebal dan garis-garis kulit menjadi lebih jelas.
Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:
(Wahyuni, 2014).

20

1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit


menjadi kemerahan, kuit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada
infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15-40): kulit kemerahan,
infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal,
likenifikasi, gangguan tidur, dan nfeksi kulit yang semuanya berat.

3.5

Diagnosis Banding
Penyakit yang sering menjadi diagnosis banding dermatitis atopik

diantaranya dermatitis seboroik, dermatitis kontak, psoriasis, scabies, ichthyosis,


tinea korporis dan keratosis pilaris. Pada awal masa bayi dermatitis atopik sulit
dibeakan dengan dermatitis seboroik karena adanya kesamaan lokasidan
morfologi. Dermatitis iritan jarang dijumpai, namun dermatitis kontak alergi
sangan jarang pada peroide neonatal, walaupun dapat terjadi pada bayi
(Eichenfield et al, 2015).
Psoriasis tidak banyak ditenukan pada masa bayi, namun psoriasis vulgaris
dan psoriasis pustular dapat terjadi. Pada kasus psoriasis, area popok merupakan
lokasi yang sering dijumpai dan terdiri dari plak eritomatosa, berbatas tegas
dengan sedikit sisik yang berwarna silver dan sedikit tebal. Sekita 5% anak
menderitapsoriasis dan juga dermatitis atopik dan umumnya mempunyai riwayat
keluarga dari kedua penyakit (Eichenfield et al, 2015).

21

Scabies kadang sulit dibedakan dengan dermatitis atopik karena keduanya


menyebabkan gatal yang sangat hebat, namun scabies jarag dipertimbangkan pada
neonates dan leih relevan terjadi pada bayi. Scabies jarang terjadi pada daerah
wajah, sedangkn lesi eksim umumnya ditemukan pada pipi, selain itu erupsi
kulitakibat scabies mempunyai lesi polimorfik, meliputi liang, papul, dan nodul.
Adanya riwayat gatal yang juga dirasakan anggota keluarga lainnya dapat
membantu membedakan kudua kondisi ini (Eichenfield et al, 2015).
Apabila lesi kulit ini berhubungan dengan gagal tumbuh, diare, infeksi,
dan/atau pada sistem organ lainnya, perlu dipertimbangkan adanya penyakit
sistemik, seperti penyakit metabolic dan nutrisional dan keadaan genetic termasuk
imunodefisiensi. Diagnosis banding lainnya yaitu penyakit proliferative, seperti
histiositosis sel Langerhans yang banyak ditemui lesi hemoragik (Eichenfield et
al, 2015).

3.6

Penatalaksanaan
Terapi dermatitis

atopik membutuhkan pendekatan sistemik dan

multifactorial yang merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis,


identifikasi dan eliminasi factor penyebab seperti iritan, allergen, agen infeksi, dan
stress emosional yang bersifat individual. Penatalaksanaan ditekankan pada kntrol
jangka waktu lama, bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan. Edukasi
merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik, yaitu
perawatan kulit yang benar menghindari penyebab. Agen topical digunakan untuk

22

terapi penyakit yang terlokalisasi dna ringan, sedangkan fototerapi dan sistemik
digunakan untuk yang lebih luas dan berat (Natalia et al, 2011).
3.6.1

Terapi non-farmakologi
Berbagai makanan seperti susu, ikan ,telur, kacang-kacangan yang dapat

mencetuskan dermatitis atopik harus diidetifikasi secara teliti melalui anamnesis


dan beberapa pemeriksaan khusus. Namun eleminasi makanan esensial pada
bayi/anak harus berhati-hti karena dapat menyebabkan malnutrisi sehinggga
sebaiknya diberikan makanan pengganti (Natalia et al, 2011).
Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu bilas dengan air biasa
dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan pewagi akan
membersihkan kotoran dan keringat juga skuama yang merupakan medium yang
baik untuk bakteri. Keadaan itu akan meningkatkan penetrasi terapi topical.
Hindari sabun atau pembersih kulit yang mengandung antiseptic/antibakteri yang
digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecual ada infeksi sekunder.
Dalam tia menit setelah selesai mandi pasien seharusnya mengaplikasikan
pelembab

untuk

memaksimalkan

enetrasinya.

Salap

hidrofilik

dengan

ceramiderich barrier repair mixtures akan memelihara kelembapan dan berfungsi


sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan, pathogen dan mikroba. Hasil sebuah
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pelembab akan mengurang
penggunaan kortikosterid hingga 50%. Sebuah penelitian pada 100 pasien
dermatitis atopik dengan pelembab urea 5% atau lotion urea 10% yang
diaplikasikan topical dua kali sehari efektif dan aman unutk memperbaiki gejala
dermatitis atopik derajat ringan hingga sedang (Natalia et al, 2011).

23

Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol, atau yang kasar karena
dapat mengiritasi kulit . kuku sebaiknya selalu dipotong pendek unutk
menghindari kerusakan kulit (erosi, ekskoriasi) akibat garukan. Gatal dapat
dikurangi dengan emolien ataupun kompres basah (Natalia et al, 2011).
Balut basah dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi
gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap
pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberikan larutan
kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut
dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan/baju kering diatasnya. Cara ini
sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3
minggu. Balut basah dapat juga dilakukan dengan mengoleskan emolien saja
dibawahnya sehingga memberi rasa dingin dan mengurangi rasa gatal serta
berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat
menyembuhan. Bila tidak disertai pelembab, balut basah dapat menambah
kekeringan kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang
berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan terjadinya infeksi
sekunder (Natalia et al, 2011).
3.6.2

Terapi topical

3.6.2.1 Kortikosteroid topical


Kortikosteroid topical merupakan terapi yang paling sering digunakan
pada dermatitis atopik di Amerika Serikat untuk dermatitis atopik fase akut. Terapi
kortikosteroid untuk dermatitis atopik besifat efektif, relative cepat, ditoleransi

24

dengan baik, mudah digunakan dan harganya tidak senahal terapi alternative
lainnya.
Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak pada semua lokasi
tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil terapi pada penggunaan preparat potensi
lemah jangka pendek dan panjang pada anak dengan derajat penyakit ringan dan
sedang. Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah terhambatnya
pertumbuhan oleh supresi adrenal karena absorbsi sistemik, namun belum ada
bukti

yang

menyatakan

bahwa

penggunaan

kortikosteroid

pada

anak

mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan (Natalia et al, 2011).


3.6.2.2 Inhibitor kalsineuri topical
Takrolimus dan pimekrolimus topical telah terbukti efektif. Sebuah
penelitian dengan takrolimus 0,1% dikatakan mempunyai potensi yang sama
dengan kortikosteroid topical. Kelebihan kalsineurin topical dibandingkan dengan
kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit, namun pada
penggunaan awal akan menimbulkan sensasi terbakar di kulit. Takrolimus tersedia
dalam bentuk salap 0,03% dan 0,1% untuk dermatitis atipik derajat sedang hingga
berat. Kadar 0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim
pimekrolimus 1% diindikasikan untuk dermatitis atopik derajat ringan hingga
sedang pada pasien diatas usia 2 tahun (Natalia et al, 2011).
Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari terbukti aman,
dengan respon klinis pada anak dan dewasa akan terjadi dalam satu minggu
setelah terapi. Oleh karena itu dapat digunakan di wajah dan lipatan kulit (aksila,
leher dan inguinal) dan kulit yang tipis (wajah dan kelopak mata). Selain efek

25

samping seperti rasa terbakar pada kulit, juga eritema dan pruritus. Belum ada
bukti peningkatan risiko hipertensi dan neurotoksik, namun dibutuhkan penelitian
dalam jangka waktu panjang untuk selanjutnya (Natalia et al, 2011).
3.6.2.3 Strategi terapi kombinasi
Internasional consensus conference on atopik dermatitis II (ICCAD II)
merekomendasikan kortikosteroid topical untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare
sedangkan inhibitor kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi
pemeliharaan. Kombinasi kortikosteroid dan antibiotic topical dapat diberikan
pada lesi dengan infeksi ringan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
terapi kombinasi dan untuk mendapatkan dosis optimal untuk kombinasi
kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin (Natalia et al, 2011).
3.6.2.4 Ter
Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi
walaupn tidak sekuat kortikosteroid topical. Shanpo yang mengandung ter dapat
digunakan untuk lesi di kulit kepala. Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada
lesi akut karena dapat menyebabkan iritasi. Efek samping antara lain folikulitis,
fotosensitivitas dan potensi karsinogenik (Natalia et al, 2011).
3.6.3

Terapi sistemik

3.6.3.1 Kortikosteroid sistemik


Kortikosteroid sistemik seperti prednisone jarang digunakn sebagai terapi
primer pada dermatitis atopik, namun terkadang dapat digunakan pada masa akut
sementara transisi kea gen lain. Prednisolone 1mg/kg berat badan dapat digunakan

26

pada anak, namun sebaiknya tidak lebih dari 1 atau 2 minggu. Penggunaann
dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan pada anak.
3.6.3.2 Inhibitor kalsineurin sistemik
Siklosporin oral sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam
bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg. durasi terapi singkat, namun penggunaan
lebih dari satu tahun tidak dianjurkan, relaps dan rekurensi sering terjadi setelah
penghentian terapi siklosporin. Siklosporin merupakan obat golongan C yang
berisiko nefrotoksik, hipertensi dan hyperlipidemia. Efek samping dapat
diminimalisir dengan dosis yang tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi
dengan obat-obat lain seperti obat untuk jantung dan hipertensi (diltiazem,
verapamil, diuretic hemat kalium), statin, antbiotik dan antijamur serta obat-obat
inhibitor protease HIV (Natalia et al, 2011).
3.6.3.3 Anti infeksi
Bila terdapat infeksi sekunder oleh kolonisasi Stapilococcus Aureus yang
luas dapat diberikan antibiotic sistemik misalnya sefalosporin atau penisilin yang
resisten terhadap penisilinase. Bila lesinya tidak luas dapat dipakai antibiotic
topical, misalnya asam fusidat atau mupirosin. Eritromisin atau makrolid lainnya
dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topical atau
sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi jamur (Natalia et al, 2011).

3.7

Komplikasi

3.7.1

Komplikasi pada mata

27

Komplikasi pada mata dapat terjadi pada dermatitis atopik berat dan dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan blefaritis
kronik sering dijumpai pada penderita dermatitis atopik dan dapat menyebabkan
gangguan

penlihatan

serta

terbentuknya

jaringan

parut

pada

kornea.

Keratokojungtivitis atopik umumnya bilateral dan gejalanya berupa rasa gatal,


panas, mata berair dan keluarnya mucus yang banyak. Konjungtivitis vernal
merupakan proses inflamasi kronik berat yang bersifat rekuren yang terjadi pada
kedua mata, berhubungan dengan hipertropi papilla atau terbentuknya gambaran
seperti batu besar pada konjungtiva kelopak mata atas. Hal ini banyak terjadi
pada pasien usa muda dan insidennya bersifat musiman, terutama pada musim
semi. Gejala gatal yang dialami dieksaserbasi oleh paparan iritan, cahaya atau
keringat. Keratokonus adalah deformitas berbentuk kerucut pada kornea yang
diakibatkan oleh kebiasaan mengucek-ngucek mata yang berlangsung kronik pada
pasien dermatitis atopik dan rinokonjungtivitis alergi. Katarak dilaporkan terjadi
pada 21% pasien dermatitis atopik berat. Namun belum diketahui secara pasti
katarak merupakan manifestasi primer dermatitis atopik atau akibat pemakaian
glukokortikoid topical dan sistemik yang lama, terutama pemakaian pada daerah
sekitar mata (Goldsmith et al, 2012).
3.7.2

Infeksi
Infeksi kulit akibat virus rekuren dapat terjadi pada penderita dermatitis

atopik yang merupakan akibat dari defek fungsi sel T. infeksi virus yang paling
serius adalah herpes simpleks, yang dapat mengenai semua usia, mengakibatkan
terjadinya erupsi varisela formis. Kaposi atau eksim herpetikum. Setelah periode

28

inkubasi selama 5-12 hari, lesi gatal, vesikopustular dalam jumlah banyak
mengalami erupsi dalam pola yang menyebar diseluruh tubuh, lesi vesicular ini
umunya menjadi hemoragik dan berkrusta (Goldsmith et al, 2012).
Infeksi jamur superfisial juga banyak dijumpai pada pasien dermatitis
atopik dan dapat memperparah gejala penyakit. Pasien dermatitis atopik
mempunyai prevalensi infeksi Trichophyton Rubrum yang lebih tinggi disbanding
pasien nonatopi (Goldsmith et al, 2012).
3.7.3

Dermatitis eksfoliatif
Pasien dengan lesi kulit yang luas dapat timbul dermatitis eksfoliatif.

Gejala berupa kemerahan yang bersifat generalisata, bersisik, berkrusta, terjadinya


toksisitas sistemik, limfadenopati dan demam.

3.8

Prognosis
Data dari beberapa survey memperlihatkan adanya variasi prognosis

dermatitis atopi disebabkan adnaya perbedaan teknik pengambilan sampel


(Eichenfield et al, 2015). Meskipun prognosis dermatitis atopik sulit diprediksi,
penyakit ini secara umum cenderung lebih berat dan persisten pada balita. Periode
remisi umumnya terjadi saat pasien bertambah usia (Goldsmith et al, 2012).
Onset yang lebih awal pada usia 6 bulan dan dengan tingkat keparahan
yang berat, dermatitis atopik cenderung berlanjut hingga dewasa. Studi lain
melaporkan factor risiko untuk terjadinya dermatitis atopik saat dewasa adalah
adanya kondisi atopi lain seperti asma dan rhinitia alergi, riwayat keluarga
menderita dermatitis atopik pada orangtua atau saudara kandung. Namun tetap

29

sulit memprediksi seorang anak akan mengalami resolusi atau remisi , meskipun
setelah terjadinya remisi dan resolusi, keadaan kulit kering atau dengan mudahnya
teriritasi dapat menetap atau eksim tangan dapat mengenai individu tersebut
dikemudian hari ( Eichenfield et al, 2015).

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1

Faktor Risiko

4.1.1

Faktor Host

1. Genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q3133 mengandung

30

kumpulan family gen sitokin IL3, IL4, IL13, dan GM CSF, yang diekspresikan
oleh sel TH2. 3 Ekspresi gen IL4 memainkan peranan penting dalam ekspresi
dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL4 mempengaruhi
presdiposisi dermatitis atopik. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme
spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma
bronkial atau rhinitis alergik. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik
lebih banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah.
Sejumlah survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang
memiliki atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya.
Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE
yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE.
2. Imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik, seperti
kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE
spesifik

terhadap

bermacam

aerolergen

dan

eosinofilia

darah

serta

diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermal.Terbukti


bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis atopik dan alergi saluran
napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopic mengalami asma bronkial atau
rhinitis alergik.

31

Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1, Th2,
Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan sel
T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang menurun. Hal ini
menyebabkan produksi dari sitokin Th 2 seperti interleukin IL4, IL5, dan IL13
ditemukan lebih banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan
IgE dari sel plasma dan penurunan kadar interferon gamma. Dermatitis atopik
akut berhubungan dengan produksi sitokin tipe Th2, IL4 dan IL13, yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL5 berperan dalam
perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik kronis
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen
atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama terjadi
sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell untuk
kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan disajikan
kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal ini
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T cell
reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2
karena mensekresi IL4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi
sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE segera berikatan
dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya IgE telah bersedia
pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.
Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan
mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia seperti histamine yang akan

32

menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator baru yang dibentuk seperti


leukotrien C4, prostaglandin D2 dan lain sebagainya.
Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam pathogenesis
dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan
membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin.
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan kemokin
proinflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF ) dan interleukin 1
(IL1) dari sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel dendritik mengikat reseptor
pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal seluler yang mengarah kepada
peningkatan pelekatan molekul sel endotel vaskular. Peristiwa ini menimbulkan
proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan pada endotel vaskular yang diikuti oleh
ekstravasasi sel yang meradang ke atas kulit. Sekali sel-sel yang inflamasi telah
infiltrasi ke kulit, sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang
ditimbulkan oleh kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan
jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun). Staphylococcus
aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita dermatitis atopik,
sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk koloni pada kulit
penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang dikeluarkannya merupakan
superantigen yang diduga memiliki peran patogenik dengan cara menstimulasi
aktivitas sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit
yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian
ini memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga

33

meningkatkan sintesis IgE

spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid,

sehingga memperparah dermatitis atopik.


3. Kebiasaan
a.

Pasien tetap mengonsumsi makanan-makanan yang diduga menjadi


pencetus reaksi alergi

b.

Pasien tidak menjaga kebersihan diri dimana pasien hanya mandi 1 kali
dalam sehari

c.

Pasien hanya keramas 1 kali dalam seminggu padahal pasien berjalan kaki
pergi kesekolah yang menyebabkan produksi keringat yang berlebihan

d.

Pasien suka menggaruk secara berlebihan di tempat yang gatal


4. Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi, merasa

tidak nyaman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal.


4.1.2

Faktor Agen

1.

Alergen makanan
Diperkirakan alergen makanan diabsorpsi melalui usus halus, kemudian

memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast yang telah tersensitisasi dengan
IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan melepaskan histamin dan mediatormediator lain yang menyebabkan eritema dan pruritus. Hal yang mendukung
perkiraan mekanisme ini adalah pada pasien dermatitis atopic terdapat
peningkatan permeabilitas usus terhadap molekul-molekul makanan yang
berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah mediator-mediator yang
dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan menyebabkan reaksi

34

pada kulit dan saluran nafas. Contoh alergen yang berasal dari makanan yaitu susu
sapi, putih telur, kacang, gandum, kedelai dan ikan. Pasien mengaku mengalami
reaksi alergi gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan yaitu: telur, udang, ayam,
mie isntan.
2.

Aeroalergen
Alergen Luar Rumah: pollen dan jamur (Alternaria, Aspergillus,

Cladosporium, dan Penicillium). Alergen dalam rumah: tungau debu rumah, bulu
binatang dan kecoa.
4.1.3

Faktor Lingkungan

1.

Linkungan sosial ekonomi


Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi

daripada status sosial yang rendah, penghasilan meningkat, pendidikan ibu makin
tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil berpotensi menaikkan
jumlah penderita dermatitis atopik.
2.

Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang kurang mengenai

perilaku hidup bersih dan sehat akan meningkatkan risiko terjadinya suatu
penyakit. Kebiasaan mandi 1 kali sehari dan mencuci rambut 1 kali seminggu
berhubungan dengan tinkat pengetahuan pasien mengenai personal hygiene yang
rendah. Pasien seorang siswi SMP yang menggunakan kerudung sehari-hari dan
pergi sekolah dengan berjalan kaki. Hal ini meningkatkan terjadi produksi
keringat yang juga mempengaruhi kelembapan daerah kulit kepala, sehingga
mudah terinfeksi jamur. Hal ini berhubungan dengan keluhan ketombe yang sudah

35

dialami pasien selama 1 bulan. Ayah pasien berpendidikan terakhir SMP dan telah
meninggal dunia sejak pasien berumur 3 tahun. Ibu pasien berpendidikan terakhir
SMA dan merupakan seorang kader posyandu di desanya.
4.1.4

Penentuan masalah kesehatan


Penentuan masalah kesehatan penyakit dermatitis atopik adalah:

a. Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang kronik dan hilang timbul yang
erat kaitannya dengan riwayat atopi pada keluarga atau penderita itu sendiri.
faktor risiko dermatitis atopik adalah genetik, imunologis dan lingkungan.
lingkungan berkontibusi terhadap dermatitis atopik seperti: polusi udara, debu,
tungau, serbuk sari, bulu binatang, jamur, dan lain-lain.
b. Hygiene yang kurang baik juga dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis
atopik.
c. Rendahnya tingkat pengetahuan tentang penyakit dermatitis atopik dan
penanganannya dapat menyebabkan keterlambatan penanganan.
d. Keadaan sosial, ekonomi secara langsung dan tidak langsung juga dapat
menyebabkan terjadinya dermatitis atopik.

4.2

Upaya Promotif
Adalah upaya penyuluhan yang bertujuan untuk merubah kebiasaan yang

kurang baik dalam masyarakat agar perilaku sehat dan ikut serta berperan aktif

36

dalam bidang kesehatan. Dalam kasus ini, upaya promotif yang dapat dilakukan
yaitu:
a. Pemberian informasi mengenari Dermatitis Atopik.
b. Edukasi mengenai tindakan yang dapat dilakukan penderita dan keluarga dalam
upaya pencegahan dan menghindari pencetus Dermatitis Atopik.
c. Edukasi mengenai makanan bergizi yang memenuhi kriteria gizi seimbang dan
tidak mahal.
d. Edukasi mengenai cara menjaga personal hygiene (kebersihan diri) tiap anggota
keluarga.

4.3

Upaya Preventif

Perencanaan upaya preventif pada kasus ini adalah sebagai berikut:


a. Menganjurkan pasien untuk menghindari faktor pencetus alergi
b. Menganjurkan pasien bahwa sebaiknya mandi dengan air hangat teratur 2 kali
sehari.
c. Menganjurkan pasien menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan
pewangi.
d. Menganjurkan pasien untuk menghindari sabun atau pembersih kulit yang
mengandung antiseptik atau antibakteri.
e. Menganjurkan pasien untuk menggunakan pelembab.
f. Menganjurkan pasien untuk menghindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol
atau yang kasar karena dapat mengiritasi kulit.

37

g. Menganjurkan pasien untuk rutin memotong kuku dan jaga tetap bersih dan
pendek. Kuku yang panjang memudahkan terjadinya lecet pada kulit akibat
garukan.

4.4

Upaya Kuratif

Pengobatan secara cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mengurangi keluhan
pasien:
a. Penggunaan balut basah
b. Pemberian anti H1 (clorpeniramin maleat, cetirizine atau interhistine)
mengatasi kerusakan kulit salp hidrokortison 1%.
c. Pemberian kortikosteroid sistemik yaitu dexamethasone 0,5mg 2x1
d. Pemberian vitamin dan makanan yang bergizi yang tidak menyebabkan alergi.

4.5

Upaya Rehabilitatif

a. Pemenuhan kebutuhan gizi seimbang karena pasien sedang dalam masa


pertumbuhan.
b. Istirahat yang cukup

4.6

Upaya Psikososial

38

Aspek psikososial adalah aspek yang berkaitan dengan emosi, sikap,


pengetahuan, perilaku, keterampilan, nilai-nilai sosial budaya, kepercayaan, dan
adat istiadat dilingkungan sekitar.
a. Pemberian dukungan/motivasi kepada pasien agar tidak khawatir dengan
keluhan yang dialami.
b. Mendorong pasien untuk menerapkan hidup bersih dan sehat.
c. Dukungan keluarga untuk merubah perilaku kesehatan
d. Dukungan keluarga untuk mengobati penyakitnya agar tidak menurunkan
produktivitas.

39

BAB 5
KESIMPULAN
Dermatitis atopik adalah suatu peradangan kulit kronik dan residif (atau
sekelompok gangguan yang berkitan), yang sering ditemukan pada penderita
rhinitis alergika dan asma serta diantara para anggota keluarga mereka, yang
ditandai dengan kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural) tubuh. Gatal
merupakan keluhan utama dermatitis atopik disertai dengan keluhan kulit berupa
plak eritema, papul, vesikel, krusta, likenifikasi yang dapat ditemukan pada wajah,
tangan, kulit kepala, hingga seluruh tubuh. Penegakkan diagnosis dermatitis
atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi serta uji laboratorium dengan
menggunakan beberapa kriteria diagnosis.

40

DAFTAR PUSTAKA
Bantz SK, Zhu Z, Zheng T 2014. The atopic march: progression from atopic
dermatitis to allergic rhinitis and asthma. J Clin Cell Immunol [online].
[cited
2015
January];
5(2).
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC4240310/
Bieber, T.. 2010. Atopic Dermatitis. Annals of Dermatology 22(2): 125-137.

Boediardja, SA 2004, Faktor Genetik pada Dermatitis Atopik, Dalam:


Boediardja
SA, Sugito TL, Rihatmadja R, eds. Dermatitis pada Bayi dan
Anak, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, h. 96-104.
Brenninkmeijer, E. E. A., C. M. Legierse, J. H. S. Smitt, B. F. Last, M. A.
Grootenhuis, dan J. D. Bos. 2009. The Course of Life of Patients with Childhood
Atopic Dermatitis. Pediatric Dermatology 26 (1): 1422.
Correa, M. C. M., dan J. Nebus. 2012. Management of Patients with Atopic
Dermatitis:
The Role of Emollient Therapy. Dermatology Research and Practice.
Darsow, U., A.Wollenberg, D. Simon, A. Taeb, T.Werfel, A. Oranje, C. Gelmetti, A.
Svensson, M. Deleuran, A. Calza, F. Giusti, J. Lbbe, S. Seidenari, dan J.
Ring. 2013. Difficult to Control Atopic Dermatitis. World Allergy Organization
Journal 6: 6.
Eichenfield, L. F., I. J. Frieden, E. F. Mathes, dan A. L. Zaenglein. 2015. Neonatal
and
Infant Dermatology. 13th edition. Elsevier. United States of America.

Goldsmith, A.G., S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, D. J.Leffel, dan K.


Wolff. 2012. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th edition.
McGraw-Hill. United States of America.
Halim, A., Z. Munasir, dan R. Rohsiswatmo. 2014. Manfaat Pemberian ASI
Ekslusif dalam Pencegahan Kejadian Dermatitis Atopi pada Anak. Sari
Pediatri 15(6): 345-352.
Julian-Gonzalez, R. E., L. Orozco-Covarrubias, C. Duran-McKinster, C. PalaciosLopez, R. Ruiz-Maldonado, dan M. Saez-de-Ocariz. 2012. Less Common
Clinical Manifestations of Atopic Dermatitis: Prevalence by Age.
Pediatric
Dermatology 29(5): 580-583.
Kariosentono, H 2006. Dermatitis atopik (eksema). Cetakan 1, LPP UNS dan
UNS Press, Surakarta.
Kim, K. H.. 2013. Overview of Atopic Dermatitis. Asia Pacific Allergy 3(2): 7987.
41

Kunz B, Ring J 2000, Clinical Features and Diagnostic Criteria of Atopic


Dermatitis In: Harper J, Oranje A, Prose N, et al eds. Textbook of
Pediatric
Dermatology, London : Blackwell Science, p.199-214.
Morina, S.. 2015. Riwayat Atopi pada Pasien dengan Keluhan Gatal di Poli
Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
Skripsi. Universitas Katolik Widya Mandala. Surabaya.
Natalia, S. L. Menaldi, dan T. Agustin. 2011. Perkembangan Terkini pada Terapi
Dermatitis Atopik. Journal of the Indonesian Medical Association 61(7):
239-304.
Putri, I. P.. 2013. Gambaran Kelainan Kulit pada Pasien Dermatitis Atopik di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pringadi Medan tahun 2011.
Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Remitz, A., Reitamo, S 2008, The clinical manifestations of atopic dermatitis. In:
Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of atopic dermatitis.
Informa Healthcare UK Ltd, United Kingdom, p.1-12.
Siregar, SP 2004, Peran Alergen Makanan dan Alergen Hirup pada Dermatitis
Atopik. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, eds. Dermatitis
pada Bayi dan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
h.105-113.
Shaw, T. E., G. P. Currie, C. W. Koudelka, dan E. L Simpson. 2011. Eczema
Prevalence in the United States: Data from the 2003 National Survey of
Childrens Health. Journal of Investigative Dermatology 131(1): 67-73.
Solomon WR, 2005, Dermatitis atopik dan urtikaria, Dalam: Price SA, Wilson
LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. EGC,
Jakarta. hlm. 191-7.
Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 129-53.
Tabri, F., I. Yusuf, dan S. A. Boediarja. 2011. Aspek Imunogenetik Dermatitis
Atopik pada Anak: Kontribusi Gen CTLA-4, Kecacingan, dan IL-10.
Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ukawa, S., A. Araki, A. Kanazawa, M. Yuasa, dan R. Kishi. 2013. The
Relationship Between Atopic Dermatitis and Indoor Environmental Factors: A
Cross- Sectional Study Among Japanese Elementary School Children.

42

International Archives of Occupational and Environmental Health 86(7):


777-787.
Wahyuni, TD 2014. Atopic dermatitis wound cleaning with normal saline. J Kep
[internet]. [disitasi 2015 Januari]; 5(1): 79-91. Tersedia dari:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view/226/showToc

Dokumentasi :

43

44

45

You might also like