You are on page 1of 6

Teknik Penanganan Terbaru Hernia Inguinalis Pada Anak

ABSTRAK
Hernia inguinalis repair merupakan salah satu prosedur tindakan bedah yang paling sering digunakan
pada sebagian besar populasi pasien anak. Diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah, dan biasanya akan
dilakukan tindakan pembedahan terbuka dengan angka kejadian komplikasi yang lebih rendah. Dari pada
itu, yang sering pula menjadi topik perbincangan penting adalah aspek manajemen dalam pembedahan
hernia, presisi durasi operasi terutama pada pasien usia prematur dan bayi baru lahir dengan risiko tinggi,
pembedahan dengan teknik eksplorasi kontralateral yang hingga saat ini belum tercapai kesepakatan
dalam solusinya. Saat ini, pengenalan teknik laparoscopic repair memiliki tingkat presentasi keamanan
yang tinggi, kecenderungan menguntungkan digunakan dalam teknik eksp dan hasil kosmetik yang lebih
baik. Dalam jurnal ini akan dibahas beberapa topik yang telah disebutkan sebelumnya.

KATA KUNCI
Hernia Inguinal, anak, penanganan

I.

Pendahuluan
Hernia Inguinal (HI), pada anak merupakan kasus lesi kongenital yang merupakan akibat dari
terbentuknya Persisten patent processus vaginalis (PPV). Angka insidensi HI yang terlapor
adalah bervariasi antara 3% hingga 4% disetiap kelahiran yang aterm dan 13% pada
kelahiran dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu, dan 30% pada BBLR (dengan berat
lahir < 1000 gram). Presentasi insidensi HI berdasarkan jenis kelamin adalah 3:1 dan 10:1
untuk jenis kelamin pria/ wanita, berarti bahwa pria lebih berisiko mengalami HI.
HI memiliki angka insidensi terkait herediter/familial yang tinggi, dan telah dilakukan pada
pada populasi pasin kembar dan pasien kandung, menunjukkan angka peningkatan frekuensi
kejadian. Beberapa anka kejadian juga menggambarkan keterkaitan antara Gangguan Zd
mencakup tidak turunnya testis (undesenden testis), fibrosis kistik, ektropi vesika urinaria,
peningkatan tekanan intrabdominal ()ileus meconium, necrotizing enterocolitis
gastroschisis/omphalocele), peningkatan cairan intraperitoneal (asites, peritoneal dialysis, dan
terbentuknya ventrikulo-peritoneal shunt) serta kelainan jaringan ikat (Ehler-Danlos
syndrome, Hunter-Hurler Syndrome, Marfan syndrome, dan Mucopolisaccaridosis) bisa
berkontribusi terhadap kejadian HI.
Walaupun belum terdapat data yang pasti, biasanya kasus HI akan s dilakukan tindakan repair
egera setelah diagnosis dapat ditegakkan, karena tingginya angka risiko terjadinya
inkanserata terutama pada bayi baru lahir. Stabdar terapi yang menjadi pilihan utama adalah
herniotomi terbuka karena kecenderungan teknik operasinya yang tergolong mudah, memiliki
tingkat kesuksesan yang tinggi, serta angka komplikasi yang rendah. Selain itu pengenalan
teknik laparoskopi terus meningkat penggunaannya serta terdapat beberapa laporan data
berdasarkan literatur mengenai variasi laparoskopi sebagai herniorapi yang pernah dilakukan
pada pasien anak dengan IH. Pada artikel ini, akan dibahas beberapa aspek mencakup

2.

2.1

pertimbangan anastesi, durasi lamanya operasi, dan role dalam laparoskopi pada HI repair
serta eksplorasi kontralateral.
Pertimbangan Aspek Anastesi
Pada umumnya, sebagian besar pasien anak dibawah anastesi umum dengan menggunakan
mask, LMA, dan ETT. Sedangkan pada kasus bayi-bayi lahir prematur dan bayi baru lahir
dengan risiko tinggi yang perlu dilakukan pembedahan, tingkat kejadian komplikasi masih
tinggi bahkan pada prosedur pembedahan minor sekalipun.
Anastesi pada bayi preterm (cukup bulan) dengan HI
Bayi baru lahir dengan usia gestasi < 37 minggu yang dilakukan repair HI dibawah anastesi
umum, menunjukkan angka kejadian kejadian komplikasi respirasi dan kardiovaskular berupa
apnea cenderung tinggi, dengan angka presentasi mencapai 10-30%. Patogenensis apnea pada
bayi preterm merupakan suatu multifactorial yang melibatkan berbagai aspek pada beberapa
angka kejadian, seperti obstruksi jalan napas, anemia, transport oksigen yang tidak
adekuat/permatur, hipothermi, kelemahan diafragma/ dhiaphragmatic fatigue, dan
penggunaan obat-obatan anastesi tertentu. Steward berpendapat bahwa efek depresan dari
obat-obatan anastesi, dan peningkatan kelemahan otot, dapat mengakibatkan timbulnya apnea
episodik. Alen et al melaporkan adanya hubungan antara penggunaan narkotika intraoperative
dan muscle relaxant dengan tingkat insidensi apnea-bradikarti postoperative, pada bayi lahir
premature (usia gestasi dalam minggu serta usia janin dalam minggu) usia gestasi < 41
minggu dibandingkan dengan usia gestasi 47 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Liu et al bayi baru lahir dengan usia gestasi <46 minggu pasca konseptual lebih
cenderung mengembangkan apnea postoperative. Risiko terjadinya apnea anastetik pada bayi
baru lahir premature berkaitan dengan usia gestasi terkoreksi, dengan puncaknya pada usia
gestasi 41 minggu. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Vaos et al menunjukkan
bahwa pada bayi baru lahir yang menjalani HI repair kurang dari 1 minggu sejak penegakkan
diagnosis, memiliki tingkat risiko apnea post operatif yang lebih tinggi dibandingan dengan
jarak waktu pelaksanaan operasi dengan penegakkan diagnosis yang lebih panjang. Namun
demikian tidak ditemukan data akurat mengenai hubungan konsep usia gestasi dengf an
angka kejadian komplikasi anastesi post operatif. Warther-Larsen et al berpendapat perlunya
observasi selama 12 jam pasca operatif untuk memonitoring pasien premature (< 46 minggu)
setelah menjalani operasi, dan monitoring s.elama 12 jam untuk usia 46-60 minggu dengan
riwayat anemia, gangguan neurologi, penyakit paru kronis dan episode apnea berulang di
rumah, sedangkan pada anak sehat tanpa penyulit dilakukan observasi selama 6 jam.
Untuk mencegah timbulnya komplikasi postoperative pada bayi-bayi dengan risiko tinggi,
teknik anastesi regional seperti anastesi spinal, kaudal, dan kaudal epidural lebih dianjurkan
menjadi pilihan anastesi dalam operasi yang dilakukan di bawah area umbiliecus. Anastesi
spinal menjadi lebih diminati sejak Abajian et al memperkenalkannya sebaga preti alternative
penganti anastesi umum pada bayi preterm dengan risiko tinggi, untuk mencegah timbulnya
apnea postoperative dan bradikardi. Penulis melaporkan tidak terjadi apnea postoperative
pada 78 bayi, dimana 36 diantaranta merupakan bayi preterm dengan risiko tinggi. Welbron
et al melaporkan tidak adanya angka kejadian apnea episodic pada bayi preterm yang
menjalani herniorhaphy dengan anastesi spinal, dibandingkan dengan 37% infan yang
dilakukan anastesi umum. Somri et al melakukan penelitian secara acak mengenai bayi yang
menjalani operasi HI repair dengan anastesi umum dan juga local.. dari penelitian tersebut
didapatkan kesimpulan bahwa adanya signifikansi angka morbiditas dalam bentuk apnea dan
bradikardi pada kelompok bayi yang diberi anastesi umum. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Gallagher TM didapatan anastesi local yang cenderung memfasilitasi operasi dengan

durasi yang lebih singkat, hanya cocok untuk prosedur operasi yang dilakukan dalam periode
waktu < 60 menit, sehingga risiko terjadinya komplikasi apnea post-anastesi masih mungkin
terjadi, dan berpengaruh pada tingkat kesulitan dalam mendeterminasi celah subaraknoid.
Untuk tambahan suatu penelitian yang telah dilakukan Craven et al, berupa meta analisis dari
4 penelitian oleh Cochrane Collaboration, menunjukkan bahwa tidak adanya bukti bahwa
anaastesi spinal lebih berpotensi menimbulkan post operatif apnea, bradikardi dan oksigen
desaturasi dibandingkan dengan anastesi umum. Nyatanya masih perlu banyak dilakukan
penelitian lagi untuk menjelaskan mengenai keadaan dimana anastesi spinal dapat
menurunkan angka kejadian komplikasi cardio-respirasi pasca operasi. anastesi caudal
merupakan teknik anastesi yang paling lazim dilakukan dalam prosedur bedah anak sebagai
jembatan dalam anastesi umum serta lebih efisien dalam meredam nyeri pasca operatif.
Anastesi kaudal juga digunakan pada bayi dengan risiko tinggi untuk tetap dapat sadar selama
menjalani prosedur operasi HI repair dan prosedur operasi tubuh bagian bawah lainnya,
maupun untuk beberapa keadaan anomaly kongenital yang berat lainnya. Namun demikian,
ada beberapa keadaan yang dapat menjadi kontra indikasi pemilihan anastesi kaudal seperti
anomaly deformitas, koagulopati, serta proses infeksi yang sedang berlangsung.
2.2 Mnajemen nyeri
Nyeri pasca operatif sangat sulit untuk dideteksi pada pasien yang menjalani HI repair.
Beberapa strategi analgesi mencakup preoperative dan intraoperative illioingunal dan
iliohypogatric nerve blok, infiltrasi lukak dengan menggunakan anastesi local, preoperative
caudal blok, dan postoperative analgesic seperti golongan opioid dan asetaminofen telah
banyak digunakan untuk meminimalisir nyeri pada pasien anak pasca operasi HI. Splinter et
al mengemukakan mengenai perbandingan efek dari penggunaan injeksi bupivacaine 0,25%
baik secara caudal atau berdekatan pada saraf ilioinguinal dan iliohypogastrik dan pada
jaringan subkutan. Fell et al menemukan bahwa infiltasi pada luka dengan bupivacaine 0,25%
(1 ml/KgBB) pada akhir prosedur operasi dan sebelum proses penutupan luka sayatan operasi
menjadi salah satu pilihan anastesia postoperative yang adekuat. Ivani et al melakukan
penelitian perbandingan terhadap ropivacaine 0,2% -clonidine mixture yang diberikan
masing-masing secara kaudal atau peripheral (ilioinguinal-iliohypogastric nerve block) pada
anak yang menjalani orchiopexy atau HI repair ternyata tidak ditemukan suatu perbedaan
yang signifikan. Sasoka et al melakukan evaluasi terhadap genitofemoral nerve block dengan
menggunakan bupivacaine 0,25% sebagai tambahan pada ilioinguinal-iliohypogastric nerve
block yang telah dilakukan pada pasien anak yang menjalani HI repair dapat dijadikan model
analgesic alternative dan dapat dibandingkan dengan ilioinguinal-iliohypogastric nerve block.
Peneliti tidak menemukan adanya keuntungan dalam kombinasi anastesi ini. Terbaru,
penelitian yang dilakukan oleh Xiang et al menjelaskan kombinasi dari caudal
dexmedetomide ( 1g/KgBB) dengan bupivacaine 0,25% (1ml/kgbb) menghambat respon
hernia traction dan meningkatkan perpanjangan durasi analgesic postoperative pain-score
antara caudal block dan nerve block atau infiltasi melalui luka operasi. hasil dari berbagai
penelitiand iatas, menunjukan bahwa tidak ada metode yang cukup ideal dan hasil dari
kebanyakn metode analgesik hamper sebanding.
3. Waktu Pengobatan
Beberapa angka kejadian komplikasi mencakup teknik penyulit, inkarserata, prematuritas,
dan risiko dari prosedur anastesi pada BBLR, harus selalu mnejadi perhatian utama sebelum
menentukan pilihan dalam melakukan operasi pada pasien anak dengan HI. Prematuritas pada

bayi, memiliki risiko cedera yang lebih tinggi pada vas deferens dan subsequence testicular
atrophy, selama prosedur hernioraphy mungkin lebih sulit pada kantong hernia yang rapuh,
serta peningkatan risiko terjadinya rekurensi. Tingginya risiko angka kejadian HI
berhubungan dengan perkembangan dari inkarserata usus dan subsekuesi, bisa juga menjadi
hernia strangulasi. Hal tersebut secara signifikan lebih tinggi angka kejadiannya pada bayi
lahir premature, dengan presentasi insidensi 31% atau atau 2-5 kali lebih banyak dari
insidensi pada anak yang lebih besar (presentase insidensi 6-18%). Terdapat risiko terjadinya
infark gonadal sebesar 22% pada bayi premature hingga 30% pada bayi usia kurang dari 3
bulan. Angka tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan presentasi pada sebagian
besar populasi anak sebesar 7-14%. Hal tersebut serupa yang ditemukan pada anak
perempuan dengan HI yang melibatkan ovarium dan tuba fallopi mencakup risiko terjadinya
torsio struktur gonad yang akan berkembang menjadi infark dari ovarium. Pada beberapa
contoh kasus, bagian uterus masih memungkinkan untuk diidentifikasi. Seperti yang telah
disinggung diatas, bayi kecil cenderung labih besar kemungkinan terjadi komplikasi
gangguan respirasi post operasi dibandingkan dengan bayi aterm.
Namun, jika dilakukan penundaan pembedahan makan akan menimbulkan perlengketan
antara kantong hernia dan korda spermatika, peningkatan risiko komplikasi operasi beryupa
kerusakan korda, serta memperpanjang durasi operasi. Grosfeld et al merekomendasikan bayi
baru lahir dengan HI yang telah dirawat dirumah sakit disertai dengan gangguan system
respirasi atau kelaianan kongenital lainnya(penyakit jantung bawaan, peritonitis meconium,
atau peritonitis terkait enterokolitis nekrotik) perlu untuk evaluasi lebih lanjut untuk keadan
umumnya menjadi lebih stabil sebeelum mempertimbangkan dilakukannya tindakan operasi.
Bayi dengan berat lahir rendah, sebelum direncanakan untuk operasi terlebih dahulu perlu
diperbaiki hingga mencapai berat minimal 2.200 gram dan sebelum keluar dari perawatan
NICU. Bayi lahir premature dengan riwayat penggunaan ventilator, atau dysplasia
bronkopulmonary, perlu untuk dilakukan observasi semalam. Untuk bayi lahir cukup bulan
tanpa riwayat komplikasi perinatal bisa segera dioperasi sebagai pasien rawat jalan, tidak
perlu rawat inap. Pada anak dengan HI asimptomatik, dengan usia < 1 tahun, tidakan operasi
harus dilakukan setidaknya < 14 hari setelah penegakkan diagnosis, karena presensi dari
risiko terjadinya inkarserasi dua kali lipat lebih besar pada anak dengan HI dalam range usia
1-2 tahun.
Pada kasus HI inkarserata, perlu dilakukan reduksi emergensi baik secara manual maupun
secara pembedahan. Manual reduksi sebaiknya di coba terlebih dahulu, terutama jika pasien
menunjukkna gejala peritonitis atau obstruksi usus. Pada pasien perempuan, isi dari kantong
bs berupa ovarium inkarcerata, dan tanpa disertai dengan obstruksi usus. Tingkat
keuksesannya adalah 95-100% dan tergantung pada durasi incarserata serta usia pasien.
Operasi subsequent repair bisa di pertimbangkan untuk dilakukan setela h 24-72 jam
berikutnya, setelah reduksi berhasil dilakukan dan edema dapat teratasi.
Bedah Terbuka dibandingkan dengan Laparoscopy Repair
Sebuah operasi terbuka dengan ligasi hernia kantung inguinal pada tingkat
cincin internal dan sementara aman menangani vas dan arteri testis pada anak
laki-laki dan ovarium, tuba fallopi pada anak perempuan, adalah pendekatan
standar untuk perbaikan sukses perbaikan IH pada anak-anak. Namun, non-ligasi
kantung hernia setelah herniotomi pada anak-anak juga telah diusulkan. Sejak
laporan awal dari prosedur laparoskopi pada awal 1990-an, laparoskopi untuk

perbaikan IH pada anak-anak telah mengubah dogma standar perbaikan operasi


terbuka. Chan et al dalam studi prospektif acak menemukan bahwa anak-anak
setelah perbaikan laparoskopi dari IH menderita rasa sakit kurang, lebih baik
pemulihan dan luka bekas luka, dan kali operasi tidak berbeda secara signifikan,
jika dibandingkan dengan operasi terbuka. Choi et al, dalam tinjauan pusat
tunggal retrospektif, melaporkan bahwa perbaikan laparoskopi IH pada anakanak kurang dari 12 bulan (rata-rata usia 4 bulan, kisaran 0,1-12 bulan) adalah
aman dan memiliki komplikasi dan tingkat kekambuhan diterima dibandingkan
dengan anak-anak yang menjalani laparoskopi untuk perbaikan IH. Selanjutnya,
Nah et al. melaporkan bahwa dalam kasus IH dipenjara, perbaikan laparoskopi
aman, dan memiliki komplikasi yang lebih sedikit daripada perbaikan IH terbuka.
Orang mungkin berpendapat bahwa perbaikan laparoskopi IH membutuhkan
waktu lebih lama operasi dari perbaikan terbuka konvensional. Namun, ini bisa
diatasi dengan pengalaman. Meskipun, studi di atas, mendukung memadai
perbaikan laparoskopi IH pada anak-anak, studi lebih lanjut, diperlukan untuk
membangun peran laparoskopi dibandingkan perbaikan terbuka IH pada anakanak.
Eksplorasi Kontralateral
Perdebatan tentang sisi asimtomatik kontralateral pada anak-anak belum
terpecahkan. Kontroversi berdasarkan studi tertentu adalah sebagai berikut: 1)
38% - 100% dari anak-anak dengan hernia unilateral memiliki PPV kontralateral
(Paten prosesus vaginalis), 2) 60% dari anak-anak dengan hernia unilateral
memiliki kontralateral PPV di usia 2 bulan, 40% oleh 2 tahun, dan setengah dari
anak-anak ini dapat mengembangkan hernia inguinalis], 3) ada risiko sekitar
10% untuk mengembangkan hernia jika hernia awal adalah di sebelah kiri, dan 4
) eksplorasi kontralateral mungkin mencegah operasi kedua yang berarti biaya
yang lebih tinggi, dan tekanan dari anak dan orang tuanya. Namun, Tackett et al
dalam studi prospektif dari 656 anak-anak melaporkan tingkat hernia
metachronous dari 8,8%, dan Wang et al melaporkan kejadian 5,2% di 2129
anak usia 1 tahun. Selanjutnya, Ron et al, melaporkan bahwa 14 eksplorasi
diperlukan untuk mencegah satu IH metachronous, dan dalam kasus kiri sisi IH,
10 eksplorasi yang diperlukan untuk mencegah satu. Sebuah tinjauan baru-baru
ini menunjukkan bahwa risiko keseluruhan untuk mengembangkan kemudian
seorang IH adalah 5,7%. Para penulis menyarankan eksplorasi pasien disajikan
dengan hernia sisi kiri dan berusia <6 bulan setelah diskusi orangtua. Selain itu,
eksplorasi kontralateral memiliki kelemahan potensial termasuk cedera pada isi
kabel spermatika, infeksi luka, peningkatan biaya, peningkatan rasa sakit dan
perpanjangan operasi. Untuk mengatasi perdebatan ini, beberapa strategi telah
diperkenalkan, USG makhluk yang lebih baru dan laparoskopi. Chen et al.
digunakan sebagai kriteria diameter 4 mm dari cincin internal untuk menentukan
hernia atau prosesus vaginalis, dengan akurasi diagnostik 97,9%. Miltenburg et
al dengan menggunakan laparoskopi untuk mendeteksi PPV kontralateral,
melaporkan hasil yang sama dengan mereka yang menggunakan proses yang
terbuka, dengan sensitivitas 99,4% dan spesifisitas 99,5%. Para penulis
menyimpulkan bahwa mereka tidak secara rutin melakukan eksplorasi

kontralateral, sebagai persentase dari PPV klinis tidak signifikan pada sebagian
besar pasien. Meringkas hasil dari studi yang disebutkan di atas, ada tidak
didefinisikan dengan baik data berbasis bukti untuk mendukung eksplorasi rutin
untuk IH kontralateral mungkin pada anak-anak. studi jangka panjang lebih
lanjut diperlukan untuk memperjelas topik yang signifikan ini.

Kesimpulan
IH adalah masalah umum pada populasi pediatrik, terutama pada neonatus
jangka penuh prematur dan. Meskipun kemajuan dalam manajemen perioperatif
anestesi, topik-topik seperti waktu yang optimal perbaikan, dan eksplorasi
kontralateral belum diklarifikasi belum. Pengenalan operasi laparoskopi dalam
pengelolaan IH adalah metode yang menjanjikan dan tampaknya memainkan
peran penting sebagai alat operasi dan diagnostik alternatif. Namun, kurangnya
data yang didukung oleh penelitian berbasis bukti, jelas menunjukkan kebutuhan
studi prospektif besar untuk menjelaskan topik penting.

You might also like