Professional Documents
Culture Documents
Nama
NPM
Grup
Dosen
Assisten
:
:
:
:
:
Puput Nuraini
12020072
3K-3
Luciana, S.Teks., M.Pd
Yolanda. I, S.ST
Witri. A. S, S.ST
II.
Zat warna asam termasuk zat warna yang larut dalam air karena mempunyai
gugus pelarut sulfonat atau karboksilat dalam struktur molekulnya. Gugus gugus
tersebut juga berfungsi sebagai gugus fungsi untuk mengadakan ikatan ionic dengan
tempat tempat positif dalam serat. Zat warna asam yang mempunyai satu gugus
sulfonat dalam struktur molekulnya disebut zat warna asam monobasic, yang
mempunyai dua gugus sulfonat disebut zat warna asam dibasic dan seterusnya.
Makin banyak gugus pelarut zat warna asam, maka kelarutannya makin tinggi,
akibatnya menjadi lebih mudah rata, tetapi tahan luntur hasil celupan terhadap
pencuciannya akan berkurang. Dengan demikian, jumlah maksimum zat warna asam
dibasic yang dapat terserap oleh serat menjadi lebih kecil daripada zat warna asam
monobasic, terutama bila suasana pasta cap sedikit asam, karena dalam kondisi seperti
itu tempat-tempat positif pada bahan terbatas. Jadi untuk pencapan warna tua sebaiknya
digunakan zat warna asam monobasic. Keunggulan lain dari zat warna asam adalah
warnanya yang cerah, hal tersebut karena ukuran partikelnya relatif kecil (lebih kecil
dari ukuran partikel zat warna direk).
Struktur kimia zat warna asam bervariasi, antara lain jenis trimetil metan, xanten,
nitro aromatic, azo dan pirazolon. Kebanyakan zat warna asam termasuk jenis azo
sehingga hasil celupnya dapat dilunturkan dengan reduktor. Penggolongan zat warna
asam yang lebih umum adalah berdasarkan cara pemakaiannya, yaitu:
a.
Zat Warna Asam Levelling
Disebut zat warna asam celup rata karena pencelupannya mudah rata akibat dan ukuran
molekul zat warnanya yang relatif kecil, sehingga subtantifitasnya terhadap serat
relative kecil, sangat mudah larut dan warnanya sangat cerah, tetapi tahan luntur
warnanya sangat rendah. Ikatan antara serat dan zat warna yang utama adalah ikatan
ionic disamping sedikit ikatan van der waals. Untuk memperoleh warna tua biasanya
diperlukan kondisi yang sangat asam pada pH 3 4 tetapi untuk warna sedang dan muda
dapat dilakukan pada pH 4 5.
b.
Zat Warna Asam Milling
Ukuran molekul zat warna asam milling agak lebih besar dibanding zat warna asam
levellin, sehingga afinitas zat warna milling lebih besar dan agak sukar bermigrasi
dalam serat, akibatnya agak sukar mendapatkan kerataa. Ketahanan luntur warna lebih
baik dari zat warna asam levelling karena walaupun ikatan antara serat dan zat warna
asam masih didominasi ikatan ionic tetapi sumbangan ikatan sekunder brupa gaya van
der waals nya juga relatif mulai cukup besar. Untuk pencelupan warna tua umumnya
diperlukan kondisi larutan celup pH 4 5, tetapi untuk warna sedang dan muda
sebaiknya dilakukan pada pH 5 6 agar hasil celupnya rata. Penambahan NaCl dalam
larutan celup akan berfungsi sebagai pendorong penyerapan.
c.
Zat Warna Asam Super Milling
Diantara seluruh jenis zat warna asam, ukuran molekul zat warna asam super milling
paling besar ( tapi masih lebih kecil dari ukuran molekul zat warna direk ) sehingga
afinitas terhadap serat relative besar dan sukar bermigrasi, akibatnya sukar mendapatkan
kerataan hasil celupnya, tetapi tahan luntur warnanya tinggi. Tahan luntur yang tinggi
diperoleh dari adanya ikatan antara serat dan zat wrana yang berupa ikatan ionic yang
didukung oleh ikatan dari gaya van der waals serta kemungkinan terjadinya ikatan
hydrogen. Untuk pencelupan warna tua dapat dilakukan pada kondisi larutan celup pH
5-6 tetapi untuk warna sedang dan muda dapat dilakukan pada pH 6 7 agar resiko
belang menjadi lebih kecil biasanya tidak perlu dilakukan penambahan NaCl, karna
dalam suasana larutan celup yang kurang asam akan berfungsi sebagai pendorong
penyerapan zat warna.
B. Zat Warna Basa
Zat warna basa adalah zat warna yang mempunyai muatan positif / kation. Zat
warna basa merupakan suatu garam; zat warna basa dapat membentuk garam dengan
asam. Asam dapat bersal dari hidro klorida atau asam oksalat. Zat warna basa mampu
mencelup serat-serat protein sedangkan pada serat poliakrilat yang mempunyai gugusgugus asam dalam molekulnya akan berlaku / bersifat seperti serat-serat protein
terhadap zat warna basa
Zat warna basa dalam bentuk basa termasuk zat warna yang tidak larut tetapi
dalam larutan yang bersifat asam zat warna akan berubah menjadi bentuk garam yang
mudah larut.
Zw NH2 + HCl
Zw NH3 + + ClTidak larut
larut
Zat warna basa secara alami bersifat alami bersifat kationik, sehingga dapat
digunakan untuk mencelup serat akrilat, wool, sutra dan nylon, dimana zat warna basa
akan berikatan secara ionic dengan gugus-gugus sulfonat atau karboksilat yang ada
dalam serat sehingga tahan luntur cukup baik. Struktur kromogen zat warna basa dapat
berupa trifenil metan, antrakuinon, oksazin, tiazin, azin, dan azo. Dalam bentuk basa, zat
warna basa sukar larut, tetapi dalam suasana asam zat warna basa akan berubah menjadi
bentuk garam yang mudah larut, oleh karena itu kelarutan zat warna basa sangat
tergantung pada pH larutan celup (pH makin rendah maka kelarutan makin tinggi).
Dibanding struktur molekul zat warna organic lainnya, ukuran molekul zat
warna basa relative paling kecil, sehingga bila disbanding zat warna organic lainnya zat
warna basa merupakan zat warna yang paling cerah. Daya celup zat warna basa sangat
tergantung pada banyaknya gugus amin yang bermuatan positif yang tergantung dalam
tiap molekul zat warna. Mengingat terbatasnya tempat-tempat yang bermuatan negative
(gugus karboksil atau sulfonat) dalam serat sutera maka untuk zat warna basa yang tiap
molekulnya mengandung gugus amin lebih banyak akan lebih sedikit jumlah maksimum
zat warna basa yang dapat diikat oleh serat sutera dan sebaliknya.
Zat warna basa secara umum memiliki besar molekul yang relative kecil, namun
ukuran molekul zat warna basa yang satu dengan yang lainnya juga bervariasi. Zat
warna yang mempunyai ukuran molekul lebih besar akan mempunyai substantifitas
yang lebih besar, sehingga cenderung sukar rata. Sedangkan untuk zat warna yang lebih
kecil ukuran molekulnya, substantifitasnya lebih kecil sehingga relative lebih mudah
rata. Untuk memudahkan pemakaian zat warna basa maka diberi nilai CV ( compability
value ) yang berkisar 1 hingga 5. CV dengan harga yang besar menunjukan laju
penyerapan zat warna tersebut pada serat relative rendah, artinya zat warna tersebut
lebih mudah rata, sedangkan zat warna basa yang memiliki harga CV yang kecil bersifat
sebaliknya ( laju penyerapan cepat dan sukar rata).
C. Zat Warna Direk
Zat warna direk umumnya adalah senyawa azo yang disulfonasi, zat warna ini
disebut juga zat warna substantive karena mempunyai afinitas yang besar terhadap
selulosa. Beberapa zat warna direk dapat mencelup serat binatang berdasarkan ikatan
hydrogen. Zat warna direk umumnya mempunyai ketahanan yang kurang baik terhadap
pencucian sedangkan ketahanan terhadap sinar cukup, tidak tahan terhadap oksidasi dan
rusak oleh zat pereduksi.
Zat warna direk adalah zat warna yang dapat mencelup serat selulosa secara
langsung dengan tidak memerlukan suatu senyawa mordan. Tapi, ada beberapa jenis zat
warna direk yang dapat mencelup serat-serat protein. Congo red merupakan zat warna
direk yang pertama kali dikenal orang yang ditemukan oleh Brottiger pada tahun 1884.
Sebelum tahun 1884 serat selulosa dicelup dengan zat warna Mordana atau Indigo dan
zat warna lainnya yang sejenis. Cara pemakaian kedua zat warna tersebut diatas, rumit
dan mahal, sedangkan zat warna Direk murah dan mudah pemakaiannya, meskipun
ketahanan terhadap cucian, sinar,alkali dan lain-lainnya bernilai kurang.
Struktur kimia zat warna direk merupakan senyawa azo yang mengandung
gugusan sulfanot sebagai gugusan pelarut. Zat warna direk, dapat merupakan senyawa
mono-azo, di-azo, tri-azo atau tetrakis-azo. Salah satu contoh struktur kimia zat warna
direk
OH
N=N
NaO3S
NH.CO
NH2
Diazamine Scarlet B
( C.I. Direct Red 118 )
Gugusan hidroksil dalam molekul selulosa memegang peranan penting pada
pencelupan dengan zat warna direk. Apabila atom hidrogen dari gugusan hidrolsil
tersebut diganti dengan gugusan asetil maka serat tidak dapat mencelup zat warna direk.
Hal ini dikarenakan gugusan hodroksil dalam molekul selulosa dapat mengadakan
ikatan hidrogen dengan gugusan-gugusan hidroksil, amina dan azo dalam molekul zat
warna.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
Pada Umumnya zat warna direk mempunyai ketahanan luntur yang kurang baik
terhadap pencucian sedangkan ketahanan terhadap sinar adalah sedang, kecuali ada
beberapa yang mempunyai nilai cukup atau baik. Tahan luntur zat warna direk yang
kurang baik antara lain disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen yang memiliki sifat
tidak tahan terhadap panas juga zat warna direk merupakan zat warna yang larut.
Sifat-sifat umum zat warna direk
Zat warna direk memiliki sifat yang tidak tahan terhadap oksidasi dan akan merusak
oleh reduksi.
Zat warna direk memiliki gugus pelarut sulfonat sehingga mudah larut dalam air.
Afinitas zat warna direk terhadap serat tekstil disebabkan adanya ikatan hydrogen dan
ikatan sekunder seperti ikatan Van der Waals.
Zat warna direk memiliki nilai ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian
yang rendah.
Pengolongan zat warna direk
The Society of Dyers and Colourist mengklasifikasikan zat warna direk sebagai
berikut:
Golongan A
Merupakan zat warna yang mudah berimigrasi, mempunyai daya perata yang tinggi
dan kelarutan yang tinggi.
Golongan B
Merupakan zat warna yang mempunyai kerataan rendah, sehingga penyerapannya
harus diatur dengan penambahan elektrolit.
Golongan C
Merupakan zat warna dengan daya perata yang rendah tetapi memiliki daya tembus
yang baik meskipun tidak dengan penambahan suatu elektrolit. Untuk menghasilkan
hasil celup yang baik perlu dilakukan pengontrolan suhu.
Berdasarkan ketahanan terhadap suhu tinggi, Butterworth menggolongkan
zat warna direk menjadi:
1.
Golongan 1
Golongan ini merupakan zat warna direk yang memiliki ketahanan terhadap
suatu suhu tinggi antara 120oC sampai 130oC dalam suasana netral dan tahan
terhadap suasana asam maupun alkali, misalnya Durazol Blue 8G.
2.
Golongan 2
Golongan ini merupakan zat warna direk yang memiliki ketahanan terhadap suhu
tinggi dalam suasana netral, tetapi rusak dalam suasana alkali, misalnya Chlorazol
Green G.
3.
Golongan 3
Golongan ini merupakan zat warna direk yang rusak oleh suhu tinggi dalam
suasana netral ataupun alkali, misalnya Durazol Brilliant Red B [3].
mereduksi zat warna sehingga menjadi molekul yang sederhana dan larut (leuko) yang
memiliki substansivitas terhadap selulosa. Setelah dipakai mencelup dioksidasikan
kembali menjadi bentuk semula yang tahan luntur. Sebagai oksidatornya dapat
digunakan semua jenis oksidator kecuali oksidator yang mengandung klor seperti
Laporit, Natrium hipoklorit tidak boleh dipakai.
Contoh beberapa bentuk dasar zat belerang :
Dihidro-tiotoluidina :
CH3
Thiazin
S
NH2
(CH3)2N
NH2
N
S S -----
C
N
S
----- S - S
H2N
Zat warna direk pada umumnya mempunyai ketahanan yang kurang baik
terhadap pencucian. Untuk memperbaikinya maka dilakukan pengerjaan iring yang pada
prinsipnya memperbesar molekul zat warna dalam serat. Sehinggga zat warna akan lebih
sukar berimigrasi. Pengerjaan iring dapat dilakukan dengan penggunaan garam-garam
logam seperti : Krom, Tembaga, Kobalt, Nikel, Besi dan lain-lain
B. Zat warna direk dengan pengerjaan iring formaldehid
Zat warna direk pada umumnya mempunyai ketahanan yang kurang baik
terhadap pencucian. Untuk memperbaikinya maka dilakukan pengerjaan iring yang pada
prinsipnya memperbesar molekul zat warna dalam serat. Sehinggga zat warna akan lebih
sukar berimigrasi. Pengerjaan iring dapat dilakukan dengan penggunaan garam-garam
logam seperti : Krom, Tembaga, Kobalt, Nikel, Besi dan lain-lain.
C. Zat warna naftol
Zat warna naftol merupakan zat warna yang terbentuk dalam serat pada waktu
pencelupan dan merupakan hasil reaksi antara senyawa naftol dengan garam diazonium
(kopling).
Sifat umum dari zat warna naftol adalah :
Tidak larut dalam air
Luntur dalam piridin pekat mendidih
Bersifat poligenetik dan monogenetik
Karena mengandung gugus azo, maka tidak tahan terhadap reduktor.
Tahan cuci dan sinar sangat baik
Tahan gosok jelek
Warna terbentuk dalam serat
Zat warna naftol adalah zat warna yang terbentuk didalam larutan pada saat
pencelupaan dan merupakan hasil reaksi komponen senyawa naftol dengan senyawa
garam diazonium. Zat warna naftol juga sering disebut ingrain colours karena, terbentuk
didalam serat dan tidak larut dalam air atau disebut juga azoic colours karena senyawa
yang terjadi mempunyai gugusan azo.
Naftol tidak dapat larut dalam air sehingga untuk penaftolan bahan naftol harus
diubah menjadi naftolat dengan menambahkan NaOH.
Pelarutan senyawa naftol dengan soda kostik untuk memperoleh larutan yang
jernih dari senyawa natrium naftolat yang terionisasi. Dalam pelarutan ini sering
diperlukan pemanasan. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
OH
O+
NaOH
+ Na+ + H2O
Naftol tidak larut dalam air
Naftolat larut dalam air
Setelah penaftolan bahan berubah warnanya dibangkitkan dengan garam
diazonium sehingga menjadi proses kopling antara naftol dan garam diazonium didalam
serat. Naftolat yang sudah terserap didalam bahan dikoplingkan dengan garam
diazonium yang dipilih, sehingga akaan terbentuk zat warna naftol monoazo didalam
serat dan berikatan berupa ikatan hydrogen dan fisika (van der waals) dengan serat.
OH
ONa
OH
OH
N=N
Naftolat
+ O2N
N = NCl
R
garam diazonium
NO2
R
zat warna naftol mono azo
melapisi. Adapun kelebihan dari zat warna pigmen yaitu, setelah proses pencelupan
tidak perlu dilakukan proses pencucian, prosesnya sederhana, biaya pencelupannya
paling murah, dan warnanya bervariasi, dari warna biasa hingga warna metalik.
Untuk memperbaiki tahan luntur gosok hasil pencelupan zat warna pigmen, kedalam
larutan pad zat warna pigmen dapat ditambahkan zat pemiksasi (fixer) atau resin anti
kusut yang bersifat reaktan sehingga setelah proses thermofiksasi zat warna pigmen
akan diikat oleh apisan film dari binder dan resin. Sedangkan untuk mengurangi
kekakuan kain hasil pencelupan dengan zat warna pigmen, dalam larutan pencelupan
dapat ditambahkan zat pelembut (softener).
Cl
N Cl
C
N
SO3Na
= N berikut :
Struktur kimia zat warna reaktif dapat digambarkanNsebagai
SO3Na
Khromofor zat warna reaktif mempunyai berat molekul yang kecil agar daya
serap terhadap serat tidak besar sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat
mudah dihilangkan. Gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan
zat warna terhadap asam atau basa. Agar reaksi dapat berjalan dengan baik diperlukan
penambahan alkali misalnya Natrium Silikat dan KOH karena apabila telah dikerjakan
dengan alkali bahan akan tahan pencucian dan penyabunan. Disamping terjadi reaksi
antara zat warna dengan serat yang membentuk ikatan pseude ester dan eter, molekul air
juga dapat mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna, dengan memberikan
komponen zat warna yang tidak reaktif lagi. Reaksi hidrolisa tersebut akan bertambah
cepat dengan penaikan temperatur.
Pemakaian zat warna reaktif secara panas yaitu untuk zat warna reaktif yang
mempunyai kereaktifan rendah, misalnya procion H, cibacron dengan sistem reaktif
mono-khlorotriazin, dan remazol denagan sistem reaktif vinil sulfon.
Khromofor zat warna reaktif biasanya merupakan system azo dan antrakinon
dengan berat molekul yang kecil, supaya daya penetrasi pada serat besar, sehingga zat
warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Sedangkan gugusangugusan reaktif merupakan bagian dari zat warna dan mudah lepas, sehingga bagian zat
yang berwarna mudah bereaksi dengan serat.
III.
Percobaan
III.1 Alat Alat
Tabung reaksi
Pipet tetes
Piala gelas
- Pembakar bunsen
- Pengaduk
- Penjepit
- Kertas saring
- Cawan porselen
Asam asetat 10 %
NaOH 10%
Contoh Uji
Eter
NaCl
Na2S
NaOCl
Contoh Uji
H2SO4 pekat
SnCl 10%
NaOH 10 %
NaCl
Contoh Uji
D. Pengujian Golongan IV
- DMF 1 : 1
- DMF 100 %
- H2SO4
- Na2SO4
- NaOCl
Alcohol
Na2S2O4
Paraffin
HCl 1 %
HNO3
NaOH 10 %
Contoh Uji
4) Tambahkan 3 ml SnCl2 10 %
5) Letakkan kertas timbal asetat pada mulut tabung (kertas Pb Asetat :
kertas saring dibasahi dengan larutan Pb Asetat 10 %)
6) Warna coklat atau hitam pada kertas Pb Asetat menunjukkan zw
belerang.
C. Zat Warna Bejana
1) Masukkan contoh uji tambahkan 2 ml air dan 2 ml NaOH 10 %
2) Didihkan dan tambahkan Na2S2O4
3) Didihkan selama 1 menit
4) Ambil contoh uji masukkan kapas putih dan NaCl didihkan selama 11,5
menit, biarkan dingin.
5) Ambil kapas tersebut, letakkan diatas kertas saring dan biarkan kena udara.
6) Kapas tercelup kembali dengan warna contoh asli tetapi lebih muda
Uji Penentuan 1
1) Masukkan Cu kedalam lelehan paraffin dalam kiu porselen
2) Apabila padatan paraffin pada kertas saring berwarna maka menunjukkan
adanya zw bejana (catatan : zw belerang tidak mewarnai paraffin)
D. Zat Warna Bejana-Belerang
1) Kerjakan contoh uji seperti pada pengujian zw bejana dan belerang
2) Kain yang dicelup dengan zw bejana-belerang akan mencelup kembali kain
kapas pada uji zw bejana dan positif untuk uji belerang. ( * dapat diamati
dari hasil uji sebelumnya)
3.3.3
Uji Penentuan 1
1) Kerjakan contoh uji seperti uji penentuan 1 zw belerang
2) Kain yang dicelup dengan zw bejana-belerang akan memberikan noda
coklat atau hitam
Uji Penentuan 2
Pengujian dengan paraffin positif
3.3.4
Uji Penentuan 1
CU + parafin lalu dipanaskan dan hasil lelehannya akan terwarnai, maka
positif merupakan zat warna naftol.
Uji Penentuan 2
Khusus zw pigmen yang berwarna biru
Apabila :
- contoh uji ditetesi HNO3 pekat warna violet
- contoh uji ditetesi H2SO4 pekat warna hijau
Menunjukkan zw pigmen Alcian Biru
Data Pengamatan
Data Pengamatan Terlampir.
V.
Diskusi
Pada pengujian golongan I, pelunturan dilakukan menggunakan larutan amoniak pekat,
sehingga saat memasuki proses pengujian zat warna direk akan lebih mudah. Hal tersebut
disebabkan karena jika pelunturan uji pendahuluannya menggunakan asam asetat encer maka
perlu dilakukan penambahan alkali pada saatn pengujian zat warna direk. Telah kita ketahui
sendiri, bahwa pencelupan zat warna direk membutuhkan suasana alkali pada larutan celup
sehingga zat warna mampu mewarnai kain kapas putih. Sebaliknya, untuk melakukan pengujian
zat warna asam suasa pencelupan harus asam, sehingga filtrat uji pendahuluan harus dinetralkan
dengan asam asetat, kemudian ditambahkan kembali asam asetat 10% agar suasananya menjadi
asam. Suasana asam tersebut membuat zat warna asam mampu berikatan dengan serat wool.
Kemudian untuk pengujian pada zat warna basa dilakukan uji penentuan. Pada uji penentuan
tersebut setelah ditambahkan eter, maka zat warna akan berpindah ke lapisan eter. Perpindahan
tersebut disebabkan karena eter merupakan pelarut organik, dan hasil kali kelarutan (ksp) eter
lebih besar dibandingkan dengan zat warna. Kemudian zat warna tersebut akan kembali ke
lapisan air lagi setelah diberi asam asetat 10%. Perpindahan tersebut dipengaruhi oleh
terjadinya reaksi penggaraman zat warna basa yang bereaksi dengan asam.
Pada pengujian zat warna golongan II, khususnya zat warna belerang diberikan reduktor
Na2S. Pengujian tersebut harus menggunakan Na2S karena belerang tidak tahan reduktor kuat
karena akan merusak sulfur yang terdapat pada zat warna belerang. Kemudian lunturannya
dilakukan untuk pengujian dengan mewarnai kapas putih, namun memerlukan bantuan NaCl.
NaCl tersebut akan membantu penyerapan zat warna kedalam pori- pori serat, sehingga dapat
berikatan dengan baik. Pada uji penentuan zat warna belerang menggunakan kertas saring yang
telah ditetesi Pb akan membuat kertas saring tersebut menjadi warna coklat atau hitam.
Perubahan warna kertas saring tersebut disebabkan karena terjadinya reaksi antara Pb dan sulfur
pada zat warna belerang membentuk PbS. Selain pengujian zat warna belerang, ada pula
pengujian zat warna bejana. Ciri utama zat warna bejana ini yaitu pada saat uji lelehan parafin
akan terwarnai. Kemudian pada golongan II ini juga terdapat zat warna hidron. Zat warna
hidron adalah zat warna yang contoh ujinya saat dilakukan pengujian zat warna belerang dan
zat warna bejana akan positif hasilnya.
Pada pengujian zat warna golongan III, pengujian dilakukan terhadap kain yang tercelup
oleh zat warna naftol. Ciri utamanya yaitu akan berpendar dibawah sinar UV setelah
sebelumnya direduksi terlebih dahulu. Kemudian ciri lainnya adalah seperti zat warna bejana,
zat warna naftol pun akan terwarnai juga dalam lelehan parafin. Namun, bedanya dengan zat
warna bejana saat ditetesi parafin zat warna bejana akan terus berwarna parafinnya, sedangkan
zat warna naftol setelah 2 jam warna pada lelehan parafin tersebut akan hilang. Hilangnya
warna pada lelehan parafin di pengujian zat warna naftol tersebut disebabkan karena zat warna
naftol merupakan hasil reduksi, sedangkan zat warna bejana merupakan hasil oksidasi dengan
udara, sehingga saat terkena udara pun warnanya tidak akan hilang.
Pada penujian zat warna golongan IV zat warna reaktif akan terwarnai tua pada
pengujian DMF 1:1 sedangkan zat warna pigmen akan terwarnai tua pada DMF 100% hal
tersebut disebabkan karena zat warna reaktif merupakan zat warna yang larut dalam air dan
pada DMF 1:1 terdapat kandungan air didalamnya sehingga zat warna reaktif terwarnai tua dan
sebaliknya pada zat warna pigmen terwarnai tua pada DMF 100% karena zat warna pigmen
merupakan zat warna yang tidak larut dalam air oleh sebab itu lah zat warna pigmen larut pada
DMF 100%.
VI.
Kesimpulan
Berdasarkan data pengamatan maka dapat disimpulkan:
Pada uji zat warna golongan I, contoh uji no. 24 adalah zat warna basa, contoh uji no. 10
adalah zat warna asam, dan contoh uji no. 56 adalah zat warna direk .
Pada uji zat warna golongan II, contoh uji no. 58 adalah zat warna belerang, contoh uji
no. 30 adalah zat warna bejana, dan contoh uji no. 46 adalah zat warna bejana-belerang.
Pada uji zat warna golongan III dan IV, contoh uji no. 39 adalah zat warna naftol, contoh
uji no. 44 adalah zat warna pigmen, dan contoh uji no. 28 adalah zat warna reaktif.
Daftar Pustaka
1. Modul Praktikum Pengujian dan Evaluasi Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil
Bandung.
2. Bahan Ajar Teknologi Pencelupan 1, 2005, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung.
3. Teknologi Pencapan dan Pencelupan, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung.