You are on page 1of 64

ISSN 0215-1243

WARTA

IHP

JURNAL INDUSTRI HASIL PERTANIAN


Journal of Agro-based Industry

Warta IHP

Vol. 32

No.1

Hal 1--44

Bogor,
Juli 2015

ISSN
0215-1243

Halaman | i

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) adalah wadah informasi bidang riset teknologi industri hasil pertanian
yang meliputi makalah penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan teknologi pangan,
teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan, mikrobiologi pangan, energi
terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)). Terbitan pertama dimulai pada tahun 1984
dan selanjutnya terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juli dan Desember pada tahun berjalan.
Penanggungjawab

Kepala Balai Besar Industri Agro

Officially incharge

Head of Center for Agro-based Industry

Ketua Dewan Redaksi

Dr. Ir. Rizal Alamsyah, M.Sc. (Teknologi Pertanian, Bioenergy dan


Food Engineering) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;

Chief Editor

rizalams@yahoo.com

Anggota Dewan Redaksi Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc (Postharvest Technology)
Editorial board

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering


and Technology, Bogor Agricultural University, Gedung Fateta Lantai 2, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680
Dr. Ir. Tania Surya Utami, M.T. (Bioseparation) Departemen Teknik Kimia,
Universitas Indonesia; nana@che.ui.ac.id

Dr. Ir. Lamhot Parulian Manalu, M.Si. (Teknologi Pertanian)


BPPT Gd. 2 Lt 15 Jl. MH. Thamrin 8 Jakarta 10340; lpmanalu@yahoo.com,
lamhot.parulian@bppt.go.id

Dr. Hendra Wijaya, S.Si., M.Si. (Kimia Pangan, Pangan Fungsional)


Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122; faizawijaya@gmail.com

Ir. Agus Sudibyo, M.P. (Rekayasa dan Teknologi Pangan)


Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122; asdibyo_as@yahoo.co.id

Ning Ima Arie Wardayanie, S.T.P., M.PharmSc. (Kimia Pangan, Analisis Kimia,
Pangan Fungsional) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
ni_arie@yahoo.com

Mitra Bestari

Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T. (Teknologi Proses Industri Pertanian)

Peer Reviewer

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian


Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220, Bogor 16002; ono.suparno@ipb.ac.id

Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech. (Environmental (Bio)Process Engineering)


Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia; mgozan@che.ui.ac.id

Prof. Dr. Ir. Sutrisno Mardjan, M.Agr. (Teknik Biosistem dan Teknik Pasca
Panen) Department of Mechanical and Bio-System Engineering, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor; kensutrisno@yahoo.com

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. (Food Processing and Engineering,
Food Process and Engineering Laboratory)
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and
Technology, Bogor Agricultural University. PO Box 220 Bogor 16110; hariyadi@seafast.org,
phariyadi@ipb.ac.id

Dr. Ir. Inggrid S. Surono, M.Sc. (Mikrobiologi Pangan dan Bioteknologi


Pangan) Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Bina
Nusantara; gridsw@yahoo.com

Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si. (Teknik Pertanian Pengolahan Pangan)


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung BPPT II Lt. 15, Jl. MH. Thamrin No. 8
Jakarta Pusat

Redaksi Pelaksana
Copyeditor
Desain Grafis
Graphic Design
Sekretariat
Secretariat

Rina Septi Agnisari, S.T.


Anggraeni, S.A.P.
Rika Sumarteliani, S.T.
Meity Suryeti

ALAMAT:
Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI), Kementerian Perindustrian
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122 Tel.: 0251 8324068; Fax.: 0251 8323339 e-mail : warta.ihp@gmail.com

Halaman | ii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .............................................................................................................
Daftar Isi .....................................................................................................................
Kata Pengantar ............................................................................................................
Lembar Abstrak ...........................................................................................................

i
ii
iii
iv

Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf, Tepung Jagung


Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius
Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani ...........................

1-8

Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat
pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)
Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar , Titin Mahardini, dan
Indera Wirawan ...........................................................................................................

9-15

Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak
Pangan dan Produk Pangan Lainnya
Agus Sudibyo dan Nami Lestari ..............................................................................

16-23

Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala


Industri Kecil Kapasitas 50 kg/ Batch
Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin............................................................................

24-32

Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam


Pembuatan Cokelat Batangan
Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman ..................

33-44

Pedoman Penulisan Warta IHP .....................................................................................


Ucapan Terima Kasih ...........................................................................................................

xi
xviii

Halaman | iii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

KATA PENGANTAR
Warta IHP adalah majalah ilmiah Balai Besar Industri Agro (BBIA), Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri (BPPI), Kementerian Perindustrian, yang diterbitkan dua kali dalam
setahun.
Warta IHP mempublikasikan hasil penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan
teknologi pangan, teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan,
mikrobiologi pangan, energi terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)).
Dalam penerbitan Warta IHP Volume 32 No. 1 Juli 2015 ini menyajikan 5 (lima) karya tulis ilmiah
yang merupakan hasil litbang, yaitu: (1) Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf,
Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius;
(2) Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC); (3) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD
dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya; (4) Pengembangan Proses
Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/ Batch;
dan (5) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan.
Kami mengharapkan kritik dan saran para pembaca agar dapat meningkatkan kualitas majalah
ilmiah ini.
Demikian semoga majalah ilmiah ini menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang bermanfaat
bagi pembaca dan pelaku industri.
Dewan Redaksi

Halaman | iv

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

LEMBAR ABSTRAK

Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf,


Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life
Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius
Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
mamorusan_82@yahoo.com / nurud.ftp@unej.ac.id

Beras cerdas merupakan beras tiruan yang dibuat dari bahan-bahan non beras dan non terigu dengan
menggunakan ekstruder ulir ganda. Bahan baku beras cerdas meliputi Mocaf, tepung jagung, susu skim, air,
alginat, STPP, dan minyak sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan beras cerdas
menggunakan metode ASLT melalui pendekatan Arrhenius. Penentuan umur simpan beras cerdas
dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik dengan menggunakan sampel yang
disimpan pada suhu 30 C, 40 C, 50 C dan 60 C untuk menentukan batas akhir penyimpanan berdasarkan
parameter aroma dari penilaian panelis. Tahap kedua adalah penentuan umur simpan dengan metode
Arrhenius berdasarkan perubahan kualitas produk selama penyimpanan. Lebih dari 50% panelis
menyatakan beras cerdas beraroma tengik berakhir pada minggu ke-4 suhu 60C. Reaksi yang sesuai
dengan parameter nilai peroksida dan asam lemak bebas adalah reaksi orde nol. Nilai energi aktivasi terkecil
digunakan untuk penentuan umur simpan produk yaitu nilai peroksida dengan regresi linier y = -713,25x +
8,167. Umur simpan beras cerdas adalah 3,40 minggu pada suhu 30 C.
Kata kunci: ASLT, beras cerdas, pendekatan Arrhenius

Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil


yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC)
Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie, Rienoviar, Titin Mahardini,
dan Indera Wirawan
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
yhoely@.yahoo.com

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) merupakan tanaman rempah khas Sumatera Utara yang banyak
digunakan sebagai bumbu masak karena memiliki citarasa yang khas. Selain itu andaliman memiliki
beberapa manfaat antara lain sebagai antimikroba, antioksidan dan sebagai immunomodulator. Studi
mengenai pengaruh proses ekstraksi terhadap komponen flavor andaliman telah dilakukan, namun belum

Halaman | v

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
ada yang melihat pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen flavor pada ekstrak yang
dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap
komponen volatil yang terlibat di dalamnya. Andaliman diekstrak dengan metode maserasi menggunakan
pelarut etanol dan etil asetat (1:1) pada suhu ruang dan pada suhu 40 C selama 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Hasil
ekstraksi dianalisis komponen volatilnya dengan menggunakan GC-MS dilanjutkan dengan analisis
komponen aroma yang terdeskripsikan dengan GC-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen flavor
utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi andaliman dengan maserasi menggunakan pelarut etanol: etil
asetat (1:1) pada suhu ruang didominasi oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6 jam maserasi
terjadi dominasi D-Limonene menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi pada suhu 40 C juga
menunjukkan geranyl acetate sebagai komponen volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 4 jam
maserasi 40 C, citronellol merupakan komponen volatil dominan, sedangkan setelah 6 jam maserasi 40 C
komponen volatil yang dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl acetate. Suhu maserasi dan waktu
pada proses maserasi yang berbeda dapat menyebabkan perubahan pada komponen flavor yang dominan
pada ekstrak andaliman. Namun komponen flavor yang dominan pada GC-MS tersebut tidak menunjukkan
aroma yang terdeskripsikan pada GC-O. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port pada andaliman yang
dimaserasi pada suhu ruang bervariasi dari andaliman-like, green, flowery, sour, dan earthy. Sedangkan pada
andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 C adalah aroma flowery, green, sweet, and spicy lebih banyak
terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu maserasi dapat mempengaruhi aroma yang
terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O.
Kata kunci: andaliman, komponen volatil, flavor , maserasi, Zanthoxylum acanthopodium

Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk


Minyak/Lemak Pangan dan Produk Pangan lainnya
Agus Sudibyo dan Nami Lestari
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
asdibyo_as@yahoo.co.id

Dalam permintaan produk pangan untuk kesehatan dan keamanan pangan global sekarang ini, konsumen
menghendaki dan sedang mencari produk pangan tanpa atau paling sedikit terkena kontaminasi produk.
Senyawa ester 2- dan 3-monochloropropan-1,2-diol (MCPD) dan ester glisidol diketahui merupakan salah
satu komponen kontaminan pada produk hasil olahan minyak makan yang telah banyak digunakan sebagai
bahan pangan atau bahan ingredien pangan. Senyawa 3-monochloropropan-1,2-diol atau lebih dikenal
dengan 3-MCPD merupakan kontaminan pangan yang diklasifikasikan sebagai bahan yang kemungkinan
bersifat karsinogen; oleh karena itu, hanya boleh dikonsumsi dengan dosis/konsentrasi sebesar 2 g/kg
berat badan. Hasil studi terkini menunjukkan adanya senyawa ester 3-MCPD teridentifikasi dalam jumlah
cukup tinggi pada produk minyak/lemak pangan, seperti margarin dan minyak goreng serta pangan yang
mengandung lemak termasuk produk pangan infant formula dan susu manusia. Senyawa ester-ester lain
seperti 2-MCPD dan ester glisidol pun diduga dapat terjadi. Namun, hingga saat ini hanya terdapat sedikit
data informasi tentang toksikologi yang dapat diperoleh untuk senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan.
Tulisan ini akan membahas dan menjelaskan proses terjadinya senyawa 3-MCPD pada produk pangan,
faktor-faktor yang memungkinkan penyebab terbentuknya senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan, studi
tentang efek beracun senyawa 3-MCPD atau toksikologi dan penentuan senyawa ester 3-MCPD dalam produk
pangan.
Kata kunci: Kajian, ester 3-MCPD, minyak/lemak pangan, keamanan pangan.

Halaman | vi

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak


Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch
Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin
Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit
Jl.Brigjend Katamso No. 51 Medan
hasibuan_abdi@yahoo.com

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan proses pembuatan shortening frying, creaming, baking dan
butter oil substitute pada skala industri kecil dengan kapasitas 50 kg/batch. Kondisi proses yang dioptimasi
adalah suhu dan waktu pendinginan di dalam reaktor dengan tiga kondisi yaitu 52, 122, 202 C selama
waktu proses 0, 30, 60, 90, 120 menit. Shortening yang dihasilkan pada setiap kondisi dianalisa kadar air,
bentuk dan warna serta mutu produk selama penyimpanan 5 minggu meliputi kestabilan emulsi, bentuk dan
tekstur. Produk shortening yang dihasilkan dengan ketiga kondisi suhu dan waktu proses hingga 120 menit
mengandung kadar air yang memadai (< 0,1%). Pada suhu media pendingin 52 C dan 122 C dengan
waktu proses lebih dari 45 menit menghasilkan shortening berbentuk cream dan berwarna pucat hingga
putih. Selama penyimpanan, produk berbentuk cream terpisah menjadi dua lapisan yaitu cream dan minyak
(oily) kecuali shortening untuk creaming. Kondisi optimum dalam pembentukan tekstur yang baik untuk
keempat jenis shortening diperoleh pada suhu media pendingin 52 C atau 122 C selama 30 menit. Pada
kondisi tersebut diperoleh produk yang memiliki bentuk semi padat atau padat dengan tekstur lunak atau
keras yang relatif stabil selama penyimpanan 5 minggu.
Kata kunci: Shortening, minyak sawit, tekstur, optimasi kondisi proses, reaktor texturing

Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil


Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan
Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman
Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
mirnaisyanti0305@gmail.com

Penelitian pemanfaatan Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk produk olahan cokelat telah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan Cocoa Butter Substitute (CBS) hasil hidrogenasi menjadi cokelat
batangan, menganalisis berbagai jenis CBS dalam proses pembuatan cokelat batangan, dan mengetahui
tingkat penerimaan konsumen terhadap produk olahan cokelat batangan tersebut. Analisis yang dilakukan
dilakukan yaitu : analisis proksimat, titik leleh, profil trigliserida, profil asam lemak, total padatan lemak
(SFC), ukuran partikel, informasi nilai gizi, serta masa simpan (akselerasi). Analisis fisiko kimia cokelat
batangan menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak
31,1-37,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485-1,4545, dan tidak mengandung lemak
trans. Titik leleh cokelat batangan berkisar 320C-400C. Titik leleh produk cokelat batangan terpilih, Fully
Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) sebesar 32 0C, dengan kandungan lemak padat meleleh
mendekati sempurna pd suhu 40 C. Produk cokelat komersial menunjukkan suhu titik leleh yang tinggi,
370C dan 400C. Berdasarkan uji organoleptik, produk cokelat batangan CBS yang terpilih adalah jenis
FHPKSt menggunakan 30 persen CBS. Jenis CBS yang cocok untuk cokelat batangan adalah jenis Fully
Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) dengan proses hidrogenasi sempurna. Profil trigliserida cokelat
batangan terpilih (FHPKSt) dan cokelat komersial terlihat dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP dan

Halaman | vii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
LMM/LaOM dari minyak inti sawit. Ukuran partikel cokelat batangan hasil penelitian lebih kecil
dibandingkan cokelat komersial. Masa simpan produk cokelat batangan selama 35 minggu pada suhu 25 0C
dengan parameter kritis yaitu kadar air.
Kata kunci: Cocoa Butter Substitute (CBS), cokelat batangan, hidrogenasi, minyak inti sawit.

Halaman | viii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Shelf Life Prediction of Beras Cerdas Made from Mocaf, Corn Flour Using Accelerated
Shelf-Life Testing (ASLT) Method of Arrhenius Approach
Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio dan Resti Agustin Akhiriani
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
mamorusan_82@yahoo.com / nurud.ftp@unej.ac.id

Beras cerdas is an artificial of rice made from non rice and non wheat raw material by twin screw
extruder. The ingredients of beras cerdas were Mocaf, corn flour, skim milk, water, alginate, STPP, and
palm oil. The objective of this study were to observe the shelf life of beras cerdas using ASLT method with
Arrhenius approach. Determination of shelf life of beras cerdas carried out in two stages. The first stage
was the organoleptic test using a sample stored at a temperature of 30 C, 40 C, 50 C and 60 C to
determine the end point of storage life based on the parameters aroma of panelist assessment. The second
stage was to determine the shelf life by the Arrhenius method based on changes in the quality of the product
during storage. More than 50 % of panelists expressed rancid flavored beras cerdas ended at week 4. The
reaction in accordace with the parameters of the peroxide value and free fatty acid is zero order reactio. The
results showed that the parameter had the smallest activation energy was the critical parameters for the
expired date. The peroxide value was used as a model in determining the expired date by linear regression y
= -713,25x + 8,167. The expired date of beras cerdas was 3,40 weeks at 30 oC.
Keywords: arrhenius approach, ASLT, beras cerdas

Effect of Temperature and Maseration Time on Volatile Aroma Constituents of


Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC.
Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar ,
Titin Mahardini, dan Indera Wirawan
Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
yhoely@yahoo.com

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) is typical of North Sumatra spice plant that is widely used as
specific flavor. In other hand andaliman has several benefits such as antimicrobial, antioxidant and as an
immunomodulator. Studies on the effect of the extraction of the flavor components or potent odorant of
andaliman has been done, but the effect of maceration time and temperature on extraction to the flavor
components have not reported yet. This research were conducted to study the effect of temperature and time
of maceration of andaliman gainst theirs volatile compounds.. Andaliman extracted by maceration method
using ethanol and ethyl acetate (1: 1) for 2 hours, 4 hours, and 6 hours on room temperature and 40 C. The
extracts were analyzed using GC-MS followed by GC-O to analyze potential odorants. The results showed that
geranyl acetate were the main compound of andaliman extracted using ethanol: ethyl acetate (1: 1) at room
temperature while after 6 hours of maceration D-Limonene replaced the dominance of geranyl acetate.
Maceration at 40 C also show geranyl acetate as the dominant volatile components at 2 hours maceration.
After 4 hours of maceration 40 C, citronellol played as dominant volatile compound, whereas after 6 hours
of maceration at 40 C D-Limonene played as dominant volatile compound followed by geranyl acetate. That
can showed that temperature and time of maceration process of andaliman can affect the dominant flavor
compound of the extract. However aroma were described from sniffing port of GC-O on andaliman are
macerated at room temperature varies from andaliman-like, green, flowery, sour and earthy. While on
andaliman macerated at 40 C the aroma described are flowery aroma, green, sweet, and spicy. This may
conclude that the process of drying of raw materials could affect aroma that described by using GC-O.
Keywords: andaliman, flavor, maceration, volatile compound, Zanthoxylum acanthopodium

Halaman | ix

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Review on Food Safety of 3 MCPD Esters in Edible Oils/ Fats and in Other Foods
Agus Sudibyo dan Nami Lestari
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
asdibyo_as@yahoo.co.id

In todays global demand for healthy and safe foods, consumers are looking for foods without or with least
contaminants. Esters of 2and 3mono-chloro-propane1.2diol(MCPD) and glycidol esters are important
contaminants of processed edible oils used as foods or food ingredients. 3mono-chloro-propane1.2diol
(3MCPD) esters is a food contaminants classified as a possible human carcinogen, so for a tolerable daily
intake was established of 2 g/kg body weight.Recent studies have identified high levels of 3 MCPD esters
in refined edible fats, such as margarine and oils and in fat containing foods including infant formula and
human milk. Other related esters compounds such as 2-MCPD esters and glycidol esters are also expected to
occur. Only a little toxicological data are available in 3MCPD esters. This review describes the occurrence of
3MCPD esters in food products, possible factors that cause the formation of 3MCPD esters, toxicological
studies and determination of 3MCPD esters in food products.
Keywords: review, 3 MCPD esters, edible oils, food safety

Development of Production Process of Palm Oil Based Shortening in Small-Scale


Industry with Capacity of 50 kg/Batch
Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin
Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
hasibuan_abdi@yahoo.com

This research was conducted to develop the manufacturing process of frying, creaming, baking and butter
oil substitute shortenings on a small scale industry with a capacity of 50 kg/batch. The process conditions
optimized were temperature and time of cooling in the reactor with three conditions, namely 52, 122,
202 C during the processing time of 0, 30, 60, 90, 120 minutes. Shortening that generated in each
condition were analyzed the water content, form and color as well as the quality of the product during
storage of 5 weeks include emulsion stability, shape and texture. Shortening products were produced by the
three conditions of temperature and processing time up to 120 minutes contained adequate moisture
content (<0.1%). At the temperature of the cooling medium 52 C and 122 C with a processing time of
more than 45 minutes resulted in shortening shaped and pale cream to white. During storage, the products
shaped cream were separated into two layers of cream and oil (oily) except for creaming shortening. The
optimum conditions in the formation of a good texture for the four types of shortening the cooling medium
were obtained at temperature of 52 C or 122 C for 30 minutes. In these conditions the products were
obtained had a semi-solid or solid form with a soft or hard texture that relatively stable during storage of 5
weeks.
Keywords: shortening, palm oil, texture, optimization process condition, texturing reactor

Halaman | x

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Use of Various Cocoa Butter Substitute (CBS) Hydrogenated in Making Chocolate Bar
Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman S.
Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
mirnaisyanti0305@gmail.com

Research utilization of Cocoa Butter Substitute (CBS) for the processed chocolate products have been
conducted. This study aims to harness Cocoa Butter Substitute (CBS) hydrogenated into chocolate bars,
analyze various types of CBS in the process of making chocolate bars, and determine the level of consumer
acceptance of the products processed chocolate bars. Analyze were proximate analysis, melting point, the
profile of triglycerides, fatty acid profile, total fat solids (SFC), the particle size, nutritional value information,
and expired date (accelerated). Physical and chemical analysis chocolate bars indicate the water content
ranged from 0.98 to 1.36%, ash content of 1.43 to 2.37%, from 1.90 to 7.05% protein, fat from 31.1 to 37.7%,
numbers iodine 4.0 to 16.9 g iodine per 100 g, the refractive index of 1.4485 to 1.4545, and there were no
trans fats found. The melting point of chocolate bar products selected FHPKSt 32C, the solid fat content in
the form steep near-perfect start to melt temperature pd 40C. Poduk commercial chocolate showed a high
melting point, 37C and 40C. Product acceptance testing CBS chocolate bars with ingredients chosen by the
panelists was the type Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt), with CBS percentage of 30 percent.
Based on the origin of the hydrogenation process, CBS types suitable to be made into chocolate bars are CBS
types Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) with a perfect through the hydrogenation process.
Selected triglyceride profiles chocolate bars (types FHPKSt) and commercial chocolate showed a dominance
TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLap and LMM/LaOM derived from palm kernel oil. Particle measurement
chocolate bars that particle size is smaller than the commercial one. The shelf life of the product is a
chocolate bar for 35 weeks with storage at 25oC with the critical parameter is the moisture content.
Keywords: Cocoa Butter Substitute (CBS), chocolate bars, hydrogenated, palm kernel oil

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8


Halaman | 1

Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf,


Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life
Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius
Shelf Life Prediction of Beras Cerdas Made from Mocaf, Corn Flour Using Accelerated
Shelf-Life Testing (ASLT) Method of Arrhenius Approach
Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
mamorusan_82@yahoo.com / nurud.ftp@unej.ac.id

Riwayat Naskah: ABSTRAK : Beras cerdas merupakan beras tiruan yang dibuat dari bahan-bahan non beras
Diterima 04, 2015
Direvisi 05, 2015
Disetujui 06, 2015

dan non terigu dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Bahan baku beras cerdas
meliputi mocaf, tepung jagung, susu skim, air, alginat, STPP, dan minyak sawit. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan umur simpan beras cerdas menggunakan metode ASLT
melalui pendekatan Arrhenius. Penentuan umur simpan beras cerdas dilakukan dalam
dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik dengan menggunakan sampel yang
disimpan pada suhu 30 C, 40 C, 50 C dan 60 C untuk menentukan batas akhir
penyimpanan berdasarkan parameter aroma dari penilaian panelis. Tahap kedua adalah
penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan perubahan kualitas
produk selama penyimpanan. Lebih dari 50% panelis menyatakan beras cerdas beraroma
tengik berakhir pada minggu ke-4 suhu 60C. Reaksi yang sesuai dengan parameter nilai
peroksida dan asam lemak bebas adalah reaksi orde nol. Nilai energi aktivasi terkecil
digunakan untuk penentuan umur simpan produk yaitu nilai peroksida dengan regresi
linier y = -713,25x + 8,167. Umur simpan beras cerdas adalah 3,40 minggu pada suhu 30
C.
Kata kunci: ASLT, beras cerdas, pendekatan Arrhenius

ABSTRACT: Beras cerdas is an artificial of rice made from non rice and non wheat raw
material by twin screw extruder. The ingredients of beras cerdas were Mocaf, corn flour,
skim milk, water, alginate, STPP, and palm oil. The objective of this study were to observe
the shelf life of beras cerdas using ASLT method with Arrhenius approach. Determination
of shelf life of beras cerdas carried out in two stages. The first stage was the organoleptic
test using a sample stored at a temperature of 30 C, 40 C, 50 C and 60 C to determine the
end point of storage life based on the parameters aroma of panelist assessment. The second
stage was to determine the shelf life by the Arrhenius method based on changes in the
quality of the product during storage. More than 50 % of panelists expressed rancid
flavored beras cerdas ended at week 4. The reaction in accordace with the parameters of
the peroxide value and free fatty acid is zero order reactio. The results showed that the
parameter had the smallest activation energy was the critical parameters for the expired
date. The peroxide value was used as a model in determining the expired date by linear
regression y = -713,25x + 8,167. The expired date of beras cerdas was 3,40 weeks at 30 oC.
Keywords: arrhenius approach, ASLT, beras cerdas

1. Pendahuluan
Indonesia Kebutuhan beras di Indonesia
semakin meningkat setiap tahunnya namun belum
diimbangi dengan peningkatan produksi padi.

Kondisi tersebut mengakibatkan ketersediaan


beras Indonesia belum bisa mencukupi kebutuhan.
Pemenuhan kebutuhan beras dapat dilakukan
dengan substitusi komoditi pangan lokal
(indigenous resources) yang lain sebagai upaya

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf, Tepung Jagung
Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.

Halaman | 2

diversifikasi pangan. Substitusi pangan lokal dapat


dilakukan dengan pembuatan beras cerdas
berbahan pangan lokal.
Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari non
padi dengan kandungan karbohidrat mendekati
atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal
atau tepung beras (Samad, 2003). Menurut Gumilar
(2012), beras cerdas reguler dengan tidak adanya
penambahan daun katuk dan kacang merah
memiliki komposisi kimia yakni kadar air 7,80 %,
kadar lemak 5,76 %, kadar abu 1,60 %, kadar
protein 9,12 %, kadar serat kasar 6,80 %, dan kadar
pati 61,06 %. Komposisi beras cerdas dapat
terdiri dari mocaf, tepung jagung, dan bahan
lainnya yang terdiri dari susu skim, air, alginat,
garam, STPP, dan minyak sawit (Subagio et al.,
2012). Adanya kandungan lemak yang terdapat
pada masing-masing bahan berpotensi memicu
terjadinya perubahan kimiawi beras cerdas
selama penyimpanan yang dapat mengurangi umur
simpannya.
Umur simpan produk pangan adalah selang
waktu antara saat produksi hingga konsumsi
dimana produk berada dalam kondisi yang
memuaskan
berdasarkan
karakteristik
penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi
(IFST, 1974). Perubahan kimiawi yang terjadi pada
beras cerdas adalah oksidasi lemak. Selama
penyimpanan, resiko komponen lemak mengalami
oksidasi besar. Pendugaan umur simpan beras
cerdas dilakukan dengan metode Accelerated ShelfLife Testing (ASLT). Metode ini dilakukan dengan
menggunakan
suatu
kondisi
yang
dapat
mempercepat proses penurunan mutu pangan,
seperti suhu (Rahayu, Arpah dan Diah, 2005).
Peningkatan suhu menyebabkan perubahan mutu
cepat terjadi, sehingga menyebabkan umur simpan
pendek. Penelitian ini bertujuan untuk menduga
umur simpan beras cerdas berbasis mocaf dan
tepung jagung dengan metode Accelerated Shelf Life
Test (ASLT) melalui pendekatan Arrhenius.
2. Bahan dan Metode
2.1. Bahan
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian
ini ialah beras cerdas yang diperoleh dari pabrik
beras cerdas di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan
Kranjingan Kecamatan Sumbersari, Jember.
Sedangkan bahan kimia dengan kualifikasi pro
analis digunakan sebagai bahan analisis meliputi:
etanol netral 96%, indikator pp, larutan NaOH 0,1 N
standar, larutan asam asetat-kloroform (3:2),
larutan jenuh KI, larutan pati 1%, larutan Na 2S2O3
0,1 N dan aquades.

2.2. Metode
Penentuan umur simpan beras cerdas ini
dilakukan dalam 2 tahap yaitu penentuan
karakteristik mutu kritis dan penentuan umur
simpan
menggunakan
metode
Arrhenius
berdasarkan perubahan mutu produk selama
penyimpanan. Tahap pertama, penentuan mutu
kritis dilakukan menggunakan uji organoleptik
untuk menentukan batas akhir dari penyimpanan
berdasarkan penilaian panelis. Sampel yang
digunakan pada tahapan ini adalah sampel yang
disimpan pada suhu 60 C untuk. Uji organoleptik
ini dilakukan setiap seminggu sekali dan berakhir
ketika 50% panelis menyatakan menolak beras
cerdas. Tahap kedua, penentuan umur simpan
dengan pendekatan Arrhenius
berdasarkan
perubahan
mutu
beras
cerdas
selama
penyimpanan. Tahapan ini meliputi penentuan
perubahan mutu secara kimia, plot data kurva
perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama
penyimpanan(sumbu x), dan ln perubahan mutu
(sumbu y) terhadap lama penyimpanan (sumbu x),
penentuan ordo reaksi berdasarkan koefisien
determinasi (R2), plot kurva pra-eksponensial k (ln
k) versus suhu (1/T dalam K), penentuan energi
aktivasi, dan prediksi umur simpan.
2.2.1. Preparasi sampel
Preparasi
sampel
dilakukan
dengan
mengemas beras cerdas menggunakan plastik
polipropilen, kemudian sampel disimpan pada suhu
30 C, 40 C, 50 C dan 60 C (suhu penyimpanan
dikondisikan pada suhu penyimpanan komersial
dan di atas suhu penyimpanan untuk mempercepat
terjadinya kerusakan).
2.2.2 Penentuan karakteristik mutu kritis beras
cerdas
Penentuan batas umur simpan dapat dilakukan
dengan uji organoleptik, dengan menetapkan
persentase peluang penolakan konsumen terhadap
produk (Hough, Garitta, Gomez, 2006). Pengujian
organoleptik (aroma) dilakukan oleh panelis semi
terlatih sebanyak 7 orang (Gacula dan Kubala,
1975) yaitu mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Jember yang melakukan
penelitian mengenai beras cerdas karena panelis
sudah terbiasa dengan karakteristik sampel,
dilakukan setiap seminggu sekali dan pada setiap
pengamatan panelis yang digunakan tidak berubah.
Sampel disimpan pada suhu 30 C, 40 C, 50 C, dan
60 C. Dalam uji organoleptik, panelis diminta
memutuskan apakah beras cerdas yang diuji
masih dapat diterima atau ditolak. Batas akhir dari
pengujian organoleptik ketika 50% panelis
menolak produk tersebut. Uji organoleptik ini

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8


Halaman | 3

dilakukan dengan metode line scale. Masing-masing


panelis disajikan satu piring kecil yang terdiri
empat sampel beras cerdas yang disimpan suhu
30 C, 40 C, 50 C, dan 60 C dan satu piring berupa
beras cerdas standar (segar atau baru
diproduksi), kemudian panelis diminta untuk
mengamati secara keseluruhan apakah produk
tersebut sudah ditolak, lalu menentukan skor
penolakan terhadap aroma. Berikut adalah skor
penolakan aroma beras cerdas berbasis mocaf
dan tepung jagung :
Parameter aroma:
1= Sama sekali tidak terdapat adanya perubahan
aroma ketengikan
2= Sangat sedikit adanya perubahan aroma
ketengikan
3= Sedikit ada adanya perubahan aroma ketengikan
4= Cukup terdeteksi terlihat adanya perubahan
aroma ketengikan
5= Cukup kuat terdeteksi adanya aroma ketengikan
6= Terdeteksi dengan kuat dan jelas adanya aroma
ketengikan
2.2.3 Pengujian
umur
simpan
pendekatan Arrhenius

adalah energi aktivasi dan R adalah konstanta gas


ideal yaitu 1,986 kal/mol K (Hermanianto, Arpah,
dan Jati, 2000; Sithole, Mc Daniel, Goddik, 2005).
d. Penentuan energi aktivasi
Nilai slope (b) dari persamaan Arrhenius dikali
dengan R akan menghasilkan nilai energi aktivasi
(Ea kal/mol).
e. Prediksi umur simpan
Laju reaksi k pada suhu tertentu ditentukan
dengan memasukkan nilai suhu T (K) ke dalam
persamaan Arrhenius. Prediksi umur simpan
didapatkan dari selisih perubahan mutu sesudah
penyimpanan dengan sebelum penyimpanan dibagi
nilai k (Lee and Krochta, 2002). Adapun rumus
penentuan umur simpan adalah sebagai berikut:

keterangan :

berdasarkan

a. Plot kurva perubahan mutu (A) versus waktu (t)


Perubahan mutu produk yang diukur selama
penyimpanan dengan analisis kimia, pada tahap ini
diplotkan ke dalam kurva (A) (sumbu y) versus (t)
(sumbu x), dan kurva ln (A) versus (t), sehingga
masing-masing kurva akan didapatkan 4 (empat)
persamaan linier y = a + bx (persamaan pada suhu
30, 40, 50, dan 60 C), dimana nilai slope (b) dan
nilai konstanta (k).
b. Penentuan ordo reaksi
Ordo reaksi ditentukan dari persamaan kurva
yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang
lebih besar. Ordo nol ditentukan jika nilai R2
persamaan pada kurva (A) vs (t) lebih besar
dibandingkan dengan nilai R2 pada persamaan
kurva ln (A) vs (t). Sedangkan ordo satu ditentukan
jika nilai R2 persamaan pada kurva ln (A) vs (t)
lebih besar dibandingkan dengan nilai R2 pada
persamaan kurva (A) vs (t).
c. Plot kurva pra-eksponensial k (ln k) versus suhu
(1/T dalam K)
Nilai slope b persamaan yang digunakan
berdasarkan ordo reaksi yang ditentukan. Praeksponensial (ln k) dari nilai slope kemudian
diplotkan ke dalam kurva pra-eksponensial (ln k)
(sumbu y) versus invers suhu (1/T dalam K)
(sumbu x). Dari kurva nilai pra-eksponensial (ln k)
versus invers suhu (1/T dalam K) akan dihasilkan
persamaan linier y = a + bx atau ln k = ln ko
(Ea/R) (1/T) atau disebut persamaan Arrhenius,
dengan ln ko adalah intersep, Ea/R adalah slope, Ea

2.2.4 Analisis asam lemak bebas (Nielsen, 2011)


Pertama-tama 0,2 g sampel diletakkan dalam
erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 50 ml
alkohol netral yang panas dan 2 ml indikator pp,
dan titrasi dengan larutan 0,1 N NaOH sampai
warna merah jambu dan tidak hilang 30 detik.
Rumus penentuan asam lemak bebas adalah :

2.2.5 Analisis angka peroksida (Sudarmadji dkk,


1997)
Uji angka peroksida dilakukan untuk
mengetahui terjadinya reaksi oksidasi dalam bahan
yang mengandung lemak. Sampel beras cerdas
ditimbang seberat 1 g dalam labu erlenmeyer 250
ml, kemudian dimasukkan 30 ml campuran pelarut
asam asetat:khloroform (3:2). Setelah beras cerdas
larut, ditambahkan 0,5 ml larutan kalium iodida
jenuh dan didiamkan selama 1 menit kadang kala
digoyang, kemudian ditambahkan 30 ml aquades.
Selanjutnya dilakukan titrasi 0,1 N Na 2S2O3 sampai
warna
kuning
hampir
hilang.
Kemudian
ditambahkan 0,5 ml larutan pati 1%. Selanjutnya
dilakukan titrasi sampai warna abu-abu mulai
hilang. Kadar angka peroksida ditentukan
berdasarkan rumus :

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf, Tepung Jagung
Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.

Halaman | 4

2.2.6.

3.2. Kinetika Arrhenius berdasarkan perubahan


mutu

Analisis data

Data yang didapatkan dianalisis menggunakan


metode regresi linier pada program Microsoft
Excel.
3.

Hasil dan Pembahasan

Kinetika reaksi dasar dihutung dari masingmasing produk yang disimpan pada suhu 30, 40, 50
dan 60 C melalui analisis kimia yang meliputi
kadar air, angka peroksida dan asam lemak bebas.

3.1. Karakteristik mutu kritis beras cerdas

3.3. Kadar peroksida

Penentuan mutu kritis beras cerdas


dilakukan pada suhu penyimpanan 60 C dengan
tujuan untuk mempercepat kerusakan produk.
Rata-rata jumlah panelis yang melakukan
penolakan terhadap aroma beras cerdas yang
dibuat dari Mocaf dan tepung jagung selama
disimpan pada suhu 60C dapat dilihat pada Tabel
1.

Laju pembentukan peroksida beras cerdas


berbasis mocaf dan tepung jagung pada berbagai
suhu penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1
Persentase penolakan panelis terhadap aroma beras cerdas
selama penyimpanan pada suhu 60 oC
% Penolakan Panelis
Lama Penyimpanan Beras
Cerdas (Minggu Ke-)
0
0
1
0
2
0
3
28,57
4
71,42

Berdasarkan Tabel 1, beras cerdas tersebut


ditolak oleh 50% panelis setelah penyimpanan
pada minggu ke-4 dengan persentase penolakan
panelis terhadap aroma sebesar 71,42%. Skor
penolakan terhadap aroma mengalami peningkatan
selama penyimpanan dikarenakan aroma tengik
pada beras cerdas berbasis Mocaf dan tepung
jagung semakin terdeteksi. Setelah diketahui batas
akhir penerimaan konsumen, selanjutnya dilakukan
analisis kimiawi parameter mutu
untuk
menentukan nilai karakteristik mutu akhir beras
cerdas (At). Nilai karakteristik mutu awal (A0) dan
nilai karakteristik mutu akhir beras cerdas (At)
digunakan untuk menentukan umur simpan beras
cerdas melalui plot umur simpan berdasarkan
orde reaksinya. Adapun nilai karakteristik mutu
awal (A0) dan akhir (At) beras cerdas pada saat
ditolak oleh panelis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Karakteristik nilai mutu awal (ao) dan nilai mutu akhir (at)
beras cerdas selama penyimpanan pada suhu 60 OC
No.
Parameter
Nilai Mutu
Ao
At
1.
Angka peroksida (meq/ kg sampel)
580,93
2125,69
2.
Kadar asam lemak bebas (%)
2,93
4,86

Tabel 3.
Laju terbentuknya peroksida pada beras cerdas pada berbagai
suhu penyimpanan
Lama
Laju Terbentuknya Peroksida (meq/kg
Penyimpanan
sampel)
(Minggu ke-)
30 C
40 C
50 C
60 C
0
580,93
580,93
580,93
580,93
1
707,01
985,86
1200,38 1407,47
2
1199,20 1451,28 1969,29 1985,00
3
1662,17 2079,74 2170,87 2307,38
4
1712,02 1907,20 2101,14 2125,69

Hasil pengamatan terhadap kadar peroksida


pada berbagai suhu penyimpanan beras cerdas
yang dibuat dari mocaf dan tepung jagung
menunjukkan terjadinya peningkatan kadar
peroksida pada awal masa penyimpanan hingga
penyimpanan pada minggu ke-3 kemudian
cenderung menurun lagi. Kenaikan angka peroksida
di awal penyimpanan tersebut diduga karena
sejumlah oksigen terikat pada ikatan rangkap asam
lemak dan membentuk perosida aktif. Penurunan
kadar peroksida beras cerdas setelah minggu ke-3
penyimpanan diduga disebabkan peroksida yang
terbentuk telah terurai menjadi hidroperoksida. Hal
ini sesuai dengan pendapat Ketaren (1986) bahwa
peroksida dapat berubah menjadi hidroperoksida
dan senyawa dengan rantai karbon yang lebih
pendek berupa aldehida dan keton yang bersifat
volatile. Selama penyimpanan, diduga ikatan
rangkap dalam asam lemak dapat teroksidasi
seluruhnya membentuk peroksida dan peroksida
yang terbentuk juga telah mengalami degradasi
menjadi hidroperoksida. Dengan demikian, jika
semua ikatan rangkap pada beras cerdas sudah
teroksidasi seluruhnya maka tidak akan ada
peroksida yang terbentuk sehingga jumlah
peroksida dalam beras cerdas semakin menurun
(Ketaren, 1986).
Plot perubahan mutu (sumbu y) terhadap
lama penyimpanan (sumbu x) dan ln perubahan
mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan
(sumbu x) disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8


Halaman | 5

Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa nilai R2


ordo nol pada suhu 30 C, 40 C, 50 C, dan 60 C
lebih besar dibanding R2 pada ordo satu. Ordo nol
menunjukkan laju reaksi perubahan angka
peroksida selama penyimpanan tidak dipengaruhi
konsentrasi
reaktan.
Peningkatan
maupun
penurunan konsentrasi reaktan angka peroksida
akan selalu memberikan pengaruh yang konstan
terhadap laju reaksi perubahan angka peroksida,
sehingga perubahan angka peroksida selama
penyimpanan akan menghasilkan bentuk yang
linier pada kurva (Anonymous, 2008; Keusch,
2010). Nilai k dan ln k masing-masing suhu
penyimpanan pada orde satu akan ditampilkan
pada Tabel 5.
Gambar 1. Perubahan kadar peroksida beras cerdas pada suhu
penyimpanan
30oC,
40oC,
50oC, dan
60oC

Tabel 5
Nilai konstanta laju reaksi (k) dan ln k angka peroksida beras
cerdas pada berbagai suhu penyimpanan
Suhu C (K)
Nilai k
ln k
30 (303)
321,74
5,77
40 (313)
374,64
5,93
50 (323)
401,02
5,99
60 (333)
398,94
5,99

Selanjutnya, plot nilai ln k dan 1/T pada reaksi


perubahan angka peroksida beras cerdas akan
ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 2. Perubahan ln kadar peroksida beras cerdas pada


suhu penyimpanan

30oC,

40oC

50oC, dan

60oC

Pemilihan kinetika orde reaksi dilakukan


dengan cara membandingkan nilai koefisien
korelasi (R2) tiap persamaan regresi linier pada
suhu yang sama dari reaksi orde nol (A diplotkan
terhadap waktu) dan reaksi orde satu (ln A
diplotkan terhadap waktu). Orde reaksi dengan
nilai R2 yang lebih besar merupakan orde reaksi
yang digunakan (Labuza and Riboh, 1982).
Selanjutnya hasil perhitungan ditabulasikan pada
Tabel 4 yang merupakan persamaan regresi linier
parameter angka peroksida pada ordo nol dan ordo
satu.
Tabel 4
Persamaan regresi linier untuk perubahan peroksida (e) orde
nol dan orde satu pada beras cerdas
Suhu C
Orde Nol
Orde Satu
(K)
Persamaan
R2
Persamaan
R2
Linier
Linier
30 (303) Y = 321,74x +
0,9426 Y = 0,3016x
0,9354
528,79
+ 6,372
40 (313) Y = 374,64x +
0,8972 Y = 0,3124x
0,8854
651,72
+ 6,5215
50 (323) Y = 401,02x +
0,8417 Y = 0,3163x
0,7904
802,34
+ 6,642
60 (333) Y = 398,94x +
0,8089 Y = 0,3089x
0,7402
883,41
+ 6,7049

Gambar 3. Persamaan Arrhenius untuk perubahan angka


peroksida (E) beras cerdas selama penyimpanan

Persamaan Arrhenius berdasarkan parameter


perubahan peroksida pada beras cerdas adalah y
= -713,25x + 8,1674, dengan nilai R sebesar =
0,804, sehingga didapatkan nilai energi aktivasi (Ea) = (-713,25K-1) x (1,986 kal/moloK) = 1416,51/mol.
3.4. Kadar asam lemak bebas
Asam lemak bebas atau FFA menunjukkan
sejumlah asam lemak bebas yang terkandung oleh
lemak yang rusak, terutama karena peristiwa
oksidasi dan hidrolisis (Gunawan et al., 2003). Laju
pembentukan asam lemak bebas beras cerdas
pada masing-masing suhu selama empat minggu
penyimpanan berbeda-beda dapat dilihat pada
Tabel 6.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf, Tepung Jagung
Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.

Halaman | 6
Tabel 6
Laju terbentuknya asam lemak bebas beras cerdas pada
berbagai suhu penyimpanan
Lama
Laju Terbentuknya Asam Lemak
Penyimpanan
Bebas (%)
(Minggu ke-)
30 C
40 C
50 C
60 C
0
2,93
2,93
2,93
2,93
1
2,99
3,01
3,02
3,35
2
3,23
3,38
3,42
3,49
3
3,30
3,47
3,48
4,70
4
3,73
3,73
3,75
4,86

Hasil pengamatan Tabel 6, menunjukkan


terjadi peningkatan asam lemak bebas dari awal
penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Kadar
asam lemak bebas tertinggi adalah pada suhu
penyimpanan 60 C yaitu 4,86%, kemudian pada
suhu 50 C sebesar 3,75% dan selanjutnya suhu 30
dan 40 C sebesar 3,73 %. Kenaikan kadar asam
lemak bebas disebabkan proses oksidasi lemak.
Asam lemak bebas akan terbentuk selama proses
oksidasi yang dihasilkan dari pemecahan dan
oksidasi ikatan rangkap. Adanya pemanasan asam
lemak tidak jenuh terurai akibat permukaan beras
cerdas yang panas dan kontak langsung dengan
udara. Rantai karbon dalam ikatan rangkap
terputus sehingga asam lemak bebas bertambah.
Plot data kurva perubahan mutu terhadap lama
penyimpanan dan ln perubahan mutu (sumbu y)
terhadap lama penyimpanan (sumbu x) disajikan
pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Ordo reaksi terhadap laju perubahan asam


lemak bebas dapat ditentukan berdasarkan
determinasi persamaan plot perubahan kadar asam
lemak bebas versus waktu. Persamaan dan
koefisien determinasi (R2) berdasarkan ordo nol
dan ordo satu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Persamaan regresi linier untuk perubahan asam lemak bebas
(e) orde nol dan orde satu pada beras cerdas pada berbagai
suhu penyimpanan
Suhu C
Orde Nol
Orde Satu
(K)
Persamaan Linier
R2
Persamaan
R2
Linier
30 (303) Y = 0,1903x + 2,853
0,91
Y = 0,057x + 1,054
0,92
40 (313) Y = 0,2057x + 2,893
0,96
Y = 0,062x + 1,066
0,96
50 (323) Y = 0,209x + 2,900
0,95
Y = 0,063x + 1,068
0,95
60 (333) Y = 0,5218x + 2,822
0,91
Y = 0,135x + 1,062
0,93

Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa nilai R2 ordo


satu pada suhu 30 C dan 60 C nilai lebih besar
daripada ordo nol. Hal ini menunjukkan bahwa
pada keempat suhu tersebut laju reaksi kadar asam
lemak bebas akan berbanding lurus dengan
konsentrasi pereaksi. Hal tersebut cenderung
sesuai dengan pendapat Rifkowaty (2010),
peningkatan konsentrasi akan meningkatkan laju
reaksi, dan penurunan konsentrasi akan
menurunkan laju reaksi, sehingga plot perubahan
mutu terhadap waktu pada orde satu mengikuti
pola natural logaritma (ln). Nilai k dan ln k masingmasing suhu penyimpanan pada orde nol akan
ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8
Nilai konstanta laju reaksi (k) dan ln k pada masing-masing suhu
penyimpanan
Suhu C (K)
Nilai K
ln K
30 (303)
0,0579
-2,85
40 (313)
0,0624
-2,77
50 (323)
0,0634
-2,76
60 (333)
0,1400
-2,00

Gambar 4. Perubahan kadar asam lemak bebas beras cerdas


pada suhu penyimpanan
oC,

dan

30 oC,

40 oC,

50

60 oC

Gambar 5. Perubahan ln kadar asam lemak bebas beras cerdas


pada suhu penyimpanan
C, dan

Selanjutnya, plot nilai ln k dan 1/T pada reaksi


perubahan kadar asam lemak bebas beras cerdas
ditampilkan pada Gambar 6.

30 C,

40 C,

Gambar 6. Persamaan Arrhenius untuk perubahan kadar asam


lemak bebas (E) beras cerdas selama penyimpanan

50

60 C

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8


Halaman | 7

Persamaan Arrhenius berdasarkan paramater


perubahan kadar asam lemak bebas pada beras
cerdas adalah y = -2554,8x + 5,4525 dengan nilai
R sebesar 0,686, sehingga didapatkan nilai energi
aktivasi (-Ea) = (-2554,8 K-1) x (1,986 kal/mol K) = 5073,83/mol.
3.5. Umur simpan
Berdasarkan
hasil
perhitungan
dari
persamaan Arrhenius untuk parameter angka
peroksida dan kadar asam lemak bebas beras
cerdas berbasis Mocaf dan tepung jagung dapat
ditentukan umur simpan pada suhu 30 oC dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9
Umur simpan beras cerdas berdasarkan perubahan mutu
selama penyimpanan suhu 30 C
Parameter
Persamaan
Ea
ln k
k
Umur
Kimia
Arrhenius
Beras
Simpan
Cerdas
(Minggu)
Angka
Y = -713,25x
-1416,51
5,81
334,7
3,40
peroksida
+ 8,167
7
Kadar
Y = -2554,8x
-5073,83 -2,98
0,05
4,73
asam
+ 15,452
lemak
bebas

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa parameter


perubahan mutu angka peroksida beras cerdas
memiliki energi aktivasi terkecil. Prediksi umur
simpan pada beras cerdas didasarkan pada umur
simpan yang terkecil berdasarkan perubahan mutu.
Parameter perubahan mutu angka peroksida
memiliki nilai koefisien korelasi (R2) lebih besar
daripada nilai koefisien korelasi (R2) kadar asam
lemak bebas serta umur simpan beras cerdas
dengan perubahan mutu angka peroksida lebih
cepat daripada perubahan mutu asam lemak bebas,
sehingga umur simpan beras cerdas diambil dari
parameter angka peroksida (Kusnandar, 2004).
Prediksi umur simpan beras cerdas pada suhu 30
C adalah 3,40 minggu. Beras cerdas berbasis
Mocaf dan tepung jagung memiliki umur simpan
yang pendek hal ini disebabkan pada awal
penyimpanan beras cerdas sudah memiliki angka
peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi
berturut-turut yaitu sebesar 580,93 meq/kg sampel
dan 2,93 % yang diduga karena minyak yang
digunakan untuk pembuatan beras cerdas bukan
minyak segar melainkan minyak yang sudah
disimpan dalam jangka waktu yang lama.
4. Kesimpulan dan Saran
Pendugaan umur simpan beras cerdas
berbasis Mocaf dan tepung jagung dilakukan
selama empat minggu sesuai dengan titik kritis
yang ditentukan pada saat 50% panelis
menyatakan beras cerdas tidak layak dikonsumsi.

Pada parameter angka peroksida orde reaksi yang


digunakan yaitu orde nol, sedangkan pada
parameter kadar asam lemak bebas orde reaksi
yang digunakan yaitu orde satu. Parameter yang
sesuai untuk penentuan umur simpan adalah
parameter angka peroksida dengan persamaan
Arrhenius y = -713,25x + 8,167 dengan umur
simpan pada suhu 30 oC sebesar 3,40 minggu.
Di dalam pendugaan umur simpan berdasarkan
model Arrhenius sebaiknya ditentukan parameter
kritis dan skor batas mutu yang tepat untuk
menghindari kesalahan dalam pendugaan umur
simpan bahan pangan. Selain itu, di dalam
pembuatan beras cerdas sebaiknya lebih
diperhatikan lagi bahan baku yang digunakan,
penyimpanannya dan proses pengolahannya agar
dihasilkan umur simpan beras cerdas yang lebih
panjang.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Badan Ketahanan Pangan Kementerian RI dan
Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan dana
dalam penelitian tahun 2012.
Daftar Pustaka
Anonymous. (2008) Course Chapters: Kinetics. Developed by
Shodor Incoorperation Department of Chemistry, The
University
of
North
Carolina
at
Chapel
Hill,
WebMaster@shodor.org.
Gacula, M. C., & Kubala, J. J. (1975). Statistical Models For Shelf
Life Failures. Journal Of Food Science, 40(2), 404409.
Doi:10.1111/J.1365-2621.1975.Tb02212.X.
Gumilar, P.L. (2012).Beras Cerdas Modified Cassava Flour
(Mocaf) dengan Penambahan Daun Katuk dan Kacang
Merah.Jember: Universitas Jember.
Gunawan., Mudji Triatmo, M.A & Arianti Rahayu. (2003). Analisis
Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas
pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng.Jurnal
Kimia Sains dan Aplikasi,6(3), 1-6.
Hermanianto, J., Arpah, M., & Jati, W.K. (2000) Penentuan Umur
Simpan Produk Ekstrusi dari Hasil Samping Penggilingan
Padi (Menir dan Bekatul) dengan Menggunakan Metode
Konvensional,
Kinetika
Arrhenius
dan
Sorpsi
Isothermis.Buletin Teknol dan Industri Pangan, 10(2).
Hough, G., Garitta, L., & Gmez, G. (2006). Sensory shelf-life
predictions by survival analysis accelerated storage models.
Food
Quality
and
Preference,
17(6),
468473.
doi:10.1016/j.foodqual.2005.05.009
Institute of Food Science and Technology (IFST). (1974). Shelf
Life of Food.Journal Food Science, 39:861-865.
Kusnandar, F. (2004).Pendugaan Waktu Kadaluarsa (Shelf Life)
Bahan dan ProdukPangan : Aplikasi Progam Komputer
Sebagai Alat Bantu Penentuan Umur Simpan Produk Pangan
Metode Arrehenius. Bogor:Pusat Studi Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor.
Labuza, T.P & D. Riboh. (1982). Theory and aplication of
Arrhenius kinetics to the prediction of nutrien losses in
food.Journal Food Technology, 36, 66-74.
Lee, S.-Y., & Krochta, J. M. (2002). Accelerated shelf life testing of
whey-protein-coated peanuts analyzed by static headspace
gas chromatography. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 50(7), 20228.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan Beras Cerdas Berbasis Mocaf, Tepung Jagung
Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.

Halaman | 8
Nielsen, S.S. (2011) Food Analysis Laboratory Manual.USA:
Springer Science Medi.
Rifkowaty, E.E. (2010). Penentuan Umur Simpan Tepung
Fermentasi dari Sorgum Coklat var Lokal (Sorghum bicolor L.
Moench) Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf-Life
Testing) RH dan Suhu. Tidak Diterbitkan. Tesis. Progam
pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Samad, M.Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial
Rice)dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu.Journal Saint
dan Teknologi BPPT, 7.

Subagio, A., Nafi, A., Hermanuadi, D., Windrati, W.S. & Witono, Y.
(2012). Pengembangan Beras Cerdas Sebagai Pangan Pokok
Alternatif Berbahan Baku Mocaf. Jember: Universitas
Jember.
Sudarmadji., S. Haryono, B. & Suhardi. (1997).Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15


Halaman | 9

Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil


yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC)
Effect of Temperature and Maseration Time on Volatile Aroma Constituents of
Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC.
Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar , Titin Mahardini,
dan Indera Wirawan
Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
yhoely@yahoo.com

Riwayat Naskah:
Diterima 03,2015
Direvisi 03, 2015
Disetujui 04, 2015

ABSTRAK: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) merupakan tanaman rempah


khas Sumatera Utara yang banyak digunakan sebagai bumbu masak karena
memiliki citarasa yang khas. Selain itu andaliman memiliki beberapa manfaat
antara lain sebagai antimikroba, antioksidan dan sebagai immunomodulator. Studi
mengenai pengaruh proses ekstraksi terhadap komponen flavor andaliman telah
dilakukan, namun belum ada yang melihat pengaruh suhu dan waktu maserasi
terhadap komponen flavor pada ekstrak yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen
volatil yang terlibat di dalamnya. Andaliman diekstrak dengan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol dan etil asetat (1:1) pada suhu ruang dan pada suhu
40 C selama 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Hasil ekstraksi dianalisis komponen
volatilnya dengan menggunakan GC-MS dilanjutkan dengan analisis komponen
aroma yang terdeskripsikan dengan GC-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komponen flavor utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi andaliman dengan
maserasi menggunakan pelarut etanol: etil asetat (1:1) pada suhu ruang
didominasi oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6 jam maserasi terjadi
dominasi D-Limonene menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi pada
suhu 40 C juga menunjukkan geranyl acetate sebagai komponen volatil dominan
pada 2 jam maserasi. Setelah 4 jam maserasi 40 C, citronellol merupakan
komponen volatil dominan, sedangkan setelah 6 jam maserasi 40 C komponen
volatil yang dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl acetate. Suhu
maserasi dan waktu pada proses maserasi yang berbeda dapat menyebabkan
perubahan pada komponen flavor yang dominan pada ekstrak andaliman. Namun
komponen flavor yang dominan pada GC-MS tersebut tidak menunjukkan aroma
yang terdeskripsikan pada GC-O. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port
pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang bervariasi dari andaliman-like,
green, flowery, sour, dan earthy. Sedangkan pada andaliman yang dimaserasi pada
suhu 40 C adalah aroma flowery, green, sweet, and spicy lebih banyak
terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu maserasi dapat
mempengaruhi aroma yang terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O.
Kata kunci: andaliman, komponen volatil, flavor, maserasi, Zanthoxylum acanthopodium

ABSTRACT: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) is typical of North Sumatra


spice plant that is widely used as specific flavor. In other hand andaliman has
several benefits such as antimicrobial, antioxidant and as an immunomodulator.
Studies on the effect of the extraction of the flavor components or potent odorant
of andaliman has been done, but the effect of maceration time and temperature on
extraction to the flavor components have not reported yet. This research were
conducted to study the effect of temperature and time of maceration of andaliman
gainst theirs volatile compounds.. Andaliman extracted by maceration method
using ethanol and ethyl acetate (1: 1) for 2 hours, 4 hours, and 6 hours on room
WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen
Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15

Halaman | 10

temperature and 40 C. The extracts were analyzed using GC-MS followed by GC-O
to analyze potential odorants. The results showed that geranyl acetate were the
main compound of andaliman extracted using ethanol: ethyl acetate (1: 1) at room
temperature while after 6 hours of maceration D-Limonene replaced the
dominance of geranyl acetate. Maceration at 40 C also show geranyl acetate as
the dominant volatile components at 2 hours maceration. After 4 hours of
maceration 40 C, citronellol played as dominant volatile compound, whereas
after 6 hours of maceration at 40 C D-Limonene played as dominant volatile
compound followed by geranyl acetate. That can showed that temperature and
time of maceration process of andaliman can affect the dominant flavor compound
of the extract. However aroma were described from sniffing port of GC-O on
andaliman are macerated at room temperature varies from andaliman-like, green,
flowery, sour and earthy. While on andaliman macerated at 40 C the aroma
described are flowery aroma, green, sweet, and spicy. This may conclude that the
process of drying of raw materials could affect aroma that described by using GCO.
Keywords: andaliman, flavor, maceration, volatile compound, Zanthoxylum acanthopodium

1. Pendahuluan
Indonesia kaya dengan rempah rempah, salah
satu rempah yang mempunyai flavor disukai, asli
Indonesia dan sering digunakan untuk pengobatan
tradisional,
yaitu
andaliman
(Zanthoxylum
acanthopodium). Ada 549 spesies Zanthoxylum
tersebar luas diseluruh dunia terutama didaerah
bersuhu tropis, oleh karena itu senyawa yang
dikandung bervariasi. Beberapa khasiat andaliman
yaitu untuk pengobatan tradisional bagi orang
sakit, sebagai peningkat nafsu makan, juga sering
digunakan oleh orang Batak untuk menyembuhkan
sakit kepala (Yanti et al., 2011). Andaliman dapat
digunakan sebagai aditif pangan fungsional (Irawan
dan Wijaya, 2002), dapat digunakan sebagai
pengawet pada masakan karena kandungan
senyawa anti mikroba (Siswadi, 2001), antioksidan
(Tensiska et al., 2003), dan juga dapat berperan
sebagai anti bakteri dan anti jamur (Parhusip,
2006).
Beberapa permasalahan yang terjadi terkait
andaliman antara lain buah andaliman yang mudah
rusak dan berjamur dikarenakan buah yang
dipanen mengandung kadar air yang tinggi. Masa
simpan buah andaliman hanya beberapa hari dalam
suhu kamar, dan petani belum mengetahui teknik
pengawetan buah andaliman (Napitupulu, 2004).
Beberapa metode ekstraksi terhadap andaliman
telah dilakukan oleh Wijaya et al. (2002) dan telah
diketahui komponen volatil dan komponen kunci
aroma dari andaliman.
Wijaya et al. (2002) melakukan ekstraksi
andaliman dengan metode head space, LickensNickerson, maserasi, dan destilasi vakum dimana
dilaporkan bahwa ekstrak andaliman yang memiliki
aroma paling menyerupai bahan bakunya adalah
metode maserasi dan diikuti dengan metode
destilasi vakum. Akyla (2014) melaporkan bahwa

ekstrak andaliman memiliki flavor yang mirip serta


memiliki karakteristik trigeminal sebagaimana
bahan bakunya pada ekstrak yang diperoleh
melalui proses maserasi menggunakan etil asetat:
etanol (1:1) sebagai pelarut, dengan rendemen
ekstraksi 4,22% dibandingkan dengan jumlah
andaliman segar yang digunakan. Namun pada
penelitian tersebut belum dilakukan analisis
komponen volatil yang terlibat dalam proses
tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
pengaruh suhu dan waktu ekstraksi dengan pelarut
terhadap komponen volatil yang terlibat.
2. Bahan dan Metode
2.1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian
ini meliputi buah andaliman (Zanthoxyylum
acanthopodium) yang diperoleh dari Sumatera
Utara, pelarut yang digunakan pada proses
ekstraksi ini adalah etil asetat dna etanol dengan
perbandingan (1:1), serta natrium sulfat anhidrat.
2.2. Alat
Peralatan yang digunakan antara lain neraca,
waring blender, peralatan gelas seperti labu ukur,
erlenmeyer, dan pipet volumetrik, bejana untuk
maserasi, rotary vacuum evaporator, dan gas
chromatography-mass
spectrometry
(GC-MS)
(Shimadzu GC 9AM) dan gas chromatography
olfactometry (GC-O) (Shimadzu QP).

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15


Halaman | 11

2.3. Metode

3. Hasil dan Pembahasan

2.3.1.

3.1. Hasil ekstraksi andaliman

Ekstraksi andaliman

Pada penelitian ini ekstraksi andaliman dilakukan


pada suhu ruang dan suhu 40 C dengan
menggunakan campuran pelarut etanol dan etil
asetat dengan perbandingan 1:1, sedangkan waktu
proses ekstraksi dilakukan selama 2,4, dan 6 jam.
Variabel perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1
Variabel perlakuan ekstraksi andaliman
Suhu
Lama Proses Ekstraksi
ekstraksi
2 jam
4 jam
40 C
B2T40
B4T40
T ruang
B2TR
B4TR
(25 C)

6 jam
B6T40
B6TR

Setiap hasil ekstraksi tersebut dipekatkan dengan


rotary vacuum evaporator menggunakan suhu 5 C
di atas suhu didih pelarut. Natrium sulfat anhidrat
dimasukkan ke dalam hasil ekstraksi untuk
menghilangkan air dari ekstrak. Dilakukan
penyaringan ekstrak dengan kertas saring sebelum
dilakukan analisis dengan GC-MS dan GC-O.
2.3.2.

Analisis dengan GC-MS

GC-MS dengan kolom kapiler DB-5 (30 m,


diameter dalam 0,25 mm, tebal film 0,25 m) dan
detektor FID yang digunakan untuk menganalisis
komponen volatil dari ekstrak hasil dari berbagai
perlakuan pada Tabel 1. Kondisi ekstraksi adalah
sebagai berikut: suhu injektor 230 C, suhu
detektor 230 C, suhu program 40 C (5 menit),
4C/ menit, 230 C (2 menit). Volume injeksi 1 l.
Nilai LRI (Linear Retention Indices) masing-masing
peak dihitung berdasarkan data waktu retensi nalkana standar (C8 C22 tanpa C9 dan C19) yang
disuntikkan pada kondisi yang sama dengan
kondisi penyuntikan sampel (Wijaya, 2001).
2.3.3.

Hasil ekstrak andaliman dengan proses


maserasi yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar
1.

Analisis dengan GC-O

Kondisi analisis GC merk Shimadzu GC-9AM,


kolom kapiler HP-5 (panjang 30 m, diameter dalam
0,32 mm, ketebalan film 0,25 m), detektor FID. Gas
pembawa Helium dengan aliran 1 ml/menit. Suhu
injektor 230 C, suhu detektor 230 C (5 menit),
suhu program 50 C (3 menit), 8 C/ menit, 220 C
(5 menit). Ekstrak volatil andaliman disuntikkan ke
dalam kromatografi gas yang dilengkapi dengan
sniffing port. Pengujinya adalah 2 orang panelis
terlatih. Pemisahan komponen volatil dalam kolom
kapiler GC/O dilakukan dengan menginjeksikan 2 l
sampel ke dalam instrumen GC (Wijaya, 2001).

Keterangan :
B2TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu ruang selama 2 jam
B4TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu ruang selama 4 jam
B6TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu ruang selama 6 jam
B2T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu 40oC selama 2 jam
B4T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu 40oC selama 4 jam
B6T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi
pada suhu 40oC selama 6 jam
Gambar. 1 Hasil ekstraksi andaliman basah. Dari kiri ke kanan
B2TR, B4TR, B6TR, B2T40, B4T40, B6T40.

Berdasarkan penampakan ekstrak secara visual,


dapat dilihat bahwa andaliman yang diekstrak
menggunakan suhu 40 C memiliki warna ekstrak
yang lebih pekat dibandingkan dengan ekstrak yang
dimaserasi pada suhu ruang. Semakin lama waktu
maserasi yang dilakukan juga menunjukkan warna
ekstrak yang lebih pekat. Sabri et al. (2007)
melakukan ekstraksi
andaliman dengan
menggunakan etanol dan melakukan karakterisasi
dari simplisia yang dihasilkan dan aktivitasnya
sebagai antifertilitas pada mencit. Namun pada
penelitian tersebut tidak dilakukan perbedaan pada
bahan baku andaliman. Damanik et al. (2012)
melakukan ekstraksi katekin dari daun gambir
dengan metode maserasi menggunakan pelarut
polar pada berbagai variasi suhu maserasi dimana
diperoleh kadar katekin tertinggi pada kondisi
maserasi dengan suhu 60 C dengan waktu
maserasi 6 jam menggunakan pelarut etil asetat.
Namun perlu digaris bawahi bahwa proses
maserasi flavor berbeda dengan proses maserasi
untuk komponen aktif lain atau ekstraksi oleoresin
karena sifat flavor alami sebagian besar bersifat
non polar yang bersifat sangat volatil.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen
Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15

Halaman | 12

3.2. Analisis komponen volatil


Komponen flavor yang terdeteksi pada
andaliman yang diekstrak berkisar antara 29 46
komponen flavor dimana terdapat 8 12
komponen flavor yang mempunyai relative peak
area lebih dari 1 % yang mempunyai berkontribusi
lebih dari 92 % relative peak area terhadap
keseluruhan komponen flavor. Rekapitulasi data
komponen flavor dengan relative peak area lebih
dari 1 % pada perlakuan maserasi pada suhu ruang
dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan andaliman
yang diekstrak pada suhu 40 C dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 2
Komponen volatil (relative peak area > 1%) dari
andaliman perlakuan maserasi pada suhu ruang
Komponen Volatil
Relative
Relative
Peak
Peak
Area
Area
pada
pada
Maserasi
Maserasi
2 jam (%) 4 jam (%)
Acetic acid, butyl esther
12,19
7,93
5-hepten-2-one, 6
8,53
4,87
methyl
dl-6-Methyl-5-hepten-24,86
3,87
ol
D-Limonene
11,87
5,93
(1R)-(-)Myrtenal
-linalool
1,19
(R)-(+)-citronellal
3,87
4,35
Citronellol
15,64
15,21
Geraniol
2,84
3,19
Geranyl acetate
35,12
47,40
N,N-Dimethyltryptamine
1,55
1,28
Total
97,65
94,03

ekstrak
Relative
Peak Area
pada
Maserasi
6 jam (%)
2,96
1,92
1,16
54,27
2,76
2,56
4,96
23,97
1,74
96,29

Tabel 3.
Komponen volatil (relative peak area > 1%) dari ekstrak
andaliman basah perlakuan maserasi pada suhu 40 C
Komponen Volatil
Relative
Relative
Relative
Peak
Peak
Peak
Area
Area
Area
pada
pada
pada
Maserasi
Maserasi
Maserasi
2 jam
4 jam
6 jam
(%)
(%)
(%)
Acetic acid
10,67
Acetic acid, butyl esther
5,11
2,48
7,01
2,3-Butanediol
1,38
5-hepten-2-one, 6 methyl
5,61
14,61
2,55
dl-6-Methyl-5-hepten-2-ol
4,38
15,81
1,09
D-limonene
6,45
37,87
(1R)-(-)Myrtenal
3,34
Phenol, 2 methoxy
1,05
-linalool
1,06
1,85
(R)-(+)-citronellal
7,04
3,59
Citronellol
15,38
21,63
6,30
Geraniol
3,76
5,38
1,37
Terpin Hydrate
2,39
Geranyl Acetate
44,16
11,67
31,30
(+)-Epi1,54
bicyclosesquiphellandrene
N,N-Dimethyltryptamine
1,80
5,93
Total
94,77
94,85
95,96

Komponen volatil dominan pada ekstrak


andaliman yang menggunakan bahan baku
andaliman segar adalah geranyl acetate baik yang
dimaserasi pada suhu ruang maupun suhu 40 C.
Pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang,
geranyl acetate (35,12 %), citronellol (15,64 %),
dan D-Limonene (11,87 %) merupakan komponen
volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 6 jam
maserasi terjadi pergeseran dominasi komponen
aroma yang dominan yaitu berasal dari D-Limonene
(37,87 %) dan diikuti dengan geranyl acetate
(23,97 %). Andaliman yang dimaserasi pada suhu
40 C, geranyl acetate masih menjadi komponen
volatil dominan yang teridentifikasi pada 3 jam
maserasi (44,16%), namun pada 4 jam maserasi
pada suhu 40 C terjadi perubahan komponen
volatil yang dominan yaitu Citronellol (21,63 %),
diikuti dengan dl-6-Methyl-5-hepten-2-ol (15,81 %),
5-hepten-2-one, 6 methyl (14,61 %), dan geranyl
acetate (11,67 %), sedangkan pada 6 jam maserasi
pada suhu 40 C D-Limonene menjadi komponen
volatil yang dominan (37,87 %) diikuti dengan
geranyl acetate (31,30 %). Secara umum geranyl
acetate merupakan komponen volatil yang
dominan pada setiap perlakuan maserasi pada
andaliman, namun dengan perubahan suhu dan
waktu maserasi dapat mempengaruhi persentase
relative peak area terhadap komponen yang
teridentifikasi. Penelitian yang terkait dengan
waktu maserasi dilakukan oleh Kelebek et al.
(2009) yang melihat pengaruh waktu maserasi
terhadap kandungan antosianin pada Vitis vinivera
yang melaporkan bahwa semakin lama waktu
maserasi berbanding lurus dengan peningkatan
kandungan antosianin yang terjadi.
Komponen flavor utama (yang memiliki relative
peak area > 10 %) berbeda-beda tergantung
perlakuan yang diberikan, kecuali senyawa geranyl
acetate selalu merupakan komponen flavor utama
pada setiap perlakuan, dengan relative peak area
berkisar antara 11.67 48.15 %. Fenomena ini
berbeda dengan jenis tumbuhan zanthoxylum yang
lain seperti Z. piperitum (Kim et al., 1989), Z
simulans (Chyau et.al., 1996) dan Z. bungeaman
(Trillini and Stoppini, 1994), dimana limonene
merupakan komponen utama seperti pada tanaman
rutaceae (contohnya Citrus japonica (Nguyen, et.al.,
1996). Namun pada beberapa perlakuan jumlah DLimonene memang lebih tinggi dibandingkan
geranyl acetate terutama pada perlakuan maserasi
lebih dari 6 jam.
Identifikasi aroma selanjutnya diteruskan
dengan olfactory unit dari GC-MS-O. Hasil uji
olfactory pada ekstrak andaliman hasil maserasi
pada suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 4.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15


Halaman | 13
Tabel 4
Hasil uji olfactory dengan GC-O pada andaliman perlakuan
maserasi pada suhu ruang
Komponen Volatil
Perlakuan
B2TR
B4TR
B6TR
2,3-butanediol
fruity, sour
Acetic acid, butyl
sour,
ester
green
unknown (RT 9,79)

sour,green

Benzaldehyde

2-Ethyl-2hydroxybutiric acid

green,
sweet

green,
sweet
-

flowery,
green

andaliman,
sour

green,
sweet

Phenylethyl alcohol

green,
sweet, sour

p-Menth-8-en-3-ol

andaliman,
sour

2-(4-Methoxyphenyl)
ethanol

green,
earthy

Terpin hydrate

sweet,
sour

Methoxycitronellal

green

N,NDimethyltryptamine

green

Acetophenone
5-hepten-2-one, 6methyl
unknown

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa


aroma yang terdeskripsikan pada ekstrak
andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang tidak
berasal dari komponen volatil dominan yang
terdeteksi pada GC-MS (Tabel 2). Komponen volatil
yang memiliki relative peak dominan untuk setiap
perlakuan adalah geranyl acetate, diikuti dengan
limonene dan citronellal. Sementara aroma yang
teridentifikasi pada uji olfactory bukan berasal dari
komponen volatil yang paling dominan pada GC MS.
Aroma yang terdeskripsikan pada andaliman yang
dimaserasi pada suhu ruang adalah green, sweet,
sour,
flowery,
dan
andaliman-like.
Bila
membandingkan antara komponen volatil hasil GC
MS yang memiliki relative peak area lebih besar
dari 1% pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa
komponen volatil yang juga terdeskripsikan dengan
GC-O adalah 5-hepten-2-one, 6-methyl dengan
aroma andaliman dan sour (Tabel 4). Hasil uji
olfactory juga menunjukkan bahwa aroma yang
terdeskripsikan lebih banyak pada 2 jam pertama
maserasi, sedangkan pada 4 jam dan 6 jam
maserasi aroma yang terdeskripsikan menjadi lebih
sedikit, yang dapat juga diartikan menjadi lebih
spesifik. Namun dapat dilihat bahwa waktu
maserasi
dapat
mengubah
aroma
yang
terdeskripsikan pada ekstrak andaliman. Hasil uji
olfactory pada ekstrak andaliman hasil maserasi
pada suhu 40 C dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5
Hasil uji olfactory dengan GC-O pada andaliman basah perlakuan
maserasi pada suhu 40 C
Komponen Volatil
Perlakuan
B2T40
B4T40
B6T40
Acetic acid
sour,
Sour
green
unknown (RT 4,92)
andaliman,
sour
Acetophenone
flower,
sweet
2,3-Butanediol
green, sour
2-Ethyl-2flowery,
hydroxybutyric acid
green
unknown
sweet,
green
Butyrolactone
andaliman,
sour
D-limonene
Acid
-Linalool
green,
sweet,
sour
unknown (RT 23,57)
flowery,
green
Isopulegol
green,
earthy
p-Menth-8-en-3-ol
sour, sweet
Terpin hydrate
sweet,
sour
Geraniol
sweet,
green
unknown (RT 23,18)
green,
sweet,
spicy
spicy
Methoxyeugeunol
Sour
Ethyl cinnamate,
sweet,
trans
flowery

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa


andaliman yang dimaserasi pada suhu
40 C
aroma yang terdeskripsikan lebih banyak pada 4
jam maserasi. Namun bila membandingkan antara
andaliman basah yang dimaserasi pada suhu ruang
dan suhu 40 C juga tidak dapat menunjukkan
adanya korelasi karena dari aroma yang
terdeskripsikan dan komponen volatil yang terlibat
berbeda satu sama lain. Pada andaliman basah yang
dimaserasi pada suhu 40 C komponen volatil
dominan yang terdeteksi pada GC-MS yang juga
terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O adalah
acetic acid. Untuk aroma andaliman yang
terdeskripsikan pada jam ke-4 maserasi pada suhu
40 C berasal dari komponen Butyrolactone. Aroma
yang terdeskripsikan dari andaliman yang
diekstrak pada suhu 40 C beberapa berasal dari
senyawa yang tidak diketahui yaitu pada waktu
retensi 4,92 menghasilkan aroma andaliman dan
sour, pada waktu retensi 23,57 menghasilkan
aroma flowery dan green pada 4 jam maserasi, serta
pada waktu retensi 23,18 menghasilkan aroma
green dan spicy pada 4 jam maserasi, dan aroma
sweet dan spicy pada 6 jam maserasi.
Wijaya et al. (2001) yang melakukan analisis
komponen kunci aroma pada andaliman
menggunakan metode Aroma Extract Dillution
Analysis (AEDA) melaporkan bahwa citronellal
merupakan komponen kunci aroma pada

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen
Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15

Halaman | 14

andaliman yang dimaserasi dengan dietil eter


dengan memberikan aroma sitrus, kuat dan hangat.
Hal ini menunjukkan, perlakuan maserasi yang
berbeda (penggunaan pelarut, suhu dan waktu
maserasi) dapat menghasilkan aroma yang berbeda
yang terdeskripsikan dari sniffing port.
Penelitian serupa dilakukan oleh Yang (2008)
yang melakukan analisis komponen aroma pada
jenis Zanthoxylum lainnya, yaitu Zanthoxylum
bungeanum
dan
Zanthoxylum
schinifolium
melaporkan bahwa Zanthoxylum bungaeanum
terdiri dari linalyl acetate (15%), linalool (13%),
dan limonen (12%) sebagai komponen volatil
utama, sedangkan Zanthoxylum schinifolium terdiri
dari linalool (29%), limonene (14%), dan sabinene
(13%) sebagai komponen volatil utamanya. Pada
penelitian tersebut terdapat beberapa komponen
volatil yang berperan terhadap aroma yang
terdeskripsikan pada kedua jenis Zanthoxylum
tersebut yaitu linalool, -terpineol, myrcene, 1,8cineole, limonene, dan geraniol. Chang dan Kim
(2008) yang juga melakukan analisis komponen
aroma pada Zanthoxylum schinifolium dan
Zanthoxylum piperitum AP.DC yang diisolasi dengan
metode destilasi vakum menunjukkan bahwa
komponen dominan yang teridentifikasi pada
Zanthoxylum schinifolium antara lain Phellandrene
(22,54%), citronellal (16,48%), dan geranyl acetate
(11,39%), sedangkan komponen volatil dominan
yang teridentifikasi pada Zanthoxylum piperitum
AP.DC antara lain Limonene (18,04%), geranyl
acetate (15,33%), dan cryptone (8,52%). Dari dua
hasil penelitian tersebut dapat menunjukkan
bahwa perbedaan metode ekstraksi pada
Zanthoxylum menyebabkan komponen volatil
dominan yang terdeteksi pun berbeda.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah komponen
flavor utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi
andaliman dengan maserasi menggunakan pelarut
etanol: etil asetat (1:1) pada suhu ruang didominasi
oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6
jam maserasi terjadi dominasi D-Limonene
menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi
pada suhu 40 C juga menunjukkan geranyl acetate
sebagai komponen volatil dominan pada 2 jam
maserasi. Setelah 4 jam maserasi 40 C, citronellol
merupakan komponen volatil dominan, sedangkan
setelah 6 jam maserasi 40 C komponen volatil yang
dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl
acetate. Suhu maserasi dan waktu pada proses
maserasi yang berbeda dapat menyebabkan
perubahan pada komponen flavor yang dominan
pada ekstrak andaliman. Namun komponen flavor
yang dominan pada GC-MS tersebut tidak
menunjukkan aroma yang terdeskripsikan pada GCO. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port

pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang


bervariasi dari andaliman-like, green, flowery, sour,
dan earthy. Sedangkan pada andaliman yang
dimaserasi pada suhu 40 C adalah aroma flowery,
green,
sweet,
and
spicy
lebih
banyak
terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
suhu maserasi dapat mempengaruhi aroma yang
terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O.
Ucapan terima kasih
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Balai Besar Industri Agro (BBIA)
yang telah mendukung dan mendanai penelitian ini
pada tahun 2014. Ucapan terima kasih juga kami
berikan kepada Prof. Hanny Wijaya yang telah
memberikan masukan-masukan dalam pelaksanaan
penelitian ini.
Daftar Pustaka
Akyla, C. (2014). Official Effect of Spray Drying Encapsulation
Method on Flavor Quality of Andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC.) Powder. Thesis. Food Technology
Department, Faculty of Science and Technology.
Universitas Pelita Harapan.
Chang, Kyung-Mi & Kim Gun-Hee. (2008). Analysis of Aroma
Components from Zanthoxylum. Food Science and
Biotechnology, 17(3), 669-674.
Chyau, C.C., Mau, J.L. & Wu, C.M. (1996). Characteristics of the
Stem Distiled Oil and Carbon Dioxide Extract of
Zanthoxylum simulans Fruit. Journal of Agriculture and
Food Chemistry, 44 (4), 1096 1099.
Damanik, D.D.P, Surbakti, N. & Hasibuan, R. (2012). Ekstraksi
Katekin dari Daun Gambir (Uncaria gambir roxb) Dengan
Metode Maserasi. Jurnal Teknik Kimia USU, 3(2), 10 14.
Kelebek, H., Canbas, A., & Selli, S. (2009). Effects of Different
Maceration Times and Pectinolytic Enzyme Addition on
the Anthocyanin Composition of Vitis vinifera CV. Kalecik
Karasi Wines. Journal of Food Processing and Preservation,
33(3), 296 311.
Kim et al., J.H., Lee, K.S., Oh, W.T., & Kim, R.R. (1989). Flavour
Components of the Peel and Leaf Oil from Ripe
Zanthoxylum piperitum DC. fruit. Korean Journal of Food
Science and Technology, 21 (4), 562 568.
Irawan, D. & C.H. Wijaya. (2002). The Potencies of Natural Food
Additives as Bioactive Ingredients. Prosiding Kolokium
Nasional Teknologi Pangan.
Napitupulu, B., Simatupang, S. & Sinaga, M. (2004). Potensi
Andaliman sebagai Food Additive Tradisional Etnis Batak
Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan
Daya Saing Pangan Tradisional.
Nguyen, M.P., Lo, V.N., Nguyen, X.D. dan Leclercq, P.A. (1996).
Constituent of the Fruit Peel Oil of Sitrus japonica L. from
Vietnam. Journal of Essential Oil Research, 8(4), 415 416.
Parhusip, A.J.N., Jenie, B.S.L., Rahayu, W.P. & Yasni, S. (2005).
Effect of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)
Extract Upon Permeability and Hidrophobicity of Bacillus
cereus. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 16 (1).
Sabri, Emita (2007). Efek Perlakuan Ekstrak Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium) pada Tahap Praimplantasi
terhadap Fertilitas dan Perkembangan Embrio Mencit
(Mus muculus). Jurnal Biologi Sumatera, 2(2), 28 32.
Siswadi, I. (2001). Mempelajari Aktivitas Anti Mikroba Ekstrak
Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C.)
Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Skripsi

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15


Halaman | 15
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB Bogor.
Tensiska, Wijaya, C.H. & Andarwulan, N. (2003). Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Buah andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC) dalam Beberapa Sistem Pangan dan
Kestabilan Aktivitasnya terhadap Kondisi Suhu dan pH.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. 14(1), 29 39.
Trillini, B. & Stoppini, A.M. (1994). Volatile Constituents of the
Fruit Secretory Glands of Zanthoxylum bungeanum
Maxim. Journal of Essential Oil Research, 6(3), 249 252.
Wijaya, C.H.,. Lioe, H.N, Purnomo, E.H., Widiastuti, B. & Siswadi, I.
(1999). Komponen Volatil dan Aktivitas Fisiologis Aktif
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Rempah
Tradisional Sumatera Utara. Laporan Penelitian Project
Grant Perguruan Tinggi. Di dalam Irawan, D. dan C.H.
Wijaya. 2002. The Potencies of Natural Food Additives as
Bioactive Ingredients. Prosiding Kolokium Nasional
Teknologi Pangan.

Wijaya, C.H., Hadiprodjo, I.T. & Apriyantono, A. (2001).


Komponen Volatil dan Karakterisasi Komponen Kunci
Aroma Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium
DC). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 12 (2), 117
125.
Wijaya, C.H., Hadiprodjo I.T., & Apriyantono,A. (2002).
Identification of Volatile Compounds of Andaliman Fruit
(Zanthoxylum acanthopodium DC). Food Science and
Biotechnology, 11 (6), 680 683.
Yang, Xiaogen. (2008). Aroma Constituents and Alkylamides of
Red and Green Huajiao (Zanthoxylum bungeanum and
Zanthoxylum schinifolium). Journal of Agriculture and
Food Chemistry, 56 (5), 1689 1696.
Yanti, T.E. Pramudito, Nuriasari, N. & Juliana, K. (2011). Lemon
Pepper Fruit Extract (Zanthoxylym acanthopodium DC).
Supresses the Expression of Inflamatory Mediators in
Lipopolysaccharide Induced Macrophages In vitro.
american Journal of Biochemistry and Biotechnology, 7(4),
190 195.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk
Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23

Halaman | 16

Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk


Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya
Reviewon Food Safety of 3 MCPD Esters in Edible Oils/ Fats and in Other Foods
Agus Sudibyo dan Nami Lestari
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
asdibyo_as@yahoo.co.id

Riwayat Naskah:
Diterima 05,2015
Direvisi 05, 2015
Disetujui 06, 2015

ABSTRAK: Dalam permintaan produk pangan untuk kesehatan dan keamanan


pangan global sekarang ini, konsumen menghendaki dan sedang mencari produk
pangan tanpa atau paling sedikit terkena kontaminasi produk. Senyawa ester 2dan 3-monochloropropan-1,2-diol (MCPD) dan ester glisidol diketahui merupakan
salah satu komponen kontaminan pada produk hasil olahan minyak makan yang
telah banyak digunakan sebagai bahan pangan atau bahan ingredien pangan.
Senyawa 3-monochloropropan-1,2-diol atau lebih dikenal dengan 3-MCPD
merupakan kontaminan pangan yang diklasifikasikan sebagai bahan yang
kemungkinan bersifat karsinogen;oleh karena itu, hanya boleh dikonsumsi dengan
dosis/konsentrasi sebesar 2 g/kg berat badan. Hasil studi terkini menunjukkan
adanya senyawa ester 3-MCPD teridentifikasi dalam jumlah cukup tinggi pada
produk minyak/lemak pangan, seperti margarin dan minyak goreng serta pangan
yang mengandung lemak termasuk produk pangan infant formula dan susu
manusia. Senyawa ester-ester lain seperti 2-MCPD dan ester glisidol pun diduga
dapat terjadi. Namun, hingga saat ini hanya terdapat sedikit data informasi tentang
toksikologi yang dapat diperoleh untuk senyawa ester 3-MCPD pada produk
pangan. Tulisan ini akan membahas dan menjelaskan proses terjadinya senyawa
3-MCPD pada produk pangan, faktor-faktor yang memungkinkan menyebakan
munculnya pembentukan senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan, studi
tentang efek beracun senyawa 3-MCPD atau toksikologi dan penentuan senyawa
ester 3-MCPD dalam produk pangan.
Kata kunci: Kajian, ester 3-MCPD, minyak/lemak pangan, keamanan pangan

ABSTRACT: In todays global demand for healthy and safe foods, consumers are
looking for foods without or with least contaminants. Esters of 2and 3monochloro-propane1.2diol(MCPD) and glycidol esters are important contaminants
of processed edible oils used as foods or food ingredients. 3mono-chloropropane1.2diol (3MCPD) esters is a food contaminants classified as a possible
human carcinogen, so for a tolerable daily intake was established of 2 g/kg body
weight.Recent studies have identified high levels of 3 MCPD esters in refined
edible fats, such as margarine and oils and in fat containing foods including infant
formula and human milk. Other related esters compounds such as 2-MCPD esters
and glycidol esters are also expected to occur. Only a little toxicological data are
available in 3MCPD esters. This review describes the occurrence of 3MCPD
esters in food products, possible factors that cause the formation of 3MCPD
esters, toxicological studies and determination of 3MCPD esters in food products.
Keywords: review, 3 MCPD esters, edible oils, food safety

1. Introduction
Food safety has emerged as an important global
issue with international trade and health
implications. Since food safety hazards can occur at
any stage in food chain, it is essential that adequate
control measures be put in place to avoid or

minimize food safety hazards (Prati and Mc.Intyre,


2004). In response to the increasing number of
foodborne illness, governments all over the world
are intensifying their efforts to improve food safety
(Sudershan et.al., 2009).

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23


Halaman | 17

Meanwhile, food as a basic need for all people,


must be wholesome and safe. Therefore, in todays
global demand for safe foods, consumers are
looking for foods without or with least
contaminants (Shahrimetal., 2012). Consequently,
convenient foods have led to continuous
improvements
of
existing
food-processing
techniques; all designed to produce safe foods,
while maintaining nutritional and sensory qualities.
These developments require a more structured
approach for the safety evaluation of foods and food
ingredients. However, in the production of edible
oils and fats from the crude oils; most oils are
refined to remove free fatty acids, peroxides and
other oxidative compounds which contribute to the
aroma of the oils, also resulted in new
contaminants, which called esters of 3monochloropropane1.2diol (3MCPD)(Weishaar,
2008). Even, recent studies have identified high
levels of 3MCPD esters in such as margarine and in
fat - containing foods including infant formula (both
starter and follow-on) and human milk (Larsen,
2009).
The
3Mono-chloro-propane1.2diol
(3
MCPD) esters was reported has been detected in
thermally treated foodstuff such as breadcrumbs
and crusts (Dolezalet al., 2009), coffee (Dolezaletal.,
2005), baked cereal products (Hamlet and Sadd,
2004), doughnuts and frenchfries (Svejkovskaetal.,
2004). These esters are part of larger group of
chloropropanediols (CPD). Surprisingly, the
compound has also been detectedin infant and baby
food (Zelinkovaetal., 2009) which triggered further
investigation since the compounds is suspected to
be a non-genotoxic carcinogen (JECFA, 2002).
3-MPCD has been found to be genotoxic in most
in vitro assays, although negative results were
obtained in vivo assays (Bakhiya et al., 2011).
Evidence of carcinogenic activity in male rats and
some evidence of carcinogenicity activity in female
rats has been reported (Cho et al., 2008).This
concern is justified considering that 3MCPD has
shown nephrotoxic properties as well as having an
ability to affect male fertility and induce cancer in
experiments with animals. It has been classified as
a possible human carcinogen group 2 B (IARC,
2012). For these reasons, this discovery has been
considered a priority issue in relation to food safety
(Arissetoetal., 2013).
Preliminary studies and intake assessment,
considering that the levels if 3MCPD esters found
in foods are hydrolized during digestion. This
evidence showed that the exposure to free 3MCPD
may exceed the provisional maximum tolerable
daily intake (PMTDI) of 2 g/kg body weight (bw)
that currently established for this compound, so it
become a potential health risk (B f R,
2007).Experiments recently conducted in rodents
have shown that the relative concentration of 3

MCPD metabolites excreted in urineafter oral


administration of equivalent molar doses of 3
MCPD. This indicatethat 3-MCPD ester may be
hydrolyzed almost completely as suggested by its
high bioavailability oral administration (Abraham
et al., 2013).Therefore, for risk assessment
purposes, this evidence suggest that the complete
hydrolysis of 3MCPD di-esters should be
considered and, thus the determination of the
relationship between the concentrations of
monoesters and di-esters is highly recommended
(Arissetoetal., 2013). The present study was an
attempt to review and case study on 3MCPD esters
in edible oils/fats and in other foods as food safety
concern.A review on the occurrence of 3 MCPD
esters in food products, possible factors that cause
the formation of 3MCPD esters, toxicological
studies and determination of 3MCPD esters in
food products especially in oils/fats will be
illustrated.
2. The Occurence of 3-MCPD Esters In Food
Products
3Mono-chloro-propane1.2diol (3MCPD) is
well known as food processing contaminant since
1978 (Weishaar, 2008),in various food such as
liquid seasoning or bakery goods (Larsen, 2009). 3
MCPD is formed when fat (glycerol or acyl-glycerol)
and salt (Chloride ions) containing foods are
processed at high temperature during production
(Larsen, 2009). Concentration of free 3 MCPD in
the low g/kg range are present in many foodstuffs
like acidhydrolized vegetable protein, soy sauces,
crackers, bread, toast and other bakery products,
malt products and soups (Hamlet etal., 2002).
According to the European Union (EU)
legislation in 2001 (EC Scientific Committee on
Food/SCF) was considered that the tolerable daily
intake (TDI) of 3MCPD is 2 g/kg body weight for
hydrolised vegetable protein (HVP) and soya sauces
(SCF, 2001). It was also used by Joint FAO/WHO
Expert Committee on Food Additive (JECFA) in
2002 for established a provisional maximum
tolerable daily intake for 3MCPD at 2 g/kg body
weight (JECFA, 2002). Recently, free 3MCPD has
also been detected in foods like bread, toast,
noodles and smoked products. Interestingly
however, bread and noodles could be important
contributors to the total daily intake especially for
their strong consumption rather than for their
content in 3MCPD but the same TDI value seems
to be applied (Shahrimetal., 2012).
Many studies or survey have been carried out on
free or bound 3 MCPD esters in foods until
recently, where 3 MCPD esters are reported have
been found in oils and fats. Various papers have
documented the presence of free and 3 MCPD
esters in many foods products, such as cereal,

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk
Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23

Halaman | 18

roasted coffee, malts, bread, etc (Hamlet and Sadd,


2004; Dolezaletal., 2005; Divinovaetal., 2007).
Reported values are between 0.2 and 6.6 mg/kg in
most analysedfoodstuffs and the levels of bound 3
MCPD are generally much higher than the free form.
Meanwhile, salami and other meat products also
recorded high values of up to 6.4 mg/kg (Reece,
2005; Svejkovskaetal., 2004; Zelinkovaetal., 2006).
Further studies showed that in foodstuffs only a
small percentage of 3 MCPD is present as free 3
MCPD, while the major part is ester linked with
fatty acids (Svejkovskaetal., 2004) especially in
vegetable oils (Larsen, 2009).
Further investigations have shown that 3
MCPD is present in food not only in its free form but
also in the form of mono or diesters with fatty
acids; in many foodstuffs most of the 3 MCPD is
actually in ester linked form (Weishaar, 2011;
Crews etal., 2013). High levels of 3 MCPD esters
have been reported in edible refined plant oils and
fats, especially palm oil, as well as in other
products, such as crisp bread (Svejkovskaetal.,
2004; Weishaar, 2011). By the action of lipases, 3
MCPD can be released from the esters invivo
(Hamlet andSadd, 2004).
Oils and fats are deemed to have a higher
potential of forming 3 MCPD esters upon on high
thermal treatments, especially during odorisation
where temperatures typically reach 240 C and
above (Shahrimetal., 2012).Some oils appear more
receptive to the formation of these esters, as was
discussed by Weishaar (2011). No 3MCPD esters,
or only traces, were detectable in native and
unrefined fats and oils. Deodorisation was clearly
identified as the crucial step for 3MCPD ester
formation in the refining process of fats and oils,
with almost the total quantity of 3MCPD esters
being formed at the last step of the process (Larsen,
2009).
Weishaar (2011) classified refined vegetable
oils and fats into three groups according to the
levels of 3MCPD found to be ester bound, i.e.: (1)
Low levels (0.5 1.5 mg/kg): rapeseed, soybean,
coconut, sunflower oil; (2) Medium level (1.5 4
mg/kg): safflower, groundnut, corn, olive, cotton
seed, rice bran oil; and (3) High levels (> 4 mg/kg):
hydrogenated fats, palm oil and palm oil fractions,
solid frying fats. Weishaaralso mentioned that
levels of 0.5 10.5 mg/kg fat (median: 2.3 mg/kg)
have been found in margarine; < 0.1 16.9 mg/kg
fat (median: 1.5 mg/kg) in the fillings and toppings
of cookies, crackers and bars; 2.3 10.3 mg/kg fat
(median: 4.9 mg/kg) in sweet spreads (hazelnut
nougat spreads) and 0.5 8.5 mg/kg fat (median:
2.5. mg/kg) in infant formula (powder). It was
reported also by Weishaar (2011) that the highest
concentrations of 3MCPD esters (up to 2.7 mg/kg)
were found in unused frying fats. In used frying fat,
3MCPD levels decreased with increasing time of

use. During the deep frying process nearly 240 C


no additional 3 MCPD is formed. Therefore, the
levels of 3 MCPD esters in French fries and other
frieds foodstuffs only depends on its concentration
in the used frying fat.
Although there is a lack of data about 3MCPD
esters for many foodstuffs, it is obvious that
thermally processed foods and refined fat and oils
(as such or as a component of other foodstuffs) are
the most significant sources of 3 MCPD esters for
consumers I particular, refined palm oil in different
kinds of foodstuffs is responsible for a significant
part of the exposure (Weishaar, 2011). Even so,
although palm oils have shown higher values in
comparison to other refined vegetable oils, the
history and source of oils have to be checked
against the methodology used (Shahrimetal.,
2012).Raznimetal. (2012) provided details of 3
MCPD esters in refined palm oil, olein and stearin
where using the B f R (Bundesinstitutfur
Risikobewertung) 008 indirect method used. The
highest recorded value was 5.7 mg/kg. Currently,
the palm oil industry in Malaysia is taking measures
to reduce the formation of 3 MCPD esters based
on research knowledge gained in recent years. The
risk of exposure to 3 MCPD esters has not been
fully evaluated as potentially all vegetable oils in
the presence of chlorides which are subjected to
thermal treatments as in cooking, roasting, baking
and frying, will have the probability of forming
these components (Shahrimetal., 2012).
3. Possible Factors That Cause The Formation
of 3-MCPD Esters
The presence of esters in refined oil was first
published by Gardner etal. (1983), who detected
high amounts of the compound in adulterated
Spanish rapeseed oil. Since then several authors
have reported the presence of the compound in
other types of refined vegetable oils (Zelinkovaetal.,
2006; Seefelderetal., 2008; Hrncirik, 2009;
Weishaar, 2009). The level of 3MCPD esters is
either not detected or only present in trace
amounts in crude or virgin oils, but the level is
higher in refined oil (0.5 to 6.0 mg/kg) (Hoenicke,
2009).
The factors, which influence the formation of 3
MCPD esters are: the level of chloride, level of acylglycerols (tri, di and mono-acyl-glycerols), pH,
temperature and time. Heat has been identifiedas
the major cause (Pudeletal., 2011; Zelinkova, 2006),
whilst mono-acyl glycerol, di-acyl-glycerol and
chloride are thought to be direct precursors for the
formation of 3MCPD esters (Larsen, 2009;
Frankeetal., 2009). Zelinkovaetal. (2006) reported
that heat treatment of oilseed during refining could
influence the formation of 3 MCPD.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23


Halaman | 19

The formation of 3MCPD esters could only be


effected in the presence of chlorides in any food
matrix; presence of lipids and at high thermal
processing conditions. In oils and fats, these
components and factors are clearly available,
although chlorides may not have been so evident
until now. As for palm oil being more susceptible to
the formation of chloro-propanediol-esters, the
reason has not been clearly elucidated, although it
could be due to higher levels of di-acyl-glycerols
(DAG) compare to other oils (Hamlet etal., 2011).
The mechanism for the formation of 3MCPD
esters, outlined by Svejkovskaetal. (2006), shows
that all lipids can undergo to nucleolipic
substitution of the acyl group by chloride anion,
thus forming chloro-propanediol-esters. Cyclic
acyl-oxomium intermediates may be formed in the
process. In the presence of Lewis acids or under
acidic conditions, cyclic acyl oxomium ions may be
fromtri-acyl glycerol (TAG) and di-acyl glycerol
(DAG) during refining. Although 3MCPD esters are
prevalent, 2MCPD esters can also be expected.
Hamlet etal. (2011) and Rahnetal. (2011) have
elaborated comprehensively on the possible
mechanism of the process.
Hrncirik (2009) has also tried to show the effect
of Free Fatty Acids (FFA) and DAG on the formation
of 3MCPD esters. In this case, enzymatic
hydrolysis was applied to increase the FFA and DAG
contents in the oil samples. Despite the increase in
the FFA and DAG content, there was slight drop in
3MCPD esters content as observed in sample P2.
Hrncirik (2009) concluded that DAG and FFA may
play a role in the formation of the compound, but
the results were inconclusive due to the poor
correlation between the two factors (FFA and DAG)
and 3MCPD esters. A clear link between the
precursor (DAG) could not be established by
Stadler (2009) too. In a later study by Hrncirik and
Ermacora(2010), the authors concluded that partial
acyl-glycerols seem to be involved in the formation
of 3MCPD esters, but they are not the critical
factors determiningthe final levels.
Actually, the temperature of refining,
particularly that of deodorization has been
suggested as the factors causing the formation of 3
MCPD esters in oils and fats (Franke, 2009;
Hrncirik, 2009; Hrncirik and Van Duijin,
2011).Further studies by Ramlietal. (2011) have
established that acid degumming and acid activated
clays, especially of low pH can contributed to the
formation of the esters. They concluded that
besides the high deodorization temperature, the
acidityof bleaching clays and the dosage of
phosphoric acid are also contributing factors of the
formation 3MCPD esters.

4. Toxicology Studies
Toxicological animal studies have shown that
the main target organ for 3 MCPD toxicity is the
kidney, with chronic oral exposure resulting in
nepropathy and tubular hyperplasia and adenomas
(as a reviewed by the joint FAO/WHO Expert
Committee on Food Additives, JECFA (JECFA, 2002;
in particular, Sunaharaetal., 1993). 3MCPD itself is
an animal carcinogen producing tumours at various
sites in male F344 rats (mammary tissue, testes and
preputial gland) and renal tubular adenomas and
carcinoma in both sexes of F344 rats
(Sunaharaetal., 1993; Lynch, 1998). 3MCPD has
also been shown to reduce infertility in rats and
suppression of the immune function (Leeetal.,
2004; Lee etal., 2005). Evidence of carcinogenic
activity in male rats and some evidence of
carcinogenicity activity in female rats has been
reported (Choetal., 2008).
However, in a 2008 statement from the
European Food Safety Authority Panel in
Contaminants in Food Chain (EFSA CONTAM)
concluded that: there was no comprehensive
toxicological and bioavailability data on 3MCPD
esters available. Nevertheles, the German Federal
for Risk Assessment (B f R) based its recent risk
assessment on toxicological data on free 3 MCPD;
under the assumption that 100 % of 3 MCPD are
release from the esters. Subsequently, Seefelder
and co-workers in 2007, using the intestinal model
lipase studies have shown that the release of 3
MCPD from 3 MCPD esterswas much shown than
from the monoester. Furthermore, it was found that
in vegetable oils, only 15 % of 3 MCPD are in
mono-ester forms, while the majority are di-esters.
Recently, a 90-days rat study was carried out by
the University of Parma (Italy) in response to the
European Food Safety Authority (EFSA) call, to
evaluate the toxicological profile of 3 chloropropane 1.2 diol (3 MCPD) esters (mono and
di-ester) compared to that of free (or unesterified)
3MCPD. This study aimed to compare the toxicity
of 3 MCPD di-palmitate and free 3MCPD,
performed on male and female rats (Barocellietal.,
2011). Considering that only a small part (< 15 %)
of the 3MCPD bound in esters is in fact bound in
monoesters (Seefelderetal., 2008), the studies were
performed using only di-esters form. Palmitic-acid
and fatty acid was proposed due to the fact that
highest levels of 3 MCPD were found in palm oil
and is the most commonly used di-estertostudy the
formation and the composition of 3 MCPD esters
in vitro. This report covers the whole 90 days
study with either 3MCPD (respectively 29.5, 7.57,
and 1.84 mg/kg of body weight per day) or 3
MCPD di-palmitate (respectively 156.75, 30.9 and
9.78 mg/kg per day). In male rats, Bench Mark Dose
(BMD)10 for severe renal and testicular damage

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk
Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23

Halaman | 20

induced by 3 MCPD di-palmitate were 41 and 64.4


mg/kg per day, respectively. The corresponding
BMD10 were 17.4 and 44.3 mg/kg per day. The
values for damage induced by the free 3 MCPD
were much lower, indicating a higher toxicity level.
Research carried out by the MPOB (Malaysian
Palm Oil Board) on 3MCPD esters in palm oil by
looking at all stages of the refining process to
identify the cause of its formation and conducting
collaborative toxicological
studies with other
research institutions was reported by Shahrimetal.
(2012). An acute oral toxicity study was conducted
on the effect of 3 MCPD palmitate oliate using
animal model. This study was undertaker to assess
the health hazard potential of 3MCPD esters by
determining adverse effects following an oral
administration in rats.
In the study, a single dose of acute oral toxicity
was performed using Sprague Dowley rats by oral
gastric intubation. It was demonstrated that there
were no ill effects nor did any death occurred in any
of the groups of male and female rats fed with the
3MCPD palmitate oliate at 50, 200 and 400
mg/kg of body weight. The 3MCPD esters which is
known to be the most abundant 3 MCPD esters
found in palm oil, show no pattern and unlikely
toxicity at every does tested in terms of body
weight changes and pathology (Shahrimetal., 2012).
However, the International Agency for Research on
Cancer (IARC) has classified 3MCPD as a possible
human carcinogen (group 2 B) (IARC, 2012).Do to
its mutagenic potential practice in the United
Kingdom (UK) had previously been to reduce
exposure to 3MCPD to as low a level as practicable
(Robjohnsetal., 2003).
5. Determination of 3 MCPD Esters In Food
Products Especially in Oils/Fats
The proposed analytical approaches for
determining 3MCPD esters involved both indirect
analysis in which the total concentration of the
compounds is measured as free 3 MCPD obtained
after a hydrolysis/methanolysisprocedure; and
direct analysis, in which the different spesies of 3
MCPD esters are identified individually.Indirect
methods have shown good application for routine
tests due to the high sensitivity and the need of a
reduced number
of
analytical standards
(Arissetoetal., 2013). These methods are based on
indirect determination of bound 3 MCPD via
transesterification in acid (B f R Method 008) or in
alkali (B f R Method 009 and 010) (DGF, 2009;
Weishaar, 2008). The principle of the indirect
method involves the conversion of the esters of free
3MCPD, and then the 3 MCPD is quantified using
Gas Chromatography Mass Selective Detector (GCMSD).

The analytical protocol of these methods


comprises a uniform series of steps: addition of an
internal standard (either free or esterified form of
isotopically labeled 3 MCPD) to the sample: transesterification (commonly performed either in acid
or alkaline medium), neutralization of the reaction
mixture and salting out (using different neutralizing
reagents and salts), derivatisation of the cleaved 3
MCPD/2MCPD and GC-MS analysis (Crew etal.,
2012).
Crew etal. (2012) has also reported that there
has been enormous progress in the development of
indirect methods for the determination of MCPD
esters in the last decade, and in particular in last
four years. Advances in the methodology have led
to the improvement of the performance (e.g.
sensitivity) of methods used and to better
understanding of the limitations of these methods.
Substantial effort on the development of methods
based on different principles, and their further
modifications, has resulted in a large number of
different method differ in their scope and their
performance is a cause of concerns. It would be
highly desirable to harmonize current analytical
methodology for MCPD and glycidyl esters and to
identify those methods that meet certain
performance criteria. Such harmonization will not
improve the quality of the results, but also simplify
their communication. To achieve this objective, it is
seems inevitable that selected methods will be
validated within international collaborative studies
and ultimately adopted as official methods.
Table 1. shows the method of classification of
two indirect methods: (a) acidic transesterification, and (b) alkaline trans-esterification.
Generally, only two reagents are used for
derivatisation, which are phenyl-bromic acid (PBA)
and hepta fluoro butyrili-midazole (HFBI). The
salting out reagents is either sodium chloride
(NaCl) or sodium sulphate (Na2SO4) (Razaketal.,
2012).
Table 1
Method classification for indirect methods (*)
TransesteriAcidic
Alkaline
ficatin
Derivatisation
PBA
HFBI
PBA
HFBI
Salting out
NaCl/
NaCl
Na2SO4
Na2SO4
Na2SO4
Methods

BfR
82.FC.
008

DGF
C III.
18
(09)

BfR
82.FC.
(009)

BfR
82.FC.
(010)

(*) Source : Razak et al., (2012).

The direct quantification of 3MCPD esters has


also been developed using Liquid Chromatography
Time of Fight/Mass Spectrometry (LC-TOF/MS)
(Haines etal., 2011). The direct method involves
quantification based on the direct determination of

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23


Halaman | 21

individual esters. Direct methods were initially


based on GC-MS analysis of fraction isolated by
Thin Layer Chromatography (Reece, 2005;
Zelinkovaetal., 2007), but the used of liquid
chromatographymass spectrometry (LC-MS) has
proved more popular and convenient. Procedures
have ranged from direct injection of oils solutions
to the incorporation of solid solid phase
extraction clean-up. Glycidyl esters and MCPD
esters can be determined simultaneously (Haines
etal., 2011). For the independent determination of
glycidyl esters, LC-MS is the method of choice,
typically with gel permeation chromatography
clean-up (Dubois etal., 2011; GranVogl and
Schieberle, 2011b).
Ultra High Performance Liquid Chromatography
(UHPLC) with high resolution time of flight mass
spectrometry (UHPLC TOF MS) analysis with the
internal standardization with one isotope labeled
glycidyl ester and two isotopelabeled 3MCPD
esters was performed by Hori etal. (2012) for
simultaneous determination of five glycidyl esters,
three 3MCPD mono-esters and six 3MCPD diesters in edible oils.Their sample preparation
encompassed liquid-liquid portioning of the edible
oil in n-hexane and acetonitrile, and subsequent
solid-phase extraction on silica and C18 cartridges.
In contrast to the method described above, the two
cartridges were used in parallel. The n-hexane
phase was loaded onto the silica cartridges,
whereas the acetonitrile phase was applied to the
C18 cartridges. The collected eluents were
combined, evaporated and reconstituted in
acetonitrile prior to the measurement (Crew etal.,
2012).
A rapid method for the determination of the
ratio of 3MCPD mono-esters and di-esters in fats
and oils using GC-MS and isotopically labeled 3
MCPD as internal standard has developed by
Seefelderetal. (2008). They demonstrated that 3
MCPD mono-esters and di-esters have been
accepted by intestinal lipase as substrates in vivo
using simple intestinal model. The paper also
reported that 3MCPD esters in human is unlikely
to be completely hydrolisedinto 3MCPD, as
triglycerides and phospholipids are hydrolised in
the intestine liberating 2 mono-glycerides. From
their study, it was found that a maximum of about
15 % of the total amount of 3MCPD bound in
esters is present in the mono-esterified form. In
addition, it was also found that the release of 3
MCPD from 3MCPD di-esters is slower then monoesters, therefore suggesting that 3 MCPD esters
may contribute only marginally to the overall
dietary exposure to 3MCPD.
Reports in literature on the direct determination
of 3MCPD esters are very limited. This might be
attributable to the lack of suitable commercial
reference materials in the early days of the topic.

Laboratories active in this field were until recently


obliged to synthesize reference material
themselves. Details of the synthesis of glycidyl
esters and/or MCPD esters can be taken from
general publication (Masukawaetal., 2011).
However the commercial supply of reference
materials has recently improved significantly. A
broad range of both native and stable isotope
labeled glycidyl and MCPD esters is available from
different suppliers. A nonexhaustive list of
suppliers comprises (in alphabetical order) Chiron
AS (Trondheim, Norway), Toronto Research
Chemicals (Toronto, Canada) and Wako Pure
Chemical Industries, Ltd. (Osaka, Japan) (Crew etal.,
2012).
Dubois (2011) recently presented the
development of two direct analytical methods, the
first targeting the direct analysis of intact MCPD
mono-esters and the second one targeting direct
analysis of MCPD di-esters. MCPD mono- and diesters were isolated via double SPE/Solid Phase
Extraction (C18 and silica) or silica gel columns
respectively, and analysed by LC-TQFMS. Standard
addition quantification was used, with labeled
internal standards. The methods was compared
with an indirect analytical method for 3 and 2
MCPD esters, which was based on the acid
catalyzedtrans-esterification of the MCPD esters
(Divinovaetal., 2004). Table 2 shows a list of direct
methods
reported
by
various
organization/research institutes.
A comparison of the indirect and direct method
of analysis is described by Razaketal. (2012) and is
shown in Table 3.
Table 2
Direct methods (*)
Method of Analysis

LC-TOF/MS

LC-TOF/MS or LC-Q/TQF

LC-MS/MS

LC-MS/MS with stable


isotope dilution analysis
(*) Source: Razak etal. (2012).

Reference

Collison
and
Haines
(AOCS Meeting, 2010)

Haines etal. (2010)

Mathew (AOCS Meeting,


2011)

Pinkston and Stoffolana


(AOCS Meeting, 2011)

McMahon etal. (AOCS


Meeting, 2011)

Granvogl and Schieberle


(AOCS Meeting, 2011).

6. Conclusion
3MCPD esters have been found in all
refined vegetable oils. 3MCPD esters are now also
widespread in thermally processed foods like
French fries, toasted bread, bread crust, donuts,
salty crackers, roasted coffee, roasted barley,
roasted dark malt and coffee creamer, and
fermented foods.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk
Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23

Halaman | 22
Table 3
Summary of methods of analysis (*)
Indirect Method

Sample to perform

High uncertainly (results


are
dependent
on
sample composition
Number of methods
available

Direct Method
Several
methods
presented (other under
development)
Provides a full profile, but
it is difficult for routine
analysis
Substancial
challenges
(standards,
instrumentation,
sensitivity)

Suitable for routine


analysis (total bound 3
MCPD)

Good sensitivity

Trueness is questionable
(*) Source: Razak etal. (2012).

The formation of 3MCPD esters in oils and fats


is a complex integration of multiple factors ranging,
i.e. from chlorine donors, levels of free fatty acids,
di-acyl-glycerides, acidic conditions of refining and
high temperature of deodorization.
The indirect methods of analysis avoid the
preparation of a series standards; the methods are
also sensitive and easy to perform. Quantification is
based only on the total content of 3MCPD (free
and bound form). On the other hand, the direct
method offers as full profile quantification of the
esters, but remains difficult for routine analysis.
Based on the observation and data generated
and the findings suggest that this 3MCPD di-ester
tested was consider non-toxic. Nevertheless, other
less known information regarding overall exposure
to different foodstuffs, food preparation methods,
bioavailability, metabolism, are in fact warranted
before all dietary exposure can be fully determined.
Reference
Abraham, K., Appel, K. E., Berger-Preiss, E., Apel, E., Gerling, S.,
Mielke, H., Lampen, A. (2013). Relative oral bioavailability
of 3-MCPD from 3-MCPD fatty acid esters in rats. Archives
of Toxicology, 87(4), 64959. doi:10.1007/s00204-0120970-8.
Arisseto, AP. Marcolino, P.F.C. Vicente E. & Ozawa, K.S. (2013).
Determination of 3 MCPD di-esters and mono-esters in
vegetable oils and fats: Application Note in Food. Aqilent
Technologies, Inc. and Instituto de Technologies de
Alimentos, Campinas SP., Brazil.
B f R [Bundesinstitute fur Risikobewertung]. (2007). Infant
formula and follow-up formula may contain harmful 3
MCPD fatty acid esters. B f R Opinion No. 047/2007; 11
December
2007.
http://www.bfr.bund.de/cm/349/infantformula.and.../pd
f. [Diaksestanggal 14 November 2013].
Bakhiya, N., Abraham, K., Guertler, R., Appel, K.E & Lampen, A.
(2011). Toxicological assessment of 3-chloropropane-1,2diol and glycidol fatty acid esters in food. Molecular
Nutrition and Food Research, 55, 509 521.
Barocelli, E., Corradi, A., Mutti, A., & Petromini, P.G. (2011).
Scientific Report of EFSA: Comparison between 3 MCPD
and its palmitic esters in a 90-days toxicological
study.Scientific Report CFP/EFSA/CONTAM/2009/01.
Available
on
line
:
http

://www.efsa.europa.eu/en/supproting/pub/187e.htm.
(Diakses tanggal 19 November 2013).
Cho, W.S., Han, B.S., Nam, K.T., Park, K., Choi, M., Kim, S.H., Jeong,
J. & Jang, DD. (2008). Carcinogenecity study of 3
monochloropropane 1.2 diol in Sprague_Dowley rats.
Food and Toxicology, 46, 3172 3177.
Crews, C., Choidini, A., Granvogl, M., Hamlet, C., Hrncirik, K.,
Kuhlmann, J., Lampen, A., Scholz, G., Weishaar, R., Wnzl, T.,
Jasti, P.R. & Seefelder, W. (2012). Analytical approaches for
MCPD esters and glycidyl esters in food and biological
samples: A review and future perspectives. Food Additives
and Contaminants, Part A: 1 35.
DGF [Deutsche Gessellschaff fur Fettwissenschaft]. (2009). DGF
Standard Method C-III 18 b: Determination of ester
bound 3 chloropropane 1.2 diol (3 MCPD esters)
and 3 MCPD forming substance in fats and oils by means
of GC-MS. DeutsxheEinheitsmethodenzuruntersuchung
Von Fetten; Fettprodukten, tensiden und vermandten
stiffen, Verlagsgeselischaft, Stuttgart Germany.
Divinova, V., Dolezal, M. & Velisek, J. (2007). Free and bound 3
mono-chloro-propane 1.2 diol in coffee surrogates and
malts. Czech Journal Food Science, 25, 39 47.
Dolezal, M., Chaloupska, M., Divinova, V., Svejkovska, B. &
Velisek, J. (2005). Occurrence of 3 Monochloropropane
1.2 diol and its esters in coffee. Journal European Food
Research & Technology. 221, 221 225.
Dolezal, M., Kertisova, J., Zelinkova, Z. & Velisek, J. (2009).
Analysis of Bread Lipids for 3 MCPD esters. Czech.
Journal Food Science, 27.
Dolezal, M., Chaloupska, M., Divinova, V., Svejkovska, B. &
Velisek, J. (2005). Occurrence of 3 MCPD (3
Monochloropropane 1.2 diol) and its esters in coffee.
Journal European Food Research. & Technology, 221, 221
225.
Dubois, M., Tarres, A., Goldmann, T., Loeffelmann, G.,
Donaubauer, A. & Seefelder, W. (2011). Determination of
seven glycidyl esters in edible oils by gel permeation
chromatography extraction and liquid chromatography
coupled to mass spectrometry detection. Journal
Agriculture Food Chemistry, 59 (33), 12291 12301.
Franke, K., Strijowski, U., Fleck, G. & Pudel, F. (2009). Influence of
chemical refining process and oil type on bound 3 chloro
1.2 propane diol contents in palm oil and rapeseed
oil. LWT Food Science and Technology, 42, 1751 1754.
Gardner, A.M., Yurawecz, M.P., Cunningham, W.C. & Diachenko,
G.W. (1983). Isolation and identification of C-16 and C-18
fatty acid esters of chloropropanediols in adulterated
Spanish cooking oils. Bulletin Environment Contamination
Toxicology, 31, 625 630.
Granvogl, M. & Schieberle, P. (2011 b). Development of direct
quantification method of glycidyl esters in edible fats and
oils via stable isotope dilution analysis. Paper presented at
the final conference of the FEI project, 21 Nop. 2011.
Berlin

Germany.
Available
from:
http://www.bll.de/themen/kontaminanten/aleschlussver
antaltung-3MCPD.
Haines, T.D., Adlof, K.J., Pierceall, R.M., Lee, I.,
Venkitasubramaniam, P. & Collison, M.W. (2011). Direct
determination of MCPD fatty acid esters and glycidyl fatty
acid esters in vegetable oils by LC TOFMS. Journal of
American Oil Chemists Society, 88, 1 14.
Hamlet, C.G., Sadd, P.A., Crest, C., Velisek, J. & Baxter, D.E. (2002).
Occurrence of 3 Monochloropropane 1.2 diol (3
MCPD) and related compounds in foods: A Review. Food
Additives and Contaminants, 13, 619 631.
Hamlet, C.G. & Sadd, P.A. (2004). Chloropropanols and their
esters in baked cereal products. Czech Journal Food
Science, 22 (2), 259 262.
Hamlet, G.C., Asuncion, L., Velisek, J., Dolezal, M., Zelinkova, Z. &
Crews, C. (2011). Formation and occurrence of esters of 3
chloropropane 1.2 diol (3 CPD) in foods: what we
know and what we assume. European Journal Lipid Science
and Technology, 113, 279 303.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23


Halaman | 23
Hoeniche, K. (2009). 3 MCPD ester in oils and fats. 100th AOCS
Meeting, 6th May 2009. AOCS, Orlando USA.
Hori, K., Koriyama, N., Omori, H., Koriyama, M., Arishima, T. &
Tsumura, K. (2012). Simultaneous determination of 3
MCPD fatty acid esters and glycidol fatty acid esters in
edible oils using liquid chromatography time-of-flight
mass spectrometry. LWT Food Science Technololgy, 48 (2),
204 208.
Hrncirik, K. (2009). Investigation of the mechanism of the
formation of 3 MCPD ester during oil refining.7th
European Fed Lipid Congress, 18 21 Oct. 2009. Graz
Austria.
Hrncirik, K. & Ermacora, A. (2010). Formation of 3 MCPD esters
in vegetable oils: Effect of partial acylglycerols. 8th Euro
Fed.Lipid Congress. 21 24 November 2010. Munich
Germany.
Hrncirik, K. & Van Dujin, G. (2011). An initial study on the
formation of 3 MCPD esters during refining. European
Journal. Lipid Science and Technology, 113, 374 379.
IARC [International Agency for Research on Cancer]. (2012).
Monographs. Vol. 101, 101 110.
JECFA [Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives].
(2002). 3 Mono-chloro-propane 1.2 diol, In: Food
Safety Evaluation of certain food additives and
contaminants Prepared by 57th meeting of the Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. WHO Food
Additives
Series
48.http://www.inchem.org./documents/jecfa/jacmono/v.
48.je18.htm. [Diaksestanggal 13 Des 2013].
Larsen, J.C. (2009). 3 MCPD Esters in Food Products: Summary
Report of a Workshop held in February, 2009 in Brussels
Belgium. Org. by the ILSI Europe Process Related
Compounds and Natural Toxins task force and Risk
assessment of chemical in food task force in association
with the European Commission (EC) and the European
Food Safety Authority (EFSA). ILSI Europe, Brussels
Belgium.
Lynch, B.S., Bryant, DW., Hook, GJ., Nestman, ER. & Murro, I.C.
(1998). Carcinogenecity on monochloro 1.2 propane
diol (alpha chlorohydrins, 3 MCPD). International Journal
Toxicology, 17: 47 76.
Masukawa, Y., Shiro, H., Kondo, N. & Kudo, N. (2011).Generalized
method to quantify glycidol fatty acid esters in edible oils.
Journal of the American Oil Chemists Society, 88, 15 21.
Prati, R. & Mc.Intyre, A. (2004). The new iso 22000 norm on
food safety management. Ingredienti Alimentori (Chirriotti
Editori) 3, 19 -21.
Pudel, F., Benecke, P., Fehling, P., Freudenstein, A., Matthaus, B. &
Schwaft, A. (2011). On the necessity of edible oil refining
and possible sources of 3 MCPD and glycidyl esters.
European Journal Lipid Science Technology, 113, 368
373.
Ramli, M.R., Siew, WL., Ibrahim, N.A., Hussein, R., Kuntom, A.,
Razak, R.A.A. & Nesaretnam, K. (2011). Effect of
degumming and bleaching on 3 MCPD esters formation
during physical refining. Journal of the American Oil
Chemists' Society, 88, 1839 1844.
Razak, R.A.A., Kuntom, A. & Husein, R. (2012). Analytical
Methods for the determination of 3 MCPD esters in
Oils/Fats. Palm Oil Development, 57(12), 11 20.
Raznim, A.A.R., Kantom, A., Siew, W.L., Nuzul, A.I., Ramli, M.,
Hussein, R. & Nesaretnam, K. (2012). Detection and

monitoring of 3 MCPD esters in cooking oils. Food


Control, 25, 355 360.
Rhan, A.K.K & Yaylayan, V.A. (2011). Do what dowe know about
the molecular mechanism of 3 MCPD ester formation.
European Journal of Lipid Science and Technology, 113,323
329.
Robjohns, S., Marshall, R., Fellows, M. & Kowalczyk, G. (2003). In
vivo genotoxicity studies with 3 monochloro propane
1.2 diol.Mutagenesis Vol. 18. No. 5: p. 401 405.
Reece, P. (2005). The origin and formation of 3 MCPD in foods
and
food
ingredients.
http://
www.foodase.org.uk/admintools/reportdocument/4384_final_report.pdf.[Diaksestanggal 10 Sept. 2013].
SCF [Scientific Committee in Food].(2001). Opinion on 3MCPD.
http://www.ec.europa.eu/food/efs/sc/scf/out91en.pdf.European Commission Scientific Committee on
Food. Brussels Belgium. [Diaksestanggal 23 Nop 2013].
Seefelder, W., Varga, N., Studer, A., Williamson, G., Scanlan, F.P. &
Stadler, R.H. (2008). Esters of 3 chloro 1.2 propane
diol (3 MCPD) in vegetable oils: Significance in the
formation of 3 MCPD. Food Additives and Contaminants,
25, 391 400.
Stadler, R H. (2009). Food Processing Contaminants Progress
and Challenges in Mitigation Strategies; Food Research in
Support to Science based Regulations: Challenges for
Producers and Consumers. 21 22 April 2009. Prague
Congress Centre.Czech Republic.
Shahrim, Z., Tee, V.P., Lin, S.W & Nesaretnam, K (2012). 3
Monochloropropane 1.2 diol (3 MCPD) Esters in
Edible Oils and other Foods: Is there a need for concern?
Palm Oil Development, 57(120, 14 17.
Sudershan, R.V., Rao, P., & Polasa, K. (2009). Food Safety
Research in India: A Review. Asian Journal
Food
Agriculture, 2 (03), 412 433.
Sunahara, G., Persin, I. & Marchesini, M. (1993). Carcinogenicity
study on 3 MCPD administered in drinking water to
Fisher 344 rats. Unpublished report No. RE SR 93003
submitted to WHO byNesteg Ltd; Research and
Development Switzerland (Cited in JECFA 2002).
Svejkovska, B., Novotny, O., Divinova, V., Reblova, Z., Dolezal, M.
& Velisek, J. (2004). Esters of 3 MCPD (3
Monochloropropane 1.2 diols) in Foodstuffs. Czech
Journal Food Science, 22 (5), 190 198.
Svejkovska, B., Dolezal, M. & Velisek, J. (2006). Formation and
decomposition of 3 chloropropane 1.2 diol esters in
models simulating processed foods. Czech Journal Food
Science, 24 (4), 172 179.
Weishaar, R. (2008). 3 MCPD esters in edible fats and oils A
new and world wide problems (Editorial). European
Journal Lipid Science Technololgy, 110, 671 672.
Weishaar, R. (2009). Fatty acid esters of 3 MCPD: Overview of
occurrence in different types of foods. ILSI Europe
Workshop.5 6 Feb. 2009. Brussels Belgium.
Weishaar, R. (2011). Fatty acid ester of 3 MCPD: Overview of
occurrence and exposure estimates. European Journal
Lipid Science and Technology, 113, 304 306.
Zelinkova, Z., Svejkovska, B., Velisek, J. & Dolezal, M. (2006).
Fatty acid esters of 3 MCPD in edible oils. Food Additives
and Contaminants, 23, 1290 1298.
Zelinkova, Z., Dolezal, M. & Velisek, J. (2009). Occurrence of 3
Monochloropropane 1.2 diol fatty acid esters in infant
and baby foods. European Journal Food Research &
Technololgy,
208,
571

578.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil
Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32

Halaman | 24

Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak


Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch
Development of Production Process of Palm Oil based Shortening in Small-Scale
Industry with Capacity of 50 kg/Batch
Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin
Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
hasibuan_abdi@yahoo.com

Riwayat Naskah:
Diterima 06, 2015
Direvisi 06, 2015
Disetujui 07, 2015

ABSTRAK: Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan proses pembuatan


shortening frying, creaming, baking dan butter oil substitute pada skala industri
kecil dengan kapasitas 50 kg/batch. Kondisi proses yang dioptimasi adalah suhu
dan waktu pendinginan di dalam reaktor dengan tiga kondisi yaitu 52, 122,
202 C selama waktu proses 0, 30, 60, 90, 120 menit. Shortening yang dihasilkan
pada setiap kondisi dianalisa kadar air, bentuk dan warna serta mutu produk
selama penyimpanan 5 minggu meliputi kestabilan emulsi, bentuk dan tekstur.
Produk shortening yang dihasilkan dengan ketiga kondisi suhu dan waktu proses
hingga 120 menit mengandung kadar air yang memadai (< 0,1%). Pada suhu
media pendingin 52 C dan 122 C dengan waktu proses lebih dari 45 menit
menghasilkan shortening berbentuk cream dan berwarna pucat hingga putih.
Selama penyimpanan, produk berbentuk cream terpisah menjadi dua lapisan yaitu
cream dan minyak (oily) kecuali shortening untuk creaming. Kondisi optimum
dalam pembentukan tekstur yang baik untuk keempat jenis shortening diperoleh
pada suhu media pendingin 52 C atau 122 C selama 30 menit. Pada kondisi
tersebut diperoleh produk yang memiliki bentuk semi padat atau padat dengan
tekstur lunak atau keras yang relatif stabil selama penyimpanan 5 minggu.
Kata kunci: shortening, minyak sawit, tekstur, optimasi kondisi proses, reaktor texturing

ABSTRACT: This research was conducted to develop the manufacturing process of


frying, creaming, baking and butter oil substitute shortenings on a small scale
industry with a capacity of 50 kg/batch. The process conditions optimized were
temperature and time of cooling in the reactor with three conditions, namely 52,
122, 202 C during the processing time of 0, 30, 60, 90, 120 minutes. Shortening
that generated in each condition were analyzed the water content, form and color
as well as the quality of the product during storage of 5 weeks include emulsion
stability, shape and texture. Shortening products were produced by the three
conditions of temperature and processing time up to 120 minutes contained
adequate moisture content (<0.1%). At the temperature of the cooling medium
52 C and 122 C with a processing time of more than 45 minutes resulted in
shortening shaped and pale cream to white. During storage, the products shaped
cream were separated into two layers of cream and oil (oily) except for creaming
shortening. The optimum conditions in the formation of a good texture for the four
types of shortening the cooling medium were obtained at temperature of 52 C or
122 C for 30 minutes. In these conditions the products were obtained had a
semi-solid or solid form with a soft or hard texture that relatively stable during
storage of 5 weeks.
Keywords: shortening, palm oil, texture, optimization process condition, texturing reactor

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32


Halaman | 25

1. Pendahuluan
Shortening merupakan lemak berbentuk plastis
yang
dapat
digunakan
sebagai
media
penggorengan, pemasakan, pembuatan roti dan
pengisi pada produk confectionery (Hui, 1996;
Obrien, 2004; Hasibuan et al., 2009). Awalnya,
shortening dibuat dari lemak hewani namun kini
beralih dengan menggunakan minyak nabati
melalui proses hidrogenasi, interesterifikasi dan
pencampuran 2 atau lebih minyak/lemak
(blending) (Lumor and Akoh, 2005; Berger and
Idris, 2005; Jin et al., 2008; Sahri and Idris, 2010).
Saat ini, shortening yang beredar di pasar lokal
Indonesia umumnya berbahan minyak sawit. Hal
ini disebabkan oleh ketersediaan minyak sawit
melimpah dan karakteristik unggulnya berbentuk
semi padat yang sangat sesuai untuk formulasi
shortening (Haryati dan Siahaan, 2007; Hasibuan et
al., 2009; Siahaan et al., 2013).
Shortening dibuat melalui beberapa tahapan
meliputi formulasi lemak/minyak, pendinginan dan
tempering. Formulasi merupakan tahapan utama
karena formula yang dihasilkan harus sesuai
dengan aplikasinya pada produk tertentu. Misalnya,
shortening untuk media penggorengan memiliki
formula yang berbeda dengan shortening untuk
bakery ataupun cakery. Tahapan kedua adalah
pembentukan tekstur dengan cara pendinginan.
Tekstur dari shortening sengaja dibuat berbentuk
semi padat atau padat dan homogen serta tidak
mudah mencair pada suhu tertentu. Proses
pembentukan tekstur merupakan suatu seni dan
sangat dipengaruhi oleh formula dan suhu serta
waktu proses pendinginan. Tahapan selanjutnya
adalah tempering, merupakan proses finalisasi
dalam menyempurnakan pembentukan kristal dari
minyak/lemak. Tempering biasanya dilakukan pada
ruangan bersuhu 18-22 C selama 2x24 jam (Hui,
1996; Obrien, 2004; Haryati dan Siahaan, 2007;
Siahaan et al., 2013).
Di Indonesia, shortening diproduksi secara
komersial oleh perusahaan besar dengan teknologi
modern dari luar negeri. Sementara itu, industri
kecil tidak banyak yang memproduksi shortening
disebabkan oleh teknologinya membutuhkan
investasi yang cukup besar. Selain itu, diperlukan
manajemen pemasaran yang tepat dan dapat
menjamin tersedianya pasar agar produksinya
berkelanjutan. Di samping itu, industri rumah
tangga yang memproduksi beragam produk seperti
cakery, bakery, dan produk gorengan (ayam, pisang,
keripik, dan lain-lain) tumbuh sangat pesat.
Perkembangan ini akan berdampak pada
peningkatan penggunaan shortening dengan varian
jenis/tipe shortening yang sesuai dengan produk
tertentu. Dengan demikian, produksi shortening
pada skala industri kecil berpotensi untuk
dikembangkan
agar
pembuatan
varian

formula/jenis shortening mudah dilakukan.


Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk membuat
empat jenis shortening untuk gorengan (frying),
untuk krim (creaming), untuk kue (baking) dan
substitusi lemak butter (butter oil substitute) pada
skala industri kecil dengan kapasitas 50 kg/batch.
2. Bahan dan Metode
2.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan adalah refined
bleached deodorized palm oil (RBDPO), refined
bleached deodorized palm stearin (RBDPS), refined
bleached deodorized palm olein (RBDOL) dan
refined bleached deodorized palm kernel oil
(RBDPKO) diperoleh dari PT. Wilmar Internasional,
masing-masing bahan baku memiliki asam lemak
bebas (ALB) sebesar 0,07, 0,08, 0,04, 0,05 %. Red
palm oil (RPO) memiliki ALB 0,1% diperoleh dari
Laboratorium Oleopangan Kelompok Peneliti
Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS).
2.2. Pembuatan shortening dan optimasi
pembentukan tekstur
Empat jenis shortening meliputi shortening
untuk frying, creaming, baking, dan butter oil
substitute diformulasi sesuai dengan formula yang
dimiliki oleh PPKS. Formula tersebut merupakan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PPKS
yang disesuaikan dengan karakteristik produk yang
diinginkan. Shortening untuk frying diinginkan
dalam bentuk semi padat, shortening untuk
creaming berbentuk padat dan tidak mudah
mencair, shortening untuk baking berbentuk semi
padat sedangkan butter oil substitute berwarna
kekuningan dan berbentuk semi padat. Shortening
untuk frying berbahan RBDPO:RBDPS (90:10),
shortening
untuk
creaming
berbahan
RBDPO:RBDPS (50:50), shortening untuk baking
berbahan RBDPO:RBDPS:RBDPKO (75:20:5) dan
butter oil substitute berbahan RBDPO:RPO:RBDOL
(87:10:3).
Pembentukan tekstur masing-masing jenis
shortening dilakukan dalam reaktor texturing yang
dirancang bangun oleh PPKS seperti pada Gambar
1. Alat ini terbuat dari stainless stell yang dilengkapi
dengan mesin pendingin dan motor pengaduk.
Sistem pendingin menggunakan mesin pendingin
dengan kemampuan menurunkan suhu media
pendingin hingga < 5 C. Alat ini terdiri atas dua
tabung masing-masing untuk minyak dan air
pendingin. Uji fungsional alat texturing dilakukan
dengan mengoptimasi proses pendinginan dan
suhu air yang tercapai dalam waktu tertentu.
Kondisi proses yang ditentukan dalam
pembuatan shortening adalah suhu dan waktu

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil
Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32

Halaman | 26

proses dengan suhu pendinginan yang divariasikan


pada tiga kondisi meliputi 52, 122, 202 C dan
waktu proses selama 0, 30, 60, 90, 120 menit.
Shortening yang dihasilkan pada setiap kondisi
dimasukkan ke dalam wadah gelas ukur (50 ml)
dan plastik (1 kg). Produk dalam wadah ditempering pada suhu 20 C selama 2x24 jam.
Selanjutnya kedua wadah dipindahkan ke ruangan
dengan suhu berkisar antara 28-30 C untuk uji
penyimpanan.
2.3. Analisa mutu
Mutu produk shortening yang dihasilkan
dianalisa kadar air menggunakan metode standar
(MPOB, 2004). Analisa warna dari produk selama
proses ditentukan secara visual. Analisa juga
dilakukan terhadap kestabilan emulsi dengan
perubahan oily, bentuk dan tekstur produk
shortening selama penyimpanan 5 minggu. Analisa
oily dilakukan dengan cara memasukkan shortening
ke dalam wadah gelas ukur (50 ml). Banyaknya
jumlah oily diukur berdasarkan persentasi volume
fraksi minyak terhadap 50 ml produk shortening.
Analisa tekstur dilakukan secara visual dengan
menentukan bentuk (padat, semi padat, cream) dan
tekstur (keras, lunak, berminyak) dari produk
shortening dalam wadah plastik 1 kg.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Uji fungsional alat texturing
Pada panelitian ini, reaktor yang digunakan
untuk pembuatan shortening berkapasitas 50
kg/batch merupakan unit pendingin sebagai
pengganti votator. Menurut Reid et al., 1972 dan
Hasibuan, 2009 bahwa pada skala industri,
pembuatan shortening dilakukan menggunakan
unit votator dan worker. Unit votator berfungsi
untuk membentuk kristal dan unit worker untuk
mencairkan kristal yang memiliki bentuk tidak
baik. Sehingga dengan kombinasi keduanya akan
diperoleh tekstur shortening yang baik dengan
bentuk kristal yang homogen dan halus.
Alat ini menggunakan air sebagai media
pendingin karena relatif aman dan murah serta
sederhana pada skala kecil. Sementara, pada skala
industri umumnya menggunakan amoniak sebagai
media pendingin (Lenoid et al., 2007). Namun, jika
terjadi kebocoran pada alat pembuatan shortening
gas amoniak keluar yang dapat menimbulkan bau
dan tidak aman bagi pekerja.
Pengujian kinerja/uji fungsional alat texturing
dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu
pendinginan terhadap suhu air dalam reaktor.
Hubungan antara waktu pendinginan terhadap
suhu air disajikan pada Tabel 1.

Gambar 1. Alat texturing kapasitas 50 kg/batch (Alat ini


dirancang bangun oleh PPKS)

Untuk mencapai suhu air sebagai media


pendingin 52, 122, 202 C diperlukan waktu
pendinginan masing-masing selama 5-6 jam, 2,5-3
jam dan 1,5-2 jam.
Tabel 1
Waktu pendinginan dan suhu air dalam reaktor
Waktu (jam) Suhu air (C)
1
26
2
16
3
10
4
8
5
6
6
2

Menurut Hui, 1996 dan Obrien, 2004 bahwa


tekstur produk shortening dibuat menjadi homogen
dengan proses pendinginan. Dengan demikian,
suhu pendinginan yang mampu dicapai oleh alat
texturing ini diharapkan dapat membentuk tekstur
shortening sesuai yang diinginkan. Oleh sebab itu,
evaluasi dan optimasi kinerja alat teksturing ini
dilakukan dengan melihat pengaruh suhu media
pendingin dan waktu proses dalam pembuatan
empat jenis shortening meliputi shortening untuk
frying, creaming, baking, dan butter oil substitute.
Evaluasi ini dilakukan dengan mengkaji penurunan
suhu minyak selama proses pendinginan, kadar air,
warna, oily dan tekstur produk shortening.
3.2. Penurunan suhu minyak selama proses
pendinginan
Pengujian kinerja alat dalam menurunkan suhu
campuran minyak dari produk shortening
ditunjukkan pada Tabel 2. Suhu air pendingin 52
C dan 122 C memiliki performa yang relatif sama
dalam menurunkan suhu minyak selama proses
pendinginan untuk setiap jenis shortening kecuali
untuk creaming. Hal ini tampak pada shortening
untuk creaming dengan suhu air pendingin 52 C
mampu menurunkan suhu minyak menjadi lebih
rendah pada setiap waktunya dibandingkan 122

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32


Halaman | 27

C. Untuk seluruh jenis shortening, suhu air


pendingin 202 C cenderung menurunkan suhu
minyak lebih lambat dibandingkan suhu air
pendingin di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan air pendingin bersuhu 202 C lebih
rendah dalam mentransfer suhu dingin dari air ke
minyak.
Penurunan suhu minyak pada shortening untuk
creaming pada setiap waktu dan suhu air pendingin
agak sedikit lebih lambat dibandingkan jenis
shortening yang lain meskipun suhu awal minyak
sama (55 C). Hal ini disebabkan oleh bahan baku
dalam
formula
shortening
berbeda-beda.
Shortening untuk creaming mengandung RBDPS
lebih banyak (50%) dibandingkan shortening untuk
frying (10%) dan baking (20%) sedangkan buttter
oil substitute tidak mengandung RBDPS. Menurut
Hasibuan, 2012 bahwa RBDPS memiliki asam
lemak jenuh rantai panjang berupa asam palmitat
tinggi (57,30-66,07%) dan titik leleh tinggi berkisar
48,8-57,6 C. Karakteristik tersebut menyebabkan
RBDPS berbentuk padat dan keras pada suhu
ruangan. Ketika didinginkan minyak shortening
yang
mengandung
RBDPS
membentuk
lapisan/flake pada dinding tabung reaktor yang
kontak langsung dengan air dingin yang dapat
menyebabkan transfer suhu dingin dari air ke
minyak menjadi lambat.
Meskipun mengandung RBDPS pada shortening
untuk baking, penurunan suhu minyaknya relatif
lebih rendah pada setiap suhu dan waktu
dibandingkan pada shortening untuk frying.
Tabel 2
Penurunan suhu minyak selama pendinginan
WakSuhu Air Pendingin/Suhu Minyak (C)
tu
52
122
202
Produk
(MeShorte
ning
untuk
frying
Shorte
ning
untuk
crea
ming
Shorte
ning
untuk
baking

Butter
oil
substi
tute

nit)

Air

Minyak

Air

Minyak

Air

Minyak

0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120

3
3
4
4
3
3
3
4
4
3
3
4
3
4
5
6
5
4
6
7
8
8
8
7

55
35
31
28
27
27
55
44
38
37
36
36
55
37
34
29
27
25
55
35
31
27
25
24

12
13
14
14
15
17
12
14
15
14
13
14
10
12
12
12
11
11
12
13
13
12
12
11

55
35
31
28
27
27
55
48
40
39
38
38
55
37
33
30
27
25
55
36
33
31
27
25

20
25
26
25
25
24
18
19
19
18
18
18
18
18
19
18
18
18
18
19
18
18
18
18

55
40
37
34
33
33
55
46
44
43
42
40
55
37
36
32
29
27
55
38
33
31
29
27

Hal ini disebabkan adanya campuran lain dari


shortening untuk baking yaitu RBDPKO walaupun
dalam jumlah kecil. Menurut Hasibuan et al., 2012
bahwa RBDPKO mengandung asam lemak jenuh
rantai pendek dan menengah dengan asam laurat
tinggi (48,96-53,86 %) dan titik leleh 27,2-28,6 C
serta bentuknya cair pada suhu 30 C. Sehingga
campuran minyak dalam formula shortening untuk
baking lebih lunak dan membantu RBDPS tidak
banyak membentuk flake pada dinding reaktor.
Berbeda dengan 3 shortening lain, butter oil
substitute tidak mengandung RBDPS dan dalam
formulasinya digunakan RBDPO, RPO dan RBDOL.
Menurut Hasibuan dan Siahaan, 2013 bahwa
RBDOL mengandung asam oleat tinggi 40,4844,11% dengan titik leleh rendah 19,8-23,0 C serta
berbentuk cair pada suhu > 25 C.
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu minyak
untuk keempat jenis shortening dapat menurun
dari 55 C menjadi 24-36 C selama 120 menit
proses pendinginan. Menurut Czyzewski and
Greenweel, 1984 bahwa proses pendinginan dalam
pembentukan tekstur lemak plastis dilakukan
dengan menurunkan suhu minyak dari 54,4-60 C
menjadi 21-30 C. Dengan demikian alat texturing
yang dirancang bangun ini dapat digunakan untuk
pembentukan tekstur dari shortening.
3.3. Kadar air
Kadar air produk shortening ditunjukkan pada
Tabel 3. Perbedaan suhu pendingin memberikan
kadar air tidak berbeda nyata pada waktu yang
sama. Selain itu, kenaikan waktu proses
pendinginan dari 30 hingga 120 menit cenderung
meningkatkan kadar air namun tidak berbeda
nyata. Kenaikan kadar air ini terjadi disebabkan
oleh tabung tempat minyak kontak langsung
dengan tabung media pendingin. Air sebagai media
pendingin bersuhu rendah sementara minyak
bersuhu
tinggi
yang
menyebabkan
air
terkondensasi ke tabung yang berisi minyak. Dari
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kadar air pada
produk shortening yang diproduksi hingga 120
menit masih memadai dengan nilai < 0,1%.
Adanya air dalam shortening dapat menyebabkan
mutunya
menjadi
rendah
yang
dapat
mempengaruhi stabilitasnya selama penyimpanan.
Menurut Haryati dan Siahaan, 2007 bahwa air
dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis minyak
sehingga asam lemak bebas pada produk
shortening meningkat. Selain itu, adanya air pada
produk shortening khususnya jenis frying dapat
mempengaruhi proses penggorengan yang dapat
mempercepat perubahan mutu menjadi lebih
rendah.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil
Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32

Halaman | 28
Tabel 3
Kadar air produk shortening selama proses pendinginan
Waktu (Menit)
0
30
45
60
90
120

Shortening untuk frying


52
0,05
0,06
0,06
0,08
0,09
0,09

122
0,05
0,05
0,07
0,06
0,06
0,08

202
0,05
0,05
0,06
0,06
0,06
0,06

Kadar Air (%)


Shortening untuk
Shortening untuk baking
creaming
52
122
202
52
122
202
0,03
0,03
0,03
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,05
0,04
0,05
0,05
0,04
0,04
0,05
0,04
0,04
0,04
0,04
0,05
0,06
0,05
0,04
0,05
0,04
0,04
0,05
0,05
0,05
0,06
0,05
0,05

3.4. Warna
Warna produk shortening sangat dipengaruhi
oleh bahan baku minyak/lemak dan bentuknya.
Umumnya minyak dan lemak yang berbentuk padat
cenderung berwarna putih dan ketika dicairkan
dengan pemanasan berubah warna menjadi agak
kekuningan Gambar 2 menampilkan bentuk dan
warna dari bahan baku yang digunakan dalam
formulasi shortening pada suhu ruangan (28-30
C). RBDPO berbentuk semi padat dan warnanya
kuning muda. RBPKO dan RBDOL berbentuk cair
namun warnanya berbeda masing-masing putih
kekuningan dan kuning muda. RBDPS berbentuk
padat dan berwarna putih. RPO berbentuk semi
padat dan berwarna kemerahan.
Shortening untuk creaming yang mengandung
RBDPS dalam jumlah banyak memberikan warna

Shortening
untuk frying

Shortening
untuk
creaming

Shortening
untuk baking

Butter oil
substitute

Waktu
(menit)
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120

Warna
52
kuning muda
kuning muda
putih kekuningan
putih kekuningan
Putih
Putih
putih kekuningan
putih
Putih
Putih
Putih
Putih
kuning muda
kuning muda
kuning muda
putih kekuningan
Putih
Putih
Kuning
Kuning
kuning pucat
kuning pucat
kuning pucat
kuning pucat

52
0,03
0,04
0,04
0,04
0,04
0,05

122
0,03
0,03
0,03
0,04
0,04
0,04

202
0,03
0,03
0,03
0,04
0,04
0,04

putih pada produk. Butter oil substitute berbeda


warnanya dibandingkan shortening jenis lain
karena mengandung RPO (sebagai pemberi warna
kuning kemerahan). Proses pendinginan formula
shortening menimbulkan perubahan warna dari
produk (Tabel 4). Semakin rendah suhu
pendinginan cenderung menyebabkan warna
menjadi pucat atau lebih putih. Hal yang sama juga
ditunjukkan bahwa semakin lama proses
pendinginan menyebabkan warna juga menjadi
pucat atau putih. Hal ini disebabkan juga oleh
perubahan bentuk formulasi shortening dari
berbentuk cair menjadi semi padat atau padat. Dari
Tabel 4 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa suhu
52 C dan 122 C selama 30-45 menit
memberikan warna produk sesuai yang diinginkan.

Tabel 4
Warna produk shortening selama proses pendinginan
Produk

Butter oil substitute

Suhu (C)
122
kuning muda
kuning muda
kuning muda
putih kekuningan
putih kekuningan
Putih
putih kekuningan
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
kuning muda
kuning muda
kuning muda
putih kekuningan
Putih
Putih
kuning
kuning
kuning pucat
kuning pucat
kuning pucat
kuning pucat

202
kuning muda
kuning muda
kuning muda
kuning muda
kuning muda
Putih
putih kekuningan
putih
putih
Putih
Putih
Putih
kuning muda
kuning muda
kuning muda
kuning muda
putih kekuningan
putih kekuningan
kuning
kuning
kuning
kuning pucat
kuning pucat
kuning pucat

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32


Halaman | 29

Gambar 2. Bentuk dan warna bahan baku formulasi shortening (dari kiri ke kanan: RBDPO, RBDPS, RBDOL, RBDPKO, RPO)

Gambar 3. Bentuk dan warna produk shortening (dari kiri ke kanan: frying, creaming, baking dan butter oil substitue)

3.5. Kadar oily


Pembuatan tekstur shortening menjadi bentuk
semi padat atau padat dimaksudkan agar produk
lebih homogen dan tidak mudah mencair.
Pencairan ini juga dapat menyebabkan terjadinya
pemisahan antara minyak cair dan minyak padat.
Oleh sebab itu, analisa kadar oily perlu dilakukan
untuk memastikan tekstur shortening stabil selama
penyimpanan. Hasil uji penyimpanan shortening
selama 5 minggu ditunjukkan pada Tabel 5.
Pembentukan oily dapat disebabkan oleh
formula masing-masing jenis shortening. Jika
jumlah minyak padat (berupa RBDPS) lebih banyak
maka peluang terjadinya oily lebih rendah.
Contohnya, shortening untuk creaming tidak terjadi
oily pada variasi suhu dan waktu pendinginan.
Semakin
lama
waktu
proses
cenderung
menimbulkan oily pada produk. Hal ini disebabkan
produk shortening yang dihasilkan dari kondisi
tersebut berbentuk cream yang kurang stabil.
Sehingga pada suhu ruangan minyak cair
keluar/terpisah dari minyak padat (Gambar 4). Dari
uji penyimpanan ini menunjukkan bahwa keempat
jenis shortening yang dihasilkan pada kondisi suhu
pendinginan 5 2, 12 2, 20 2 C selama 30
menit relatif stabil (tidak terjadi oily) pada
penyimpanan hingga 5 minggu.

dan tekstur dari produk shortening seperti


ditunjukkan pada Tabel 6. Pada kondisi awal
campuran minyak yang dihomogenkan dengan
pemanasan dan didinginkan secara alami tanpa
pendinginan bentuk produk semi padat dan padat.
Namun kristal-kristal pada produk relatif besar dan
ada bagian yang masih berbentuk minyak. Ini
menunjukkan bahwa tanpa proses pendinginan
pembentukan kristal dari minyak padat maupun
cair tidak sama, tidak homogen dan kurang
sempurna.
Sementara
produk
shortening
diharapkan memiliki tekstur yang keras atau lunak
namun kristalnya halus. Pendinginan pada suhu
52, 122, 202 C selama proses 30-45 menit
bentuk produk shortening semi padat dan padat
(tergantung jenis shortening). Selain itu teksturnya
ada yang keras dan lunak. Namun dengan kenaikan
waktu proses > 45 menit bentuknya menjadi cream
dan teksturnya lunak.

Oily

3.6. Bentuk dan tekstur


Tidak hanya terjadinya oily, selama
penyimpanan juga menimbulkan perubahan bentuk

Gambar 4. Produk shortening yang tidak oily dan mengalami


oily

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil
Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32

Halaman | 30
Tabel 5
Kadar oily produk shortening pada variasi suhu dan waktu proses pendinginan
Kadar Oily (%)
Suhu
(C)

52

122

202

Waktu
(Menit)

0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120
0
30
45
60
90
120

1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Shortening untuk Frying

Shortening untuk
Creaming

Penyimpanan (Minggu)

Penyimpanan (Minggu)

2
0
0
0
0
2
4
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
2
4

3
0
0
0
0
4
6
0
0
0
0
4
4
0
0
0
0
4
10

4
0
0
0
0
6
10
0
0
0
2
4
8
0
0
0
2
8
14

5
0
0
0
2
10
12
0
0
0
4
6
10
0
0
0
2
10
18

1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa shortening


berbentuk semi padat atau padat dan tekstur yang
keras atau lunak relatif stabil selama penyimpanan
hingga 5 minggu tanpa terjadinya pemisahan
minyak (produk berminyak). Sementara shortening
yang berbentuk cream dan teksturnya lunak
berpeluang
menyebabkan
produk
menjadi
berminyak (Gambar 5).

Lapisan cream

Lapisan minyak
Gambar 5. Produk shortening berbentuk cream membentuk
lapisan minyak selama penyimpanan 5 minggu

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi


proses pembuatan shortening pada skala 50
kg/batch dengan kualitas yang baik diperoleh pada
52 dan 122 C selama 30 menit. Haryati dan
Siahaan, 2007 melaporkan bahwa kondisi proses
pembuatan shortening untuk frying skala 3 kg
adalah suhu pendingin 3-4 C atau 7-8 C dengan
waktu 3 jam. Sementara Siahaan et al., 2013
melaporkan kondisi proses pembuatan shortening
untuk pastry skala 3 kg adalah suhu pendingin 5 C
dan waktu 25 menit. Kondisi proses dalam

4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Shortening untuk
baking
Penyimpanan
(Minggu)
1
2
3
4
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
4
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
4
0
0
0
2
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2

Butter oil substitute


Penyimpanan (Minggu)
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

2
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
2
2

3
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
2
6
0
0
0
0
4
12

4
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
2
8
0
0
0
0
6
13

5
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
2
10
0
0
0
0
8
16

pembuatan shortening dapat berbeda yang sangat


dipengaruhi oleh formula dari masing-masing jenis
shortening dan kapsitas produksinya.
4. Kesimpulan
Alat texturing skala 50 kg/batch telah
menunjukkan fungsionalnya yang teruji dalam
proses pendinginan untuk pembuatan shortening.
Kondisi optimasi proses pembuatan empat jenis
shortening meliputi frying, creaming, baking dan
butter oil substitute adalah pada suhu 52 C atau
122 C dengan waktu 30 menit. Pada kondisi
tersebut diperoleh produk shortening dengan
kadar air yang memadai, warna sesuai yang
diinginkan, bentuk semi padat atau padat dengan
tekstur lunak atau keras sesuai dengan jenis
shortening. Selama penyimpanan 5 minggu produk
yang dihasilkan pada kondisi optimum tidak
menurun kualitasnya seperti tidak berminyak dan
tidak lembek.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Deny
Simanjuntak dan Aga Prima Hardika atas
bantuannya untuk menganalisa produk di
Laboratorium Oleopangan Kelti. Pengolahan Hasil
dan Mutu sehingga penelitian dapat berjalan
dengan baik

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32


Halaman | 31
Tabel 6
Bentuk dan tekstur produk shortening selama penyimpanan
Su
hu
pro
ses
(C
)
Aw
al

W
akt
u
(M
eni
t)

60

90
12
0

45

45

B
t
k
S
p
S
p
S
p

T
s
t

S
p
S
p

B
K
K

K
K

B
t
k
S
p
S
p
S
p

T
s
t

S
p
S
p

B
K
K

K
K

B
t
k
S
p
S
p
S
p

T
s
t

S
p
S
p

Shortening untuk creaming

L
K
K

L
L

B
t
k
S
p
S
p
S
p

T
s
t

S
p
S
p

L
K
L

L
B

Shortening untuk baking

B
t
k

T
s
t

B
t
k

T
s
t

B
t
k

T
s
t

B
t
k

T
s
t

B
t
k

T
s
t

S
p
S
p

L
L
L

L
B

2
T
s
t

B
t
k
S
p
S
p
S
p

S
p
S
p

4
B
t
k
S
p
S
p
S
p

5
B
t
k
S
p
S
p
S
p

1
B
t
k
S
p
S
p
S
p

2
B
t
k
S
p
S
p
S
p

3
B
t
k
S
p
S
p
S
p

4
B
t
k
S
p
S
p
S
p

5
B
t
k
S
p
S
p
S
p

B
t
k
S
p
S
p
S
p

T
s
t

L
K
K

K
K

S
p
S
p

L
K
L

K
K

B
t
k
S
p
S
p
S
p

Butter oil substitute

S
p
S
p

Tst
L
K
L

K
L

S
p
S
p

Tst
L
K
L

L
B

S
p
S
p

Tst
L
K
L

L
B

S
p
S
p

Tst
B
K
K

K
K

S
p
S
p

Tst
B
K
L

K
K

S
p
S
p

Tst
B
K
L

K
L

S
p
S
p

Tst
B
L
B

L
B

S
p
S
p

T
s
t
B
L
B

L
B

60

90

12
0

30
20

2
T
s
t

30
12

1
B
t
k
S
p
S
p
S
p

30
5

Lama penyimpanan (Minggu)


Shortening untuk frying

45

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
B

S
p
S
p

L
B

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

B
B

S
p
S
p

B
B

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

L
L

S
p
S
p

B
B

S
p
S
p

B
B

60

90

12
0

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil
Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32

Halaman | 32

Daftar Pustaka
Berger, K.G., & Idris, N.A. (2005). Formulation of Zero-Trans Acid
Shortenings and Maragarins and Other Food Fats with
Products of The Oil Palm. JAOCS, 82, 775-780.
Czyzewski, T.S., & Greenwell, B.A. (1984). Process for Chilling
and Plasticizing Fatty Materials. United States Patent.
4,439,461.
Haryati, T., & Siahaan, D. (2007). Pengembangan Proses
Pembuatan Frying Shortening dari Fraksi Minyak Sawit.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 15, 119-136.
Hasibuan, H.A. (2009). Plastic Fat dan Specialty Fat Berbahan
Dasar Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit. Monograf.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Hasibuan, H.A., Siahaan, D., Rivani, M. & Panjaitan, F. (2009).
Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit Sebagai Bahan Baku
Formulasi Plastic Fat dan Specialty Fat. Prosiding
Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. Jakarta.
Hasibuan, H.A. (2012). Kajian Mutu dan Karakteristik Minyak
Sawit serta Produk Fraksinasinya. Jurnal Standardisasi, 14,
13-21.
Hasibuan, H.A., Siahaan, D., & Sunarya. (2012). Kajian
Karakteristik Minyak Inti Sawit Indonesia dan Produk
Fraksinasinya Terkait dengan Amandemen Standar Codex.
Jurnal Standardisasi, 14, 98-104.
Hasibuan, H.A., & Siahaan, D. (2013). Karakteristik CPO, Minyak
Inti Sawit dan Fraksinya. Seri Buku Saku. PPKS. Medan.
Hui, Y.H. (1996). Oils and Fats in Bakery Products. In Baileys
Industrial Oil and Fats Products. 5th edition. Vol. 3. John
Willey and Sons, Inc. New York. 331-336.
Jin, Q., Zhang, T., Shan, L., Liu, Y., & Wang, X. (2008). Melting and
Solidification Properties of Palm Kernel Oil, Tallow, and
Palm Oleins Blends in the Preparation of Shortening.
JAOCS, 85, 23-28.
Lenoid, T., Petro, K., Lenoid, U., Stanislav, B., & Andrey, G. (2007).
Heat Integration of Ammonia Cooling Unit into the
Purification Process of fats and Oils. 17th European
Symposium on Computer Aided Process EngineeringESCAPE17. V. Plesu and P.S. Agachi (Editors). Elsevier B.V.
Lumor, S.E., & Akoh, C.C. (2005). Enzymatic Incorporation of
Stearic Acid into a Blend of Palm Olein and Palm Kernel
Oil:
Optimization byResponce Surface methodology.
JAOCS, 82, 421-426.
MPOB. (2004). MPOB Test Method: A Compendium Of Test On
Palm Oil Products, Palm Kernel Products, Fatty Acids, Food
Related Products And Others. Malaysia.
OBrien, R.D. (2004). Fats and Oils, Formulating and Processing
for Application. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster.
pp. 15-42.
Reid, E.J., Brea, & Morgan, P.W. (1972). Process of Making
Aerated Shortening. United Stantes Patent. 3,637,402.
Sahri, M.M., & Idris, N.A. (2010). Palm Stearin as Low Trans Hard
Stock for Margarine. Sains Malaysiana, 39, 821-827.
Siahaan, D., Sianipar, N., & Manurung, H. (2013). Pengembangan
Proses Pembuatan Pastry Shortening Berbahan Baku
Fraksi-Fraksi Minyak Kelapa Sawit. Warta Pusat Penelitian
Kelapa Sawit, 1, 25-36.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 33

Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil


Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan
Use of Various Cocoa Butter Substitute (CBS) Hydrogenated in Making Chocolate Bar
Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman
Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
mirnaisyanti0305@gmail.com

Riwayat Naskah: ABSTRAK: Penelitian pemanfaatan Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk produk olahan
Diterima 05,2015
Direvisi 06,2015
Disetujui 06,2015

cokelat telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan Cocoa Butter
Substitute (CBS) hasil hidrogenasi menjadi cokelat batangan, menganalisis berbagai jenis
CBS dalam proses pembuatan cokelat batangan, dan mengetahui tingkat penerimaan
konsumen terhadap produk olahan cokelat batangan tersebut. Analisis yang dilakukan
dilakukan yaitu : analisis proksimat, titik leleh, profil trigliserida, profil asam lemak, total
padatan lemak (SFC), ukuran partikel, informasi nilai gizi, serta masa simpan (akselerasi).
Analisis fisiko kimia cokelat batangan menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar
abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak 31,1-37,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100
g, indeks bias 1,4485-1,4545, dan tidak mengandung lemak trans. Titik leleh cokelat
batangan berkisar 32C-40C. Titik leleh produk cokelat batangan terpilih, Fully
Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) sebesar 32C, dengan kandungan lemak padat
meleleh mendekati sempurna pd suhu 40C. Produk cokelat komersial menunjukkan suhu
titik leleh yang tinggi, 37C dan 40C. Berdasarkan uji organoleptik, produk cokelat
batangan CBS yang terpilih adalah jenis FHPKSt menggunakan 30 persen CBS. Jenis CBS
yang cocok untuk cokelat batangan adalah jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin
(FHPKSt) dengan proses hidrogenasi sempurna. Profil trigliserida cokelat batangan terpilih
(FHPKSt) dan cokelat komersial terlihat dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP dan
LMM/LaOM dari minyak inti sawit. Ukuran partikel cokelat batangan hasil penelitian lebih
kecil dibandingkan cokelat komersial. Masa simpan produk cokelat batangan selama 35
minggu pada suhu 25C dengan parameter kritis yaitu kadar air.
Kata kunci: Cocoa Butter Substitute (CBS), cokelat batangan, hidrogenasi, minyak inti sawit

ABSTRACT: Research utilization of Cocoa Butter Substitute (CBS) for the processed
chocolate products have been conducted. This study aims to harness Cocoa Butter
Substitute (CBS) hydrogenated into chocolate bars, analyze various types of CBS in the
process of making chocolate bars, and determine the level of consumer acceptance of the
products processed chocolate bars. Analyze were proximate analysis, melting point, the
profile of triglycerides, fatty acid profile, total fat solids (SFC), the particle size, nutritional
value information, and expired date (accelerated). Physical and chemical analysis chocolate
bars indicate the water content ranged from 0.98 to 1.36%, ash content of 1.43 to 2.37%,
from 1.90 to 7.05% protein, fat from 31.1 to 37.7%, numbers iodine 4.0 to 16.9 g iodine per
100 g, the refractive index of 1.4485 to 1.4545, and there were no trans fats found. The
melting point of chocolate bar products selected FHPKSt 32C, the solid fat content in the
form steep near-perfect start to melt temperature pd 40C. Poduk commercial chocolate
showed a high melting point, 37C and 40C. Product acceptance testing CBS chocolate bars
with ingredients chosen by the panelists was the type Fully Hydrogenated Palm Kernel
Stearin (FHPKSt), with CBS percentage of 30 percent. Based on the origin of the
hydrogenation process, CBS types suitable to be made into chocolate bars are CBS types
Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) with a perfect through the
hydrogenation process. Selected triglyceride profiles chocolate bars (types FHPKSt) and
commercial chocolate showed a dominance TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLap and
LMM/LaOM derived from palm kernel oil. Particle measurement chocolate bars that particle
size is smaller than the commercial one. The shelf life of the product is a chocolate bar for
35 weeks with storage at 25oC with the critical parameter is the moisture content.
Keywords: Cocoa Butter Substitute (CBS), chocolate bars, hydrogenated, palm kernel oil

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 34

1.

Pendahuluan

Cokelat sebagai bahan pangan telah cukup lama


dimanfaatkan dalam pembuatan pastri, bakeri,
maupun konfeksioneri. Bentuk, jenis dan flavor
yang berbeda dari cokelat yang ada di pasaran
terutama ditentukan oleh variasi dalam jumlah dan
jenis komponen utama dalam formulasi cokelat.
Dalam industri konfeksioneri, khususnya produkproduk cokelat, penggunaan bahan baku yang
berkontribusi terhadap sifat tekstural dan sensori
sangat penting.
Fraksi lemak dalam formulasi cokelat
memberikan peranan penting dalam menentukan
tekstur, kenampakan, serta penanganan proses dan
penyimpanan produknya. Dalam pengembangan
produk
baru,
adalah
penting
untuk
mempertimbangkan peranan lemak dalam
mempengaruhi persepsi konsumen terhadap
kenampakan, tekstur, nutrisi dan pengananan
umumnya produk (Weyland, 1999).
Lemak kakao adalah lemak terbaik untuk
produk cokelat Namun demikian, untuk menekan
biaya produksi dan menghasilkan cokelat yang
lebih keras untuk konsumsi di daerah tropis,
penggunaan lemak lain sering diperlukan. Banyak
digunakan lemak nabati yang memiliki sifat fisik
mirip karakteristik lemak kakao tetapi secara
kimia tidak ada kemiripan. Dalam industri cokelat,
dikenal dengan Cocoa Butter Substitute (CBS). Jenis
lemak ini terbagi dalam tipe laurat yang kaya asam
lemak laurat dan tipe non-laurat. Penggunaan CBS
dalam formulasi cokelat biasanya lebih terbatas,
karena kompatibilitasnya lebih rendah (Misnawi,
2008).
Fraksi lemak dalam cokelat sebagian besar
berasal dari lemak kakao dan lemak susu. Lemak
kakao adalah lemak terbaik untuk produk cokelat.
Namun demikian, untuk menekan biaya produksi
dan menghasilkan cokelat yang lebih keras untuk
konsumsi di daerah tropis, penggunaan lemak lain
sering diperlukan. Dalam industri cokelat, lemak
dimaksud dikenal dengan Cocoa Butter Substitute
(CBS). Jenis lemak ini terbagi dalam tipe laurat
(lauric type) yang kaya akan asam lemak laurat dan
tipe non-laurat (Leong dan Lye, 1992).
Penggunaan CBS dalam formulasi cokelat biasanya
lebih terbatas, karena kompatibilitasnya lebih
rendah.
CBS merupakan pengganti (substitusi) untuk
lemak kakao, khususnya untuk produk cokelat
yang lebih murah (Hariyadi, 2009). Produk CBS
laurat dan non-laurat pada awalnya dikembangkan
dengan pertimbangan ekonomi untuk menurunkan
biaya produksi. Seiring dengan perkembangan
kemajuan teknologi dan kebutuhan industri,
perkembangan selanjutnya bergeser ke arah
peningkatan fungsionalitas dari produk CBS.
Berbagai produk CBS laurat maupun CBS non-

laurat dibuat untuk meningkatkan daya tahan


terhadap panas, memperbaiki daya tahan terhadap
blooming,
memperbaiki
profil
pelelehan,
menurunkan resiko flavor sabun dan berlilin,
memperbaiki mouthfeel, kerenyahan (crunchiness)
dan sebagainya.
CBS memiliki kandungan asam lemak C12:0
(asam laurat) tinggi.
CBS laurat umumnya
dihasilkan dari lemak tinggi laurat yang umumnya
dihasilkan dari daerah tropis, seperti minyak
kelapa dan minyak inti sawit, walaupun juga ada
dalam jumlah kecil yang menggunakan minyak
kedelai terhidrogenasi, minyak biji kapas, minyak
sawit dan lemak non-laurat lainnya.
CBS laurat merupakan lemak konfeksioneri dari
lemak berbasis laurat yang tidak kompatibel
dengan lemak kakao, tetapi sifat fisiknya mirip dan
umumnya lebih menyerupai sifat sensori lemak
kakao (Soekopitojo, 2011). Lemak tumbuhan yang
digunakan dalam membuat cokelat compound
tidak dapat bercampur dengan lemak kakao karena
lemak tumbuhan memiliki struktur dan sifat yang
jauh berbeda dengan lemak kakao. Jika keduanya
bercampur, maka titik leleh campurannya akan
lebih rendah dari lemak tumbuhan yang
digunakan. Hal ini menyebabkan harga cokelat
compound lebih rendah dari jenis cokelat lain.
Penggunaan CBS laurat dalam formulasi cokelat
memiliki banyak keuntungan.
Kelemahan
penggunaan cokelat compound adalah rasa dan
stabilitas cokelat yang berubah jika disimpan
dalam waktu lama (Purwo, 2013). Dari hasil
produksi lemak nabati, diciptakan beberapa jenis
lemak pengganti lemak kakao yang dapat
digunakan sebagai campuran ataupun substitusi
lemak nabati pada pembuatan cokelat compound,
yaitu : CBS, CBR, CBE, dan CBI (Tanuhadi, 2012).
CBS diproduksi melalui proses fraksinasi dan
hidrogenasi. Proses produksi CBS terdiri dari
beberapa tahap reaksi yaitu degumming, bleaching,
hidrolisa, fraksinasi (destilasi) bertahap dan
hidrogenasi.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan
mengenai cocoa butter substitute (CBS) adalah
dilakukan oleh Ratnasari, D (2012), dimana
pembuatan cokelat batang terbaik dengan
penggunaan CBS sebesar 38%, dengan kadar asam
lemak bebas 5,69% dan kadar protein 12,61%.
Hidrogenasi minyak atau lemak merupakan
proses penambahan molekul hidrogen pada rantai
asam lemak tidak jenuh sehingga menyebabkannya
menjadi jenuh dengan menambahkan satu molekul
hidrogen pada masing-masing ikatan rangkap.
Proses hidrogenasi dikembangkan oleh Norman
1902, dengan mengkonversikan minyak cair
menjadi bentuk semi padat yang digunakan untuk
produk shortening atau margarin (Silalahi, 1999).
Tujuan utama dari hidrogenasi ini yaitu untuk
meningkatkan stabilitas oksidatifnya dan untuk

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 35

meningkatkan kandungan lemak padatnya


sehingga titik lelehnya meningkat dan dapat
memperbaiki tekstur makanan (Kodali, 2005).
Hidrogenasi sebagian adalah proses yang merubah
sebagian asam lemak tak jenuh menjadi asam
lemak jenuh dan berpotensi menghasilkan asam
lemak trans. Sedangkan hidrogenasi total adalah
proses yang merubah seluruh asam lemak tidak
jenuh menjadi asam lemak jenuh (Basiron, 2000).
Proses fraksinasi dapat memisahkan minyak atau
lemak menjadi fraksi-fraksi yang mempunyai sifat
fisika yang berbeda dari bentuk aslinya. Pemisahan
fraksi minyak atau lemak didasarkan pada
kelarutannya dalam komponen trigliserida.
Perbedaan kelarutan secara langsung berhubungan
dengan tipe trigliserida didalam sistem lemak. Tipe
trigliserida ditentukan oleh komposisi asam
lemaknya dan distribusi asam lemak dalam
masing-masing molekul trigliserida. Komponen
minyak atau lemak yang berbeda titik lelehnya
dapat dipisahkan dengan cara kristalisasi dan
filtrasi untuk memisahkan minyak atau lemak
didasarkan pada jenis produknya. Ada dua tujuan
utama dari aplikasi fraksinasi: (i) menghilangkan
bentuk fraksi dari minyak dan lemak yang tidak
diinginkan dan (ii) menghasilkan fraksi yang
bermanfaat dan memiliki sifat yang unik. Ada tiga
proses fraksinasi yang umum digunakan yaitu dry
fractionation, detergent fractionation, dan solvent
fractionation. Pada dry fractionations, prosesnya
didasarkan pada pendinginan dibawah kondisi
yang dikontrol untuk kristalisasi yang lambat
dengan tidak adanya pelarut. Solvent fractionation
didasarkan pada perbedaan kelarutan dari
gliserida pada suhu yang diberikan (Silalahi, 1999).
Dengan proses hidrogenasi ditujukan agar
diperoleh karakteristik produk yang berbeda dari
sebelumnya, seperti stabilitas yang lebih baik
terhadap oksidasi baik selama penyimpanan
maupun saat digunakan dan berwujud padat pada
suhu ruang serta mencair pada suhu tubuh.
Mekanisme hidrogenasi adalah atom-atom H2
mengeliminasi unsaturated fatty acid (carbon
ikatan rangkap), dengan pengurangan atau
penghilangan unsaturated fatty acid produk
menjadi stabil/tahan terhadap oksidasi. Parameter
proses hidrogenasi yang dicapai adalah penurunan
angka yodium atau IV (iodine value), dengan
berkurangnya ikatan rangkat makan angka IV-nya
juga semakin turun. Dan sebaliknya nilai slip
melting point (SMP) menjadi naik, secara fisik
minyaknya menjadi lebih keras/solid (harden fat).
Hasil dari proses hidrogenasi banyak diaplikasikan
untuk produk coating, substitusi seperti : cokelat,
wafer, ice cream, dan lain-lain. Langkah-langkah
dari hidrogenasi yaitu : transfer dan/atau difusi,
adsorpsi, hidrogenasi/isomerisasi, desorpsi dan
transfer.

Hidrogenasi adalah proses eliminasi ikatan


rangkap pada minyak dengan penambahan gas H2
(unsaturated) menjadi minyak jenuh (saturated).
Indikator untuk mengetahui jumlah ikatan rangkap
pada minyak adalah iodine value (IV). Semakin
rendah IV maka semakin sedikit ikatan rangkap
pada minyak. Proses hidrogenasi dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) yaitu : Fully Hidrogenation, Partial
Hydrogenation dan Selective Hydrogenation. Fully
Hidrogenation adalah proses hidrogenasi untuk
menghilangkan ikatan rangkap secara keseluruhan.
Target penurunan IV maksimal hingga 0-2. Partial
Hydrogenation adalah proses hidrogenasi untuk
menghilangkan hanya sebagian ikatan rangkap.
Selective Hydrogenation adalah proses hidrogenasi
untuk menghilangkan sebagian ikatan rangkap
pada posisi selektif sesuai dengan Solid Fat Content
(SFC) yang diinginkan. Jenis ini hampir sama
dengan Partial Hydrogenation.
Ikatan-ikatan rangkap pada lemak dan minyak
tak jenuh cenderung membuat gugus-gugus yang
ada di sekitarnya tertata dalam bentuk cis. Suhu
tinggi yang digunakan dalam proses hidrogenasi
cenderung mengubah beberapa ikatan C=C
menjadi bentuk trans. Jika ikatan-ikatan khusus
ini tidak dihidrogenasi selama proses, maka
mereka masih cenderung terdapat dalam produk
akhir lemak membentuk molekul-molekul lemak
trans.
Pada hidrogenasi terjadi proses pengubahan
jumlah ikatan rangkap dalam suatu asam lemak
oleh gas hidrogen (H2). Dengan hidrogenasi,
terjadi penambahan atom hidrogen ke dalam
ikatan rangkap asam lemak sehingga ikatan
rangkap tersebut kurang atau ikatan rangkapnya
terlepas. Perubahan jumlah ikatan rangkap akan
mengarah pada perubahan sifat fisik dan kimia
minyak, yang terlihat dari angka yodium atau
Iodine Value (IV), kandungan lemak padat (SFC)
dan titik leleh (slip melting point) produk.
Di pasaran, dikenal produk-produk cokelat
seperti cokelat batangan (chocolate bar), baking
chocolate, chocolate dipping, chocolate coating,
chocolate chips, chocolate chips, chocolate strick,
dan sebagainya. Cokelat batangan merupakan
produk cokelat berbentuk batang dan dapat
langsung dikonsumsi, dengan berbagai variasi
seperti dark chocolate, milk chocolate dan white
chocolate. Cokelat compound terbuat dari bubuk
kakao, lemak tumbuh-tumbuhan, susu dan gula.
Faktor utama yang mempengaruhi hasil akhir rasa
dan kualitas pada cokelat terutama compound
adalah jenis lemak nabati (vegetable fat) yang
digunakan.
Pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan CBS
untuk menghasilkan produk cokelat batangan
dengan mutu yang baik, dan mengetahui
keberterimaan konsumen, dan karakteristik sifat
fisiko kimianya.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 36

2. Bahan dan Metode


2.1. Bahan
Bahan-bahan
yang
digunakan
dalam
pembuatan produk olahan cokelat (cokelat
batangan) adalah Cocoa Butter Substitute (CBS)
dengan jenis : Fully Hydrogenated Palm Kernel
Stearine (FHPKSt), Fully Hydrogenated Palm Kernel
Olein (FHPKOlein), Fully Hydrogenated Palm Kernel
Oil (FHPKOil), Partially Hydrogenated Palm Olein
(PHPOlein), dan Partially Hydrogenated Palm
Kernel Oil (PHPKOil) yang diperoleh dari PT.
Wilmar Cahaya Indonesia, dan CBS jenis coating fat
yang diperoleh dari Jember, cokelat batangan
merek CM dan merek CC yang diperoleh dari toko
swalayan di Bogor, gula pasir dari toko swalayan di
Bogor, cokelat bubuk yang diperoleh dari PT. Bumi
Tangerang Mesindotama, emulsifier lesitin dari
Brataco, dan vanili merek cap kupu kupu.

bebas dan asam lemak trans, untuk mengetahui


kualitas bahan baku yang digunakan.
Formulasi yang digunakan mengadopsi dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari dkk
(2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lestari (2013), semakin tinggi
kandungan CBS yang digunakan akan mengurangi
kualitas rasa, aroma, dan tekstur pada cokelat
batangan (compound), dengan formulasi sebagai
berikut : CBS (30%), susu bubuk full cream
(22,1%), coklat bubuk (10%), Gula (37,5%), vanili
(0,1%), dan lesitin (0,3%).
2.3.2. Penelitian utama
CBS, Susu bubuk
full cream, coklat
bubuk, Gula
Vanili, Lesitin

Bahan Baku dan


Bahan Penolong

2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah ball mill mini
kapasitas 6 kg (milik PT. Kerta Laksana, Bandung),
thermometer, neraca analitik terkalibrasi, cetakan
cokelat (moulding) refrigerator, alumunium foil,
Particle Size Analyzer, Pulsed NMR Analyzer,
peralatan analisa lainnya.

Pencampuran dan
penghalusan dalam Ball
Mill (2 jam)

2.3. Metode

Pencetakan

2.3.1. Penelitian Pendahuluan


Penelitian pendahuluan yang dilakukan
menggunakan alat ball mill dimana proses
pengolahannya adalah semua bahan baku dan
bahan penolong diproses dalam tangki yang berisi
ribuan bola logam dengan suhu tertentu, dan
diaduk berputar bersamaan (agitasi). Dengan
adanya proses agitasi dan tumbukan antara bola
logam, yang akan memberi efek penghalusan dan
semua bahan akan tercampur menjadi satu dan
homogen. Adonan dicetak menggunakan cetakan
cokelat (molding). Setelah seluruh cetakan terisi,
kemudian dihentakan ke meja berulang kali untuk
menghilangkan
gelembung
udara
yang
terperangkap di dalam adonan cokelat, lalu
dimasukkan ke dalam lemari pendingin dengan
kisaran suhu 5-9C.
Pada penelitian pendahuluan dilakukan
pengujian bahan baku CBS yang akan digunakan
untuk parameter : kadar air, kotoran, warna, titik
leleh, bilangan peroksida, bilangan iod, asam lemak

Pendinginan

COKELAT
BATANGAN
(COKELAT
COMPOUND)

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Cokelat Batangan


(Compound)

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 37

2.3.2. Analisis dan pengamatan

3. Hasil dan Pembahasan

Pengamatan dan analisis yang dilakukan adalah


analisis sifat fisiko kimia, yaitu : analisis proksimat
(kadar air, kadar lemak, kadar abu, protein,
karbohidrat), profil asam lemak, slip melting point
(titik leleh), profil trigliserida, particle size, masa
simpan (akselerasi), dan total padatan lemak (solid
fat content/SFC).
Selain itu juga dilakukan
pengujian
organoleptik
(sensori)
untuk
mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap
warna, aroma, rasa, tekstur cokelat batangan.

3.3.1. Penelitian Pendahuluan

Tabel 1.
Hasil analisis fisiko kimia karakteristik CBS yang digunakan
dalam penelitian
Jenis CBS

Parameter
FHPKS
t

FHPKO

0,02

0,04

0,06

0,09

0,07

0,06

Kotoran
(%)

0,02

0,02

Warna
(R/Y)

0,5 R
1 Y

0,9 R
3Y

0,5 R
2Y

0,9 R
3Y

2,6 R
3,1 Y

3,1 R
1,4 Y

Titik Leleh
(C)
Bilangan
Peroksida
(mek
O2/kg)
Bilangan
Iod
(g iod/100
g)
Asam
lemak
bebas
(dihitung
sebagai
asam
oleat) %
Lemak
trans (%)

39

43

49

39

42

38

1,94

0,36

1,20

0,67

3,69

7,29

Kadar
(%)

Air

FHPK
Olein

PHPKO

CFJ

PHPK
Olein

Keterangan :
FHPKSt = Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin
FHPKO = Fully Hidrogenated Palm Kernel Oil
FHPK Olein= Fully Hydrogenated Palm Kernel Olein
PHPKO = Partially Hydrogenated Palm Kernel Oil
PHPK Olein= Partially Hydrogenated Palm Kernel Olein
CFJ
= Coating Fat
Perhitungan kadar air berdasarkan SNI 01-3555-1998, butir 4.1
Perhitungan kotoran berdasarkan SNI 01-2901-2006, butir 5.3
Pengukuran warna dengan menggunakan Lovibond.

Bahan baku CBS yang digunakan dalam


pembuatan cokelat batangan dilakukan analisis
fisiko kimia terhadap parameter : air, kotoran,
warna, titik leleh, bilangan peroksida, bilangan iod,
asam lemak bebas (sebagai asam oleat), lemak
trans, komposisi asam lemak jenuh dan asam
lemak tidak jenuh (Tabel 1).
Titik leleh CBS sebagai bahan baku yang
digunakan dalam pembuatan cokelat batangan
berkisar antara 38C . sampai dengan 49C. Titik
leleh terendah sebesar 38C pada Coating Fat
Jember (CFJ) 39C pada PHPKO dan FHPKSt.
Sedangkan titik leleh sebesar 42C pada
PHPKOlein, 43C FHPKO dan 49C pada
FHPKOlein.
Pada proses hidrogenasi akan menaikkan titik
leleh, mengubah minyak cair menjadi lemak
setengah padat sesuai dengan kebutuhan. Titik
leleh ditentukan oleh komposisi asam lemak
penyusunnya. Tiap asam lemak murni mempunyai
titik leleh spesifik dari berbagai asam lemak
sebagai trigliserida (seperti stearat, oleat dan
linolenat), sehingga tidak memiliki titik cair yang
tajam (Lawson, 1995). Stearin memiliki titik leleh
50C, olein 20C sedangkan lemak kakao sebesar
29-31C.
Titik leleh asam lemak bervariasi
tergantung pada : peningkatkan panjang rantai
meningkatkan titik leleh, peningkatan tingkat
kejenuhan meningkatkan titik leleh, dan
perubahan isomer cis menjadi trans meningkatkan
titik leleh.
Menurut SNI Lemak Kakao (SNI 3748:2009),
titik leleh lemak kakao sebesar 31-35 C, FFA
sebagai asam oleat maks 1,75% (b/b), kadar air
maks 0,2%, bilangan iod 33-42 g I2/100 g, bilangan
peroksida maks 4,0 meq/kg lemak. Hasil analisis
bilangan peroksidan untuk semua CBS adalah 0
tetapi untuk CBS jenis Coating Fat sebesar 1,94
meq peroksida/kg lemak. Bilangan Peroksida
adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan minyak atau lemak, sehingga
dibandingkan dengan CBS lainnya, CBS jenis CFJ
telah mengalami penurunan mutu.
Bilangan iod adalah sifat kimia minyak yang
dipakai untuk mengetahui banyaknya ikatan
rangkap atau ikatan tidak jenuh dalam minyak.
CBS CFJ menunjukkan nilai bilangan iod sebesar 0
g iod/100 g, sedangkan nilai yang tertinggi adalah
pada PHPK Olein sebesar 7,29 g iod/100 g. Hal
tersebut menunjukkan jumlah ikatan rangkap yang
tinggi pada PHPK Olein. CBS memiliki nilai yodium
yang rendah (IV), hal itu menunjukkan tingkat
asam lemak tak jenuh. Dengan demikian sawit
berbasis CBS stabil terhadap kerusakan oksidatif.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 38

Hasil analisis asam lemak bebas dan lemak


trans bahan baku CBS yang akan digunakan dalam
pembuatan cokelat batangan menunjukkan tidak
adanya kandungan asam lemak bebas dan tidak
mengandung lemak trans. Dari hasil analisis fisiko
kimia, diperoleh kadar air, kadar asam lemak
bebas, bilangan iod, lemak trans yang rendah (nol).
Hal ini menunjukkan mutu CBS yang baik.
Pada industri minyak dan lemak, produksi asam
lemak trans ditekan sekecil mungkin atau tidak ada
sama sekali. Pada umumnya hasil hidrogenasi
parsial akan terbentuk trans fatty acid yang tidak
diinginkan.
Asam lemak trans cenderung
meningkatkan kadar kolesterol total dalam darah
yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit
kardiovaskuler (jantung koroner), sehingga asam
lemak trans perlu dihilangkan atau diminimalkan.
Asam lemak tidak jenuh (memiliki ikatan rangkap)
yang terdapat di minyak dapat berada dalam dua
bentuk yaitu cis dan trans. Asam lemak tidak jenuh
yang terdapat di alam biasanya berada sebagai
asam lemak cis, hanya sedikit bentuk trans. Jumlah
asam lemak trans dapat meningkat akibat
pengolahan seperti hidrogenasi, pemanasan suhu
tinggi (Sundari, 2011). Proses pengolahan minyak
sawit dan minyak inti sawit menjadi CBS dapat
melalui tahap fraksinasi dan hidrogenasi. Proses
hidrogenasi yang tidak sempurna dapat

menyebabkan terbentuknya asam lemak trans


(Sundari, 2011).
3.3.2. Penelitian utama
Berdasarkan hasil analisis komposisi asam
lemak yang terkandung dalam CBS yang digunakan
dalam pembuatan cokelat batangan (Tabel 2)
menunjukkan dominasi kandungan asam laurat
pada kelima jenis CBS, kecuali pada CBS jenis
PHPKOlein yang lebih dominan adalah asam oleat.
Tingginya kandungan asam laurat menunjukkan
bahwa jenis CBS yang digunakan adalah CBS lauric
yang berasal dari minyak inti sawit atau minyak
kelapa yang terhidrogenasi, karena minyak inti
sawit (PKO) kaya akan kandungan laurat (4852%).
Tabel 2 menunjukkan komposisi asam lemak
utama pada CBS adalah laurat (C12:0), miristat
(C14:0), palmitat (C16:0) dan oleat (C18:1).
Tingginya kandungan asam laurat pada bahan
baku CBS menunjukkan jenis CBS lauric yang
berasal dari minyak inti sawit atau minyak kelapa
terhidrogenasi, karena minyak inti sawit dan
minyak kelapa mengandung asam laurat 48-52%.
Selain itu juga mengandung MCTs berupa asam
kaprilat (C8:0) berkisar antara 0,1 0,77 dan asam
kaprat (C10:0) berkisar antara 0,03 0,09.

Tabel 2
Komposisi asam lemak Cocoa Butter Substitute (CBS)

Parameter
Asam lemak jenuh:
Kaprilat (C8:0)
Kaprat (C10:0)
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Asam lemak tidak jenuh:
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)
Keterangan :
FHPKSt
FHPKO
FHPK Olein
PHPKO
PHPK Olein
CFJ

Satuan

FHPKSt

FHPKO

FHPK
Olein

PHPKO

PHPK
Olein

CFJ

%
%
%
%
%
%

0,31
0,03
87,37
10,17
1,32
0,78

0,66
0,07
86,14
8,75
1,79
2,40

0,89
0,09
86,61
7,80
1,62
2,84

0,77
0,09
84,81
8,56
2,04
2,53

0,10
0
14,86
3,33
22,77
2,41

0,68
0,07
85,6
8,27
1,70
1,46

%
%
%

0,02
0
0

0,19
0
0

0,04
0
0

1,10
0
0

56,4
0
0

2,11
0,01
0

= Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin


= Fully Hidrogenated Palm Kernel Oil
= Fully Hydrogenated Palm Kernel Olein
= Partially Hydrogenated Palm Kernel Oil
= Partially Hydrogenated Palm Kernel Olein
= Coating Fat

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 39

Menurut Hasibuan dkk (2012), minyak inti


sawit memiliki asam kaprilat 3,19-6,67% dan
asam kaprat 2,93-4,30%. Pada CBS jenis PHPK
Olein terlihat kandungan asam lemak oleat yang
lebih tinggi sebesar 56,4% dan kandungan asam
laurat yang rendah 14,86% dan palmitat 22,77%.
Teknologi pembuatan cokelat batangan
(compound) ini menggunakan cara yang
sederhana, yaitu alat ball mill.
Proses
pengolahannya adalah semua bahan baku dan
bahan penolong diproses dalam tangki yang
berisiribuan bola logam dengan suhu tertentu dan
diaduk berputar bersamaan (agitasi). Dengan
adanya proses agitasi dan tumbukan antara bola
logam akan memberikan efek penghalusan dan
semua bahan akan teraduk, tercampur menjadi
satu dan homogen (Tanuhadi, 2012). Dalam
pencampuran lemak kakao dan lemak lain
(misalnya CBS, susu bubuk full cream) untuk
mendapatkan produk yang lebih keras,
adakalanya produk akhir yang dihasilkan justru
menjadi lunak. Keadaan tersebut terjadi karena
sifat ketidaksesuaian antar lemak yang dicampur.
Menurut Bigalli (1988), apabila ada 2 substansi
lemak berbeda dicampur, maka campuran
tersebut akan memadat dan mencair pada suhu
yang lebih rendah dari kedua bahan
pencampurnya. Sifat ini dikenal dengan sifat
entetic (dari Bahasa Yunani Entektos, mudah
mencair). Oleh karena itu, penggunan semacam
bahan surfaktan dan pengemulsi seperti lesitin
sangat penting dalam pencampuran lemak.
bias, titik leleh, lemak trans dilakukan
terhadap cokelat batangan yang dihasilkan,
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Analisis fisiko kimia yaitu analisis kadar air,
kadar abu, protein, lemak, bilangan iod, indeks
Analisis
fisiko
kimia
cokelat
batangan
menunjukkan kadar air berkisar antara 0,98% 1,36%, kadar abu 1,43% - 2,37%, protein 1,90
7,05%, lemak 31,1% - 37,7%, bilangan iod 4,0
16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485 1,4545.
Untuk titik leleh produk berkisar antara 32C

40C, sedangkan lemak trans tidak ditemukan ada


pada semua cokelat batangan.
Titik leleh
terendah cokelat batangan adalah yang dibuat
menggunakan CBS jenis FHPKSt yaitu 32C.
Produk cokelat komersial 1 dan 2 menunjukkan
nilai titik leleh yang tinggi, yaitu 40C dan 37C.
Tabel 3
Formulasi pembuatan cokelat batangan (compound)
Bahan
CBS
Susu bubuk full cream
Coklat bubuk
Gula halus
Vanili
Lesitin

Jumlah
30%
22,1%
10%
37,5%
0,1%
0,3%

Titik cair dan titik leleh lemak merupakan


salah satu penentu utama tekstur dan kekerasan
permen cokelat batangan. Cokelat yang baik
adalah cokelat yang tidak mencair dalam suhu
ruang, tetapi meleleh ketika di dalam mulut,
sehingga memberikan mouth feeling yang lembut.
Hal ini dipengaruhi oleh kestabilan lemak kakao
dan lemak lain (CBS) bersama komponen
penyusun cokelat batangan lain yang berinteraksi
memberikan tekstur permen cokelat secara
keseluruhan. Kekerasan cokelat merupakan salah
satu faktor kunci yang menentukan mutu dan
kesempurnaan produk ketika produk berada
dalam suhu ruang selama transportasi, pemasaran
dan konsumen.
Kerusakan cokelat secara
langsung berhubungan dengan kekerasan atau
titik cair dari lemaknya (Kattenberg, 2001).
Menurut Basiron, 2005 di dalam Adimulyo, 2011,
minyak sawit memiliki kisaran titik leleh (slip
melting point) antara 31,3 37,6C dengan nilai
rata-rata 34,2C, sedangkan stearin memiliki
kisaran titik leleh antara 44,5 56,2C. Pada
penelitian ini dilakukan pembuatan produk
cokelat batangan dengan menggunakan 6 jenis
CBS yang berbeda dan penambahan bahan-bahan
pembantu lainnya.

Tabel 4.
Hasil analisis fisiko kimia cokelat batangan
Cokelat Batangan
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Protein
(N x 6,25)
Lemak (%)
Bilangan Iod
(g iod/100 g)
Indeks Bias
Titik Leleh (C)
Lemak Trans (%)

FHPK
Olein
1,36
2,25
7,05

FHPKSt

PHPK
Oil
1,04
2,37
5,94

FHPKOil

CFJ

Kom 1

Kom 2

1,33
2,36
6,30

PHPK
Olein
1,08
2,31
6,17

1,00
2,32
5,38

0,98
2,34
5,46

1,26
1,43
1,90

1,08
1,77
4,56

35,5
16,9

35,5
11,6

37,0
14,2

37,5
36,8

36,7
14,1

37,7
4,0

31,1
7,19

31,4
5,00

1,4510
34
0

1,4502
32
0

1,4510
40
0

1,4545
39
0

1,4510
39
0

1,4518
38
0

1,4498
40
0

1,4485
37
0

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 40

Titik leleh merupakan parameter terpenting


dalam menentukan mutu cokelat batangan. Hal
ini akan menentukan teknik penyimpanan serta
mempengaruhi kesukaan konsumen. Titik leleh
pada cokelat batangan sangat dipengaruhi oleh
lemak penyusunnya, karena komposisi utama
cokelat batangan adalah lemak yaitu sekitar 30%.
Menurut Trian (2014), FHPKO merupakan fully
hydrogenated hard fats yang tidak mengandung
asam lemak trans, berwujud padat pada suhu
ruang, memiliki kandungan asam lemak jenuh
(asam laurat) yang tinggi, dan nilai bilangan iod
yang sangat rendah. Akibatnya, FHPKO sangat
stabil terhadap oksidasi selama penyimpanan,
3.3.3. Komposisi asam lemak
Produk cokelat batangan yang dihasilkan,
dilakukan analisis komposisi asam lemak seperti
pada Tabel 5.
Dari hasil analisis, komposisi asam lemak
laurat, palmitat, stearat, dan oleat terlihat cukup
tinggi. Komposisi asam lemak dalam proses
pembuatan cokelat batangan sangat menentukan
titik cair lemak dan kekerasan lemak. Titik cair
lemak sangat ditentukan oleh komposisi asam
lemak dan tipe triasilgliserol (TAG) penyusunnya
(Arohime dan Garti, 1988).
Tipe Stearat-Oleat-Stearat (SOS) memiliki titik
cair berbeda dengan Palmitat-Oleat-Stearat (POS)
maupun Palmitat-Oleat-Palmitat (POP) (Dimick
and Minning, 1987). Bentuk kristal penyusun
lemak kakao juga mempengaruhi titik cair,
semakin stabil bentuk kristalnya, titik cair lemak
semakin tinggi. Terkait dengan bentuk kristal
lemak ini, maka dalam pembuatan cokelat, proses
tempering mutlak harus dilakukan dengan baik.
Struktur trigliserida (TAG) minyak sawit
sangat menentukan karakteristik fisik minyak
sawit tersebut (Basiron, 2005 di dalam Sinaga,

2011). Titik leleh TAG dan sifat kristalisasi


minyak sawit ditentukan oleh struktur dan posisi
asam lemak di dalamnya. Pada minyak sawit juga
terkandung pecahan dari TAG yang diketahui
sangat mempengaruhi kristalisasi minyak sawit.
Profil TAG produk cokelat batangan dapat dilihat
pada Tabel 6.
Dari hasil analisa komposisi trigliserida
produk cokelat batangan (Tabel 6), terlihat profil
TAG cokelat batangan komersial (CM dan CC)
menunjukkan adanya TAG LaLaLa, LaLaM,
LaMM/LaLaP, dan LMM/LaOM, begitu pula
dengan cokelat batangan yang dibuat dari FHPKSt.
Pada cokelat batangan komersial 1 (CC)
dibandingkan cokelat batangan komersial 2 (CM)
menunjukkan persentase luas area TAG
LMM/LaOM sebesar 10.5129%. Jika dilihat dari
komposisi yang tertera pada label kemasan,
cokelat batangan komersial mengandung lemak
nabati yaitu palm kernel fat (hydrogenated).
Dominasi asam laurat pada cokelat batangan 1
dan 2 menunjukkan penggunaan Cocoa Butter
Substitute (CBS) yang berasal dari minyak inti
sawit. PKO kaya akan kandungan asam laurat
mirip dengan minyak kelapa (Sambanthamurthi,
Sudram dan Tan, 2000). Sumber utama CBS
adalah palm kernel stearine (PKS) karena secara
alami sudah mempunyai sifat fungsionalitas yang
mirip dengan lemak kakao.
Sedangkan untuk cokelat yang dibuat dari
bahan CBS FHPKOil menunjukkan jumlah
komposisi TAG SOO (17,8025%), SOS (11,0423%).
CBS CJF menunjukkan jumlah TAG PPP
(17,6539%) dan LaLaLa, LaLaM, CBS FHPKOil (SP)
LMM, LaMM, dan LaLaLa, CBS FT terdapat semua
asam lemak kecuali POS, SOS, dan PHPKOil (CK)
menunjukkan dominasi komposisi asam oleat
(39,1197%) dan POS (10,7705%).

Tabel 5.
Komposisi asam lemak cokelat batangan
Parameter
Satuan

Asam Lemak Jenuh


Kaprilat (C8)
Kaprat (C10)
Laurat (C12)
Miristat (C14)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Asam Lemak Tidak Jenuh
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)

Cokelat Batangan
FHPK
Olein

FHPKSt

PHPK
Olein

PHPK
O

FHPK
O

CFJ

%
%
%
%
%
%

0,75
1,06
11,0
3,23
6,11
9,63

0,57
0,98
14,8
5,19
5,09
6,30

0,68
1,12
13,3
3,69
5,43
8,46

0,47
0,79
8,52
2,66
12,2
6,53

0,69
1,13
15,8
4,27
5,18
6,89

0,97
1,18
12,9
4,55
6,73
5,21

0,52
0,96
13,9
4,43
3,87
6,19

0,32
0,87
15,6
5,54
3,96
3,75

%
%
%

3,48
0,21
0

2,30
0,18
0

3,37
0,36
0,63

5,83
0,42
0,04

2,05
0,65
0,09

5,45
0,61
0,05

0,89
0,24
0,07

1,09
0,24
0

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Kom
1

Kom2

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 41
Tabel 6.
Hasil analisis komposisi trigliserida (TAG) cokelat batangan
Jenis TAG
ECN
Komposisi TAG (% Luas Area)
CC
CM
FHPKSt
FHPKOlein CFJ
FHPKOil PHPK
(Kom1)
(Kom2)
Olein
CpLaLa
32.0
5.2563
3.0170
3.7910
4.5859
4.8140
5.9395
11.5699
CaLaLa
34.0
7.8819
6.0659
6.1571
6.0939
8.2855
8.9632
15.264
LaLaLa
36.0
24.1102 26.2834 21.0030 13.0609
15.9506 20.8414 35.097
LaLaM
38.0
20.6693 24.9531 18.4359 9.0242
12.2768 16.5123 26.8404
LaMM/LaLaP 40.0
12.4099 15.4211 11.2971 5.2195
8.9689
11.5662 18.1917
LMM/LaOM
41.3/41.4 10.5129 8.3518
10.5438 17.6357
LMO/LaOP
42.7/43.4 12.744
MMM/LaPM
42.0
9.6464
8.4839
6.1569
4.6323
6.9360
MPL/MMO
44.0
7.4387
LaPP/MMP
44.0
5.5939
5.3517
4.9492
10.2205
SOO
46.0
17.8025
3.2424
5.0375
10.6247
OOO
48.0
5.4587
3.5527
3.6628
4.1970
5.5006
10.6238
PPP
48.0
2.9428
3.7488
5.2342
17.6539 7.7664
17.932
POP
48.0
6.2624
4.0203
9.8002
3.2288
5.8900
13.2653
POS
50.0
2.5239
8.6562
2.8339
7.0947
SOS
52.0
5.4023
11.0423
TAG Lainnya
Keterangan :
ECN : Equivalent Carbon Number
S : Stearat (C18:0)
M : Miristat (C14:0)
Cp : Kaprilat (C18:0)
O : Oleat (C18:1)
P : Palmitat (C16:0)
La : Laurat (C12:0)
Ca : Kaprat (C10:0)
L : Linoleat (C18:2)

3.3.4. Analisis ukuran partikel


Pengujian ukuran partikel produk cokelat
batangan dilakukan di Nano Tech Serpong
menggunakan Particle Size Analyzer Model
DelsaTM Nano dengan hasil seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
3.3.5. Solid Fat Content (SFC)
Pengujian SFC pada minyak atau lemak
dilakukan untuk mengetahui jumlah padatan
lemak pada produk cokelat batangan hasil
Tabel 7.
Hasil pengujian ukuran partikel produk cokelat batangan
No
Sampel
Run
1
Kom 1 (CC)
1
2
3
3
Kom 2 (CM)
1
2
3
2
PHPKO
1
2
3
4
Coating Fat Jember (CFJ)
1
2
3
5
PHPKOlein
1
2
3
6
FHPKOlein
1
2
3
7
FHPKO
1
2
3
8
FHPKSt
1
2
3

PHPKOil
2.3017
3.7202
7.3491
5.4185
4.0287
3.8539
2.7334
4.4495
3.0676
2.1006
39.1197
2.4684
10.7795
6.0386
2.5710

penelitian di berbagai tingkat suhu observasi.


Perbandingan dilakukan pada penggunaan suhu
yang sama. Kandungan padatan lemak atau solid
fat content (SFC) merupakan proporsi padatan
lemak yang terkandung di dalam suatu minyak
pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss
(1983) di dalam Adimulyo (2011), lemak padat
terdiri dari campuran berbagai komponen
padatan lemak yang membentuk matriks kristal.
Hal ini yang menahan porsi minyak cair di
dalamnya seperti sponge yang menahan air.

Polydispersity Index
0.581
0.552
0.509
0.433
0.344
0.086
0.387
0.404
0.380
0.435
0.418
0.324
0.345
0.338
0.372
0.388
0.421
0.376
0.385
0.308
0.264
0.467
0.387
0.422

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Size (nm)
1.122964.2
895.3255.7
744.8219.8
193.856.5
223.764.3
402.899.2
140.537.4
122.332.2
202.456.5
216.258.6
224.261.4
380.9107.0
129.934.6
175.049.3
110.6116.2
169.546.3
171.545.6
412.9120.1
150.740.7
226.965.0
143.3164.4
139.136.4
169.346.9
118.431.1

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 42

Alat yang digunakan dalam pengujian SFC


adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dapat
dilihat pada
Tabel 8
Hasil analisis SFC produk cokelat batangan*)
Parameter
Satuan
Hasil Uji
Kom 1
Kom 2
FHPKSt
(CC)
(CM)
%
92,88
86,26
95,71
SFC 10C
%
81,30
75,50
90,81
SFC 20C
%
22,28
10,32
21,12
SFC 30C
%
4,45
0,04
0,12
SFC 40C
Keterangan :
*) Metode uji menggunakan Nucleic Magnetic Resonance (NMS)
Non StabFats (AOCS-Cd 16b-93)
CC = Cokelat komersial 1
CM = Cokelat komersial 2
FHPKSt = Cokelat hasil penelitian

Solid Fat Content (SFC) merupakan salah satu


parameter khas yang sangat diperlukan dalam
bisnis lemak kakao. Industri coklat membutuhkan
parameter ini sebagai indikasi sifat pencairan
lemak kakao dalam proses pengolahan lemak dan
penggunaannya di industri makanan. Secara umum
diharapkan pencairan akan terjadi pada suhu
tubuh, yaitu pada kisaran 30-35oC, sehingga pada
kisaran ini lemak kakao seharusnya mencair
dengan cepat.
3.3.6. Uji organoleptik
Pengujian
organoleptik
dilakukan
di
Laboratorium Pengujian, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Pengolahan
Produk
dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
(Tabel 9).
Tabel 9
Hasil uji penerimaan produk cokelat batangan

Kode
Sampel
FHPKSt
CFJ
PHPKO
PHPK
Olein
FHPKO
FHPK
Olein
CM(Kom 1)
CC(Kom2)

Wa
rna
4.30
4.20
4.15
4.10

Parameter
Aro Ras
ma
a
3.95 4.00
3.60 3.60
3.55 3.48
3.65 3.28

Tek
stur
4.08
3.40
3.45
3.75

Total
Ratarata

4.30
3.50

2.90
3.60

3.05
3.08

3.75
3.50

3,50
3,42

3.98
4.30

3.55
2.90

3.73
3.05

3.53
3.75

3,69
3,50

4,08
3,70
3,66
3,69

Parameter sifat umum dan organoleptik yang


penting dalam cokelat batangan adalah rasa/flavor,
penampakan dan tekstur, sedangkan parameter
spesifik yaitu adanya bercak putih (spot) dan kesan
meleleh di tangan.
Parameter rasa/flavor
diantaranya
adalah
parameter
kepahitan
(bitterness), kemanisan (sweetness), dan rasa susu

(milk flavor). Keseimbangan rasa, kesan meleleh di


mulut dan kesan kehalusan produk cokelat menjadi
parameter penting (Zamrudi, 2008). Dari hasil uji
organoleptik (Tabel 9), produk cokelat yang disukai
oleh panelis dengan skor tertinggi adalah FHPKSt
dari segi warna, aroma, rasa dan tekstur. FHPKSt
merupakan produk cokelat batangan dengan
menggunakan bahan CBS yang dihidrogenasi
sempurna (Fully Hydrogenated Palm Kernel
Stearin).
3.3.7. Masa simpan
Penentuan umur simpan dilakukan pengukuran
terhadap produk cokelat batangan di Balai Pasca
Panen Cimanggu Bogor dapat dilihat pada Tabel 10
di bawah ini :
Tabel 10
Pengukuran masa simpan produk cokelat batangan

Nama
Sampel
Cokelat
Batangan

Jenis
Analisis
Umur
simpan
(pada
suhu
25C)

Metode

Hasil

Satuan

Akselerasi

35

Minggu

Penentuan umur simpan produk cokelat batangan


dilakukan dengan Metode Akseleras menggunakan
parameter kondisi lingkungan yang dapat
mempercepat penurunan mutu.
Dari hasil
pengukuran masa simpan menunjukkan umur
simpan produk cokelat batangan terpilih dari
penelitian ini adalah selama 35 minggu pada suhu
penyimpanan 25C. Berdasarkan literatur, cokelat
yang tergolong filled chocolate (seperti milk
chocolate, sweetened dairy chocolate, nut and
almond chocolate dan fondant filled chocolate)
disimpan pada shu maksimum 10-18oC, RH 6070%, dan memiliki masa simpan selama 3-5 bulan.
3.3.8. Asam lemak bebas
Asam lemak bebas merupakan asam lemak
dalam keadaan bebas dan tidak berikatan lagi
dengan gliserol. Asam lemak bebas terbentuk
karena terjadinya reaksi hidrolisisi terhadap
minyak yang akan menyebabkan ketengikan.
Keberadaan asam lemak bebas menjadi indikator
kualitas minyak, semakin tinggi kadar asam lemak
bebas maka mutu minyak akan semakin rendah
(Aji, 2010). Hasil analisis kadar asam lemak bebas
dalam persentase asam oleat selama penyimpanan
6 minggu (akselerasi) pada produk cokelat
batangan terpilih dapat dilihat pada Tabel 11.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44


Halaman | 43
Tabel 11
Kadar asam lemak bebas (FFA) selama penyimpanan (% asam
oleat)

Minggu
0
1
2
3
4
5
6

5 C
0,08
0,09
0,13
0,13
0.12
0.24
0,35

Suhu
18 C
0,08
0,11
0,14
0.18
0.27
0.18
0,37

28 C
0,08
0,13
0,22
0.13
0.30
0.35
0,22

Dari data diatas, terlihat adanya peningkatan kadar


asam lemak bebas (FFA) selama penyimpanan pada
suhu 5C, 18C dan 28C.
4. Kesimpulan
Analisis asam lemak menunjukkan kandungan
CBS yang digunakan dalam pembuatan cokelat
batangan adalah jenis CBS lauric yang berasal dari
inti sawit, kecuali jenis PHPKOlein yang didominasi
oleh asam oleat.
Analisis fisiko kimia cokelat batangan
menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar
abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak 31,137,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100 g, indeks
bias 1,4485-1,4545, dan tidak ditemukan adanya
lemak trans pada semua cokelat batangan.
Titik leleh cokelat batangan berkisar 32C
sampai dengan 40C, tergantung dari jenis CBS
yang digunakan.
Titik leleh produk cokelat
batangan terpilih jenis FHPKSt sebesar 32C,
dengan kandungan lemak padat berbentuk curam
mulai meleleh mendekati sempurna pd suhu 40C.
Produk cokelat komersial menunjukkan titik leleh
tinggi, 37C dan 40C.
Uji penerimaan produk cokelat batangan dengan
bahan CBS yang terpilih oleh panelis adalah jenis
Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt)
dari parameter rasa, aroma, warna, dan tekstur,
dengan persentase CBS sebesar 30 persen.
Berdasarkan asal proses hidrogenasi, jenis CBS
yang cocok untuk dibuat menjadi cokelat batangan
adalah CBS jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel
Stearin (FHPKSt) dengan melalui proses
hidrogenasi sempurna.
Profil trigliserida cokelat batangan terpilih
(jenis FHPKSt) dan cokelat komersial menunjukkan
adanya dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP
dan LMM/LaOM yang berasal dari minyak inti
sawit.
Masa simpan produk cokelat batangan adalah
selama 35 minggu dengan penyimpanan pada suhu
25C dengan parameter kritis adalah kadar air.

Ucapan terima kasih


Ucapan terima kasih disampaikan Bapak
Sumadyo Rahardjo yang telah membantu dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Penelitian ini
dibiayai oleh DIPA Balai Besar Industri Agro
melalui kegiatan DIPA Tahun 2013.
Daftar Pustaka
Adimulyo, P. 2011. Kajian Pencampuran Minyak dan Lemak
(Minyak Kelapa Sawit, Stearin, dan Minyak Kelapa) Terhadap
Karakteristik Minyak Campurannya di PT. Sinar Meadow
International Indonesia.
Aji, S. 2010. Pengaruh Jam Kedatangan Buah Terhadap Kinerja
PKS Karang Dapo. Jurnal Penelitian STIPAP 1 (2): hal. 11.
Aronhime, J. C & N. Garti (1988). Solidification and Polimorphism
in Cocoa Butter and the Blooming Problem Crystalization and
Polimorphism of Fat And Fatty Acids. Marcel Dekker, Inc. New
York. 31, 363393.
Asmawit. 2012. Penelitian Substitusi Lemak Kakao dengan
Lemak Kelapa Sawit dalam Pembuatan Coklat Batang.
Biopropal Industri Vol. 3 No. 1 Juni 2012. Pontianak.
Basiron, Y. 2005. Palm Oil. In Shahidi F (ed). Baileys Industrial
Oil and Fat Product. Ed. Ke-6, Vol. ke-5. Hoboken : John
Willey & Sons Inc. hlm 333-429.
Bigalli, GL. 1988. Practical aspects of the entectic effect on
confectionery taste and their mixtures. The Manufacture
and Confectionery. 68:65-80.
Dimmick, PS and Minning, DM.
1987.
Thermal and
compositional properties of cocoa butter during static
crystallization. J. of American Oil Chemists Society. 64:16631669.
Hasibuan, H. A., dan Siahaan, D. 2012. Optimasi Hidrogeasi
Minyak Inti Sawit Skala 100 Kg/Batch dan Rafinasi Cocoa
Butter Substitute yang Dihasilkan.
Prosiding Insinas.
Disajikan 29-30 Nopember 2012.
Kattenberg, H.R. (2001). Performance of cocoa butter in
chocolate. The Manufacture and Confectionery, 2, 4953.
Lawson, H. 1995. Food Oils and Fats : Technology, Utilization,
and Nutrition. Champman and Hall, New York.
Leong, L.W and Lye, OT. 1992. New mon lauric cocoa butter
substitute from palm oleins. Journal of Institute of Malaysia.
Elaeis 4:65-67.
Lestari, N. 2013. Alih Teknologi Pengolahan Minyak Inti Sawit
(PKO) Menjadi Cocoa Butter Substitute (CBS) dan Produk
Olahan Kakao Skala IKM di PT. Tama Cokelat Indonesia
Dalam Mendukung Diversifikasi Produk Hilir Kelapa Sawit.
Laporan Penelitian Insentif Riset SINas 2013. Konsorsium
BBIA dengan PPKS dan PT. Tama Cokelat Indonesia.
Misnawi dan Wahyudi, T. 2008. Pengaruh Konsentrasi Stearin
dan Lesitin Terhadap Sifat Fisik Permen Cokelat. Pelita
Perkebunan, 2008, 24 (1), 49-61
Nirmala, D. 2011. Rencana Bisnis Industri Cokelat Batangan di
Indonesia. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Purwo, S. 2013. Tips Memilih Chocolate Coating untuk Produk
Snack. Foodreview Indonesia. Vol. VIII No. 10 Oktober
2013.
Purwo, S. 2013. Teknik Pembuatan Cokelat. Food Review
Indonesia. Vol. VIII, No. 7, Juli 2013, pp. 52-54.
Permatasari, D. 2012. Peningkatan Mutu Cokelat Terhadap
Aplikasi Kombinasi Cocoa Butter Substitute dan Soy Powder.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pangan Universitas Pasundan,
Bandung.
Silalahi. 1999. Modification of Fats and Oils. Media Farmasi. 7
(1):1-16.
SNI 3748:2009. Lemak Kakao. Badan Standardisasi Nasional
(BSN). Jakarta.
Soekopitojo. 2011. Analisis Komponen Triasilgliserol Minyak dan
Lemak Menggunakan HPLC. Food Review Indonesia.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan
Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44

Halaman | 44
Sundari, Y. 2011. Analisis Asam Lemak Trans Pada Produk Cocoa
Butter Substitute dari Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit.
Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Tanuhadi, L. 2012. Chocology. Grasindo, Kompas Gramedia,
Jakarta
Weyland, M. 1999. Confectionery oils and fats-profiling fat
functionality. The Manufacture and Confectionery. 10:53-60.
Zamrudi, J. 2008. Identifikasi Langkah Perbaikan Produk Permen
Cokelat Jimbarwana di Koperasi Wanita Srikandi
Jimbarwana, Jembrana, Bali.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Halaman | xi

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
PEDOMAN PENULISAN WARTA IHP
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

8.

9.
10.

Makalah merupakan pemikiran sendiri, belum pernah dipublikasikan, mengandung unsur kekinian dan
bersifat ilmiah.
Judul makalah harus spesifik, jelas, singkat, informatif dan menggambarkan substansi dari tulisan; judul
ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan Inggris); judul diketik dengan huruf besar pada awal
kata; judul bahasa lainnya di-italic.
Nama penulis ditampilkan dengan jelas; lengkap tanpa menyebutkan gelar; nama asli; penulisan nama
sebaiknya tidak disingkat, bila dilakukan penyingkatan nama harus mengikuti kaidah dan konsisten;
nama penulis utama berada pada urutan paling depan.
Identitas penulis berisi nama instansi/lembaga tempat penulis bekerja dan alamat; alamat e-mail khusus
untuk penulis utama.
Abstrak ditulis dalam dua bahasa; tidak boleh lebih dari 200 kata. Abstrak harus mencakup tujuan
penelitian, bahan dan metode singkat, hasil dan kesimpulan. Hasil dapat didukung dengan data
kuantitatif. Pada akhir abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/info baru hasil litbang
(Font Cambria, 10 pt dan spasi 1).
Kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), ditempatkan di bawah
abstrak, dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk yang terdiri dari 3 sampai dengan 5 kata (Font
Cambria, 8 pt, italic dan spasi 1).
Isi makalah penelitian terdiri dari:
o Pendahuluan (latar belakang, state of the art, dan tujuan penelitian)
o Bahan dan metode
o Hasil dan pembahasan (ilustrasi : gambar, tabel, grafik, foto, diagram dll)
o Kesimpulan
o Ucapan Terima Kasih (opsional)
o Daftar Pustaka (paling sedikit 12 referensi).
Isi makalah ulasan/ review terdiri dari:
o Pendahuluan (latar belakang, tujuan penelitian)
o Pembahasan (dapat terdiri dari beberapa bab sesuai kebutuhan)
o Kesimpulan
o Daftar Pustaka (paling sedikit 25 referensi)
Makalah ditulis 1 spasi pada kertas A4 dengan batas atas dan batas bawah 2,5 cm tepi kiri 3 cm dan tepi
kanan masing-masing 1,5 cm, huruf Cambria Font 10, dengan jumlah halaman makalah maksimal 10
halaman.
Tabel diberi nomer berurutan, judul tabel ditempatkan di atas tabel (rata kiri), ditulis dengan huruf kecil
kecuali huruf pertama pada kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8
pt dan spasi 1); Tabel dibuat hanya dengan garis horisontal dan diletakkan rata kiri. Pencantuman
sumber dan keterangan diletakkan di bawah tabel rata kiri (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1).
Contoh:
Tabel 2.
Perlakuan penyimpanan starter
Kode Perlakuan pada Penyimpanan
No.
Suhu ruang
Suhu pendingin
1.
RBa1
RBa2
2.
RBb1
RBb2
3.
RBc1
RBc2
4.
RBd1
RBd2

11. Gambar, grafik, foto atau diagram diletakkan ditengah (center) dan diberi nomer berurutan. Judul
gambar ditempatkan di bawah gambar (center), ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama pada
kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1). Keterangan
gambar, grafik, foto atau diagram menyatu dengan judul gambar.
12. Cara dan contoh penulisan kutipan dan daftar pustaka disesuaikan dengan American Psycological
Association (APA) style:

Halaman | xii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Contoh :
a. Terbitan buku (satu penulis):
Daftar referensi
Mandelbaum, M. (2002). The ideas that conquered the world: Peace, democracy, and free markets in the twentyfirst century. New York: Public Affairs.
Kutipan : ( Mandelbaum, 2002)

b.

Terbitan buku (beberapa penulis):


Daftar referensi
Reiter, D., & Stam, A. C. (2002). Democracies at war. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
Kutipan
Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 )
Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis
penulis pertama dan ditambahkan et al.

c.

Terbitan buku (beberapa edisi)


Strunk,W., Jr., & White, E. B. (2000). The elements of style (4th ed.). New York: Longman.
Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
Kutipan
Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 )
Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis
penulis pertama dan ditambahkan et al.

d.

Buku online
Daftar referensi
Reed, J. (1922). Ten days that shook the world. Project Gutenberg. Etext 3076. Retrieved January 12, 2004, from
ftp://ibiblio.org/pub/docs/books/gutenberg/etext02/10daz10.txt
APA tidak mencantumkan tahun setelah URL, ini membuat APA berbeda dengan model referensi lainnya.
Kutipan : (Reed, 1922)

e.

Jurnal (satu penulis) :


Daftar referensi
Lipson, C. (1991). Why are some international agreements informal? International organization, 45, 495538.
No. volume pada jurnal diketik italic tetapi no. Penerbitan dan halaman halaman tidak.
Kata "Volume" (atau "vol.") dihilangkan. Tidak perlu untuk nama penerbitan tertentu jika halaman jurnal
diberi nomor berkelanjutan sepanjang tahun. Namun, jika setiap penerbitan dimulai dengan halaman 1,
nomor atau bulan penerbitan diperlukan: 45 (2), 15-30.
Kutipan : (Lipson, 1991)

f.

Jurnal (beberapa penulis)


Daftar referensi
Koremenos, B., Lipson, C., & Snidal, D. (2001). Therational design of international institutions.International
Organization, 55, 761799.
Hansen, S. S., Munk-Jorgensen, P., Guldbaek, B., Solgard, T., Lauszus, K. S., Albrechtsen, N., et al. (2000).
Psychoactive substance use diagnoses among psychiatric in-patients. Acta Psychiatrica
Scandinavica, 102, 432438.
Jika penulis lebih dari enam maka ditambahkan et al.
Kutipan
(Koremenos, Lipson, & Snidal, 2001)
(Koremenos et al., 2001)

Halaman | xiii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
g.

Surat kabar/ artikel majalah (tidak mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
The United States and the Americas: One history in two halves. (2003, December 13). Economist, 36.
Strong aftershocks continue in California. (2003,December 26). New York Times [national ed.], p. A23.

No. Surat kabar : p atau pp

Kutipan
(United States and the Americas, 2003)
(Strong aftershocks, 2003)

h.

Surat kabar/ artikel majalah (mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
Bruni, F. (2003, December 26). Pope pleads for end to terrorism and war. New York Times [national ed.], p.
A21.
Kutipan
(Bruni, 2003) or, if necessary, (Bruni, 2003, December 26)

i.

Surat kabar/ artikel majalah online


Daftar referensi
Vick, K. (2003, December 27). Quake in Iran kills at least 5,000: Temblor devastates ancient city; officials
appeal for assistance. Washington Post [online], p. A01. Retrieved January 2, 2004, from
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A31539-2003Dec26.html
Jehl, D. (2004, January 1). U.S. hunts terror clues in case of 2 brothers. New York Times [online], p. A10.
Retrieved February 6, 2004, from ProQuest Newspapers database.
Kutipan
(Vick, 2003) or (Vick, 2003, December 27)
(Jehl, 2004) or (Jehl, 2004, January 1)

j.

Naskah yang tidak diterbitkan (poster, tesis, disertasi)


Daftar referensi
Tsygankov, A. (2004, February). Russias identity and foreign policy choices. Paper presented
at the Program on International Politics, Economics, and Security, University of Chicago.
Hanya diperlukan bulan dan tahun untuk paper.
Cheng, D. T., Smith, C. N., Thomas, T. L., Richards, J. A., Knight, D. C., Rao, S. M., et al. (2003, June). Differential
reinforcement of stimulus dimensions during human Pavlovian fear conditioning. Poster session presented at the
9th Annual Meeting of the Organization for Human Brain Mapping, New York, NY.
Reid, P. (1998). Beginning therapists and difficult clients: An exploratory study. Unpublished masters thesis,
University of Massachusetts, Amherst.
Gomez, C. (2003). Identifying early indicators for autism in self-regulatory difficulties. Unpublished doctoral
dissertation. Auburn University, AL.
Kutipan
(Tsygankov, 2004)
(Cheng et al., 2003)
(Reid, 1998)
(Gomez, 2003)

k.

Abstrak
Daftar referensi
Kremer, M., & Zwane, A. P. (2005). Encouraging private sector research for tropical agriculture
[Abstract]. World Development, 33, 87.
Abstrak diambil dari sumber asli/ utama, menggunakan format yang sama seperti mensitasi abstrak dari
seminar prosiding yang diterbitkan.
Albin, C. (2003). Negotiating international cooperation: Global public goods and fairness. Review of
International Studies, 29, 36585. Abstract obtained from Peace Research Abstracts Journal, 42, 2005, 6,
Abstract No. 236625.

Halaman | xiv

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Abstrak diambil dari sumber kedua.
Kutipan
(Kremer & Zwane, 2005)
(Albin, 2003/2005)
Jika abstrak yang berasal dari sumber kedua diterbitkan dalam tahun yang berbeda dari sumber utama
maka sitasi dengan memisahkan antara dua tahun tersebut dengan garis miring.

l.

Website
Daftar referensi
Digital History Web site. (2004). S. Mintz (Ed.). Retrieved January 10, 2004, from http://www
.digitalhistory.uh.edu/index.cfm?
Internet Public Library (IPL) (2003, November 17). Retrieved January 5, 2004, from http://www.ipl.org/
Yale University, History Department home page. (2003). Retrieved January 6, 2004, from
http://www.yale.edu/history/

Jika website/ halaman web tidak menampilkan tanggal ketika ditulis/ diperbarui, maka cukup
menampilkan tahun.

Kutipan
(Digital History, 2004)
(Internet Public Library, 2003) or (IPL, 2003)
(Yale History Department home page, 2003)

m. Halaman Website (mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
Lipson, C. (2004). Advice on getting a great recommendation. Retrieved February 1, 2004, from
http://www.charleslipson.com/courses/ Getting-a-good-recommendation.htm
Kutipan
(Lipson, 2004)

n.

Halaman Website (tidak mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
I Love Lucy: Series summary. (2004).
http://www.sitcomsonline.com/ilovelucy.html

Sitcoms

Online.

Retrieved

May

4,

2005,

from

Kutipan
(I Love Lucy: Series summary, 2004)

a.

Jika sitasi mempunyai satu atau dua penulis maka nama belakang penulis dicantumkan
semua (tanpa inisial); apabila penulis 3 orang maka yang dicantumkan nama penulis
pertama (tanpa inisial) ditambah kata et al.
b. Apabila kalimat langsung mengacu kepada nama penulis maka yang dalam tanda kurung
adalah tahun publikasi; apabila kalimat tidak langsung mengacu kepada nama penulis maka
yang didalam tanda kurung adalah nama penulis (tanpa inisial) dan tahun publikasi.
13. Catatan kaki (footnotes) adalah suatu informasi yang merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu yang
dinyatakan dalam teks. Penjelasan itu diluar konteks dari teks tersebut. Biasanya catatan kaki itu diberi
nomor berturut menurut teks. Tempat catatan kaki itu dibagian bawah halaman yang bersangkutan
dengan apa yang dijelaskan. Catatan kaki berisi:
1. Keterangan khusus atau tambahan penting, tetapi tidak dimasukkan dalam teks karena uraiannya
akan menyimpang dari garis besar karya ilmiah atau karena uraiannya akan bersifat berlarut-larut
dan di luar konteks.
2. Komentar khusus mengenai bagian yang bersangkutan dalam teks.
3. Kutipan yang akan mengganggu kelancaran penyajian uraian bila dimuat dalam teks.
4. Penunjuk sumber yang diberi komentar tambahan
14. Didukung minimal 13 (tiga belas) daftar pustaka, 80% mengacu pustaka 10 (sepuluh) tahun terakhir, dan
80% berasal dari sumber acuan primer.
15. Lampiran hanya digunakan sebagai data pendukung dalam penilaian dan tidak dicetak dalam Warta IHP.

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx

2,5 cm

Halaman | xx

Judul Artikel (Cambria, 17 pt, spasi 1)


Judul artikel translasi (Cambria, 13 pt, italic, spasi 1)

1,5 cm

Penulis Utamaa, Penulis ke-2b and Penulis-ke-na (Cambria, 13 pt)


a Institusi

penulis (Cambria, 8 pt)


alamat (Cambria, 8 pt)

b Institusi

selain penulis utama (Cambria, 8 pt)


alamat (Cambria, 8 pt)

e-mail penulis utama (Cambria, 8 pt)

Riwayat Naskah:
Diterimaxx,xxx
Direvisi xx,xxx
Disetujui xx,xxx

ABSTRAK: Abstrak harus dimulai dengan latar belakang singkat, tujuan penelitian,
bahan dan metode singkat dan hasil. Hasil dapat didukung dengan data kuantitatif.
Pada akhir abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/ info baru hasil
litbang. Abstrak ini ditulis dalam bahasa sesuai isi artikel (Font Cambria, 10 pt dan
spasi 1).
Kata kunci: kata kunci 1, kata kunci 2, kata kunci 5 (Cambria, 8 pt)

ABSTRACT: Abstract should be started with the short background of the study,
short material and method, and result. The result may be supported by
quantitative data. At the end of the abstract should show the final conclusion of
the research/ new information about result. This abstract is written accordance to
language of article content (Font Cambria, 10 pt and single space).
Keywords: key word1, keyword 2, keyword 5 (Cambria, 8 pt)

1. Pendahuluan

2. Bahan dan Metode

Pendahuluan harus menunjukkan sitasi pustaka


yang mendukung penelitian. Untuk mensitasi
pustaka harus mengikuti petunjuk penulisan
(Hirsch et al. 2005; Meng & Bentley 2008; Bardi
2009). Format penulisan sitasi dan daftar pustaka
mengikuti aturan APA (American Psychological
Association).
Pendahuluan berbentuk dua kolom dengan
huruf Cambria, 10pt dan spasi satu.

2.1. Bahan
Tuliskan semua bahan yang digunakan dalam
penelitian.
2.2. Alat
Tuliskan semua alat yang digunakan pada
penelitian ini beserta spesifikasinya.
2.3. Metode
0.85
cm 2.3.1. Bagaimana menulis persamaan
contoh persamaan adalah sebagai berikut:
k
k v
f(v)= ( )(k-1) e(-v)/c)
c c

(k > 0, v > 0, c > 1)

(1)
Gambar 1. A typical power- wind speed curve (kurva kecepatan
angin-Jenis kekuatan)

Pada akhir pendahuluan harus menunjukkan


tujuan naskah.

Keterangan:
k = parameter bentuk,
Faktor bentuk k berhubungan dengan perubahan
kecepatan angin; oleh karena itu berlokasi ditempat
tertentu.
c = parameter skala

2,5 cm
WIHP ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved

3 cm

Citation: Author1, Author2., & Author 3 (xxx) Title of your manuscript. Warta IHP, x(x),xx-xx

Halaman | xx

n
f i vi
and
v i 1N

fi
i 1

f v
N

i 1

f
i 1

(2)

Keterangan:
(v)
= mean wind velocity,
v
= actual wind speed in m/s,
N
= number of different values of wind
speeds
observed,
fi
= the numbers of observations of a specific
wind speed vi and
n
= 1 for arithmetic mean,
n
= 2 for root mean square,
n
= 3 for cubic mean cube root.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Cara mendeskripsikan
Cara
mendeskripsikan
dengan
cara
menggabungkan antara hasil dan pembahasan
sekaligus.
3.2. Cara penulisan tabel
Tabel harus ditulis secara ilmiah seperti
ditunjukkan oleh Tabel 1, Tabel 2. Garis hanya
untuk heading dan garis tertutup. Tidak
diperbolehkan garis vertikal.
Cara penulisan tabel dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu: (1) untuk tabel berukuran kecil
dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada
Tabel 1.; (2) untuk tabel berukuran besar dapat
dibuat dalam format satu kolom, dengan ketentuan.

peletakan tabel pada bagian bawah atau atas dari


halaman tersebut
Tabel 1
Monthly means and standard deviations of wind speed data
Cubic
Standar
Arithmetic
Month
d
Mean v 3
Mean v (m/s)
Deviatio
(m/s)
n
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December

5.1427
5.2659
4.7767
6.2008
9.4697
9.6657
10.5473
9.4452
7.1930
4.5461
6.8517
5.8205

Tabel 2
Weibull Parameters for The Test Site
Month
k
January
3.1085
February
2.4533
March
2.2102
April
2.1894
May
2.7570
June
3.6749
July
3.2969
August
3.3358
September
2.7045
October
2.2725
November
3.6044
December
2.9325

5.7955
6.3556
6.0523
7.8349
10.9003
10.4821
11.7628
10.4108
8.2827
5.6524
7.5004
6.6385

2.0396
2.7814
2.9158
3.8077
4.2843
3.1620
3.9213
3.4333
3.3136
2.6543
2.3033
2.4651

c
6.4796
7.1633
6.8338
8.8468
12.2484
11.6195
13.1139
11.5997
9.3133
6.3811
8.3230
7.4414

3.3. Cara penulisan gambar


Cara penulisan gambar dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu: (1) untuk gambar berukuran kecil
dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada
Gambar 1.; (2) untuk gambar berukuran besar
dapat dibuat dalam format satu kolom, dengan
ketentuan peletakan gambar pada bagian bawah
atau atas dari halaman tersebut, seperti pada
Gambar 2 dan Gambar . Gambar harus dijelaskan
pada
kalimat/
pernyataan.

Gambar 2. Keandalan dibandingkan dengan kecepatan angin

WIHP ISSN: 0215-1243, xxxx, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx


Halaman | xx

Gambar 3. Keandalan dibandingkan dengan kekuatan per unit menyapu wilayah/ daerah

4. Kesimpulan
Mohon menyampaikan kesimpulan penemuan
disini
Ucapan terima kasih
Mohon memberikan ucapan terima kasih disini
Daftar Pustaka
A Survey of Canadian Utilities. (1995) Isolated Systems
Generating Planning Practices.
Abed, K.A. & El-Mallah, A.A. (1997) Capacity Factor of Wind
Turbines. Energy, 22, 487-91.
Albadi, M.H. & EI- Saadany, E.F. (2010) Optimum Turbine- Site
Matching. Energy, 35, 3593-3602.
Bardi, U. (2009) Peak Oil: The Four Stages of A New Idea. Energy,
34, 323-6.
Billinton, R. & Allan, R.N. (1996) Reliability Evaluation of Power
Systems. Plenum Press, 2nd ed. New York.
Charles, E.E. (2000) An Introduction to reliability and
maintainability engineering, 1st edition , New Delhi; Tata
McGraw Hill Publishing company Ltd.
Dong Li, D. & Niu, L.Q. (2008) Reliability Analysis of Electric
Distribution System Integrated with Wind Power, IEEE
International Conference on Industrial Electronics and
Applications ICIEA, Singapore pp 729- 733.
Hirsch, R.L., Bezdec, R. & Wendling, R. (2005) Peaking of World
Oil Production: Impacts, Mitigation and Risk Management.
DOE
Report.
Available
from,

http://www.netl.doe.gov/publications/others/pdf/Oil_Peak
ing_NETL.pdf.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (1999) Site Matching of Wind
Turbine Generators: A Case Study. IEEE Transactions on
Energy Conversion, 14(4), 1537-1543.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001a) Optimum Siting of Wind
Turbine Generators. IEEE Transactions on Energy
Conversion, 16(1), 8-13.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001b) Normalized Power Curves
as A Tool for Identification of Optimum Wind Turbine
Generator Parameters. IEEE Transactions on Energy
Conversion, 16(3), 283-288.
Johnson & Gary, L. (1985) Wind Energy Systems, Prentice Hall
Inc., Englewood Cliffs, NJ 07632.
Justus, C.G. (1978) Winds and System Performance, Franklin
Institute Press, Philadelphia.
Karki, R. & Billinton, R. (2004) Cost- Effective Wind Energy
Utilization for Reliable Power Supply. IEEE Transactions on
Energy Conversion, 19(2), 435-440.
Karki. R. & Po, Hu. (2005) Wind Power Simulation Model for
Reliability Evaluation, In Proc.IEEE Can. Con. Electr. Comput.
Eng. Saskatoon, 541-544.
Manwell, J.F., McGowan, J.G. & Rogers, A.L. (2002) Wind Energy
Explained Theory, Design and Application. West Sussex:
John Wiley & Sons Ltd.
Meng, Q.Y. & Bentley, R.W. (2008) Global Oil Peaking:
Responding to The Case for Abundant Supplies of Oil.
Energy, 33, 1179-84.
Salameh, Z.M. & Safari, I. (1992) Optimum Windmill-Site
Matching. IEEE Transaction on Energy Conversion, 7, 669-76.
Srinath, L.S. (2005) Reliability Engineering, 3rd edition, New
Delhi. Affiliated East- West Press.
Suchitra, G. & Jangamshetti, S.H. (2008) Reliability Evaluation of
Wind Power in North Karnataka, India- A Case Study. IEEE
International Conference on Sustainable Energy Technologies
ICSET Singapore, 24-27, 478-482.

WIHP ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved

Halaman | xviii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 44

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

UCAPAN TERIMA KASIH


Redaksi Warta IHP mengucapkan terima kasih kepada para Redaktur dan Mitra Bestari
dalam menelaah naskah yang diterbitkan di Jurnal ilmah ini, sehingga jurnal ini dapat
terbit tepat pada waktunya. Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam terbitan volume
32 No. 1 Juli 2015 adalah:

Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T.

Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech

Prof. Dr. Ir. Sutrisno Marjan, M.Eng

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc

Dr. Ir. Ingrid S. Surono, M.Sc

Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI


BALAI BESAR INDUSTRI AGRO
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
Telp. 0251-8324068 Fax. 0251-8323339
email : cabi@bbia.go.id / warta.ihp@gmail.com
website : www.bbia.go.id

You might also like