You are on page 1of 4

BAB 3

PEMBAHASAN

Dari identitas pasien didapatkan bahwa pasien berjenis kelamin wanita dan
belum menikah. Pada teori disebutkan bahwa Bartholinitis adalah infeksi pada
kelenjar bartholin dan kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia
eksterna pada wanita. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis
pada pria (Cunningham, 2005). Pasien berusia 23 tahun, hal ini sesuai dengan
teori bahwa Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia antara 20 sampai 30 tahun
dan Dua persen wanita mengalami abses Bartolini atau kista kelenjar (Schorge, et
al, 2008; Patil S, 2010).
Keluhan utama yaitu timbul bisul di kemaluan sejak 2 hari yang lalu,
bisul berukuran sebesar kelereng dan disertai rasa panas dan nyeri, nyeri terutama
saat berjalan. Keluhan pasien sesuai dengan teori yaitu Manifestasi klinis pada
bartholinitis ditandai dengan adanya pembengkakan labium mayor yang terkena,
merah dan nyeri tekan (Djuanda, 2005). Bengkak pada mula infeksi abses
Bartolini cepat membesar dalam jangka waktu beberapa jam hingga beberapa hari.
Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat
keluar melalui duktusnya, atau jika duktusnya tersumbat, mengumpul di dalamnya
dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek (Patil
S, 2010).
Ukuran bisul agak mengecil dan nyeri berkurang setelah bisul pecah dan
keluar nanah disertai darah sejak kemaren. Sesuai dengan teori yaitu nyeri pada
waktu berjalan dan duduk dan nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan

timbulnya discharge (sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari


abses). Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses dan dapat pecah
melalui mukosa atau kulit (Djuanda, 2005).
Pasien juga mengaku sering keputihan warna putih, banyak dan bau.
Pasien pernah melakukan hubungan sexual dengan pasangannya, terakhir 2 hari
yang lalu. Pada teori disebutkan bahwa salah satu faktor resiko bartholinitis
adalah Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh misalnya, gonore (Vorvick
LJ, et al, 2010). Sumber lain menyatakan penyakit menular seksual seperti Gonore
adalah penyebab paling umum terjadinya infeksi pada kelenjar bartolini yang
berujung pada terbentuknya kista dan abses, sifilis ataupun infeksi bakteri lainnya
juga dianggap menjadi penyebab terjadinya infeksi pada kelenjar ini
(Omole,2003). Selain bakteri diatas biasanya infeksi bartholin disebabkan oleh
polimikrobial. Abses kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial (Schorge,
2008), Jadi sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Riwayat menstruasi
teratur, riwayat pemakaian pantyliners disangkal, riwayat pemakaian sabun
kewanitaan disangkal.
Pada riwayat penyakit dahulu, 3 bulan yang lalu pasien pernah mengalami
hal serupa yaitu timbul bisul di kemaluan dan diberi salep beli sendiri di apotek
kemudian setelah 1 minggu bisul tersebut sembuh. Pada teori Dalam suatu
penelitian dilaporkan terdapat 13 % kasus yang mengalami rekurensi. Radang
pada kelenjar bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi
menahun dalam bentuk kista bartholin. Kalau tidak diobati dapat menjadi rekuren
atau menjadi kista (Djuanda, 2005).

Pada status dermatologi didapatkan et Regio 1/3 posterior labium mayor


sinistra terdapat nodul (+) , pus(+), darah (+), nyeri (+), disertai dengan eritema
dan odematus. Sesuai dengan teori Pada pemeriksaan vulva terdapat massa
berfluktuasi berbatas tegas, steris, lunak sangat nyeri tekan yang terletak lateral
dan dapat posterior prenulum labiorum pudendi, yang dikelilingi oleh jaringan
merah. Labia majora sering edematosa. Pada sepertiga posterior labia, selalu ada
kemerahan unilateral pembengkakan. Kadang-kadang pus keluar dari duktus
ekskretorius (permukaan dalam labium minus) atau perforasi spontan (Ben-zion,
1994).
Diagnosis pasien ini adalah Bartholinitis Sinistra karena n
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Menurut teori
omele (2003) menyatakan bahwa pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan gram untuk mengetahui bakteri penyebab, hapusan darah tepi untuk
melihat adanya leukosit. Kultur jaringan, untuk identifikasi jenis bakteri
penyebab. Biopsi dapat dilakukan pada kasus yang dicurigai keganasan
Teori lain menyebutkan antibiotik diberikan sesuai dengan bakteri
penyebab yang diketahui secara pasti dari hasil pewarnaan gram maupun kultur
pus dari abses kelenjar bartholin. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam
kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan (Wiknjosastro, 1999).
Sesuai dengan teori diatas pemeriksaan pengecatan gram dan kultur tidak
dapat menunda pengobatan maka pada pasien ini diberikan antibiotik spectrum
luas yaitu Cefixime tablet 1 x 400 mg, Siclidon tablet 2 x 1. Wiknjosastro (1999)
menyatakan bahwa Pengobatan empirik penyakit menular seksual dengan
antibiotik dianjurkan, biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal

dan chlamydial. Infeksi Neisseria gonorrhoe: Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal


atau Ofloxacin 400 mg dosis tunggal atau Cefixime 400 mg oral ( aman untuk
anak dan bumil) atau Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil) dan
Infeksi Chlamidia trachomatis: Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po atau
Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po. Selain pemberian antibiotik
diberikan analgetik yaitu mefinal 500 mg tablet 2 x 1. Analgesik juga dapat
digunakan untuk meredakan ketidaknyamanan, tetapi pada abses maupun kista
yang bergejala dapat diatasi dengan drainase.
Prognosis penyakit pasien yaitu dubia ad bonam , seperti pada teori yaitu
Abses bartolini memberikan respon yang cukup baik pada pengobatan dalam
beberapa hari. Perbaikan yang sangat memuaskan ditunjukkan hanya 10% pada
kejadian abses yang rekuren (S Parvathi, 2009).
Dari tinjauan pustaka, penulis menyimpulkan pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya bartholinitis yaitu menghindari hubungan
sexual yang beresiko seperti pada panduan IMS 2011 yaitu mempunyai lebih dari
satu pasangan seksual dalam 3 bulan terakhir, memiliki pasangan seksual baru
dalam 3 bulan terakhir,pasangan seksualnya mengalami IMS, dan belum
berpengalaman

menggunakan

kondom.

Tidak

berganti

pasangan

dan

menggunakan kondom dapat mengurangi kejadia IMS yang menjadi salah satu
faktor resiko terjadinya bartholinitis contohnya oleh gonore dan klamidia. Selain
kedua bekteri tersebut penyebab bartholinitis yaitu polimikrobial, sehingga perlu
menjaga kebersihan alat kelamin dan PH Vagina tetap normal. Vorvick LJ, et al
(2010) salah satu faktor resiko yaitu tingkat hygiene buruk.

You might also like