Professional Documents
Culture Documents
PENDENGARAN DEWASA
Dokter Pembimbing :
dr. Eka Dian Safitri, Sp. THT - KL
Oleh :
Hatfina Izzati (2012730050)
BAB 1
PENDAHULUAN
Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk fungsi pendengaran
yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya.
Rehabilitasi ialah usaha untuk mengembalikan fungsi yang pernah dimiliki,
sedangkan habilitasi ialah usaha untuk memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki.
Audiologi medik dibagi atas : audiologi dasar dan audiologi khusus
1. AUDIOLOGI DASAR
Audiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan
pendengaran, serta cara pemeriksaannya.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan : Tes Penala, Tes Berbisik, dan
Audiometri Nada Murni.
2. AUDIOLOGI KHUSUS
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural koklea dengan
retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli anorganik, audiologi anak, audiologi
industri.
BAB 2
PEMBAHASAN
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan
melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometri nada murni.
Kelaianan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di
telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga,
serumen, sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah.Kelainan di telinga dalam
menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan garpu
tala dan kunatitatif dengan mempergunakan audiometer.
1. AUDIOLOGI DASAR
A. TES PENALA
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala,
seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing dan tes Stenger.
a) Tes Rinne
Ialah tes untuk mebandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang
pada telinga yang diperiksa
Cara Pemeriksaan : Penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus
mastoid, setelah tidak terdengar, penala dipegang di depan telinga kira-kira 2
cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut
Rinne negatif (-).
b) Tes Weber
Ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan.
Cara pemeriksaan : Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis
tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau
dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada lateralisasi.
c) Tes Schwabach
Ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa
yang pendengarannya normal.
Cara pemeriksaan : Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera
dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya
telinga
tersebut normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras,
berarti telinga tersebut menderita telinga konduktif.
e) Tes Stenger
Digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik.
Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking. Misalnya pada orang yang
berpura-pura tuli pada telinga kiri. Duah buah penala yang identik digetarkan dan
masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara tidak
kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan diletakkan di depan
telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian penala yang
kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura
tuli).
Penilaian : Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri
yang mendengar bunyi; jadi telinga kanan tidak akan mendengr bunyi. Tetapi bila
telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.
Contoh soal :
Seorang dengan kurang pendengaran pada telinga kanan. Hasil tes pada :
Tes
Telinga kanan
Telinga kiri
Rinne
Negatif
Positif
Weber
Schwabach
Memanjang
Sesuai pemeriksa
Kesimpulan
Tes Rinne
Positif
Tes Weber
Tes Schwabach
Sama
dengan Normal
pemeriksa
ke Memanjang
Negatif
Lateralisasi
Positif
Diagnosis
Tuli konduktif
Tuli sensorineural
B. TES BERBISIK
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitaif, menentukan derajat ketulian secara kasar.
Hal yang perlu diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6
meter. Pada nilai normal tes berbisik : 5/6-6/6.
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi :
1. Bahan tes
2. Ruangan tes
3. Penderita
Interpretasi hasil pemeriksaan :
6 meter
: Normal
5 meter
: Dalam batas normal
4 meter
: Ketulian ringan
3 2 meter : Ketulian sedang
< 1 meter
: Ketulian berat
C. AUDIOMETRI NADA MURNI
Pada pemeriksaan audiometri nada murini perlu dipahami hal-hal seperti ini,
nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (white noise), frekuensi, intensitas
bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada
audiogram, jenis dan derajat ketulian serta gap dan masking.
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari
audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone
untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC
(hantaran tulang).
Nada murni: bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi.
Bising: bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari narrow band:
ultrasonic.
Intensitas bunyi dinyatakan dalam dB (decibell)
Ambang dengar ialah bunyi nada terlemah pada frekuensi tertentu yang masih
dapat didengar oleh telinga manusia.
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Derajat
ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :
2. AUDIOLOGI KHUSUS
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan
audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus, audiometri objektif, pemeriksaan
tuli anorganik dan pemeriksaan audiometri anak.
1) AUDIOMETRI KHUSUS
Audiometri khusus untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan pemahaman
istilah rekrutmen (recruitment) dan kelelahan (decay/fatigue).
Rekrutmen ialah suatu fenomena, terjadi peningkatan sensifitas pendengaran yang
berlebihan di atas ambang dengar. Keadaan ini khas pada tuli koklea. Pada tuli koklea
pasien dapat membedakan bunyi 1 dB, sedangkan orang normal baru dapat membedakan
bunyi 5 dB. Misalnya, pada seoranh yang tuli 30 dB, ia dapat membedakan bunyi 31 dB.
Pada oang tua bila mendengar suara perlahan, ia tidak dapat mendengar, sedangkan bila
mendengar suara keras dirasaknnya nyeri di telinga.
Kelelahan (decay/fatigue) merupakan adaptasi abnormal, merupakan tanda khas pada
tuli retrokolea. Saraf pendengaran cepat lelah bila diransang terus menerus. Bila diberi
istrihat, maka akan pulih kembali.
Fenomena tersebut dapat dilacak pada pasien tuli saraf dengan melakukan
pemeriksaan khusus, yaitu :
- Tes SISI (short increment sensivity index)
- Tes ABLB (alternate binaural loudness balans test)
- Tes kelelahan (Tone decay)
- Audiometri tutur (speech audiometri)
- Audiometri Bekesy
A. Tes SISI
Tes ini khas untuk mengetahui adanya kelainan koklea, dengan memakai
fenomena rekrutmen, yaitu keadaan koklea yang dapat mengadaptasi secara
berlebihan peninggian intensitas yang kecil, sehingga pasien dapat membedakan
selisih intensitas yang kecil (sampai 1 dB).
Cara pemeriksaan ialah dengan menentukan ambang dengar pasien terlebih
dahulu, mislanya 30 dB. Kemudian diberikan ransangannya 20 dB di atas ambang
ransang, jadi 50 dB. Setelah itu diberikan tambahan ransang 5 dB, lalu diturunkan 4
dB, lalu 3 dB, 2 dB, terakhir 1 dB. Bila pasien dapat membedakannya, berarti tes SISI
positif.
Cara lain ialah tiap lima detik dinaikan 1 dB sampai 20 kali. Kemudian
dihitung berapa kali pasien itu dapat membedakan perbedaan itu. Bila 20 kali benar,
berarti 100%, jadi khas. Bila yang benar sebanyak 10 kali, berarti 50% benar.
Dikatakan rekrutmen positif, bila skor 70-100%. Bila terdapat skor antara 0-70%,
berarti tidak khas. Mungkin pendengaran normal atau tuli perseptif lain.
B. Tes ABLB (ALTERNATE BINAURAL LOUDNESS BALANCE)
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama
pada ke dua telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut
balans negatif. Bila balans tercapai, terdapat rekrutmen positif.
Catatan : pada rekrutmen, fungsi koklea lebih sensitif.
Pada MLB (monoaural loudness balance test). Prinsipnya sama dengan ABLB.
Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat tuli perseptif bilateral. Tes ini lenih sulit,
karena yang dibandingkan ialah frekuensi yang berbeda pada satu telinga (dianggap
telinga yang sakit frekuensi naik, sedangkan pada frekuensi turun yang normal).
C. Tes Kelelahan
Terjadinya kelelahan saraf oleh karena peransangan terus menerus. Jadi kalau
telinga yang diperiksa diransang terus menerus makan terjadi kelelahan. Tandanya
ialah pasien tidak dapat mendengar dengan telinga yang diperiksa itu.
Ada 2 cara :
- TTD = threshold tone decay
- STAT = supra threshold adaption test
a) TTD
Pemeriksaan iniditemukan oleh Garhart pada tahun 1957. Kemudian Rosenberg
memodifikasinya setahun kemudian.
Cara Gahart ialah dengan melakukan ransangan terus-meneurs pada telinga yang
diperiksa dengan intensitas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya 40 dB.
Bila setelah 60 detik masih dapat mendengar, berarti tidak ada kelelahan (decay),
jadi hasil tes negatif. Sebaliknya bila setelah 60 detik terdapat kelelahan, berarti
tidak mendengar, tesnya positif.
Kemudian intensitas bunyi ditambah 5 dB (jadi 45 dB), maka pasien dapat
mendengar lagi. Ransangan diteruskan dengan 45 dB dan seterusnya, dalam 60
detik dihitung berapa penambahan intensitasnya.
Penambah
0 5 dB : normal
10 15 dB: ringan (tidak khas)
20 25 dB: sedang (tidak khas)
>30 dB: berat (khas ada kelelahan)
Pada Rosenberg : bila penembahan kurang dari 15 dB, dinyatakan normal,
sedangkan lebih dari 30 dB : sedang.
b) STAT
Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jerger pada tahun 1975. Prinsipnya ialah
pemeriksaan pada 3 frekuensi : 500 Hz, 1000 Hz dan 2000 Hz pada 110 dB SPL.
SPL ialah intensitas yang ada secara fisikan sesungguhnya. 110 dB SPL = 100 dB
SL (pada frekuensi 500 dan 2000 Hz).
Artinya, nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz pada 110 dB SPL,
diberikan terus menerus selama 60 detik dan dapat mendengar, berarti tidak ada
kelelahan. Bila kurang dari 60 detik, maka ada kelelahan (decay).
D. Audiometri Tutur (speech audiometry)
Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata).
Monosilanus = satu suku kata
Bisilabus = dua suku kata
Kata-kata ini disusun dalam daftar yang disebut : Phonetically balance word
LBT (PB,LIST).
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R, N, C,
H, CH, sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi.
Misalnya pada tuli perseptif koklea, kata kadar didengarnya kasar
sedangkan kata pasar didengarnya padar.
Apabila kata yang betul : speech discrimantion score :
90 100% = berarti pendengara normal
75 90% = tuli ringan
60 75% = tuli sedang
50 60% = kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari.
<50% = tuli berat
Guna pemeriksaan ini ialah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan
sehari-hari, dan untuk menilai untuk pemberian alat bantu dengar (hearing aid)
Istilah :
-
E. Audiometri Bekessy
Macam audiometri ini otomatis dapat menilai ambang pendengaran seseorang.
Prinsip pemeriksaan ini ialah dengan nada yang terputus (interuptes sound) dan nada
yang terus menerus (continues sound). Bila ada suara masuk, maka pasien memencet
tombol. Akan didapatkan grafik seperti gigi gergaji, garis yang menaik ialah periode
suara yang dapat didengar, sedangkan garis yang turun ialah suara yang tidak
terdegar.
- Pada telinga normal, amplitudo 10 dB
- Pada rekrutmen amplitudo lebih kecil.
a) Tipe I : Nada terputus dan terus menerus (continues) brimpit.
b) Tipe II : Nada terputus dan terus menerus berimpit hanya sampai frekuensi 100
Hz dan grafik kontinu makin kecil. Keadaan ini terdapat pada tuli perseptif
koklea.
c) Tipe III : Nada terputus dan terus menerus berpisah. Keadaan ini terdapat pada
tuli perseptif retrokoklea.
d) Tipe IV : sama dengan grafik III hanya amplitudo lebih kecil.
2) AUDIOMETRI OBJEKTIF
Pada pemeriksaan ini pasien tidak harus bereaksi. Terdapat 4 cara pemeriksaan, yaitu
audiometri impedans, elektrokokleografi, evoked response audiometry, oto acoustic
emmision.
A. Audiometri Impedans
Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan membran timpani dengan tekanan
tertentu pada meatus akustikus eksterna .
Didapatkan islitah :
- Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.
Misalnya, ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), kekakuan membran timpani dan membran timpani yang sangat
lentur.
tertutup.
Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada
rangsangan 70-80 dB di atas ambang dengar.
5) Rasio amplitudo gelombang V/I, yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V
ke puncak gelombang I, yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Ketujuh.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2012.