Professional Documents
Culture Documents
33
Yuni Katminingsih adalah dosen matematika di FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri
terakhir kita telah melihat munculnya sekelompok orang vokal yang telah menentang sekolah
menawarkan sesuatu selain pendidikan akademis tradisional. Biasanya mewakili kelompokkelompok keagamaan, para pengritik ini telah berdalih bahwa adalah tugas keluarga dan
tokoh agama untuk menggalakkan nilai-nilai pada anak, dan bahwa segala usaha oleh sekolah
untuk secara sistematis mengubah sikap dan nilai siswa perlu dihentikan.
Pengritik ini dapat dibenarkan bahwa bila suatu perhatian kepada hasil-hasil afektif
akan diberikan, ia harus dipusatkan hanya pada hasil-hasil afektif yang akan dekat dengan
yang disetujui secara universal. Misalnya, pemupukan sikap-sikap positif siswa terhadap
belajar sebagai suatu aspirasi afektif yang akan didukung hampir setiap orang. Sama halnya,
ia tidak bisa membayangkan bahwa ada banyak orang yang tidak ingin sekolah memupuk
harga diri siswa. Sesuai dengan pendapat Pidarta (1996) bahwa titik tolak belajar bukanlah
mengejar prestasi akademik melainkan pengembangan sikap suka belajar karena paham akan
manfaat yang dipelajari, tahu tentang cara belajar, percaya diri dan puas akan keberhasilan
yang dicapai.
Bila seorang guru memutuskan untuk mengabdikan sebagian dari waktu
penilaian/pengajaran kelas anda untuk sasaran-sasaran afektif, guru itu jelas perlu
mempertimbangkan secara seksama keabsahan sasaran-sasaran yang dipilihnya. Dan
sekalipun ini dilakukan, perlu disadari bahwa akan ada sementara orang yang mungkin
menentang pendidikan afektif semacam itu, jadi tidak mudah memilih sasaran-sasaran afektif
yang hendak diukur.
B. Mengapa Kita Menilai Afektif?
Satu pertanyaan yang mungkin harus ditanyakan kepada diri sendiri adalah Mengapa
menilai sikap? Banyak guru, terutama yang mengajar siswa yang lebih tua, percaya bahwa
misi pendidikan mereka hanyalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
Namun siswa yang belajar matematika seperti tukang sulap tetapi membenci matematika
tentu tidak cenderung menerapkan matematika yang telah mereka pelajari. Siswa yang bisa
menyusun penyelesaian dengan hebat tetapi percaya bahwa mereka "betul-betul siswa yang
curang" tidak akan meluangkan banyak waktu untuk mau mempersiapkan penyelesaiannya
(tugas).
Dengan tidak memandang sebelah mata variabel-variabel afektif sebagai variabel
yang jauh lebih berarti daripada variabel-variabel kognitif (pikiran). Abdulah (1992) memberi
contoh, berapa kali pernah kita melihat orang-orang yang tak begitu "berbakat" dari segi
kecerdasan namun berhasil karena mereka sangat termotivasi dan bekerja keras? Sebaliknya,
berapa kali pernah anda melihat orang-orang yang benar-benar cakap menyimpang dari
35
tantangan-tantangan karena mereka tak memandang diri sendiri berharga? Dalam kehidupan
sehari-hari, kita melihat besarnya dampak status afektif orang-orang atas diri mereka. Afektif
sama pentingnya di sekolah.
Pernahkah anda melihat sekelompok anak TK berduyun-duyun ke sekolah penuh
dengan semangat tinggi dan keberanian, dan beberapa tahun kemudian ada sejumlah anak
yang tidak tertarik lagi dengan sekolah dan kecewa atas diri sendiri. Hal ini erat kaitannya
dengan domain afektif. Ketika kebanyakan anak TK memulai sekolah, mereka bersemangat
tentang sekolah dan dirinya. Namun, setelah gagal memenuhi syarat selama satu atau dua
tahun banyak dari anak-anak yang dulunya riang gembira itu membawa konsep diri yang
berkurang. Mereka telah berusaha dan ternyata kurang. Sikap-sikap negatif tentang diri dan
sekolah semacam itu akan mempengaruhi pendidikan siswa selanjutnya. Namun karena
sedikit guru berusaha menilai status afektif siswa mereka, kebanyakan guru tidak tahu apa
yang terjadi sebenarnya tentang sikap-sikap dan nilai-nilai siswanya.
C. Menggalakkan Pengajaran Berfokus Afektif
Sekalipun tidak ada yang namanya "pertanggungjawaban pendidikan" yang dikenakan
keluar di mana prestasi siswa pada tes-tes penting bertindak sebagai pertanda keefektifan
pendidikan, apa yang ada atas tes kemampuan masih akan mempengaruhi apa yang diajarkan
guru.
Sama saja dengan penilaian afektif. Andaikan seorang guru telah menggunakan suatu
alat evaluasi prates dan pasca tes yang cukup gamblang untuk menilai suatu perubahan
berarti dalam tanggapan-tanggapan siswanya terhadap suatu tes sikap tentang seberapa
tertariknya mereka dalam mata pelajaran yang sedang diajarkan? kesadaran guru bahwa akan
ada suatu penilaian prates-pascates resmi tentang minat mata pelajaran siswanya akan
mempengaruhi guru dalam memberikan pengajaran sehingga siswa menjadi lebih bersikap
positif terhadap mata pelajaran yang sedang diajarkan.
Dengan kata lain, adanya pengukuran afektif pasca pengajaran akan membuat guru
cenderung memasukkan kegiatan-kegiatan berfokus afektif dalam pengajarannya. Dengan
demikian, hasil-hasil afektif cukup penting untuk dinilai secara resmi. Seorang guru bisa
yakin bahwa apa yang cukup penting untuk dinilai, sekalipun itu dinilai di kelas dan bukan
diluar kelas.
37
bangsa lain. Seperti terlihat dalam gambar, status afektif saat ini meramalkan perilaku
kelak.
Status afektive
Sikap yang
Prediksi
sekarang
akan datang
afektif
secara
bijaksana.
Pertama
harus
melihat
sikap-sikap,
baru
mempertimbangkan nilai-nilai.
2. Target-Target Sikap Potensial
Ada beberapa jenis kemungkinan fokus sikap bagi pengajaran guru. Inilah beberapa
sikap yang paling lazim didukung oleh para guru sebagai target-target yang masuk akal:
Kejujuran
39
Keadilan
Siswa seharusnya tunduk pada pandangan bahwa semua warga perlu menerima
keadilan yang sama dari badan-badan penegak hukum dari pemerintah
Kebebasan
Siswa seharusnya percaya bahwa bangsa-bangsa yang demokratis harus memberikan
tingkat kebebasan maksimum bagi para warganya.
Meskipun jenis-jenis nilai ini mungkin tampak agak lebih dari pendukungan kebaikan
yang luhur, seorang guru mungkin masih ingin mempertimbangkannya dan nilai-nilai
serupa untuk penilaian afektif potensial di kelasnya sendiri. Bila benar-benar ada nilai-nilai
berarti yang diinginkan siswa untuk memeluknya, dan nilai-nilai itu masuk dalam bidang
apa yang seharusnya menjadi tugas sekolah, maka kemngkinan memasukkan nilai-nilai
tersebut dalam suatu program penilaian kelas bisa memiliki daya tarik nyata.
Jangan coba menilai terlalu banyak variabel afektif. Kita akan terkejut betapa cepat
kita bisa menjadi tertelan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data itu dan
untuk mengartikan data yang dikumpulkan. Kita seharusnya mencoba memperoleh suatu
posisi tentang hanya beberapa dimensi afektif yang dipandang paling penting bagi siswa.
E. Menilai Afektif dalam Kelas
Penilaian afektif bisa dilakukan pada tingkat-tingkat kerumitan dan kecanggihan yang
berbeda-beda. Sebagai gambaran, dalam percobaan psikologi yang dibuat untuk memperoleh
suatu posisi tentang kejujuran anak, para peneliti telah memanfaatkan kaki tangan terlatih
yang menciptakan situasi seksama dimana seorang anak bisa atau tidak bisa menyontek, lalu
para peneliti itu mengamati perilaku anak itu lewat cermin satu arah untuk menarik
kesimpulan tentang kecenderungan-kecenderungan anak itu untuk jujur atau tidak jujur dalam
situasi dan daya tarik godaan-godaan yang berbeda-beda. Saya tahu sedikit guru yang
memiliki waktu atau kecenderungan untuk terjun dalam penilaian sangat seksama tentang
status afektif siswanya, meskipun saya menyangka bahwa para guru itu akan tahu cara
memakai cermin satu arah.
Untuk praktisnya, penilaian afektif siswa harus relatif mudah dilaksanakan, atau ia
tidak akan berlangsung. Guru terlalu sibuk untuk melaksanakan banyaknya tanggung jawab
yang mereka hadapi setiap hari. Karena itu dalam makalah ini akan disajikan satu prosedur
yang langsung bisa dilaksanakan untuk menilai sikap-sikap dan nilai siswa. Bila ada
keinginan untuk mempertimbangkan cara-cara yang lebih seksama dan memakan waktu
tentang pengukuran afektif siswa, ada beberapa buku yang baik yang disebutkan dalam buku
sumber makalah ini.
1. Penilaian Laporan Diri
Guru bisa memperoleh posisi atas status afektif siswa dengan meminta mereka untuk
mengisi alat-alat penilaian laporan diri. Bila guru menciptakan situasi penilaian sehingga
siswa dapat menanggapi secara benar-benar anonim, data yang dihasilkan dari alat-alat
laporan diri bisa benar-benar berguna bagi guru. Anderson (1981) dalam Popham (1995)
telah memberikan suatu dalil meyakinkan yang mendukung pengukuran afektif laporan
diri oleh para pendidik. Bila seseorang benar-benar kesulitan menerima gagasan bahwa
penilaian laporan diri merupakan rencana pengukuran yang dipakai saat menilai status
afektif siswa, maka berikut ini akan ditinjau alasan-alasan yang Anderson pandang saat ia
tiba pada dukungannya terhadap penilaian afektif laporan diri di sekolah.
2. Tes Likert
Karena hasil bacaannya bisa diterapkan pada berbagai target penilaian afektif,
pendekatan terhadap pengukuran sikap yang diperkenalkan bertahun-tahun silam oleh
Likert (1932) adalah yang paling luas digunakan. Tes Likert akan menangani hampir
semua kebutuhan penilaian afektif, karena itu pendekatan ini adalah satu-satunya yang
akan dibahas di sini.
Tes Likert terdiri dari serangkaian pernyataan yang kepadanya responden menyatakan
persetujuan atau penolakannya. Misalnya, suatu pernyataan seperti "membaca buku
tentang penilaian kelas ini merupakan salah satu pengalaman profesi terindah dari karir
saya". Responden lalu memilih dari sekumpulan pilihan untuk memutuskan apakah setuju
atau tidak dengan pernyataan itu. pilihan-pilihan yang lazim, setidaknya untuk orang
dewasa adalah sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Dalam menyusun tes Likert, jelas bergantung pada usia siswa yang diajar, diperlukan
penyesuaian pada pernyataan-pernyataan yang digunakan dan pada jumlah dan/atau
perkataan pilihan tanggapan. Misalnya, dengan anak kecil mungkin perlu memakai
pernyataan-pernyataan singkat berisi kata-kata yang sangat sederhana, mungkin
pernyataan itu harus dibaca keras-keras. Siswa lebih tua mungkin bisa menangani skala
persetujuan lima pilihan yang digambarkan tadi, namun bagi siswa muda anda akan ingin
menurunkan sampai tiga pilihan tanggapan (misalnya setuju, tidak tahu, dan tidak setuju)
41
atau bahkan dua pilihan tanggapan (mungkin ya dan tidak). Gurulah yang akan menjadi
hakim terbaik tentang tingkat bahasa yang akan digunakan. Secara umum, lebih baik
bahasanya kurang menuntut daripada lebih menuntut.
a. Menyusun Tes Likert
Berikut ini akan dikemukakan serangkaian langkah yang diperlukan dalam menyusun
tes Likert.
1. Pilih variabel afektif yang ingin dinilai. Putuskan sikap atau nilai apa yang ingin
diukur, lalu cobalah segamblang mungkin mengkaji tentang apa maksud variabel
afektif itu.
2. Susun serangkaian pernyataan menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang
variabel afektif. Misalnya, bila anda tertarik pada sikap siswa tentang membaca, anda
bisa membuat pernyataan positif seperti "saya suka membaca sendiri ketika
mempunyai waktu luang" atau pernyataan negatif seperti "orang yang membaca untuk
kesenangan adalah bodoh". Cobalah untuk membuat beberapa lagi
pernyataan
daripada yang akhirnya anda berencana untuk menggunakan. Bagi siswa di sekolah
menengah, suatu tes Likert 10 item perlu sedikit waktu pengisian. Bagi siswa kelas
lebih rendah, anda mungkin ingin memakai lebih sedikit item mungkin 5 atau 6.
Cobalah membangun jumlah pernyataan positif dan negatif yang hampir sama.
3. Suruh beberapa orang menggolongkan setiap pernyataan sebagai positif atau negatif.
Kumpulkan beberapa kolega atau beberapa anggota keluarga untuk melihat
pernyataan-pernyataan yang anda hasilkan dan menggolongkan setiap pernyataan
sebagai positif atau negatif. Abaikan setiap pernyataan yang tidak secara bulat
digolongkan positif atau negatif.
4. Putuskan jumlah dan perkataan pilihan-pilihan tanggapan untuk setiap pernyataan.
Tes Likert yang asli memiliki 5 pilihan berikut ini: STS = Sangat Tidak Setuju, TS =
Tidak Setuju, TT = Tidak Tahu, S = Setuju, SS = Sangat Setuju. Untuk anak yang
lebih muda harus digunakan pilihan/ option yang lebih sedikit dan lebih sederhana.
5. Siapkan tes laporan diri yang memberi para siwa petunjuk tentang cara menanggapi
dan yang menyatakan bahwa tes itu harus diisi secara anonim. Bila siswa belum
pernah mengisi tes semacam itu, mereka akan memerlukan petunjuk yang baik dan
jelas. Adalah membantu untuk memasukkan satu atau dua ilustrasi cara siswa bisa
43
positip setelah pengajaran. Pendekatan mengurutkan mata pelajaran ini adalah juga suatu
strategi pengukuran afektif laporan-diri.
3. Pentingnya Keanoniman Sesungguhnya
Agar guru bisa menarik kesimpulan yang akurat tentang keadaan afektif siswa
berdasarkan jawaban-jawaban mereka kepada tes-tes laporan-diri, Jelas perlu bagi siswa
untuk menjawab secara jujur tes-tes afektif. Sayangnya banyak siswa yang cenderung
memberikan apa yang disebut sebagai jawaban-jawaban ABS (asal bapak senang). Dengan
kata lain, banyak siswa cenderung menjawab dengan cara yang mereka pikir guru inginkan
jawabnya. Siswa terutama cenderung memberikan jawab ABS bila mereka percaya guru
bisa melacak jawaban mereka. Karena itu untuk meningkatkan kemungkinan bahwa siswa
akan menjawab secara jujur, adalah sangat penting bahwa guru tidak hanya membuat
semua jawaban siswa anonim tetapi menggunakan prosedure sebanyak mungkin sehingga
kebanyakan siswa memandang jawaban mereka sebagai benar-benar tidak terlacak.
Menurut Phopam (1995) diantara prosedur-prosedur peningkatan-keanoniman yang
lebih sederhana namun efektif yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah sebagai
berikut:
1. Petunjuk
Pastikan petunjuk bagi tes-tes afektif menekankan pentingnya jawaban yang jujur, dan
bahwa siswa tidak boleh menulis nama pada tesnya.
2. Pembatasan tanggapan
Buat tes sedemikian sehingga satu-satunya bentuk tanggapan siswa adalah tanda
cawang, melingkari jawaban dan sebagainya. Siswa dilarang menulis kata apapun
dalam tes mereka. Karena siswa percaya guru bisa mengira siapa yang mengisi tes
dengan mengenali tulisan tangan siswa, jangan biarkan tulisan apapun pada tes afektif.
3. Pengumpulan
Buat suatu prosedur dimana siswa menyimpan tes mereka yang telah diisi dalam suatu
kotak pengumpulan atau minta seorang siswa mengumpulkan tes-tes yang telah diisi.
Umumkan sebelum siswa mulai mengisi tes itu bahwa salah satu dari metode
pengumpulan ini akan digunakan.
Guru harus mencoba memastikan bahwa siswanya benar-benar tidak berpikir ada
suatu jalan untuk melacak jawaban-jawaban mereka. Bahkan dengan keadaan itupun, ini
tidak menjamin bahwa siswa akan menjawab dengan jujur. Namun tehnik-tehnik