You are on page 1of 12

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

33

PENGEMBANGAN PENILAIAN AFEKTIF DI SEKOLAH


Oleh :Yuni Katminingsih
ykatminingsih@gmail.com
Abstrak
Artikel ini diawali oleh dukungan James Popham terhadap pentingnya pengajaran
afektif dan oleh karena itu, pentingnya menilai status afektif siswa. Diusulkan bahwa
pemakaian penilaian afektif di kelas akan membuat guru cenderung akan
menyampaikan tujuan-tujuan afektif dari segi pengajaran. Juga diperdebatkan bahwa
jika guru memantau status afektif siswanya, perubahan pengajaran bisa dibuat bila
pergeseran afektif yang tidak layak atau tidak memadai pada siswa sedang
berlangsung. Variabel-variabel afektif digambarkan sebagai peramal-peramal penting
dari perilaku individu ini kelak, karena status afektif orang mengungkapkan
kecenderungan perilakunya. Namun, juga dinyatakan bahwa ada kelompok-kelompok
vokal yang para anggotanya menentang perhatian pengajaran kepada afektif. Tentang
jenis-jenis variabel afektif untuk dinilai dikelas kita, serangkaian fokus sikap dan nilai
potensial diberikan. Guru didorong untuk memilih hanya beberapa variabel afektif
yang amat berarti dari begitu banyak variabel sehingga tidak membuat kita
kewalahan.
Kata Kunci: Penilaian Afektif, Tes Likert
A. Pendahuluan
Kebanyakan pendidik mengakui bahwa variabel-variabel afektif dalam pendidikan
adalah penting. Sikap siswa terhadap belajar, misalnya berperan penting dalam seberapa
banyak ilmu yang akan dituntut siswa itu kelak. Nilai-nilai yang dimiliki siswa tentang
kebenaran dan integritas membentuk perbuatan sehari-hari siswa. Dan harga diri siswa tentu
mempengaruhi hampir semua perbuatan mereka. Ada sedikit keraguan bahwa status afektif
siswa seharusnya menjadi perhatian semua pendidik.
Namun kenyataannya sedikit guru kelas memberi perhatian langsung untuk
mempengaruhi sikap-sikap dan nilai siswa mereka. Bahkan lebih sedikit guru kelas yang
mencoba untuk menilai status afektif siswa mereka. tentu seorang guru mengamati kelakuan
yang muram dari seorang siswa dan menyimpulkan bahwa ia "kurang cocok" atau "anak yang
tertekan", namun berapa kali anda mendengar seorang guru mencoba mengumpulkan bukti
sistematis tentang sikap dan nilai siswa mereka? Sayangnya, penilaian afektif yang sistematis
sangat tidak lazim.
Menurut Popham (1993) bahwa banyak orang tidak sepandangan dengannya
mengenai pentingnya penilaian dan pengajaran afektif. Terutama dalam beberapa tahun

Yuni Katminingsih adalah dosen matematika di FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri

34 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

terakhir kita telah melihat munculnya sekelompok orang vokal yang telah menentang sekolah
menawarkan sesuatu selain pendidikan akademis tradisional. Biasanya mewakili kelompokkelompok keagamaan, para pengritik ini telah berdalih bahwa adalah tugas keluarga dan
tokoh agama untuk menggalakkan nilai-nilai pada anak, dan bahwa segala usaha oleh sekolah
untuk secara sistematis mengubah sikap dan nilai siswa perlu dihentikan.
Pengritik ini dapat dibenarkan bahwa bila suatu perhatian kepada hasil-hasil afektif
akan diberikan, ia harus dipusatkan hanya pada hasil-hasil afektif yang akan dekat dengan
yang disetujui secara universal. Misalnya, pemupukan sikap-sikap positif siswa terhadap
belajar sebagai suatu aspirasi afektif yang akan didukung hampir setiap orang. Sama halnya,
ia tidak bisa membayangkan bahwa ada banyak orang yang tidak ingin sekolah memupuk
harga diri siswa. Sesuai dengan pendapat Pidarta (1996) bahwa titik tolak belajar bukanlah
mengejar prestasi akademik melainkan pengembangan sikap suka belajar karena paham akan
manfaat yang dipelajari, tahu tentang cara belajar, percaya diri dan puas akan keberhasilan
yang dicapai.
Bila seorang guru memutuskan untuk mengabdikan sebagian dari waktu
penilaian/pengajaran kelas anda untuk sasaran-sasaran afektif, guru itu jelas perlu
mempertimbangkan secara seksama keabsahan sasaran-sasaran yang dipilihnya. Dan
sekalipun ini dilakukan, perlu disadari bahwa akan ada sementara orang yang mungkin
menentang pendidikan afektif semacam itu, jadi tidak mudah memilih sasaran-sasaran afektif
yang hendak diukur.
B. Mengapa Kita Menilai Afektif?
Satu pertanyaan yang mungkin harus ditanyakan kepada diri sendiri adalah Mengapa
menilai sikap? Banyak guru, terutama yang mengajar siswa yang lebih tua, percaya bahwa
misi pendidikan mereka hanyalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
Namun siswa yang belajar matematika seperti tukang sulap tetapi membenci matematika
tentu tidak cenderung menerapkan matematika yang telah mereka pelajari. Siswa yang bisa
menyusun penyelesaian dengan hebat tetapi percaya bahwa mereka "betul-betul siswa yang
curang" tidak akan meluangkan banyak waktu untuk mau mempersiapkan penyelesaiannya
(tugas).
Dengan tidak memandang sebelah mata variabel-variabel afektif sebagai variabel
yang jauh lebih berarti daripada variabel-variabel kognitif (pikiran). Abdulah (1992) memberi
contoh, berapa kali pernah kita melihat orang-orang yang tak begitu "berbakat" dari segi
kecerdasan namun berhasil karena mereka sangat termotivasi dan bekerja keras? Sebaliknya,
berapa kali pernah anda melihat orang-orang yang benar-benar cakap menyimpang dari

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

35

tantangan-tantangan karena mereka tak memandang diri sendiri berharga? Dalam kehidupan
sehari-hari, kita melihat besarnya dampak status afektif orang-orang atas diri mereka. Afektif
sama pentingnya di sekolah.
Pernahkah anda melihat sekelompok anak TK berduyun-duyun ke sekolah penuh
dengan semangat tinggi dan keberanian, dan beberapa tahun kemudian ada sejumlah anak
yang tidak tertarik lagi dengan sekolah dan kecewa atas diri sendiri. Hal ini erat kaitannya
dengan domain afektif. Ketika kebanyakan anak TK memulai sekolah, mereka bersemangat
tentang sekolah dan dirinya. Namun, setelah gagal memenuhi syarat selama satu atau dua
tahun banyak dari anak-anak yang dulunya riang gembira itu membawa konsep diri yang
berkurang. Mereka telah berusaha dan ternyata kurang. Sikap-sikap negatif tentang diri dan
sekolah semacam itu akan mempengaruhi pendidikan siswa selanjutnya. Namun karena
sedikit guru berusaha menilai status afektif siswa mereka, kebanyakan guru tidak tahu apa
yang terjadi sebenarnya tentang sikap-sikap dan nilai-nilai siswanya.
C. Menggalakkan Pengajaran Berfokus Afektif
Sekalipun tidak ada yang namanya "pertanggungjawaban pendidikan" yang dikenakan
keluar di mana prestasi siswa pada tes-tes penting bertindak sebagai pertanda keefektifan
pendidikan, apa yang ada atas tes kemampuan masih akan mempengaruhi apa yang diajarkan
guru.
Sama saja dengan penilaian afektif. Andaikan seorang guru telah menggunakan suatu
alat evaluasi prates dan pasca tes yang cukup gamblang untuk menilai suatu perubahan
berarti dalam tanggapan-tanggapan siswanya terhadap suatu tes sikap tentang seberapa
tertariknya mereka dalam mata pelajaran yang sedang diajarkan? kesadaran guru bahwa akan
ada suatu penilaian prates-pascates resmi tentang minat mata pelajaran siswanya akan
mempengaruhi guru dalam memberikan pengajaran sehingga siswa menjadi lebih bersikap
positif terhadap mata pelajaran yang sedang diajarkan.
Dengan kata lain, adanya pengukuran afektif pasca pengajaran akan membuat guru
cenderung memasukkan kegiatan-kegiatan berfokus afektif dalam pengajarannya. Dengan
demikian, hasil-hasil afektif cukup penting untuk dinilai secara resmi. Seorang guru bisa
yakin bahwa apa yang cukup penting untuk dinilai, sekalipun itu dinilai di kelas dan bukan
diluar kelas.

36 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

Faktor-faktor yang dapat mendukung pengembangan belajar afektif menurut Arikunto


(1996) antara lain: (1) guru selalu menghormati anak-anak sebagai individu yang memiliki
harkat tersendiri; (2) materi pelajaran pada umumnya dikaitkan dengan lingkungan keluarga
dan masyarakat, sehingga anak-anak menjadi tertarik dan mengerti manfaat belajar; (3)
proses belajar mengajar mengikuti kehidupan anak-anak secara wajar, seperti bermain,
berekreasi, belajar sambil bergembira, dengan suasana yang permisif; (4) banyak
melaksanakan metode belajar dengan berbuat, dan beberapa kali melakukan eksperimen dan
survei sehingga anak-anak mengerti tentang cara belajar; (5) sebagaian proses belajar
mengajar dilakukan dengan belajar berkelompok, untuk mengembangkan kebiasaan kerja
sama, jarang sekali dilakukan persaingan; (6) anak-anak sering diantar oleh orang tuanya dan
orang tua itu kadang-kadang membantu anak-anak belajar, sehingga anak-anak merasa di
sekolah tidak berbeda di rumah; (7) manajemen kelas dan disiplin mengutamakan
pengembangan apeksi seperti membuat peraturan kelas bersama, membimbing anak,
memberi teladan membiasakan bertindak postip dan memberi hadiah; (8) penilaian bersifat
individual atau kelompok yang berorientasi kepada pembinaan dan perkembangan individual,
juga dibiasakan menilai diri sendiri, kedudukan anak-anak dalam kelas tidak diperlukan; (9)
sasaran penilaian adalah sikap, nilai-nilai, pengetahuan dan ketrampilan yang semuanya
tercantum dalam rapor.
D. Variabel-Variabel Afeftif yang Perlu Dinilai
1. Tinjauan Lebih Dekat Tentang Afektif
Sebelum membahas jenis-jenis variabel yang perlu dinilai, mari kita sejenak melihat
sifat afektif itu sendiri. Alasan bahwa variabel-variabel afektif seperti sikap dan nilai siswa
adalah penting bagi kita adalah bahwa variabel itu biasanya mempengaruhi perilaku siswa
kelak. Bila kita memikirkan ini sedikit, kita akan menyadari bahwa kita tidak benar-benar
begitu peduli apakah sikap siswa terhadap belajar adalah positif. Alasan mengapa kita
menggalakkan sikap-sikap positif terhadap belajar adalah karena siswa yang memiliki
sikap positif terhadap belajar harti iini akan cenderung menuntut ilmu kelak.
Status afektif siswa memungkinkan kita melihat betapa siswa cenderung untuk
berlaku kelak. Bila kita temukan bahwa siswa percaya tubuh sehat adalah penting, mereka
akan cenderung untuk memelihara kesehatan tubuh mereka sendiri kelak. Bila ditemukan
bahwa siswa memiliki sikap positif terhadap orang-orang dari suku bangsa lain, maka
kelak mereka akan cenderung untuk berlaku secara layak terhadap orang-orang dari suku

37

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

bangsa lain. Seperti terlihat dalam gambar, status afektif saat ini meramalkan perilaku
kelak.

Status afektive

Sikap yang

Prediksi

sekarang

akan datang

Hubungan antara sikap sekarang dengan sikap yang akan datang.


Apakah sikap meramalkan perilaku masa depan dengan sempurna? Tentu tidak.
namun umpama ada 100 siswa kelas 3 yang memperlihatkan sikap sangat negatif terhadap
kekerasan sebagai suatu jalan menyelesaikan perselisihan, dan bahwa ada 100 siswa kelas
3 lainnya yang percaya bahwa kekerasan adalah jalan yang tepat menyelesaikan
perselisihan. Dari kacamata peluang, kelak kemungkinan ada lebih sedikit perilaku
penyelesaian perselisihan yang keras dari 100 siswa pertama daripada dari 100 siswa
kedua. Karena itu penilaian afektif memungkinkan guru untuk memperoleh suatu posisi
yang bukan merupakan kebetulan tentang kecenderungan-kecenderungan perilaku
siswanya. Itulah sebabnya penilaian afektif begitu penting.
Seperti diketahui, sekolah dalam sejarahnya telah memusatkan diri pada variabelvariabel kognitif. Dan itu mungkin akan selalu terlaksana. Jadi, bila guru tertarik dalam
memberikan perhatian pada afektif di ruang kelasnya sendiri, guru perlu memilih fokusfokus

afektif

secara

bijaksana.

Pertama

harus

melihat

sikap-sikap,

baru

mempertimbangkan nilai-nilai.
2. Target-Target Sikap Potensial
Ada beberapa jenis kemungkinan fokus sikap bagi pengajaran guru. Inilah beberapa
sikap yang paling lazim didukung oleh para guru sebagai target-target yang masuk akal:

Sikap-sikap pendekatan pelajaran


Siswa seharusnya memandang mata pelajaran yang diajarkan (misalnya, matematika)
secara lebih positif pada akhir pelajaran daripada ketika pelajaran dimulai. Paling tidak,
siswa seharusnya tidak bertambah negatif terhadap mata pelajaran yang diajarkan
sebagai konsekuensi pengajaran.

38 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

Sikap-sikap positif terhadap belajar


Siswa seharusnya memandang belajar secara positif. Siswa yang hari ini bersikap
positif tentang belajar akan cenderung menjadi pelajar kelak.

Sikap positif terhadap diri


Harga diri adalah sikap yang padanya kebanyakan dunia pribadi orang-orang
bergantung. Meskipun harga diri seorang anak mungkin lebih dipengaruhi oleh orang
tua dan kejadian-kejadian non sekolah daripada oleh guru, apa yang terjadi di ruang
kelas bisa berdampak penting atas harga diri anak.

Sikap positif terhadap diri sebagai pelajar


Harga diri sebagai seorang pelajar adalah suatu variabel afektif yang terhadapnya para
pendidik memiliki pengaruh besar. Bila siswa percaya mereka mampu belajar, mereka
akan cenderung belajar.

Sikap positif terhadap mereka yang berbeda dengan kita


Semakin tenggang rasa dan menerima siswa terhadap kelompok bangsa, jenis kelamin,
atau agama lainnya, semakin mungkin siswa itu akan berlaku secara positif terhadap
orang lain kelak.
Ada banyak jenis sikap lainnya yang ingin dipupuk oleh guru. Misalnya banyak guru
yang ingin menangani seni bahasa untuk meningkatkan keyakinan siswa sebagai penulis
yaitu sikap lebih positif dari siswa terhadap kemampuannya dalam mengarang. Guru ilmu
pengetahuan ingin memupuk rasa ingin tahu siswa. Guru pendidikan kesehatan ingin
menggalakkan persepsi akurat siswa tentang kerawanan mereka terhadap resiko kesehatan
seperti penyakit hubungan seksual.
3. Target-Target Nilai Potensial
Ada banyak jenis nilai yang dianut oleh masyarakat yang seharusnya tidak dicampuri
oleh sekolah. Kebanyakan pendidik setuju bahwa nilai-nilai politik dan agama, misalnya,
seharusnya tidak ditangani dalam pengajaran di sekolah. Apakah siswa ternyata menjadi
liberal atau konservatif benar-benar bukan urusan guru. Dan dalam sejarahnya, ada tradisi
panjang memisahkan gereja dan negara. Karena itu, guru seharusnya tidak menganjurkan
penerimaan agama-agama tertentu atau penolakan yang lainnya. Lalu, apa jenis-jenis nilai
yang cukup berguna dan tidak kontroversial sehingga bisa bertindak sebagai target
perhatian kelas? Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Kejujuran

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

39

Siswa seharusnya belajar menghargai kejujuran dalam hubungan mereka dengan


Integritas
Siswa seharusnya mentaati nilai-nilai mereka sendiri, misalnya moral atau artistik.

Keadilan
Siswa seharusnya tunduk pada pandangan bahwa semua warga perlu menerima
keadilan yang sama dari badan-badan penegak hukum dari pemerintah

Kebebasan
Siswa seharusnya percaya bahwa bangsa-bangsa yang demokratis harus memberikan
tingkat kebebasan maksimum bagi para warganya.
Meskipun jenis-jenis nilai ini mungkin tampak agak lebih dari pendukungan kebaikan
yang luhur, seorang guru mungkin masih ingin mempertimbangkannya dan nilai-nilai
serupa untuk penilaian afektif potensial di kelasnya sendiri. Bila benar-benar ada nilai-nilai
berarti yang diinginkan siswa untuk memeluknya, dan nilai-nilai itu masuk dalam bidang
apa yang seharusnya menjadi tugas sekolah, maka kemngkinan memasukkan nilai-nilai
tersebut dalam suatu program penilaian kelas bisa memiliki daya tarik nyata.
Jangan coba menilai terlalu banyak variabel afektif. Kita akan terkejut betapa cepat
kita bisa menjadi tertelan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data itu dan
untuk mengartikan data yang dikumpulkan. Kita seharusnya mencoba memperoleh suatu
posisi tentang hanya beberapa dimensi afektif yang dipandang paling penting bagi siswa.
E. Menilai Afektif dalam Kelas
Penilaian afektif bisa dilakukan pada tingkat-tingkat kerumitan dan kecanggihan yang
berbeda-beda. Sebagai gambaran, dalam percobaan psikologi yang dibuat untuk memperoleh
suatu posisi tentang kejujuran anak, para peneliti telah memanfaatkan kaki tangan terlatih
yang menciptakan situasi seksama dimana seorang anak bisa atau tidak bisa menyontek, lalu
para peneliti itu mengamati perilaku anak itu lewat cermin satu arah untuk menarik
kesimpulan tentang kecenderungan-kecenderungan anak itu untuk jujur atau tidak jujur dalam
situasi dan daya tarik godaan-godaan yang berbeda-beda. Saya tahu sedikit guru yang
memiliki waktu atau kecenderungan untuk terjun dalam penilaian sangat seksama tentang
status afektif siswanya, meskipun saya menyangka bahwa para guru itu akan tahu cara
memakai cermin satu arah.
Untuk praktisnya, penilaian afektif siswa harus relatif mudah dilaksanakan, atau ia
tidak akan berlangsung. Guru terlalu sibuk untuk melaksanakan banyaknya tanggung jawab

40 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

yang mereka hadapi setiap hari. Karena itu dalam makalah ini akan disajikan satu prosedur
yang langsung bisa dilaksanakan untuk menilai sikap-sikap dan nilai siswa. Bila ada
keinginan untuk mempertimbangkan cara-cara yang lebih seksama dan memakan waktu
tentang pengukuran afektif siswa, ada beberapa buku yang baik yang disebutkan dalam buku
sumber makalah ini.
1. Penilaian Laporan Diri
Guru bisa memperoleh posisi atas status afektif siswa dengan meminta mereka untuk
mengisi alat-alat penilaian laporan diri. Bila guru menciptakan situasi penilaian sehingga
siswa dapat menanggapi secara benar-benar anonim, data yang dihasilkan dari alat-alat
laporan diri bisa benar-benar berguna bagi guru. Anderson (1981) dalam Popham (1995)
telah memberikan suatu dalil meyakinkan yang mendukung pengukuran afektif laporan
diri oleh para pendidik. Bila seseorang benar-benar kesulitan menerima gagasan bahwa
penilaian laporan diri merupakan rencana pengukuran yang dipakai saat menilai status
afektif siswa, maka berikut ini akan ditinjau alasan-alasan yang Anderson pandang saat ia
tiba pada dukungannya terhadap penilaian afektif laporan diri di sekolah.
2. Tes Likert
Karena hasil bacaannya bisa diterapkan pada berbagai target penilaian afektif,
pendekatan terhadap pengukuran sikap yang diperkenalkan bertahun-tahun silam oleh
Likert (1932) adalah yang paling luas digunakan. Tes Likert akan menangani hampir
semua kebutuhan penilaian afektif, karena itu pendekatan ini adalah satu-satunya yang
akan dibahas di sini.
Tes Likert terdiri dari serangkaian pernyataan yang kepadanya responden menyatakan
persetujuan atau penolakannya. Misalnya, suatu pernyataan seperti "membaca buku
tentang penilaian kelas ini merupakan salah satu pengalaman profesi terindah dari karir
saya". Responden lalu memilih dari sekumpulan pilihan untuk memutuskan apakah setuju
atau tidak dengan pernyataan itu. pilihan-pilihan yang lazim, setidaknya untuk orang
dewasa adalah sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Dalam menyusun tes Likert, jelas bergantung pada usia siswa yang diajar, diperlukan
penyesuaian pada pernyataan-pernyataan yang digunakan dan pada jumlah dan/atau
perkataan pilihan tanggapan. Misalnya, dengan anak kecil mungkin perlu memakai
pernyataan-pernyataan singkat berisi kata-kata yang sangat sederhana, mungkin
pernyataan itu harus dibaca keras-keras. Siswa lebih tua mungkin bisa menangani skala
persetujuan lima pilihan yang digambarkan tadi, namun bagi siswa muda anda akan ingin
menurunkan sampai tiga pilihan tanggapan (misalnya setuju, tidak tahu, dan tidak setuju)

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

41

atau bahkan dua pilihan tanggapan (mungkin ya dan tidak). Gurulah yang akan menjadi
hakim terbaik tentang tingkat bahasa yang akan digunakan. Secara umum, lebih baik
bahasanya kurang menuntut daripada lebih menuntut.
a. Menyusun Tes Likert
Berikut ini akan dikemukakan serangkaian langkah yang diperlukan dalam menyusun
tes Likert.
1. Pilih variabel afektif yang ingin dinilai. Putuskan sikap atau nilai apa yang ingin
diukur, lalu cobalah segamblang mungkin mengkaji tentang apa maksud variabel
afektif itu.
2. Susun serangkaian pernyataan menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang
variabel afektif. Misalnya, bila anda tertarik pada sikap siswa tentang membaca, anda
bisa membuat pernyataan positif seperti "saya suka membaca sendiri ketika
mempunyai waktu luang" atau pernyataan negatif seperti "orang yang membaca untuk
kesenangan adalah bodoh". Cobalah untuk membuat beberapa lagi

pernyataan

daripada yang akhirnya anda berencana untuk menggunakan. Bagi siswa di sekolah
menengah, suatu tes Likert 10 item perlu sedikit waktu pengisian. Bagi siswa kelas
lebih rendah, anda mungkin ingin memakai lebih sedikit item mungkin 5 atau 6.
Cobalah membangun jumlah pernyataan positif dan negatif yang hampir sama.
3. Suruh beberapa orang menggolongkan setiap pernyataan sebagai positif atau negatif.
Kumpulkan beberapa kolega atau beberapa anggota keluarga untuk melihat
pernyataan-pernyataan yang anda hasilkan dan menggolongkan setiap pernyataan
sebagai positif atau negatif. Abaikan setiap pernyataan yang tidak secara bulat
digolongkan positif atau negatif.
4. Putuskan jumlah dan perkataan pilihan-pilihan tanggapan untuk setiap pernyataan.
Tes Likert yang asli memiliki 5 pilihan berikut ini: STS = Sangat Tidak Setuju, TS =
Tidak Setuju, TT = Tidak Tahu, S = Setuju, SS = Sangat Setuju. Untuk anak yang
lebih muda harus digunakan pilihan/ option yang lebih sedikit dan lebih sederhana.
5. Siapkan tes laporan diri yang memberi para siwa petunjuk tentang cara menanggapi
dan yang menyatakan bahwa tes itu harus diisi secara anonim. Bila siswa belum
pernah mengisi tes semacam itu, mereka akan memerlukan petunjuk yang baik dan
jelas. Adalah membantu untuk memasukkan satu atau dua ilustrasi cara siswa bisa

42 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

menanggapi. Pernyataan-pernyataan contoh tentang topik-topik yang dikenal secara


umum, seperti makanan atau film, baik sekali untuk ilustrasi.
6. Laksanakan tes kepada siswa sendiri atau bila mungkin (sebagai uji coba) kepada
siwa lain. Bila guru lain bersedia, coba tes tersebut kepada siswa yang mempunyai
karakteristik relatif sama. Berdasarkan tanggapan-tanggapan siswa itu, tes dapat
diperbaiki sebelum diberikan kepada siswa itu sendiri.
7. Berikan nilai untuk setiap tanggapan siswa kepada setiap item berdasarkan petunjuk
pernyataannya. Misalnya, bila digunakan lima pilihan tanggapan, maka diberikan nilai
lima pada tanggapan yang sangat setuju untuk pernyataan positip dan juga nilai lima
untuk tanggapan sangat tidak setuju untuk pernyataan negatip. Jadi untuk suatu tes 10item nilainya bisa dari 10 sampai 50. Umumnya makin tinggi nilai, makin layak
tampaknya status afektif siswa.
8. Identifikasi pernyataan-pernyataan yang tidak bisa berfungsi sejalan dengan
pernyataan lain. Bila diketahui cara menghitung koefisien korelasi, hitung saja
korelasi antara jawaban-jawaban siswa untuk setiap item (1, 2, 3, 4, atau 5, misalnya)
dan nilai totalnya atas tes (10 sampai 50). Gugurkan pernyataan-pernyataan yang
korelasinya terhadap nilai total tidak berarti secara statistik. Bila tidak diketahui cara
menghitung koefisien korelasi, pandang saja jawaban-jawaban siswa dan cobalah
mendeteksi pernyataan-pernyataan yang kepadanya siswa menanggapi secara berbeda
daripada kepada pernyataan selebihnya. Gugurkan pernyataan-pernyataan itu.
Selanjutnya tes hasil revisi diujicobakan kembali.
Betul-betul hanya semudah itu untuk menghasilkan suatu tes likert. Untuk setiap
variabel afektif yang menarik, guru memerlukan tes yang berbeda (atau setidaknya
sekumpulan item yang berbeda). Guru tentu bisa mengukur beberapa variabel afektif
dengan kumpulan item yang berbeda pada tes yangsama. Makin banyak pengalaman yang
guru kumpulkan dalam menciptakan tes-tes Likert, guru akan trampil dalam
mempersiapkan alat-alat penilaian afektif semacam itu.
Dalam Popham (1995) tidak mengisyaratkan tes-tes jenis Likert adalah satu-satunya
cara memperoleh taksiran afektif siswa. Ada program-program penilaian laporan-diri
lainnya yang agak gamblang yang dapat dipertimbangkan. Misalnya, bila seorang guru
tertarik dalam memperbaiki sikap-sikap siswa kelas 5 terhadap matematika, guru bisa saja
memberi mereka daftar sejumlah mata pelajaran itu berdarsarkan yang mereka paling
senangi. Apa yang mereka harapkan tentu saja, adalah perubahan pra pengajaran ke pasca
pengajaran yang menunjukkan bahwa siswa yang mengurutkan matematika secara lebih

Katminingsih, Pengembangan Penilaian Afektif

43

positip setelah pengajaran. Pendekatan mengurutkan mata pelajaran ini adalah juga suatu
strategi pengukuran afektif laporan-diri.
3. Pentingnya Keanoniman Sesungguhnya
Agar guru bisa menarik kesimpulan yang akurat tentang keadaan afektif siswa
berdasarkan jawaban-jawaban mereka kepada tes-tes laporan-diri, Jelas perlu bagi siswa
untuk menjawab secara jujur tes-tes afektif. Sayangnya banyak siswa yang cenderung
memberikan apa yang disebut sebagai jawaban-jawaban ABS (asal bapak senang). Dengan
kata lain, banyak siswa cenderung menjawab dengan cara yang mereka pikir guru inginkan
jawabnya. Siswa terutama cenderung memberikan jawab ABS bila mereka percaya guru
bisa melacak jawaban mereka. Karena itu untuk meningkatkan kemungkinan bahwa siswa
akan menjawab secara jujur, adalah sangat penting bahwa guru tidak hanya membuat
semua jawaban siswa anonim tetapi menggunakan prosedure sebanyak mungkin sehingga
kebanyakan siswa memandang jawaban mereka sebagai benar-benar tidak terlacak.
Menurut Phopam (1995) diantara prosedur-prosedur peningkatan-keanoniman yang
lebih sederhana namun efektif yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah sebagai
berikut:
1. Petunjuk
Pastikan petunjuk bagi tes-tes afektif menekankan pentingnya jawaban yang jujur, dan
bahwa siswa tidak boleh menulis nama pada tesnya.
2. Pembatasan tanggapan
Buat tes sedemikian sehingga satu-satunya bentuk tanggapan siswa adalah tanda
cawang, melingkari jawaban dan sebagainya. Siswa dilarang menulis kata apapun
dalam tes mereka. Karena siswa percaya guru bisa mengira siapa yang mengisi tes
dengan mengenali tulisan tangan siswa, jangan biarkan tulisan apapun pada tes afektif.
3. Pengumpulan
Buat suatu prosedur dimana siswa menyimpan tes mereka yang telah diisi dalam suatu
kotak pengumpulan atau minta seorang siswa mengumpulkan tes-tes yang telah diisi.
Umumkan sebelum siswa mulai mengisi tes itu bahwa salah satu dari metode
pengumpulan ini akan digunakan.
Guru harus mencoba memastikan bahwa siswanya benar-benar tidak berpikir ada
suatu jalan untuk melacak jawaban-jawaban mereka. Bahkan dengan keadaan itupun, ini
tidak menjamin bahwa siswa akan menjawab dengan jujur. Namun tehnik-tehnik

44 CAKRAWALA PENDIDIKAN, VOLUME 10, NOMOR 1, APRIL 2008

peningkatan-keanoniman yang dibuat sangat baik meningkatkan peluang bahwa siswa


akan menjawab secara jujur.
4. Kapan Menilai Afektif
Kapan seharusnya guru kelas menilai status afektif siswa mereka? Tampaknya
penting untuk membuat suatu ukuran dari sikap-sikap dan atau nilai-nilai siswa untuk
prapengajaran dan pascapengajaran. Bagi guru SD yang mengajar siswa dalam kelas-kelas
yang utuh, penilaian afektif dapat dilakukan pada awal tahun ajaran dan pada akhirnya
guru memungkinkan untuk melihat dengan jelas segala perubahan berarti dalam afektif
siswa.
F. Penutup
Demikian sedikit pemikiran tentang bagaimana mengembangkan penilaian afektif di
sekolah. Diantaranya dapat dilakukan dengan, (1) Prosedur penilaian laporan diri dianjurkan
sebagai cara paling praktis untuk mengumpulkan data afektif dikelas, (2) Tes-tes Likert
diusulkan sebagai alat pengumpul data yang sangat efisien untuk variabel-variabel afektif
dengan delapan langkah untuk membuat tes-tes Likert dilukiskan, (3) Keanoniman
dikenalkan sebagai komponen amat penting dari penilaian afektif yang benar dengan
prosedur peningkatan-keanoniman, (4) Juga disarankan bahwa penilaian afektif dilakukan
sebelum dan sesudah pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini, 1996, Kualitas Pendidikan dalam Pengembangan Afeksi untuk
Kurikulum Muatan Lokal, Makalah Simposium Nasional Pergeseran Paradigma
Pengembangan dan Inovasi Pendidikan, Jogyakarta.
Abdullah, Arma. 1992, Evaluasi dalam Pendidikan Djasmani, PPLPTK Depdikbud, Jakarta.
Pidarta, Made, 1996, Pengembangan Afeksi Belajar di Sekolah Dasar, Jurnal Ilmu
Pendidikan.
Popham, WJ. 1993, Educational Evaluation, Allyn and Bacon Inc. Boston.
Popham, WJ. 1995, Classroom Assessment (What Teachers Need to Know), Allyn and
Bacon Inc. Boston.

You might also like