You are on page 1of 13

MATA KULIAH AGAMA ISLAM

Konflik Intoleransi Umat Beragama di Indonesia

Disusun Oleh :
Kelompok 3 Akuntansi
Kelas CD

Nama Anggota :
1.
2.
3.
4.

Wahyu Bintara A.
Sri Athiyatin
Annesha Paramitha
Citra Mutiara

(06)
(08)
(22)
(25)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya


Jalan MT Hariyono No. 165, Malang
Tahun 2015

KONFLIK INTOLERANSI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA


A. PENGERTIAN
Definisi atau pengertian intoleransi beraga adalah Sikap atau tindakan kekerasan
terhadap pemeluk agama tertentu semata-mata karena mereka menganut keyakinan agama
yang berbeda dan atau bertolak belakang dengan keyakinan agama yang kita anut. Mengacu
pada definisi di atas, penjelaskan lebih lanjut mengenai beberapa kandungan makna serta
implikasi di dalamnya.Adapun sejumlah kandungan makna yang perlu ditegaskan secara
menguat dalam cakupan pendefinisian intoleransi beragama di atas, yaitu:
1. Intoleransi beragama merujuk kepada sikap kekerasan atas nama agama terhadap
penganut agama lain.
2. Sikap kekerasan itu mencakup baik kekerasan: fisik, psikis, politis, dan sosiologis.
3. Kekerasan fisik yang dimaksudkan adalah kekerasan berupa serangan fisik, mis.
penganiayaan (mis. pemukulan bahkan pembunuhan) terhadap para penganut agama
lain dan pengrusakan rumah-rumah pribadi maupun rumah-rumah ibadah.
4. Kekerasan psikis yang dimaksud merujuk kepada pelontaran kata-kata hinaan, cacian,
dan sejenisnya.
5. Kekerasan politis berarti menggunakan kekuasaan politis untuk menekan, membatasi,
menghalang-halangi agama lain sementara tidak ada pelanggaran hukum negara yang
mengharuskan adanya sikap atau tindakan yang demikian. Untuk poin ini, saya perlu
memberikan penjelasan. Saya menekankan "tidak adanya pelanggaran hukum" karena
kehidupan beragama itu sendiri tunduk di bawah UU. Itulah sebabnya, dalam taraf
tertentu, pemerintah berhak, atas dasar UU, melakukan tindakan preventif atau pun
tindakan hukum, khususnya bila penganut agama tertentu dinilai bertendensi
bertindak membahayakan penganut agama lainnya.
6. Kekerasan sosiologis berarti menggalang massa untuk mengkampanyekan atau
menyerukan pelarangan dan pembatasan terhadap agama tertentu dan dalam konteks
relasi antar-masyarakat, memperlihatkan tendensi alienasi (pengasingan diri) dari
penganut agama lain.
Beberapa pokok lain yang tidak dapat terkategori sebagai tindakan atau sikap intoleran :
1. Karena kehidupan beragama dalam konteks kebangsaan harus tunduk kepada UU,
maka apabila ada UU tertentu yang terlanggar oleh penganut agama tertentu lalu
mendapatkan tindakan hukum dari pihak berwewenang, maka tindakan hukum itu
sendiri bukanlah sebuah tindakan intoleran (bnd. poin 5 dalam bagian sebelumnya).
Perlu ditekankan bahwa tindakan hukum itu haruslah dilakukan oleh pihak yang
berwewenang, bukan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat, mis. ormas, atau apa
pun yang tidak menyandang hak resmi dari negara untuk tindakan tersebut.
2. Evaluasi atau koreksi teologis, logis, dan historis terhadap ajaran agama tertentu
bukan merupakan ekspresi dari sikap intoleransi beragama apalagi dianggap sebagai
pelecehan (bnd. artikel saya di sini). Poin ini terkait erat dengan paradigma toleransi
bahwa semua agama sah untuk dianut itulah sebabnya diperlukan toleransi tanpa

harus berarti bahwa semua agama sama-sama benar (bnd. artikel-artikel saya pada
link-link di bawah).
3. Penyebarluasan ajaran agama kepada pribadi atau kelompok masyarakat dalam
koridor hukum merupakan bagian dari kebebasan beragama dan bukan merupakan
ekspresi dari sikap intoleran terhadap keabsahan agama lain. Penyebarluasan agama
itu baru terkategori melanggar hukum bila itu dilakukan dengan melibatkan
pemaksaan atau tipu muslihat yang dapat dibuktikan secara hukum. Maka, merupakan
sikap intoleran dan bahkan melanggar hukum mengenai kebebasan beragama bila
kelompok agama tertentu menghembuskan isu SARA demi membatasi
penyebarluasan agama lain.
Beberapa Implikasi Berdasarkan elaborasi di atas, saya mempertimbangkan empat implikasi
yang dapat ditarik sebagaimana yang saya cantumkan di bawah ini:
1. Beberapa Implikasi Berdasarkan elaborasi di atas, saya mempertimbangkan empat
implikasi yang dapat ditarik sebagaimana yang saya cantumkan di bawah ini:
2. Tindakan hukum terhadap penganut agama tertentu semata-mata atas provokasi massa
dari agama tertentu yang lain, merupakan tindakan yang intoleran dan melanggar
hukum itu sendiri.
3. Setiap agama atau keyakinan yang sah diakui dalam NKRI harus mendapat perlakuan,
perlindungan, dan kesempatan yang setara, terlepas dari berapa banyak jumlah
pengikutnya. Undang-undang yang menjamin kebebasan beragama SAMA SEKALI
TIDAK mendasarkan distribusi keadilan berdasarkan jumlah penganut.
4. Suplemen UUD berupa peraturan pemerintah dan atau sejenisnya berkait kehidupan
beragama, harus mencerminkan prinsip keadilan pada poin 3 di atas. Suplemen
tersebut tidak boleh menguntungkan salah satu agama tertentu dan atau menyulitkan
agama-agama lainnya. Bila ada suplemen yang demikian, maka suplemen itu sendiri
merupakan suplemen yang intoleran dan harus dihapuskan.
B. Perbandingan Makna Toleransi Dilihat dari Sudut Pandang Islam dan Sosiologi
Dewasa ini, kasus-kasus yang berhubungan dengan agama semakin mencuat di
masyarakat. Kasus-kasus tersebut bisa merupakan kasus penodaan agama, pelecehan
agama, eksklusi, atau intoleransi beragama. Salah satu kasus yang harus dicermati saat ini
adalah kasus intoleransi beragama karena isu ini sedang hangat dibicarakan di media
massa. Entah itu merupakan intoleransi antar agama atau intoleransi antar sesama
pemeluk agama tertentu. Terjadinya intoleransi beragama di Indonesia memang menjadi
sebuah pertanyaan besar di tengah bangsa yang majemuk ini. Indonesia yang memiliki
beragam budaya serta kepercayaan seharusnya mampu mengembangkan toleransi
beragama yang tinggi demi menciptakan integrasi bangsa. Suka atau tidak, Indonesia
memang sebuah Negara dan bangsa yang majemuk, dan disitulah letak keistimewaan
Indonesia.

Beberapa orang sempat berkata bahwa Indonesia merupakan Negara yang penuh
toleransi. Buktinya, agama resmi yang diakui agama ada 5 dan setiap hari besar keagamaan
menjadi hari libur nasional. Tetapi apakah hanya itu tolok ukur toleransi di Indonesia?
Adanya toleransi atau intoleransi tidak bisa diukur hanya dengan hal-hal itu saja, Toleransi
beragama di Indonesia memang hal yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Tanpa toleransi,
akan timbul perpecahan dan berujung pada disintegrasi bangsa. Terjadinya intoleransi
tentunya merupakan hal yang tidak kita inginkan bersama. Bisa dikatakan hubungan antar
agama atau sesama pemeluk agama di Indonesia adalah hubungan yang konfliktual karena
mudah sekali terpecah karena isu-isu diskriminasi dan intoleransi beragama.
Pertanyaan saat ini, bagaimana bisa kasus intoleransi bisa terjadi di Indonesia?
Mengapa sudah begitu lama kasus ini sering terjadi tetapi belum ada perubahan yang berarti?
Ada beberapa penyebab yang menjadi sumber konflik menurut ilmu sosiologi. Pertama,
adanya penerbitan tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan agama. Kedua, jika adanya
usaha penyebaran agama yang progresif. Ketiga, jika pemeluk agama beribadah di tempat
yang bukan tempat ibadah. Keempat, bila ada penetapan dan penerapan peraturan pemerintah
yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama. Terakhir, adanya kecurigaan
timbal balik berkaitan dengan posisi dan peranan agama dalam Negara (Azra, 2001).
Jika melihat sumber-sumber konflik diatas dapat dikatakan bahwa semua potensi
konflik diatas pernah atau bahkan sedang terjadi di Indonesia. Isu hubungan antar agama
menjadi isu yang sangat sensitif untuk dibahas. Bahkan saat ini, bukan hanya hubungan antar
agama yang dapat memicu konflik, ternyata hubungan antar sesama pemeluk agama tertentu
pun mengalami kondisi krisis. Masyarakat akhirnya menyalahkan pemerintah yang tidak
mampu menjaga keharmonisan beragama di Indonesia karena ketidaktegasan pemerintah
dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, tugas Negara sebenarnya sangat penting
dalam menangani kasus intoleransi beragama. Pertama, Negara harus memberikan edukasi
terhadap warganya melalui pendidikan multikultural. Kedua, Negara harus menjaga atmosfir
toleransi dan memastikan bahwa warganegaranya mendapatkan perlakuan yang adil sesuai
dengan hak-haknya, tanpa adanya dominasi, diskriminasi dan eksklusi dari kelompok tertentu
terhadap individu dan kelompok. Namun pada kenyataannya, pemerintah belum mampu
menerapkan konsep ini. Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah intoleransi beragama,
kita tidak bisa hanya berpangku tangan pada keputusan dan tindakan pemerintah. Tetapi
membutuhkan kerjasama dari semua pihak, khususnya masyarakat. Salah satu upaya yang
penting dilakukan menurut ilmu sosiologi yaitu pendidikan multikultural bagi masyarakat
(yang juga diusahakan oleh Negara). Multikulturalisme sendiri adalah pemahaman dan cara
pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan
sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Sementara pendidikan multikultural
sendiri merupakan konsep yang luas, mencakup pendidikan formal, pendidikan non-formal,
bahkan pendidikan informal (Azra dan Saifuddin, 2002). Sebenarnya pendidikan
multikultural mendapatkan banyak kritik karena dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme.
Namun dibalik semua itu, pendidikan multikultural memiliki tujuan yang baik untuk
menciptakan toleransi dalam masyarakat. Jadi jika dilihat secara sosiologi, untuk

memecahkan masalah intoleransi beragama ini perlu adanya pendidikan multikultural bagi
masyarakat dan ketegasan pemerintah dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Namun yang menjadi masalah selain daripada terjadinya kasus intoleransi itu sendiri
adalah perbedaan sudut pandang mengenai makna toleransi dalam masyarakat. Kenapa hal ini
begitu penting? Karena perbedaan pendapat mengenai toleransi akan menentukan sikap
seseorang terhadap suatu kasus dan mengelompokkan dirinya dalam kelompok tertentu. Saat
ini, toleransi yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat adalah toleransi yang berarti
menerima segala macam perbedaan dalam masyarakat tanpa terkecuali serta menghargai dan
memberikan hak-haknya.
Jika dilihat dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, kita akan
menemukan sudut pandang yang sedikit berbeda. Dalam agama Islam, toleransi sendiri sudah
jelas tercantum dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya Untukmu agamamu, dan untukku
agamaku. Ayat ini menyiratkan bahwa toleransi adalah hal yang harus dilakukan selama
tidak menganggu akidah masing-masing. Artinya, kita menghargai perbedaan, mengakui
keberadaannya, dan memberikan hak-haknya. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi di
Indonesia, banyak terjadi kasus yang dianggap sebagai intoleransi beragama, tetapi justru
sebenarnya telah melecehkan agama sendiri. Sebagai contoh kita mengambil kasus
Ahmadiyah, kasus yang masih terdengar saat ini. Beberapa kelompok membela kepercayaan
Ahmadiyah dengan alasan toleransi beragama. Namun, kelompok Islam fundamental tidak
bisa menerima Ahmadiyah karena Ahmadiyah dianggap telah menyimpang dari agama Islam.
Bagi umat Islam, toleransi dapat diterima selama tidak merusak akidah Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, ketika ada kelompok Ahmadiyah, hal ini tidak dapat diterima karena kelompok
tersebut dianggap telah merusak akidah dan keluar dari Islam sehingga tidak bisa diakui
keberadaannya. Sehingga akhirnya terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit, yang satu
membela perbedaan kepercayaan dan yang satu menentang perbedaan kepercayaan ini karena
tidak bisa diterima menurut akidah. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai
toleransi bagi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Perbedaan pendapat ini akan sulit
disatukan karena masing-masing memiliki argumen sendiri.
Sebenarnya yang membuat kasus intoleransi ini tidak pernah padam karena adanya
perbedaan sudut pandang dari kelompok-kelompok yang berbeda yang memaknai toleransi
secara berbeda pula. Meskipun seandainya pemerintah telah berusaha bertindak tegas
terhadap suatu kasus intoleransi, pasti akan tetap ada pertentangan dalam masyarakat karena
ada kelompok yang menganggap kasus tersebut sebagai intoleransi, tetapi ada juga yang
menganggap kasus tersebut sebagai penegakan hukum agama (bukan masalah toleransi lagi).
Menurut penulis (yang memegang sudut pandang Islam), toleransi memang harus ditegakkan
selama tidak menganggu atau merusak suatu kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kita
tetap menerima multikulturalisme karena memang perbedaan adalah sebuah keniscayaan.
Tetapi juga tidak menghilangkan nilai-nilai yang lebih hakiki yaitu nilai-nilai agama dan
akidah. Terutama jika toleransi menyangkut agama pasti akan sangat sensitif untuk dibahas
Semoga isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tidak memecahkan bangsa Indonesia dan
kita tetap berupaya menjaga kerukunan umat beragama dalam masyarakat dengan
mengedepankan komunikasi antar pihak yang berbeda pendapat

C. PENYEBAB INTOLERANSI
1. Absolutisme adalah kesombongan intelektual
2. Ekslusivisme adalah kesombongan sosial
3. Fanatisme adalah kesombongan emosional
4. Ekstremisme adaah berlebih-lebihan dalam bersikap
5. Agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik
Hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sikap intoleransi
terhadap perbedaan identitas oleh publik Indonesia makin mengkhawatirkan, dengan
sekelompok orang menjustifikasi kekerasan terhadap kelompok yang berbeda tersebut. Meski
Indonesia dikenal sebagai negara mayoritas Muslim moderat namun belakangan banyak
militan Muslim Sunni menyerang berbagai minoritas agama. Konstitusi Indonesia melindungi
kebebasan beragama namun massa Sunni menguasai jalanan; pemerintah nyaris tak
melakukan apapun guna hentikan kekerasan tersebut.
Hak asasi manusia dan agama bisa saling mendukung; ia jelas dalam debat
openGlobalRights yang masih berlangsung. Namun kebersamaan tersebut bisa berjalan bila
tokoh-tokoh agama memiliki toleransi terhadap tafsir yang berbeda dari keyakinan mereka,
maupun terhadap keyakinan yang sangat berbeda dari yang mereka peluk. Orang luar sering
menyebut Indonesia sebagai sebuah benteng dari Islam moderat. Sebagai contoh, November
2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengunjungi Jakarta dan mengatakan,
the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesias constitution, and that remains
one of this countrys defining and inspiring characteristics.
Namun, toleransi ini sekarang dalam ancaman besar. Kaum militan Muslim Sunni sedang
meningkatkan serangan mereka terhadap kaum Budha, Katolik dan Muslim Syiah. Sedinya,
pemerintah Indonesia dan berbagai organisasi Muslim tak memberikan cukup bantuan kepada
mereka. Bulan lalu, polisi Indonesia memperketat keamanan di sekitar areal candi Borobudur
di Pulau Jawa sebagai reaksi dari ancaman militan Islam menghancurkan situs Warisan Dunia
dari UNESCO. Mereka mengedarkanancaman dan menyebut penghancuran Borobudur
akan dilakukan oleh mujahidin Khilafah Islamiyah.
Polisi menanggapi serius. Mereka tampaknya sadar dampak dari kemungkinan
tersebut serta kaitan dengan meningkatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Pada
7 Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di pusat kota Jakarta, saat
jam sibuk, melukai tiga orang. Kejadian tersebut hanya berselang beberapa minggu setelah
militan Islam bersumpah balas dendam terhadap umat Budha di Indonesia karena seranganserangan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya, oleh mayoritas Budha, di Myanmar.
Sehari kemudian, bom molotov dilempar ke dalam sebuah sekolah Katolik di Jakarta.
Beruntung karyawan sekolah mematikan kobaran api dengan air dari kamar mandi.
Warga Muslim Syiah di Pulau Madura tak terlalu beruntung. Sejak bulan Agustus
2012, ratusan pria, wanita dan anak terpaksa mengungsi ke sebuah stadion setelah lebih dari
1,000 militan Sunni menyerang perumahan mereka. Para penyerang membakar sekitar 50

rumah, menewaskan satu warga dan menyebabkan seorang lagi luka parah. Polisi Sampang
hanya menonton ketika warga Syiah lari menyelamatkan diri.
Setahun setelah serangan tersebut, pada 20 Juni 2013, sekitar 1,000 militan Sunni
mengepung stadion di mana warga Syiah berlindung. Mereka menuntut warga Syiah pindah,
keluar dari Pulau Madura. Pemerintah lantas memindahkan mereka ke Sidoarjo, Pulau Jawa,
sekitar dua jam perjalanan. Bupati Sampang Noor Tjahja menepis kecaman, Saya tidak
peduli tentang hak asasi manusia selama saya mengikuti mereka yang memilih saya.
Cobaan berat bagi kaum Syiah Pulau Madura sudah hal biasa. Di seluruh Indonesia,
agama-agama minoritas, termasuk Kristen, Syiah, dan Ahmadiyah --yang menganggap diri
mereka sebagai Muslim tetapi dipandang sebagai bidaah oleh sebagian Muslim yang lain-merupakan target pelecehan, intimidasi, ancaman dan, yang semakin meningkat, kekerasan
massal. Setara Institute, yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, merekam 220
kasus serangan terhadap minoritas pada tahun 2013, meningkat dari 91 kasus serupa pada
tahun 2007. Organisasi Muslim besar, macam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tak
mampu menangkap kekerasan tersebut. Kedua organisasi tersebut tak pernah menentang
fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 2005 yang menentukan bahwa Ahmadiyah menyimpang
dari ajaran Al Quran.
Pada Januari 2014, Dr. H. Marsudi, sekretaris jenderal Nahdlatul
Ulama,meremehkan bahaya dari intoleransi keagamaan dan kekerasan di Indonesia. Dia
menyangkal bahwa insiden-insiden tersebut berkaitan dengan agama, dan malah
menggambarkannya sebagai dampak dari faktor-faktor lain seperti hubungan asmara dan
kecelakaan lalu lintas. Sejak Presiden Suharto mundur pada 1998, setelah berkuasa lebih dari
tiga dekade, banyak orang Indonesia mengeluarkan pandangan yang lama dikekang. Di
antara mereka, sayangnya, adalah kecenderungan intoleransi terhadap agama-agama
minoritas.
Kelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam menggerakkan massa buat protes
dan serang rumah-rumah ibadah minoritas. Mereka mengatakan mereka membela umat Islam
dari orang kafir dan para penoda agama. Mereka mengganggu ibadah kaum minoritas
dengan alat pengeras suara, membuang bangkai dan kotoran hewan dan seterusnya.
Pemerintah Indonesia tak bisa menyatakan bahwa mereka tak mengetahui insideninsiden ini. Selama bertahun-tahun, organisasi hak asasi manusia di Indonesia, termasuk
Kontras, telah memperingatkan bahwa intoleransi beragama adalah penyebab terbesar kedua
dari pelanggaran HAM di Indonesia. Wahid Institute di Jakarta juga memberikan peringatan
meningkatnya siar kebencian atas nama Islam.
Sayangnya, peringatan-peringatan ini gagal mendesak pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk bertindak dan melindungi kaum minoritas. Pemerintah praktis
tak mengambil langkah hukum terhadap para pelaku pelecehan, intimidasi dan kekerasan.

Ada beberapa alasan dari kelambanan pemerintah. Diskriminasi terhadap agamaagama minoritas sangat mengakar dalam birokrasi negara. Selama era Suharto, warga
Indonesia diharuskan menaruh agama dalam KTP, memilih satu dari enam agama yang
diakui, sebuah praktek yang melakukan diskriminasi terhadap, dan menempatkan ke posisi
yang lemah, pengikut dari ratusan agama-agama minoritas. UU Administrasi Kependudukan
memberi pilihan kepada warga untuk menyatakan atau tidak, agama dan kepercayaan mereka
di KTP. Mereka yang memilih mencantumkan agama harus memilih satu dari enam agama
yang dilindungi di Indonesia. Celakanya, warga yang tidak mencantumkan agama, punya
resiko dicap tak bertuhan dan punya kemungkinan menjadi subyek dari tuduhan penistaan
agama.
Pada 2012, seorang atheis di Minangkabao, seorang ulama Syiah di Madura, dan
seorang spiritualis di Yogyakarta, dipenjara karena penistaan agama walau menaruh Islam
sebagai agama dalam KTP mereka. Ada beberapa lembaga negara secara langsung juga
melanggar hak asasi dan kebebasan beragama. Kementerian Agama, Badan Koordinasi
Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat di bawah Kejaksaan Agung, serta Majelis Ulama
Indonesia, bersama-sama mengikis kebebasan beragama di Indonesia dengan mengeluarkan
aturan maupun fatwa yang menyudutkan minoritas.
Tanggapan pemerintahan Yudhoyono selalu lemah bila tidak diam-diam mengamini
kelakukan orang-orang dari lembaga tersebut. Para pejabat dan petugas malah sering
mendukung pelecehan terhadap agama-agama minoritas, bahkan dalam beberapa kasus
menyalahkan korban ketika terjadi serangan. Pihak berwenang terang-terangan mengeluarkan
pernyataan diskriminatif, menolak mengeluarkan izin mendirikan rumah ibadah, dan
menekan kaum minoritas untuk relokasi.
Polisi sering memihak kepada militan Islam guna menghindari kekerasan. Dalam
beberapa kasus, mereka bahkan berkolusi dengan para penyerang demi alasan agama,
ekonomi, atau politik. Dalam beberapa contoh, mereka kurang mendapatkan instruksi yang
jelas dari atasan mereka atau merasa kalah jumlah dari para militan. Secara umum, tanggapan
polisi yang buruk mencerminkan kegagalan institusional dalam menegakkan hukum.
Presiden Yudhoyono, yang akan meletakkan jabatan pada Oktober 2014 setelah
menjabat selama satu dekade, merupakan bagian dari masalah. Dia hanya menciptakan
pencitraan soal toleransi beragama ketika dia gagal mengambil tindakan tegas terhadap para
pelanggar hukum.
Merupakan suatu tantangan bagi Presiden terpilih Joko Jokowi Widodo guna
mengambil langkah-langkah tegas biat memutarbalik warisan Yudhoyono soal intoleransi.
Jokowi harus menjadikan perlindungan bagi agama-agama minoritas di Indonesia sebagai
sebuah prioritas, dan memastikan pihak berwenang yang terlibat dalam pelanggaranpelanggaran tersebut memperoleh hukuman yang pantas.

D. PERSOALAN KONFLIK SOSIAL-KEAGAMAAN


Indonesia semakin kompleks dan sangat mengkhawatirkan. Nilai-nilai toleransi dan
kerukunan antarsesama dan antarumat beragama tidak lagi dijadikan pedoman bertingkah
laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tatkala nilai toleransi dan kerukunan
antar sesama tidak dikedepankan dalam suatu tindakan, maka yang terjadi adalah konflik
sosial-keagamaansertadisintegrasibangsaIndonesia.
Kasus intoleransi dalam beragama yaitu seperti kasus pembakaran masjid di Tolikara,
Papua, saat salat id. Kejadian itu dipicu karena anggapan jemaat Nasrani yang merasa
terganggu dengan speaker masjid yang akan melakukan salat id. Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi beragama di Indonesia yang terkenal dengan sangat
ramah semakin memudar sehingga menyebabkan gesekan sosial keagamaan sangat mudah
sekali terjadi di Indonesia. Menurunnya toleransi beragama sangat paradoksal sekali dengan
adanya
nilai-nilai
Pancasila
sebagai
jati
diri
bangsa
Indonesia.
Karena itu, upaya mengimplementasikan nilai-nilai kerukunan beragama menjadi
sangat signifikan sekali dalam kehidupan berbangsa. Secara definisi, istilah kerukunan
berasal dari bahasa Inggris, harmony. Kata ini dapat diartikan dengan makna kesesuaian,
keserasian, dan keselarasan. Kerukunan mempunyai tujuan dalam upaya membangun
persaudaraan
dan
perdamaiaan
antarsesama
manusia.
Ketika kerukunan ini dihubungkan dengan agama, maka kerukunan itu harus
bersanding dengan para pemeluk agama. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup
dalam suasana damai, tidak bertengkar walaupun berbeda agama. Agama di Indonesia ada
enam, yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Semua pemeluk agama di Indonesia tentunya harus menjalin keharmonisan antarumat
beragama dengan yang lain. Kerukunan beragama di sini dimaknai lebih secara filosofis,
yakni keimanan dan spiritual beragama tiap manusia tidak hanya sekadar ada dalam hati dan
internal diri manusia, akan tetapi lebih mewujudkan dalam suatu tindakan dan perbuatan
secara lahiriah, dalam bentuk yang nyata, kasih sayang dan cinta terhadap sesamanya.

Meski demikian, dalam setiap beragama umat di Indonesia tentunya tidak dapat
dilepaskan dari gesekan-gesekan sosial-keagamaan. Hampir setiap tahun benturan agama
(clash of religion) dipastikan terjadi di Indonesia, baik itu faktor pemicunya dari doktrin
agama, kekuasaan agama, kesenjangan ekonomi, maupun disebabkan kepentingan politik.
Agama sejatinya memainkan peranan penting sebagai basis iman dan moral dalam
diri manusia untuk pemersatu keumatan di antara sesamanya, tetapi terkadang tetap saja
gejolak sosial-keagamaan itu tumbuh subur di Indonesia. Disintegrasi bangsa Indonesia mulai
tampak hingga saat ini terjadi, konflik sosial-keagamaan muncul kembali di Papua.

Maka dari itu, upaya untuk merajut rasa toleransi beragama dan rasa persaudaraan
serta perdamaiaan antarpemeluk agama yang lain tidak cukup hanya dengan faktor nilai-nilai
agama saja, tetapi juga dibutuhkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, NKRI,
dan UUD 45 sebagai empat pilar kebangsaan sebagai upaya menghindari aksi kekerasan atas
nama agama.
Pancasila sebagai petunjuk kehidupan (way of life) berbangsa dan beragama tentunya
harus dijadikan pijakan oleh umat beragama di Indonesia dalam setiap bertindak dan berbuat
di antara sesama manusia. Di dalam Pancasila terdapat sila pertama, yakni mengenai
Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna ketuhanan ini sejatinya harus dipahami sebagai
perwujudan nilai-nilai toleransi, persaudaraan, dan sebagai wujud dialog internal umat
beragama sebagai upaya membangun kesadaran demi terciptanya kerukunan antarumat
beragama.
Karena itu, dalam sila pertama, setiap warga negara wajib berketuhanan Yang Maha
Esa, sikap saling menghormati dan bekerja sama antarumat beragama perlu
diimplementasikan dalam kehidupan beragama, sebagai upaya menjalankan sila pertama
dengan tujuan menghindari praktik kekerasan atas nama agama dan menciptakan kerukunan
beragama, sehingga setiap pemeluk agama mengalami kebebasan dalam menjalankan ibadah
dan
keyakinannya.
Mendiang Romo Drijarkara menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan segala sila. Eksistensi manusia dan eksistensi yang lain senantiasa relatif dan
tergantung dan mengerti Tuhan, manusia berpangkal pada pengertian dalam dan dirinya
sendiri. Jika adanya manusia itu berupa cinta dan kasih sayang, Tuhan pastilah merupakan
Mahacinta Kasih sedemikian rupa sehingga dalam Ada-Bersama. Manusia selain
memanusia dengan cinta kasih sesama, juga memanusia dengan cinta dari dan kepada Tuhan.
Dengan mengutip William James dalam The Varietes of Religious Experience, dinyatakan
bahwa manusia ini terdorong ke religi (agama) sebagai bakat dan dinamik ke arah religi.
Eksistensi manusia harus berdialog dalam hidup bersama melalui nilai-nilai pancasila
yang pada nantinya akan membawa kedamaiaan, ketenteraman, dan penuh kasih sayang
antarsesama manusia, dengan tujuan agar Tuhan pun mencintai manusia. Jika sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa ini mampu dilaksanakan dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Tentunya, kekerasan antaragama, konfilik sosial-keagamaan, dapat dihindari sejak dini.
Pemahaman sila pertama menjadi sangat siginifikan bagi umat beragama di Indonesia untuk
mencapai kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjalankan ritual Ibadah.

E. CARA MENGATASI
Dengan demikian, untuk mengatasi nilai-nilai intoleransi beragama, juga perlu
dibutuhkan suatu pemahaman dan internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika sebagai basis falsafah negara Indonesia sebagai upaya mewujudkan kesadaran atas diri
manusia Indonesia pada rasa kebangsaan dan rasa kewarganegaraan, dalam rangka untuk
mampu meredam kekerasan atas nama agama. Nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika dalam setiap pemeluk agama memiliki relevansinya yang kuat sekali dalam membangun
toleransi beragama di Indonesia.

BIODATA KELOMPOK

Lampiran 1

Nama

: Wahyu Bintara Ade Saputra

No Absen

: 06

NIM

: 15502030111020

Nama

: Sri Athiyatin

No Absen

: 08

NIM

: 15502030111022

Nama

: Annesha Paramitha

No Absen

: 22

NIM

: 15502030111036

Nama

: Citra Mutiara

No Absen

: 25

NIM

: 15502030111039

A. Soal
1. Robby: lelaki yang meninggalkan keluarganya demi berperang di syiria
mengatasnamakan agama namun menelantarkan keluarganya apakah
diperbolehkan?
2. Villa: perang antara Israel dan palestina disebabkan oleh faktor apa intoleransi
apa?
3. Luthfiyyah: bolehkan umat islam mengucapkan natal kepada pemeluk agama
Kristen?
4. Panji: perbedaan agresivisme dan ekstremisme?
5. Rivani: Bagaimana cara mengatasi konflik agama yang ada?
B. Jawaban
1. Robby : tidak karena menelantarkan keluaga tidak diperbolehkan dalam islam.
Dan masih ada orang lain yang bisa menggantikannya dibanding harus
menelantarkan keluarganya.
2. Villa : konflik tersebut disebabkan oleh perebutan wilayah, namun menurut
kelompok kami terdapat beberapa faktor intoleransi di dalamnya, seperti
absolutisme, ekslusivisme, dan ekstremisme.
3. Lutfiyah : boleh asalkan mengucapkan dengan tujuan menjaga hubungan sosial
dengan pemeluk agama Kristen.
4. Panji : agresivisme cenderung menyakiti orang lain baik secara fisik maupun
psikis. Sedangkan ekstremisme cenderung melanggar hukum namun tidak dalam
bentuk kekerasan.
5. Rivani : untuk mengatasi nilai-nilai intoleransi beragama, juga perlu dibutuhkan
suatu pemahaman dan internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai basis falsafah negara Indonesia sebagai upaya mewujudkan kesadaran atas
diri manusia Indonesia pada rasa kebangsaan dan rasa kewarganegaraan, dalam
rangka untuk mampu meredam kekerasan atas nama agama. Nilai-nilai Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika dalam setiap pemeluk agama memiliki relevansinya
yang kuat sekali dalam membangun toleransi beragama di Indonesia.

You might also like