You are on page 1of 15

JURNALISME DI ERA DIGITAL

Kautsar Restu Yuda | D 0212058

ABSTRAK
Pemilik media cetak dewasa ini mulai merambah media digital. Dengan adanya
jaringan internet, media massa memiliki jangkauan luas dan kecepatan baru untuk
sampai pada pembacanya. Pergeseran media ikut meningkatkan tingkat
persaingan antar media. Selain itu, Para pemilik media perlu menghitung ulang
biaya produksi yang mereka keluarkan. Perubahan media ikut mengubah format
penulisan suatu berita. Jumlah peralatan yang dibutuhkan untuk meliput peristiwa,
saat ini, juga menurun drastis. Saat ini, hanya dengan satu media sosial, bisa
mendapat berita dari berbagai media. Media, saat ini, mengalami penuruanan
profesionalisme. Pada blog, ada wilayah abu-abu tentang etika jurnalis. Tidak
sedikit blogger membuat tautan tak terkait yang mengarah ke blognya.
Kemudahan internet juga memunculkan banyak media massa yang tidak memiliki
kredibilitas. Masyarakat era digital ini, dihadapkan pada situasi informasi yang
berlebih dan kurangnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi
tersebut. Pada akhirnya, migrasi media cetak ke media digital, tidak selalu
memberikan keuntungan untuk semua pihak, khususnya para jurnalis di
Indonesia.

Kata Kunci: jurnalisme, media digital, kebebasan pers, new media

PENDAHULUAN
Dewasa ini komunikasi berkembang pesat dikarenakan munculnya
teknologi bernama internet. Batasan dalam berkomunikasi seperti wilayah, waktu
maupun media, saat ini nyaris hilang dikarenakan adanya internet. Jangankan
untuk berkomunikasi berbeda provinsi dan pulau, berbeda negara pun bukan lagi

masalah bagi kita untuk saling mengetahui informasi terbaru di tempat berbeda
tersebut.
Kemudahan

berkomunikasi

ini,

kemudian,

membuat

masyarakat

berbondong-bondong menggunakannya, baik menggunakan personal komputer,


ponsel pintar, dan berbagai gawai lainnya yang mereka miliki. Data per 31
Desember 2014 dari World Statistic mengungkapkan pengguna internet di dunia
terus bertambah dari tahun 1960 hingga 2014. Terdapat peningkatan jumlah
pengguna dalam kurun waktu tersebut, yaitu dari 3,034,970,564 pengguna
menjadi 7,260,652,256 pengguna. Lebih lanjut Internet World Statistics juga
mengungkapkan terdapat peningkatan jumlah pengguna, dalam kurun waktu yang
sama, di Indonesia, yaitu dari 87,792,512 pengguna menjadi 254,454,778
pengguna. (World Statistic, 2015)
Sumber lain, We Are Social, memaparkan bahwa per 31 Agustus 2015
jumlah populasi pengguna internet di dunia adalah 7.357 juta. Jumlah tersebut
menunjukkan pertumbuhan jumlah populasi pengguna internet di dunia sebesar
2,5% atau sekitar 177 juta dari tahun 2014 ke 2015. Dari sejumlah populasi di atas
terdapat 3.175 juta pengguna aktif internet di dunia, atau meningkat 7,6% (sekitar
225 juta) dalam kurun waktu yang sama.(Kemp, 2015)
Terus meningkatnya jumlah pengguna internet, khususnya yang aktif,
memiliki dampak terhadap media massa dan jurnalisme, khususnya media cetak.
Angka-angka di atas telah mengubah bentuk praktik jurnalisme hari ini. Para
pemilik media cetak mulai melirik internet untuk mempublikasi tulisan-tulisan
awak medianya, karena bagaimanapun dapur medianya harus tetap mengepul
dan hal tersebut bisa diwujudkan jika mereka mampu mempertahankan para
pembaca. Artinya mereka harus melakukan perubahan.
Perubahan ini tentu akan membawa dampak baik dari media, awak media,
produk jurnalisme maupun pembaca. Penulis, melalui artikel ini, akan membahas
hal-hal tersebut.

PEMBAHASAN
Perubahan pada Media
Pemilik media cetak dewasa ini mulai merambah media digital, atau yang biasa
disebut jaringan atau daring, baik sebagai perluasan media atau pengganti media
cetak. Dengan hadirnya World Wide Web atau bisa disebut sebagai website atau
situs, maka mengakibatkan perubahan bagi media. Media yang penulis maksud di
sini adalah media dalam konteks komunikator atau pembuat pesan.
Jangkauan Baru
Dengan adanya jaringan internet, saat ini media massa memiliki jangkauan luas
untuk sampai pada pembacanya. Mereka tidak perlu lagi menempatkan mesinmesin cetak di beberapa kota untuk menjangkau pembacanya. Mereka hanya
perlu memiliki satu server yang mumpuni di satu lokasi untuk menjangkau
pembacanya, bahkan dengan jangkauan yang lebih luas daripada sebelumnya.
Kecepatan Baru
Kecepatan merupakan salah satu kunci kesuksesan media di era digital saat ini.
Jika di media cetak wartawan menulis untuk esok hari, maka dengan adanya
media digital mereka dituntut melaporkan hasil tulisannya sesegera mungkin.
Hal ini menuntut kerja yang lebih keras dari awak media, karena keterlambatan
sekian detik bisa mengakibatkan media lain mempublikasi terlebih dahulu dan
berita mereka menjadi basi bagi para pembaca dibandingkan media lain.
Persaingan Baru
Pergeseran media ini juga ikut andil meningkatkan tingkat persaingan antar
media. Hal ini dikarenakan media yang beralih ke media digital bukan hanya
media cetak, melainkan juga media televisi dan media radio. Bisa dibayangkan
betapa ketatnya persaingan baru yang tercipta di era digital ini.

Biaya Produksi Baru


Para pemilik media, saat ini, perlu menghitung ulang biaya produksi berita
yang mereka keluarkan. Dengan beralih dari media cetak (yang memerlukan
biaya yang tidak sedikit untuk mencetak beribu-ribu eksemplar surat kabar,
oprasionalisasi alat cetak, dan sumber daya manusia di setiap lokasi
percetakan) ke media digital, tentu membuat biaya produksi yang dikeluarkan
menjadi lebih sedikit. Pemilik media hanya perlu membiayai operasionalisasi
server beserta bandwith yang dihabiskan oleh medianya dan sumber daya
manusia yang tentu saja lebih sedikit.
Kuantitas dan Kedalaman Baru
Perubahan media, cetak ke digital, ikut mengubah format penulisan suatu
berita. Berita di media digital cenderung lebih ringkas, langsung pada pokok
persoalan, dan memiliki kuantitas berita lebih banyak dalam satu bahasan atau
peristiwa, dibanding media cetak. Sehingga, berita di media cetak lebih
memiliki kedalaman karena memiliki ruang untuk menjelaskan dengan panjang
lebar. Penulisan yang ringkas pada media digital dikarenakan ketahanan
pembaca untuk tetap membaca berita di situs hnya berkisar 10-20 detik, tetapi
halaman dengan proposisi nilai yang jelas bisa menahan perhatian orang untuk
lebih lama lagi. (Nielsen, 2011) Maka dari itu, meski kebanyakan media digital
memiliki berita yang ringkas, namun masih ada beberapa media yang
menyajikan berita dalam bentuk yang panjang.
Mobilitas Baru
Jumlah peralatan yang dibutuhkan untuk meliput peristiwa juga menurun
drastis. Sebuah ponsel pintar dalam kondisi baik dapat menggantikan kamera,
peralatan rekaman suara dan laptop yang masih dibutuhkan untuk melaporkan
peristiwa bahkan hanya beberapa tahun yang lalu. (Belam, 2010)

Data Tertaut
Ketika Anda membeli satu surat kabar, misal Kompas, maka informasi yang
Anda dapatkan hanya dari Kompas dan Anda tidak mendapat informasi dari
Jawa Pos. Berbeda dengan media digital yang memiliki jaringan tak terbatas.
Anda tidak perlu membeli semua media untuk mendapat segala informasinya.
Hanya dengan membuka satu media sosial, misal Facebook, Anda bisa saja
mendapat berita dari berbagai media di beranda Facebook Anda. Selain itu
ketika Anda membuka salah satu situs media digital, misal Kompas.com, di
sekitar berita yang Anda baca akan muncul tautan-tautan ke laman berita yang
memiliki kaitan dengan berita yang ada di laman tersebut.
Dampak Media
Profesionalitas Menurun
Media belum sepenuhnya mampu menjalankan tugas menyuguhkan berita yang
berperspektif korban terutama pada pemberitaan kekerasan pada kelompok
marjinal, korban perdagangan manusia, korban kekerasan seksual dan
kelompok lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT). (Yuganto, 2015)
Media cenderung mengeksploitasi sisi sensasional korban, tidak fokus pada
pengawalan kasus hukum.
Ketidaksensitifan media juga muncul ketika menurunkan pemberitaan terkait
kelompok marjinal lainnya. Misalnya terkait penyerangan masjid di Bogor.
Banyak media secara langsung menyebut nama salah satu aliran agama, Syiah,
sebagai kelompok penyerang, hanya berdasarkan pada keterangan satu pihak.
(Yuganto, 2015) Sikap terburu-buru menurunkan fakta tidak seharusnya
terjadi karena pembentuan opini pada isu SARA bisa berdampak luas.
Blogging
Blogging adalah bentuk interaktif konten penerbitan di web. Ini berasal dari
istilah web log. Tindakan blogging berawal di akhir 1990-an, dan telah
menjadi cara yang dominan untuk mempublikasikan tentang diri empunya di

tahun 2000-an. (Mashable, 2005) Sumber lain menyebutkan bahwa blogging


adalah tindakan memposting konten pada blog (Web log atau jurnal online)
atau memposting komentar di blog orang lain. (Duermyer, 2014)
Etika Opini
Seperti yang disebutkan oleh Mashable, blog cenderung berisi tentang
segala hal yang mewakili pemilik, salah satunya opini. Opini sebenarnya
sah-sah saja dipublikasikan lewat blog. Namun apabila yang memposting
adalah seorang wartawan yang danggap memiliki kredibilitas yang baik,
maka perlu dipertanyakan, apakah itu merupakan tulisannya sebagai
seorang wartawan atau sebagai pribadi yang independen?
Kasus ini terjadi saat Jan Moir, kolumnis Daily Mail, menulis kolom
berjudul A strange, lonely and troubling death.... (Moir, 2009) Tulisan
itu berisi tentang kematian personel Boyzone, Stephen Gately, yang
dituduh oleh Moir sebagai homophobic. Publikasi digital memfasilitasi
protes secara luas terhadap tulisan tersebut, dan tautan ke artikel yang
tersebar di seluruh web, sebuah jumlah belum pernah terjadi sebelumnya
dari lebih dari 22.000 keluhan yang terdaftar ke Komisi Pengaduan Pers.
(Belam, 2010) Masalah diperparah kerena Moir mempublikasikan tulisan
tersebut tepat pada malam pemakamannya. Menanggapi banyaknya protes
tersbut Komisi Pengaduan Pers menyatakan menolak atas keluhan
terhadap Jan Moir. Mereka berargumen bahwa Mor memiliki hak untuk
berkomentar dan mengekspresikan opininya.
Masalah di atas kemudian memunculkan pertanyaan baru, perlukah adanya
etika baru berkaitan dengan penulisan opini? Dan perlukah penegasan
batasan antara fakta dan opini khususnya di blog maupun situs? Menurut
penulis perlu karena dengan adanya kasus Jan Moir tersebut, tampak ada
wilayah abu-abu tentang etika jurnalis antara menjadi pribadi atau menjadi
wartawan yang mewakili sebuah institusi media.

Tautan tak Terkait


Selain itu, ada masalah lain berkaitan dengan blogging yaitu tentang data
tertaut yang sudah penulis jelaskan di atas. Tidak sedikit blogger membuat
tautan untuk banyak kata kunci yang mengarah ke blognya, padahal kata
kunci tersebut ada yang tidak sesuai dengan isi blog mereka. Bahkan
gejala ini juga diikuti para blogger yang menggunakan domain berbayar
atau berbentuk situs.
Hal tersebut sering kali dilakukan para blogger untuk meraup sejumlah
uang dengan mengandalkan jumlah pembaca, pengunjung maupun klik.
Tentu saja hal seperti ini merugikan pembaca itu sendiri.
Media Massa yang tidak Kredibel
Internet yang memiliki akses mudah dan menawarkan ruang tak terbatas,
membuat setiap orang bisa menyampaikan informasi tanpa perlu memiliki
media yang benar-benar ada secara fisik, segala peralatan mulai untuk
menghimpun informasi sampai menyajikannya menjadi berita dan standar
operasional produksi. Hal ini kemudian berpotensi, dan sudah banyak
terjadi,munculnya banyak media massa yang tidak memiliki kredibilitas
yang baik. Banyak dari media-media tersebut mengabaikan, baik sebagian
maupun seluruh, prinsip-prinsip dalam jurnalisme. Salah satu contoh
media yang tidak kredibel adalah www.voa-islam.com. Media tersebut
pernah, memberitakan Joko Widodo tanpa memerhatikan etika, relevansi
dan cover both side. Tidak sedikit pemberitaan Jokowi yang tidak
memiliki etika dan relevansi dengan konteks saat ini, misalnya pada saat
proses pemilihan presiden (Pilpres) 2014, di mana VOA-Islam membahas
tentang retaknya keluarga dan asal usul ayah Jokowi. Bahasan tersebut
tentu saja perlu dipertanyakan relevansi terkait dengan pemilihan presiden.
Faktor etika juga dilanggar, karena memasuki ranah privasi seseorang
tanpa izin dari orang yang menjadi obyek pemberitaan. Celakanya lagi,
media tersebut banyak mencantumkan asumsi dan narasumber yang masih

dipertanyakan keabsahannya. Belum lagi, selama pemberitaan tersebut


tidak ada berita dari pihak Jokowi sendiri, sehingga tidak memiliki
keseimbangan atau cover both side.
Dampak Bagi Masyarakat: Information Overload
Masyarakat saat ini, era digital, dihadapkan pada situasi di mana jumlah interaksi
komunikasi dan informasi yang tersedia bertambah serta berkembang secara
pesat. Masyarakat pada akhirnya harus bertemu dengan media dan informasi yang
terus bertambah dari waktu ke waktu. Padahal, kapasitas kognitif masyarakat yang
terbatas tidak akan mampu untuk memproses informasi, yang membanjiri mereka,
secara efektif. Kondisi media dan informasi yang berlebih serta kurangnya
kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi tersebut seringkali disebut
sebagai information overload.
Menurut Gross (1964) menyampaikan bahwa informasi yang berlebihan terjadi
ketika jumlah input ke sistem melebihi kapasitas pengolahan. Manusia memiliki
keterbatasan kapasitas pengolahan kognitif, dan akibatnya, ketika mereka
kelebihan beban informasi, kualitas pengambilan keputusan mereka memburuk
(Rodriguez; Gummadi; dan Scholkopf, 2014: 1).
Bawden mengidentifikasi apa penjelasan yang pertama kali muncul tentang
informasi yang berlebihan dalam literatur. Kemudian ia menemukan analogi, dari
seorang pemuka agama, sebagai berikut Membuat banyak buku tak akan ada
akhirnya; dan banyak belajar melelahkan tubuh. (Hall dan Walton, 2004: 103)
Dengan adanya, media digital (bahkan masih ada blog dan situs yang tidak
kredibel) dengan kuantitas beritanya yang banyak (karena satu bahasan bisa
menjadi beberapa berita), maka bisa dipastikan masyarakat, di era digital ini, akan
mengalami information overload. Hal ini bisa menjadi lebih parah, jika masyrakat
memiliki kebiasaan mengonsumsi lebih dari satu media. Masyarakat Beijing,
misalnya, mereka membaca, rata-rata, dua surat kabar yang berbeda; beberapa
membaca sampai sepuluh. (Stockmann, 2010: 281) Saat ini, pola konsumsi media

bisa jadi bukan semakin membantu memahami persoalan atau pesan dari beberapa
media tersebut, alih-alih semakin tidak mampu menangkap inti pesan dari media.
Salah satu temuan dalam penelitian Quantifying Information Overload in Social
Media and its Impact on Social Contagions, menunjukkan bahwa asal-usul
informasi yang berlebihan dalam media sosial akibat dari kecenderungan
pengguna Twitter untuk oversubscribe, yaitu mengikuti lebih banyak pengguna
dari informasi yang dapat mereka proses. Dengan demikian, informasi yang
berlebihan di media sosial saat ini muncul dari kecenderungan pengguna untuk
bersosialisasi

(pertukaran

informasi)

dengan

banyak

pengguna

lain.

Oversubscribe ini sangat mungkin dialami masyarakat, karena tidak sedikit


masyarakat saat ini menggunakan twitter untuk memperoleh informasi dari
berbagai akun media cetak.
Selain hal tersebut, digitalisasi konten (seperti yang sempat dibahas di beberapa
paragraf sebelumya) bisa mengakibatkan information overload. Digitalisasi
konten adalah perubahan tulisan, artikel, buku dan sebagainya dari berwujud cetak
atau hardfile menjadi digital atau softfile. Digitalisasi konten ini, memungkinkan
penggandaan, produksi dan distribusi dokumen menjadi lebih cepat dengan biaya
yang jauh lebih murah ketimbang dokumen cetak. (Hemp, 2009) Hal ini didukung
oleh adanya jaringan internet, yang memungkinkan setiap orang, bahkan mereka
yang tidak cukup memiliki kemampuan memproduksi konten yang bagus, dengan
mudah memproduksi, menggandakan dan mendistribusikan dokumen yang
mereka inginkan. Kemudian hal ini meningkatkan proses pertukaran informasi
yang mengakibatkan penerimaan informasi berlebih.
Kondisi Jurnalis di Indonesia
Migrasi media cetak ke media digital, tidak selalu memberikan keuntungan untuk
semua pihak. Pemilik bisa jadi harus merespon perubahan agar medianya tetap
bisa mempertahankan eksistensinya, disatu sisi mereka ikut meraup untung
dengan perubahan ini karena media digital nyaris bisa dipastikan lebih murah
biaya produksi dan operasionalnya. Namun perlu dicatat, bahwa tidak semua

pemilik media diuntungkan oleh perubahan ini. Beberapa pemilik media tetap saja
ada yang gulung tikar dan tidak mampu bersaing di era digital ini. Ada yang
untung, ada pula yang rugi. Dalam kondisi tersebut, kemungkinan besar awak
media yang akan menjadi korban, salah satunya tentu jurnalis. Meskipun tidak
semua pemilik media menghapus produk surat kabarnya namun, perkembangan
teknologi digital membuat fokus pengelolaan beralih ke media digital dibanding
media cetak itu sendiri. Selain beralih ke media digital beberapa media cetak
harus melakukan rasionalisasi dengan memutus hubungan kerja sejumlah
jurnalisnya, agar bisa tetap bersaing atau memang sudah tidak mampu bersaing di
era digital ini. Bahkan hal ini juga terjadi di media televisi, seperti Bloomberg TV
Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja setelah berhenti operasi.
Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sejumlah
kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2015. Awal 2015, penutupan
Harian Jurnal Nasional membuat pekerja dan perusahaan berselisih setelah terjadi
PHK. Di akhir tahun, Harian Bola juga melakukan rasionalisasi dengan
memutuskan hubungan kerja sejumlah personel, dikarenakan mereka sudah tidak
lagi memproduksi edisi harian (beralih hanya terbit hari Sabtu) dan berfokus di
media online (Juara.net) . Hingga kabar Harian Sinar Harapan yang kesulitan
pendanaan. Jakarta Globe mulai menghentikan edisi cetak dan beralih ke online.
Data The Nielsen Company, merinci jumlah media yang harus gulung tikar
sepanjang tahun 2015 ini. Dari 287 media cetak (surat kabar dan majalah) yang
diamati, 54 media telah gulung tikar.(Yuganto, 2015) Harian BOLA dan Jakarta
Globe merupakan contoh nyata perubahan dari media cetak ke media digital justru
merugikan jurnalis.
Selain masalah keberlanjutan media, ada masalah yang muncul di era digital ini.
Dengan meningkatnya keterbukaan dan kemudahan informasi, khususnya setelah
adanya media digital, bukan berarti kebebasan pers terjamin. Memang baru lima
tahun yang lalu Pemerintah mengesahkan Undang-undang Keterbukaan Informasi
Publik yang sejalan dengan kebebasan pers. Namun pemerintah Indonesia
mempertahankan

undang-undang

yang

berpotensi

membatasi

kebebasan

berpendapat dan pers, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU


Intelijen dan RUU Kerahasiaan Negara yang berlawanan arus dengan UU
Keterbukaan Informasi Publik tersebut. (Yuganto, 2015)
Kondisi jurnalis yang sulit ini makin tampak dengan temuan beberapa hasil riset
tentang kebasan pers dan berekspresi. Hal ini tampak dari hasil riset yang dirilis
oleh Reporters Sans Frontiers (RSF) tentang World Press Freedom Index.
Menurut hasil riset tersebut, dalam periode tahun 2013-2015, indeks kebebasan
pers di Indonesia berada di zona merah atau difficult situation. Indonesia, masih
menurut temuan RSF, dalam tiga tahun terakhir berkutat di peringkat 139, 132,
dan 138 dari 180 negara di dunia. Indeks kebebasan pers dan berekspresi di
Indonesia, dalam kurun waktu yang sama, tercatat 41,05; 38,15; dan 40,75 dari
jangkauan 0 sampai dengan 100 poin. Berikut pengkategorian dalam World Press
Freedom Index (World Press Freedom Index, 2015) :

0
15,01
25,01
35,01
55,01

sampai 15 poin
sampai 25 poin
sampai 35 poin
sampai 55 poin
sampai 100 poin

: Situasi Baik
: Situasi Memuaskan
: Adanya Masalah-Masalah Nyata
: Situasi Sulit
: Situasi Sangat Serius

Sejak 2003, World Press Freedom Index dihitung menggunakan tujuh kriteria
penilaian (Reporters Sans Frontiers, 2015), antara lain:

Pluralisme. Mengukur derajat pendapat yang direpresentasikan dalam


media.
Independensi Media. Mengukuir sejauh mana media dapat berfungsi
secara independen dari sumber-sumber politik pemerintah, bisnis dan
kekuasaan & pengaruh keagamaan.
Lingkungan dan Penyensoran Mandiri. Analisis lingkungan di mana
para jurnalis dan penyedia berita & informasi lainnya beroperasi.
Kerangka Legislatif. Analisis dampak kerangka legislatif yang mengatur
segala kegiatan berita dan informasi.
Transparansi. Menukur transparansi lembaga-lembaga dan prosedurprosedur yang memengaruhi produksi berita dan informasi.

Infrastruktur. Mengukur kualitas infrastruktur yang mendukung produksi


berita dan informasi.
Pelanggaran-Pelangaran. Mengukur tingkat kekerasan dan gangguan
selama periode penilaian.

Sumber riset lainnya, Freedom House, mengungkapkan hal yang kurang lebih
sama. Pada periode lima tahun terakhir (2010-2015), Indonesia berada pada
kategori partly free dengan skor 52 (2010) dan 49 (2015) dari 0 (free) untuk 100
(worst of the worst). Berdasar jangkauan tersebut, artinya Indonesia berada di
kategori partly free namun berselisish tipis dengan kategori not free. Freedom
House, dalam menentukan nilai, menggunakan tiga kriteria lingkungan, yaitu:
hukum, politik dan ekonomi. (Freedom House, 2015)
Sepanjang tahun 2015 ini, jumlah kekerasan terhadap jurnalis meningkat
dibanding tahun lalu. Ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2015,
meningkat dibanding tahun 2014 yang mencapai 40 kejadian. (Yuganto, 2015)
Pada akhirnya, Jurnalis di Indoensia tidak sepenuhnya bisa ikut mendapat
keuntungan dari perubahan di era digital ini. Justru lebih banyak kerugian yang
mereka alami.
KESIMPULAN
Terus meningkatnya jumlah pengguna internet saat ini, mengakibatkan adanya
perubahan dan dampak pada bidang jurnalistik. Perubahan tersebut terjadi mulai
dari tataran media, pembaca, hingga jurnalis. Perubahan pada tataran media,
antara lain: jangkauan baru, kecepatan baru, persaingan yang baru, biaya produksi
yang baru, kuantitas dan kedalaman berita, mobilitas baru, dan data tertaut.
Dengan masih berkembangnya teknologi digital, tidak menutup kemungkinan
akan ada lagi perubahan pada media nantinya. Perubahan pada media, memang
tidak dapat ditoleransi lagi karena bagaimanapun pembaca sudah beralih ke media
digital di dunia maya. Hanya saja, perlu dipikirkan, cara menanggulangi
dampaknya.

Selain itu ada dampak terhadap media seperti menurunnya profesionalisme dan
munculnya blogging. Perlu adanya penegakan aturan terhadap adanya penurunan
profesionalitas jurnalis. Selain itu munculnya blogging, perlu disikapi hati-hati
oleh masyrakat, jangan sampai media yang tidak memiliki kredibilitas justru
menjadi referensi dalam mencari informasi. Dari sisi perlu adanya aturan baru
yang mengakomodasi kegiatan blogging ini, khusunya perihal etika dalam
blogging.
Bagi masyarakat, dampak yang cukup serius dari perubahan media adalah
terjadinya information overload. Bagaimana cara masyarakat memfilter banjir
informasi yang ada saat ini memang masih menjadi pertanyaan. Dengan tetap
mencari informasi di media konvensional, bisa jadi akan membantu masyarakat
untuk tetap memiliki kedalaman informasi dan hal tersebut bisa menjadi
membantu masyarakat dalam memfilter segala informasi yang membanjiri
mereka.
Pada saat yang bersamaan, perubahan media, dari cetak ke digital, memberi
masalah tersendiri bagi para jurnalis di Indonesia. Ancaman pemecatan dan
kekerasan saat bertugas masih menjadi masalah serius di era digital ini. Perihal
ancaman pemecatan, menurut penulis, agak sulit dicarikan solusinya, karena
perubahan memang selalu tidak menyenangkan. Bisa jadi, hal ini adalah bentuk
seleksi alam bagi para jurnalis, karena bagi media yang memilih mengurangi
pegawainya tentu tidak akan memilih jurnalis yang handal untuk dikeluarkan.
Memang bisa jadi hal sebaliknya berlaku, namun adakah cara lain untuk melawan
kondisi tersebut ?
Ancaman kekerasan yang muncul dan masih bisa meningkat menunjukkan, bahwa
kebebasan di era digital ini tidak berlaku untuk semua pihak. Perlu adanya
penegakan hukum yang lebih tegas untuk menekan angka kekerasan yang ada.
Kebebasan pers Indonesia sendiri, menurut berbagai riset di atas, belum berada di
posisi yang baik. Perlu ada upaya dari segala pemangku kepentingan untuk
memperbaiki kondisi ini, bila perlu ada uji materi dan revisi terhadap undang-

undang yang ada. Menurut penulis, dengan dalih apapun, kebebasan di era digital
ini harus sejalan dengan kebebasan pers, khususnya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Belam, M. (2010). Journalism in The Digital Age: Trends, Tools And
Technologies.
Didapat
dari:
http://www.theguardian.com/help/insideguardian/2010/apr/14/
journalism-trends-tools-technologies
Duermyer, R. (2014). Blogging - What is the Meaning of Blogging?. Didapat dari:
http://
homebusiness.about.com/od/homebusinessglossar1/g/blogging.htm
Freedom House. (2015). Freedom of the Press 2015. Didapat dari:
https://freedomhouse.org/
report/freedom-press/freedom-press2015#.VoHMR3YrK00
Hall, A., Walton, G. (2004). Information overload within the health care system: a
literature review. Health Information and Libraries Journal, 21, 102108. Didapat dari: http://onlinelibrary. wiley.com/ doi/10.1111/j.14711842.2004.00506.x/pdf
Hemp, P. (2009). Death by Information Overload. Harvard Business Review.
Didapat
dari:
http://www.ocvets4pets.com/archive17/Death_by_Information_Overloa
d_-_HBR.org.pdf
Moir, J. (2009). A strange, lonely and troubling death....Didapat dari:
http://www.dailymail .co.uk/debate/article-1220756/A-strange-lonelytroubling-death--.html
Mashable. (2005). Blogging. Didapat dari: http://mashable.com/category/blogging/
Nielsen, J. (2011). How Long Do Users Stay on Web Pages?. Didapat dari:
https://www .nngroup .com/articles/how-long-do-users-stay-on-webpages/
World Press Freedom Index. (2015). 2015 World Press Freedom Index. Didapat
dari: https:// index.rsf.org/#!/
Rodriguez, M. G., Gummadi, K. P., & Scholkopf, B. (2014). Quantifying
Information Overload in Social Media and its Impact on Social Contagions.

Didapat

dari:

https://www.mpi-sws.org/~gummadi/papers/icwsm2014-

overload.pdf
Stockmann, D. (2010). Who Believes Propaganda? Media Effects during the AntiJapanese Protests in Beijing. Journal China Quarterly, 202, 269-289.
doi:10.1017/ S0305741010000238
Kemp, S. (2015). Digital, Social and Mobile in 2015. Didapat dari:
http://wearesocial.sg/ blog/2015/01/digital-social-mobile-2015/
World

Statistic. (2015). Internet Users. Didapat dari: http://worldstatistics.org/index-res.php?code=IT.NET.USER?name=Internet


%20users#top-result

Yuganto, S. P. (2015). 2015: Musim Gugur Pers, Aksi Polisi Menjadi-jadi.


Didapat dari: http://aji.or.id/read/berita/479/2015-musim-gugur-persaksi-polisi-menjadi-jadi.html

You might also like