Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Pemilik media cetak dewasa ini mulai merambah media digital. Dengan adanya
jaringan internet, media massa memiliki jangkauan luas dan kecepatan baru untuk
sampai pada pembacanya. Pergeseran media ikut meningkatkan tingkat
persaingan antar media. Selain itu, Para pemilik media perlu menghitung ulang
biaya produksi yang mereka keluarkan. Perubahan media ikut mengubah format
penulisan suatu berita. Jumlah peralatan yang dibutuhkan untuk meliput peristiwa,
saat ini, juga menurun drastis. Saat ini, hanya dengan satu media sosial, bisa
mendapat berita dari berbagai media. Media, saat ini, mengalami penuruanan
profesionalisme. Pada blog, ada wilayah abu-abu tentang etika jurnalis. Tidak
sedikit blogger membuat tautan tak terkait yang mengarah ke blognya.
Kemudahan internet juga memunculkan banyak media massa yang tidak memiliki
kredibilitas. Masyarakat era digital ini, dihadapkan pada situasi informasi yang
berlebih dan kurangnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi
tersebut. Pada akhirnya, migrasi media cetak ke media digital, tidak selalu
memberikan keuntungan untuk semua pihak, khususnya para jurnalis di
Indonesia.
PENDAHULUAN
Dewasa ini komunikasi berkembang pesat dikarenakan munculnya
teknologi bernama internet. Batasan dalam berkomunikasi seperti wilayah, waktu
maupun media, saat ini nyaris hilang dikarenakan adanya internet. Jangankan
untuk berkomunikasi berbeda provinsi dan pulau, berbeda negara pun bukan lagi
masalah bagi kita untuk saling mengetahui informasi terbaru di tempat berbeda
tersebut.
Kemudahan
berkomunikasi
ini,
kemudian,
membuat
masyarakat
PEMBAHASAN
Perubahan pada Media
Pemilik media cetak dewasa ini mulai merambah media digital, atau yang biasa
disebut jaringan atau daring, baik sebagai perluasan media atau pengganti media
cetak. Dengan hadirnya World Wide Web atau bisa disebut sebagai website atau
situs, maka mengakibatkan perubahan bagi media. Media yang penulis maksud di
sini adalah media dalam konteks komunikator atau pembuat pesan.
Jangkauan Baru
Dengan adanya jaringan internet, saat ini media massa memiliki jangkauan luas
untuk sampai pada pembacanya. Mereka tidak perlu lagi menempatkan mesinmesin cetak di beberapa kota untuk menjangkau pembacanya. Mereka hanya
perlu memiliki satu server yang mumpuni di satu lokasi untuk menjangkau
pembacanya, bahkan dengan jangkauan yang lebih luas daripada sebelumnya.
Kecepatan Baru
Kecepatan merupakan salah satu kunci kesuksesan media di era digital saat ini.
Jika di media cetak wartawan menulis untuk esok hari, maka dengan adanya
media digital mereka dituntut melaporkan hasil tulisannya sesegera mungkin.
Hal ini menuntut kerja yang lebih keras dari awak media, karena keterlambatan
sekian detik bisa mengakibatkan media lain mempublikasi terlebih dahulu dan
berita mereka menjadi basi bagi para pembaca dibandingkan media lain.
Persaingan Baru
Pergeseran media ini juga ikut andil meningkatkan tingkat persaingan antar
media. Hal ini dikarenakan media yang beralih ke media digital bukan hanya
media cetak, melainkan juga media televisi dan media radio. Bisa dibayangkan
betapa ketatnya persaingan baru yang tercipta di era digital ini.
Data Tertaut
Ketika Anda membeli satu surat kabar, misal Kompas, maka informasi yang
Anda dapatkan hanya dari Kompas dan Anda tidak mendapat informasi dari
Jawa Pos. Berbeda dengan media digital yang memiliki jaringan tak terbatas.
Anda tidak perlu membeli semua media untuk mendapat segala informasinya.
Hanya dengan membuka satu media sosial, misal Facebook, Anda bisa saja
mendapat berita dari berbagai media di beranda Facebook Anda. Selain itu
ketika Anda membuka salah satu situs media digital, misal Kompas.com, di
sekitar berita yang Anda baca akan muncul tautan-tautan ke laman berita yang
memiliki kaitan dengan berita yang ada di laman tersebut.
Dampak Media
Profesionalitas Menurun
Media belum sepenuhnya mampu menjalankan tugas menyuguhkan berita yang
berperspektif korban terutama pada pemberitaan kekerasan pada kelompok
marjinal, korban perdagangan manusia, korban kekerasan seksual dan
kelompok lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT). (Yuganto, 2015)
Media cenderung mengeksploitasi sisi sensasional korban, tidak fokus pada
pengawalan kasus hukum.
Ketidaksensitifan media juga muncul ketika menurunkan pemberitaan terkait
kelompok marjinal lainnya. Misalnya terkait penyerangan masjid di Bogor.
Banyak media secara langsung menyebut nama salah satu aliran agama, Syiah,
sebagai kelompok penyerang, hanya berdasarkan pada keterangan satu pihak.
(Yuganto, 2015) Sikap terburu-buru menurunkan fakta tidak seharusnya
terjadi karena pembentuan opini pada isu SARA bisa berdampak luas.
Blogging
Blogging adalah bentuk interaktif konten penerbitan di web. Ini berasal dari
istilah web log. Tindakan blogging berawal di akhir 1990-an, dan telah
menjadi cara yang dominan untuk mempublikasikan tentang diri empunya di
bisa jadi bukan semakin membantu memahami persoalan atau pesan dari beberapa
media tersebut, alih-alih semakin tidak mampu menangkap inti pesan dari media.
Salah satu temuan dalam penelitian Quantifying Information Overload in Social
Media and its Impact on Social Contagions, menunjukkan bahwa asal-usul
informasi yang berlebihan dalam media sosial akibat dari kecenderungan
pengguna Twitter untuk oversubscribe, yaitu mengikuti lebih banyak pengguna
dari informasi yang dapat mereka proses. Dengan demikian, informasi yang
berlebihan di media sosial saat ini muncul dari kecenderungan pengguna untuk
bersosialisasi
(pertukaran
informasi)
dengan
banyak
pengguna
lain.
pemilik media diuntungkan oleh perubahan ini. Beberapa pemilik media tetap saja
ada yang gulung tikar dan tidak mampu bersaing di era digital ini. Ada yang
untung, ada pula yang rugi. Dalam kondisi tersebut, kemungkinan besar awak
media yang akan menjadi korban, salah satunya tentu jurnalis. Meskipun tidak
semua pemilik media menghapus produk surat kabarnya namun, perkembangan
teknologi digital membuat fokus pengelolaan beralih ke media digital dibanding
media cetak itu sendiri. Selain beralih ke media digital beberapa media cetak
harus melakukan rasionalisasi dengan memutus hubungan kerja sejumlah
jurnalisnya, agar bisa tetap bersaing atau memang sudah tidak mampu bersaing di
era digital ini. Bahkan hal ini juga terjadi di media televisi, seperti Bloomberg TV
Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja setelah berhenti operasi.
Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sejumlah
kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2015. Awal 2015, penutupan
Harian Jurnal Nasional membuat pekerja dan perusahaan berselisih setelah terjadi
PHK. Di akhir tahun, Harian Bola juga melakukan rasionalisasi dengan
memutuskan hubungan kerja sejumlah personel, dikarenakan mereka sudah tidak
lagi memproduksi edisi harian (beralih hanya terbit hari Sabtu) dan berfokus di
media online (Juara.net) . Hingga kabar Harian Sinar Harapan yang kesulitan
pendanaan. Jakarta Globe mulai menghentikan edisi cetak dan beralih ke online.
Data The Nielsen Company, merinci jumlah media yang harus gulung tikar
sepanjang tahun 2015 ini. Dari 287 media cetak (surat kabar dan majalah) yang
diamati, 54 media telah gulung tikar.(Yuganto, 2015) Harian BOLA dan Jakarta
Globe merupakan contoh nyata perubahan dari media cetak ke media digital justru
merugikan jurnalis.
Selain masalah keberlanjutan media, ada masalah yang muncul di era digital ini.
Dengan meningkatnya keterbukaan dan kemudahan informasi, khususnya setelah
adanya media digital, bukan berarti kebebasan pers terjamin. Memang baru lima
tahun yang lalu Pemerintah mengesahkan Undang-undang Keterbukaan Informasi
Publik yang sejalan dengan kebebasan pers. Namun pemerintah Indonesia
mempertahankan
undang-undang
yang
berpotensi
membatasi
kebebasan
0
15,01
25,01
35,01
55,01
sampai 15 poin
sampai 25 poin
sampai 35 poin
sampai 55 poin
sampai 100 poin
: Situasi Baik
: Situasi Memuaskan
: Adanya Masalah-Masalah Nyata
: Situasi Sulit
: Situasi Sangat Serius
Sejak 2003, World Press Freedom Index dihitung menggunakan tujuh kriteria
penilaian (Reporters Sans Frontiers, 2015), antara lain:
Sumber riset lainnya, Freedom House, mengungkapkan hal yang kurang lebih
sama. Pada periode lima tahun terakhir (2010-2015), Indonesia berada pada
kategori partly free dengan skor 52 (2010) dan 49 (2015) dari 0 (free) untuk 100
(worst of the worst). Berdasar jangkauan tersebut, artinya Indonesia berada di
kategori partly free namun berselisish tipis dengan kategori not free. Freedom
House, dalam menentukan nilai, menggunakan tiga kriteria lingkungan, yaitu:
hukum, politik dan ekonomi. (Freedom House, 2015)
Sepanjang tahun 2015 ini, jumlah kekerasan terhadap jurnalis meningkat
dibanding tahun lalu. Ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2015,
meningkat dibanding tahun 2014 yang mencapai 40 kejadian. (Yuganto, 2015)
Pada akhirnya, Jurnalis di Indoensia tidak sepenuhnya bisa ikut mendapat
keuntungan dari perubahan di era digital ini. Justru lebih banyak kerugian yang
mereka alami.
KESIMPULAN
Terus meningkatnya jumlah pengguna internet saat ini, mengakibatkan adanya
perubahan dan dampak pada bidang jurnalistik. Perubahan tersebut terjadi mulai
dari tataran media, pembaca, hingga jurnalis. Perubahan pada tataran media,
antara lain: jangkauan baru, kecepatan baru, persaingan yang baru, biaya produksi
yang baru, kuantitas dan kedalaman berita, mobilitas baru, dan data tertaut.
Dengan masih berkembangnya teknologi digital, tidak menutup kemungkinan
akan ada lagi perubahan pada media nantinya. Perubahan pada media, memang
tidak dapat ditoleransi lagi karena bagaimanapun pembaca sudah beralih ke media
digital di dunia maya. Hanya saja, perlu dipikirkan, cara menanggulangi
dampaknya.
Selain itu ada dampak terhadap media seperti menurunnya profesionalisme dan
munculnya blogging. Perlu adanya penegakan aturan terhadap adanya penurunan
profesionalitas jurnalis. Selain itu munculnya blogging, perlu disikapi hati-hati
oleh masyrakat, jangan sampai media yang tidak memiliki kredibilitas justru
menjadi referensi dalam mencari informasi. Dari sisi perlu adanya aturan baru
yang mengakomodasi kegiatan blogging ini, khusunya perihal etika dalam
blogging.
Bagi masyarakat, dampak yang cukup serius dari perubahan media adalah
terjadinya information overload. Bagaimana cara masyarakat memfilter banjir
informasi yang ada saat ini memang masih menjadi pertanyaan. Dengan tetap
mencari informasi di media konvensional, bisa jadi akan membantu masyarakat
untuk tetap memiliki kedalaman informasi dan hal tersebut bisa menjadi
membantu masyarakat dalam memfilter segala informasi yang membanjiri
mereka.
Pada saat yang bersamaan, perubahan media, dari cetak ke digital, memberi
masalah tersendiri bagi para jurnalis di Indonesia. Ancaman pemecatan dan
kekerasan saat bertugas masih menjadi masalah serius di era digital ini. Perihal
ancaman pemecatan, menurut penulis, agak sulit dicarikan solusinya, karena
perubahan memang selalu tidak menyenangkan. Bisa jadi, hal ini adalah bentuk
seleksi alam bagi para jurnalis, karena bagi media yang memilih mengurangi
pegawainya tentu tidak akan memilih jurnalis yang handal untuk dikeluarkan.
Memang bisa jadi hal sebaliknya berlaku, namun adakah cara lain untuk melawan
kondisi tersebut ?
Ancaman kekerasan yang muncul dan masih bisa meningkat menunjukkan, bahwa
kebebasan di era digital ini tidak berlaku untuk semua pihak. Perlu adanya
penegakan hukum yang lebih tegas untuk menekan angka kekerasan yang ada.
Kebebasan pers Indonesia sendiri, menurut berbagai riset di atas, belum berada di
posisi yang baik. Perlu ada upaya dari segala pemangku kepentingan untuk
memperbaiki kondisi ini, bila perlu ada uji materi dan revisi terhadap undang-
undang yang ada. Menurut penulis, dengan dalih apapun, kebebasan di era digital
ini harus sejalan dengan kebebasan pers, khususnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Belam, M. (2010). Journalism in The Digital Age: Trends, Tools And
Technologies.
Didapat
dari:
http://www.theguardian.com/help/insideguardian/2010/apr/14/
journalism-trends-tools-technologies
Duermyer, R. (2014). Blogging - What is the Meaning of Blogging?. Didapat dari:
http://
homebusiness.about.com/od/homebusinessglossar1/g/blogging.htm
Freedom House. (2015). Freedom of the Press 2015. Didapat dari:
https://freedomhouse.org/
report/freedom-press/freedom-press2015#.VoHMR3YrK00
Hall, A., Walton, G. (2004). Information overload within the health care system: a
literature review. Health Information and Libraries Journal, 21, 102108. Didapat dari: http://onlinelibrary. wiley.com/ doi/10.1111/j.14711842.2004.00506.x/pdf
Hemp, P. (2009). Death by Information Overload. Harvard Business Review.
Didapat
dari:
http://www.ocvets4pets.com/archive17/Death_by_Information_Overloa
d_-_HBR.org.pdf
Moir, J. (2009). A strange, lonely and troubling death....Didapat dari:
http://www.dailymail .co.uk/debate/article-1220756/A-strange-lonelytroubling-death--.html
Mashable. (2005). Blogging. Didapat dari: http://mashable.com/category/blogging/
Nielsen, J. (2011). How Long Do Users Stay on Web Pages?. Didapat dari:
https://www .nngroup .com/articles/how-long-do-users-stay-on-webpages/
World Press Freedom Index. (2015). 2015 World Press Freedom Index. Didapat
dari: https:// index.rsf.org/#!/
Rodriguez, M. G., Gummadi, K. P., & Scholkopf, B. (2014). Quantifying
Information Overload in Social Media and its Impact on Social Contagions.
Didapat
dari:
https://www.mpi-sws.org/~gummadi/papers/icwsm2014-
overload.pdf
Stockmann, D. (2010). Who Believes Propaganda? Media Effects during the AntiJapanese Protests in Beijing. Journal China Quarterly, 202, 269-289.
doi:10.1017/ S0305741010000238
Kemp, S. (2015). Digital, Social and Mobile in 2015. Didapat dari:
http://wearesocial.sg/ blog/2015/01/digital-social-mobile-2015/
World