You are on page 1of 6

SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUMAT ?

Oleh: Syaikh Masyhur Hasan Salman


Sebagian orang beranggapan, bahwa shalat qabliyah (sebelum) Jumat ada dan
berasal dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Kebiasaan ini dilakukan setelah
adzan pertama dikumandangkan, yaitu ketika khatib belum naik mimbar. Ironisnya,
shalat ini dikomando oleh muadzin dengan menyerukan shalat sunnah Jumat.
Benarkah perbuatan ini berasal dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ?
Merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa pada
hari Jumat, beliau Shallallahu alaihi wa sallam selalu keluar dari rumahnya
Shallallahu alaihi wa sallam dan naik ke mimbar. Setelah muadzin
mengumandangkan adzan lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah.
Andaikan shalat sunnah sebelum Jumat benar adanya, niscaya Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam orang pertama yang melakukannya serta
memerintahkan kepada para sahabat Radhiyallahu anhum setelah adzan
dikumandangkan.
Pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada adzan selain ketika
khatib di atas mimbar. Imam Syafii rahimahullah berkata,Dan aku menyukai satu
adzan dari seorang muadzin ketika (khatib) di atas mimbar, bukan banyak muadzin,
kemudian beliau menyebutkan dari As Saib bin Yazid, bahwa pada mulanya adzan
pada hari Jumat dilaksanakan ketika seorang imam duduk di atas mimbar. (Ini
terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar.
(Ketika masa) pemerintahan Utsman dan kaum muslimin menjadi banyak, Utsman
memerintahkan adzan yang kedua, maka dikumandangkanlah adzan tersebut dan
menjadi tetaplah perkara tersebut. [Al Um 1/224]
Memang benar, bahwa orang yang mengadakan dan memerintahkan adzan
kedua adalah Ustman Radhiyallahu anhu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil
Barr rahimahullah, Adapun adzan pada hari Jumat, maka aku tidak mengetahui
adanya perbedaan, bahwa Utsmanlah orang pertama yang mengerjakan dan
memerintahkannya. [Tamhid 10/247].
Akan tetapi perlu diingat, bahwa adzan yang diadakan oleh Utsman
Radhiyallahu anhu tersebut dilakukan di Zaura, yaitu sebuah rumah di pasar. Dan
inipun, beliau lakukan karena berbagai sebab. Diantaranya:
1. Pada saat pemerintahan Utsman Radhiyallahu anhu, keberadaan manusia sangat
banyak dan letak rumah-rumah mereka berjauhan. [Umdatul Qari 3/233].
2. Adzan tersebut dilakukan untuk memberitahukan manusia, bahwa Jumat telah
tiba.
3. Agar manusia bergegas untuk menghadiri khutbah. [Al Jami Li Ahkamil Quran
18/100].
Inilah diantara penyebab yang mendorong Ustman Radhiyallahu anhu mengadakan
adzan tersebut. Akan tetapi, sebab-sebab tersebut jarang kita temui pada masa
sekarang ini. Terlebih, hampir setiap melangkah, kita temukan banyak sekali masjid
yang mengumandangkan adzan Jumat. Sedangkan pada zaman Ustman

Radhiyallahu anhu, masjid hanya satu dan rumah-rumah berjauhan letaknya dari
masjid tersebut karena banyaknya, sehingga suara muadzin yang menyerukan
adzan dari pintu masjid tidak sampai ke pendengaran mereka. Lain halnya pada
masa kita sekarang ini, banyak sekali masjid yang memasang pengeras suara di
setiap menara, sehingga memungkinkan terdengarnya suara muadzin. Dengan
begitu, tercapailah tujuan yang mendorong Utsman untuk mengadakan adzan
tersebut, yaitu untuk memberitahukan manusia.
Jika keadaannya demikian, maka mengambil adzan Utsman Radhiyallahu
anhu untuk tujuan yang hampir tercapai, tidak boleh. Terlebih -seperti dalam kondisi
sekarang ini- merupakan penambahan terhadap syariat Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam tanpa sebab yang dapat dibenarkan. Seakan inilah yang
menyebabkan Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu ketika berada di Kufah, beliau
mencukupkan diri dengan sunnah dan tidak menggunakan adzan yang diadakan
oleh Utsman Radhiyallahu anhu, sebagimana hal ini dikatakan oleh Qurthubi di
dalam tafsirnya. [Al Jami Li Ahkamil Quran 18/100].
Dari penjelasan ini, kami dapat menarik kesimpulan, bahwa kami berpendapat,
untuk mencukupkan diri dengan memakai adzan (yang berasal dari) Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam, dan ini dikumandangkan ketika imam naik ke mimbar,
karena hilangnya sebab yang dapat dibenarkan bagi penambahan Utsman dan
untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [Al Ajwibah An Nafiah,
hal 10-11].
Jika telah jelas, bahwa adzan yang dilakukan Utsman Radhiyallahu anhu
bukan di masjid, maka menjadi terang bagi kita, bahwa shalat sunat qabliyah Jumat,
tidak ada waktunya. Andaikata shalat tersebut disyariatkan oleh Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam, maka para sahabat Radhiyallahu anhum akan mengerjakannya,
dan tentu pula akan kita ketahui lewat riwayat-riwayat dari mereka.
Apabila ada yang mengatakan sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan orang yang masuk ke masjid untuk melakukan shalat dua
rakaat, (ketika) beliau sedang berkhutbah, tetapi (orang tersebut) belum
mengerjakannya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya :

Berdirilah dan shalatlah dua rakaat.


Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah dan Jabir, keduanya mengatakan,

Sulaik Al Ghathafani datang, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang


berkhutbah, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, Apakah
engkau telah shalat dua rakaat, sebelum datang (kesini)? Sulaik menjawab, Belum.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Shalatlah dua rakaat, dan
ringankanlah pada keduanya. [Sunan Ibnu Majah, 1/353354 no. 1114].

Abu Syamah berkata, Sebagian pengarang (kitab) pada masa kami berkata,
Ucapan (Nabi) Sebelum engkau datang (kesini) menunjukkan, bahwa dua rakaat
tersebut adalah shalat sunnah qabliyah Jumat, bukan (shalat) tahiyyat masjid.
Sepertinya, perkataan ini disebabkan kerancuan memahami makna ucapan
Rasulullah Sebelum engkau datang (kesini) yaitu sebelum masuk ke masjid, dan
(menunjukkan) bahwa orang tersebut telah shalat (qabliyah Jumat) di rumah.
Padahal bukan begitu!
Sesungguhnya, hadits tersebut dikeluarkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih

Muslim serta lainnya, dan tidak ada satupun yang menggunakan lafadz
(sebelum engkau datang).
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, dari Jabir, ia berkata

Seseorang datang dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada
hari Jumat, maka Nabi berkata kepada orang tersebut, Apakah engkau telah
shalat? Ia menjawab, Belum. Nabi berkata, Bangun dan shalatlah! [Shahih
Bukhari, 2 / 407 no. 930 dan 2 / 412 no. 931]
.
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir pula, ia berkata,

Sulaik Al Ghathafani datang pada hari Jumat, sementara Rasulullah Shallallahu


alaihi wa sallam duduk di atas mimbar dan duduklah Sulaik sebelum ia melakukan
shalat. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata,Sudahkan engkau
shalat dua rakaat? Dia menjawab, Belum Beliau bersabda, Wahai, Sulaik!
Bangun dan rukulah (shalatlah) dua rakaat. Dan Sulaik pun mengerjakannya.
[Shahih Muslim, 2 /597 no. 59, hadits dari Jabir]

Ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ( bangunlah!) menunjukkan,


bahwa Sulaik tidak merasa (untuk shalat), kecuali ia siap-siap duduk, dan ia pun
duduk sebelum mengerjakan shalat, sehingga Rasulpun berbicara kepadanya
dengan memerintahkan untuk bangun. Dan boleh jadi Sulaik shalat dua rakaat
dekat dengan pintu, tatkala ia masuk pertama kali ke masjid. Kemudian ia mendekat
kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mendengar khutbah, maka
Rasul bertanya kepadanya Sudahkah engkau shalat? Ia menjawab,Belum.
Dan perkataan Rasulullah ( sebelum engkau datang),
sebagaimana yang dikeluarkan Ibnu Majah, boleh jadi maknanya adalah sebelum
engkau mendekat kepadaku untuk mendengar khutbah, dan bukan sebelum
engkau masuk masjid. Maka sesungguhnya, shalatnya sebelum masuk masjid tidak
disyariatkan, bagaimana (mungkin) ia ditanya tentang hal itu?! Dan yang
diperintahkan setelah masuknya waktu Jumat adalah bergegas menuju tempat
shalat dan tidak disibukkan dengan hal lain. Sebelum masuk waktu, tidak benar

mengerjakan sunat, dengan persangkaan bahwa hal tersebut disyariatkan. [Al Baits
Ala Inkar Al Bida Wal Hawadits, hlm. 95]
Kebenaran ucapan tersebut didukung dengan berbagi hal.
Pertama : Al Hafizh Al Muzi berkata tentang lafazh Ibnu Majah () . Ini
merupakan kekeliruan perawi (periwayat). Sebenarnya, ucapan tersebut adalah
( sudahlah engkau mengerjakan shalat sebelum duduk?), maka orang yang
mengganti (lafazh-lafazh tersebut) salah.
Al Muzi berkomentar pula,Dan kitab Ibnu Majah, sering dipergunakan oleh para
Masyaikh yang kurang memperhatikannya. Berbeda dengan Shahih Bukhari dan
Muslim. Para penghapal hadits sering menggunakan dan sangat memperhatikan
keorisinilan dan pergantiannya. Oleh karenanya, di dalam (kitab Ibnu Majah) terjadi
kesalahan dan penggantian.
Kedua : Sesungguhnya, orang-orang yang mencurahkan perhatian terhadap
keotentikan kitab-kitab sunan sebelum dan sesudahnya, serta mengarang dalam
masalah ini dari kalangan pakar hukum dan sunnah serta lainnya, tidak satupun dari
mereka menyebutkan hadits ini dalam sunnah qabliyah Jumat. Akan tetapi, mereka
menyebutkannya dalam sunnahnya mengerjakan tahiyat masjid ketika imam di atas
mimbar. Dan dengan hadits tersebut, mereka membantah orang yang melarang
mengerjakan sunnah tahiyat masjid dalam keadaan ini. Seandainya yang
dimaksudkan adalah qabliyah Jumat, maka akan disebutkan di sana, serta
keterangan tentang qabliyah Jumat, keterjagaan dan kepopulerannya lebih utama
dibanding tahiyat masjid. [Zaadul Maad 1/435].
Ketiga : Bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan melakukan
shalat dua rakaat, kecuali kepada orang yang masuk masjid, karena hal ini
merupakan shalat tahiyat masjid. Andaikan merupakan sunnah Jumat, niscaya
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan pula kepada orang-orang
yang duduk dan tidak mengkhususkan perintah tersebut kepada orang yang masuk
saja. [Zaadul Maad 1/435 dan Al Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits, hlm. 95]
Kemudian, apabila ada yang mengatakan Kemungkinan kuat Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam shalat qabliyah di rumahnya setelah zawalnya (tergelincirnya)
matahari, kemudian keluar.
Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, Seandainya itu terjadi, niscaya para
istri beliau akan menceritakannya, sebagaimana mereka menceritakan semua shalat
beliau di rumahnya. Baik shalat siang maupun malam, bagaimana shalat tahajudnya
dan bangun pada malam hari. Tentang hal itu (qabliyah Jumat, red.) tidak benar
sedikitpun. Dan pada asalnya adalah ketidakadaanya. (Ini) menunjukkan, bahwa hal
tersebut tidak terjadi dan tidak disyariatkan.
Adapun sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Abdurrahman bin
Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Yakub, 108) dari Ishaq bin
Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita kepada kami, Ashim Al
Ahwal dari Nafi dari Aisyah secara marfu dengan lafazh,

Rasulullah biasa shalat dua rakaat sebelum Jumat di rumahnya.


Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah merusaknya. Dia adalah al aswari al
bashari. Ibnu Muayyan berkata tentang Ishaq, Dia seorang pendusta, pemalsu
hadits. (Lihat Al Ajwibah An Nafiah, hlm. 28). Pendusta ini, hanya seorang diri
dalam meriwayatkan hadits ini.
Kemudian apabila ada yang berkata Sesungguhnya, Jumat merupakan shalat
dzuhur yang diringkas. Maka seperti Dzuhur, Jumat pun memiliki sunnah qabliyah.
Menanggapi pendapat seperti ini, Syaikh Masyur Hasan Salman berkata: Perkataan
ini keluar dari kebenaran dari berbagai sisi.
1. Tidak boleh menggunakan qiyas dalam pensyariatan shalat. [Lihat Bidayah
Mujtahid 1/172) dan Al Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits, hlm. 92].
2. Sesungguhnya, sunnah adalah apa yang berasal dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, berupa ucapan ataupun perbuatan, atau sunnah khalifah beliau yang
mendapat petunjuk. Dan dalam permasalahan kita ini, tidak termasuk hal
tersebut. Tidak boleh menetapkan sunnah-sunnah seperti dalam hal ini dengan
qias. Karena penetapan qias adalah termasuk hal-hal yang sebab perbuatannya
diakui pada zaman Nabi, sehingga bila Rasulullah tidak melakukan dan tidak
mensyariatkannya, maka meninggalkan perbuatan tersebut merupakan sunnah.
3. Jumat merupakan shalat yang berdiri sendiri yang berbeda dengan shalat
Dzuhur dalam hal jahr (mengeraskan bacaan), bilangan rakaat, khutbah dan
syarat-syaratnya namun waktu pelaksanaannya sama dengan zhuhur. Dan
bukanlah menyamakan sesuatu karena ada unsur kesamaan lebih baik dari
pada membedakan, bahkan dalam hal ini membedakan antara zhuhur dan
jumat lebih baik karena segi perbedaannya lebih banyak. [Zaadul Maad 1/432].
4. Dalam Shahih-nya, Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Umar
berkata,

Aku shalat bersama Nabi dua rakaat sebelum Dzuhur, dua rakaat setelah Dzuhur,
dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat setelah Isya serta dua rakaat setelah
Jumat.
Riwayat tersebut menunjukkan, bahwa Jumat -menurut mereka- bukanlah
Dzuhur. Seandainya Jumat masuk dalam nama Dzuhur, niscaya jumat tidak perlu
disebut. Kemudian dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya sunnah sebelum
Jumat, melainkan sesudahnya saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sholat sunnat
sebelum Jumat. [Al Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits, 94].
5. Anggaplah bahwa Jumat merupakan Dzuhur yang qashar (diringkas). Akan
tetapi Nabi n tidak pernah melakukan shalat sunnah Dzuhur yang diringkas
dalam safarnya, baik sebelum maupun setelahnya. Beliau hanya mengerjakan
sunnat-sunnat Dzuhur ketika mengerjakan dhuhur secara sempurna. Maka, jika
keberadaan sunnah dalam Dzuhur yang diringkas berbeda dengan Dzuhur yang

genap, maka apa yang disebutkan oleh mereka menjadi bantahan bagi mereka,
bukan membela mereka.
Oleh sebab itulah, mayoritas (jumhur) imam sepakat, bahwa tidak ada sunnah
qabliyah Jumat yang ditentukan dengan waktu dan bilangan tertentu. Karena
sunnah itu hanya boleh ditetapkan dengan ucapan ataupun perbuatan Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak
memerintahkan shalat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya.
Demikian ini merupakan madzhab Imam Malik dan Imam Syafii serta kebanyakan
pengikutnya. Ini pula yang populer di kalangan madzhab Imam Ahmad. [Fatawa Ibnu
Taimiyyah, 1/136 dan Majmunah Ar Rasail Al Kubra, 2/167-168]
Al Iraqi berkata, Dan aku tidak mengetahui ketiga imam (tersebut) menganjurkan
(shalat) sunnah qabliyah Jumat.
Muhadits Nashiruddin Al Albani memberi keterangan dengan ucapannya:
Oleh karena itu, perbuatan yang disangka sunnah ini (sebelum Jumat) tidak
disebutkan dalam kitab Al Um milik Imam As syafii, tidak pula di dalam kitab Al
Masail oleh Imam Ahmad. Serta tidak pula di kitab-kitab milik selain mereka dari
para imam terdahulu, sepanjang pengetahuanku.
Oleh karena itu, aku (syaikh Al Albani) katakana, Sesungguhnya orang-orang
yang mengerjakan shalat sunnah (qabliyah, red.) ini, tidak mengikuti Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam. Tidak pula mengikuti para imam. Akan tetapi, mereka
taqlid kepada orang-orang belakangan, yang keberadaan mereka sama seperti
orang-orang yang mengikuti mereka yaitu sama-sama mengekor (bertaqlid), bukan
seorang mujtahid. Maka (sungguh) mengherankan orang yang mengekor (bertaqlid)
kepada pengerkor. [Al Ajwiba An Nafiah, 32].
KESIMPULAN
Dari penjelasan di muka, menjadi jelaslah bagi kita, kesalahan orang-orang
yang mengerjakan shalat diantara dua adzan pada hari Jumat, baik dua rakaat
maupun empat rakaat dan semisalnya; dengan keyakinan, bahwa hal itu merupakan
sunnah sebelum Jumat, sebagaimana mereka shalat sunnah sebelum Dzuhur dan
mengeraskan niat mereka.
Karena nash-nashnya jelas, bahwa yang benar ialah tidak ada shalat sunnah
sebelum Jumat. Dan tidak ada sesudah kebenaran, melainkan kesesatan. Kita
mohon kepada Allah Subhanahu wa Taala agar ditunjuki pengetahuan agama, dan
diselaraskan untuk mengamalkannya dalam keadaan ikhlas dan mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Amin.
(Diolah dan diringkas oleh Abu Azzam Bin Hady dari kitab Al Qaulul Mubin Fi
Akhthail Mushalin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, hlm. 351-361)

You might also like