You are on page 1of 4

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Penanganan Terkini Bronkiolitis


pada Anak
Irwan Junawanto, Ivon Lestari Goutama, Sylvani
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya
Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas bawah pada bayi yang umumnya disebabkan oleh infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV), ditandai
dengan gejala peradangan akut, edema, dan nekrosis dinding sel epitel saluran napas kecil disertai peningkatan produksi mukus. Rendahnya
kadar vitamin D turut berperan dalam perkembangan penyakit ini. Gejala dan tanda umumnya dimulai dari batuk dan pilek, dapat berlanjut
ke takipneu, mengi, ronki, penggunaan otot bantu napas, dan/atau napas cuping hidung. Tatalaksana suportif meliputi oksigenasi dan hidrasi;
penggunaan nebulisasi, antivirus, antibiotik, dan fisioterapi masih kontroversial.
Kata kunci: Bronkiolitis, Respiratory Syncytial Virus, vitamin D

ABSTRACT
Bronchiolitis is a disorder commonly caused by Respiratory Syncytial Virus (RSV) in infants, characterized by acute inflammation, edema, and
necrosis of epithelial-cell-lining in small airways, and increased mucus production. Low vitamin D may influence the progress of the disease.
Signs and symptoms typically begin with rhinitis and cough, which may progress to tachypnea, wheezing, rales, use of accessory muscles, and/
or nasal flaring. Management includes oxygenation and hydration; application of nebulization, antivirus, antibiotic, and physiotherapy are still
controversial. Irwan Junawanto, Ivon Lestari Goutama, Sylvani. Diagnosis and Recent Management of Children Bronchiolitis
Keywords: Bronchiolitis, Respiratory Syncytial Virus, vitamin D

PENDAHULUAN
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil
atau bronkiolus yang disebabkan oleh virus,
biasanya dialami lebih berat pada bayi dan
ditandai dengan obstruksi saluran napas
dan mengi. Penyebab paling sering adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode
mengi dapat terjadi beberapa bulan setelah
serangan bronkiolitis.1,2
Episode pertama serangan, yang biasanya
paling berat, terjadi paling sering pada bayi
usia 2 sampai 6 bulan. Kejadian bronkiolitis
dapat terjadi pada bulan pertama kehidupan
dan episode berulang akan terjadi di tahun
kedua kehidupan oleh virus yang sama.3

Di AS kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi


pada anak laki-laki, pada anak yang tidak
diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat
penduduk.1,2,3 Risiko lebih tinggi pada anak
dari ibu usia muda atau ibu yang merokok
selama kehamilan.2,3

anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti


penyakit saluran napas bawah.3 Meskipun
tingkat serangan RSV menurun seiring dengan
bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran
napas bawah pada anak terinfeksi RSV tidak
berkurang hingga usia 4 tahun.1,3

Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah


RSV (Tabel 1).1,2,3 Sekitar 75,000 125,000 anak
di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat
akibat infeksi RSV setiap tahun.1,2,3 Infeksi
saluran napas bawah disebabkan oleh RSV
pada 22,4 dari 100 anak pada tahun pertama
kehidupan. 1,3 Dari semua infeksi RSV pada

PATOFISIOLOGI
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas yang disebabkan
virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis
akut ditandai obstruksi bronkiolus yang
disebabkan oleh edema, penimbunan lendir,
serta debris-debris seluler. Proses patologis

Tabel 1. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak3


Frekuensi Kejadian Berdasarkan Kelompok Umur

Agen Penyebab

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease
of infancy, umumnya mengenai bayi dengan
insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan;
lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun
pertama kehidupan.1,3
Alamat Korespondensi

Respiratory Syncytial Virus


Adenovirus
Parainfluenza viruses
Rhinoviruses
Metapneumovirus
Mycoplasma pneumonia

0 2 tahun

2 5 tahun

5 9 tahun

9 15 tahun

++++
++
++
+
++
+

+++
++
++
++ sampai +++
+
++

++
+
++
++ sampai +++
+
+++

++
0
++
+++
0
++++

++++ =sangat sering, +++ =sering, ++ =kadang-kadang, + =tidak umum, 0 =tidak diketahui

email: junawantoirwan@gmail.com

CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016

427

TINJAUAN PUSTAKA
yang terjadi akan mengganggu pertukaran
gas normal di dalam paru. Ventilasi yang makin
menurun pada alveolus akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia dini.4
DIAGNOSIS
Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara
lain mengi (yang tidak membaik dengan tiga
dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi
memanjang, hiperinflasi dinding dada,
hipersonor pada perkusi, retraksi dinding
dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit
makan, menyusu atau minum.4
Klinisi harus dapat menegakkan diagnosis
bronkiolitis dan menilai derajat keparahan
berdasarkan
riwayat
penyakit
serta
pemeriksaan klinis; pemeriksaan laboratorium
dan radiologis tidak harus rutin dilakukan.
Di samping itu, faktor risiko penyakit lain
perlu diperhatikan, seperti usia kurang dari
12 minggu, riwayat prematuritas, penyakit
jantung-paru
yang
mendasari,
serta
imunodefisiensi.5
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada
anak adalah asma.6 Kedua penyakit ini sulit
dibedakan pada episode pertama, namun
adanya kejadian mengi berulang, tidak adanya
gejala prodromal infeksi virus, dan adanya
riwayat keluarga dengan asma dan atopi
dapat membantu menegakkan diagnosis
asma.6
Beberapa penyakit-penyakit lain harus
dibedakan dari bronkiolitis (Tabel 2).3
Kelainan anatomi seperti cincin vaskuler
dapat menyebabkan obstruksi saluran napas
dan gangguan inspirasi ataupun ekspirasi. 3
Benda asing harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.3 Penyebab mengi
lain yang sering pada bayi muda adalah
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).3
Pneumonia bakterialis harus dibedakan
dengan bronkiolitis karena terkait dengan
perbedaan tatalaksana, walaupun pada
pneumonia jarang sekali ditemukan mengi. 3
Tabel 2. Diagnosis banding mengi pada anak3
Infeksi

428

Respiratory Syncytial Virus (RSV),


Human
metapneumovirus,
Parainfluenza, Adenovirus, Influenza,
Rhinovirus, Bocavirus, Chlamydia
trachomatis,
Tuberculosis,
Histoplasmosis, Papilomatosis

Asma

Transient wheezer, Persistent wheezer,


Late onset wheezer

K e l a i n a n Abnormalitas saluran napas sentral


Anatomi
(malacia laring, trakea, dan/atau
bronki,
trakeoesofageal
fistula,
laryngeal cleft)
Kompresi saluran napas (tumor,
benda asing)
Anomali saluran napas intrinsik
(hemangioma
saluran
napas,
malformasi cystic adenomatoid, kista
bronchial atau paru, emfisema lobar
kongenital, benda asing, penyakit
jantung kongenital)
Imunodefisiensi (Imunoglobulin A
deficiency, defisiensi -cell, AIDS,
bronkiektasis)
K e l a i n a n Fibrosis kistik, diskinesia silier primer,
M u c o c i l i a r y bronkiektasis
Clearance
S i n d r o m a Gastroesofageal refluks, disfungsi
Aspirasi
faringeal
Lainnya

Displasia
bronkopulmoner,
bronkiolitis obliterans, gagal jantung,
anafilaksis, luka bakar

TATALAKSANA
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting,
sehingga pengobatan biasanya hanya
suportif.7
Prinsip Pengobatan:
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua
anak dengan mengi dan distres pernapasan
berat, metode yang direkomendasikan adalah
dengan nasal prongs, kateter nasal, atau
kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen
30 40%.2 Apabila tidak ada oksigen, anak
harus ditempatkan dalam ruangan dengan
kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan
uap dingin (mist tent) untuk mencairkan
sekret di tempat peradangan.7 Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang.2
Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan
maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan
kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive
Care Unit (PICU).8 Penggunaan kateter nasal
serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan
mengurangi kebutuhan obat sedasi. 8
Pemberian oksigen suplemental pada anak
dengan bronkiolitis perlu memperhatikan
gejala klinis serta saturasi oksigen anak,
karena tujuannya adalah untuk pemenuhan
kebutuhan oksigen anak yang terganggu
akibat obstruksi yang mengganggu perfusi
ventilasi paru.5,9 Transient oxygen desaturation
pada anak umum terjadi saat anak tertidur,
durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada
kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam
hitungan jam sampai hari.9

2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi
asidosis metabolik dan respiratorik yang
mungkin timbul dan mencegah dehidrasi
akibat keluarnya cairan melalui mekanisme
penguapan tubuh (evaporasi) karena pola
pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika
tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan
rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui
lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma
ke paru oleh lambung yang terisi cairan.7
Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau
intravena perlu pada anak bronkiolitis yang
tidak dapat dihidrasi oral. 5
3. Bronkodilator dan Kortikosteroid
Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid
sistemik tidak harus diberikan.5 Beberapa
penelitian meta-analisis dan systematic reviews
di Amerika menemukan bahwa bronkodilator
dapat meredakan gejala klinis, namun tidak
mempengaruhi penyembuhan penyakit,
kebutuhan rawat inap, ataupun lama
perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak
ada keuntungannya, sedangkan efek samping
takikardia dan tremor dapat lebih merugikan.5
Sebuah penelitian randomized controlled
trial di Eropa pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason
oral pada anak dengan bronkiolitis dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap, lama
perawatan di rumah sakit, dan durasi
penyakit.10
Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan
pada anak yang dirawat.5 Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia
saluran napas untuk membersihkan lendir
dan debris-debris seluler yang terdapat pada
saluran pernapasan. 5
4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus
statik. Penggunaannya masih kontroversial
baik efektivitas maupun keamanannya.6
The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin
pada keadaan yang diperkirakan akan
menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis
kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi,
dan pada bayi-bayi prematur.7 Ribavirin
dapat menurunkan angka morbiditas dan

CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016

TINJAUAN PUSTAKA
mortalitas penderita bronkiolitis dengan
penyakit jantung jika diberikan sejak awal.1,3,7
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara
nebulizer aerosol dengan dosis 20 mg/mL
diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 37 hari. 7
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian
besar kasus disebabkan oleh virus, kecuali
bila dicurigai ada infeksi tambahan.5 Terapi
antibiotik sering digunakan berlebihan
karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang
tidak terdeteksi,5 padahal hal ini justru akan
meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman
yang resisten terhadap antibiotik tersebut;
sehingga penggunaannya diusahakan hanya
berdasarkan indikasi.7 Pemberian antibiotik
dapat dipertimbangkan untuk anak dengan
bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanik untuk mencegah gagal
napas.5 Antibiotik yang dipakai biasanya yang
berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.7
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis
dengan teknik vibrasi ataupun perkusi (5
trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih
baik selain pengurangan durasi pemberian
terapi oksigen.5 Penghisapan sekret daerah
nasofaring untuk meredakan sementara
kongesti nasal atau obstruksi saluran napas
atas, namun sebuah studi retrospektif
menyatakan deep suctioning berhubungan
dengan durasi rawat inap lebih lama pada
anak usia 2 12 bulan.5
PENCEGAHAN
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV
adalah higiene perorangan meliputi desinfeksi
tangan menggunakan alcohol based rubs
atau dengan air dan sabun sebelum dan
sesudah kontak langsung dengan pasien
atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien.5 Perlindungan terhadap paparan asap
rokok serta polusi udara serta pemberian ASI

eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian


bronkiolitis.5 Perlu dilakukan edukasi anggota
keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan
pencegahan bronkiolitis sesuai evidence-base. 5
Palivizumab merupakan salah satu terapi
profilaksis terhadap infeksi paru, terutama
yang disebabkan RSV, dapat diberikan
terutama pada anak yang memiliki risiko
tinggi terinfeksi agen tersebut.5,6 Palivizumab
perlu dibatasi pada anak yang dilahirkan
sebelum usia kehamilan 29 minggu, kecuali
dengan penyakit jantung yang signifikan atau
penyakit paru kronik akibat prematuritas; dosis
maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis
diberikan 1 dosis setiap bulan, dapat diberikan
5 bulan berturut-turut selama musim RSV
pada anak yang memiliki kualifikasi diberi
palivizumab pada tahun pertama kehidupan.5,6
Vitamin D adalah salah satu faktor yang
berperan
dalam
perjalanan
penyakit
bronkiolitis.11,12 Studi prospektif Birth Cohort
oleh Camargo, dkk. pada 922 anak-anak
Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya
kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) darah
tali pusat berkaitan dengan peningkatan risiko
infeksi pernapasan dan mengi berulang.13
Selain itu, studi case-control oleh Karatekin,
dkk. menemukan bahwa pada bayi baru lahir
dengan kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH]
D) <10 ng/mL memiliki risiko lebih besar
terkena infeksi saluran napas bawah.14 Hal
ini terkait dengan peran vitamin D dalam
aktivitas sistem kekebalan bawaan.15 Sistem
kekebalan tubuh bawaan, khususnya aktivitas
cathelicidin, membantu mencegah infeksi
bakteri dan virus.16 Wang, et al, menunjukkan
bahwa vitamin D adalah pemicu langsung
gen cathelicidin ini.17 The American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan konsumsi
vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru
lahir dilanjutkan sampai memasuki usia
remaja.18

risiko asma bronkiale pada anak-anak


yang awalnya menderita bronkiolitis,
meskipun tidak jelas apakah karena
bronkiolitis atau faktor risiko lain seperti
kecenderungan genetik untuk asma dan
faktor lingkungan seperti asap rokok.7
Pada sebagian besar kasus, mengi biasanya
disebabkan oleh virus.1,3,7 Riwayat episode
mengi berulang dan keluarga atau riwayat
penyakit asma, riwayat alergi, atau eksim
membantu mendukung diagnosis asma.7
Beberapa bayi akan memiliki episode
berulang mengi selama masa kanak-kanak.
Tatalaksana episode mengi yang dipicu virus
sama dengan asma bronkial.4
RINGKASAN
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran
pernapasan terutama pada tahun pertama
kehidupan, dengan insidens puncak pada usia
2 sampai 6 bulan. Diagnosis bronkiolitis dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit serta
pemeriksaan klinis, berupa mengi, ekspirasi
memanjang, hiperinflasi dinding dada,
hipersonor pada perkusi, retraksi dinding
dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit
makan, menyusu atau minum. Pemeriksaan
laboratorium dan radiografis tidak harus
rutin. Bronkiolitis terutama harus dibedakan
dari asma dan pneumonia bakterial karena
penanganannya
berbeda.
Tatalaksana
bronkiolitis umumnya suportif karena sifat
infeksi virusnya umumnya self limiting.

PROGNOSIS
Beberapa studi telah mencatat peningkatan

DAFTAR PUSTAKA :
1.

Watts KD, Goodman DM. Wheezing in infants: Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB
Saunders; 2011. p. 1456-9.

2.

World Health Organization. Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the management of common childhood illnesses. 2nd ed. 2013.

3.

Welliver RC. Bronchiolitis and infectious asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009. p. 277-85

4.

Mansbach JM. Respiratory viruses in bronchiolitis and their link to recurrent wheezing and asthma. Clin Lab Med. 2009; 29(4): 74155.

5.

Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE, Gadomski AM, et al. Clinical practice guideline: The diagnosis, management, and prevention of
bronchiolitis. American Academy of Pediatrics 2014; 134(5):1474-502.

CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016

429

TINJAUAN PUSTAKA
6.

Committee on Infectious Diseases and Bronchiolitis. Updated huidance for pavlizumab prophylaxis among infants and young children at increased risk of
hospitalization for respiratory syncytial virus infection. American Academy of Pediatrics 2014;134:415-20.

7.

Technical updates of the guidelines on the Integrated Management of Childhood Illness (IMCI): Evidence and recommendations for further adaptations. Geneva:
WHO; 2005.

8.

Mayfield S, Bogossian F, OMalley L, Schibler A. High-flow nasal cannula oxygen therapy for infants with bronchioltis: Pilot study. J Paediatrics and Child Health.
2014;50(5):373-8. doi: 10.1111/jpc.12509.

9.

Walsh P, Rothenberg SJ. American Academy of Pediatrics 2014 bronchiolitis guidelines: Bonfire of the evidence. Western J Emergency Med. 2015; 16(1):85-8.

10. Plint AC, Johnson DW, Patel H, Wiebe N, Correll R, Brant R, et al. Epinephrine and Dexamethasone in Children with Bronchiolitis. N Engl J Med 2009; 360:2079-89.
doi: 10.1056/NEJMoa0900544
11. Carroll KN, Gebretsadik T, Griffin MR, Wu P, Dupont WD, Mitchel EF, et al. Increasing burden and risk factors for bronchiolitisrelated medical visits in infants enrolled
in a state health care insurance plan. Pediatrics 2008;122(1): 5864. doi: 10.1542/peds.2007-2087.
12. Simoes EA. Environmental and demographic risk factors for respiratory syncytial virus lower respiratory tract disease. J Pediatr. 2003;143(5 Suppl):11826.
[PubMed:14615710]
13. Camargo CA Jr, Rifas-Shiman SL, Litonjua AA, Rich-Edwards JW, Weiss ST, Gold DR, et al. Maternal intake of vitamin D during pregnancy and risk of recurrent wheeze
in children at 3 y of age. Am J Clin Nutr. 2007;85(3):78895. [PubMed:17344501]
14. Karatekin G, Kaya A, Salihoglu O, Balci H, Nuholu A. Association of Subclinical Vitamin D decifiency in Newborn with Acute Lower Respiratory Infection and Their
Mother. Eur J Clin Nutr. 2009;63(4):473-7. [Epub 2007 Nov 21].
15. Black PN, Scragg R. Relationship between serum 25-hydroxyvitamin d and pulmonary function in the third national health and nutrition examination survey. Chest
2005;128(6):37928. [PubMed: 16354847]
16. J, Dockery D, Speizer FE. Low levels of dietary vitamin D intake and pulmonary function in adolescents [abstract]. Proc Am Thoracic Soci. 2006;3 A 526
17. Wang TT, Nestel FP, Bourdeau V, Nagai Y, Wang Q, Liao J, et al. Cutting edge: 1,25-dihydroxyvitamin D3 is a direct inducer of antimicrobial peptide gene expression.
J Immunol 2004;173(5):290912. [PubMed: 15322146]
18. Walker VP, Modlin RL. The vitamin D connection to pediatric infections and immune function. International Pediatric Research Foundation, Inc; 2009.

430

CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016

You might also like