You are on page 1of 20

BELAJAR BUDI PEKERTI DARI TOKOH KESEHATAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Budi Pekerti


Prodi D-IV Keperawatan Semester V
Dosen Pembimbing : Budi Mulyono, M.Pd

Disusun oleh:
Andri Susilowati

P07120213005

Arsinda Prastiwi

P07120213007

Dewi Masithoh

P07120213011

Eka Rini Susanti

P07120213014

Intan Mirantia

P07120213022

Nia Handayani

P07120213027

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A; Latar Belakang

Seorang perawat adalah sebagai tenaga kesehatan yang memberikan


pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Dalam menghadapi pasien,
seorang perawat harus mempunyai etika, karena yang dihadapi perawat adalah
juga manusia. Perawat harus bertindak sopan, murah senyum dan menjaga
perasaan pasien. Ini harus dilakukan karena perawat adalah membantu proses
penyembuhan pasien bukan memperburuk keadaan. Dengan etika yang baik
diharapkan seorang perawat bisa menjalin hubungan yang lebih akrab dengan
pasien. dengan hubungan baik ini, maka akan terjalin sikap saling
menghormati dan menghargai di antara keduanya.
Etika dapat membantu para perawat mengembangkan kelakuan dalam
menjalankan kewajiban, membimbing hidup, menerima pelajaran, sehingga
para perawat dapat mengetahui kedudukannya dalam masyarakat dan
lingkungan perawatan. Dengan demikian, para perawat dapat mengusahakan
kemajuannya secara sadar dan seksama.
Untuk menumbuhkan etika yang baik budi pekerti harus dibentuk sejak
dini dalam membentuk moral yang baik pula. Oleh karena itu dalam
perawatan teori dan praktek dengan budi pekerti saling memperoleh, maka 2
hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan.
Banyak tokoh-tokoh keperawatan yang menginspirasi yang
memberikan contoh pengabdian budi pekerti di dalam dunia keperawtan.
Makalah kali ini akan mengulas salah satu tokoh keperawatan yang
mempunyai jiwa moral budi pekerti yang tinggi yang berpengaruh sekali
dalam perubahan kesehatan dalam dunia keperawatan yaitu Suster Apung.
B; Rumusan Masalah
1; Bagaimana perjalanan hidup Suster Apung?
2; Apa saja keteladanan dalam pengabdian Suster Apung?
C; Tujuan
1; Untuk mengetahui perjalanan hidup seorang tokoh Suster Apung.
2; Untuk mengetahui keteladanan dalam pengabdian Suster Apung.

BAB II
BIOGRAFI TOKOH
SUSTER APUNG

Sesungguhnya seorang pahlawan bukan hanya orang yang membela


negara dengan mengangkat senjata. Seseorang yang membaktikan diri pada
kepentingan orang banyak juga layak disebut pahlawan. Di alam Indonesia yang
merdeka ini, nyatanya masih ada segelintir pahlawan yang tengah berjuang. Tidak
seperti para pejabat yang selalu menggembar-gemborkan keberhasilan mereka,
perjuangan pahlawan yang mengabdi dalam diam ini dilakukan tanpa sorotan
media.
Ibu Hj. Andi Rabiah atau yang lebih dikenal dengan nama Suster Apung
adalah salah satu perawat Indonesia yang mengabdikan hidupnya untuk tugas
yang mulia di daerah kepulauan terpencil. Ibu Rabiah lahir di Sigeri, Kabupaten
Pangkajene Kepulauan (Pangkep) pada 29 Juni 1957. Ibu rabiah mengenal dunia
kesehatan melalui sang nenek sehingga untuk mewujudkan cita-citanya bisa
bekerja di dunia kesehatan setamat SMP, Ia melanjutkan sekolah di Penjenang
Kesehatan (PK), sekolah kesehatan setingkat SPK. Masuk ke PK pada 1975-1976.
Lulus PK, April 1977, Ibu Rabiah jadi pegawai negeri sipil di Puskesmas Liukang
Tanggaya, Pulau Saputan, Kecamatan Liukang Tanggaya, Kabupaten Pangkep.
Status itu masih disandangnya hingga kini. Di Puskesmas Liukang Tanggaya,
wilayah kerjanya meliputi 25 pulau. Di antaranya, Pulau Sumanga, Saelo,
Satanga, dan Kapoposan Bali. Ke-25 pulau itu dibagi jadi lima wilayah, yaitu
wilayah tengah, barat, utara, timur, dan selatan.
Rabiah menggambarkan, jarak tempuh dari wilayah tengah ke wilayah
timur berkisar 11 jam perjalanan dengan transportasi air. Bahkan, ada pulau yang
letaknya lebih dekat ke Lombok ketimbang ke Makassar sehingga perjalanan
butuh waktu lebih lama lagi. "Kalau mau ke pulau untuk mengobati pasien,
berangkat pagi-pagi dengan perahu motor. Rata-rata baru sampai di tujuan saat
magrib," kata Rabiah. Selama menjalani pekerjaanya sebagai perawat, tak jarang
Rabiah didera kesulitan.
Pertama kali bertugas di sekitar perairan Sulawesi Selatan yakni kepulauan
Flores, masyarakat sekitar masih sepenuhnya belum percaya dengan penanganan
medis dengan gaya modern. Arus informasi yang belum terkakses dengan baik,

pendidikan masyarakat sekitar yang rendah dan pengetahuan yang terbatas


menyebabkan sebagaian besar mereka antipati terhadap pengobatan modern dan
lebih memilih jalur alternatif, yakni dengan bantuan dukun yang sudah menjadi
tradisi dan budaya masyarakat di tempatnya bertugas sejak dulu. Dari sekitar 25
pulau yang tersebar di kepulauan Flores, Rabiah harus bertugas di 10 pulau kecil
yang ada disana. Akses jalur penghubung yang tersedia hanyalah perairan, yang
dia hanya bisa tempuh dengan menggunakan perahu. Ombak besar dan terpaan
badai sudah menjadi makanan sehari-hari di dalam kehidupan pekerjaannya,
bahkan kondisi perahu yang jelek sehingga kerap kali bocor sudah menjadi hal
yang biasa baginya. Meskipun demikian hal-hal seperti itu tak menyebabkanya
kehilangan semangat dan keteguhan hatinya untuk melakukan panggilan tugas.
Proses penerimaan yang kurang baik oleh masyarakat diawal-awal ia
bertugas dapat ia lewati dengan baik berkat keteguhan dan kesabaran hatinya
dalam memberikan pengertian dan pendidikan mengenai kesehatan. Sehingga bisa
dikatakan Rabiah tidak hanya menjalankan perannya sebagai perawat biasa yang
bertugas menolong orang-orang sakit, namun ia juga harus mampu memberikan
edukasi bagi masyarakat ditempatnya bertugas agar lebih mengerti dan memahami
pentingnya kesehatan dan pengobatan secara modern. Minimnya jumlah tenaga
medis yang bertugas di sana pula lah yang menyebabkan dirinya harus mampu
menjalankan peran yang cukup banyak, dari mulai perawat, dokter, bidan, hingga
penyuluh sekalipun.
Seiring waktu yang berjalan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya
pengobatan semakin terbuka, peran Rabiah semakin penting di mata masyarakat,
tak jarang Rabiah harus berhari-hari berdiam diri disuatu tempat hanya untuk
menolong pasiennya yang sedang mengalami sakit parah. Beragam permasalahan
kesehatan pernah ia tangani, dari penyakit yang ringan hingga kronis, bahkan
urusan persalinan pun sudah menjadi hal yang biasa bagi Rabiah. Beragam jenis
tangisan dari bayi yang baru lahir hingga tangisan anggota keluarga yang berduka
karena pasien meninggal dunia pun sudah sering didengarnya.
Kondisi alam laut yang tidak dapat diprediksi terkadang menyulitkan
pekerjaannya juga, tatkala dia harus pergi menolong pasien yang sedang

mengalami penyakit berat bahkan kritis disebuah pulau, namun cuaca buruk
lautan menghadang dengan kondisi ombak yang sangat menyeramkan dan bisa
saja sewaktu-waktu menenggelamkan dirinya ke dalam perairan Flores. Dalam
keadaan demikian pun ia harus tetap bertugas, namun kepuasan batin dan
kebahagiaan selalu dirasakannya ketika pasien yang ditolongnya dapat sembuh
dan selamat. Pengalaman tak terlupakan.
Berbagai pengalaman medis selama hampir tiga dasawarsa lebih
membuatnya mengenal dengan baik pekerjaannya. Pengalaman tersebut tak
ubahnya seperti pembelajaran dalam rangka membuat dirinya menjadi lebih
tanggap dan sigap dalam menjalankan pekerjaan. Pada awal dia bertugas pada
tahun 1979, perahu motornya pernah menghantam karang. Rabiah dan 14 orang
penumpang lainnya terdampar tujuh hari tujuh malam di Pulau Karang Kapas,
pulau karang tanpa tumbuhan dan tak berpenghuni. "Kapal yang saya tumpangi
kebetulan membawa penyu. Lalu, kami membakar besi dan menulis kapal Pelita
Jaya terdampar di atas karangkapas tanggal 6, bulan 3, malam Selasa, di atas kulit
penyu yang sudah mati. Setelah tujuh hari, akhirnya datang bantuan dari Pulau
Sailus Kecil," kenang Rabiah. Dalam peristiwa itu, Rabiah harus berbagi nasi
yang dimasak dari beras seliter untuk 14 orang per hari. Sebagai bahan bakar, ia
menggunakan kayu dari puing-puing kapal yang rusak terhantam karang. Dalam
menjalankan tugasnya, suster Rabiah memang harus menggunakan perahu dan
melawan ombak. Itu dilakoninya dengan ikhlas. Tujuannya hanya satu:
mendatangi orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke pelosok mana pun
Rabiah datang untuk menolong. Ia mendedikasikan hidupnya untuk orang banyak
sepanjang 30 tahun.
Pengalaman lainnya yang tak pernah dia lupakan adalah sewaktu
malakukan pertolongan kepada pasien yang kritis dan sangat membutuhkan cairan
infus dalam pengobatannya, namun cairan infus yang tersedia ternyata sudah
kadaluwarsa. Dengan izin keluarga dan berat hati Rabiah tetap memasangkan
cairan infus tersebut, namun berkat pertolongan yang maha kuasa dan
pengorbanan ikhlas tanpa pamrih yang dilakukan Rabiah, pasien tersebut akhirnya

dapat berangsur sembuh dari penyakit diare yang kala itu mewabah di Pulau
Sapuka, tempat ia bertugas.
Salah satu tantangan berat yang dihadapinya adalah ketika ada panggilan
untuk menolong pasien gawat. Perjuangan terasa kian berat dengan kondisi laut
yang tidak bersahabat. Karena keadaan pasien yang tidak memungkinkan untuk
dibawa ke Puskesmas Sapuka atau sarana kesehatan lainnya, mau tak mau Andi
pun menerjang amukan ombak. Kerasnya hantaman ombak ditambah dengan
kondisi kapal yang tak cukup layak membuat Andi tak henti berdoa seraya
memohon keselamatan.
Kondisi alam yang masih liar itu juga yang membuat keluarganya
khawatir dan tidak menyetujui keputusan Andi untuk menetap di Pulau Sapuka
dalam waktu lama. Apalagi mereka menduga, mendiang suami Andi meninggal
karena ilmu hitam di sana. Namun tekadnya sudah bulat, ia seakan tak
menghiraukan kekhawatiran orang-orang terdekat dan tetap melanjutkan masa
pengabdiannya. Pengorbanannya yang kerap berhadapan dengan maut seakan
terbayar ketika pasiennya sembuh dari penyakitnya. Tak heran jika kehadirannya
selalu dirindukan oleh mereka yang membutuhkan jasanya. Kedekatan itu
membuat hubungan Suster Rabiah dan masyarakat sekitar layaknya keluarga.
Panggilan tugas yang datang tidak menentu, membuat Rabiah terpaksa
menitipkan anak bungsunya sejak masih berusia delapan bulan. Tiga bahkan
hingga enam bulan lamanya Rabiah menahan kerinduan kepada buah hatinya
tercinta. Statusnya sebagai orang tua tunggal yang menjadi ibu sekaligus ayah
bagi keempat anaknya memang bukan hal mudah. Kerja keras dan keringat
Rabiah dihargai 1,7 juta rupiah per bulannya. Uang itu digunakan untuk
memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kebutuhannya sendiri sudah tercukupi dari
hasil bekerja sebagai perawat. Bahkan dia telah dua kali menunaikan ibadah haji.
Rabiah pertama kali menginjakkan kakinya di tanah suci Mekah pada tahun 1993.
Setahun kemudian, ia kembali mendapatkan kesempatan yang sama ketika ia
menjadi petugas kesehatan untuk jemaah haji.
Meski begitu, dia memendam harapan, kelak suatu saat ada secuil
perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberikan insentif

pada paramedis di daerah terpencil. Bantuan itu dimaksudkan untuk


meningkatkan mutu pelayanan. Rasanya harapan sederhana itu tak berlebihan,
mengingat hanya segelintir orang yang terpanggil untuk mengabdi di tempattempat terpencil yang minim fasilitas. Perjuangan Andi Rabiah tidak akan
mengalami kemajuan berarti jika tanpa dukungan dari pemerintah. Penduduk
daerah terpencil juga tak bisa selamanya menggantungkan harapan pada Rabiah
seorang.
Berkat keteguhan dan pengorbannya yang tidak mengenal pamrih akhirnya
publik dapat mengenal dan mengapresiasi beliau. Berawal dari film dokumenter
yang mengisahkan dirinya, ia memperoleh penghargaan yang membuatnya
dijuluki suster apung.

Beragam apresiasi, pujian hingga bantuan kini

diterimanya. Salah satu apresiasi besar datang dari Bapak Jusuf Kalla yang pada
waktu itu masih menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia, ia
memberikan bantuan satu unit kapal motor untuk keperluan transportasinya kala
hendak menolong pasien. Kapal motor tersebut merupakan salah satu fasilitas
yang selama ini diidamkan oleh Rabiah dalam menunjang pekerjaannya menolong
orang dari pulau ke pulau.
Bagi Rabiah pengorbanannya selama ini merupakan salahsatu bentuk
pengabdian dan jalan hidupnya, namun ia masih berharap akan adanya perhatian
pemerintah terhadap kesejahteraan fasilitas kesehatan, khususnya di wilayahwilayah terpencil seperti di Pulau Sapuka tempatnya bertugas selama ini. Selain
itu ia juga berharap akan adanya pemenuhan kesejahteraan sehingga dapat
menarik minat orang agar mau bertugas di daerah-daerah terpencil seperti itu,
mengingat saat ini hanya segelintir orang saja yang mau bertugas dan ditempatkan
di wilayah-wilayah terpencil seperti itu. Dia merasa perjuangannya perlu ada
yang melanjutkan sebab ketika masanya ia harus berhenti maka masyarakat perlu
figur baru yang siap mengemban tugas mulia menolong sesama seperti yang
dilakukan oleh Sang suster apung Andi Rabiah.

BAB III
ANALISA MASALAH

A; Masalah

Kurang Meratanya Distribusi Tenaga Kesehatan di Indonesia


Jenis tenaga kesehatan, pada tahun 2015 telah terjadi ketimpangan antara
jumlah tenaga perawat dengan beberapa tenaga kesehatan lain, seperti tenaga
dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, sanitarian, gizi, dan lain-lain.
Jumlah tenaga perawat di puskesmas di Indonesia mencapai 115.747 orang,
angka ini jauh lebih banyak dibanding jumlah tenaga dokter umum yang
hanya sebesar 17.767 orang, dokter gigi 6.883 orang, farmasi 17.383 orang,
dokter spesialis 135 orang, sanitarian 10.559 orang, gizi 9.506 orang, dan
tenaga kesmas 21.849 orang. Seperti di puskesmas, keberadaan tenaga
perawat di fasilitas kesehatan rumah sakit masih tetap mendominasi, yaitu
mencapai 164.309 orang, sedangkan tenaga dokter hanya 21.283 orang, dokter
spesialis 36.081 orang, dokter gigi 4.295 orang, farmasi 14.769 orang, bidan
31.254 orang, dan tenaga lainnya 47.716 orang (Badan PPSDM Kesehatan,
Kemenkes RI, 2014).
Selain kuantitas yang terbatas, persebaran tenaga kesehatan di seluruh
wilayah Indonesia juga masih belum merata. Sudah bukan menjadi berita yang
mengagetkan jika kondisi antara satu daerah di Indonesia jauh berbeda dengan
kondisi daerah di belahan Indonesia lainnya, termasuk kondisi terkait tenaga
kesehatan.
Data Kemenkes tahun 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 48% tenaga
kesehatan terbanyak terpusat di pulau Jawa dan Bali yaitu mencapai 435.877
orang. Sementara nun jauh di Timur Indonesia, di Papua, jumlah tenaga
kesehatannya hanya mencapai 2% (18.332 orang), sehingga menempati urutan
kedua paling sedikit diantara wilayah Indonesia lainnya. Posisi paling bawah
ditempati oleh Kepulauan Maluku dengan jumlah hanya 15.947 orang, atau
1% dari total keseluruhan tenaga kesehatan di Indonesia. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa prinsip adil dan merata serta demokratis dalam
pelaksanaan subsistem SDM kesehatan belum sepenuhnya terlaksana.
Berdasarkan data statistik penyebaran tenaga kesehatan di Indonesia di
atas, terlihat banyak tenaga kesehatan lebih berfokus di pulau Jawa dan daerah
kota lainnya. Sedangkan tenaga kesehatan di tempat-tempat yang tertinggal

dan terpencil hanya sedikit. Hal ini dikarenakan banyaknya tenaga kesehatan
yang enggan mengabdikan diri di tempat yang terpencil dan tertinggal dengan
berbagai alasan antara lain:
1; Akses sulit
2; Tidak ingin tinggal berjauhan dengan orang tuan dan teman-teman
3; Insentif sedikit
4; Kualitas dan kuantitas SDM kurang
B; Analisa
1; Analisa Penyebab Masalah

Kesehatan yang optimal dan menyeluruh tidak akan tercapai apabila


distribusi SDM atau tenaga kesehatan hanya berkutat pada kawasan atau
daerah yang tergolong maju serta mengabaikan kesehatan di daerah
teringgal, terpencil, kepulauan maupun perbatasan. Permasalahan tenaga
kesehatan ini masih menjadi masalah yang belum kunjung selesai. Hal ini
dapat dilihat dari masih banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh
beberapa orang perawat atau tenaga kesehatan lainnya.
Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan diperburuk oleh distribusi
tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya banyak sekali lulusan
perawat yang berbondong-bondong mencalonkan diri untuk bekerja di
kota, sedangkan lulusan yang mencalonkan diri dengan sukarela untuk
bekerja di daerah terpencil bisa dihitung dengan jari tangan.
Salah satu alasan yang sering dilontarkan adalah mereka tidak mau
bersusah payah bekerja di tempat terpencil dan tertinggal karena segala
akses sulit. Transportasi dan kelengkapan fasilitas adalah beberapa
penyulit yang menyebabkan keengganan sebagian besar tenaga kesehatan.
Ungkapan Mengapa mencari yang sulit kalau ada yang mudah seakan
sudah menjadi pedoman dan mendarah daging di sebagian besar lulusan
tenaga kesehatan. Padahal, kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil
dan tertinggal sebenarnya lebih besar daripada di daerah perkotaan.

Tidak ingin tinggal berjauhan dari keluarga dan teman juga menjadi
alasan untuk enggak bekerja di daerah terpencil dan tertinggal. Takut
hidup sendiri, takut ketinggalan berita dan mode terkini mungkin juga
menjadi faktor pencetus buruknya distribusi tenaga kesehatan. Selain itu,
bekerja di daerah terpencil dan tertinggal memang memiliki insentif yang
lebih sedikit dibandingkan dengan bekerja di daerah perkotaan yang padat
penduduk.
Tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan sebenarnya sangat
disayangkan padahal sekolah kesehatan kian menjamur dimana-mana.
Banyaknya sekolah kesehatan tidak berbanding lurus dengan kualitas
SDM yang dihasilkan. Faktanya, meskipun banyak tenaga kesehatan yang
diluluskan distribusinya masih tetap tidak merata. Daerah perkotaan
semakin padat sedangkan daerah terpencil dan tertinggal kian sepi
peminat.
2; Keteladanan

Keteladanan yang dapat diambil dari kisah suster apung, antara lain:
a; Teguh dan sabar dalam pekerjaan

Dalam kisah suster apung di atas, disebutkan bahwa suster Rabiah


selalu teguh dan sabar dalam menjalankan pekerjaannya. Sebagai
perawat yang mengampu orang-orang di 10 pulau kecil, harus
menyeberang lautan setiap hari dengan jarak yang jauh dan waktu
tempuh yang panjang, banyak halangan yang menghadang di
perjalanan, ia tidak mengeluh dan bahkan tetap sabar meskipun
pekerjaannya tidaklah mudah.
Dalam keseharian, seorang perawat seyogyanya memiliki sifat
teguh dan sabar dalam menjalani pekerjaan. Pekerjaan perawat
memang bukan hal yang mudah, bukan hanya melayani satu atau dua
orang namun banyak orang dan keluarga yang memiliki karakter yang
berbeda-beda. Maka dari itu, sifat teguh dan sabar diperlukan dalam
pekerjaan perawat.
b; Perawat bukan sekedar mengobati

Suster Rabiah tidak hanya menjalankan perannya sebagai perawat


biasa yang bertugas menolong orang-orang sakit, namun ia juga harus
mampu memberikan edukasi bagi masyarakat di tempatnya bertugas
agar lebih mengerti dan memahami pentingnya kesehatan dan
pengobatan secara modern.
Tugas perawat memang bukan sekedar mengobati dan merawat
orang sakit, namun lebih menyeluruh. Perawat harus bisa menjadi role
model bagi pasien dan kelaurga, menjadi seorang edukator hingga
advokator. Apalagi di zaman sekarang ini, pemikiran pasien dan
keluarga menjadi lebih kritis sehingga perawat dituntut untuk bisa
memainkan perannya sebagai perawat yang profesional dengan
optimal. Bercermin dari kehidupan suster Rabiah yang notabene lebih
kurang dari kita perawat yang berada di daerah maju, seharusnya kita
bisa melebihi beliau dalam hal profesionalismenya.
c; Lebih mementingkan kebutuhan pasien
Dalam biografi, dikatakan bahwa tak jarang suster Rabiah harus
berhari-hari berdiam diri di suatu tempat hanya untuk menolong
pasiennya yang sedang mengalami sakit parah. Saat dia harus pergi
menolong pasien yang sedang mengalami penyakit berat bahkan kritis
di sebuah pulau, namun cuaca buruk lautan menghadang dengan
ombak yang menyeramkan yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan
dirinya, dalam keadaan demikian pun ia harus tetap bertugas. Selain
itu, panggilan tugas yang datang tidak menentu, membuat Rabiah
terpaksa menitipkan anak bungsunya sejak masih berusia delapan
bulan kepada orangtua Rabiah.
Dalam kehidupan kita di daerah perkotaan, tentu saja keadaan
seperti itu tidak akan kita temui. Namun, hal yang bisa dikatakan
serupa dengan kedaan yang dialami suster Rabiah adalah saat bertugas,
seorang perawat harus meninggalkan anaknya yang masih sangat kecil
untuk bekerja. Hal yang patut kita contoh dari suster Rabiah adalah
sifat Care, yaitu sikap seorang perawat yang memberikan rasa
perhatian dan kepedulian terhadap kliennya. Empaty yaitu mampu
merasakan apa masalah yang dihadapi klien dan berusaha untuk
mencari jalan keluarnya dan Altruism, yaitu seorang perawat yang
tulus dalam memberikan pelayanan dan pertolongannya tanpa

mengharapkan imbalan apa pun dan tidak mementingkan diri sendiri


melainkan lebih mementingkan orang lain/klien.
d; Bekerja iklhas
Dalam menjalankan tugasnya, suster Rabiah memang harus
menggunakan perahu dan melawan ombak. Itu dilakoninya dengan
ikhlas. Tujuannya hanya satu: mendatangi orang yang membutuhkan
pertolongannya. Ke pelosok mana pun Rabiah datang untuk menolong
dan untuk meringankan beban orang lain. Meskipun ia harus
mengorbankan sebagian hidup dan waktunya, ia tetap bekerja dengan
ikhlas menolong orang-orang yang membutuhkan.
Sikap ikhlas dalam bekerja ini patut dicontoh oleh kita perawat
yang ada di daerah perkotaan. Karena semua aspek lebih mudah di
daerah perkotaan, seharusnya kita bisa bekerja lebih optimal dan
ikhlas. Jika pekerjaan dilakukan dengan ikhlas maka kita akan
mendapatkan kepuasan yang lebih manakala pasien yang kita tolong
sembuh dan sehat kembali.
e; Dedikasi tinggi dalam pekerjaan
Kerja keras dan keringat Rabiah dihargai 1,7 juta rupiah per
bulannya. Bagi Rabiah pengorbanannya selama ini merupakan salah
satu bentuk pengabdian dan jalan hidupnya. Dia merasa perjuangannya
perlu ada yang melanjutkan sebab ketika masanya ia harus berhenti
maka masyarakat perlu figur baru yang siap mengemban tugas mulia
menolong sesama seperti yang dilakukan oleh Sang suster apung Andi
Rabiah.
Dedikasi dalam pekerjaan terlihat jelas dalam diri suster Rabiah.
Meskipun harus melakoni pekerjaannya dengan susah payah dan
mendapatkan insentif yang terkesan tidak seimbang dengan tenaga
yang dikeluarkan, ia tetap semangat dalam bekerja. Kita perawat yang
ada di perkotaan seharusnya memiliki rasa semangat yang lebih besar
daripada suster Rabiah. Pasalnya, kita mendapatkan akses yang lebih
mudah, fasilitas yang lebih lengkap dan tentunya insentif yang lebih
besar. Dedikasi yang bisa kita sumbangkan seperti bekerja dengan

sepenuh hati dengan menerima apapun yang menjadi imbalan atas


hasil kerja kita.
3; Solusi

Masalah ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan ini seharusnya


ditindak dengan program pemerintah (Depkes). Diawali dengan pemetaan
kebutuhan tenaga medis yakni dokter, perawat, bidan dan lain-lain.
Pemetaan ini perlu dilakukan agar target pemenuhan kebutuhan tenaga
kesehatan dapat dievaluasi dengan mudah. Selain itu, peningkatan
kuantitas dan kualitas SDM kesehatan dapat juga dilakukan dengan
mendirikan institusi kesehatan di daerah pelosok dan memberikan
beasiswa bagi siswa-siswa berpotensi agar mau melanjutkan studinya pada
bidang kesehatan. Sehingga diharapkan SDM kesehatan akan terus
tumbuh pesat di daerah terpencil sekalipun yang akhirnya nanti dapat
mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki masalah ini.
Dalam hal distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, upaya
pemberian insentif lebih untuk tenaga kesehatan yang ada di daerah
terpencil bisa menjadi alternatif Pemerintah untuk merangsang SDM
kesehatan ini untuk bersedia ditempatkan di daerah terpencil. Besaran
insentif ini tentu harus dilakukan secara proporsional sehingga disatu sisi
merangsang para tenaga kesehatan untuk siap mengabdi, disisi lain juga
menyesuaikan dengan kemampuan dana negara.
Disamping itu, perlu diperhatikan sarana dan prasarana yang
memadai untuk wilayah terpencil dan dibangun infrastruktur yang
memadai sehingga akses kesehatan untuk daerah tersebut tidak tertinggal
dengan daerah yang sudah maju. Untuk daerah-daerah tersebut, manfaat
yang ditawarkan harus besar sehingga daerah tersebut memiliki daya tarik
untuk membina karir tenaga kesehatan yang menjamin masa depan
kehidupan tenaga kesehatan tersebut.
Selain jumlah dan distribusinya yang tidak merata, problem tenaga
kesehatan dibayangi pula masalah kualitas dan kompetensi. Uji sertifikasi,
uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan lainnya bisa
menjadi alat pengukur tentang seberapa jauh kualitas dan kompetensi
tenaga kesehatan. Selain itu pengakuan terhadap profesi tenaga kesehatan
seperti perawat misalnya akan menjamin kenyamanan dan kualitas kerja
dari SDM kesehatan tersebut.

BAB IV
PENUTUP
A; Kesimpulan

Hj. Andi Rabiah atau yang lebih dikenal dengan nama Suster Apung
adalah salah satu perawat yang mendedikasi hidupnya untuk membantu
sesama di daerah kepulauan. Tidak pernah terbesit di dalam pemikirannya
bahwa ia akan menghabiskan separuh hidupnya mengarungi lautan di
Kepulauan Sulawesi dan Flores untuk menyembuhkan pasien-pasien yang
tersebar di sekitar pulau-pulau kecil dengan hanya berbekal tekad dan perahu.
Dalam melakukan kegiatannya ia tidak pernah mengeluh sekalipun, bahkan
pada tahun pertamanya ia bekerja sebagai perawat, ia selalu menagih janji
kepada kepala desa yang pernah menjanjikannya untuk melaut. Sebagai
perawat, ia memiliki prinsip yaitu bekerja sebagai pelayanan dan tanggung
jawab kepada masyarakat. Ia memandang bahwa mereka juga saudara kita
dan rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Seperti
yang ia katakan suatu waktu Tidak ada yang boleh meninggal karena

melahirkan dan tidak ada pula yang boleh meninggal karena diare. Sebuah
sikap yang terus diperjuangkan sekuat tenaga meskipun selalu mengarungi
lautan yang sering kali tidak ramah. Walaupun hasil gaji yang diterima
tidaklah besar dan tidak ada jaminan asuransi, namun Ia tetap mengabdikan
dirinya untuk membantu pasien yang membutuhkan jasanya.
Ibu Rabiah lahir di Sigeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan
(Pangkep), 29 Juni 1957. Setamat SMP, ia melanjutkan sekolah di Penjenang
Kesehatan (PK), sekolah kesehatan setingkat SPK. Masuk ke PK pada 19751976. Lulus PK, April 1977, Ibu Rabiah jadi pegawai negeri sipil di
Puskesmas Liukang Tanggaya, Pulau Saputan, Kecamatan Liukang Tanggaya,
Kabupaten Pangkep. Status itu masih disandangnya hingga kini. Di
Puskesmas Liukang Tanggaya, wilayah kerjanya meliputi 25 pulau. Di
antaranya, Pulau Sumanga, Saelo, Satanga, dan Kapoposan Bali. Ke-25 pulau
itu dibagi jadi lima wilayah, yaitu wilayah Tengah, Barat, Utara, Timur, dan
Selatan.
Ibu Rabiah menggambarkan, jarak tempuh dari wilayah tengah ke
wilayah timur berkisar 11 jam perjalanan dengan transportasi air. Bahkan, ada
pulau yang letaknya lebih dekat ke Lombok ketimbang ke Makassar sehingga
perjalanan butuh waktu lebih lama lagi. Selama menjalani pekerjaanya
sebagai perawat, tak jarang Ibu Rabiah didera kesulitan. Perahunya bocor
adalah salah satu kendala yang kerap dialaminya. Pada 1979, perahu
motornya malah pernah menghantam karang. Ibu Rabiah dan 14 orang
penumpang lainnya terdampar tujuh hari tujuh malam di Pulau Karang
Kapas, pulau karang tanpa tumbuhan dan tak berpenghuni.
Dedikasi, semangat pantang menyerah, tegar, pengorbanan untuk
membantu sesama adalah sedikit gambaran dari Ibu Hj. Andi Ibu Rabiah,
seorang sosok yang patut menjadi teladan bagi kita semua.

B; Saran

Kisah inspiratif Ibu Hj. Andi Rabiah atau yang lebih dikenal dengan
nama Suster Apung, salah satu perawat yang mendedikasi hidupnya untuk

membantu sesama di daerah kepulauan banyak memberikan keteladanan yang


dapat perawat ambil darinya. Sebagai seorang perawat seyogyanya memiliki
sifat teguh dan sabar dalam menjalani pekerjaan. Pekerjaan perawat memang
bukan hal yang mudah, bukan hanya melayani satu atau dua orang namun
banyak orang dan keluarga yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Maka
dari itu, sifat teguh dan sabar diperlukan dalam pekerjaan perawat.
Perawat juga harus bisa menjadi role model bagi pasien dan keluarga,
menjadi seorang edukator hingga advokator. Apalagi di zaman sekarang ini,
pemikiran pasien dan keluarga menjadi lebih kritis sehingga perawat dituntut
untuk bisa memainkan perannya sebagai perawat yang profesional dengan
optimal. Begitu juga sifat yang harus dimiliki oleh seorang perawat antara
lain Care, yaitu sikap seorang perawat yang memberikan rasa perhatian dan
kepedulian terhadap kliennya, empaty yaitu mampu merasakan apa masalah
yang dihadapi klien dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya dan altruism,
yaitu seorang perawat yang tulus dalam memberikan pelayanan dan
pertolongannya

tanpa

mengharapkan

imbalan

apa

pun

dan

tidak

mementingkan diri sendiri melainkan lebih mementingkan orang lain/klien.


Pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas pasti akan mendapatkan kepuasan
yang lebih manakala pasien yang kita tolong sembuh dan sehat kembali

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Hj. Andi Rabiah (Suster Apung) (Artikel). Diakses dari
www.modernisator.org pada tanggal 16 Januari 2016.
Anonim. 2011. Ibu Rabiah: Si Suster Apung (Artikel). Diakses dari
www.tentangtokoh.blogspot.co.id pada tanggal 16 Januari 2016.
Bowo Info. 2011. Ibu Hj. Andi Rabiah/ Suster Apung (Inspiratif Story)
(Artikel). Diakses dari www.info-biografi.blogspot.co.id pada tanggal
16 Januari 2016.
Suriani. 2008. Suster Apung Pernah Terdampar ( Artikel). Diakses dari
www.inilah.com pada tanggal 16 Januari 2016

You might also like