Professional Documents
Culture Documents
HEMOROID EKSTERNA
Disusun Oleh :
Nurwahidah Oktorisa
1102011202
Pembimbing :
dr. H. Supriyono, Sp.B
BAB I
PENDAHULUAN
Hemorroid adalah penyakit yang cukup sering terjadi di masyarakat dan tersebar luas
diseluruh dunia. Hemoroid adalah jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang terdiri
dari pleksus arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sfingter
anus untuk msencegah inkontinentia flatus dan cairan. Hemoroid dibagi menjadi 2, yaitu
hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidales superior
diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Sementara hemoroid eksterna merupakan
pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat di sebelah distal garis mukokutan di
dalam jaringan di bawah epitel anus.
Prevalensi penyakit ini di USA diperkirakan sekitar 4-5%. Hemorroid bukan penyakit
yang fatal,tetapi sangat mengganggu kehidupan. Sebelumnya hemorroid ini dikira hanya timbul
karena stasis aliran darah daerah pleksus hemorroidalis, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.
Simptomatologi sering tidak sejalan dengan besarnya hemorroid, kadang-kadang hemoroid yang
besar tidak/hanya sedikit memberikan keluhan, sebaliknya hemorroid kecil dapat memberikan
gejala perdarahan massif. Banyak gejala yang ditimbulkan dari penderita hemoroid seperti
perdarahan, nyeri ketika defekasi, dan lain-lain. Dalam menentukan diagnosis dari hemoroid pun
menggunakan pemeriksaan fisik serta penunjang.
Dengan terapi yang sesuai, pasien yang simptomatik akan menjadi asimptomatik. Terapi
yang dapat di gunakan antara lain terapi konservatif, terapi non bedah elektif mapun terapi bedah
yang masing-masing memiliki cara dan tingkat keefektivitasannya masing-masing.
BAB II
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. H
Umur
: 51 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS
Tanggal pemeriksaan
ANAMNESIS
Diambil dari
Tanggal
Tempat
: Autoanamnesis
: Kamis, 03 Juni 2015
: Bangsal Bougenville kamar 3
1. Keluhan Utama :
Pasien mengeluh ada benjolan di anus berukuran 1 cm sudah kurang lebih 6 bulan yang
lalu. Benjolan tersebut semakin lama semakin membesar, terasa nyeri dan keluar darah
ketika defekasi.
2. Keluhan Tambahan :
Setelah defekasi, pasien mengeluh lemas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn. H berkata pada awalnya benjolan berukuran kecil. Pasien mengeluh nyeri ketika
defekasi. Ketika benjolan tersebut masih berukuran kecil, pasien sempat menusuk
benjolan tersebut dengan jarum dengan harapan benjolan tersebut kempes. Namun
makin lama benjolan semakin besar dan mengganjal, bahkan sampai menyebabkan
pasien sulit duduk. Setiap pasien mengedan, benjolan tersebut terasa nyeri dan keluar
darah yang banyak. Pasien juga menyukai makanan pedas. Ketika benjolan tersebut
terasa nyeri dan keluar darah, pasien merasa lemas dan lelah. Kemudian Tn. H berobat
ke klinik BMC dan diberikan obat oral. Setelah obat tersebut habis, Tn.H tidak
merasakan perubahan yang berarti, malah semakin besar. Klinik tersebut merujuk ke
poli bedah RSUD Cilegon dan kemudian direncanakan untuk operasi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat obatan ataupun makanan. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit darah tinggi.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit seperti pasien dalam keluarga.
II.
PEMERIKSAAN FISIK
A
Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum
: baik
2. Kesadaran
: compos mentis
3. Tanda Utama
: 35,80 Celsius
Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
2. Mata
3. Leher
4. Telinga
5. Hidung
: Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-, sekret
7. Mulut
8. Thoraks
a. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
b. Paru
Inspeksi
Auskultasi
9. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
10. Ekstremitas
Akral hangat, udem (-)
C. STATUS LOKALIS
Tampak benjolan di regio anorektal
Diameter 1cm
Nyeri tekan (+)
Hiperemis (-)
Darah (-)
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah (03 Juni 2015)
JENIS
03/06/2015
NILAI NORMAL
14,6 g/dL
P: 14-18
PEMERIKSAAN
Hemoglobin
W: 12-16
Leukosit
8.180 /uL
5000-10.000
Hematokrit
44,2 %
P: 40-48
W: 37-43
Trombosit
291.000/uL
150-450 rb/u
Na+
146,4
135-155 mmol/L
Cl-
108,9
95-107 mmol/L
K+
4,07
3,6-5,5 mmol/L
Masa Pembekuan
11
5-15
Masa Perdarahan
230
1-6
95 mg/dL
<200 mg/dL
SGOT
67 u/L
SGPT
40 u/L
Ureum
22 mg/dL
17-43 mg/dL
Kreatinin
0,9
P:0,7-1,1 W:0,6-0,9
Asam Urat
9,8
P:3,6-8,2 W:2,3-6,1
Albumin
4,4 g/dl
3-6 g/dl
Basofil
0%
0-1
Eusinofil
2%
1-3
Batang
0%
2-6
Segmen
46%
50-70
Limfosit
39%
20-40
Monosit
IV.
V.
VI.
13%
DIAGNOSIS KERJA
Hemoroid Eksterna
PENATALAKSANAAN
Pre-operasi
1. IVFD RL
PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
2-8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Anatomi anal canal yang memperlihatkan pleksus hemoroid internal dan eksternal
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan inferior, sehingga
peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran darah balik ke dalam vena-vena ini.
Terdapat dua jenis peristaltik propulsif : (1) kontraksi lamban dan tidak teratur, berasal dari
segmen proksimal dan bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustra; (2) peristaltik massa,
merupakan kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan peristaltik ini menggerakkan
massa feses ke depan, akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali
sehari dan dirangsang oleh refleks gastrokolik setelah makan, khususnya setelah makanan
pertama masuk pada hari itu. Propulasi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum
dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna.
Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom, dan sfingter eksterna berada di bawah
control voluntar. Refleks defekasi terintegrasi pada segmen sakralis kedua dan keempat dari
medula spinalis. Serabut-serabut parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus
panggul dan bertanggung jawab atas kontraksi rektum dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu
rektum yang mengalami distensi berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga
menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot-otot sfingter interna dan eksterna
berelaksasi pada waktu anus tertarik atas melebihi tinggi massa feses. Defekasi dipercepat
dengan adanya peningkatan tekanan intra-abdomen yang terjadi akibat kontraksi voluntar. Otototot dada dengan glotis ditutup, dan kontraksi secara terus menerus dari otot-otot abdomen
(manuver atau peregangan valsava). Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar otot-otot
sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara bertahap akan relaks, dan keinginan
untuk berdefekasi menghilang (Mustafa,2013).
sebagian diakibatkan adanya otot sfingter yang tidak begitu kuat yang terdapat pada rectosimoid
junction, kira-kira 20 cm dari anus. Terdapatnya lekukan tajam dari tempat ini juga memberi
tambahan penghalang masuknya feses ke rektum. Akan tetapi, bila suatu gerakan usus
mendorong feses ke arah rektum, secara normal hasrat defekasi akan timbul, yang ditimbulkan
oleh refleks kontraksi dari rektum dan relaksasi dari otot sfingter. Feses tidak keluar secara terusmenerus dan sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani interna
dan eksterna (Sabiston, 2011).
2.2. Hemoroid
2.2.1. Definisi
Hemoroid adalah jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang terdiri dari
pleksus arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sfingter anus
untuk msencegah inkontinentia flatus dan cairan (Samsudihajat, 2010).
Hemoroid dibagi menjadi 2, yaitu hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa.
Sementara hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior
terdapat di sebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus.
(Samsudihajat, 2010).
2.2.2. Epidemiologi
Hemoroid bisa terjadi pada semua umur. Hemoroid biasa menyerang pada usia 20-50
tahun baik pada laki-laki maupun perempuan tetapi paling banyak terjadi pada umur 45-65
tahun. Penyakit hemoroid jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun. Prevalensi meningkat pada
ras Kaukasian dan individu dengan status ekonomi tinggi. Prevalensi penyakit ini di USA
diperkirakan sekitar 4-5% (Djumhana, 2013).
Angka prevalensi hemoroid di akhir pertengahan abad ke-20 dilaporkan menurun.
Sepuluh juta orang di Indonesia menderita hemoroid, dengan prevalensi lebih dari 4%. Laki-laki
dan perempuan mempunyai resiko yang sama. Resiko hemoroid meningkat seiring
bertambahnya usia. Penelitian dari ruang endoskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta pada tahun 1998 -2005 menemukan sekitar 9% pasien dengan keluhan sembelit ternyata
menderita kanker usus besar dan sekitar 39,6 % penderita sembelit mengalami hemoroid
(Mustafa,2013).
2.2.3. Klasifikasi
Secara garis besar, hemoroid bisa dibedakan menjadi 2 macam, yaitu (Samsudihajat,
2010):
a. Hemoroid eksterna : terjadi varises pada pleksus hemoroidalis inferior, dibawah linea
dentate, dan tertutup oleh kulit
b. Hemoroid interna : terjadi varises pada pleksus hemoroidalis superior, diatas linea
dentate, dan tertutup oleh mukosa
Namun bisa jadi kedua macam hemoroid tersebut dapat terjadi bersamaan
Hemoroid interna dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :
1. Derajat 1 : Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus.
Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop
2. Derajat 2 : Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke
dalam anus secara spontan.
3. Derajat 3 : Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus
dengan bantuan dorongan jari.
2.2.4. Etiologi
Menurut Samsudihajat (2010) factor yang memegang peranan kausal ialah mengedan
pada waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas.
Berbagai macam penyakit yang dipercaya menimbulkan terjadinya hemoroid, antara lain
(Mubarak, 2011):
a.
BAB dengan posisi jongkok yang terlalu lama. Hal ini akan meningkatkan
b.
c.
d.
e.
vena ekstremitas dan anus oleh karena ada sekresi hormone relaksin
Obesitas atau timbunan lemak di perut. Salah satu penelitian menurut Pigot
et.al bahwa seseorang dengan BMI>30 maka memiliki resiko 1,09 kali terkena
f.
g.
h.
i.
hemoroid
Factor pekerjaan. Orang yang harus berdiri, duduk lama, atau harus
j.
2.2.5. Patofisiologi
Hemoroid dikatakan sebagai penyakit keturunan. Namun sampai saat ini belum terbukti
kebenarannya. Akhir-akhir ini, keterlibatan bantalan anus (anal cushion) makin dipahami sebagai
dasar terjadinya penyakit ini. Bantalan anus merupakan jaringan lunak yang kaya akan pembuluh
darah. Agar stabil, kedudukannya disokong oleh ligamentum Treitz dan lapisan muskularis
submukosa. Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme dasar terjadinya
hemoroid. Pertama, kegagalan pengosongan vena bantalan anus secara cepat saat defekasi.
Kedua, bantalan anus terlalu mobile, dan ketiga, bantalan anus terperangkap oleh sfingter anus
yang ketat. Akibatnya, vena intramuskular kanalis anus akan terjepit (obstruksi). Proses
pembendungan diatas diperparah lagi apabila seseorang mengedan atau adanya feses yang keras
melalui dinding rectum (Mubarak, 2011).
Selain itu, gangguan rotasi bantalan anus juga menjadi dasar terjadinya keluhan
hemoroid. Dalam keadaan normal, bantalan anus menempel secara longgar pada lapisan otot
sirkuler. Ketika defekasi, sfingter interna akan relaksasi. Kemudian, bantalan anus berotasi ke
arah luar (eversi) membentuk bibir anorektum. Faktor endokrin, usia, konstipasi dan mengedan
yang lama menyebabkan gangguan eversi pada bantalan tersebut. Mitos di masyarakat yang
mengatakan, hemoroid mudah terjadi pada ibu hamil. Sebab pertama, hormon kehamilan
mengurangi fungsi penyokong dari otot dan ligamentum di sekitar bantalan. Kedua, terjadi
peningkatan vaskuler di daerah pelvis. Ketiga, seringnya terjadi konstipasi pada masa kehamilan.
Dan terakhir adalah kerusakan kanalis anus saat melahirkan pervaginam (Mubarak, 2011).
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis hemoroid dapat dilakukan dengan melakukan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
Anamnesis dapat dikaitkan dengan factor obstipasi, defekasi yang keras, yang
membutuhkan tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan), pasien sering jongkok berjamjam di toilet, dan dapat disertai nyeri bila terjadi peradangan (Mubarak,2011). Nyeri yang hebat
jarang sekali ada hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya timbul pada hemoroid
eksterna yang mengalami thrombosis. Thrombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena
tersebut misalnya ketika mengangkat barang-barang berat, batuk, bersin, mengejan, atau partus.
Vena lebar yang menonjol itu dapat terjepit sehingga kemudian terjadi thrombosis. Kelainan
yang nyeri sekali ini dapat terjadi pada semua usia dan tidak ada hubungan dengan ada/tidaknya
hemoroid interna. Kadang terdapat lebih dari 1 thrombus (Samsudihajat, 2010).
Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan dibawah kulit kanalis analis yang nyeri
sekali, tegang, dan berwarna kebiruan berukuran mulai dari beberapa millimeter sampai 1-2cm
diameternya. Benjolan itu dapat unilobular, dan dapat pula multilokuler atau beberapa benjolan.
Rupture dapat terjadi pada dinding vena, meskipun biasanya tidak lengkap sehingga masih
terdapat lapisan tipis adventitia menutupi darah yang membeku. Pada awal timbulnya,
thrombosis terasa sangat nyeri, kemudian nyeri berkurang dalam waktu dua sampai tiga hari
bersamaan dengan berkurangnya udem akut. Rupture spontan dapat terjadi diikuti dengan
perdarahan. Resolusi spontan dapat pula terjadi tanpa terapi setelah 2 sampai 4 hari
(Samsudihajat, 2010).
Menurut Djumhana (2013), sebagian besar penderita mengeluh adanya perdarahan
perrektal, perdarahan berupa darah merah segar, menetes sewaktu atau setelah buang air besar.
Perdarahan ini tidak disertai rasa nyeri atau rasa mules. Pada sebagian penderita perdarahan ini
tidak diketahui,sehingga tidak jarang pasen dengan hemorroid ini datang dengan keluhan
anemia. Sebagian lagi penderita mengeluh rasa nyeri. Rasa nyeri ini timbul bila ada trombosis
atau strangulasi dari hemorroid. Sebagian kasus mungkin mengeluh adanya benjolan pada
anusnya,atau ada yang keluar (prolaps) dari anusnya. Keluhan lain mungkin berupa pruritus
ani,atau rasa tidak enak daerah anus atau ada discharge. Kadang-kadang hemorroid ditemukan
secara kebetulan (asimptomatik).
Menurut Ferry (2011), manifestasi klinis yang bisa ditemui pada pasien hemorrhoid
adalah :
1. Perdarahan
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemoroid interna akibat trauma oleh
feces yang keras. Darah yang keluar adalah darah segar yang tidak bercampur dengan
feces (hematochezia), dengan kuantitas yang bervariasi, kadang menetes tapi kadang juga
memancar deras. Bila perdarahan ini terjadi berulang-ulang dapat menyebabkan anemia.
2. Nyeri hebat
Harus diingat bahwa nyeri hebat tidak ada hubungannya dengan hemoroid interna,
tetapi hanya terjadi pada hemoroid eksterna yang mengalami trombosis. Sedangkan
nyeri hanya timbul pada hemoroid interna apabila terdapat trombosis yang luas dengan
udem dan radang.
3. Benjolan
Bila hemoroid semakin besar maka dapat menonjol keluar, mula-mula hanya waktu
defekasi dan setelah selesai defekasi benjolan tersebut dapat masuk sendiri secara
spontan (derajat II). Tahap berikutnya setelah keluar waktu defekasi tidak dapat masuk
sendiri dan harus dimasukan secara manual (derajat III). Kemudian hemoroid dapat
berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak dapat didorong
masuk lagi. (derajat IV)
4. Keluarnya Mukus dan Feces pada pakaian dalam
Hal ini merupakan ciri hemoroid yang mengalami prolaps yang menetap (derajat IV).
5. Pruritus ani
Rasa gatal pada anus yang disebabkan oleh iritasi kulit perianal karena kelembaban yang
terus menerus dan rangsangan mucus (Ferry, 2011).
Pada inspeksi, hemoroid eksterna mudah terlihat, terutama bila sudah menjadi thrombus.
Hemoroid interna yang menjadi prolapse dapat terlihat dengan cara menyuruh pasien mengejan.
Prolapse dapat terlihat sebagai benjolan yang tertutup mukosa. Pada pemeriksaan Rectal Toucher
(RT), hemoroid interna stadium awal biasanya tidak teraba dan tidak nyeri, hemoroid ini dapat
teraba bila sudah ada throumbus atau fibrosis. Apabila hemoroid sering prolapse, selaput lendir
akan menebal. Thrombosis dan fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar
(Samsudihajat, 2010).
2.2.8. Tatalaksana
Menangani hemoroid tak perlu terus melakukan tindakan invasif. Beberapa jenis terapi
yang dapat dilakukan adalah (Mubarak, 2011):
a. Terapi konservatif
1) Pengelolaan dan modifikasi diet
Diet berserat, buah-buahan dan sayuran, intake air ditingkatkan. Diet serat yang
dimaksud adalah diet dengan kandungan selulosa yang tinggi. Selulosa tidak
mampu dicerna oleh tubuh tetapi selulosa bersifat menyerap air sehingga feses
menjadi lunak. Makanan tersebut menyebabkan gumpalan isi usus menjadi besar
namun lunak sehingga mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan
mengejan secara berlebihan.
2) Medikamentosa
a) Stool softener, untuk mencegah konstipasi sehingga mengurangi kebiasaan
mengejan, misalnya Docusate Sodium
b) Anastesi topical, untuk mengurangi rasa nyeri seperti Lidocaine ointment 5%
c) Mild astringent, untuk mengurangi rasa gatal pada bagian perianal yang
timbul akibat iritasi karena kelembaban yang terus menerus dan rangsangan
usus.
d) Analgesic, untuk mengatasi rasa nyeri, misalnya acetaminophen yang
merupakan obat anti nyeri pilihan bagi pasien yang memiliki hipersensitiviitas
terhadap aspirin atau NSAID, atau pasien dengan penyakit saluran pencernaan
bagian atas atau pasien yang sedang mengkonsumsi antikoagulan oral.
e) Obat suppositorial anti hemoroid masih diragukan khasiatnya karena hasil
yang kurang maksimal (Samsudihajat, 2010).
Menurut Wandari (2012), pemilihan jenis terapi (obat atau invasif) sangat bergantung dari
keluhan penderita serta derajat hemoroidnya. Salah satu obat hemoroid adalah diosmin dan
hesperidin yang dimikronisasi. Layaknya noreadrenalin, obat ini mengakibatkan kontraksi vena,
menurunkan ekstravasasi dari kapiler dan menghambat reaksi inflamasi terhadap prostaglandin
(PGE2, PGF2). Kehadiran obat ini tentu memberi angin segar bagi penderita hemoroid yang
takut atau enggan dioperasi. Sebuah studi acak bahkan membuktikan obat ini sama efektif
dengan rubber band ligation. Malah dengan efek samping lebih kecil. Bila obat sudah tak
adekuat atau terjadi perdarahan dan prolaps, tindakan invasif menjadi pilihan terakhir.
b. Terapi tindakan non operatif elektif
1) Skleroterapi
Dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Metode ini menggunakan zat
sklerosan yang disuntikan para vasal. Setelah itu, sklerosan merangsang
pembentukan jaringan parut sehingga menghambat aliran darah ke vena-vena
hemoroidalis. Akibatnya, perdarahan berhenti. Sklerosan yang dipakai adalah 5%
phenol in almond oil dan 1% polidocanol. Metode ini mudah dilaksanakan, aman
dan memberikan hasil baik.
Gambar 6. IRC
c. Terapi operatif
1) Hemoroidektomi
Terapi bedah ini dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan
pada penderita hemoroid derajat III-IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan pada
penderita dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan cara
terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang
mengalami thrombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.
Prinsip yang harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya
dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin
dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter
anus (Samsudihajat, 2010).
Gambar 7. Hemoroidektomi
2) Stapled Hemoroid Surgery (Procedure fot prolapse and hemorrhoids/PPH)
Teknik ini bekerja dengan mendorong jaringan hemoroid yang merosot ke arah
atas dan dijahitkan ke selaput lendir dinding anus. Kemudian sebuah gelang dari
bahan titanium diselipkan di jahitan dan ditanamkan di bagian atas saluran anus
untuk mengokohkan posisi jaringan hemoroid tersebut. PPH memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan operasi konvensional diantaranya, nyeri minimal
karena tindakan dilakukan di luar bagian sensitif, tindakan cepat karena hanya
menghabiskan 12-45 menit, dan pasien dapat pulih lebih cepat pasca operasi.
Namun risiko perdarahan, trombosis, serta penyempitan saluran anus masih dapat
terjadi. Kontraindikasi PPH adalah fistula anus, bengkak, gangren, penyempitan
anus, prolaps jaringan hemoroid yang tebal, serta pada pasien dengan gangguan
koagulasi (pembekuan darah) (Wandari, 2012)
Pada hemoroid eksterna yang sudah mengalami thrombus, keluhan dapat dikurangi
dengan rendam duduk menggunakan larutan hangat, salep analgetik untuk mengurangi nyeri atau
gesekan pada waktu berjalan dan sedasi. Istirahat di tempat tidur dapat membantuk mempercepat
berkurangnya pembengkakan. Pasien yang dating sebelum 48 jam dapat segera ditolong dan
menunjukkan hasil yang baik. Terapi dilakukan dengan cara mengeluarkan thrombus atau
melakukan eksisi lengkap secara hemoroidektomi menggunakan anastesi local. Bila thrombus
sudah dikenluarkan kulit dieksisi berbentuk elips untuk mencegah bertautnya tepi kulit dan
terbentuknya thrombus kembali di bawahnya. Nyeri segera hilang pada saat tindakan dan luka
akan sembuh dalam waktu singkat sebab luka berada di daerah yang kaya akan darah
(Samsudihajat, 2010).
Thrombus yang sudah terorganisasi tidak dapat dikeluarkan; dalam hal ini terapi
konservatif merupakan pilihan. Usaha reposisi hemorrhoid eksterna yang mengalami thrombus
tidak boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi pada struktur luas anus yang tidak dapat
direposisi (Samsudihajat, 2010).
2.2.9. Komplikasi
Terkadang hemoroid interna yang mengalami prolapse akan menjadi ireponible sehingga
tak dapat terpulihkan oleh karena kongesti yang mengakibatkan udem dan thrombosis. Keadaan
yang agak jarang ini dapat berlanjut menjadi thrombosis melingkar pada hemoroid interna dan
hemoroid eksterna secara bersamaan. Keadaan ini menyebabkan nyeri hebat dan dapat berlanjut
menyebabkan nekrosis mukosa dan kulit yang menutupinya (Samsudihajat, 2010)
2.2.10. Prognosis
Dengan terapi yang sesuai, pasien yang simptomatik akan menjadi asimptomatik. Dengan
melakukan terapi operatif dengan hemoroidektomi hasilnya sangat baik namun bisa muncul
kembali (rekuren) dengan angka kejadian sekitar 2-5%. Terapi non operatif seperti ligase cincin
karet (rubber band ligation) menimbulkan kejadian rekuren sekitar 30-50% antara kurun waktu
5-10 tahun kedepan. Akan tetapi, hemoroid rekuren ini biasanya dapat ditangani dengan terapi
non operatif. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan keberhasilan terapi dengan
PPH. Setelah sembuh, penderita tidak boleh sering mengejan dan dianjurkan makan makanan
yang berserat tinggi (Wandari, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Hemoroid merupakan jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang terdiri dari pleksus
arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sfingter anus untuk
msencegah inkontinentia flatus dan cairan. Hemoroid dibagi menjadi 2, yaitu hemoroid interna
dan eksterna. Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis
mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Sementara hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan
penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat di sebelah distal garis mukokutan di dalam
jaringan di bawah epitel anus. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan pada
waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas. Diagnosis hemoroid dengan cara
anamnesis keluhan yang terdapat pada manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti anoskopi untuk hemoroid interna, proktosigmoidoskopi, dan pemeriksaan
feces. Tatalaksana dapat dilakukan dengan mengunakan terapi konservatif, terapi non operatif
elektif, dan terapi operatif seperti hemoroidektomi. Dengan melakukan terapi operatif dengan
hemoroidektomi hasilnya sangat baik namun bisa muncul kembali (rekuren) dengan angka
kejadian sekitar 2-5%. Dengan terapi yang sesuai, pasien yang simptomatik akan menjadi
asimptomatik.
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, H. Ali. 2013. PATOGENESIS,DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN MEDIK
HEMORROID SubBag.Gastroenterohepatologi - SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin : Fakultas Kedokteran Unpad Bandung
Ferry 2011. Hemoroid. http://ferryfawziannor.blogspot.com/2011/07/hemorrhoid.html. Diakses
tanggal 01 Juni 2015, 19.00
Mubarak, Hasnil. 2011. KARAKTERISTIK PENDERITA HEMOROID BERDASARKAN
UMUR. DAN JENIS KELAMIN DI RSUP H. ADAM MALIK TAHUN 2008 - 2009.
Medan : Universitas Sumatera Utara
NN. Wandari. 2012. Hemoroid. Medan : Universitas Sumatera Utara.
R. Sjamsoehidajat and Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
Sabiston, David C. 2011. BUKU AJAR BEDAH (ESSENTIALS OF SURGERY). Jakarta : EGC
Wandari, Novalita Ningtyas. 2012. PREVALENSI HEMOROID DI RSUP HAJI ADAM
MALIK MEDAN. Medan : Universitas Sumatera Utara