You are on page 1of 7

Referat Radiology - Akalasia Esofagus

ACHALASIA
ESOFAGUS
Elisabeth
Grety,
Ruslan
Duppa
PENDAHULUAN
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme,
megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk
pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian
bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.
Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian
proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong
atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses
menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. (1,2)
INSIDENS
DAN
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang, insidens
penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000
populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan.
Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran
sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus
didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.(2)
ETILOGI
DAN
PATOFISIOLOGI
Dasar penyebab Akalasia adalah tidak efektifnya peristaltis esophagus bagian distal serta
gagalnya relaksasi sfingter bawah. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel
ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan
bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan
penyebab
dari
akalasia.(2,3,4)
Menurut
etiologinya,
akalasia
dapat
dibagi
dalam
2
bagian,
yaitu:
(3)
Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga
disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup
berpengaruh
pada
kelainan
ini.
Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas.
Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.
ANATOMI
DAN
FISILOGI
Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal
sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan
memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah
makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari
esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20
cm.
Gambar
1.
Esofagus
(dikutip
dari
kepustakaan
6)
Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter

esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung.
Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam
lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan
berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas
dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter
berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang
disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam
lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka
dan
makanan
masuk
ke
dalam
lambung.(5)
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui suatu proses
menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi
yang
lunak,
proses
menelan
terdiri
dari
tiga
fase
yaitu
:
Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah
menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat.
Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas oleh
karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus
laring
tertutup
oleh
epiglotis
dan
sfingter
laring.
Fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena
relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat
makanan
sudah
lewat.(5)
DIAGNOSIS
Gambaran
Klinik
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan
sangat
jarang
pada
usia
lanjut.
Biasanya
gejala
yang
ditemukan
adalah
Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tibatiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau
progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada
malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan
abses
paru.
Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium
lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai
serangan
angina
pektoris.
Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk
mencegah
terjadinya
regurgitasi
dan
perasaan
nyeri
di
daerah
substernal.
Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat
komplikasi
dari
retensi
makanan.(3,4)
Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.(6)
Gambaran
Radiologi
Foto
Polos
Thoraks
Pada pemeriksaan Foto foto polos memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam
menegakkan diahnosis akhalasia. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dada akan
menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum
melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak retrocardia yang

didapatkan
pada
pasien
stadium
lanjut.
2,3,5
Gambar 1. Foto Thoraks dengan gambaran Akalasia esofagus dilatasi dengan tingkat cairan
udara (dikutip dari kepustakaan 7)
Esofagografi
Pemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis
pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus pada bagian proksimalnya. Pemeriksaan
esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga
distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di
bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like
appearance6
Gambar 3. Gambaran esofagus Normal pada Esofagografi (dikutip dari kepustakaan 6)
Gambar 4. Gambar menunjukan teknik dari Timed Barium Esopphagogram (TBE) menunjukan 3
radiograf dalam satu film pada menit ke 1,2,dan 5 setelah pemberian 250 ml Barium (dikutip dari
kepustakaan
7)
Gambar
5.
Barium
swallow
study
tampak
tanda
klasik
birds beak deformity pada distal oesophagus (dikutip dari kepustakaan 8)
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok dan memanjang
dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran
paruh burung (birds beak appearrance). Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi
dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.6,7,8
CT
Scan
Tidak biasanya digunakan untuk diagnosis. Dilihat sebagai struktur luminal melebar dengan
puing-puing dipertahankan dan penyempitan pada tingkat di mana ia memasuki perut.
Gambar 3. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan akalasia
Esofagus (dikutip dari kepustakaan 9)
Gambar 4. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan dilatasi pada
Esofagus distal(dikutip dari kepustakaan 9)
Fluoroskopi
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang
mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di
samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat
gangguan pengosongan esofagus.8,9
Gambar 7. Dalam akalisia klasik, esofagus membesar dengan kontraksi yang buruk semakin
rendah esophageal spinchter yang menghasilkan penampilan paruh burung (dikutip dari
kepustakaan
9)
C.
Endoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh
karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat
keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda

keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah
penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tandatanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan
melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung
dengan
mudah.
3
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa
normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga
didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan.
Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi
pada akalasia selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan
kawat
penunjuk
arah
sebelum
tindakan
dilatasi
pneumatik.3
Gambar 8. Gambaran esofagus normal pada pemeriksaan Endoskopi. (dikutip dari kepustakaan
11)
Patologi
Anatomi
Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus Auerbach yang
mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi dan hipertrofi esofagus.
Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan
manometri.(4,11)
Kriteria
Manometrik
:
Keadaan
normal
:
Tekanan
SEB
10-26
mmHg
dengan
relaksasi
normal
Amplitudo
peristaltik
esofagus
distal
50-110
mmHg
Tidak
dijumpai
kontraksi
spontan,
repetitif,
atau
simultan
Gelombang
tunggal
5
waktu
gelombang
peristaltik
esofagus
distal
rata-rata
30
detik
Pada
akalasia
:
Tekanan
SEB
meningkat
>26
mmHg
atau
>30
mmHg
Relaksasi
SEB
tidak
sempurna
Aperistaltik
korpus
esofagus
Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)
DIFFERENSIAL
DIAGNOSIS
Diagnosis
banding
akalasia
primer
adalah
:
(3)
Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai
megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.
Gambar 10. Esofagografi penyakit Chagas (dikutip dari kepustakaan 6)
Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan tetapi gangguannya
hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.
Gambar 11. Skleroderma dengan striktur peptikum. Kontras menunjukan segmen yang relatif
panjang menyempit yang meruncing di esofagus distal (panah) yang dihasilkan dari lambung
ditandai jaringan parut pada pasien dengan keterlibatan esophageal oleh skleroderma (dikutip

dari
Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus.

kepustakaan6)

Gambar 12. Tmpak massa di lumen esofagus sehingga menyebabkan penyempitan lumen dan
tepi
yang
ireguler.
(dikutip
dari
kepustakaan
8)
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus adalah
sebagai
berikut:1
Obstruksi
saluran
pethapasan
Bronkhitis
Pneumonia
aspirasi
Abses
paru
Divertikulum
Perforasi
esofagus
Small
cell
carcinoma
Sudden death
PENATALAKSANAAN
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat
dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa,
tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller) (12)
Terapi
Non
Bedah
Terapi
Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga
methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan
antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu,
dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat
mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien
yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang
mempunyai
kontraindikasi
atas
pneumatic
dilatation
atau
pembedahan.
Injeksi
Botulinum
Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan
asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan
keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi,
toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding
esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 12 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif
yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada
setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas
dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi;
persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua
setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi
pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih

sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau
pembedahan.1,2
Pneumatic
Dilatation
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu balon
dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat
otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan
80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali
dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke
ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi
kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal
dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Heller.
Terapi
Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan
untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari
sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial
fundoplication untuk mencegah refluks.
Gambar 13. Postoperative barium meal dari pasien dengan akalasia setelah Heller myotomy dan
prosedur
anti-reflux
Belsey-Mark
IV
(dikutip
dari
kepustakaan
13)
Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kirakira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95%
dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan
yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia
esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi,
operas kedua, atau pengangkatan esofagus (mis: esofagektomi).(10,13)
PROGNOSIS
Prognosis Achalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan motilitas,
semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis
untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil
yang
sangat
baik.(14)
DAFTAR
PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editors. . Buku Ajar Ilmu
Bedah.
EGC.
Jakarta.1997.hal.
593-676
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi IV jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
hal
:
322-4
Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th ed.
Jakarta:
Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC;
1995.
hal.
357-8,363-5.
Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th ed. Jakarta: Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC;
1995.
hal.
235-6.
Netter. Esophagus. Update 2011 November; [cited 2013 December 10] Available from URL:
http://www.netterimages.com/image/14331.htm
Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta.
Hal.
406
Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in diagnostic imaging.
2nd
ed.
Philadelphia:
W.
B.
Saunders
Company;
1984.
p.
522,525-6.
Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm\
Paschalidis N, Voulstos M, Baltagiannis N, Riszoz S. Oesophageal Achalasia. Update 2012.
[cited 5 december 2013]. Available from URL: http://www.jama.net/hellenicJournalofSurgery/84-5
Teplick JG, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System. in Rontgenologic Diagnosis vol
2.
3rd
ed.Phyladelphia;
WB
Saunders
Company
;
1976.
p.889

91.
Levine, M.Achalasia and diffuse esophageal spasm: Spectrum of findings and complementary
roles of barium studies and manometry. [updated: May 2006]; [cited: 4 Dec 2013]. Available from
URL:
http://www.appliedradiology.com/uploadedfiles/Issues/2006/05/Articles/AR_0506_Levine.pdf
Ahmad Z, Bhargava R, Pandey DK, Sharma DK, Beg M. An Uncommon Presentation of
Achalasia
Cardia.
[cited
2013];
Available
from
URL:
http://www.jiacm.com/journal/radio/topic6.htm
Goyal, Raj K.. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D., Boynton, S. D. Harrisons Principles
of Internal Medicine, 16th edition. New York : McGraw-Hill, Inc. 2005.p.1358

You might also like