Professional Documents
Culture Documents
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kontraktur
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh sehingga
terjadi keterbatasan rentang gerak (range of motion). Kontraktur adalah
kontraksi yang menetap dari kulit dan atau jaringan dibawahnya yang
menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak. Kelainan ini disebabkan
karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka, kelainan bawaan
maupun proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah akibat
luka bakar (Perdanakusuma, 2009).
Berdasarkan
B. Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1) I: gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan ruang lingkup
gerak maupun fungsi.
2) II: sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit penurunan
fungsi namun tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari secara signifikan,
tanpa penyimpangan arsitektur normal daerah yang terkena.
3) III: terdapat penurunan fungsi, dengan perubahan awal arsitektur normal
pada daerah yang terkena..
4) IV: kehilangan fungsi dari daerah yang terkena.
A Penyebab
Kontraktur diakibatkan karena kombinasi berbagai faktor meliputi:
posisi anggota tubuh, durasi imobilisasi, otot, jaringan lunak, dan patologis
tulang. Individu dengan luka bakar sering diimobilisasi, baik secara global
maupun fokal karena nyerinya, pembidaian, dan posisinya. Luka bakar dapat
meliputi jaringan lunak, otot, dan tulang. Semua faktor ini berkontribusi
terhadap kejadian kontraktur pada luka bakar (Schneider et al, 2006).
Berbagai hal yang dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut
(Adu, 2011):
1. Trauma suhu
Bedakan antara kontraktur jaringan ikat dan kontraktur miogenik atau neurogenik
Evaluasi secara fungsional dan estetika dari sendi atau jaringan pada sebelum dan sesudah terapi
benih
sedangkan
komponen
nonseluler
seperti
matriks
untuk
mempertahankan
kontraksi.
Pada
embryogenesis,
b. Leher belakang
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah ekstensi leher dan
pererakan leher yang lain sedangkan posisi yang mencegah terjadinya
kontraktur adalah duduk dengan posisi leher fleksi, berbaring dengan
menggunakan bantal di belakang kepala.
d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah ekstensi
siku.
f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan fleksi
jari-jari tangan, telapak tangan ditarik ke dalam sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi pergelangan tangan,
fleksi minimal MCP, ekstensi dan abduksi jari-jari tangan.
10
g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan adduksi
pangkal paha sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
10
11
11
12
telapak
kaki
dengan
menggunakan
bantal
untuk
12
13
13
14
Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah kontraktur
dan merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai program rehabilitasi
komprehensif. Pembidaian membantu mempertahankan posisi yang
mencegah kontraktur terutama terhadap pasien yang mengalami nyeri
hebat, kesulitan penyesuaian atau dengan area luka bakar yang dengan
menggunakan posisi pencegahan kontraktur saja tidak cukup.
Pembidaian dilakukan dengan posisi yang diregangkan sehingga
memberikan suatu latihan peregangan awal yang lebih mudah. Parut tidak
hanya berkontraksi namun juga mengambil rute terdekat, parut sering
menimbulkan selaput atau anyaman diantara jari-jari, leher, lutut, aksilda,
dan
lain-lain.
Bidai
membantu
merenovasi
jaringan
parutkarena
membentuk dan mempertahankan kontur anatomis. Bidai adalah satusatunya modalitas terapeutik yang tersedia dan berlaku yang dapat
mengatur tekanan pada jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan
remodeling jaringan.
Bidai dapat dibuat dari berbagai macam bahan. Bahan yang ideal
adalah yang memiliki temperature rendah dan ringan, mudah dibentuk,
dan disesuaikan kembali kemudian juga sesuai dengan kontur.
14
15
15
16
b. Jika parut menjadi tebal dan meninggi dapat menggunakan pijatan kuat
dan dalam menggunakan ibujari atau ujung jari untuk mengurangi
kelebihan cairan pada tempat tersebut.
c. Parut akibat luka bakar mengandung kolagen empat kali dibandingkan
dengan luka parut biasa. Pijatan yang dalam dengan pola sedikit
memutar dapat meningkatkan kesegarisan luka parut.
d. Penurunan sensoris dan perubahan sensasi dapat terjadi. Pijatan rutin
dan sentuhan pada parut dapat membantu desensitisasi dari luka yang
sebelumnya hipersensitif
e. Faktor psikologis dari seseorang yang memiliki kesulitan dan merasa
tidak enak dipandang dapat dikurangi dengan menyentuh parut dan
belajar bagaimana menerima keadaannya.
1
Terapi tekanan
Terapi tekanan adalah modalitas primer dalam penatalaksanaan
parut akibat luka bakar meskipun efektivitas klinis secara sains masih
belum terbukti. Pemberian tekanan pada area luka bakar diduga dapat
mengurangi parut dengan mempercepat maturasi parut dan mendorong
reorientasi terbentuknya serta kolagen. Pola parallel yang bertentangan
dengan pola luka yang berputar pada parut. Mekanisme yang diduga
adalah, pemberian tekana dapat menciptakan hipoksia lokal pada jaringan
parut sehingga mereduksi aliran darah yang sebelumnya hipervaskuler
pada luka parut. Hal ini mengakibatkan menurunnya influks kolagen dan
penurunan pembentukan jaringan parut. Sesegera setelah luka menjadi
tertutup dan dapat menerima tekanan, pasien menggunakan pakaian
tekanan.
5. Silicon
Silicon digunakan untuk mengobati parut hipetrofik. Mekanisme dalam
mencegah dan penatalaksanan parut hipertrofik masih belum jelas namun
kemungkinan silicon mempengaruhi fase
penyembuhan remodeling
kolagen.
Ketika luka bakar telah sembuh, pasien dan keluarganya harus
membiasakan untuk latihan peregangan, pemijatan, moisturizer, dan mandi di
16
17
air yang hangat. Semua hal ini dapat membantu mencegah kontraktur. Pasien
harus didorong untuk menggunakan tangan sebisa mungkin untuk aktivitas
dan kebutuhan sehari-hari. Jika mungkin digunakan untuk kembali ke
pekerjaan mereka (Pandya, 2001).
Obat-obatan antifibrogenik untuk mengatasi parut hipertrofi yang
dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut:
1. Antagonis TGF-
2. Interferon , ,
3. Bleomycin
4. 5-fluorouracil
5. kortikosteroid
Interaksi yang rumit antara berbagai faktor berpengaruh terhadap
penyembuhan dan menentukan hasil fibrotic atau regeneratif pada luka. Terapi
tunggal dalam melawan parut bekas luka banyak yang tidak berhasil karena
rumitnya interaksi antara sel luka dengan lingkungannya (Wong & Gurtner,
2010).
G. Penatalaksanaan Kontraktur
Seperti yang telah dijelaskan pada klasifikasi kontraktur, terutama
kontraktur derajat III dan IV memerlukan tindakan operasi sedangkan untuk
derajat I dan II tidak memerlukan tindakan operasi. (Adu, 2011). Untuk
menentukan terapi dari parut kontraktur maka klasifikasi tempat terjadinya
kontraktur harus dinilai. Bentuk dan kedalaman luka sebelum atau dalam
operasi. Penilaian setelah operasi juga penting untuk mengevaluasi metode
penatalaksanaan (Ogawa & Pribaz, 2010).
Prosedur operasi tidak boleh dilakukan selama fase aktif penyembuhan
dan pembentukan jaringan parut. Selama luka tersebut immature dan banyak
baskularisasinya tidak dilakukan operasi. Biasanya dibutuhkan waktu satu
tahun atau lebih. Luka harus menjadi matur, supel, dan avaskuler sebelum
dilakukan operasi (Goel & Shrivastava, 2010).
1. Pembebasan kontraktur
17
18
18
19
BAB II
KESIMPULAN
1.
Kontraktur adalah kontraksi yang menetap dari kulit dan atau jaringan
dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak. Kelainan ini
disebabkan karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka, kelainan
bawaan maupun proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah
akibat luka bakar.
1.
Rehabilitasi luka bakar harus dilakukan dengan baik dan benar untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
2.
19
20
DAFTAR PUSTAKA
Adu EJK. (2011). Management of contractures: a five-year experience at komfo
anokye teaching hospital in kumasi. Ghana Medical Journal 45(2):66-72.
Goel A & Shrivastava P. (2010). Post-burn scars and scar contractures. Indian
Journal of Plastic Surgery 43(3):63-71.
Ogawa R & Pribaz JJ. (2010). Diagnosis, assessment, and classification of scar
contractures. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer
Heidelberg Dordrecht London NewYork.
Pandya AN. (2001). Burn injury. Repair & Recontruction 2(2):1-16.
Perdanakusuma, DS. (2009). Surgical management of contracture in head and
neck. Annual Meeting of Indonesian Symposium on Pediatric Anesthesia &
Critical care, JW Marriot Hotel Surabaya.
Procter F. (2010). Rehabilitation of the burn patient. Indian Journal of Plastic
Surgery 43(Suppl):S101-S113.
Schneider JC, Holavanahalli R, Helm, P, Goldstein R, & Kowalske K. (2006).
Contractures in burn injury: defining the problem. Journal of Burn Care
Research 27(4):508-514.
Schwarz RJ. (2007). Management of postburn contractures of the upper extremity.
Journal of Burn Care Research 28:212-219.
Wong VW & Gurtner GC. (2010). Strategies for skin regeneration in burn
patients. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.
20