You are on page 1of 29

12

ANALISA KASUS
Pasien didiagnosis masuk rumah sakit sebagai premature 34 minggu, BBLR +
Sepsis. Didiagnosis dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan HPHT 1 Juni 2014. Sehingga pada tanggal 28 januari
2015 usia gestasi 34 minggu, dan sesuai dengan perkiraan USG. Berdasarkan
kurva lubchencho dan kurva fenton, neonatus tersebut kurang bulan- sesuai untuk
masa kehamilan. NKB-SMK.

13

14

Bayi Berat lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37
minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR).
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran premature. Faktor lainnya
yaitu factor umur ibu (< 20 tahun atau > 40 tahun), paritas, dan lain lain. Faktor
plasenta yaitu penyakit vascular, kehamilan ganda dan lain-lain, serta factor janin
(Pedoman Pelayanan Medis, 2011).
Usia ibu pada saat melahirkan adalah 41 tahun, dimana hal tersebut salah satu
factor resiko BBLR dari segi ibu (usia > 40 tahun). Ibu juga memiliki riwayat
kehamilan G7P5A1; yaitu grande multipara (paritas > 6) yang juga merupakan
factor pencetus BBLR dari segi ibu. Faktor plasenta seperti vascular tidak
diketahui, kehamilan ganda disangkal.
Skor Ballard dapat menjadi salah satu pemeriksaan usia gestasi neonates. Pada
kasus ini tidak dilakukan, karena Ballard score dilakukan pada usia neonates
kurang dari 12 jam, sedangkan pada kasus ini usia perawatan pertama pada saat
neonates usia 4 hari.
Pada neonatus tersebut memiliki masalah pencernaan/toleransi minum, yang
ditandai dengan reflek menghisap yang lemah serta OGT yang terdapat residu.
Masalah lain yang sering timbul pada BBLR adalah:
-

masalah pernapasan karena paru-paru yang belum matur,


masalah pada jantung,
perdarahan otak,
fungsi hati yang belum sempurna,
anemia atau polisitemia,
lemak yang sedikit sehingga kesulitasn mempertahankan suhu normal
resiko infeksi (Pedoman Pelayanan Medis, 2011).

Tatalaksana BBLR menurut Pedoman pelayanan Medis tahun 2011 yaitu


-

Pemberian vitamin K1
o Injeksi 1 mg IM sekali pemberian atau

15

o Per oral 2 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari dan umur 4-

6 minggu)
Mempertahankan suhu tubuh normal
o Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempretahankan suhu
tubuh bayi, seperti kontak kulit dengan kulit, kangaroo mother care,
pemancar panas, incubator, atau ruangan hangat yang tersedia di

fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk


o Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
o Ukur suhu tubuh sesuai jadwal
Pemberian minum
o ASI merupakan pilihan utama
o Apabila bayi mendapatkan ASi, pastikan bayi menerima jumalh yang
cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian ASi dan nilai
kemampuan menghisap paling kurang sehari sekali
o Apabila bayi sudah tidak mendpatkan cairan IV dan berat naik 20
g/hari selama 3 hari berturut turut, timbang bayi 2 kali seminggu
o Pemberian minum minimal 8x/hari. Apabila bayi masih menginginkan
dapat diberikan lagi (ad libitum)
o Indikasi nutrisi parentral yaitu status kardiovaskular dan respirasi yang
tidak stabil, fungsi usus belum berfungsi/terdapat anomaly mayor
saluran cerna, NEC, IUGR berat, dan berat lahir < 1000 g.
o Pada bayi sakit, pembrian minum tidak perlu dengan segera
ditingkatkan selama tidak ditemukan tanda dehidrasi dan kadar
natrium serta glukosa normal.

Neonatus tersebut sudah diberikan Vitamin K injeksi 1 mg IM sekali di RS Restu


Bunda. Dilakukan juga mempartahankan suhu tubuh normal 36,5 0C 37,50C
dengan menggunakan inkubator. Pada berat bayi 2100-2500 suhu incubator 330C
untuk usia neonatus 3 hari sampai dengan 3 minggu, kemudian diturunkan
menjadi 320C pada usai neonatus > 3 minggu (Pedoman Pelayanan Medis, 2011).
Tatalaksana pasien ini diberikan terapi antibiotik ceftazidime 105 mg/12 jam.
Menurut kami pemberian ini sudah tepat karena pada BBLR memiliki resiko
tinggi terhadap infeksi disebabkan karena
-

Bayi kurang bulan tidak mengalami transfer transplasental igG


maternal selama trismester tiga

16

Fagositosis terganggu
Penurunan berbagai faktor komplemen

Ceftazidime adalah antibiotika golongan cephalosporin golongan III. Ceftazidime


merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang bersifat bakterisidal.
Mekanisme kerja antibakteri dengan menghambat enzim yang bertanggung jawab
terhadap sintesa dinding sel. Secara in vitro ceftazidime dapat mempengaruhi
mikroorganisme dalam range yang luas termasuk yang resisten terhadap
gentamisin dan aminoglikosida lainnya. Dosis ceftazidime 50-100 mg/kgBB tiap
12 jam. Hal ini sesuai dengan yang diberikan pada pasien ini 105 mg/ 12 jam
(Rukmono, 2013)
Selain itu, angka kematian neonatus di unit perinatologi hampir menyumbang 60
% dari total kematian

bayi. Pseudomonas selalu muncul di unit perawatan

Neonatologi dan dihubungkan dengan tingginya angka kematian pada neonatus di


unit perawatan intensif. Reservoir potensial untuk pseudomonas meliputi alat-alat
resusitasi, humidifier, inkubator, susu formula, pompa payudara, bayi dengan
perawatan lama, dan tangan petugas kesehatan .Sehingga pada keadaan ini terapi
antibiotik secara empiris dengan penggunaan ceftazidine dinilai tepat karena
ceftazidine dinilai tepat mengatasi infeksi pseudomonas dan mampu melewati
sawar darah otak.
Ceftazidime sebagai antibiotika pencegahan infeksi nosokomial dihentikan pada
hari ke 3 dan digantikan dengan pemberian ronem. Penggantian dan penghentian
antibiotika pada pasien ini rasional dan merupakan penggunaan obat tidak rasional
dapat menyebabkan tingkat resisitensi kuman pada pasien ini meningkat.

Pada neonatus tersebut tidak diberikan ASI, melainkan dipuasakan pada hari
pertama disebabkan OGT yang memiliki residu. Neonatus tersebut dicurigai
memiliki refluks gastroesofageal. Pada neonatus yang dicurigai memiliki refluks
gastroesofageal, dapat dilakukan pemberian proton pump inhibitor, atau H2
reseptor antagonis. Pada pasien ini diberikan Omeprazol dengan dosis 1,5 mg/24
jam.

17

Pemberian omeprazol pada pasien ini telah sesuai. Dosis yang diberikan juga
sudah sesuai. Dosis omeprazol pada pasien kurang dari 2 tahun badalah 0,7
mg/kgBB/hari. Omeprazol bekerja adalah proton pum inhibitor. Pada neonatus
waktu pengosongan lambung cukup lama, ditambah dengan masih lemahnya LES
(lower esophagus sphincter) sehingga omeprazol merupakan salah satu obat yang
digunakan untuk mengurangi terjadinya Gastroesophagel Reflux pada pasien ini.
Gastrooesophageal Reflux (GOR) adalah keluarnya isi gaster ke dalam esophagus.
Manifestasi klinis muntah atau regugirtasi yang sangat sering terjadi pada infant,
kebanyakan bisa hilang sendiri tanpa pengobatan. Namun beberapa bayi yang
menangis terjadi GOR yang menyebabkan iritabilitas. Serta adanya silent
refluks. (Anonim, 2014).
(GAMBAR LOWER ESOFAGEAL SFINGTER)

Neonatus tersebut diberikan nutrisi parentral (NP) Menurut Etika R, NP


diindikasikan pada bayi BB< 1800 gam (yang kebutuhan nutrisi enteralnya tidak
dapat terpenuhi > 3 kali), BB > 1800 gram (yang kebutuhan nutrisi enteralnya
tidak dapat terpenuhi > 5 hari), gangguan respiraasi > 4 hari, malformasi
congenital traktus gastrointestinalis, enterokolitis nekrotikans, diareberlanjut atau
malabsorbsi, serta pasca operasi (khususnya operasi abdomen).
Menurut Hendarto, 2002 Nutrisi Parentral diberikan sebagai dukungan nutrisi bagi
pasien yang tidak dapat mengkonsumsi atau menyerap sejumlah makanan secara
adekuat melalui traktus gastrointestinal selama paling sedikit 5-7 hari. Yang

18

termasuk dalam kelompok ini adalah pasien yang karena suatu sebab atau keadaan
tidak dapat, tidak boleh atau tidak mau makan sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan bila hanya mendapat masukan peroral. Sedangkan kontraindikasi
pemberian NP adalah pasien yang dapat menkonsumsi nutrisi enteral sesuai atau
melebihi kebutuhan atau pemberian nutrisiparentral memberikan efek samping
yang lebih berbahaya dibandingkan dengan penyakit dasarnya.
Menurut Rukmono, 2013 pada neonatus beresiko tinggi diberikan nutrisi parentral
(IV). Neonatus beresiko tinggi adalah prematuritas, asfiksia perinatal, gawat
napas, sepsis, ketidakstabilan hemodinamik, paralisis ileus, obstruksi usus,
abnormalitas kraniofasial, celah bibir, celah langit-langit. Beberapa kekurangan
NP adalah mahal, lebih rumit, memerlukan banyak pemeriksaan laboratorium dan
pemantauan, serta memili banyak komplikasi.
Umumnya, neonatus cukup bulan enzim pencernaan sudah mencukupi kecuali
lactase, dan diperkirakan sekitar 25% NCB sampai usia 1 minggu menunjukkan
intoleransi laktosa. Aktivitas enzim sukrase dan lactase lebih rendah pada BBLR
dan sukrase lebih cepat meningkat daripada lactase. Disamping masalah enzim,
kemampuan pengosongan lambung (gastric emptying time) lebih lambat pada
bayi BBLR dari pada bayi cukup bulan. Demikian pula fungsi menghisap dan
menelan (suck and swallow) masih belum sempurna, terlebih bila bayi dengan
masa gestasi kurang dari 34 minggu. Nasar, 2004).
Atas dasar kecurigaan Gastroesofageal Refleks, sehingga menyebabkan keadaan
tidak diperbolehkan makan, gangguan enzim, gangguan pengosongan lambung
dan termasuk kelompok neonatus beresiko tinggi (klinis sepsis) maka neonatus
tersebut dipuasakan pada hari pertama perwatan.

Kebutuhan cairan pada neonatus preterm hari keempat adalah :130-150


cc/kgBB/hari, protein 2.5 g/kbb/hari, kalsium (Ca glukonas) 1 cc/kg/hari, Kalium
(KCl 10%) 1 cc/kg/hari, Natrium (NaCl 3%) 4 cc/kg/hari dan mempertahankan
nilai GIR 6-8 (Rukomono, 2013).

19

Sehingga pada pasien ini harus dipenuhi kebutuhan cairan : 2.1 kg x 130 cc/hari=
273 cc/hari. Terdiri dari 21 cc dextrose 21%, protein 2.5 g/kgBB/hari = 5.25 g/hari
atau setara dengan 90 cc aminoi steril infant 6%, dan kebutuhan elektrolit bayi
hari keempat kalsium (Ca glukonas) 1 cc/kg/hari = 2.1 cc/hari, Kalium (KCl 10%)
1 cc/kg/hari = 2,1 cc/hari, Natrium (NaCl 3%) 4 cc/kg/hari = 8,4 cc/hari.
Rate didapatkan [273 cc - 90 cc (2.1 cc + 2.1 cc + 8.4 cc)] / 24 = 7.1 cc. GIR =
(rate x glukosa)/(6xBB) = (7.1x 10)/(6 x 2,1)= 5.6.Bila pemberian glukosa hanya
berupa dextrose 10% maka nilai GIR pada pasien ini adalah 5.6. Dengan dextrose
21% nilai GIR 6. Pemberian dextrose yang sesuai agar dapat mempertahankan
GIR 6 adalah 10.6%.
Pemberian konsentrasi dextrose lebih dari 12,5% harus menggunakan akses
sentral/umbilical (Rukmono, 2013). Sehingga pada pasien ini pemasangan jalur
Intravena sentral/umbilical tidak dilakukan.
Pada pasien ini, tidak diberikan lipid, karena terjadi hiperbilirubinemia. Pada
hiperbilirubinemia dilarang diberikan lipid, karena terjadi kompetisi dengan
albumin sehingga mengakibatkan bilirubin bertambah naik. Kontraindikasi lain
pemberian lipid yaitu trombosit dibawah 100 ribu (Rukmono, 2013).
Trofik feeding / priming feeding dimulai dengan pemberian minum 10-30
cc/kgBB/hari. Tingkatkan sebanyak 5-20 ml/kgBB/hari. Waktu tercapainya
pemberian asupan secara full feeding 3-5 hari pada bayi > 2000 g, atau 10-14 hari
pada bayi < 1250 gram. Fulfed feeding bila minum diatas 150 cc/kgBB/hari.
Pemberian maksimum per hari adalah 250 cc/kgBB/hari (Rukmono 2013)
Pada pasien ini, nutrisi enteral berupa susu diberikan pada hari kedua perawatan
atau usia lima hari. Pemberian menggunakan OGT dimulai dari 2 cc dinaikkan
bertahap menjadi 5 cc, 9 cc, 10 cc, 12 cc, dan 25 cc. Dimulainya pemberian
enteral ketika BAB +, abdomen lemas, ogt sudah tidak terdapat residu.

20

Ada beberapa kriteria dalam menentukan infeksi, sepsis, sepsis berat dan syok
sepsis, yaitu (Hegar et al, 2005):
Kriteria Diagnosis Sepsis pada neonatus menurut The International Sepsis Forum,
yang diambil dari Amir, 2005
Variabel klinis
-

Instabilitas suhu
Denyut jantung = 180x / menit(> SD untuk usianya)
Frekuensi nafas > 60 kali/menit ditambah merintih/ retraksi atau desaturasi
Letargis atau penurunan kesadaran
Intoleransi glukosa (glukosa plasma > 10 mmol/L)
Intoleransi minum

Variabel hemodinamik
-

Tekanan darah 2 SD di bawah batasan normal untuk usianya


Tekanan darah sistolik <50 mmHg (neonatus usia 1 hari)
Tekanan darah diastolic < 65 mmHg (bayi=1 bulan)

Variabel perfusi jaringan


-

Waktu pengisian kembali kapiler >3detik


Laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel inflamasi
-

Leukositosis (hitung jenis leukosit >34.000/mL)


Leukopenia (hitung jenis leukosit < 5.000/mL)
Neutrofil imatur > 10%
Immature : Total neutrophil (IT) ratio >0,2
Trombositopenia < 100.000/mL
CRP > 10 mg/dL atau >2 SD di atas nilai normal
Prokalsitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD di atas nilai normal
IL-6 atau IL 8 > 70 pg/mL
16 S PCR positif.

Pada neonatus tersebut variable klinis yang memenuhi yaitu letargis dan
intoleransi minum. Denyut jantung 144x/menit; tidak lebih dari 180x/menit.
Frekuensi nafas 44x/menit; tidak lebih dari 60 kali/menit walaupun dengan
retraksi ringan dan merintih pada auskultasi. Kadar gula darah tidak diperiksa.
Variabel hemodinamik tidak diperiksa, yaitu tidak dilakukan pengukuran tekanan
darah pada neonatus tersebut. Variable perfusi jaringan baik; < 2 detik. Laktat

21

plasma tidak diperiksa. Kadar trombosit < 100.000/uL; yaitu 25.000 pada
perawatan hari kedua. Leukosit yaitu 5.200/uL (tidak melebihi 34.000/uL maupun
kurang dari 5.000/uL), CRP kuantitatif negative (tidak lebih dari 10 mg/dL atau
tidak > 2 SD di atas nilai normal). Jadi, pada kasus ini kami menyimpulkan
terjadinya sepsis klinis (karena terdapat dua variabel klinis yang memenuhi dan
satu variable inflamasi yang memenuhi).
Infeksi

Terbukti infeksi (proven infecetion) bila ditemukan kuman


penyebab atau tersangka infeksi (suspected infection) bila
terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan

Sepsis
Sepsis berat

penunjang lain)
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai
gangguan napas akut atau adanya gangguan dua organ lain
(seperti gangguan neuologi, hematologi, urogenital, dan

Syok sepsis

hepatologi)
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sitolilik <65 mmHg
pada bayi<7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30hari)

Sepsis merupakan proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis
berat, syok sepsis, disfungsi multiorgan dan kematian. Dalam alur infeksi tersebut,
kesulitan yang dihadapi adalah menentukan fase yang diderita pasien saat
pemeriksaan dilakukan. Konsep SIRS sendiri teleah diterima dan dipahami pada
pasien dewasa, namun pada anak dan neonatus masih memerlukan evaluasi karena
pada neonatus umumnya ditemukan berbagai tingkat defiseinsi sistem pertahanan
tuhuh, sehingga respons sistemik pada janin dan neonatus akan berlaainan dengan
orang dewasa. Sebagai contoh, infeksi awitan diini respons sitemik pada bayi
yang mungkin terjadi saat masih didalam kandungan yang dikendal dengan istilah
FIRS (fetal inflammatory response syndrome), yaitu infeksi janin atau neonatus
terjadi karena penyebaran infeksi dari kuman vagina (ascending infection) atau
infeksi yang mejalar secara hematogen dari ibu yang mengalami infeksi. Konsep
infeksi pada neonatus bermula dengan FIRS, kemudian sepsis hingga kematian.

22

Definisi FIRS pada infeksisi neoantau sagak berbeda dengan anak atau dewasa.
(Hegar et al, 2005).
Sepsis pada bayi baru lahir merupakan infeksi aliran darah yang bersifat invasif
dan bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air
kemih. Sepsis dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awiatn dini dan awitan
lambat. Istilah sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan sindrom disfungsi multi organ
merupakan istilah yang muncul sejak adanya konsensud dari American College of
Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) (Aminullah,
2014).
Patofisiologi dan perjalanan penyakit infeksi pada neonatus
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
a. Napas >60x/menit dengan atau tanpa retraksi
dan desaturasi O2
b. Suhu tubuh tidak stabil (<36.5 atau >37.5)
c. CRT >3detik
d. Leukosit <4000/uL atau >34.000/uL
e. CRP>10mg/dl
f. IL-6 atau IL-8 >70 pg/ml
g. 16 S rRNA gene PCR: positif
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan
gejala klinis infeksi.
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik
Adanya disfungsi multiorgan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan optimal

FIRS

Sepsis
Sepsis berat
Syok sepsis
Sindrom disfungsi
multiorgan
Kematian

Diagnosis klinis sepsis neonatus mempunyai maslaah tersendiri karena gambaran


klinis tidak spesifik. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan
penyakit non infeksi BBL lain seperti sindrom gangguan nafas, perdarahan
intracranial dan lain-lain. Demikian pula gejala sepsis klasik yang ditemukan di
anak-anak, namun keterlambatan dalam diangonsis berpotensi megnancam
kelangsungan hidup bayi, selain itu akan berbpengaruh pada prognosis pasien.

23

Pemeriksaan penunjnag lain selain kultur darah, seperti C reaktif rprotein, rasio
IT, dll tidak spesifik dan tidak dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam
diangonsis pasien sepsis. Pemeriksaan biomolekular dan respons imun/sitokin
dianggap lebih bermanfaat dalam menunjang diagnostic sepsis neonatal
(Aminullah, 2014).Menurut analisis kami, sudah ada infeksi pada pasien ini.
Menurut patogenesis dan perjalanan penyakitnya, faktor resiko infeksi dapat
terjadi saat bayi masih dalam kandungan, saat persalinan, atau setalah
lahir/pascanatal. Sepsis dapat ditegakkan bila terdapat SIRS (Systemic
Inflamatory Respons Syndrome (SIRS). SIRS pada neonatus dapat ditegakkan
bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel sebagai berikut (Hegar et al, 2005):
Usia Neonatus Suhu

Nadi/menit

Napas/men

0-7 hari

>38.5c

atau >180

it
atau >50

Usia 7-30 hari

<36c
>38.5c

<100
atau >180

atau >40

<36c

Jumlah Leukosit
X 103/mm3
>34
>19.5 atau <5

<100

Pada pasien ini didapatkan N:144x/menit RR:44x/menit T:36.90c, dan leukosit


(hari ke dua perawatan) 5.200 / uL. Hal ini tidak memenuhi salah satu kriteria dari
tabel diatas tetapi memenuhi variable klinis sepsis (lihat penjelasan di atas).
Neonatus tersebut memiliki riwayat asfiksia ringan. Ada beberapa definisi
mengenai asfiksia, menurut IDAI, asfiksia neonatorum merupakan kegagalan
napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Menurut WHO,
asfiksia merupakan kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir. Sedangkan menurut ACOG dan AAP, neonatus disebut mengalami asfiksia
bila memenuhi kondisi sebagai berikut (Depkes, 2008) :
-

Nilai apgar menit kelima 0-3


Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7)
Gangguan neurologis (misal:kejang, hipotonia atau koma)
Gangguan sistem multiorgan (misal: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

24

Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR


-

Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3


Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
BAyi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
Bayi normal dengan nilai apgar 10 (Ghai, 2010)

Asfiksia merupakan diagnosa yang ditegakkan langsung begitu bayi baru lahir.
Skor APGAR pada menit pertama adalah 7 dan menit ke 5 adalah 8. Berdasarkan
nilai APGAR, digolongkan degan asfiksia ringan. Tetapi jika merujuk kriteria
yang telah ditetapkan oleh ACOG dan AAP, dimana apgar menit kelima 0-3; maka
tidak memenuhi. Tidak dilakukan pemeriksaan darah tali pusat, tidak ada
keterangan mengenai gangguan sistem neurologis, kardiovaskular, hematologi,
pulmoner maupun system renal.
Beberapa hal dapat menjadi faktor terjadinya asfiksia pada neonatus, yaitu :
(Depkes, 2008)

25

Pasien ini lahir post SC ai G7P5A1 preterm 34 minggu janin tunggal hidup
presentasi bokong dengan lilitan tali pusat. Hal ini sesuai dengan faktor resiko
terjadi asfiksia pada pasien ini, dimana faktor resiko terjadinya asfiksia yaitu
BBLR, malpresentasi, ibu demam saat kehamilan, dan riwayat kematian neonatus
sebelumnya.
Kegawatan napas dinilai menggunakan skor Down (Firmasnyah, 2013)
Skor Down
Kecepatan napas
Retraksi
Sianosis

0
<60 x/menit
Tidak ada retraksi
Tidak ada sianosis

1
2
60-80 x/menit
>80x/menit
Retraksi ringan
Retraksi berat
Sianosis
hilang Sianosis
tidak
dengan O2
Udara

hilang

dengan

O2
masuk Tidak ada udara

Udara masuk

Ada

Megap-megap

berkurang
masuk
Tidak ada megap- Terdengar melalui Terdengar tanpa

(merintih)

megap (merintih)

stetoskop

menggunakan
alat bantu

Skor<4
Skor 4-5
Skor 6

Gangguan pernapasan ringan


Gangguan pernapasan sedang
Gangguan pernapasan berat (perlu dilakukan analisa
gas darah)

Intrepretasi skor downe lain dalam mengevaluasi gawat napas pada neonatus.
Nilai skor downe <4 : tidak ada gawat napas, 4-7 : gawat napas, dan >7 ancaman
gagal napas (analisa gas darah harus dilakukan). (Rukomono, 2013)
Berdasarkan penilaian pada pasien ini, didapatkan skor downe 2 (tidak ada gawat
napas) dengan uraian, sebagai berikut:
-

Frekuensi nafas
Retraksi
Sianosis
Udara masuk
Rintihan

< 60x
ringan
bilateral
+ dengan stetoskop

0
1
0
0
1

26

Total

2 tidak ada gawat nafas

Pasien didiagnosis sebagai hiperbilirubinemia pada hari kedua perawatan (usia


lima hari). Didiagnosis dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Hiperbilirubinemia merupakan suatu hal yang paling sering dijumpai pada bayi
yang baru lahir, dimana merupakan suatu keadaaan dimana terjadinya peningkatan
kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Buku ajar neonatolgi IDAI,
2012). Hiperbilirubinemia neonatal juga diartikan sebagai kadar bilirubin total
(total serum bilirubin ) lebih dari 5 mg/dl (86umol/l) (Rukmono, P., 2013).
Penyebab hiperbililirubinemia dapat disebabkan karena faktor fisiologis atau
patologis atau keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang
mendapatkan asi dan bayi kurang bulan. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara
lain frekuensi menyusui yang tidak ade kuat, hambatan ekskresi bilirubin hepatik
dan reabsorbsi bilirubin di usus halus (Buku ajar neonatologi IDAI, 2012).
Peningkatan kadar bilirubin pada neonatus dibagi menjadi 2 kelas besar yaitu
1. Hiperbilubinemia fisiologis
Dimana kadar bilirubin indirek pada neonatus cukup bulan dapat mencapai
6-8 mg/dl pda usia 3 hari, setelah itu akan berlangsung turun. Kadar
bilirubin indirek pada bayi prematur dapat mencapai 1-12mg/dl pda hari
ke 5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dl tanpa ada kelainan tertentu.
Kemudian pada usia 1 bulan kadar bilirubin <2mg/dl baik pda bayi
prematur atau non prematur.
Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi bila :
a. Kuning terlihat setelah usia 24 jam
b. Peningkatan kadar total serum bilirubin <5mg/dl per hari
c. Kadar puncak bilirubin ditemukan pada hari ke 3-5, dengan total
serum bilirubin tidak melebihi 15 mg/dl
d. Ikterik menghilang setelah satu minggu pada bayi cukup bulan dan 2
minggu pada bayi kurang bulan.
2. Hiperbilirubinemia non-fisiologis
1. ikterik sebelum usia 24 jam

27

2.
3.
4.
5.

peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi


peningkatan bilirubin serum > 5mg/dl/24jam
kadar bilirubin terkonjugasi > 2mg/dl
bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,

penurunan berat badan, apneu, takipneu, instabilitas suhu)


6. ikterus yang menetap > 2 minggu.
(Buku ajar neonatologi IDAI, 2012)
Pasien ini mengalami hieperbilirubinemia fisiologi. Kadar puncak bilirubin, yaitu
tidak melebihi 15 mg/dl (yaitu 8,5 mg/dl pada usia 5 hari). Kadar bilirubin
terkonjugasi/direk 0,3 mg/dl (tidak melebihi 2 mg/dl), walaupun neonatus datang
pada saat usia 4 hari; tidak dipantau apakah kuning terlihat sejak usia < 1 hari.
Tidak diperiksa total serum bilirubin per hari, sehingga tidak mengetahui
peningkatan total serum bilirubin apakah > 5 mg/dl per hari. Sudah diberikan
fototerapi pada usia< 2 minggu; sehingga tidak mengataui apakah ikterus tersebut
menetap > 2 minggu.
Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, hal ini timbul
karena adanya akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Zbilirubin XI alpha ) yang
bewarna ikterus pada sklera dan kulit (Buku ajar neonatologi IDAI, 2012)
Iketerus merupakan suatu keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar
bilirubin darah 5-7mg/dl (Buku ajar neonatologi IDAI, 2012).Jaundice atau ikterik
merupakan suatu hal yang timbul karena hati tidak dapat membersihkan hasil
metabolisme dari dalam darah (Averys Neonatology., 2005).
Diagnosis hiperbilubinemia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan temuan klinis
dan adanya hasil pemeriksaan laboratorium. Temuan klinis pada pasien ini
didapatkan adanya ikterik pada bagian wajah, sklera pada mata, dada, perut
(dibawah umbilical hingga lutut).
Hal ini juga di sesuaikan dengan skor kadar bilirubin berdasarkan skor kramer
Untuk bayi kurang bulan adalah

28

Daerah ikterus
Wajah dan leher
Dada dan punggung
Perut

1
2
3

Range

Kadar bilirubin
4,1 7,5 mg%
5,6 12,1 mg%
7,1 14,8 mg%

9,3 18,3 mg%

(di bawah umbilikal)


hingga lutut
Lengan dan ekstremitas
bawah
(di bawah lutut)
Tangan dan kaki

10,5mg%

(kramer li, 1969)


Berdasarkan tabel kramer hiperbilubin pada pasien ini diperkirakan 7,1-14,8mg%.
Penegakan diagnosis hiperbilurubin pada pasien ini dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan kadar bilirubin total, kadar bilirubin direk, dan kadar bilirubin
indirek. Hasil pada pemeriksaan bilirubin pada pasien ini didapatkan :

Bilirubin Total : 8,5 mg/dL


Bilirubin Direk : 0.3 mg/dL
Bilirubin Indirek : 8.2 mg/dL

Kesan : ketiga bilirubin mengalami peningkatan.


Pada kasus ini kami setuju dilakukannya pengukuran bilirubin total, direk, dan
indirek, hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar kadar bilirubin yang
beredar di dalam darah, untuk mengetahui seberapa besar kadar bilirubin direk
dan indireknya hal ini ditujukan untuk mencari penyebab dari hiperbilirubinemia
itu sendiri, apakah disebabkan karena faktor yang mempengaruhi bilirubin direk
dan bilirubin indirek. Penilaian kadar bilirubin juga dimaksudkan menentukan
therapi yang akan diberikan untuk pasien ini.
Pada pasien ini terjadi peningkatan bilirubin direk : 0,3 mg/dl. Peningkatan
bilirubin direk dapat terjadi karena :

Obstruksi
Atresia biliaris, kista choledochal, rotor-dubin jhonson, hypothyroid,
others (batu empedu, tumors)
Infeksi

29

Bacterial, TORCH, protozoal, virus


Metabolik/ penyakit genetik
Gangguan pada metabolisme lemak, idhiopatic neonatal hepatitis,
gangguan metabolisme pada asam empedu, dll.

Dalam kasus hiperbilirubinemia, penegakkan diagnosis untuk mencari tau


penyebab harus dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan fisik
secara langsung melihat apakah bayi terlihat kuning pada cahaya normal dan
menggunakan skor Krammer (Rukmono, 2013).
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang harusnya dilakukan adalah :
1. Kadar bilirubin total, indirek dan direk. Dilakukan pada pasien ini.
2. Golongan darah dan rhesus ibu dan anak. Tidak dilakukan pada anak ini.
Mengetahui golongan darah dari anamnesis ibu saja.
3. Combs Test untuk melihat direk antibody dari darah tali pusat. Tidak
dilakukan pada pasien ini.
4. Pemeriksaan darah lengkap untuk menilai adanya hemolitik. Morfologi
eritrosit dan menilai adanya proses infeksi. Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan darah lengkap. Didapatkan Hb : 16 g/dL, trombosit 289.000,
leukosit 37.500/ul. Sehingga pada pasien ini, ada proses infeksi yang
ditandai dengan meningkatnya leukosit. Namun, proses hemolitik belum
dapat disingkirkan sepenuhnya.
5. Pemeriksaan retikulosit untuk melihat adanya proses hemolitik. Pada
pasien ini tidak dilakukan.

30

Pada pasien ini penatalaksanaannya adalah dengan fototerapi selama 2 hari,


namun tidak dijelaskan berapa jam bayi terpapar sinar UVB. Pada bayi dengan
hiperbilirubinemia memang dilakukan penyinaran dengan UVB spectrum
cahaya biru-hijau, dengan jarak 45-50 cm, ubah posisi bayi setiap 3 jam

31

kemudian pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairan, pantau suhu tubuh bayi
dan udara ruangan setiap 3 jam, periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam
dengan bayi yang kadar bilirubinnya cepat meningkat, bayi kurang bulan, atau
bayi sakit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang setelah 12-24 jam setelah
terapi sinar diberikan. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun dibawah
batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan
transfusi tukar (Sukadi, A., 2012).

Pada pasien ini terjadi peningkatan bilirubin direk : 0,5 mg/dl. Peningkatan
bilirubin direk dapat terjadi karena :

Obstruksi
Atresia biliaris, kista choledochal, rotor-dubin jhonson, hypothyroid,
others (batu empedu, tumors)
Infeksi
Bacterial, TORCH, protozoal, virus
Metabolik/ penyakit genetik
Gangguan pada metabolisme lemak, idhiopatic neonatal hepatitis,
gangguan metabolisme pada asam empedu, dll.

32

Pada pasien ini terjadi peningkatan bilirubin indirek : 8,2 mg/dl. Peningkatan
bilirubin direk dapat terjadi karena :

Peningkatan produksi
ABO or RH(D) incompatibilitas, hemoglobinapaty : alpha atau beta
thalasemia, kurang enzym eritrosit : G6PD defisiensi, piruvat kinase

defisiensi, congenital erythropeietic porphyria, dan lain-lain (sepsis)


Penurunan clearance
Syndrom crigler-najjar, syndrom gylbert, congenital hypotiroidism
Peningkatan sirkulasi enterohepatic
Breast feeding jaundice: dehidration, breast milk jaundice, penurunan
motilitas usus (Abrams, s., 2008)

Tatalaksana hiperbilirubinemia berdasarkan American Academy of Pediatric


(2004) adalah

tetap berikan Asi pada bayi,


cari penyebab hiperbilirubinemia,
periksa kadar serum total bilirubin atau bilirubin transkutan pada neonatus

dengan jaundice yang muncul pada 24 jam pertama kehidupan,


berikan fototerapi jika neonatus cukup bulan sehat terlihat kuning pada

bagian tubuh manapun pada hari pertama kehidupan dan


lakukan transfusi tukar jika fototerapi gagal, berikan informasi yang tepat
pada orang tua mengenai neonatus dengan jaundice.

Pada pasien ini diberikan tatalaksana berupa minum Asi 35cc/ 3 jam, untuk
pemberian asi kepada pasien hiperbilubinemia sudah sesuai dengan tatalaksana
yang ada menurut American Academy of Pediatric (2004),
Pemberian Asi 35 cc/3 jam berdasarkan pada tabel pemberian makan enteral, dan
diberikan secara peroral (Rukmono, P., 2012)
Bb (gram)
<750
750-1500
1000-1500
1500-2000
2000-2500
>2500

Mulai
(ml)
0,5-1
1-2
1-2
2-3
4-5
10

Interval
(jam)
1-2
2
2
2-3
3
3-4

Volume
(ml)
0,5-1
1-2
1-2
2-4
3-5
7-10

Frekuensi
(jam)
>24
12-24
>24
>12
>8
>6

33

Penatalaksanaan selanjutnya menurut AAP adalah mencari penyebab terjadinya


jaundice. Mencari penyebab terjadinya ikterik paling sederhana adalah dengan
menggunakan anamnesa. Hal yang ditanyakan adalah :
1. riwayat keluarga ikterik, anmemia, splenektomi, anemia hemolitik
herediter
2. riwayat keluarga penyakit hati yang menandakan galaktosemia, defisiensi
a-1 antitripsin, tirosinosis, hypermethionemia, gilbert disease, criglernajjar syndrom tipe I-II, atau cystic fibrosis.
3. Etnik dan geografik
4. Riwayat saudara kandung dengan ikterik atau anemia, mengarah pada
kemungkinan inkompatibilitas atau breast-milk jaundice
5. Ibu sakit selama hamil, dengan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma, bayi yang lahir dari ibu penderita diabetes
6. Ibu mengonsumsi obat-obatan yang menggeser ikatan bilirubin dengan
albuminatau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi g6pd
7. Persalinan dengan trauma dengan akibat perdarahan ekstravaskular dan
hemolisis. Oksitosin mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia
neonatal. Bayi asfiksia dengan HIE (Hipoxic ischemic enchephalopathy)
dapat mengalami hiperbilirubinemia disebabkan gangguan metabolisme di
hati akibat perdarahan intrakranial. Pengikatan tali pusat yang terlambat
juga dapat menyebabkan polisitemia dengan bilirubin yang meningkat.
8. Bayi dengan buaang air besar terlambat atau tidak teratur yang disebabkan
gangguan pencernaan atau obstruksi usus yang menyebabkan peingkatan
sirkulasi enterohepatic.
9. Pemberian air susu ibu (gregory MLP, Martin CR, dan cloherty JP., 2012)

Pada pasien ini dilakukan pencarian terhadap faktor penyebab terjadinya ikterik,
yaitu berupa pengecakan golongan darah ibu , anak dan ayah. Namun meskipun
begitu hal ini dirasa kurang tepat menurut kami, karena faktor penyebab
terjadinya ikterik tidak hanya ABO inkompatibilatas, masih banyak faktor lain
yang dapat menyebabkan terjadinya ikterik, anemnesa yang lebih tajam
diharapkan dapat menyingkirkan kemungkinan- kemungkinan yang disebabkan
karena ikterik dan untuk menentukan tatalaksana lebih lanjut.

34

35

36

Meskipun pada kenyataannya tidak dilakukan anamnesis secara lengkap pada


pasien ini, kami melakukan anamnesis yang berkaitan untuk mencari penyebab
dari ikterik. Hasilnya adalah
1. Golongan darah bayi, ibu, dan ayah

Ayah
Ibu
Bayi

Golongan

Rh

darah
O
A

+
+

Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa kemungkinan bahwa ikterik


pada bayi ini disebabkan karena penyakit hemolitik yang disebabkan
karena imune yaitu rh alloimunitas, ABO inkompatibilitas kecil
kemungkinan terjadi pada pasien ini.
Rh alloimunitas, ABO inkompatibilitas terjadi ketika darah bayi dari rh
(D) positive kemudian bercampur dengan rh-negative ibu melalui sirkulasi
plasenta (Averys neonatologi, 2005). Dan juga pada riwayat kelahiran
sebelumnya tidak terjadi kuning pada bayi ibu pasien yang pertama.

2. Pada anamnesis kami juga menanyakan, riwayat keluarga penyakit hati


yang menandakan galaktosemia, defisiensi a-1 antitripsin, tirosinosis,
hypermethionemia, gilbert disease, crigler-najjar syndrom tipe I-II, atau
cystic fibrosis (Rukmono, 2013). Ibu sakit selama hamil, dengan
kemungkinan infeksi virus atau toksoplasma, bayi yang lahir dari ibu
penderita diabetes. Ibu mengonsumsi obat-obatan yang menggeser ikatan
bilirubin dengan albuminatau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan
defisiensi g6pd.
Hasil anamnesis didapatkan bahwa segala hal yang ditanyakan tidak
terdapat pada keluarga.
3. Etnik dan geografik

37

Keluarga merupakan orang berketurunan jawa , didalam keluarga tidak ada


yang berasal dari asia timur, yunani, dan indian. Hal ini menyingkirkan
faktor etnik dan geografik (Rukmono, 2013)
4. Riwayat persalinan dengan trauma, akibat perdarahan ekstravaskular dan
hemolisis, dan riwayat kelahiran. Apakah ada asfiksia atau tidak. Bayi
asfiksia dengan HIE dapat mengalami hiperbilirubinemia disebabkan
gangguan metabolisme dihati atau akibat perdarahan intracranial. Pada
pasien ini, bayi lahir dengan seksio sesar dimana akan timbul perlukaan
(trauma) pada bayi dan juga bayi mengalami asfiksia.
5. Pemberian air susu ibu. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice
dengan breast milk jaundice. Dimana breast feeding jaundince adalah
ikterus akibat kekurangan ASI yang timbul pada hari kedua atau hari
ketiga sedangkan breast milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
air susu ibu yang menyebabkan bilirubin akan terus meningkat sampai
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari (Rukmono, 2013). Pada pasien
ini hari pertama

mendapatkanASI, sehingga cukup sulit untuk

menentukan apakah ini hiperbilirubinemia akibat ASI apalagi belum ada


penghentian ASI untuk melihat apakah ASI yang mempengaruhi kejadian
hiperbilirubinemia pada pasien ini. Karena pada breast milk jaundice,
untuk menentukan apakah benar akibat dari breast milk jaundice, kita
harus menghentikan pemberian ASI 24 jam (Rukmono, 2013).

Dalam kasus hiperbilirubinemia, penegakkan diagnosis untuk mencari tau


penyebab harus dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan fisik
secara langsung melihat apakah bayi terlihat kuning pada cahaya normal dan
menggunakan skor Krammer (Rukmono, 2013).
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang harusnya dilakukan adalah :
1. Kadar bilirubin total, indirek dan direk. Dilakukan pada pasien ini.
2. Golongan darah dan rhesus ibu dan anak. Tidak dilakukan pada anak ini.
Mengetahui golongan darah dari anamnesis ibu saja.

38

3. Combs Test untuk melihat direk antibody dari darah tali pusat. Tidak
dilakukan pada pasien ini.
4. Pada pasien ini, diagnosis tanda proses hemolitik belum dapat
disingkirkan

sepenuhnya

karena

tidak

dilakukan

pemeriksaan

penunjunang yang mendukung.


5. Pemeriksaan retikulosit untuk melihat adanya proses hemolitik. Pada
pasien ini tidak dilakukan.

39

40

Pada pasien ini penatalaksanaannya adalah dengan fototerapi selama 2 hari,


namun tidak dijelaskan berapa jam bayi terpapar sinar UVB. Pada bayi dengan
hiperbilirubinemia memang dilakukan penyinaran dengan UVB

spectrum

cahaya biru-hijau, dengan jarak 45-50 cm, ubah posisi bayi setiap 3 jam
kemudian pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairan, pantau suhu tubuh bayi
dan udara ruangan setiap 3 jam, periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam
dengan bayi yang kadar bilirubinnya cepat meningkat, bayi kurang bulan, atau
bayi sakit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang setelah 12-24 jam setelah
terapi sinar diberikan. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun dibawah
batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan
transfusi tukar (Sukadi, A., 2012).
Pada pasien ini dilakukan fototerapi selama 2 hari dan cek bilirubin dilakukan
setelah 48 jam dan tidak ada perubahan posisi pada bayi.
Sehingga pada pasien ini, ada beberapa kekurangan pada perawatan pasca
resusitasi

dan

kurang

tepat

penatalaksanaan

dalam

mengatasi

hiperbilirubinemia. Dimana pada pasien ini seharusnya dilakukan pencarian


penyebab dalam hal ini menghentikan ASI yang diberikan sebelum dilakukan
fototerapi.

You might also like