You are on page 1of 5

26.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa [531] itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat. (Al-Araf:26)
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nuur:31)
60. Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian [1050] mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana. (An-Nur: 60)
[1050]. Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya [1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab : 59)
[1232] ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Mahram
Kontribusi Dari Administrator
Monday, 11 February 2008
Update Terakhir Tuesday, 06 May 2008
Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat
karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara
keduanya. Penggunaan kata muhrim untuk mahram
perlu dicermati.
Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah).

Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram
(haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614)
Mahram Sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama.
Allah berfirman; "Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1)ibu-ibumu; (2)anak-anakmu
yang perempuan (3) saudarasauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang
perempuan; (5)saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6)anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; (7)anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan"
(An Nis'4/23)
Dari ayat ini Jumhrul 'Ulm', Imam 'Ab Hanifah, Imam Mlik dan Imam Ahmad bin
Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman
firman Allh "anak-anakmu yang perempuan" (AnNis'4/23).
Diriwayatkan dari Imam Asy Syfi'iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berati
boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara
syari'at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat: "Allh mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua
bagian orang anak perempuan" (An Nis'/4:11).
Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut 'ijma' maka ia juga tidak
termasuk dalam ayat ini.
(Al Hfizh 'Imduddin Ism'il bin Katsir, Tafsirul Qurnil Azhim 1/510)
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian.
Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hfizh 'Imduddin Ism'il bin
Katsir. (Tafsirul Qurnil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Darah
susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan" (HR. Al Bukhri
dan Muslim).
Al-Qur'n menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: "(1) Dan ibu-ibumu
yang menyusui kamu;
(2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan" (An Nis'/4:23).
Mahram Sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh.
"Dan
ibu-ibu istrimu (mertua)" (An Nis'/4:23)
"Dan
istri-istri anak kandungmu (menantu)" (An Nis'/4:23)
"Dan
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri"
(An
Nis'/4:23).
Menurut Jumh urul `Ulm' termasuk juga anak tiri yang tidak
dalam pemeliharaannya.
Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah
dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka
dibolehkan untuk menikahi anaknya.
Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi
menjadi mahram hanya
sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah
aqad
nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
"Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu
tiri)".
(An
Nis'/4:22).
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah
dengan hanya aqad nikah,
walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak
ayah tak boleh menikahinya. "Dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" (An Nis'/4:23)
Rasulullh
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan

antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu; Dan


menghimpunkan antara perempuan
dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda:
"Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara
perempuan dari ayah
atau ibunya" (HR. Al Bukhriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam
perkawinan,
demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan
perempuan dalam perkawinan.
Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan
hadits-hadits mutawtirah dan 'ijm`ul `ulm'. ( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukniy,
Fathul Qadir 1/559).
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab
pernikahan. Kecuali,
menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu
saudara perempuan dari
pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka
boleh, karena bukan
menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nrain, Utsmn bin 'Affn
menikahi Ummu Kultsm setelah
Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Zina dengan seorang perempuan semoga Allh menjauhkan kita semua dari itu tidak
menjadikan mahram anaknya
ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.
Wanita yang bersuami
Allh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami."Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang
bersuami" (An Nis'/4:24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram,
halal dinikahkan. "Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untk berzina"
(An Nis'/4:24). Wallhu 'a`lm (Asri Ibnu Tsani)
Rujukan:
:: Ikatan Studi Islam - STIKI ::
http://isi.stiki.ac.id Menggunakan Joomla! Generated: 28 December, 2010, 18:17 1. Tafsirul
Qur'anil Azhim, Ibnu Katsir. 2. Fathul Qadir, Asy-Syaukaniy 3. KBBI.
:: Ikatan Studi Islam - STIKI ::
http://isi.stiki.ac.id
Menggunakan
Joomla!
Generated:
28
December,
2010,
18:17
Darurat (Ar.: darurat. Dalam hukum Islam: Keadaan sulit dan terpaksa yang tak dapat
dihindarkan dan sangat membahayakan keselamatan orang. Menjadi sebab adanya keringanan
atau penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu belum hilang. Dalam keadaan
darurat, seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang tadinya dilarang. Ahli Ushul Fiqh
(Hukum Islam) menentukan kaidah Darurat itu membolehkan apa yang dilarang. Dalam ayatNya, Allah menetapkan: Barang siapa dalam keadaan terpaksa memakan bangkai, darah, dan
daging
babi)

sedang ia sendiri tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya (Q.2.173).
Batas aurat laki-laki menurut jumhur ulama adalah antara pusar dan lutut baik kepada
laki-laki muslim dan non-muslim atau wanita muslim dan non-muslim.
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat
Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Mamar, sedang kedua
pahanya
dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
Wahai Mamar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat. [HR.
Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat
kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat? [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat
Shafwt at-Tafsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: Janganlah engkau menampakkan pahamu
dan
janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati. [HR. Abu Dawud
dan Ibnu Majah, lihat Shafwt at-Tafsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
http://taufiqsuryo.wordpress.com/2009/02/21/faq-fiqh-4-tentang-aurat-laki-laki-muslim-danhukum-berpakaian-bagi-laki-laki/
http://isi.stiki.ac.id
Al-Quran Al-Karim
Ibrahim Muhammad Al-Jamal. 1999. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani

Dasar hukum islam diperbolehkannya seorang dokter muslim melakukan pemeriksaan fisik
terhadap pasien yang berlawanan jenis adalah adanya Kaidah ushuliyah yang berbunyi: Ad
Dharurat tubihul mahzhurat, walmahzhurat tuqoddar biqodarihaa. Keadaan darurat
memperbolehkan suatu hal yang tadinya dilarang tapi sesuai dengan kadar dan batasannya.
Kemudian Berdasarkan ushul fiqih terdapat istihsan. Imam Abu al-Hasan al-Karkhi
mengemukakan bahwa definisi istihsan adalah: Penetapan hukum dari seorang mujtahid
terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalahmasalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpangan itu.
Istihsan qiyas adalah apabila di dalam suatu masalah terdapat suatu sifat yang menuntut
diterapkannya dua qiyas yang saling bertentangan. Sifat yang pertama adalah yang jelas, disebut

qiyas istilahy. Dan sifat yang kedua adalah samar, harus dihubungkan dengan sumber hukum
yang lain, disebut istihsan.
Firman Allah Swt:
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak mengendaki kesukaran bagimu.(Q.S. Albaqarah:185)
Contoh istihsan qiyas:
Seluruh tubuh wanita adalah aurat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Akan tetapi kemudian
diperbolehkan melihat sebagian anggota badan tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk
kepentingan pemeriksaan oleh seorang dokter kepada pasiennya. Di sini terdapat pertentangan
kaedah, bahwa seorang wanita adalah aurat, karena memandang wanita akan mendatangkan
fitnah. Kedua, adanya suatu sifat yang kemungkinan besar akan mendatangkan kesulitan dalam
kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika dalam pengobatan.
Darurat (Ar.: darurat. Dalam hukum Islam: Keadaan sulit dan terpaksa yang tak dapat
dihindarkan dan sangat membahayakan keselamatan orang. Menjadi sebab adanya keringanan
atau penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu belum hilang. Dalam keadaan
darurat, seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang tadinya dilarang. Ahli Ushul Fiqh
(Hukum Islam) menentukan kaidah Darurat itu membolehkan apa yang dilarang. Dalam ayatNya, Allah menetapkan: Barang siapa dalam keadaan terpaksa memakan bangkai, darah, dan
daging
babi)
sedang ia sendiri tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya (Q.2.173).

You might also like