You are on page 1of 40

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 yang artinya tidak ada rasa
sakit.1
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat
anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti operasi pada bagian perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.2
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik, efek
analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat anestesi hanya eter
yang memiliki trias anestesia. Oleh karena itu anestesi modern saat ini menggunakan
obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai
macam obat.2
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal yang
merupakan penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum
sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi
umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks
akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung
pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi
umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, stadium delirium,
stadium pembedahan dan stadium paralisis medulla.1
Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada
setiap bagian saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi
impuls sensorik, sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf
menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafinya.

Mekanisme kerja anestetik lokal adalah mencegah konduksi dan timbulnya impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel.1
Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi,
metabolisme, distribusi dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal, peristiwa
farmakologik ini lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran di SSP.1
Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam
menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut
obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar
jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal
yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat
konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat.3

TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Anestesi Inhalasi
Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan
mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau uap
obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh rongga
paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan sifat fisik
masing-masing gas.2
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia
umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen inspirasi

dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal yang
penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid atau
benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang baik, akan menghasilkan keadaan
sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih dalam. Kemudahan dalam pemberian (dengan
inhalasi sebagai contoh) dan efek yang dapat dimonitor membuat anestesi inhalasi
disukai dalam praktek anestesia umum. Tidak seperti anestetik intravena, kita dapat
menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan dengan melihat nilai konsentrasi
tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan, penggunaan gas volatil anestesi
lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang harus sangat
diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang
mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan memantau konsentrasi jaringan
dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien. 2
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi
umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anakanak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru
lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan
sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang
sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah tergantung dosis), namun setiap gas
ini memiliki efek yang unik, yang menjadi pertimbangan bagi para klinisi untuk
memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini harus disesuaikan dengan
kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan prosedur bedah. 2
A. Eter
Eter merupakan obat anestesi inhalasi yang orisinal dibuat oleh Valerius
Cardus pada tahun 1540, dengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur
dibawah suhu 130o C. Eter tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas.4
Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ
tubuh. Eter mampu meningkatkan denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi
vagal. Aritmia jarang terjadi. Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi,
dan kemudian melambat. Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga
meningkat akibat dilatasi pembuluh darah otak.5

Rangsangan sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma,


dengan konsekuensi peningkatan denyut jantung, produksi glikogen bertambah,
disertai peningkatan kadar gula darah. Mual dan muntah dapat merupakan komplikasi
saluran cerna akibat menurunnya otot tonus gastrointestinal. Relaksasi otot sangat
baik pada penggunaan eter.5
Keuntungan penggunaan eter adalah harganya yang murah dan mudah
didapat, tidak perlu digabung dengan obat anestesi lain, karena memenuhi trias
anestesi. Penggunaan alat dan metode sederhana memungkinkan eter sangat portabel.
Batas keamanan eter juga cukup lebar sehingga mudah digunakan.3
Kelemahan eter antara lain sifatnya yang mudah terbakar dan meledak, bau
yang tidak enak dan iritatif, hipersekresi kelenjar ludah, serta menyebabkan
hiperglikemia dan mual muntah.3
B. Halotan
Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-bromo-2kloro-1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik inhalasi
yang terdaftar dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan pemeliharaan,
selain eter. Perbedaannya adalah, halotan merupakan agen anestetik yang bersifat
terfluorinasi.2
Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak mudah terbakar,
dan tidak iritatif. Titik didih 50,30C. Dekomposisi dapat terjadi setelah pemajanan
sinar, dan untuk menghindari hal ini, halotan perlu ditambahkan timol 0,01%.2
Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 4% v/v pada
dewasa, dan 1,52 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen atau
campuran oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi 0,5% v/v
dan secara bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level tertentu. Untuk
dosis pemeliharaan dewasa dan anak-anak adalah 0,5 2 % v/v. Untuk orang tua,
dosis dapat dikurangi.4
Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar, karena halotan
secara bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat mendepresi
miokardial sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Peningkatan sensitivitas
terhadap katekolamin mampu menyebabkan aritmia jantung. Efek samping lainnya

adalah PONVS (Postoperative nausea, vomiting, and Shivering), peningkatan


tekanan intrakrnial, penurunan aliran darah renal dan GFR, hipertermia. 5
C. Enfluran
Enfluran merupakan eter terhalogenasi yang telah digunakan sebagai anestesi
inhalasi sejak dikembangkan tahun 1963. enfluran memiliki nama kimia 1-kloro1,1,2,-trifluoroetil-difluorometil-eter. Memiliki titik didih pada 56,5oC. Nilai MAC
adalah 1,68. Induksi dengan enfluran terjadi secara cepat dan lancar. Jarang terdapat
mual dan muntah. Pemulihan paska anestesi enfluran juga cepat.2
Enfluran berbentuk cair pada suhu kamar, mudah menguap dan berbau enak.
Enfluran merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek hipnotik.
Pada konsentrasi inspirasi 3-3,5% dapat timbul perubahan pada EEG, berupa
gelombang epileptiform. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan
tekanan darah disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran juga mendepresi
napas dengan menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek relaksasi sedang dan
efek ini meningkatkan kinerja obat-obat relaksan otot. Enfluran tidak memiliki efek
hepatotoksik atau nefrotoksik. Namun, beberapa literatur melaporkan adanya efek
nefrotoksik dan kegagalan ginjal akut akibat metabolit yang dihasilkan oleh
metabolisme enfluran.5
D. Desfluran
Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan etil metil
eter berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara anestesi umum. Bersama
dengan sevofluran, penggunaannya mulai menggantikan isofluran, meskipun
harganya lebih mahal. Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan
kelarutan dalam darahnya sangat rendah.1
Kelemahan desfluran adalah potensinya yang kurang kuat, perih, dan harga
yang mahal. Desfluran juga dapat menyebabkan takikardi dan iritasi saluran napas
bila digunakan pada konsentrasi lebih dari 10%. Desfluran menunjukkan reaksi
dengan CO2 pada sirkuit anestesi.1
Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar.
Eksresi dari florida organic dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah

pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/jam desflurane adalah kurang


dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal.5
E. Isofluran
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang
minimal. Isofluran memiliki nama kimia 2-kloro-2-(difluorometoksi)-1,1,1- trifluoroetan, merupakan eter berhalogenasi yang digunakan untuk anestesi inhalasi.
Karakteristik fisik isofluran antara lain titik didih 48,5 OC, nilai MAC 1,15 vol %.2,3
Mekanisme terkait sifat anestetik masih belum sepenuhnya dipahami, namun
diduga terdapat interaksi isofluran dengan berbagai reseptor pada transmisi sinaptik.
Isofluran mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat, dan reseptor glisin, serta
menghambat konduksi kanal kalium. Penghambatan glisin akan membantu
menghambat fungsi motorik. Aktivasi kalsium ATPase akan meningkatkan
permeabilitas membran.3
Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi napas. Volume
tidal dan frekuensi napas dapat menurun menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga
baik untuk kasus penyakit paru obstruksi menahun.5
Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan. Pada
beberapa kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran memiliki efek relaksasi otot
yang baik dan berpotensiasi dengan obat relaksan otot, namun tidak terlalu
merelaksasi otot uterus pada kasus obstetri.5
Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan gambaran
epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran darah otak.
Metabolisme yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi fungsi hepar dan ginjal.5
F. Sevofluran
Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter,
merupakan agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang
merupakan hasil fluorinasi metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih 58,6
oC dan nilai MAC 2 vol%. Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama oksigen
dan N2O. Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif
rendah.5
Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama anestesi
dilakukan, yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya akan meningkat
6

terutama bila suhu terlalu tinggi atau sodalime telah rusak. Senyawa A dapat
menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan
jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian. Dengan memperhatikan hal ini,
sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum aliran gas 2 liter/menit, karena
aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur sodalime.2
H. Nitrous Oksida
Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen
pemelihara anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen atau
udara. Efek anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal, sehingga
perlu pula penambahan agen anstetik lainnya dengan dosis rendah. Nitrous oksida
memiliki efek analgetik yang baik. Penggunaan campuran nitrous oksida dengan
oksigen 50:50 v/v disebut entonox, yang digunakan sebagai analgesi daripada
anestesi.2
N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit
pertama. Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu pertama,
dalam 5 menit mencapai 50% saturasi; kedua, dalam 30-90 menit mencapai 90%
saturasi; dan dalam 5 jam mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL darah dapat
terlarut 47mL N2O, dan hampir seluruhnya dikeluarkan kembali melalui paru.5
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik
lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi jantung,
irama dan curah jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak banyak
dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian N 2O tanpa oksigen. Sensitivitas
laring dan trakea terhadap manipulasi menurun.3
Pada sistem lain, seperti gastrointestinal, sistem urologi, dan reproduksi tidak
banyak dipengaruhi. Tidak terjadi relaksasi otot atau perubahan terhadap fungsi
endokrin dan metabolik.3

II. 2. Anestetik Intravena


Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ
masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya
masing-masing.6
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek
samping, bila diberikan secara tunggal.7
A. Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang
digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta
mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg phosphatide.
Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedatif-hipnotik yang digunakan
secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 2,5 mg/kgBB (atau setara
dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan
penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30
detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan
obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat mengembalikan
kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada
tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang
kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah
vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.2
Propofol relatif bersifat selektif dalam

mengatur

reseptor

gamma

aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel
lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya
8

dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di


SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat
dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi
neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan
reseptor

komponen

spesifik

reseptor

GABA menurunkan

neurotransmitter

penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi


melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.1
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek
mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa
obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai
bagian penyeimbang atau anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara
terus menerus sering digunakan di ruang ICU. 1
a.

Induksi Anestesia
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB intravena

dengan kadar obat 2-6 g/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada
usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang
lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi
yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis
induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat penurunan volume distribusi dan
penurunan bersihan plasma.

Kesadaran kembali saat kadar propofol di plasma

sebesar 1,0 1,5 g/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa SSP merupakan
karakter dari propofol dan telah menjadi alasan menggantikan thiopental sebagai
induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus
menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian
kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang
rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25100g/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik.

Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol
melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU
pada beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf)
dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek
antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur
respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan derajat takikardia
dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan kegagalan myokardial
yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi propofol selama
penanganan gagal napas akut di ICU.
c. Maintenance Anestesia
Dosis tipikal anestesia 100-300 g/kgBB/menit iv sering dikombinasikan
dengan opioid kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur
bedah yang singkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama
(<2 jam) dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu
kembalinya kesadaran dibandingkan standar teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum
dengan propofol dihubungkan dengan efek yang minimal pada rasa mual dan muntah
post operasi, pengembalian kesadaran.
Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi wheezing setelah
induksi dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan
pasien dengan riwayat asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit
sebagai pengawet. Metabisulfit menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma.
Pada studi di hewan, propofol tanpa metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus
vagus

yang

menginduksi

bronkokonstriksi

dan

metabisulfit

sendiri

dapat

meningkatkat kurang responnya saluran pernapasan. Setelah intubasi trakea, pasien


dengan riwayat merokok, resistensi saluran pernapasan meningkat pada pasioen yang
mendapat propofol dan metabisulfit serta ethyl enediaminetetraacetic (EDTA).
Sehingga penggunaan bahan pengawet propofol meningkatkan risiko terjadinya
bronkokonstriksi. Propofol yang menginduksi bronkokonstriksi pernah dilaporkan
pada psien dengan riwayat alergi dan penggunaan Diprivan yang mengandung susu
kedele, gliserin, egg lechitin , sodium edetate.
10

Pada sistem saraf pusat, propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate


terhadap oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK).
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang
intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin
menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah
ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran
darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi,
aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol
dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic
(EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental. Propofol tidak mengubah
gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan
gangguan ingatan yang mana thipental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl
yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
Pada siste kardiovaskular, propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik
dari pada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan
volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah
disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik
yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks
trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea
membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon
hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap
desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas.
Pada system pernafasan, terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien
yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan
risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea.
Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon
pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan
hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko
terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan
penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.

11

B. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai
hipnotik dan sedatif. Namun sekarang, kecuali untuk beberapa penggunaan yang
spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman,
pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak
digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam
barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi
antara ureum dengan asam malonat.10
Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai,
mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antiansietas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik
barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya
menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi
umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk
anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang
mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.10
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan
hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi
mungkin

tidak

semuanya

melalui

GABA

sebagai

mediator.

Barbiturat

memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi
sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis
GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP
yang berat.10
Pada susunan saraf perifer, barbiturat secara selektif menekan transmisi
ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat
dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi
berat.10
Pada pernafasan, barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding
dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh
terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi
12

nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap
pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan,
dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel
pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi
paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2
berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.10
Pada sistem kardiovaskular, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek
yang nyata. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun akibat sedasi yang
ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada
intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat
depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.6,7
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata
karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh
golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan
barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.10
Tiopental :
Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
Sedasi pada analgesik regional
Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
Fenobarbital :
Untuk menghilangkan ansietas
Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
Untuk sedatif dan hipnotik
Efek samping penggunaan barbiturat, antara lain:
Hangover, yaitu residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi
beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia..
Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia,
terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan
dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan
delirium.

13

Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis
eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang
disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan
penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian,
kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat
sangat bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis
hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan
amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal
terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10
mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat.2
C. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus,
yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan
amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik.
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,
potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya
toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah
banyak

digunakan

sebagai

pengganti

barbiturat

sebagai

premedikasi

dan

menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperatif,
midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine
memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.11
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya

14

yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam
larutan dengan PH 3,5.2
Efek farmakologi

benzodiazepine

merupakan

akibat

aksi

gamma-

aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.


Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan
kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal
klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong
post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek
anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi
otot skeletal 11
Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABA A sub unit alpha-1 yang
merupakan 60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum,
thalamus). Sementara efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2
(Hipokampus dan amigdala).11
Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan
perbedaan potensi (afinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan
menembus sawar darah otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik
(penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi). Hampir semua benzodiazepine
larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin
pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan meningkatkan efek obat ini. 11
Contoh Preparat Benzodiazepin
a.

Midazolam11
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin

imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat.
Selain itu affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam.
Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat
terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama
beberapa jam.
Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan
tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH
15

sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan
midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar
darah otak. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik
karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang
masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan
kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak
aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah
antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam..
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan
darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV
dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh
penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek
midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi
plasma benzodiazepine.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik
sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan
sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand mal.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa
sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis
dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit
sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit,
durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding
dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih
baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap
sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas
apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60
detik. Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100%
dibanding midazolam. .

16

Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg


IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari
sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari
metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena
dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid
dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih
cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati
berat.
b.

Diazepam12

Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi
kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut
organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya
pekat dengan pH 6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam
1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Ikatan protein benzodiazepine berhubungan
dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi
memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan
konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan
meningkatkan efek samping dari diazepam.
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin
panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama
obat penghambat enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam
memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena
ikatan dengan reseptor GABAA lebih cepat terpisah.
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada
penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi
tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer.
Begitu juga dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam

17

tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam


0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila
konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh
midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang.
Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding
barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara
selektif menghambat aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.
E. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic
termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2
(methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat
sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan
keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi).13
Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek
analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian
pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari
pencyclidin suatu obat anti psikosa. Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan
tiopental. Namun penampakan pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila
menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak tidur. Mata mungkin tetap terbuka
tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap rangsangan
nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin. Demikian juga
reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara iv/im
setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit.13
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D
Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor
opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan

18

natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek
lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui
penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi
aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan
peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang
menimbulkan efek analgesia.12
Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel
yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat
dengan glisin sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor
NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek
potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi
dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki
afinitas terbesar. 12
Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan
kappa. Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor
mu namun memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi
dengan reseptor sigma, walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan
reseptor opioid dan ikatannya masih lemah. 12
Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur
penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan
obat antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala
antikolinergik (delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga
efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek
agonisnya. 12
Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan
dosis subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis
yang lebih besar. Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk,
laringospasm yang disebabkan ketamine induced salivary secretions. Glycopyrrolatr
lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah
otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi. 12
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari
19

pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi
norketamin akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral.
Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek
ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang
bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga
digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara
intravena dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin
tidak menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan
metabolisme katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara
intravena dan 2-4 menit pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran
sebading atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks faring dan laring.
Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit seletal dosis induksi ketamin, namun
orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke
60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia
retrograde.
Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular
pada anak dan pada pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Induksi
anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap stimulasi
kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi
myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon
saraf simpatis berubah. 12
II. 3. Obat Anestesi Lokal
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetik lokal bekerja
pada tiap bagian susunan saraf.6
Anestetik lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impulsimpuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Anestetik lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di
mukosa. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana

20

terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai


efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan
semua jaringan otot.6
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal: 6
Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
Batas keamanan harus lebar
Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada
membrane mukosa
Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang
yang cukup lama
Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada
pembedahan kecil dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Jenis
anestesi lokal dalam bentuk parenteral yang paling banyak digunakan adalah:
Anestesi permukaan.
Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai penghilang rasa oleh dokter gigi
untuk mencabut geraham atau oleh dokter keluarga untuk pembedahan kecil seperti
menjahit luka di kulit. Sediaan ini aman dan pada kadar yang tepat tidak akan
mengganggu proses penyembuhan luka.
Anestesi Infiltrasi.
Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi pada atau
sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit
dan jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada
pencabutan gigi).
Anestesi Blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun untuk tujuan
diagnostik dan terapi.
Anestesi Spinal
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. Anestesi spinal ini bermanfaat
untuk operasi perut bagian bawah, perineum atau tungkai bawah.
Anestesi Epidural
Anestesi epidural (blokade subarakhnoid atau intratekal) disuntikkan di ruang
epidural yakni ruang antara kedua selaput keras dari sumsum belakang.
Anestesi Kaudal

21

Anestesi kaudal adalah bentuk anestesi epidural yang disuntikkan melalui


tempat yang berbeda yaitu ke dalam kanalis sakralis melalui hiatus skralis. Efek
sampingnya adalah akibat dari efek depresi terhadap SSP dan efek kardiodepresifnya
(menekan fungsi jantung) dengan gejala penghambatan penapasan dan sirkulasi
darah. Anestesi lokal dapat pula mengakibatkan reaksi hipersensitasi.
Secara umum anestetik lokal mempunyai rumus dasar yang terdiri dari 3
bagian: gugus amin hidrofil yang berhubungan dengan gugus residu aromatik lipofil
melalui suatu gugus antara. Gugus amin selalu berupa amin tersier atau amin
sekunder. Gugus antara dan gugus aromatic dihubungkan dengan ikatan amid atau
ikatan ester. Maka secara kimia anestetik lokal digolongkan atas senyawa ester dan
senyawa amida.7

A. Dibukain2
Devirat kuinon ini, merupakan anestetik lokal yang paling kuat, paling toksik
dan mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan prokain, dibukain kirakira 15 kali lebih kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali lebih panjang. Dibukain
HCl digunakan untuk anesthesia suntikan pada kadar 0,05-0,1%; untuk anesthesia
topical telinga 0,5-2%; dan untuk kulit berupa salep 0.5-1%. Dosis total dibukain
pada anesthesia spinal ialah 7,5-10mg.
B. Lidokain2
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan secara
luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain

22

merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan
2% lebih toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia
infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia ini
efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan
toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat
terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain
dapat menimbulkan kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa
epinefrin. (1:50.000 sampai 1: 200.000).
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah
otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di
dalam hati, lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (MixedFunction Oxidases ) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua
metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek
anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam
membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP,
misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures.
Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut
berperan dalam timbulnya efek samping ini.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Pruritus di
daerah anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan
supositoria atau bentuk salep dan krem 5 %. Untuk anesthesia sebelum dilakukan
tindakan sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2 % dan selum
dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan
semprotan dengan kadar 2-4%. Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung,
karena itu juga digunakan sebagai aritmia.
C. Bupivakain (Markain)2
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan
butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang
panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik.
Karena efek ini bupivakain lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia

23

selama persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa


bupivakain dapat mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada
pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih
kardiotoksik daripada lidokain.
Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+ jantung
(cardiac Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih
lambat daripada lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap
terhambat pada akhir diastolik. Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang
berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain
dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi dan
bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain
juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang, dengan
toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang
sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan
bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk
anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis
maksimum untuk anesthesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.
F. Naropin (Ropivakain HCl)2
Naropin injeksi mengandung ropivakain HCl, yaitu obat anestetik lokal
golongan amida. Naropin injeksi adalah larutan isotonik yang steril, mengandung
bahan campuran obat (etantiomer) yang murni yaitu Natrium Klorida (NaCl) agar
menjadi larutan isotonik dan aqua untuk injeksi. Natrium Hidroksida (NaOH) dan/
atau asam Hidroklorida (HCl) dapat ditambahkan untuk meyesuaikan pHnya
(keasamannya).
Efek samping ropivakain mirip dengan efek samping anastetik lokal
kelompok amida lainnya. Reaksi efek samping anastetik lokal kelompok amida
terutama berkaitan dengan kadarnyan dalam plasma yang berlebihan, yang dapat
terjadi apabila melebihi dosis, jarum suntik masuk ke dalam pembuluh darah tanpa
sengaja atau jika metabolisme obat tersebut dalam tubuh lambat. Kejadian tentang
efek sampingnya telah dilaporkan berdasarkan penelitian klinik yang telah dilakukan
di amerika serikat dan negara-negara lainnya. Obat yang dijadikan acuan biasanya

24

adalah bupivakain. Penelitian tersebut meggunakan bermacam-macam obat


premedikasi, sedasi dan prosedur pembedahan. Sebanyak 3988 pasien diberikan
naropin dengan konsentrasi sampai 1 % dalam percobaan klinik. Setiap pasien
dihitung sekali untuk setiap jenis reaksi efek samping yang dialaminya.
Efek samping akut yang Paling sering dijumpai dan memerlukan penanganan
yang cepat adalah efek sampingnya pada sistem saraf pusat (SSP) dan system
kardiovaskuler. Reaksi efek samping ini pada umumnya tergantung pada dosis dan
disebabkan oleh kadar obat dalam plasma yang tinggi yang bisa terjadi karena over
dosis, absorbsi (penyerapan) obat terlalu cepat dari tempat suntikan, rendahnya
toleransi pasien terhadap obat, atau apabila jarum suntik anastesi lokal masuk ke
dalam pembuluh darah.
Di samping toksisitas sistemiknya yang tergantung pada dosis, masuknya obat
ke dalam subaraknoid secara tidak sengaja ketika melakukan blok epidural melalui
lumbal (tulang punggung), atau ketika melakukan blok saraf di dekat kolumna
vertebra (khususnya di bagian kepala dan dibagian leher), dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan apnea (sesak nafas) total atau apnea sesuai tingkat saraf spinal
yang mengontrol pernafasan. Juga dapat terjadi hipotensi karena berkurangnya tonus
(kekuatan) saraf simpati atau para lisis respirasi (kelumpuhan otot-otot pernafasan)
serta hipoventilasi karena obat anastetik mencapai tingkatan saraf motorik di kepala.
Keadaan ini dapat memicu henti jantung apabila tidak ditangani dengan segera.
Efek samping ini ditandai dengan kegelisahan dan depresi. Ketegangan,
kecemasan, pusing, telinga berdengung (tinitus), penglihatan kabur

atau tremor

(bergetar) dapat terjadi dan bahkan dapat menimbulkan komvulsi (kejang otot). Akan
tetapi, kegelisahan dapat terjadi mendadak atau bias juga tidak terjadi, dimana reaksi
efek samping hanya berupa depresi. Depresi ini bisa berlanjut menjadi rasa kantuk
dan akhirnya kesadaran pasien hilang dan terjadi henti nafas. Efek samping lainnya
pada sistem saraf pusat adalah nausea (mual), muntah menggigil, dan konstriksi pupil
(pupil mata menyempit).
II. 4. Analgetik
Obat analgetik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau
mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya.

25

Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi


(sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga
nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Pada dasarnya obat
analgesik dapat digolongkan ke dalam analgesik golongan narkotik dan analgesik
golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang punya efek mirip Morfin
yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik opiat adalah obat
yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan efek narkosis dan
adiksi sebagaimana Morfin, maka nama analgesik narkotik kurang tepat.5
Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain
adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai
oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual.11
II. 4. 1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor Morfin. Opioid sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri
saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Bahkan terkadang digunakan untuk
anestesi narkotik total pada pembedahan jantung. Opium adalah getah candu. Opiat
adalah obat yang dibuat dari opium. Analgesik opioid digolongkan dalam 3
kelompok, di antaranya adalah agonis opiat, antagonis opiat dan kombinasi.14
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf
pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus,
hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu
substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor Opioid diidentifikasikan menjadi 5
golongan, yaitu : 14
Reseptor (mu) : -1, analgesia supraspinal, sedasi. Reseptor -2, analgesia spinal,
depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
Reseptor (kappa): -1 analegsia spinal. Reseptor -2 tak diketahui. Reseptor -3
analgesia supraspinal.
Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Reseptor (epsilon) : respons hormonal.
A. Morfin14
26

Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid
lainnya. Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan
mengurangi kemampuan untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa
berat pada ekstremitas, mulut kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar
hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri, tetapi meningkatkan ambang
nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai nyeri. Efek
analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri timbul.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15
-30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin
tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV
selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat
dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit.
Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya
obat menembus sawar darah otak. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan
konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05g/ml. Pada pasien yang dipindahkan
biasanya membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total
antara 1,3-2,7 mg/jam. Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS.
Diperkirakan <0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak
konsentrasi plasma.
Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang
ditimbulkannya.
a. Sistem kardiovaskuler
Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon
dari sistem simpatik. Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada
jaringan perifer sehingga terjadi penurunan venous return, cardiac output dan tekanan
darah. Morfin juga dapat menyebabkan bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Morfin menimbulkan efek depresi
langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls jantung melalui AV
node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi dan sebelum induksi
(fentanyl) bertujuan menurunkan denyut jantung selama penggunaan gas anestesi
inhalasi.
27

Penurunan tekanan darah dan pelepasan histamin karena opioid sangat


bervariasi kejadian dan derajatnya. Untuk meminimalisir beratnya pelepasan histamin
karena morfin dan penurunan tekanan darah dapat dilakukan, (a) pembatasan
kecepatan infus morfin menjadi 5 mg/menit, (b) pesien diposisikan dalam keadaan
supine atau kepala lebih rendah, dan (c) optimisasi cairan intravasculer. Sedangkan
pada penggunaan fentanyl dan sufentanyl tidak terjadi pelepasan histamin.
b. Pernapasan
Semua agonis opioid akan menimbulkan depresi pernapasan dengan semakin
besarnya dosisnya dan jenis kelamin dari pasien. Agonis opioid bekerja pada reseptor
2 yang menekan pusat pernapasan di batang otak. Tingkat depresi napas yang
ditimbulkan seiring dengan analgesik yang didapatkan dan pengurangan terhadap
depresi napas juga akan mengurangi analgesik yang didapatkan.
Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan
terhadap karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan.
Opioid juga mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga
menyebabkan pernapasan yang pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas
silia dari jalan napas sesuai dengan dosis yang diberikan. Resistensi jalan napas
meningkat baik karena efek langsung morfin pada otot polos bronkus juga karena
pelepasan histamin.
c. Penekanan batuk
Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda
dengan pusat pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang
mengalami subsitusi besar pada posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk
dihasilkan juga oleh isomer opioid dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak
memiliki efek analgesia.
d. Sistem saraf
Opioid harus digunakan secara hati-hati pada pasien trauma kepala karena (a)
hubungannya dengan kesulitan sadar, (b) miosis yang ditimbulkan, dan (c) penekanan
pernapasan yang akan meningkatkan tekanan intra kranial jika PaCO 2 meningkat.
Cedera kepala juga dapat merusak sawar darah otak sehingga meningkatkan
sensitivitas otak terhadap opioid.
Pemberian dosis besar dan cepat opioid secara intravena menyebabkan
kekakuan otot dada dan perut. Hal ini dapat mengganggu ventilasi paru dan
28

penekanan jalan napas yang mengganggu venous return. Penghambatan pelepasan


stria gamma aminobutyric acid dan peningkatan produksi dopamin merupakan
penyebab peningkatan tonus otot skeletal.
Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen
nukleus Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan
pemberian atropin dan keadaan hipoksemia arterial yang besar.
e. Sedasi
Pemberian dosis kecil morfin menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia
terjadi. Karenanya, tidur tidak dapat menjadi patokan kecukupan dosis analgesia yang
diberikan.
f. Sistem biliar
Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan
peningkatan tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik
biliar. Nyeri ini sangat mirip dengan iskemik miokard. Naloxone dapat mengurangi
nyeri akibat spasme biliar tapi tidak pada iskemik miokard, sedangkan nitrogliserin
akan menghilangkan nyeri akibat keduanya. Glucagon 2 mg IV dapat mengurangi
spasme biliar namun tidak mengurangi efek analgesik dari opioid seperti pada
pemberian naloxone. Pada dosis analgesik, fentanyl, morfin, meperidine dan
pentazocine meningkatkan tekanan intra biliar sebanyak 99%, 53%, 61% dan 15%.
g. Traktus gastrointestinal
Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot
polos saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan
perlambatan pengosongan lambung.
h. Nausea dan vomitting
Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada
wilayah pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek mual muntah juga
dapat ditimbulkan oleh stimulasi reseptor dopamin karena peningkatan sekresi dan
perlambatan pengosongan isi saluran cerna.
i. Sistem genitourinarius
Morfin
meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Hal ini
menyebabkan terjadinya keadaan urinary urgency pada pasien. Namun pada keadaan
yang sama tonus spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan
urin. Efek morfin dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik.
j. Plasenta

29

Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus.
Karenanya depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama
persalinan. Pemberian morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian
meperidine. Pada pemberian yang lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.
B. Meperidin (phetydin)14
Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang
diturunkan dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk
fentanyl, sufentanyl, alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip
dengan atropin dan memiliki efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara
farmakalogi efek meperidine sama dengan morfin.
Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg
IM meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam,
lebih pendek daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki
efek samping yang sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran
cerna dibandingkan morfin, walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan
dengan pemberian IM.
Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami
demetilasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic.
Ekskresi melalui urin tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih
banyak diekskresikan secara utuh.
Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan
dapat dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki
efek analgesia separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada
CNS. Toksisitas normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien
dengan pemberian lama obat dan pada pasien gagal ginjal.
Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post
operasi. Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal.
Konsentrasi analgesik palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien.
Konsetrasi plasma meperidine sekitar 0,7 g/mL akan memberikan analgesia yang
cukup pada post operasi. Dosis total yang diberikan antara 12-36 mg/jam.
Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang
berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha 2 yang

30

membantu efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral.
Namun meperidine tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin.
Sehingga penggunaan meperidine pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak
boleh diberikan dalam dosis besar karena efek inotropic negatif pada jantung dan
pelepasan histamin.
Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi
reflek saraf simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada
bradikardi. Delirium dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam
CNS. Serotonin sindrom (hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi,
confusion, delirium dan hiperreflek) dapat terjadi bila meperidine diberikan pada
pasien yang mendapat obat-obatan antidepressant (MAO inhibitor, fluoxetine).
Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat
dibandingkan morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding
morfin. Meperidine lebih memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin.
Midriasis, mulut kering, peningkatan denyut jantung lebih banyak terjadi pada
meperidine. Efek otonom karena ketergantungan meperidine lebih rendah
dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya lebih pendek dibandingkan morfin.
C. Fentanil
Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya
adalah

N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl)

propanamide.

Pertama

kali

disintesa di Belgia pada akhir tahun 1950. Fentanil memiliki besar potensi analgesik
80 kali lebih baik daripada Morfin, dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun
1960-an sebagai anestesi intravena dengan nama merek dagang Sublimaze.
Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil yaitu alfentanil (Alfenta) dan
Sufentanil (Sufenta) di mana Sufentanil memiliki potensi lebih baik daripada
Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya digunakan di
dalam operasi jantung.15
Saat ini, Fentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh,
Duragesic adalah Fentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk
terapi nyeri yang kronis, dan Actiq adalah Fentanil yang larut perlahanlahan di
dalam mulut, di mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita

31

kanker. Carfentanil (Wildnil) adalah analog dari Fentanil dengan potensi analgesik
10.000 kali lebih besar dibandingkan dengan Morfin, dan obat ini digunakan dalam
praktik dokter hewan untuk melumpuhkan hewan-hewan yang berukuran besar.15
Fentanil terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Seperti Morfin, Fentanil
menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sental lain. Efek
analgesia Fentanil serupa dengan efek analgesik Morfin. Efek analgesic Fentanil
mulai timbul 15 menit setelah pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Efek analgesik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskulus
yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5
jam. Efektivitas Fentanil 75-100 g parenteral kurang lebih sama dengan Morfin 10
mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60 % maka efektifitas sebagai analgesik bila
diberikan peroral setengahnya dari bila diberikan parenteral.15
Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan Morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua
obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat
napas yang mengatur irama napas dalam pons. Berbeda dengan Morfin, Fentanil
terutama menurunkan tidal volume, sehingga efek depresi nafas oleh Fentanil tidak
disadari. Depresi napas oleh Fentanil dapat dilawan oleh Nalokson dan antagonis
opioid lain.15
Fentanil dapat menghilangkan bronkhospasme oleh Histamin dan Metakolin,
namun pemberian dosis terapi Fentanil tidak banyak mempengaruhi otot bronchus
normal. Dalam dosis besar justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Setelah
pemberian Fentanil dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini disebabkan
berkurangnya produksi urine akibat dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju
filtrasi glomerulus.15
Fentanil sedikit sekali merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas
uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh Fentanil, dan pada uterus yang
hiperaktif akibat Oksitosin, Fentanil meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan
intensitas kontraksi uterus. Jika Fentanil diberikan sebelum pemberian oksitoksin,
obat ini tidak mengantagonis efek oksotosin. Dosis terapi Fentanil yang diberikan
sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah
32

kontraksi uterus. Fentanil tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca
persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.15
Fentanil larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan Morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali
melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urine.6
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yaitu :
Nyeri hebat karena luka bakar.
Pasien-pasien yang alergi dengan Morfin.
Nyeri hebat karena fraktur tulang.
Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal.
Pasien-pasien yang menderita kanker.
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil, yaitu: 15
Adanya gangguan atau depresi pernafasan.
Hipotensi yang tidak terkoreksi.
Alergi terhadap zat-zat narkotik.
Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.
Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 g/kg/dose (maksimal : 50 g) IV or IM Bisa
diulang (dengan dosis yang sama) Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis Fentanil
(3-5

g/kg).

Untuk

Dewasa,

dosis

fentanil

Transdermal

(Duragesic),

memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan : 25, 50, 75, 100 g/hour, onset untuk
berefek penuh hanya setelah 24 jam, dan mengganti koyo Fentanil setiap 3 hari
sekali. 15
Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan
resusitasi. Bisa menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa menyebabkan
kekakuan otot yang menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil 100 g
ekuivalen dengan 10 mg Morfin.15
D. Tramadol14
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan
pada reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi
analgesik tramadol 5-10 kali lebih lemah daripada morfin.
Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak
adanya depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta

33

memiliki toksisitas organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan
lambung juga lebih rendah dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal.
Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan
koumadin dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga
mendorong timbulnya mual dan muntah pada pemberian perioperatif.
II. 5. Relaksan
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka
atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk
mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat
relaksan otot yang beredar di Indonesia terbagi dalam dua kelompok obat yaitu obat
pelumpuh otot dan obat pelemas otot yang bekerja sentral.4
Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok
syaraf regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan
obat yang disebut terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat
ini dapat menimbulkan paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak
sadar dan juga tidak menimbulkan analgesi.16
Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan
neuromuskular, obat ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang
menimbulkan depolarisasi, secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan
terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena
terbukanya kanal natrium. Namun tidak seperti ACh obat ini tidak langsung
dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga konsentrasinya di celah sinap akan
menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng
pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal
ini akan menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal
sodium dalam waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka
kembali sebelum terjadi repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga
akan terjadi sebelum obat yang menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor
yang didudukinya. Sementara itu setelah kanal sodium di peri junctional tertutup,
otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut sampai obat golongan ini
dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati.

34

Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga tidak
dibutuhkan obatspesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi
ini. 4,17
Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal,
karena tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini
akan menetap pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai
terjadi redistribusi, metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat
juga dengan pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat ini.
Caramelawannya dengan menekan fungsi asetilkolinesterase sehingga meningkatkan
konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam menduduki reseptor ACh dan
menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.4,16
Kecepatan perpindahan obat dari sirkulasi ke pertemuan neuromuscular
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertemuan neuromuskular secara umum mendapat
perfusi yang lebih cepat dibandingkan otot secara keseluruhan. Ini terjadi karena
tidak banyaknya membran yang harus dilalui untuk mencapai tempat kerja dari obat
ini, begitu keluar dari kapiler obat langsung berada di post junctional membrane dan
langsung ke terminal motorik. Jadi hanya diperlukan penyebaran ke ruang
ekstraselular, tanpa harus melewati membran sel.4
Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah
pemberian konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai
jaringan, diikuti oleh fase lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal
dan empedu. Karena obat pelumpuh otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi
yang mana akan menjadikannya sulit untuk melewati membran sel, hal ini
membuatnya mempunyai nilai volume distribusi yang kecil. VD pada awal pemberian
adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada keadaan stabil (VD ss) adalah 200-450 ml/kg.
Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot tidak tersebar secara luas dalam tubuh.
Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat larut dalam lemak (sehingga
mudah menembus membran sel) seperti thiopenthal yang mempunyai VD ss
mencapai 2 liter / kg.4,17

35

Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses.
Yang pertama adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh
obat yang dimetabolisme secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase,
pancuronium dan vecuronium dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan
gallamine dikeluarkan dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah
proses berikutnya untuk mengeluaran obat-obat tersebut dari sirkulasi dan kemudian
keluar dari dalam tubuh.16,17

Tabel 1. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi dan non depolarisasi.


A. Succinylcholine
Succinylcholine mengalami hidrolisis secara cepat oleh plasma cholinesterase
menjadi succinylmonocholine, yang mempunyai efek blok sangat lemah ( + 1/20 efek
succicylcholine ) dan selanjutnya dalam waktu yang lebih lama menjadi asam suksinil
dan kolin, waktu paruhnya sekitar 2-4 menit.1.11. Yang perlu dicatat adalah
peningkatan ataupun penurunan aktifitas

dari plasma cholinesterase tidak

mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari obat ini secara bermakna. Sering kali
timbul anggapan bahwa metabolisme dari obat inilah yang mengakhiri efek blok otot
skeletal, pada kenyataannya tidaklah demikian. Metabolisme yang terjadi di plasma
hanya menentukan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja, dan di tempat
kerjanya obat ini akan menimbulkan blok yang akan terus berlangsung sampai obat
tersebut kembali keluar dari tempat kerjanya.16,17

36

Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan blok pada 95 % penderita (ED95)


pada otot adductor pollicis adalah 0,3 - 0,5 mg / kg. Sedangkan dosis efektif yang
menimbulkan efek pada 50 % penderita (ED50) adalah 0,2 - 0,3 mg / kg. Pada kedua
keadaan tersebut, pemberian obat anestesi inhalasi akan menyebabkan penurunan
dosis. Mula kerja obat ini dengan dosis subparalisis (kurang dari 0,3 - 0,5 mg/kg)
sekitar 1,5-2 menit. Dosis yang lebih besar ( 1-1,5 mg/kg ) akan menimbulkan efek
dalam waktu 1 menit. Mula kerjanya lebih cepat berefek pada diafragma dan otot
laring, serta akan lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Lama kerjanya
dengan dosis 1 mg/kg adalah 10-12 menit.4,16
B. Pancuronium bromide
Pancuronium bromide adalah pelumpuh otot golongan non-depolarisasi
dengan mula kerja yang lambat dan masa kerja panjang. Masa kerja obat golongan ini
ditentukan oleh konsentrasinya di plasma yang akan menurun sampai batas minimal
yang dapat menimbulkan efek blok pada otot skeletal.16,17
Pancuronium diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg. 15-40 % dari jumlah yang
diberikan akan mengalami proses deasetilisasi menjadi 3-OH, 17-OH, atau 3,17-OH
pancuronium. Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk asalnya, 46% melalui
urine dan 5-10% melalui empedu setelah 24 jam pertama. Sisanya dieksrkresi melalui
urine setelah diubah menjadi metabolit hasil diasetilisasi.16,17
3-OH adalah metabolit yang paling poten, dimana mempunyai potensi
setengah dari pancuronium dan juga mempunyai T1/2 sama dengan pancuronium.
ED95 dari pancuronium adalah 60 m g/kg dan sebagaimana pelumpuh otot
nondepolarisasi yang lain, mula kerjanya bertambah singkat pada bayi dan anakanak.4
C. Vecuronium
Vecuronium mempunyai rumus bangun yang menyerupai pancuronium,
namun mempunyai masa kerja yang lebih singkat, sekitar setengah kali masa kerja
pancuronium (lihat tabel 2). Metabolisme dilakukan di hati dengan ekskresi utamanya
melalui empedu dan sebagian kecil melalui urine. Ekskresi melalui urine pada 24 jam
pertama adalah 15% dari jumlah obat yang diberikan, persentase yang kecil disini

37

menunjukkan vecuronium lebih aman digunakan pada penderita kelainan fungsi


ginjal dibandingkan dengan pancuronium.17
Dosis awal yang dibutuhkan adalah 0,1 mg/kg dan dapat ditingkatkan sampai
0,3 mg/kg, namun dosis 0,15 mg/kg sudah cukup untuk memberikan efek blok
dengan mula kerja 1-2 menit setelah pemberian sebagai sarana intubasi trakhea.
ED95 dari obat ini adalah 50 m g/kg dan akan mempunyai mula kerja yang lebih
singkat pada anak-anak, namun akan memanjang pada bayi dan orang tua karena
adanya penurunan bersihan plasma. Masa kerjanya dengan dosis pemeliharaan 0,1
mg/kg adalah 23 menit. Tidak ditemukan adanya efek kumulasi yang dapat
memperpanjang blok otot yang ditimbulkan dengan pemberian berulang sebesar 25%
dari dosis awal, atau sebagai alternatif dapat diberikan secara terus menerus melalui
infus dengan dosis 1-2 m g/kg.16,17
D. Atracurium
Atracurium adalah obat pelumpuh otot dengan masa kerja yang relatif singkat,
ini disebabkan karena pengubahan bentuk quaternary ammonium menjadi tertiary
amine yang terjadi secara spontan dalam plasma (dikenal dengan reaksi Hoffman).
Reaksi ini meningkat bila terjadi kenaikan pH darah, misalnya pada penderita dengan
hiperventilasi. Reaksi lain yang berperan dalam penurunan konsentrasi atracurium
dalam sirkulasi adalah hidrolisis ester oleh plasma esterase. Pada kenyataannya reaksi
hidrolisis ester merupakan cara metabolisme utama dari atracurium, namun reaksi
Hoffman memberikan suatu keamanan pada pemakaian atracurium untuk penderita
dengan kelainan fungsi hati maupun ginjal.16
Atracurium diekskresi melalui empedu sekitar 55% dari dosis yang diberikan
dan sisanya dikeluarkan melalui urine setelah 7 jam sejak pertama kali diberikan.
Waktu paruhnya adalah 20 menit.11. ED95 obat ini adalah 200m g/kg dengan efek
blok maksimal dicapai setelah 5-6 menit.1. Dosis 0,5 mg/kg diperlukan untuk
intubasi trakhea dengan efek maksimal dicapai setelah 30-60 detik setelah pemberian
intravena. Dosis awal yang dibutuhkan untuk menimbulkan relaksasi otot adalah 0,25
mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis pengulangan sebesar 0,1 mg/kg setiap 10-20
menit atau dengan pemberian perinfus sebanyak 5-10 m g/kg.17

38

DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore

: Mc Graw Hill Lange. 2007. p.401-17.


2. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat

anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010. p.5-10, p23-86.
3. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of

clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5 th edition. Lippincott


Williams & Wilkins. 2006. p.801-65.
4. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring.

In: Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidsons
A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; p147-71.
5. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.
Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989
6. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995: p124-139
7. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis

Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.


39

8. Wikipedia.

Propofol.

2006

(diakses

dari

http://en.wikipedia.org/wiki/

Propofol.html, tanggal 1 November 2011)


9. 1Wikipedia. Etomidate. 2008 (diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/

etomidate.html, tanggal 1 November 2011)


10. Kedokteran
dan
Linux.
Barbiturat.

2007.

(Diakses

dari

www.medlinux.blogspot.com, tanggal 1 November 2011)


11. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi

Ke-5. Jakarta : Gramedia; 2002, p364-72


12. Stoelting RK, Hillier SC. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. In :

Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :


Lipincott William & Wilkins; 2006, p153-78
13. Kedokteran
dan
Linux.
Ketamin.

2009.

(Diakses

dari

www.medlinux.blogspot.com, tanggal 1 November 2011)


14. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In :
Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins; 2006, p87-126, p140-53
15. Zunilda SB, Setiawati Arini, Suyatna FD. Pengantar farmakologi. Dalam:

Ganiswara Sulistia G, editor. Farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta: Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; p1-23.
16. Miller RD. Pharmacokinetics of muscle relaxants and their antagonists. In :

Roberts C Prys, Hug CC Jr, editors. Pharmocokinetics of anaesthesia. London:


Blackwell Scientific Publications, 1984; p246-69.
17. Clarke RSJ, Hunter AR. Neuromusculas blocking agents. In : Dundee John w,
Clarke R S J, McCaughey William. Clinical Anaesthetic Pharmacology.
London: Churchill Livingstone, 1991; p295-313.

40

You might also like