You are on page 1of 14

Epidemiologi Kasus TB pada pasien DM

Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua
yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah
kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian
yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk
spora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi
pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada
sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan TB
yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga
populasi dunia, dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit
pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta pasiennya.
Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia
untuk jumlah kasus TB.1-3
Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu
di antara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Meskipun
keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup
tinggi, keberadaan TB di berbagai belahan dunia menunjukkan
kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain usia dan
imunitas.1-3
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor
risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak

permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya


hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk
ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang
menimbulkan manifestasi klinis DM.2,4
Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik
dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia
kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya.5 DM dapat meningkatkan frekuensi
maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang
diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan
hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi.2
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan
prevalensi DM, terutama DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh
perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan
berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negaranegara
yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan
prevalensi DM, sebagai faktor risiko TB juga disertai dengan
peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai memberi perhatian
pada epidemi DM dan TB, terutama pada negara-negara
berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India
yang mengalami peningkatan prevalensi DM tercepat dan
memiliki beban TB tertinggi di dunia.2
Peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi di
Indonesia. Cukup banyak pasien DM yang mengalami TB
dan hal tersebut meningkatkan morbiditas maupun mortalitas
TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk diketahui

lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis,


maupun pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM.

1.1. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
tentang epidemiologi kasus tb pada dm dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
1.2. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya agar dapat
lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai epidemiologi kasus tb pada dm.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi TB
Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik
yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imunitas tubuh, sehingga penderita lebih
rentan terserang infeksi, termasuk TB paru.
Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM
adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan tubuh, termasuk
gangguan fungsi dari epitel pernapasan
serta motilitas silia. Paru pada penderita
DM akan mengalami perubahan patologis,
seperti penebalan epitel alveolar dan lamina
basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangiopati
sama seperti yang terjadi pada retinopati

dan nefropati. Gangguan neuropati saraf


autonom berupa hipoventilasi sentral dan
sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi
yaitu penurunan elastisitas rekoil paru,
penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida,
dan peningkatan endogen produksi
karbondioksida.
2. 2. Patogenesis TB pada penderita DM
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik
yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imunitas tubuh, sehingga penderita lebih
rentan terserang infeksi, termasuk TB paru.
Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM
adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan tubuh, termasuk
gangguan fungsi dari epitel pernapasan
serta motilitas silia. Paru pada penderita
DM akan mengalami perubahan patologis,
seperti penebalan epitel alveolar dan lamina
basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangiopati
sama seperti yang terjadi pada retinopati
dan nefropati. Gangguan neuropati saraf
autonom berupa hipoventilasi sentral dan
sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi
yaitu penurunan elastisitas rekoil paru,
penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida,
dan peningkatan endogen produksi
karbondioksida.
Sel-sel efektor yang sering berkontribusi
terhadap infeksi M. tuberculosis adalah
fagosit, yaitu makrofag alveolar, perkursor
monosit, dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar,

berkolaborasi dengan limfosit sel-T, berperan


penting dalam mengeliminasi infeksi
tuberkulosis. Pada penderita diabetes melitus,
diketahui terjadi gangguan kemotaksis,
fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit
terhadap bakteri M. tuberculosis; kemotaksis
monosit tidak terjadi pada penderita DM.
Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi
insulin.19
Beberapa penelitian menunjukkan makrofag
alveolar pada penderita TB paru dengan
komplikasi DM menjadi kurang teraktivasi.
Penurunan kadar respons Th-1, produksi
TNF-, IFN-, serta produksi IL-1 dan IL-6
juga ditemukan pada penderita TB paru
disertai DM dibandingkan pada penderita TB
tanpa DM. Penurunan produksi IFN- lebih
signifi kan pada pasien TB paru dengan DM
tidak terkontrol dibandingkan pada pasien
TB paru dengan DM terkontrol. Produksi
IFN- ini akan kembali normal dalam 6
bulan, baik pada pasien TB paru saja maupun
pasien TB paru dengan DM terkontrol, tetapi
akan terus menurun pada pasien TB paru
dengan DM tidak terkontrol. Selain itu, terjadi
perubahan vaskuler pulmonal dan tekanan
oksigen alveolar yang memperberat kondisi
pasien.

2.3. Manifestasi Klinis TB pada pasien DM


Telah banyak dilakukan penelitian untuk
melihat perbedaan manifestasi klinis
penderita TB paru dengan DM dan penderita

TB paru saja. Pada tahun 1934 telah


dilakukan penelitian terhadap 234 kasus
TB paru pada penderita DM di Boston,
hasilnya menunjukkan bahwa tanda dan
gejala tidak berbeda pada penderita TB paru
saja dan tidak ada gejala tersembunyi yang
membahayakan. Wang, dkk. di Taiwan (2009)
menyatakan bahwa pasien TB dengan DM
menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam
hal gejala demam dan hemoptisis, sputum
basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi,
kavitas, dan keterlibatan lapangan paru
bawah.
Penelitian Alisjahbana, dkk. (2007) di
Indonesia menemukan beberapa perbedaan
manifestasi klinis. Gejala klinis ditemukan
lebih banyak pada pasien TB paru yang
juga menderita DM dan berdasarkan indeks
Karnofsky, keadaan umumnya juga lebih
buruk . Dikatakan hasilnya tidak terlalu
signifi kan karena perbedaannya kecil.
Penelitian lain di Malaysia, Saudi Arabia,
dan Turki, tidak menemukan perbedaan
signifikan dalam hal gejala, akan tetapi
sebuah studi besar di Mexico melaporkan
gambaran klinis yang lebih buruk pada
pasien TB yang menderita DM, yaitu dalam
hal demam, hemoptisis, dan keadaan
umumnya.
Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk
kadar gula darah dan meningkatkan
risiko sepsis pada penderita diabetes.
Demam, kuman TB paru aktif, dan malnutrisi
menstimulasi hormon stres seperti

epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon


pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja
meningkatkan kadar gula dalam darah hingga
lebih dari 200 mg/dL. Kadar IL-1 dan TNF
plasma juga meningkat dan menstimulasi
hormon anti-insulin, sehingga memperburuk
keadaan infeksinya.
2.4. Diagnosis
Diagnosis TB paru melalui anamnesis,
pemeriksaan fi sik (suara napas bronkial,
melemah, ronki basah, dan retraksi interkostal
atau diafragma), dan pemeriksa an
penunjang berupa pemeriksaan bakteriologi
dan radiologi. Diagnosis utama ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA)
melalui pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan bakteriologi penting untuk
menemukan M.Tb. Pada semua pasien yang
dicurigai TB paru diperiksa 3 spesimen dahak
dalam 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS).1 Hasil diagnosis positif membutuhkan
paling sedikit 5000 batang kuman per
mL sputum.16 Selain sputum, bahan dapat
diambil dari cairan pleura, jaringan kelenjar
getah bening, cairan serebrospinal. Pasien
TB paru disertai DM memiliki jumlah basil
yang lebih tinggi dalam sputumnya.
Pada penelitian Alisjahbana, dkk. dari 373
pasien TB yang menderita DM, 328 pasien
(87,9%) menunjukkan kultur M.TB positif.
Hasil penelitiannya juga menunjukkan peningkatan
BTA +++ dengan odd ratio (OR)
1,71 pada penderita TB paru dengan DM.

Pemeriksaan sputum mikroskopis lebih


sering menunjukkan hasil kultur positif M.TB
sampai 2 bulan setelah mulai pengobatan
anti-TB,6 bahkan bisa sampai 6 bulan setelah
mulai pengobatan (22,2%).
Secara radiologis, TB paru pada penderita
DM sering menunjukkan gambaran dan
distribusi radiografi yang atipikal; pada
penderita TB tanpa DM kavitas atau
infiltrat banyak ditemukan pada lobus
atas, sedangkan pada penderita TB paru
disertai DM, lapangan paru bawah lebih
sering terlibat (29% pada kasus dengan
DM, 4,5% pada kasus non-DM),2 diikuti lobus
atas kemudian tengah. Keterlibatan paru
bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan efusi
pleura, dan 30% terdapat kavitas. Gambaran
radiologi termasuk fi brosis, konsolidasi, opasitas
homogenus dan heterogenus. Penelitian Patel, dkk. di India (2011) melaporkan bahwa
pada 10 dari 50 foto radiologik penderita TB
dengan DM didapatkan gambaran kavitas
lebih dari 2 cm, terutama jika paru bagian
bawah terlibat (80%). Gambaran radiologi
atipikal TB paru disebabkan karena penderita
DM memiliki gangguan imunitas seluler dan
disfungsi sel leukosit polimorfonuklear (PMN).
Penelitian oleh Perez-Guzman, dkk. di Mexico
(2001) menunjukkan kelompok TB paru-DM
memiliki jumlah total leukosit lebih rendah
dibandingkan kelompok TB paru saja, yaitu
8836,7 } 219,5 vs 10013,1 } 345,2 sel/mm3.
Penurunan jumlah dan aktivitas bakterisidal,
kemotaktik dan fagositik, diduga menjadi
faktor utama yang berperan terhadap

timbulnya lesi dan kavitas di lapangan paru


bawah. Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengklarifi kasi peran leukosit dan
penuaan dini paru akibat DM.
2.5. Tatalaksana
Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian
besar pasien DM akan meninggal karena TB paru bila mereka
berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah diperkenalkan
terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi
ancaman yang serius dan mematikan pada pasien DM.
Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya
akan jauh lebih baik.
Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa
dengan yang bukan pasien DM, dengan syarat kadar gula
darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan dilanjutkan
dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pengobatan
TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar
gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang
biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
etambuto,dan streptomicin.3,13,15
Dosis harian isoniazid ialah 4-6 mg/kg berat badan (BB)/
hari dengan dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan
dapat berupa gejala-gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan
terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/
hari atau dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat
defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra.
Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis
imbas obat yang t timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila

terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat


hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid)
dihentikan dan pengobatan TB dilanjutkan sesuai pedoman
pengobatan TB pada keadaan khusus.3,13
Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan
dosis hariannya 8-12 mg/kg BB/hari dan dosis maksimal 600
mg. Efek samping ringan yang didapat berupa sindrom flu
(misalnya demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut
(sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan
sindrom kulit (gatal-gatal).
Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis
imbas obat, sesak nafas, dan bila terjadi salah satu gejala
sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka
pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan
tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin,
keringat, air mata, air liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat
dan hal ini tidak berbahaya.
Keadaan yang perlu diperhatikan ialah pemberian
rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral
antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi
efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan
metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM,
pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan.
3,13 Saat ini penulis belum dapat menemukan literatur
yang menjelaskan cara meningkatkan dosis sulfonilurea pada
kasus ini.
Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis
dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari.
Efek samping utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat
pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis gout yang
disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi
maka perlu dimonitor karena bila kadar asam urat terlalu tinggi
mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual,

kemerahan dan reaksi kulit yang lain.3,13


Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis
harian 15-20 mg/kg BB/hari. Antituberkulosis ini dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan
penglihatan akan kembali normal beberapa minggu setelah
obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM
harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata,
padahal pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit
berupa kelainan pada mata. 3.13
Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada
dosis harian 15-18 mg/kg BB/hari dan dengan dosis maksimal:
1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII
yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis
total yang diberikan. Jika pengobatan streptomisin diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping
ringan lainnya yang dapat terjadi demam, sakit kepala,
muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf
pendengaran janin.3,13
Obat-obat ini dapat diberikan dalam bentuk terpisah
ataupun dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose
Combination/FDC), kecuali streptomisin. Jenis kombinasi
dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB
paru yang diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori
pengobatan TB.3
Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa
efikasi rifampisin tergantung pada paparan terhadap obat
dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Menurut

Nijland,13 kadar plasma rifampisin pada pasien TB dengan


DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB tanpa DM.

2.6. Epidemiologi
Epidemiologi
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan
prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan
sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali
lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan
kontrol yang non-diabetes.4,6 Dalam studi terbaru di Taiwan
disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar
tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan
kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.7 Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Alisjahbana et al8 di Indonesia pada
tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada pasien
baru TB paru dibandingkan dengan non TB.

Bab 3
Kesimpulan
Ringkasan
DM merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam
hal terjadinya perburukan TB paru. Peningkatan prevalensi

DM di Indonesia disertai dengan peningkatan prevalensi


TB paru. Peningkatan prevalensi ini cenderung lebih tinggi
seiring dengan bertambahnya usia.
Dalam hal manifestasi klinis, tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru yang juga
menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala
yang muncul cenderung lebih banyak dan keadaan umum
lebih buruk pada yang menderita DM. Namun dari gambaran
radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dnegan TB ini
tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain.
Prinsip pengobatan DM pada TB atau non TB tidak
berbeda, tetapi harus diperhatikan adanya efek samping dan
interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk DM.
Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting
dan utama yang harus diperhatikan demi keberhasilan
pengobatan TB paru pada pasien DM.

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis:
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Indah Off set Citra Grafi ka; 2011.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan
dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
PERKENI; 2011
3. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus.
J Indon Med Assoc. 2011;61(4):173-8

4. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes melitus dan permasalahannya


pada infeksi tuberkulosis. J Respir Indon. 2013;33(2):126-34.
5. Nasution EJS. Profi l penderita tuberkulosis paru dengan diabetes
melitus dihubungkan dengan kadar gula darah puasa. 2007.
6. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An appraisal. Ind. J.
Tub. 2000;47(3):2-7.
7. World Health Organization. Global tuberculosis control: 2010.
Geneva: World Health Organization; 2010.
8. International Diabetes Federation. Diabetes and tuberculosis
[Internet]. 2013 [cited 2013 June 02]. Available from:
http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/diabetes-and-tuberculosis.

You might also like