Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Afif Imanfadanu, S.Ked
Desi Oktarina, S.Ked
Resty Mauliana, S.Ked
Pembimbing :
dr. Toni Prasetyo, Sp.PD
Asma adalah kondisi pernafasan kronis yang umum, ditandai secara klinis oleh
kecendrungan penyempitan jalan nafas yang berlebihan. Hal ini mungkin timbul
sebagai respon paparan lingkungan setiap hari dan diperparah baik oleh infeksi
penyerta atau pada orang yang peka terhadap paparan alergen. Dalam hal patologis,
asma ditandai dengan peradangan saluran napas dan perubahan struktural pada
jaringan saluran napas, seperti hiperplasia epitel sel goblet, kolagen subepitel deposisi,
dan hipertrofi otot polos - keseluruhan disebut remodeling airway. Percobaan allergen
inhalasi pada asma atopik menyebabkan peradangan eosinophilic dari jalan napas dan
perubahan dalam matriks ekstraselular, dan penurunan eosinofil di jalan nafas
dilaporkan mengurangi beberapa tanda remodeling airway, perubahan struktural
seperti jaringan telah dianggap sebagai risiko dari peradangan eosinofilik di jalan
nafas. Paradigma ini, gagal untuk menilai potensi keterlibatan penyempitan jalan nafas
menjadi remodeling airway. Bronkokonstriksi menghasilkan kekuatan mekanik yang
berlebihan dalam saluran nafas yang dapat memutar balik jaringan sel, dan kekuatan
mekanik dalam organ-organ lain yang dapat memicu remodeling jaringan. Penelitian
in vitro berbagai variasi menunjukkan bahwa tekanan ex vivo dari epitel saluran napas
menghasilkan perubahan yang identifikasinya dan hubungannya mirip dengan
remodeling in vivo. Oleh karena itu hipotesis kami bahwa jalan napas menyempit
akibat paparan alergen in vivo pada pasien asma menjadi pemicu yang cukup untuk
pengembangan remodeling airway dan remodeling tersebut tidak semata-mata
tergantung pada penimbunan esosinofil jalan nafas.
Untuk menguji hipotesis ini, kami melakukan percobaan berulang-ulang
dengan paparan alergen (untuk memicu bronkokonstriksi dengan penimbunan
eosinofil jalan nafas) atau metakolin (untuk memicu bronkokonstriksi saja) pada
subjek yang memiliki asma atopik ringan. Dua kelompok tambahan subjek asma
sebagai kontrol, menjalani percobaan ulang baik dengan normal saline (sebagai
kontrol untuk percobaan) atau metakolin setelah mereka menerima albuterol untuk
mencegah
bronkokonstriksi
(untuk
mengendalikan
setiap
tambahan
METODE
SUBYEK PENELITIAN
Kami mencari orang dewasa yang menderita asma yang memenuhi kriteria: tes skin
prick positif untuk alergen berupa debu tungau rumah Dermatophagoides
pteronyssinus, reaktivitas saluran napas yang abnormal (didefinisikan oleh konsentrasi
provokatif metakolin diperlukan untuk mengurangi ekspirasi paksa Volume dalam 1
detik [FEV1] sebesar 20% [PC20] kurang dari 8 mg per mililiter), tidak ada riwayat
merokok, dan pengobatan dengan beta-agonis short-acting hanya saat dibutuhkan.
Studi ini disetujui oleh komite etik penelitian lokal, dan subjek memberi persetujuan
tertulis.
PROSEDUR DAN PENGUKURAN KLINIS
Batas waktu penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Awal penilaian meliputi
spirometri, tes skin prick, dan pengukuran reaktivitas bronkial, diikuti dengan
bronkoskopi setelah minimal 14 hari. Subyek kemudian diminta melakukan satu dari
empat kelompok percobaan - allergen, metakolin, saline, atau metakolin didahului
dengan albuterol- Menurut pengacakan permuted-block pada desain studi kelompok
paralel. Setidaknya 14 hari setelah pemeriksaan bronkoskopi awal, subyek menjalani
tiga percobaan inhalasi berturut-turut pada interval 48 jam, diikuti oleh pemeriksaan
bronkoskopi kedua 4 hari setelah percobaan terakhir. Subyek dicatat skor gejalanya
perhari pada pasien dengan asma terkontrol untuk minggu sebelumnya dan minggu
percobaan berulang.
Percobaan
dengan
alergen
dan
metakolin
telah
disesuaikan
untuk
riwayat respon saluran napas terhadap percobaan dalam jangka waktu tertentu, tidak
ada obat bronkodilator yang diberikan.
Spirometri, tes skin prick, dan bronkoskopi fiberoptik dilakukan untuk standar
penilaian dan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan. Semua pemeriksaan
bronchoskopi dilakukan tanpa komplikasi. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan
persedur yang berlaku, tersedia dengan teks lengkap artikel ini di NEJM.org.
ANALISIS STATISTIK
Karakteristik subjek dan hasil spirometri dirangkum dengan menggunakan
statistik deskriptif dan perbedaan antar kelompok dinilai melalui rata-rata analisis
variasi satu arah. Konsetrasi metakolin dilaporkan berupa rata-rata dan jarak
geometrik yang dianalisa dengan menggunakan tes Kruskal-Wallis. Semua data
lainnya distribusinya nonparametrik dan ditampilkan sebagai nilai tengah dengan
jarak kuartil dianalisa dengan menggunakan tes Kruskal-Wallis untuk perbandingan
antar dua kelompok, yaitu tes mann-whitney untuk membandingkan antar pasangan
kelompok yang sesuai. Tes berpasangan pada data diambil dari kelompok sebelum dan
sesudah percobaan dengan menggunakan tes wilcoxon.
Tidak ada koreksi untuk perbandingan multipel yang dibuat sehubungan
dengan hasil akhir empat jaringan remodeling walaupun koreksi Bonferroni
digunakan untuk analisis post hoc perbnadingan antar kelompok atau dalam kelompok
untuk menampilkan nilai perbandingan (6 perbadingan tiap variabel). Niali p lebih
rendah atau sama dengan 0,05 dipertimbangkan untuk indikasi statistik yang
signifikan.
HASIL
KARAKTERISTIK SUBYEK
Dari 84 relawan disaring, 52 yang memenuhi syarat untuk pendaftaran; 48 dari 52
subjek yang dipilih secara acak ditugaskan untuk empat kelompok percobaan (12
subjek dalam setiap kelompok) dan harus menyelesaikan penelitian. Fungsi paru,
status atopik, dan persentase eosinofil dan konsentrasi protein eosinofil kationik dalam
cairan bilas bronkoalveolar tidak berbeda secara signifikan antara empat kelompok
(Tabel 1).
FUNGSI PARU DAN SKOR GEJALA
Pada kelompok percobaan dengan allergen atau metakolin, terdapat nilai rata-rata (
SE) yang konsisten dan hampir sama penurunannya pada FEV1 masing-masing 21,2
7,6% dan 22,4 7,4%,. Percobaan saline tidak terkait dengan perubahan signifikan
FEV1, sedangkan percobaan preterapi albuterol sebelum metakolin secara signifikan
meningkatkan FEV1 dasar (P <0,001) dan mencegah respon bronkokonstrictor akut
7
pada percobaan metakolin (Gambar. 1). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
perubahan langsung FEV1 setelah alergen dan percobaan metakolin (P = 0,42), dan
hasil pada kedua kelompok tersebut berbeda secara signifikan dari kelompok
percobaan kontrol saline dan albuterol-metakolin. Percobaan alergen tapi yang bukan
metakolin dikaitkan dengan respon alergi susulan yang signifikan (P <0,001)
(Gambar. 1). Tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok pada skor gejala
selama 2 minggu penelitian (Tabel 1 dalam Lampiran).
PENIMBUNAN EOSINOFIL JALAN NAFAS
Empat hari setelah percobaan, terdapat peningkatan persentase eosinofil dan protein
kation eosinofil dalam sampel cairan bilas bronkoalveolar dari kelompok alergen tapi
bukan sampel yang dari kelompok metakolin, saline dan albuterol-metakolin dengan
perbedaan signifikan antara kelompok percobaan alergen dan tiga kelompok lainnya
(masing-masing P=0,004 and P=0,001) ditampilkan pada tabel 2 dan gambar 2. Dalam
kelompok percobaan alergen, terdapat kenaikan signifikan pada 2 variabel setelah
percobaan (P = 0,04 untuk eosinofil dan P = 0,008 untuk protein kation eosinofil).
Nilia tengah dari eosinofil mukosa endobronkial juga meningkat setelah percobaan
alergen, dari 3.25 sel/mm2 (0,63-6,63) hingga 11.00 sel/mm2 (1,38-14,38). Tidak ada
perubahan signifikan yang nyata pada kelompok lainnya sehubungan dengan
eosinofil. Tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok pada cairan bilas
bronkoalveolar lainnya atau tipe jaringan sel yang diteliti (tabel 2 dan 3 pada
lampiran).
PERBAIKAN EPITEL DAN STRUKTUR REMODELING
Sebelum percobaan, tidak tedapat perbedaan signifikan antar 4 kelompok sehubungan
dengan salah satu pengukuran histokimia yang diteliti (tabel 1). Setelah percobaan
diulang, terdapat peningkatan epitel imunoekspresi dari TGF- pada kelompok
alergen dan metakolin tapi tidak pada kelompok saline dan albuterol-metakolin
dengan perbedaan yang seignifikan antar kelompok percobaan. (P = 0.01) (tabel 2).
Dalam kelompok alergen dan metakolin, terjadi peningkatan signifikan setelah
percobaan (masing-masing P = 0.04 dan 0.01), tapi tidak ada perbedaan yang
signifikan antara perubahan kedua kelompok (P = 0.6) (gambar 2). Epitel
10
= 0.02) dengan perbedaan yang signifikan antar kelompok percobaan dan kelompok
kontrol (P<0.001). Tidak ada perubahan signifikan yang nyata pada kelompok saline
atau albuterol-metakolin (gambar 2 dan tabel 2). Tidak ada perbedaan yang signifikan
pada peningkatan ketebalan antar kelompok alergen dan metakolin (P = 0,76).
Perubahan submukosa pada immunoreaktivitas Ki67 nyata setelah percobaan, dengan
perbedaan signifikan antar kelompok percobaan dan kelompok kontrol (P<0.001).
Data indivu untuk peserta penelitian ditampilkan dalam beberapa variabel pada
gambar 1 - 6 di lampiran.
DISKUSI
11
12
Sebuah konsep muncul tentang asma yaitu bahwa unit epitel mesenkimal
tropik melalui interaksi genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi asma. Konsep
ini menjelaskan epitel sebagai struktur utama jaringan. Kami berpendapat bahwa sel
epitel ketika diaktifkan mendorong tidak hanya penimbunan sel jalan nafas tapi juga
tanda mesenkimal yang memicu transformasi miofibroblas dan menginisiasi respon
penyembukhan luka sebagai kejadian utama asma. Dalam hal ini generasi epitel TGF adalah faktor pertumbuhan yang penting, sejak epitel memicu transformasi
13
14
yang tidak jelas dalam kelompok percobaan garam. Perubahan ini harus
mengidentifikasi hubungan bronkokonstriksi pada asma sebagai stimulus yang
menyebabkan produksi mukus yang mungkin berkontribusi untuk oklusi jalan nafas.
Protein Ki67 mengatur proliferasi sel. Peningkatan immunoekspresi dari Ki67
diidentifikasi dalam epitel dan submukosa 4 hari setelah penghentian bronkokonstriksi
berulang dengan alergen atau metakolin sebagai pilihan dari kerusakan epitel yang
disebabkan tekanan dan respon dari perbaikan proliferasi yang sedang berlangsung
dalam unit epitel messenkimal tropik. Tidak adanya efek ketika inhalasi metakolin
yang diawali oleh albuterol (untuk mencegah bronkokonstriksi) hal ini sesuai dengan
hipotesis bahwa efek dari metakolin bukan merupakan molekul spesifik tapi dapat
memicu bronkokonstriksi (Bagian 3 dalam Lampiran). Hal ini memiliki implikasi
tidak hanya untuk pemahaman patogenesis asma tetapi juga untuk desain penelitian
dari remodeling airway yang menggunakan perlakuan pada bronkus. Meskipun
metakolin dan alergen memicu respon-respon bronkokontriktor akut yang hampir
sama, hanya kelompok percobaan alergen menimbulkan alergi yang terlambat terkait
dengan penurunan progresif pada FEV1. Hal ini tidak terkait dengan peningkatan
perubahan remodeling airway. Tidak adanya efek tambahan yang mungkin
mencerminkan mekanisme yang berbeda dari respon bronkokonstriktor cepat dan
lambat atau pencapaian dari ambang respon dengan bronkokonstriksi langsung yang
membatasi pengaruh stimulasi mekanik akut berulang seperti yang disarankan oleh
penelitian in vitro.
Kami memilih subjek untuk penelitian yang sensitif terhadap tungau deburumah, sejak percobaan dengan alergen menimbulkan penimbunan eosinofil jalan
napas. Kami sebelumnya telah menemukan bahwa sedikitnya 6 subjek dengan asma
harus menunjukkan penimbunan eosinofil yang signifikan selama reaksi terlambat,
dan peneliti lain telah melaporkan bahwa remodeling airway yang signifikan terlihat
setelah percobaan alergen pada sedikitnya 9 subjek dengan asma. Maka dari itu, hal
tersebut layak untuk memilih 12 subyek per kelompok percobaan untuk penelitian
kami yang lebih kompleks. Percobaan berulang yang dilakukan untuk menghasilkan
perubahan airway yang dinamis berdasarkan dari asma yang tidak terkontrol dan
mengartikan temuan dari probandus hewan, dimana percobaan alergen berulang telah
menunjukkan untuk mendorong penimbunan eosinofil jalan nafas dan remodeling
airway terus-menerus. Kami mampu memperbanyak temuan ini pada subjek dengan
15
asma, 4 hari setelah mereka mengalami tiga percobaan yang terpisah. Berbeda pada
temuan dengan percobaan alergen, tidak ada penimbunan eosinofil yang nyata dengan
metakolin pemicu bronkokonstriksi berulang. Sebelumnya, perubahan struktur jalan
setelah percobaan alergen yang dikaitkan dengan peradangan eosinofil. Tingkatan
yang sama dari pemicu bronkokonstiksi akut alergen maupun metakolin menghasilkan
perubahan remodeling yang tidak dapat dibedakan dalam penelitian ini, data kami
menunjukkan bahwa alergen pemicu eosinofil yang masuk di jalan napas tidak penting
untuk terjadinya perubahan ini. Namun, karena eosinofil jelas dalam dasar jalan nafas,
penelitian ini tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa interaksi epitel
eosinophil mempengaruhi respon jalan nafas untuk kompresi.
Sehingga penelitian ini membuktikan bahwa bronkokonstriksi yang memicu
stres epitel dan menginisiasi respon jaringan yang mengarah ke perubahan struktur
jalan nafas. Temuan ini tidak hanya berhubungan pada asma tetapi juga dapat
memberikan penjelasan untuk menjelaskan remodeling batuk kronik. Stres epitel
berulang dapat menyebabkan remodeling, pencegahan bronkokonstriksi itu sendiri
harus bertujuan untuk manajemen asma. Kurangnya fokus pada pengendalian
diameter jalan napas dapat menjelaskan mengapa terapi inhalasi glukokortikoid harian
tidak menunjukkan untuk mengubah riwayat perubahan fungsi paru-paru pada usia
prasekolah dan anak usia sekolah di jangka panjang, penelitian intervensi prospektif.
Meskipun pengobatan komponen inflamasi asma merupakan pendekatan firstline
untuk mengendalikan penyakit, hiperresponsif bronkial sering tidak bisa dinormalisasi
dengan terapi inhalasi glukokortikoid, khususnya pada pasien dengan asma yang
parah, dan terapi tambahan diperlukan. Kami berspekulasi bahwa bronkoproteksi yang
terus-menerus dan aman disamping untuk kontrol peradangan harus menjadi tujuan
pada pasien tersebut untuk mencegah risiko jangka-panjang dari remodeling airway.
16