You are on page 1of 19

Referat

Alergi Obat pada Bayi dan Anak

Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Abdul Razak
Anggi Setiawan
Afifah Muthmainnah
Andi Fadilah
Laura Kosasi
Nisa Sulistia
Tia Amalia Putri

Preseptor:
Dr. Rusdi, Sp.A.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. M. Djamil


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Alergi obat adalah respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya

melalui reaksi imunologik atau reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah
pemakaian obat. Reaksi alergi obat harus dicurigai pada pasien yang mengalami erupsi
kutaneus simetris mendadak setelah mengonsumsi obat tertentu. Alergi obat berbeda dengan
reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat diklasifikasikan menjadi etiologi imunologi
dan non imunologi (farmakologi). Sebagian besar reaksi obat (75-80 %) disebabkan oleh efek
non imunologi yang dapat diprediksi. 20-25 % disebabkan oleh efek yang tidak dapat
diprediksi, baik yang diperantarai oleh sistem imun maupun yang tidak. Reaksi imun yang
diperantarai oleh IgE terjadi pada 5-10 %. Reaksi simpang obat yang diperantarai oleh imun
inilah yang disebut alergi obat. Oleh karena itu, alergi obat termasuk bagian dari reaksi
simpang obat.1,2,3
Alergi obat pada bayi dan anak lebih jarang terjadi dibandingkan orang dewasa, akan
tetapi sering menimbulkan masalah karena mirip dengan gejala alergi oleh penyebab lain
yang sering terjadi pada anak, seperti alergi makanan. Angka kejadiannya pun jauh lebih
rendah pada bayi dan anak daripada dewasa, dan akan meningkat dengan bertambahnya usia.
Dilaporkan bahwa reaksi simpang obat terjadi pada 5-15 % dari seluruh pasien yang berobat
jalan dan 25 % dari penderita rawat inap. Alergi obat terjadi 20-30 % dari kejadian reaksi
simpang obat ini. 1,2
1.2.

Rumusan Masalah
Penulisan referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,

pathogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, terapi, dan prognosis tentang alergi obat pada
bayi dan anak.
1.3.

Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan di

kepaniteraan klinik tentang alergi obat pada bayi dan anak serta sebagai pemenuhan salah
satu syarat di kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak.

1.4.

Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah

wawasan bagi dokter muda di bagian ilmu kesehatan anak khususnya dan pada semua ahli
kesehatan pada umumnya.
1.5.

Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini adalah dengan tinjauan pustaka dan merujuk pada

beberapa jurnal dan literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Menurut WHO, 2003 definisi alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas tubuh

terhadap obat yang dimediasi oleh system imun dimana mekanisme terjadinya alergi obat ini
dapat dimediasi oleh IgE ataupun non IgE yang responnya akan muncul kemudian dengan
dimediasi oleh sel T.2
Alergi obat adalah respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi imunologik atau reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah
pemakaian obat.2,3
Reaksi obat yang merugikan secara luas dibagi menjadi yang dapat diprediksi (terkait
dengan tindakan farmakologis obat pada orang yang normal) dan reaksi tak terduga
(berkaitan dengan respon imunologi individu dan, pada kesempatan, perbedaan genetik pada
pasien yang rentan). Alergi obat adalah jenis reaksi tak terduga.
2.2.

Epidemiologi
Insiden dan prevalensi alergi obat tidak diketahui secara pasti dalam beberapa

penelitian. Verifikasi kasus didapatkan berdasarkan review data dan pemeriksaan pasien yang
tidak formal selama episode reaksi obat dalam beberapa penelitian.
Reaksi simpang obat mencapai 3 - 6 % dari seluruh penerimaan rumah sakit dan
terjadi pada 10 - 15 % dari pasien rawat inap. Alergi obat relatif jarang, jumlahnya kurang
dari 10 % dari semua reaksi simpang obat. Alergi obat, terjadi pada 1 % sampai 2 % dari
seluruh pasien dan 3 % sampai 5 % dari pasien rawat inap, tetapi kejadian yang sebenarnya
dari alergi obat pada masyarakat, dan di antara anak-anak dan orang dewasa, tidak diketahui.
Banyak anak-anak yang didiagnosis sebagai "alergi" terhadap berbagai obat, terutama
antibiotik dan akhirnya menjadi menetap hingga dewasa. Pasien-pasien ini sering diobati
dengan obat alternatif yang mungkin lebih beracun, kurang efektif, dan lebih mahal. Hal ini
dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya.2
2.3.

Etiologi dan Faktor Risiko


Obat yang sering menjadi penyebab terjadinya reaksi alergi obat adalah,
-

Aspirin (analgesik-antipiretik lainnya)


Penisilin dan sefalosporin

Sulfonamid
Obat antituberkulosis
Nitrofurans
Antimalaria
Griseofulvin
Sedatif hipnotik-antikonvulsan
Anestesi (lokal dan umum)
Fenolftalein
Penenang antipsikotik
Agen antihipertensi (hydralazine)
Agen Antiarrhythmia (quinidine, procainamide)
Media kontras iodinasi
Antiserum dan vaksin
Ekstrak organ (ACTH, insulin)
Logam berat (emas)
Allopurinol
Penicillamine
Obat antitiroid

Penelitian lainnya melaporkan pada anak berusia 6 sampai 9 tahun, didapatkan obat yang
sering menjadi penyebab terjadinya alergi pada anak adalah,
Golongan Obat
Penisilin dan betalaktam lainnya
Trimetoprim sulfametoxazole
NSAID

Persentase
59,3 %
11,1 %
9,9 %

Lokasi manifestasi lesi yang terbanyak adalah,


Lokasi Lesi
Kutaneus
Gastrointestinal
Lebih dari 1 organ

Persentase
93,8 %
17,21 %
23,5 %

Faktor Risiko:
1. Faktor obat
a. Sifat obat
Sulit untuk memprediksi kapasitas kepekaan obat sebelum penggunaan klinis
luas berdasarkan struktur kimianya. Ketika zat kimia yang reaktif protein, tingginya
insiden sensitisasi dapat terjadi. Banyak obat yang sangat alergi tidak jelas kimia
reaktifnya. Dalam situasi ini , besar kemungkinan bahwa produk metabolik dari obat-

obatan atau kontaminan ringan jauh lebih reaktif, dan bertanggung jawab atas
sensitisasi klinis. Meskipun banyak obat-obatan telah terlibat dalam produksi reaksi
alergi, mereka sering terlibat. Penisilin, aspirin , dan sulfonamid mencapai lebih dari
80 persen dari reaksi obat alergi . Kira-kira 1 sampai 3 persen pasien kursus penisilin
yang rumit oleh reaksi alergi .
b. Derajat pajanan obat (dosis, durasi, frekuensi)
Ada beberapa bukti bahwa sensitisasi lebih mungkin dengan dosis obat yang
lebih tinggi dan administrasi berkepanjangan, tetapi secara klinis ini tidak muncul
untuk menjadi penting. Lebih penting adalah program intermiten dosis obat moderat
yang jelas mempengaruhi kepekaan; pengobatan jangka panjang tanpa interval bebas
kurang cenderung untuk melakukannya. Insiden reaksi alergi penisilin antara pasien
yang menerima profilaksis jangka panjang sangat rendah. Selama satu rangkaian
pengobatan, kemungkinan reaksi lebih besar selama dua atau tiga minggu pertama
terapi. Dengan pengecualian dari dermatitis kontak, rute pemberian yang begitu
penting dalam jenis reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan.
c. Perjalanan obat
Aplikasi topikal dari obat dikaitkan dengan tingginya insiden sensitisasi dan
harus dihindari dengan agen tertentu, terutama pada kulit yang meradang. Penicillin
dan sulfonamid tidak lagi digunakan secara topikal karena risiko ini. Obat oral
umumnya lebih aman daripada jenis jalur parenteral; Namun, reaksi berat telah
mengikuti mode ini. Peningkatan penggunaan penisilin oral mungkin menjadi alasan
mengapa risiko sensitisasi penisilin telah menurun . Rute intravena mungkin bentuk
kepekaan paling ringan meskipun telah dikaitkan dengan reaksi anafilaksis bencana.
d. Sensitisasi silang
Setelah sensitisasi terhadap suatu obat telah terjadi, kemungkinan ada
reaktivitas baik untuk obat dengan hubungan kimia struktural dekat atau metabolit
serupa secara imunokemikal. Kisaran sensitisasi silang sangat bervariasi antara
individu dan sering tidak mungkin untuk diprediksi. Contohnya termasuk zat yang
memiliki gugus amino bebas dalam asam para, asam para-aminobenzoic, dan
sulfonamid; turunan fenotiazin seperti klorpromazin, proklorperazin, prometazin,
trifluoperazone, trimeprazine, dan triflupromazine; dan reaktivitas silang terlihat di
antara penicllins dan cephalopsporins. Pholcodine dihipotesiskan menjadi sumber

sensitisasi silang antara pasien yang mengembangkan reaksi hipersensitivitas terhadap


agen neuromuscular blocking.
2. Faktor host
a. Umur dan jenis kelamin
Beberapa reaksi alergi terhadap obat jarang terjadi pada anak-anak dan pasien
usia lanjut, hal ini lemungkinan karena ketidakmatangan atau involusi dari respon
kekebalan. Anak-anak belum memiliki paparan berulang terhadap obat-obatan yang
diperlukan untuk terjadinya sensitisasi. Satu studi tidak menemukan perbedaan usia
dengan reaksi obat kulit. Tidak ada bukti konklusif, dengan kemungkinan
pengecualian dari reaksi kulit, bahwa reaksi obat alergi lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria. Perbedaan mengenai usia dan jenis kelamin tidak
signifikan penentu dalam pemilihan obat untuk terapi.
b. Faktor genetic (tipe HLA, status asetilator)
Reaksi alergi obat terjadi hanya dalam persentase kecil dari pasien yang
diobati dengan obat yang diberikan . Sangat mungkin bahwa banyak faktor, genetik
dan lingkungan, yang terlibat dalam menentukan individu dalam populasi acak yang
besar akan mengembangkan reaksi alergi terhadap obat yang diberikan. Kehadiran
atopi bukan merupakan faktor risiko untuk alergi obat , meskipun pasien dengan asma
yang tidak terkontrol mungkin lebih rentan untuk mengalami reaksi berat (seperti
halnya dengan alergi makanan). Secara teoritis, faktor genetik dari berbagai jenis,
yang beroperasi pada tingkat yang berbeda, mungkin perlu hidup berdampingan
dalam individu sebelum reaksi alergi obat terjadi. Pasien mungkin memerlukan
informasi genetik untuk membentuk metabolit reaktif, untuk menghasilkan jenis
antibodi tertentu, dan untuk menguraikan berbagai mediator yang aktif secara
farmakologi. Sebagai kemungkinan koeksistensi semua faktor ini mungkin cukup
rendah , ini akan menjelaskan insiden rendah dari reaksi obat alergi pada populasi
umum .
c. Penyakit medis yang bersamaan (contoh, Ebstain-Barr Virus (EBV), HIV,
asma)
Keadaan penyakit dapat mempengaruhi perkembangan reaksi obat alergi
dengan mengubah jalur metabolisme dan mendorong variasi dalam tanggapan
kekebalan terhadap obat. Reaksi obat harus terjadi lebih jarang di antara individu-

individu yang tanggap kekebalan terganggu. Misalnya hypogammaglobulinemia,


alergi obat karena antibodi jarang terjadi, tetapi reaksi yang diperantarai sel, seperti
dermatitis kontak yang disebabkan oleh obat topikal diterapkan, dapat dengan mudah
diinduksi. Sebaliknya, pasien dengan sarkoidosis memiliki gangguan hipersensitivitas
seluler, dan kecil kemungkinannya untuk menjadi dermatitis kontak dan beberapa
exanthems obat, tetapi dapat menjadi urtikaria dan reaksi obat alergi antibodidimediasi lainnya. Kesan awal yang hipersensitivitas obat lebih umum di antara
pasien dengan lupus eritematosus sistemik belum dikonfirmasi. Infeksi tertentu
tampaknya terkait dengan kemungkinan peningkatan hipersensitivitas obat misalnya
ampisilin,

ruam

makulopapular

muncul

biasanya

pada

pasien

dengan

mononumcleosis menular (infeksi EBV, meskipun ada bukti yang meyakinkan bahwa
respon ini tidak imunologis dimediasi. Reaksi simpang obat sering ditemui pada
pasien dengan HIV dan AIDS, khususnya pada kotrimoksazol (trimetoprimsulfametoksazol). Apakah reaksi ini sering disebabkan oleh peningkatan penggunaan
kecenderungan peningkatan atau obat-obatan tertentu tidak jelas.
d. Reaksi obat sebelumnya
Ada beberapa bukti bahwa pasien yang telah menunjukkan hipersensitivitas
obat di masa lalu mungkin memiliki kecenderungan meningkat untuk terjadi
hipersensitif terhadap obat baru, dan salah satu harus lebih berhati-hati dalam
mengobati pasien tersebut. Jelas, jika obat ini agak terkait dengan yang menyebabkan
kesulitan di masa lalu, harus waspada untuk sensitisasi silang.
e. Sindrom alergi multiple
Pasien dengan sindrom alergi multiple mungkin memiliki kecenderungan
untuk bereaksi pada lebih dari satu obat. Didefinisikan dengan baik serangkaian kasus
di mana beberapa pasien alergi obat telah terbukti dengan in-vivo dan in-vitro tes.
2.4.

Patogenesis
Pengetahuan tentang metabolisme obat serta metabolitnya masih terbatas dan banyak

yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun terhadap obat. Alergi obat
biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang
diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan
awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.

Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat
langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat
molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan
protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein
jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan
dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera,
ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun
tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relative rendah yang bersifat
imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat
ini membentuk polimer rantai panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan
antibody dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari.
Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah
dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi
anamnestik).
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi
empat tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme keempat
tipe tersebut. Bila antibody spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgEmediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibody yang terbentuk
adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah
reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respon imun selular
maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak
dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa
dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat
secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV.
Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian
dari kelainan hematologic atau penyakit autoimun.
Reaksi Imun
Tipe I (diperantarai

Mekanisme
Klinis
Kompleks IgE-obat Urtikaria, angioedema,

Waktu Reaksi
Menit sampai jam

IgE)

berikatan dengan

bronkospasme, muntah,

setelah paparan

sel mast

diare, anafilaksis

melepaskan
histamine dan
mediator lain
Antibodi IgM atau

Anemia hemolitik,

IgG spesifik

neutropenia,trombositopeni

terhadap sel

Tipe III (kompleks

hapten-obat
Deposit jaringan

Serum sickness, demam,

1-3 minggu

imun)

dari kompleks

ruam, atralgia,

setelah paparan

antibody-obat

limfadenopati, vaskulitis,

dengan aktivasi

urtikaria

Tipe IV (lambat,

komplemen
Presentasi molekul

Dermatitis kontak alergi

diperantarai oleh

obat MHC kepada

selular)

sel T dengan

Tipe II (sitotoksik)

Variasi

2-7 hari setelah


paparan

pelepasan sitokin

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan
sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga
dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid,
penisilamin, fenitoin, dan sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah,
maka dapat terjadi vaskulitis akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada
permukaan sel endotel (misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini
mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi
inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat menimbulkan reaksi
seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat, isoniazid, dan lain-lain.
Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan
menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria,
edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah molekul
biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.

2.5.

Gejala Klinis

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat-obat tertentu.
Gejala klinis alergi obat dapat timbul dalam berbagai gejala, dan gejala yang timbul dapat
berbeda pada satu orang dengan orang lainnya. Gejala klinis tersebut dapat disebut sebagai
alergi obat jika terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik terhadap obat
atau metabolitnya serta terdapat gambaran reaksi inflamasi imunologis yang sudah dikenal.
Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat, yang terdiri dari
gejala sistemik dan gejala pada kulit. Gejala pada kulit yang tersering ialah erupsi kulit
berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum,
erupsi obat fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat berupa dermatitis
eksfoliatif dan erupsi vvesikobulosa, seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom
Lyell. Gejala sistemik yang memerlukan pertolongan yang adekuat dan segera adalah reaksi
anafilaksis berupa hipotensi, spasme bronkkus, edema laring, angioedema, atau urtiikaria
generalisata.
Gejala sistemik lain yang tersering salah satunya adalah demam. Demam yang terjadi
dapat berupa gejala tunggal atau bersama dengan gejala klinis lain yang timbul beberapa jam
setelah pemberian obat, tetapi biasanya pada hari ke 7-10 dan menghilang dalam waktu 48
jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian. Demam yang terjadi
diduga akibat pelepasan mediator sitokin. Beberapa jenis obat juga diduga dapat bersifat
sebagai pirogen langsung, seperti amfoterisin B, simetidin, dextran besi, kalsium dan
dimerkaprol, akan tetapi mekanismenya sampai saat ini masih belum jelas. Demam pada anak
juga dapat timbul akibat pemberian epinefrin yang bersifat vasokonstriktor yang menghambat
pegeluaran panas tubuh. Demikian juga pada pemberian atropin (termasuk tetes mata) dan
fenotiazin dapat menimbulkkan demam dengan menghambat pembentukan keringat.
Beberapa jenis obat yang sering menimbulkan demam tanpa disertai oleh gejala alergi lain
adalah alopurinol, azatioprin, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksi urea, iodida,
mettildopa, penisiliamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin.
Gejala lain yang dapat timbul dari alergi obat adalah sindrom klinis yang terdiri dari
penyakit serum berupa demam, atralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi, urtikaria, erupsi
makulopapular dan edema yang biasanya timbul 1-3 minggu setelah terpajan dan menghilang
dalam beberapa hari atau beberapa

minggu. Gejala sistemik lainnya ialah kelainan

hematologik, kelainan pada organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung) dan lupus
eritematosus sistemik. Obat penyebab biasanya sulit diketahui oleh karena masa laten yang
cukup panjang tersebut.
Tabel : klasifikasi gejala klinis alergi obat 1,2

Anafilaksis

Gejala sistemik
: edema laring,

bronkospasme,

Gejala erupsi kulit


hipotensi, Urtikaria dan/angioedem

angioedema,

urtikaria

generalisata
Demam (Drug Fever)
Gambaran eritematosus
Penyakit serum (serum sickness) : demam, Dermatitis kontak
artarlgia, mialgia, neuritis, efusi sendi,
urtikaria,

erupsi

makulopapular

dan

edema
Kelainan hematologik : drug induced
hemolytic

anemia,

trombositopenia,

Fixed drug eruption

neutropenia,
granulositopenia,

eosinofilia
Kelainan pulmonal : drug induced asthma, Eritema multiforme
pnemonitis

interstisialis/alveolar,

paru, fibrosis paru


Kelainan hepatik

reaksi

dekstruksi hepattoseluler
Keainan renal : nefritis

kolestasis, Sindrom

stevens

johnson

(eritema

multiforme mayor)
interstisialis, Nekrolisis epidermal toksik

glomerulonefritis, sindrom nefrotik


Drug induced lupus syndrome

2.6.

edem

Reaksi fotosensitivitas
Pruritus
Ruam makulopapular morbiliform
Vaskulitis
eritema nodosum
Dermatitis eksfoliatif

Diagnosis
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan. Kesulitan terbesar adalah untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara gejala klinis dengan pemberian obat tertentu dan
untuk mengetahui apakah gelaja klinis tersebut tidak termasuk dalam perjalanan penyakit
yanng sedang diobati. Secara umum kurangnya pengetahuann mengenai immunokimia
mettabolisme obat dan immunoreaksi metabolit menjadi faktor penyebab sulitnya diagnosis
alergi obat.
Dasar diagnosis alergi obat :
1. Anamnesis

Kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit dan terapi secara
rinci, termasuk daftar semua terapi yang diberikan, meliputi dosis, indikasi , tanggal
pemberian & lamanya pemberian terapi tersebut. Dari anamnesis akan diketahui
apakah gejala klinis menghilang beberapa waktu setelah penghentian obat, reaksi
yang sama apakah timbul kembali dengan pemberian obat yang sama atau dengan
struktur yang sama. Sangat penting untuk mencari hubungan antara masukan obat
dengan onset gejala klinis. Interval antara terapi inisial dengan onset reaksi dapat
menjadi lebih pendek apabila sebelumnya pasien sudah pernah tersensitisasi oleh
obat, sehingga riwayat reaksi obat sebelumnya juga perlu dicari. Dari anamnesis
dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya
gejala gastrointestinal setelah meminum antibiotika, nyeri pada tempat suntikan obat,
atau sakit kepala setelah pengobatan nitrogliserin diperkirakan bukan berdasarkan
reaksi imunologik.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam nyawa,
seperti kolaps kardiovaskular, termasuk urtikaria, edema laring atau saluran nafas
atas, wheezing dan hipotensi. Pada pemeriksaan fisik juga perlu dicari tanda-tanda
reaksi alergi obat berat seperti demam, lesi mukosa membran, limfadenopati, nyeri
sendi dan bengkak.
Pada pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cermat terutama pada gejala-gejala
dengan adanya ruam kulit yaitu harus dideskripsikan bagaimana penampilan dan
pola distribusinya. Masing-masing bentuk lesi kulit dapat mengarah kepada berbagai
reaksi kulit yang berbeda :
Erupsi morbiliformis eksantem merupakan ruam obat klasik
Urtikaria lebih mengarah pada respon imun yang diperantarai antibodi IgE

atau stimulasi sel mast secara langsung


Purpura dan ptekie merupakan stigmata kutaneus dari vaskulitis atau

trombosiopenia yang diinduksi oleh obat


Lesi makulopapular di jari tangan dan kaki atau distribusi serpiginosa

dilateral telapak kaki menunjukkan serum sickness


Lesi target yang terdiri dari papul eritematosa di sentral, dengan cincin
perifer yang edema dan eritematosa menunjukkan eritema multiforme. Pada
bentuk yang lebih luas dapat menjadi lesi yang melepuh dan melibatkan

mukosa membran.
Variasi lesi papul eritematosa atau area pigmentosa sampai lesi
papulovesikular bulosa atau urtikaria dapat menunjukkan erupsi obat fikstum

Lesi papulovesikular dan berskuama dengan riwayat obat topikal dapat

menunjukkan dermatitis kontak


Ruam ekzema pada area yang terpapar matahari lebih mengarah pada reaksi
fotoalergik

Berikut kriteria umum reaksi hipersensitivitas obat :


1. Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologik terhadap obat
2. Pasien mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi
3. Terdapat hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala reaksi
alergi
4. Tidak terdapat penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis pasien yang
sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas
5. Data laboratorium menunjang mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan reaksi
obat
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis,
yaitu uji in vivo dan in vitro terhadap obat dan metabolitya.
a. Uji in vivo
Uji in vivo dapat berupa uji kulit dan uji provokasi.
a. Uji tusuk kulit (skin prick test) digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi
tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen-IgE spesifik. Uji tusuk kulit
dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik (determinan
antigen dari obat atau metabolitnya). Bahan untuk uji kulit harus bersifat
noniritatif untuk menghindari positif palsu. Uji kulit sebenarnya merupakan cara
yang efektif untuk mendiagnosis penyakit atopi, tetapi manfaatnya dalam
mendeteksi alergi obat terbatas oleh karena pada sat ini baru sedikit sekali
determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ),
sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi
terhdapa penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
b. Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, akan tetapi merupakan
prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu
terjadi reaksi anafilaksis sehingga hanya dianjurkan untuk dilakukan ditempat
yang memiliki fasilitas serta tenaga yang cukup sehingga menjadi
kontraindikasi untuk alergi obat berat, seperti reaksi anafilaksis, dermatitis
eksfoliatif, kelainan hematologik, dan eritema vesikobulosa. Uji provokasi
dilakukan setelah prosedur eliminasi yang lamanya tergantung dari paruh waktu
setiap jenis obat, dengan pemberian obat yang dicurigai. Pada reaksi

hipersensitivitas tipe IV dapay dilakukan patch test yang ditandai dengan


adanya eritema, indurasi, dan ruam vesikopapular.
b. Uji in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat umumnya terbatas sebagai sarana penelitian dan bukan
merupakan prosedur rutin. Pemeriksaannya adalah IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST (radio allergosorbent test), pelepasan histamin (histamine
release), uji sensitisasi jaringan/basofil/leukosit, uji proliferasi dan transformasi blast
limfosit, uji hambatan migrasi leukosit, serta esai sitokin dan reseptor sel. Mereisaan antibodi
igE spesifik merupakan uji yang spesifik, tetapi kurang sensitif, sedangkan pemeriksaan
laboratorium untuk menngukur aktivitas sel mast dapat dilakukan 4 jam setelah reaksi alergi.
Histamin serum mencapai puncak dalam 5 menit setelah reaksi anafilaksis dan kembali
normal dalam 30 menit, sedangkan serum triptase mencapai puncak dalam 1 jam dan terus
meningkat dalam 2-4 jam setelah reaksi. Adanya hasil negatif tidak menunjukkan bukan
reaksi alergi akut.
Pada reaksi tipe II dapat dilakukan pemeriksaaan darah lengkap untuk mencari anemia
hemolitik, trombositopenia, atau neutropenia. Anemia hemolitik dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan Coombs direk atau indirek yang menunjukkkan adanya komplemen dan. Hapten
obat pada membran sel darah merah. Pada reaksi tipe III daat terjadi peningkatan petanda
inflamasi nonspesifik, speerti laju endap darah (LED) dan C-reactive protein. Pemeriksaan
laboratorium yang lebih spesifikmeliputi pemeriksaan komplemen (C3, C4) atau kompleks
imun yang beredar. Adanya hasil negatif juga menyingkirkan penyakit kompleks imun.
Vaskulitis sistemik dapat diperiksa melalui uji autoantibodi . pada reaksi yang lebih berat atau
persisten membutuhkan sarana diagnosis lebih lanjut, seperti biopsoi yang dapat
menunjukkan infiltrasi sel inflamasi di perivaskular. Adanya iinfiltrasi eosinofil menunjukkan
adanya reaksi alergi obat. Uji diagnostik pada alergi obat secara ringkas dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel .Uji diagnostik pada hipersensitivitas1
Reaksi imun
Tipe I

Uji laboratorium
Uji kulit, RAST, serum triptase

Penghentian

Terapi
obat,

antihistamin,

epinefrin,
kortikosteroid

sistemik, bronkodilator, rawat RS


bila berat
Penghentian

Tipe II

Uji Coombs direk dan indirek

obat,

kortikosteroid

Tipe III

sistemik, transfusi bila berat


Laju endap darah (LED), C-reactive Penghentian obat, antiinflamasi

protein, kompleks imun, komplemen, nonstreroid,


autoantibodi,

biopsi

imunoflurosens
Patch
testing,

Tipe IV

proliferasi limfosit

antihistamin

jaringan, kortikosteroid

sistemik

atau
atau

plasmaferesis bila berat


pemeriksaan Penghentian obat, kortikosteroid
topikal,

antihistamin

atau

kortikosteroid topikal bila berat


2.7.

Tatalaksana
Terapi alergi obat tergantung pada mekanisme reaksi obat dan manifestasi klinisnya.

Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian
mengatasi gejala klinis yang timbul. Disamping itu, perlu pula dipikirkan upaya pencegahan
alergi obat.

Penghentian obat
Penentuan obat yang harus dihentikan sering kali sulit karena biasanya, terutama pada
anak, penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Bila mungkin semua
obat dihentikan dulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab
reaksi alergi, atau menggantikannya dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat
penting dan tak tergantikan, bila tidak ada alternatif lain dan reaksi alerginya relatif ringan,
dapat terus diberikan dengan persetujuan penderita dan keluarga. Pada beberapa keadaan
dapat dilakukan desensitisasi obat atau prosedur provokasi bertahap. Desensitisasi biasa
dilakukan pada jenis obat penisilin, antibiotik non-beta laktam dan insulin. Sedangkan
provokasi bertahap biasa dilakukan pada asam aminosalisilat, isoniazid, trimetoprimsulfametoksazol, dapson, alopurinol, sulfasalazin, dan difenilhidantoin.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Erupsi
kulit adalah manifestasi alergi obat pada anak yang paling sering. Erupsi tersebut biasanya
sembuh sendiri dan menghilang bila obat-obat tersebut dihentikan. Karenanya pengobatannya
adalah simptomatik. Antihistamin paling berguna untuk ruam urtikaria. Difenhidramin dan
hidroksizin mempunyai sifat antihistamin maupun sedatif yang mungkin berguna. Reaksi
anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena,
antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah

antigen hilang, namun sebagai terapi simptomatik dapat diberikan antihistamin dan
antiinflamasi non-steroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti
loratadin. Steroid topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab
dapat digunakan pada tahap deskumasasi.
Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, Sindrom
Steven Johson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan
kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit,
transfusi, antibiotik profilaksis. Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah
perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan
bagian terkait (mata, kulit, bedah).
Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih
dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin, dan atau
efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan.
Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik harus diberikan
sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi alergi
dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang dengan
ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.
Pencegahan
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu
dilakukan, terutama bila mempunyai riwayat atopi walaupun harus dinilai dengan kritis untuk
menghindari tindakan berlebihan. Pada keadaan tertentu, terutama pada bayi dan anak kecil
yang padanya ruam terjadi saat mendapat antibiotik, lingkungannya dapat mendukung
keputusan untuk melanjutkan pemberian obat sampai penyebab ruam menjadi jelas. Misalnya
bayi atau anak kecil dengan sakit demam mengalami ruam eksantematosa dan nonurtikaria
pada pemaparan pertama terhadap penisilin, ampisilin, atau antibiotik lain, ruamnya lebih
mungkin berasal dari penyakit virus daripada manifestasi alergi kulit terhadap obat. Jadi
daripada tanpa dasar menandai anak alergi dengan obat dan menghentikan penggunaannya
lebih lanjut, mungkin beralasan jika melanjutkan terapi untuk masa yang lebih lanjut
sementara perjalanan ruam diamati. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa
pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan
tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.
Untuk meminimalkan reaksi obat yang merugikan, dokter harus menggunakan obat
hanya bila terdapat indikasi, waspada terhadap obat baru, dan mengetahui hubungan antar

obat. Penggunaan dua obat atau lebih yang bersamaan harus dihindari kecuali bila ada
indikasi yang pasti. Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula
kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi
kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi
tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).
Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan
yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi
silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin bebas protein hewani atau antibodi
dari darah manusia.
Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi terhadap obat tertentu,
tetapi prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat
dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen
benzilpenisiloil polilisin).
Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka harus
dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut hendaknya bukan obat yang
telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan obat yang dicurigai. Eritromisin, azitromisin,
klaritromisin, sulfonamida, tetrasiklin, klindamisin, vankomisin, atau kloramfenikol dapat
merupakan alternatif yang cocok.
Bila obat sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan
desensitisasi secara oral maupun parenteral. Desensitisasi dilakukan dengan memberikan
alergen obat secara bertahap untuk membuat sel efektor menjadi kurang reaktif. Prosedur ini
hanya dikerjakan pada pasien yang terbukti memiliki antibodi IgE terhadap obat tertentu dan
tidak tersedia obat alternatif yang sesuai untuk pasien tersebut. Protokol spesifik telah
dikembangkan untuk masing-masing obat. Desensitisasi merupakan prosedur yang beresiko
sehingga harus dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi
anafilaksis. Anafilaksis yang mematikan telah terjadi selama desensitisasi parenteral dengan
penisilin. Desensitisasi oral mungkin lebih aman. Tidak ada reaksi yang mematikan atau
mengancam jiwa yang telah dilaporkan dalam hubungannya dengan desensitisasi oral
terhadap penisilin, tetapi gatal dan erupsi kulit sering terjadi.

2.8.

Prognosis
Pada umumnya reaksi alergi obat dengan penatalaksanaan adekuat maka prognosisnya

baik, bahkan pada kasus berat angka kematian dilaporkan 1:10.000 kejadian, tetapi pada

sindrom Stevens Johnson dan nekrolisis epidermal toksik keterlibatan organ visera
mempunyai prognosis yang buruk, dengan angka kematian masing-masing dapat meningkat
5-15% dan 30-40%. Selain itu, pasien yang tanpa komplikasi juga dapat sembuh dengan baik.
Meskipun penghentian obat yang menimbulkan reaksi telah dilakukan, namun erupsi obat
masih dapt muncul secara lambat atau memburuk dalam beberapa hari. Total waktu untuk
pembersihan adalah 1-2 minggu, atau lebih lama. Penghindaran obat tertentu untuk masa
datang perlu dilakukan pada pasien dnegan riwayat alerg obat. Dapat terjadi perlekatan kulit,
kontraktur, simblefaron, atau kebutaan bila tindakan pencegahan terlambat dilakukan. 1,2
1. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak edisi ke 3
2. Bab 26alergi obat arwin dkk

You might also like