Professional Documents
Culture Documents
Asahadu mustakarayunan
Sahadat permana tunggal,
Selam lahir, selam bathin,
Selam pinarengin kersa,
Sing waspada kanu ngayuga bumi alam
Aya nu saurang, aya nu sorangan,
Aing waspada kepada Allah,
Allah waspada ka kaula.
Tenget gemereng-ereng,
Raraga gemet ruhiat,
Terusning Allah terusning rasa
Pani-pani langgeng tetep,
Langgeng agama Islam.
Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,
Turun saking sawarega,
Ningal ganda ningsunan sampurna,
Ganda ningsunan handiri,
Kamar langit karaton.
Sumber Sahadat :
SASTRA LAGU : Mencarari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad
Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.
Diposkan oleh Generasi Muda Cijeruk di 05.13 3 komentar:
Ajimantra atawa Jangjawokan
Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup
Contoh lainnya,
* Jampe Ngisikan (mencuci beras) :
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah
ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari
naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun
1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita
pantun ada dua yakni rajah dan nataan.
Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan
dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah
Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih
banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra.
Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya
adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari
ajimantra (Sanksekerta).
Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang
mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari
India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya,
Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna
jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib makhluk gaib.
Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar
Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.
Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain,
bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah
ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.
Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang
dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai
puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku
Jakob Sumardjo tentang Khasanah Pantun Sunda, terutama tentang arkeologi
pemkiran Urang Sunda Buhun terhadap Trias Politik Sunda. Tanpa pemahaman
yang jelas niscaya Urang Sunda akan kehilangan sejarah pemikirannya yang
hakiki.
Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan
strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk
kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada
mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ;
dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.
Sawer Panganten :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.
Contoh lainnya doa untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya
dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :
Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal
jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya
menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :
Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama
dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak
ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti
diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung
; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer
dianggap makhluk gaib ?.
Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai :
permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan
jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib makhluk gaib sebatas ini mudah
dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk
mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula
jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh
urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan doa,
bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan doa ?.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi
hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe
Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon
kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan
kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh
masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari
bidang l.ainnya.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa
masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas
tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat
ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan
dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri
dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya
katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya
bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur
magisnya.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara,
Batari dll.
2.
dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada
posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.
berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra
Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping
himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.
masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam
jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ;
fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.
adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy.
Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah
pengucapnya.
6.
terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra
sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari
puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ;
gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci
yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada
siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima
kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang
yang hendak bertamu kepada bathin pihaknu dipasamoan.
Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini,
sebagai berikut :
Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim
digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika
ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika
kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.
Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri
menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu Yang Gaib
dimintakan ijin terlebih dahulu kepada Yang Maha Gaib, atau dapat juga
disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa
diperintahkan.
manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring
(aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga
jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.
Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan
sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.
Pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin,
paling tidak sebagai pihak yang menginginkan sesuatu. Oleh para sastrawan
diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah.
Misalnya :
Atau :
Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh urang sunda
buhun bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya
melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ;
atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama
dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau
bisa dinikmati.
Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam
penegasan perintah untuk dilaksanakan. Perintah ini bersifat imperatif atau
persuasif, misalnya :
Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan
sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan
keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan
meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya
menguatkan bathin, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika
saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula
jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar
kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah