You are on page 1of 33

Evaluasi Bahaya Patahan Aktif, Tsunami dan Goncangan Gempa

Danny Hilman Natawidjaja


LARIBA (Laboratorium Riset Bencana Alam)
Geoteknologi – LIPI

Abstrak
Kepulauan Indonesia terletak diantara batas 4 lempeng tektonik besar sehingga merupakan wilayah
yang sangat rawan bencana gempabumi. Evaluasi potensi bencana gempabumi membutuhkan data
yang banyak dan seakurat mungkin dari individual sumber-sumber gempanya, yaitu zona batas
lempeng dan patahan-patahan aktif pada intra-lempengnya. Data dan analisa yang dibutuhkan
mencakup: peta patahan aktif dengan skala/ketelitian yang memadai, sejarah/rekaman kegempaan,
laju pergerakan (sliprate) patahan, karakteristik magnitudo gempa, perioda ulang (reccurent interval),
dan waktu gempa besar terakhir. Bahaya (hazards) yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa gempa
dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam/kelompok: (1) bahaya deformasi patahan dipermukaan
(surface-rupture hazards), (2). Bahaya goncangan gempa (ground-motion hazards), (3) bahaya
ikutan (secondary hazards), yaitu gerakan tanah dan likuifaksi yang dipicu oleh getaran gempa, dan
terjadinya tsunami apabila sumber gempanya di bawah laut. Hambatan utama dalam evaluasi
bahaya gempa dan tsunami adalah keterbatasan data dari patahan aktif dan sumber gempa. Untuk
peta patahan aktif malah belum ada petanya yang sudah dipublikasikan, kecuali sebatas peta
berskala sangat kecil (regional) yang tentunya tidak dapat dipakai untuk analisis. Kelangkaan data ini
menyebabkan mitigasi bahaya deformasi patahan aktif belum dapat dilakukan dan bahkan hampir
tidak dikenal sama sekali di Indonesia. Analisis goncangan gempa dapat dilakukan dengan cara : (1)
Analisis goncangan dari satu skenario sumber gempa, dan (2) Analisis goncangan dari gabungan
semua sumber gempa memakai perhitungan probabilistik. Peta probabilistik goncangan gempa
(probabilistic seismic hazard maps) untuk Indonesia memang sudah ada yang membuat tapi input
data dari sumber gempanya sangat minim dan tidak jelas standar teknisnya atau hanya berdasarkan
data rekaman seismik yang terbatas (i.e. “background seismicity analysis”). Program nasional yang
harus dilakukan ke depan adalah “rapid assessment” untuk: (1) active fault mapping untuk seluruh
wilayah Indonesia, (2) Memformulasikan data dan potensi sumber gempabumi, (3) Membuat/merevisi
peta goncangan gempabumi Indonesia dengan standard mutu dan teknis yang lebih baik, (4)
Membuat rencana jangka panjang untuk meneliti patahan aktif dan sumber-sumber gempa secara
komprehensif dan mikrozonasi gempabumi (analisa bahaya deformasi patahan, goncangan gempa,
dan bahaya ikutan dalam skala detil/local). Dalam evaluasi bencana gempabumi perlu ada
kerjasama yang baik diantara para ahli geologi gempabumi, seismologi, dan teknik gempa
(earthquake engineering).

Kata Kunci: Tektonik, patahan aktif, parameter sumber gempabumi, bahaya gempabumi, bahaya
goncangan gempabumi, bahaya perekahan patahan gempa, analisis dterministik, analisis
probabilistic
Active Fault, Tsunami, and Ground-motion Hazard Assesments
Danny Hilman Natawidjaja
LabEarth (Laboratory for Earth Hazards)
Indonesian Institute of Sciences

Abstract
Indonesia Archipelago is loated on the boundaries of the four major plate tectonics, therefore is prone
to earthquake hazards. Assesments of earthquake-disaster potential require comprehensive and
accurate data of individual earthquake source parameters, which are on inter-plate fauklts (major
plate boundaries) and on inra-plate active faults. Data and analysis include maps of active faults on
an appropriate scale, historical notes and seismic records of past major earthquakes, Earthquake
hazards can be classified into 3(three) categories: (1) Fault-rupture hazards, (2) Ground-motion
hazards, (3). Secondary/triggered hazards: landslides and liquefactions, and tsunami if the source is
on the bottom of the ocean. Main problem in earthquake hazard evaluations are lack of data of active
fault and earthquake-source parameters. For active fault data, there is not even any published map
available, except on a very crude-regional scale, which can not be used for earthquake-hazard
analysis. This lack of available data made the fault-rupture hazards not even known to Indonesian
public. Seismic hazard or more precisely ground-motion hazards can be evaluated by two ways: (1).
Ground-motion hazard analysis by using one earthquake-fault scenario, (2) Ground-motion hazard
analysis by combining all earthquake sources in the studied region with applying statistic-probabilistic
principles. The probabilistic seismic(ground-motion) hazard maps (PSHA) for Indonesia have been
made by several teams, but the problem is that the input seismic-source/active-fault data is very
limited and has no clear technical standard or, perhaps, just relying on back-ground seismic data
analysis. For the future, the national program on rapid earthquake-hazard assessments has to be
launched, which include: (1) Active fault mapping for the entire Indonesian region, (2) Documenting
and formulating data of earthquake-source parameters, (3) Constructing/revising the PSHA map for
Indonesia on better quality and technical standards, (4) Implementing long-term research plan for
active faults and earthquake-source parameters as well as long-term planning for earthquake
microzonation. Earthquake-hazard evaluations need good collaborations among earthquake
geologists, seismologists, and earthquake engineers.

Key words: tectonics, active faults, earthquake-source parameters, earthquake hazards, ground-
motion hazards, fault-rupture hazards, deterministic analysis, probabilistic analysis.
1. PENDAHULUAN
Busur Kepulauan Indonesia terletak pada batas pertemuan empat lempeng tektonik
bumi yang sangat aktif, yaitu: lempeng Eurasia, Lempeng India dan Australia, dan Lempeng
Pacifik, karena itu merupakan wilayah sangat rawan terhadap bencana gempa-gempa
tektonik (Gbr. 1). Lempeng Lautan Hindia dan Australia bergerak ke Utara sekitar 50 – 70
mm/tahun dan menunjam di bawah Palung laut dalam Sumatra – Jawa sampai ke Barat
Pulau Timor di NTT [Bock, 2003] . Kemudian di sepanjang tepian Lempeng Kepulauan dari
P. Timor ke arah Timur dan terus memutar ke Utara berlawanan arah jarum jam menuju
wilayah perairan Maluku, Lempeng Benua Australia menabrak dengan kecepatan ~ 70
mm/tahun. Jadi di wilayah ini yang terjadi bukan penunjaman lempeng lautan lagi tapi zona
tumbukan lempeng benua terhadap lempeng Kepulauan. Di Utara Indonesia Timur,
Lempeng Pacific menabrak sisi Utara Pulau Irian dan Pulau-pulau di Utara Maluku dengan
kecepatan 120 mm/tahun, dua kali lipat lebih cepat dari kecepatan penunjaman Lempeng di
bagian sisi Barat dan Selatan Indonesia. Tekanan dahsyat karena pergerakan dari empat
lempeng besar bumi ini menyebabkan interior lempeng bumi dari Kepulauan Indonesia
terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil kerak bumi yang bergerak antara satu
terhadap lainnya yang dibatasi oleh patahan-patahan aktif. Kejadian gempabumi besar dan
merusak umumnya terjadi pada wilayah di sepanjang pertemuan ke tiga lempeng besar
tersebut dan juga pada jalur patahan-patahan aktif yang terbentuk di bagian interior
lempeng kepulauan Indonesia. Sebagian sumber gempa bumi tersebut berada di bawah
laut sehingga berpotensi tsunami.

Dari aspek tenaga tektonik jelas bahwa bagian Indonesia Timur mempunyai potensi
ancaman bencana gempabumi dua kali lipat dibandingkan dengan yang di bagian barat.
Namun dari aspek kerentanan, bagian barat Indonesia (Sumatra dan Jawa) lebih rentan
terhadap bencana gempabumi karena populasi penduduknya lebih padat dan
infrastrukturnya lebih berkembang.

Kecuali Sumatra, umumnya data sumber gempabumi baik pada zona utama batas
lempeng-lempeng besar maupun di sepanjang patahan-patahan aktif di Indonesia sangat
terbatas. Pengetahuan sumber gempa yang ada paling hanya sebatas pada pengetahuan
dasar dalam skala regional saja tanpa pengetahuan detil yang memadai, sehingga jauh dari
mencukupi untuk dapat diimplementasikan dalam usaha mitigasi bencana. Oleh karena itu
perlu diadakan program nasional yang komprehensif terintregasi dan sistematis untuk
melakukan studi dan pemetan detil dari sumber gempabumi dan juga potensi tsunami nya.

Catatan sejarah dan rekaman alat menunjukan bahwa bencana gempabumi sudah
sering terjadi di berbagai wilayah kepulauan Indonesia. Dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir bencana gempabumi besar yang terjadi diantaranya adalah: tahun 1992
gempabumi-tsunami Flores menewaskan lebih dari 2.000 orang , tahun 1998 di Biak, Irian
Jaya yang menimbulkan gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 2000 orang, ,
gempa-tsunami tahun 1994 di Liwa - Sumatera Selatan menewaskan lebih dari 200
penduduk [Natawidjaja, 1994], gempabumi-tsunami tahun 1998 di wilayah utara Papua
New-Guinea menewaskan sekitar 2000 orang, gempabumi tahun 2000 di Bengkulu
[Abercrombie, 2002] dan tahun 2002 di Pulau Simelue menewaskan berpuluh-puluh
penduduk dan merusakkan banyak bangunan, kemudian yang sangat fenomenal adalah
gempa-tsunami tahun 2004 di wilayah Aceh-Andaman yang menewaskan sekitar 300.000
orang penduduk wilayah Aceh dan Laut Andaman [Meltzner, et al., 2005; Subarya, et al.,
2006]. Bencana besar ini memicu kesadaran internasional akan perlunya mitigasi bencana
alam. Hanya 3(tiga) bulan setelah gempa Aceh, pada bulan Maret, 2005 terjadi lagi gempa
besar di wilayah Nias-Simeue [Briggs, et al., 2006] yang goncangannya merobohkan
banyak rumah-rumah dan menewaskan lebih dari 1000 orang. Kemudian rentetan
gempabesar ini masih terus berlanut, pada tanggal 26 Juni, 2006 di Jogyakarta terjadi
gempabumi berkekuatan sedang tapi menewaskan lebih 6000 penduduk karena kepadatan
populasi dan kualitas bangunan yang sangat buruk. Hanya satu bulan setelahnya,
disambung lagi dengan gempa-tsunami di Pangandaran yang menyapu wilayah pesisir
Pangandaran sampai Cilacap dan merusakkan banyak rumah-rumah penduduk. Terakhir
tahun 2007 terjadi lagi dua gempa besar secara beruntun pada tanggal 11 dan 12
September di wilayah Bengkulu dan Kepulauan Mentawai yang juga menimbulkan banyak
kerusakan dan korban manusia. Fakta ini menunjukan dengan jelas bahwa mitigasi dan
penanggulangan bencana gempabumi di Indonesia sangat penting untuk dilakukan.

Usaha mitigasi bencana gempabumi mencakup segala persiapan supaya apabila


bencana gempabumi terjadi di suatu wilayah maka korban dan efek kerusakan yang terjadi
dapat dikurangi sekecil mungkin. Agar usaha ini berhasil dengan baik diperlukan
pengetahuan yang sebaik-baiknya tentang potensi dan karakteristik sumber-sumber
gempabumi di wilayah tersebut. Kemudian berdasarkan pengetahuan ini dapat dibuat
prediksi dan skenario-skenario dari potensi bahaya dan risikonya.

Analisis bahaya gempabumi harus dibuat dengan sebaik-baiknya dan memenuhi


standar teknis yang dapat dipertanggungjawabkan karena keberhasilan perencanaan dan
penanggulangan bencana akan sangat tergantung dari baik tidaknya peta-peta hasil analisis
bahaya gempabumi tersebut.

2. BAHAYA GEMPA BUMI


Sumber gempabumi tektonik adalah pergerakan tiba-tiba pada bidang patahan aktif
sebagai proses untuk melepaskan energi kinetik regangan yang terkumpul secara perlahan-
lahan dalam jangka waktu lama. Pergerakan kulit bumi ini berhubungan dengan
pergerakan lempeng-lempeng bumi yang terus menerus akibat gaya-gaya tektonik global.
Jadi sumber gempabumi adalah sebuah bidang, bukan titik.

Skala gempabumi diukur dari kekuatan dan intensitasnya. Kekuatan atau


magnitudonya adalah skala gempa berdasarkan besarnya sumber gempa itu sendiri,
sedangkan skala intensitas adalah skala untuk besarnya efek goncangan yang terjadi di
suatu lokasi.

Besarnya magnitudo gempa sebanding dengan luasnya bidang patahan yang pecah
dan besarnya pergerakan yang terjadi. Artinya, makin besar kekuatan atau skala
magnitudo gempanya maka semakin besar pula dimensi sumber gempa (patahan aktif yang
bergerak) –nya, juga semakin besar pergerakan yang terjadi di sepanjang bidang
patahannya [Hanks and Kanamori, 1979]. Skala magnitudo yang pertama dipakai adalah
Skala Richter. Itulah sebabnya masyarakat umumnya mengenal skala magnitudo gempa
sebagai Skala Richter (SR) meskipun sebenarnya skala magnitudo ini sudah sangat jarang
dipakai tapi diganti dengan skala lainnya yang lebih modern, seperti skala Ms dan Mw.
Meskipun demikian berbagai macam skala ini tidak jauh berbeda besarannya untuk skala
magnitudo kurang dari 8, oleh karena itu untuk menyampaikan informasi besarnya kekuatan
gempabumi kepada masyarakat umum masih sering menggunakan istilah SR, meskipun
sebetulnya bukan, agar masyarakat tidak bingung dengan istilah yang masih asing.

Hubungan antara skala magnitudo ”moment magnitude (Mw)” dan dimensi patahan
aktif dinyatakan oleh formula di bawah ini:

Mw = 2/3 Log Mo – 16.3 [Hanks and Kanamori, 1979]

Mo (Seismic Moment) = µ * D * A , where:

µ = shear modulus ( ~3*1010 Nm-2 ), D= average slip, A= rupture area

A (rupture area) = L (length) * W (width)

Hubungan antara beberapa skala magnitudo gempa dapat dihitung berdasarkan


rumus-rumus empiris.

Besaran intensitas gempa menyatakan besarnya guncangan yang terjadi atau


dirasakan di suatu lokasi. Besarnya guncangan tanah ini sebanding dengan besarnya
kekuatan sumber gempa dan jaraknya dari sumber gempa ke lokasi tersebut. Jadi
walaupun kekuatan sumber gempanya kecil tapi kalau letaknya dekat maka guncangannya
akan besar. Sebaliknya walaupun kekuatan sumber gempanya besar tapi kalau jaraknya
jauh sekali maka guncangan yang dirasakan kecil karena proses penjalaran gempa sewaktu
menempuh jarak tersebut secara umum akan membuat (amplitudo) gelombang gempa
menjadi semakin kecil (i.e. proses peredaman/atenuasi gelombang). Besaran yang umum
dipakai di Indonesia untuk menyatakan intensitas guncangan gempa secara kualitatif atau
hanya berdasarkan pengamatan deskriptif adalah Skala Marcelli atau MMI (Modified Mercali
Scale) (Tabel 1). Untuk keperluan teknis biasanya yang dipakai adalah besaran akselerasi
tanah. Besaran ini bisa dihitung secara empiris atau analitis berdasarkan informasi sumber
gempa dan kondisi geologinya juga bisa juga didapat dari pengukuran langsung oleh alat
akselerogram (tipe seismometer khusus) yang terpasang di lokasi tersebut.

2.1. Karakteristik Sumber Gempabumi

Informasi yang diperlukan dari suatu sumber gempabumi adalah mencakup hal-hal
sebagai berikut:

• Posisi geografis dari bidang sumber gempa/ patahan aktif


• Mekanisme sumber gempa/patahan aktif
• Kekuatan sumber gempa karakteristik (skala Magnitudo)
• Tingkat keaktifan/ Laju pergerakan patahan (sliprate)
• Perioda ulang gempabumi karakteristik
• Kejadian gempa masa lalu termasuk kapan waktu gempa terakhir
Data patahan aktif dan sumber gempabumi ini dapat diperoleh dengan beberapa
metoda, yaitu: metoda geologi (pemetaan patahan aktif dan pengukuran laju pergerakan
dari pergeseran unsur alam), pengukuran laju pergerakan dengan GPS, analisis seismologi,
analisis catatan sejarah gempa dan wilayah intensitasnya, studi paleoseismologi, dan
survey geologi dan geofisika bawah permukaan.

2.2. Bahaya Gempabumi

Bencana alam akibat gempa bumi umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam: (1) Bencana primer, (2) Bencana sekunder [Yeats, et al., 1997]. Bencana primer
adalah efek langsung dari proses gempanya, yaitu (a) efek dari perekahan dan pergerakan
pada patahan, (b) efek goncangan/getaran dari gelombang seismik yang menjalar dari
sumber gempa ke sekitarnya, (c) tsunami apabila terjadi di bawah laut. Bencana sekunder
adalah bencana ikutan atau bencana alam yang dipicu oleh getaran gempabumi, yaitu
seperti kerusakan akibat gerakan tanah dan terjadinya likuifaksi. Sebagian ahli
mengklasifikasikan tsunami sebagai bencana sekunder karena bukan langsung karena
proses gempanya tapi karena volume air yang didorong ke atas oleh proses gempa yang
mengakibatkan pengangkatan dari dasar laut. Meskipun demikian yang penting adalah
pengertian sekunder di sini tidak berarti bahwa bencananya lebih kecil dari yang primer tapi
malah sering sebaliknya.

2.2.1. Bahaya Deformasi Patahan Gempa


Ketika terjadi gempabumi pada zona atau bidang patahan aktif yang pecah dan
bergerak maka tubuh tanah/batuan serta permukaan tanah pada dan di jalur patahan
gempanya akan bergerak secara instan. Besarnya pergerakan yang terjadi dan
luas/panjangnya zona patahan gempa sebanding dengan besar magnitudo gempanya. Jadi
makin besar kekuatan gempanya akan semakin besar pula pergerakan dan luas wilayahnya.
Rekahan tektonik di permukaan (i.e. “fault surface ruptures”) dan pergerakan tanah yang
terjadi tentu berpotensi menimbulkan kerusakan kepada bangunan dan segala jenis
infrastruktur yang terletak di permukaan tanah yang sobek dan bergerak, terutama pada
bangunan dan konstruksi yang di bangun persis pada jalur patahan gempa di
permukaannya (Gbr. 2). Oleh karena itu bangunan dan konstruksi yang didirikan persis di
atas jalur patahan gempa tidak hanya akan mendapat efek guncangan tanah paling keras
(i.e. karena jarak sumbernya 0) tapi juga terkena efek perekahan dan pergerakan tektonik
ketika gempa terjadi.

Prinsip umum cara mitigasi ancaman sobekan patahan aktif adalah dengan
menghindari pembangunan rumah-rumah, gedung-gedung, dan infrastruktur lain di atas
jalur patahan aktif di permukaan tanahnya karena secara teknis sangat sukar (dan mahal)
untuk mendesain struktur bangunan yang akan tahan kalau terjadi perekahan dan
pergerakan tanah. Apabila lokasi tepat dari jalur patahan aktif ini sudah diketahui maka
risiko bencana dari sobekan patahan gempa ini mudah untuk dihindari.

Bahaya lain dari deformasi patahan aktif berupa gerakan perlahan-lahan dari
patahan atau rayapan tektonik (“fault creeps”). Rayapan tektonik terjadi pada segmen
patahan aktif yang bersifat dominant aseismik, yaitu karena coefficient friction pada bidang
patahannya sangat rendah sehingga pergerakan tektoniknya diakomodasi dengan
pergerakan yang perlahan-lahan dan kontinyu. Ini juga berarti bahwa segmen patahan
yang aseismik tidak berkemampuan untuk mengakumulasi energi regangan (“strain”) dalam
jumlah besar untuk dilepaskan dalam gempa besar.

2.2.2. Bahaya Goncangan Tanah


Goncangan tanah adalah bahaya gempabumi yang paling dikenal luas [McGuire,
2004]. Efek goncangan tanah ini diakibatkan karena penjalaran gelombang gempa dari
sumber gempa ke seluruh arah di sekitarnya (Gbr. 3). Efek guncangan dari penjalaran
gelombang gempa ini bisa sampai radius ratusan kilometer dari sumbernya. Besarnya
goncangan yang terjadi sebanding dengan besarnya kekuatan gempa di sumber dan
berbanding terbalik dengan jarak penjalaran yang ditempuh. Makin besar kekuatan sumber
akan makin besar guncangan yang terjadi, dan guncangan tanah ini akan semakin kecil
menjauh dari letak sumbernya, yaitu jalur patahan gempa-nya. Itulah sebabnya kenapa
ancaman goncangan gempabumi ini paling dikenal dan diperhitungkan, yaitu karena
wilayah yang terkena efeknya bisa sangat luas, tidak hanya daerah yang berdekatan
dengan jalur patahan gempanya.

Yang dikenal sebagai Peta Bahaya Seismik (Seismic Hazard Map) tidak lain adalah
peta dari estimasi besarnya goncangan tanah yang terjadi di berbagai lokasi. Estimasi dari
bahaya goncangan gempabumi ini kemudian dipakai untuk mendesain struktur bangunan
tahan (goncangan) gempa sehingga apabila goncangan yang diperkirakan tersebut terjadi
maka bangunan tidak akan mengalami kerusakan (Gbr.4).

2.2.3. Bahaya ikutan


Guncangan tanah yang terjadi ketika gempa bisa memicu terjadinya gerakan
tanah/longsor dan proses likuifaksi pada lapisan pasir lepas. Proses likuifaksi terjadi
apabila goncangan tanah tersebut menaikkan tekanan pori lapisan tanah/pasir sehingga
kekuatan tanah tersebut hancur dan menyebabkan tanah tersebut mencair. Proses likuifasi
di dekat/bawah permukaan ini menyebabkan permukaan tanah mengalami deformasi dan
bisa menyebabkan kerusakan pada fondasi bangunan di atasnya. Oleh karena itu satu
usaha dalam mengantisipasi bahaya goncangan yang gempabumi adalah dengan
menganalisis dan memetakan potensi pemicuan gerakan tanah dan likuifaksi ini. Pada
prinsipnya goncangan tanah dianggap sebagai factor pemicu atau beban tambahan yang
mengakibatkan ketidakstabilan lereng atau terjadinya likuifaksi.

Apabila gempabumi terjadi di bawah dasar laut maka pergerakan patahan yang
terjadi bisa menimbulkan gangguan pada air di atasnya dan menyebabkan tsunami.

2.3. Permasalahan Pokok Dalam Mitigasi Bencana Gempabumi di


Indonesia

2.3.1. Kelangkaan Data Patahan Aktif dan Potensi Gempabumi


Mitigasi bencana gempabumi di Indonesia tidak mudah dilakukan karena akan
banyak terbentur kepada masalah kelangkaan data patahan aktif dan sumber gempanya.
Oleh karena itu untuk keperluan membuat analisis bahaya goncangan gempabumi
(PSHA) tentu tidak akan terlepas dari banyak menggunakan asumsi-asumsi untuk input
data sumber gempabuminya. Agar hasilnya masih tetap dapat dipertanggungjawabkan
maka asumsi-asumsi yang dibuat harus benar-benar berdasarkan pengetahuan dan
pertimbangan ahli yang sebaik-baiknya. Namun tetap harus diingat bahwa walaupun
asumsi-asumsi ini tetap saja bukan berdasarkan fakta sebenarnya oleh karena itu dalam
peta dan laporan penggunaan asumsi-asumsi karena ketidaktersediaan data harus
dijelaskan secukupnya sehingga apabila sudah ada data baru dikemudian hari maka hasil
analisis dan petanya ini harus direvisi.

Untuk keperluan jangka panjang diperlukan banyak penelitian gempabumi, terutama


yang berkaitan langsung untuk input analisis bahaya gempabumi. Disamping itu
pengetahuan tentang tiap-tiap individual patahan aktif/sumber gempabumi tidak kalah
pentingnya dari hanya sekedar membuat peta goncangan gempabumi (PSHA).
Pengetahuan detil dari patahan aktif/sumber gempabumi dan diseminasinya yang baik
kepada masyarakat akan sangat membantu agar masyarakat menjadi lebih peduli akan
mitigasi bencana gempabumi.

2.3.2. Ketersediaan Peta Bencana Gempabumi


Sebelum keluarnya UU Tentang Kebencanaan April 2007 mitigasi bencana alam
belum menjadi suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat dan penyelenggarakan
pembangunan sehingga usaha dalam membuat peta-peta ancaman bencana alam belum
dilakukan secara serius dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan karena memang
peta-peta tersebut kebanyakan masih belum banyak dipakai. Oleh karena itu tidak heran
kalau peta-peta yang tersedia sekarang masih minim dan belum ada standar mutunya.

Solusi
Langkah pertama yang harus dilakukan dan sudah dimulai dilakukan dalam
membuat pedoman ini adalah dengan menginventarisasi semua peta-peta tentang bencana
gempabumi yang sudah dibuat oleh berbagai pihak/instansi. Kemudian dibuat evaluasi
kelayakan dari peta-peta tersebut berdasarkan standar yang disyaratkan dalam pedoman ini.
Setelah itu baru dapat membuat rencana tentang bagaimana memenuhi kebutuhan peta-
peta yang belum ada untuk usaha mitigasi bencana ke depan.

2.3.3. Keterbatasan Pemahaman Gempabumi dan Mitigasi Bencananya


Permasalahan
Sebelum kejadian gempa-tsunami Aceh-Andaman tahun 2004 masih sedikit
masyarakat umum yang peduli dan tahu tentang gempabumi dan tsunami, termasuk para
eksekutif dan praktisi pembangunan. Ketidakpedulian dan ketidaktahuan ini bukan hal yang
aneh tapi memang sudah dapat diduga karena baik pendidikan formal ataupun pendidikan
umum melalui mass media sangat sedikit memberi pengetahuan tentang gempabumi dan
potensi bencananya. Hal ini tentu saja merupakan hal yang sangat menghambat usaha
mitigasi bencana.

Solusi
Untuk rencana jangka pendek-menengah perlu diadakan banyak kursuis-kursus,
seminar-seminar tentang kebencanaan termasuk gempabumi untuk para eksekutif, staf ahli
pemerintah dan para praktisi pembangunan. Untuk jangka panjang pengetahuan tentang
bencana alam termasuk gempabumi perlu diajarkan di pendidikan formal sejak tingkat
sekolah dasar.

3. METODA ANALISIS BAHAYA GEMPABUMI


Analisis ancaman gempabumi harus mencakup dua hal:

• identifikasi dan pemetaan patahan aktif dan zoning untuk menghindari


ancaman rekahan gempabumi
• analisis goncangan tanah karena gempabumi baik dari satu sumber
patahan gempa (metoda deterministik) atau dari banyak gempa dengan
metoda probabilistik.

3.1. Pemetaan Patahan Aktif/Gempa

Yang dimaksud dengan patahan aktif adalah patahan yang mempunyai sejarah atau
indikasi pergerakan dalam kurun 11.000 tahun terakhir(Zaman Holosen) [California-
Geological-Survey, 2007]). Apabila ada indikasi pergerakan pada waktu yang lebih tua
sampai dengan sekitar 1.6 juta tahun lalu (Zaman Kuarter) maka patahan tersebut
diklasifikasikan sebagai patahan yang berpotensi aktif (Table 2).

Peta patahan aktif adalah peta garis/jejak pertemuan dari bidang patahan aktif
dengan permukaan bumi. Kenampakan patahan di permukaan dapat diidentifikasi dari
berbagai macam bentukan morfologi alam (i.e. morfotektonik) sebagai hasil dari interaksi
antara proses pergerakan pada patahan dan proses-proses alam di permukaan bumi.
Metoda pembantu lain dalam identifikasi dan pemetaan patahan aktif termasuk: (1) Data
geologi dan geofisika bawah permukaan, (2) Indikasi dari keberadaan dan keaktifan
patahan dari data catatan sejarah, (3) Data seismik, dan (4) data pergerakan tektonik muka
bumi (dari rekaman GPS)

Pemetaan patahan aktif memerlukan keahlian khusus untukmelakukannya [Yeats, et


al., 1997]. Biasanya dilakukan oleh seorang ahli geologi yang mendapat training khusus
untuk pemetaan patahan aktif. Perlu diketahui bahwa peta patahan aktif yang dimaksud
tidak sama dengan garis-garis patahan yang ada di peta-peta geologi umum. Peta patahan
yang dimuat pada peta geologi biasanya adalah identifikasi/interpretasi umum dari semua
bidang patahan dari berbagai umur geologi, baik yang sudah mati berjuta-puluh juta tahun
lamanya atau mungkin juga termasuk yang masih aktif sekarang. Prinsip dan metoda yang
dipakai dalam penarikan garis-garis patahan tersebut sangat berbeda dengan pemetaan
patahan aktif.

3.1.1. Pemetaan Patahan Gempabumi di Daratan


Di wilayah daratan jalur gempabumi atau jalur patahan aktif dapat diidentifikasi dari
berbagai fenomena bentang alam akibat adanya jalur patahan aktif di permukaan bumi
serta proses-proses alam yang menyertainya (Gambar 3) , yaitu antara lain:
o Kenampakan kelurusan unsur morfologi dari jalur patahan di
permukaan bumi

o Bentukan bentang alam lain yang mencerminkan pergerakan patahan


aktif, seperti gawir-gawir patahan atau zona tekuk lereng yang terjal di
sepanjang pertemuan bidang patahan dan permukaan bumi.

o Perpindahan alur sungai (i.e. stream offset) karena pergerakan


patahan yang memotong alur sungai-sungai tersebut

o Adanya bukit-bukit memanjang di sebelah jalur patahan

o Terbentuknya danau-danau karena proses pergerakan diantara dua


segmen jalur patahan.

o Zona rekahan tektonik yang terbentuk ketika terjadi gempabumi

Untuk memetakan patahan gempa/aktif di daratan diperlukan peta dasar rupabumi


berupa topografi, foto udara, atau/dan citra landsat dengan skala/ketelitian yang memadai.
Artinya skala/ketelitian peta dasar ini harus cukup untuk dapat memperlihatkan satuan
morfotektonik sehingga dapat dipakai untuk melacak garis patahan-nya. Umumnya skala
peta rupabumi yang dipakai adalah 1:50.000 atau lebih besar atau memakai foto udara
skala 1:100.000 atau lebih teliti, atau peta DEM dengan grid sekurang-kurangnya 90 meter,
atau citra satelit dengan ketelitian 30 meter/pixel. Prinsipnya, semakin teliti peta dasarnya
maka akan semakin banyak atau jelas kenampakan morfotektonik dari patahan yang akan
dipetakan, dan hasilnya tentu akan lebih baik dan akurat.

Pemetaan patahan aktif harus dilakukan dengan seteliti dan seakurat mungkin baik
dalam hal pengerjaannya maupun untuk penyajiannya. Garis patahan hanya dapat diplot
dalam peta kalau memang nampak bukti fenomena (bentang) alamnya. Tingkat keyakinan
lokasi garis patahan harus tercermin dalam penyajiannya, misalnya: garis penuh apabila
buktinya jelas, garis putus-putus apabila buktinya kurang kuat, atau garis titik-titik apabila
pemeta berpendapat bahwa garis patahannya melewati suatu wilayah tapi tidak nampak
fenomena morfotektoniknya karena tertutup oleh endapan/sedimen muda atau juga
mungkin karena peta rupabumi yang dipakai kurang teliti. Ketelitian ini perlu karena setiap
garis yang ditarik akan dipakai untuk menentukan wilayah yang terancam bencana
gempabumi. Garis-garis patahan ini juga dipakai untuk analisis segmentasi patahan,
termasuk menentukan berapa kekuatan gempabumi yang dapat terjadi di wilayah yang
bersangkutan.

Seringkali juga untuk menentukan lokasi persisnya dari patahan aktif dipermukaan
ini tidak bisa dilhat atau tidak cukup hanya dari bentang alam dan geologi tapi harus dibantu
oleh survey geofisika bawah permukaan, seperti dengan metoda : seismik refleksi resolusi
tingi, seismk refraksi, georadar, dan metoda lainnya.

Lokasi persisnya dari patahan aktif paling mudah dipetakan ketika setelah terjadi
gempabumi pada lokasi tersebut. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan survey
pemetaan detil rekahan-rekahan patahan ini setelah terjadi gempabumi. Hasil pemetaan
rekahan patahan pasca gempabumi ini akan sangat berguna untuk: (1) evaluasi kerusakan
yang diakibat oleh gempa tersebut, (2) merevisi peta ancaman dan risiko bencana
gempabumi untuk usaha mitigasi bencana ke depan, dan (3)merencanakan rehabilitasi dan
rekonstruksi dari wilayah yang terkena bencana.

Umumnya sewaktu gempabumi terjadi ada dua macam rekahan tanah yang
terbentuk, yaitu: rekahan patahan seperti yang dimaksud di atas, dan rekahan tanah akibat
gerakan tanah (terganggunya kestabilan lereng). Pemetaan rekahan gempa ini hanya
dapat dilakukan oleh seorang ahli geologi yang sudah mendapat training khusus dalam
keahlian ini agar dapat membedakan dua macam jenis rekahan tersebut dan juga
memenuhi aspek-aspek teknis yang diperlukan dalam pemetaan ini. Survey pemetaan ini
dapat dan bahkan sebaiknya dilakukan berbarengan dengan survey untuk
pemeatan/dokumentasi kerusakan-kerusakan yang terjadi.

3.1.2. Pemetaan Patahan Gempabumi di Bawah Laut


Identifikasi patahan aktif atau sumber gempabumi di bawah laut tentu lebih sukar
daripada yang di daratan karena kenampakan bentuk-bentuk permukaan yang
berhubungan dengan jalur patahan tersebut ada di bawah air. Oleh karena itu, untuk
identifikasinya diperlukan pemetaan jalur patahan aktif berdasarkan peta bathimetri yang
cukup detil.

Cara lain untuk mengidentifikasi dan memetakan sumber gempabumi di bawah laut
adalah dari proses pengangkatan dan penurunan muka bumi yang terjadi karena proses
deformasi perlahan-lahan diantara gempa besar dan proses pengangkatan dan penurunan
yang tiba-tiba ketika terjadi gempa-gempa besar [Natawidjaja, et al., 2007a; Natawidjaja, et
al., 2006; Natawidjaja, et al., 2004; Natawidjaja, et al., 2007b]. Misalnya khusus untuk
sumber gempabumi dari zona subduksi lempeng di barat Sumatra, atau dikenal sebagai
gempa “megathrust” (i.e. patahan naik besar yang berkemiringan bidang landai) gejala naik
turunnya muka bumi ini dapat diamati dari bentang alam yang mencerminkan turun naiknya
pulau-pulau Mentawai, Batu, Nias, dan Simelue. Metoda lebih spesifik lagi yang bisa
dipakai adalah dengan mempergunakan terumbu karang jenis mikroatol (Gbr.4 dan 5)

Metoda yang juga umum dipakai dalam analisis sumber gempa di bawah laut ini
adalah dengan melakukan studi survey-survey kelautan untuk membuat bathimetri detil dan
sekaligus juga membuat survey seismik bawah permukaan laut untuk memetakan adanya
struktur-struktur patahan aktif di bawah dasar laut.

3.2. Evaluasi Patahan Gempa

3.2.1. Analisis Segmentasi Patahan gempa


Kekuatan gempabumi yang dapat terjadi di sepanjang suatu jalur patahan aktif
tergantung dari diskontinuitas jalur tersebut. Peta suatu sistem patahan aktif biasanya tidak
satu garis menerus melainkan banyak garis yang terputus-putus di sepanjang jalur patahan
tersebut [Natawidjaja and Triyoso, 2007a]. Adanya Diskontinuitas ini membuat satu jalur
patahan terbagi-bagi menjadi banyak segmen patahan. Suatu kejadian gempabumi akan
meretakan dan menggerakan satu bagian dari jalur patahan. Proses peretakan patahan
gempa ini akan dibatasi/dikontrol oleh diskontinuitas fisik pada jalur patahan tersebut selain
oleh faktor dinamika pada bidang patahannya. Tentu hanya diskontinuitas struktur yang
cukup besar saja yang dapat menahan lajunya peretakan patahan gempa ini.

Yang dimaksudkan dengan analisis segmentasi patahan gempa adalah membagi-


bagi suatu jalur patahan aktif menjadi beberapa bagian atau segmen-segmen yang
dianggap mewakili kekuatan (skala magnitudo) maximum dari karakteristik gempa-gempa
yang dapat terjadi di sepanjang jalur patahan tersebut. Jelas bahwa untuk dapat melakukan
analisis segmentasi terlebih dahulu harus sudah ada peta patahan aktif-nya. Besarnya
magnitudo gempa maximum yang dapat terjadi pada suatu segmen patahan sebanding
dengan panjang dari segmen patahan terkait (Gbr.6).

3.2.2. Analisis Sejarah Kegempaan


Fakta yang paling jelas adalah dari catatan sejarah gempabumi dari suatu wilayah
tertentu [Natawidjaja, et al., 1995]. Prinsipnya, apabila pernah terjadi kejadian gempa besar
yang merusak disuatu lokasi atau wilayah baik satu kali atau sudah beberapa kali, maka
dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempabumi yang paling tidak
berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi. Artinya, wilayah tersebut harus siap
menghadapi kejadian gempabumi serupa atau lebih besar di masa datang karena setiap
kejadian gempabumi pasti berhubungan dengan adanya patahan aktif pada atau disekitar
wilayah tersebut, dan proses gempabumi dengan skala magnitudo tertentu mempunyai
siklus, atau akan selalu berulang dengan kisaran perioda ulang tertentu.

Kelemahan dari cara identifikasi ini adalah karena umumnya catatan sejarah itu
terbatas hanya sampai 100 – 300 tahun lalu, padahal perioda ulang gempa bisa lebih dari
300 tahun, bahkan ribuan tahun. Dengan kata lain apabila tidak ada catatan sejarah
tentang kejadian gempabesar di suatu wilayah tidak berarti bahwa wilayah tersebut tidak
berpotensi gempabumi.

Kekuatan (magnitudo) dan lokasi geografis dari sumbergempa yang pernah terjadi
dapat diselidiki dari catatan sejarah mengenai penyebaran geografis dari intensitas
kerusakan yang terjadi. Hasil analisis perkiraan skala kekuatan gempa berdasarkan
metoda ini tentu saja sangat bergantung pada seberapa banyak data dan juga kualitas dari
data intensitas kerusakan yang tercatat dalam sejarah atau laporan-laporan kuno tersebut.

Data spatial tentang kejadian gempa dan intensitas/kerusakan yang terjadi di masa
lampau dapat dianalisis dalam hubungannya dengan keberadaan patahan aktif di lokasi
yang sama. Jadi data sejarah gempabumi ini dapat dipakai untuk melacak keberadaan
patahan aktif yang belum diketahui atau juga untuk analisis potensi kegempaan dari suatu
jalur patahan aktif yang sudah terpetakan. Dari hubungan spatial dari data kerusakan
gempa dengan peta patahan aktif dapat diperkirakan bagian mana dari jalur patahan
tersebut yang menjadi sumber gempanya atau yang bergerak ketika kejadian gempa
tersebut. Apabila magnitudo gempanya diketahui (misalnya dari rekaman seismometer)
maka informasi ini dapat dipakai untuk memperkirakan berapa panjang patahan yang
bergerak. Jadi data kejadian gempa di masa lalu akan membantu analisis segmentasi
patahan dan penentuan besar magnitudo maximum gempa yang dapat terjadi.

Data sejarah kegempaan juga sangat penting untuk mengetahui status potensi
gempa dari suatu segmen patahan. Apabila gempa terakhir pada suatu segmen patahan
diketahui maka dapat dihitung berapa besar energi gempa yang sudah terakumulasi lagi
pada patahan tersebut. Rentang waktu antara gempa terakhir dan waktu sekarang disebut
sebagai ”ellapsed time” atau rentang waktu akumulasi energi gempa. Apabila diketahui laju
akumulasi gempanya atau laju pergerakan patahannya, maka dapat dihitung sudah berapa
banyak energi gempa yang sudah terakumulasi.

3.2.3. Analisis seismologi


Data rekaman seismik dari jaringan seismometer menunjukkan tidak hanya kapan
gempa besar pernah terjadi tapi juga memberikan data kuantitatif yang lebih pasti tentang
lokasi geografis dari sumber gempa (patahan aktif)nya serta berapa magnitudo gempanya.
Keterbatasannya adalah masa rekaman seismik ini untuk indonesia baru ada sejak awal
Abad 20 (dari jaringan seismik dunia), dan yang sudah baik data rekamannya baru sejak
tahun 1960-an. Umumnya data seismik dari gempabumi yang lebih tua dari tahun 1960
kurang baik sehingga perlu analisis yang khusus dari data seismogram tua (yang umumnya
masih analog belum digital) agar data gempanya menjadi dapat cukup dipercaya.

Metoda seismologi lainnya untuk meneliti keaktifan serta karakteristik suatu segmen
gempabumi adalah dengan menempatkan jaringan seismik yang cukup rapat pada wilayah
tersebut untuk merekam mikroseismisitasnya. Cara ini juga berguna untuk mengidentifikasi
lokasi jalur gempa apabila patahan ini tidak bisa diidentifikasi dari kenampakan
morfotektoniknya. Data seismik di sepanjang patahan juga bisa membantu analisis
segmentasi patahan gempa.

3.2.4. Studi Paleoseismologi


Catatan sejarah gempa masa lalu umumnya sangat terbatas dan tidak komplit juga
rekaman data seismometer terbatas. Cara lain untuk mendapatkan data tentang kejadian
gempa di masa lalu adalah dengan melakukan studi paleoseismologi [McCalpin, 1996;
Yeats, et al., 1997], yaitu dengan membuat paritan pada jalur patahan untuk meneliti bukti-
bukti pergerakan patahan yang terekam pada stratigrafi lapisan-lapisan tanah. Prinsip
umumnya kejadian gempabumi di masa lalu akan meretakkan tanah dan mendeformasi
permukaan tanah pada masa itu. Dengan melakukan analisis struktur patahan dan
stratigrafi, termasuk menentukan umur permukaan tanah purba (paleosoil) yang dapat
diidentifikasi maka dapat direkonstruksi kejadian gempa-gempa di masa lalu tersebut
sampai ratusan bahkan ribuan tahun ke belakang. Dari studi ini dapat diketahui sudah
berapa kali gempabumi yang terjadi dalam kurun waktu tertentu termasuk kapan
gempabumi yang terakhir terjadi. Kemudian dapat diperkirakan rata-rata perioda ulangnya
dan potensi gempabumi ke depan.

3.2.5. Analisis Tingkat Keaktifan/Laju Pergerakan


Salah satu bagian penting dari pemetaan patahan aktif adalah juga memperkirakan
tingkat keaktifannya. Bentang morfologi alam disepanjang jalur patahan dipengaruhi
kompetisi dari dua faktor utama, yaitu: struktur dan pergerakan patahan aktif (proses
konstruktif) dan proses erosi (proses destruktif). Semakin cepat (aktif) pergerakan
patahannya maka akan semakin terlihat elemen-elemen morfotektoniknya dan sebaliknya.
Jadi apabila laju pergerakan patahannya lambat (kurang aktif) sehingga proses erosi
menjadi lebih dominan maka morfotektonik ini tidak akan terbentuk dan jejak patahan aktif
ini tidak bisa terlihat dari hanya berdasarkan analisis bentang alam. Cara yang lebih
kuanitatif dalam menentukan keaktifan patahan adalah dengan mengukur laju pergerakanya.

Cara Geologi
Laju pergerakan patahan dapat dihitung dari besarnya pergeseran elemen geologi
dan elemen-elemen bentang alam disepanjang patahan tersebut, khususnya pergeseran
aliran-aliran sungainya. Kemudian aliran-aliran sungai tersebut dianalisis umurnya,
umumnya dengan metoda penentuan umur absolut radiocarbon. Laju pergerakan dihitung
dari membagi besarnya pergeseran aliran sungai dengan umur aliran sungai.

Metoda GPS
Pergerakan disekitar/sepanjang jalur paahan aktif juga dapat diamati oleh jaringan
GPS yang ditempatkan sedemikian rupa di sekitar jalur patahan.

Jaringan GPS dapat merekam pergerakan tektonik ang perlahan-lahan tapi terus
menerus pada perioda di antara gempa besar, juga dapat merekam pergerakan besar dan
tiba-tiba yang terjadi ketika gempa.

Metoda Seismologi
Tingkat keaktifan patahan gempa dapat juga dievaluasi berdasarkan data seismik,
yaitu dengan menghitung besarnya energi gempabumi yang dilepaskan dalam kurun waktu
tertentu. Kemudian, kecepatan pelepasan energi gempabumi tersebut bisa dihitung
(i.e. ”moment rate analysis).

3.2.6. Analisis Kekuatan Gempa dan Perioda Ulangnya


Konsep dasar yang biasa digunakan dalam analisis ancaman bencana gempabumi
adalah konsep gempa karakteristik, yaitu mangasumsikan bahwa setiap sumber gempa
/segmen patahan tertentu selalu menghasikan gempabumi dengan magnitudo tertentu.
Gempa karakteristik bisa diambil dari data gempabesar masa lalu atau dari magnitudo
maximum yang dapat dihasilkan oleh sumber gempa/segmen patahannya (i.e. ”MCE =
Maximum Credibel Earthquake”). Konsep ini umum dipakai dala evaluasi bahaya seismik.

Kemudian, apabila laju pergerakan atau moment rate patahannya diketahui, maka
perioda ulang gempa karakteristiknya dapat dihitung.

3.3. Zoning Bahaya Deformasi Patahan Aktif

Zoning bahaya deformasi patahan aktif hanya dapat dilakukan apabila peta patahan
aktifnya sudah tersedia. Ketelitian menentukan zoning dari zona rawan deformasi patahan
tergantung dari ketelitian peta patahan aktifnya. Apabila patahan aktif tersebut sudah
dipetakan dengan cukup akurat dan detil,misalnya pada skala ketelitian 1:10.000, sehingga
lokasi garis patahan di permukaan tanahnya sudah dapat dipastikan, maka untuk
menghindari bencana akibat deformasi patahannya cukup membuat “set-back” sekitar 20
meter di kanan kiri garis patahan tersebut [California-Geological-Survey, 2007]. Meskipun
demikian perlu diketahui bahwa selain jalur utama garis patahan juga mungkin ada struktur
sekunder berupa patahan dan lipatan di sekitarnya yang juga perlu diperhitungkan.
Jejak patahan aktif mempunyai tingkat kompleksitas yang berbeda-beda. Umumnya
rekahan suatu segmen patahan aktif berupa satu jalur yang mempunyai lebar beberapa
puluh sentimeter sampai beberapa meter. Namun adakalanya terdiri dari banyak jalur
rekahan yang (sub) paralel dan membentuk zona rekahan kompleks yang lebarnya sampai
puluhan bahkan ratusan hingga ribuan meter. Apabila patahan aktif nya merupakan rekahan
yang komplek maka deliniasi wilayah rentan deformasi patahan aktifnya harus disesuaikan
dengan kompleksitas strukturnya.

Selain rekahan patahan yang terjadi sewaktu gempa, bahaya lain dari deformasi
patahan aktif adalah peristiwa pengangkatan dan penurunan permukaan tanah akibat
deformasi tektonik ketika gempabumi.

3.4. Evaluasi Bahaya Goncangan Gempabumi (Ground-motion Hazard


Assessments)

Estimasi goncangan tanah dapat dihitung dengan dua metoda [Prevention-NIED,


2008], yaitu berdasarkan : (1) satu skenario sumber gempa bumi (metoda deterministik),
dan (2) Multi sumber yang dijumlahkan potensinya dengan metoda statistik-probabilistik.
Metoda pertama sangat berguna untuk estimasi kisaran besar goncangan gempa dalam
hubungannya dengan kekuatan struktur/bangunan. Metoda kedua (probabilistik) berguna
untuk menyesuaikan tingkat bahaya goncangan gempa dengan masa pakai dari
bangunan/konstruksi tertentu.

Secara sederhana besaran goncangan gempa dapat dihitung sebagai berikut:


Akselerasi gempa ~ Besar dimensi atau magnitudo sumber gempa /jarak sumber ke lokasi *
attenuasi penjalaran gelombang gempa. Jadi besar goncangan gempa berbanding lurus
dengan besar sumber gempa (magnitudo) dan berbanding terbalik dengan jarak gempa
(makin jauh/besar akan makin kecil). Kemudian peredaman atau amplifikasi dari
gelombang gempa ditentukan oleh banyak faktor seperti kondisi geologi/tanah, konfigurasi
struktur bawah permukaan dan lain lain. Besar goncangan ini bisa dihitung dengan rumus
empiris, bisa juga dievaluasi secara lebih kuantitatif dengan simulasi komputer
memperhitungkan banyak parameter.

Baik dengan metoda deterministik ataupun probabilistik, input data yang


komprehensif dan akurat dari patahan aktif dan parameter-parameter sumber gempanya
merupakan hal yang sangat esensial (Gbr.6). Semua input data patahan aktif dn parameter
sumber gempanya harus ada keterangan dan verivikasinya yang memadai. Termasuk
dijelaskan apakah memakai data primer atau sekunder. Untuk data sekunder harus ada
keterangan rujukan yang jelas disertai uraian dari kualitas data yang dipakai.

3.4.1. Analisis Goncangan Gempa dari Satu Skenario Sumber Gempa


Analisis ini memperhitungkan kemungkinan kisaran besar goncangan gempabumi
dalam satuan Peak Ground Acceleration (PGA) atau besar pergeseran (displacement) pada
lokasi tertentu akibat kejadian skenario gempabumi tertentu di wilayah sekitarnya. Untuk
estimasi besar goncangan dapat dilakukan dengan dua cara:
• Cara perkiraan umum dengan memakai rumus empiris dari atenuasi
gelombang gempabumi
• Cara analisis detil dengan simulasi penjalaran gelombang gempa dari
sumber ke lokasi
Keakuratan hasil perhitungan goncangan gempa dari dua metoda ini tentu
tergantung dari baiknya penentuan skenario sumber gempabuminya. Apabila dipakai
metoda empiris maka rumus atenuasi gelombang gempa yang dipakai harus sesuai dengan
kondisi geologi dan tektonik dari wilayah yang dianalisisnya. Untuk analisis detil diperlukan
data geologi bawah dan dekat permukaan yang memadai. Selain itu analisis ini
memerlukan pengetahuan dan keahlian di bidang seismologi yang cukup mendalam.

Analisis satu scenario gempabumi umumnya dilakukan secara deterministik.


Metoda deterministic hanya memperhitungkan kemungkinan terburuk yang kredibel
(credible worst-case scenario). Metoda ini lebih gampang dilakukan karena tidak
membutuhkan data sumber yang detil, seperti: data laju pergerakan patahan (fault sliprate),
perioda ulang (reccurent interval), dan informasi waktu terjadi gempa besar terakhir.
Meskipun demikian analisis skenarion gempa ini bisa juga dilakukan dengan memasukan
perhitungan probabilistik.

Gambar 7 memperlihatkan contoh hasil perhitungan goncangan gempabumi dari


satu sumber gempa (satu segmen patahan aktif). Pada studi ini dipakai rumus empiris dari
attenuasi gempa dari Fukushima dan Tanaka [1990], sbb:

log10 A = 0.41M w - log10 (R + 0.032.10 0.41M w ) - 0.0034 R + 1.30 [Fukushima and Tanaka, 1990]
dimana, A = rata-rata ground peak acceleration-PGA (cm.sec-2); R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa
(km); Mw = skala magnitudo momen.

3.4.2. Probabilistic Seismic/Ground-motion Hazard Evaluation (PSHA)


. Untuk melakukan analisa PSHA diperlukan data gempa yang lebih komprehensif
[McGuire, 2004]. Kita tidak hanya harus tahu berapa besar kekuatan maksimalnya di setiap
sumber gempa atau setiap segmen patahan, tapi juga mengetahui kapan gempa yang
terakhir dan berapa lama perioda/frekuensi alamiah dari kejadian gempanya. Kemudian
dalam menghitung prediksi besar goncangan di satu lokasi, kita bukan menghitung besar
goncangan dari satu kejadian gempa, tapi menjumlahkan besar goncangan yang terjadi dari
semua sumber gempabumi di sekitar lokasi (biasanya diambil radius ~ 500km). Dalam
metoda probabilistik biasanya efek gempa ini (dalam satuan akselerasi/gal/mgal) dihitung
untuk besar nilai goncangan dalam setiap tahunnya. Kemudian untuk menentukan
besarnya jumlah goncangan yang terjadi maka diambil “return period” tertentu, biasanya
diambil untuk 500 tahun. Return period Ini bukan parameter gempa (i.e. tidak sama
dengan ”reccurent interval”) tapi hanya ditentukan secara teknis. Jadi prinsipnya, jumlah
nilai goncangan yang didapat adalah perkalian antara return period dengan nilai goncangan
(PGA)/tahun.

Gambar 8 memperlihatkan contoh hasil analisa PSHA yang dilakukan oleh Petersen
et a l[2004] untuk Sumatra. Perioda ulang (return period) yang diambil adalah untuk 500
tahun, atau sama dengan untuk 10% kemungkinan terlampaui nilai goncangan tersebut
dalam waktu 50 tahun (artinya 90% kemungkinannya tidak terjadi)

Kemungkinan terjadinya PGA u di suatu lokasi karena satu kejadian gempa dari satu
sel k tertentu dalam distribusi Poisson diberikan oleh persamaan di bawah ini:

P(u ≥ u0 ) = Pk (m ≥ m(u0, Dk )) = 1 − e( −v i (≥m(u0 ,Dk ))) 1

dimana Pk (m ≥ m (uo, Dk)) adalah kemungkinan terjadinya gempa tersebut dalam satu tahun.
kth sel, m (uo, Dk) adalah magnitude gempa dalam sumber kth yang akan menghasilkan PGA
sebesar uo atau lebih besar di lokasi tersebut dan Dk adalah jarak dari lokasi ke sel sumber.
Fungsi m (uo, Dk) adalah fungsi atenuasi gelombang gempa.

Distribusi kemungkinan-probabilitas dari PGA di lokasi/wilayah dapat ditentukan


dengan mengintegrasikan pengaruh dari seluruh sel-sel sumber gempa di sekitarnya,
seperti yang diperlihatkan oleh persamaan di bawah:

P(u ≥ u0 ) = 1 − ∏ (1 − Pk (u ≥ u0 )) 2

Dengan mempergunakan fungsi atenuasi maka di dapat:

P(u ≥ u0 ) = 1 − ∏ e( −v i (≥m(u0 ,Dk ))) = 1 − e ∑ i


− v ( ≥m(u0 ,Dk ))

Yang mana memberikan kemungkinan terjadinya suatu nilai PGA untuk satu tahun. Untuk
suatu perioda T tertentu maka kemungkinan (probabilitas) terjadinya goncangan tanah
diberikan oleh persamaam di bawah ini: 3

( −T ∑ vi ( ≥m(u0 ,Dk )))


P(u ≥ u0 ) = 1 − (1 − P(u ≥ u0 ))T = 1 − e 4
[Natawidjaja, et al., 2007b]

4. GEMPA TSUNAMI
Pada prinsipnya besar tinggi gelombang tsunami dan limpasan tsunami di suatu
lokasi tergantung pada: besarnya pengangkatan dasar laut (yang diakibatkan gempa), pola
gelombang tsunami dari sumber ke lokasi, dan kondisi bathimetri dan topografi setempat.
Oleh karena itu untuk membuat pemodelan tsunami yang baik ada beberapa hal yang harus
dipenuhi, yaitu:

1. mengetahui dengan sebaik-baiknya tentang pola deformasi bumi dari skenario


gempa yang mungkin terjadi, khususnya yang menyangkut pola pengangkatan dasar
laut.

2. Mempunyai data topografi pantai dan bahimetri (terutama yang di dekat pantai) yang
memadai.
3. Software atau perangkat lunak yang baik untuk pemodelan penjalaran tsunami.

Untuk Sumatra, kita beruntung mempunyai data yang cukup banyak tentang pola
dan parameter fisik dari sumber gempa. Demikian juga kita mempunyai cukup catatan
sejarah tentang efek dan akibat tsunami di masa lampau sehingga kita bisa
membandingkannya dengan pemodelan tsunami yang dilakukan. Misalnya untuk kejadian
gempa besar tahun 1797 dan 1833 di Sumatra barat dan Bengkulu, kita punya data cukup
lengkap [Briggs, et al., 2006; Chlieh, et al., 2007; Meltzner, et al., 2005; Natawidjaja, 2005;
Natawidjaja, et al., 2007a; Natawidjaja, et al., 2006; Natawidjaja, et al., 2004; Sieh, et al.,
1999; Subarya, et al., 2006] tentang deformasi kerak bumi dan pengangkatan dasar laut
yang terjadi, juga ada catatan sejarah tentang besar dan efek dari tsunami pada waktu
terjadi dua gempa tersebut di wilayah Padang dan Bengkulu. Dari data ini kita membuat
model tsunami dari gempa tahun 1797 dan 1833 kemudian membandingkan hasil
simulasinya dengan data catatan sejarah.

Untuk data bathimetri dipakai data dari ETOPO 1, yaitu data dari satelit dengan
resolusi (spacing data) 1 km yang dikombinasikan dengan peta bathimetri dan data
topografi pantai. Secara umum, data ini lumayan baik untuk dipakai pemodelan, tapi
tentunya perlu data bathimetri yang lebih detil lagi untuk bathimtri di dekat pantai (<200 m)
apabila ingin hasil yang lebih akurat lagi. Untuk data topografi pantai digunakan data dari
SRTM (data DEM dari satelit) dengan resolusi 90-m spatial data dan dari citra landsat Qick
bird resolusi 2m, kemudian ditambah juga dengan data survey lapangan (untuk kota
Padang).

Untuk simulasi tsunami digunakan dapat digunakan berbagai software,diantaranya


adalah software MOST - Method Of Splitting Tsunami (Titov and Synolakis, 1997, Titov and
Gonzalez, 1997 Titov et al., 2005). MOST membuat model tsunami berdasarkan komputasi
data pengangkatan dasar samudra dari parameter sumber gempanya (untuk inisiasi
tsunami), dan juga sudah memperhitungkan semua aspek hidrodinamika dari propagasi
gelombang tsunami. MOST juga memperhitungkan efek pengangkatan dan penurunan dari
daratan. Karena efek pengangkatan daratan akan memperkecil tingi tsunami dan
sebaliknya penurunan daratan akan memperbesar efek tsunami.

Dengan MOST tsunami dimodelkan dengan resolusi spatial (grid) 1200 m sampai
engan 600m untuk wilayah laut regional, kemudian untuk wilayah penting seperti Padang
dan Bengkulu resolusi spatialnya dibuat lebih tingi, yaitu dengan resolusi 200m..

4.1. Contoh skenario sumber gempa-tsunami untuk Sumatra Barat dan


Bengkulu

Model gempa-tsunami untuk wilayah Sumatra barat dan Bengkulu dibuat


berdasarkan data dan model gempa tahun 1797 dan 1833 (Gbr.9 A & B) yang didapat dari
hasil penelitian Geoteknologi LIPI dan Caltech [Natawidjaja, et al., 2006]. Dari pola
deforamsi dua gempa besar yang pernah terjadi tersebut kemudian dikembangkan 4 model
scenario yang paling mungkin (Gbr. 9 C-D-E-F) yang mempunyai magnitudo dar Mw 9 s/d
9.3. Empat model scenario ini diasumsikan mempunyai sumber gempa merupakan
gabungan dari sumber gempa 1797 dan 1833. Hal ini diambil berdasarkan data dari
statsiun GPS SuGAr (Sumatran GPS Array), data koral mikroatol dan data seismik
[Abercrombie, 2002; Chlieh, et al., in press; Natawidjaja, et al., 2006].

Scenario 2 dan 4 mengasumsikan pergerakan lempengnya tidak sampai ke Palung


atau berhenti di tengah jalan seperti kasus gempa Nias tahun 2005. Scenario 1 dan 3
mengasumsikan bahwa pergerakan lempeng sampai ke palung laut dalam, sehingga
potensi tsunaminya lebih besar seperti yang terjadi pada waktu gempa Aceh tahun 2004.
Scenario 1 dan 2 mengasumsikan besar pergerakannya 10 m, hampir sama dengan gempa
Nias tahun 2005, sedangkan scenario 3 dan 4 pergerakannya 20 m, hampir sama dengan
yang terjadi pada waktu gempa Aceh tahun 2004. Jadi scenario 3 adalah yang paling
ekstrim dengan magnitudo Mw 9.3, atau scenario terburuk (”worst-case scenario”). Apabila
kita beranggapan bahwa hampir seluruh energi gempa dilepaskan saat gempa tahun 1797
dan1833 maka seharusnya energi pergerakan yang terkumpul hanya sekitar 10 m, karena
kita tahu kecepatan pergerakan lempeng adalah sekitar 5 cm dan ”ellapsed time” atau
tenggang waktu yang sudah terjadi hanya sekitar 200 tahunan.

Gambar 10 memperlihatkan tinggi gelombang di Padang berdasarkan fungsi waktu


(”time series”) yang didapat dari skenario sumber A-F). Gambar 11 memperlihatkan peta
limpasan tsunami di Kota Padang berdasarkan skenario terburuk (Skenario 3).

5. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi bahaya gempabumi
mencakup: (1) analisis patahan aktif dan parameter-parameter sumber gempabumi, (2).
Analisis bahaya deformasi patahan gempa, (3) Analisis penjalaran gelombang gempa dari
sumber ke lokasi untuk menentukan besar goncangan gempabumi yang terjadi baik dari
satu skenario sumber gempa atau dari banyak gabungan semua sumber gempabumi di
sekitarnya dengan metoda probabilistik, (4) Mikrozonasi atau analisis detil dari besar
goncangan gempa (dengan memperhitungkan amplifikasi karena kondisi geologi dari lokasi).

Gempa di bawah laut dapat menimbulkan tsunami. Penghitungan besarnya


tsunami yang (dapat) terjadi dilakukan dengan membuat skenario sumber gempa yang
paling sesuai, kemudian berdasarkan deformasi gempa yang terjadi disimulasikan
bagaimana tsunami tersebut mulai terbentuk di tengah laut kemudian menjalar ke wilayah
pantai di sekitarnya. Keakuratan model tsunami ditentukan oleh baiknya input skenario
gempabumi, perangkat lunak pemodelan, dan data bathimetri dan topografi yang dipakai.

Masalah utama dalam mitigasi bencana gempabumi di Indonesia adalah kelangkaan


data patahan aktif dan parameter-parameter sumber gempanya. Karena itu untuk dapat
melakukan usaha mitigasi yang lebih baik diperlukan suatu program nasional untuk:

(A) Rapid Assesments (Program Jangka Pendek):

• Pemetaan patahan aktif


• Dokumentasi data yang ada dan memformulasikan parameter sumber-
sumber gempabumi yang diperlukan
• Membuat/merevisi peta goncangan gempabumi Indonesia dengan standard
mutu dan teknis yang lebih baik
(B) Program Jangka panjang untuk

• untuk meneliti patahan aktif dan sumber-sumber gempa secara


komprehensif
• mikrozonasi gempabumi (analisa bahaya deformasi patahan, goncangan gempa,
dan bahaya ikutan dalam skala detil/local).
Dalam program mitigasi bencana gempabumi perlu ada kerjasama yang baik
diantara para ahli geologi gempabumi, seismologi, dan teknik gempa (earthquake
engineering).
Table 1. Skala Intensitas gempa dari Modified Mercalli Scale I – XII dan perkiraan besar
akselerasi tanahnya (dalam g = percepatan gravitasi)
Table 2. Skala Waktu Geologi dan definisi keaktifan dari patahan tektonik [California-
Geological-Survey, 2007]

Gambar 1. Peta Tektonik Aktif dan Kegempaan dari Wilayah Indonesia


Gambar 2a. Contoh bukti dari jalur rekahan-tektonik patahan gempa dari gempa 6 Maret di
wilayah D.Singkarak, Sumatra Barat. (a). Moletracks di dekat Desa Sumani yang
memotong jalan dan menggeser badan jalan sekitar 25 cm, (b) Terusan dari jalur moletrack
ke arah utara di mana jalur ini melewati pagar dan terus ’menghilang’ ke persawahan, (c)
jalur rekahan/moletracks yang memotong jalan aspal di antara Desa Sumani dan Kota
Solok, (d) Jalur yang sama melihat ke arah selatan [Natawidjaja, et al., 2007c]
Gambar 2b. Contoh patahan gempa (garis merah putus-putus) dari gempa Chi-chi di
Taiwan tahun 1999 yang merobohkan jembatan.

Gambar 3. Diagram blok patahan aktif Sumatra di wilayah D.Singkarak, Sumatra Barat.
Gambar 4. Pemetaan perubahan muka bumi yang terjadi karena gempa Nias, 28 Maret
2005 dengan metoda ”koral mikroatol”. P. Simelue dan bagian barat P. Banyak dan Nias
naik sampai maximum 3m. Kota Sinabang naik 1 – 1.5m. Kecamatan Bale turun 1m. Kota
Singkil turun 0.5 – 1.5m. Perubahan muka bumi ini mencerminkan besarnya pergerakan
lempeng dan gempabumi yang terjadi (dimodifikasi dari Briggs et al, 2006).
(a)

(b) (c)

Gambar 5. Pegangkatan dan penurunan muka bumi yang terjadi ketika Gempa Nias-
Simelue tahun 2005: (a) Photo pantai Nias yang terangkat 3 meter. Terumbu karang yang
banyak tumbuh pada paparan pasang-surut ini kebanyakan mati karena terangkat ke atas
air. (b) Pulau Bale yang turun 1m. Air pasang terlihat menggenangi hampir ke tengah pulau,
(c). Desa Haloban turun 50cm. Sebagian rumah-rumah sekarang berada di bawah air
sehingga tidak dapat dihuni lagi.
Gambar 5 Segmentasi Patahan Sumatra di wilayah Sumatra Barat, lokasi episenter gempa
6 Maret 2007 dan lokasi patahan gempa dari sejarah gempa yang terjadi pada tahun 1926
dan 1943 di wilayah ini. Terlihat bahwa sumbe gempa-gempa ini dikontrol oleh segmentasi
patahan [sumber: Natawidjaja et al, 2007 –EERI Spec.Report)
Gambar 6. Prinsip evaluasi bahaya goncangan tanah. Input data sumber gempa adalah hal
yang sangat menentukan kualitas outputnya. Input data jelek maka outputnya jeleh
walaupun fungsi atenuasi dan metoda yang dipakai sudah baik.

Gambar 7 Hasil analisa deterministik dari satu sumber gempabumi pada: (a) Patahan
Sumatra segmen Seulimeum di Aceh, (b) Segmen zona subduksi di Nias-Simelue
[Natawidjaja and Triyoso, 2007b]
Gambar 8. Peta besar goncangan gempa di Sumatra berdasarkan analisa PSHA. Diambil
nilai PGA untuk “10% probability of excedance” dalam 50 tahun.(dari Petersen et al
[2004] ).
Gambar 9. Pola deformasi vertikal dari 6 buah skenario gempa besar di Mentawai. A dan B
adalah pola deformasi berdasarkan data dan analisa dari hasil penelitian koral mikroatol
[Natawidjaja dkk, 2006]. Scenario 1 (C) mengasumsikan sumber gempa tahun 1797 dan
1833 dilepaskan bersamaan dengan pergerakan 10 m sampai ke arah palung laut dalam.
Scenario 2 (D) sama dengan C tapi pergerakannya tidak sampai ke Palung. Scenario 3 (E)
dimensi sumber gempa sama dengan C tapi pergerakannya 20 m; ini adalah ”worst case”.
Scenario 4 (F) pergerakannya sama dengan E tapi tidak sampai palung laut dalam. (sumber
dari: [Borrero, et al., 2006]).
Gambar 10. Hasil simulasi tsunami di Kota padang dari model gempa tahun 1797, gempa
tahun 1833 dan model gempa dari scenario 1 dan 3. (sumber: J. Borrero [2007] )

Gambar 11. Hasil simulasi limpasan atau inundasi tsunami dari scenario 3 pada citra satelit
Quickbird untuk wilayah Kota Padang sampai Painan. Skala bar adalah 5 km. Terlihat
bahwa wilayah inundasi di Kota padang rata-rata tidak lebih dari 2 km dari pantai dengan
tinggi gelombang di pantai (=”flow depth”) mencapai 5.5 meter (sumber: [Borrero, 2007] )
6. DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, R. E. (2002), The June 2000, Mw7.9 earthquake in south of Sumatra:


deformation in the India-Australia Plate, Journal of Geophysical Research.

Bock, Y., et al. (2003), Crustal motion in Indonesia from Global Positioning System
measurements, Journal of Geophysical Research, 108.

Borrero, J. (2007), Tsunami Modeling of the Sumatran megathrust, Unpublished report,


Tectonic Observatory, California Institute of Technology, Pasadena.

Borrero, J., et al. (2006), Tsunami inundation modeling for western Sumatra, Proc. Natl.
Acad. Sci, 103, 19673-19677.

Briggs, R. W., et al. (2006), Deformation and slip along the Sunda megathrust in the great
2005 Nias-Simeulue earthquake, Science, 311, 1897-1901.

California-Geological-Survey (2007), Fault-Rupture Hazard Zones in California, edited,


Department of Conservation California.

Chlieh, M., et al. (2007), Coseismic slip and afterslip of the great Mw 9.15 Sumatran-
Andaman earthquake of 2004, BSSA, 97, 8152-8173.

Chlieh, M., et al. (in press), Investigation of interseismic strain accumulation along the
Sunda megathrust, offshore Sumatra, Journal of Geophsical Research.

Fukushima, Y., and , and T. Tanaka (1990), A new Attenuation Relation for Peak Horizontal
Acceleration of Strong Earthquake ground motion in Japan, Seismological Society of
America Bulletin, 80, 757-783.

Hanks, T. C., and H. Kanamori (1979), A moment magnitude scale., Journal of Geophysical
Research, 84, 2348-2350.

McCalpin, J. (1996), Paleoseismologi, 553 pp., Academic Press.

McGuire, R. K. (2004), Seismic Hazard and Risk Analysis, 219 pp., EERI, Boulder Colorado.

Meltzner, A., et al. (2005), Uplift and subsidence associated with the great Aceh-Andaman
earthquake of 2004, J.Geophys. Res., 3, 10.1029.

Natawidjaja, D., et al. (1995), Gempa bumi tektonik di daerah Bukit tinggi - Muaralabuh:
hubungan segmentasi sesar aktif dengan gempa bumi tahun 1926 & 1943, paper
presented at Annual convention of Geoteknologi-LIPI, LIPI.

Natawidjaja, D. H. (1994), Quantitative geological assessments of Liwa earthquake 1994,


Proceeding of Annual Convention of Indonesian Association of Geophysicists
(HAGI) 1994.
Natawidjaja, D. H. (2005), The Past, recent, and future giant earthquakes of the Sumatran
megathrust, paper presented at JASS05 Great Earthquakes in the Plate Subduction,
Nagoya University and the JSPS, Nagoya,Japan, September 27 - October 4.

Natawidjaja, D. H., et al. (2007a), Interseismic deformation above the Sunda megathrust
recorded in coral microatolls of the Mentawai Islands, West Sumatra, Journal of
Geophysical Research, 112, 10,1029.

Natawidjaja, D. H., et al. (2006), Source Parameters of the great Sumatran megathrust
earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls, J.Geophys. Res., 111.

Natawidjaja, D. H., et al. (2004), Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction
from central Sumatran microatolls, Indonesia, J.Geophys. Res., 109(B4), 1-34.

Natawidjaja, D. H., et al. (2007b), Crustal Deformations, Earthquake and Tsunami Hazards
of the Sumatran Plate Margin, RUTI - Kantor Menristek.

Natawidjaja, D. H., et al. (2007c), West Sumatra earthquake of March 6. 2007, EERI Special
Report.

Natawidjaja, D. H., and W. Triyoso (2007a), The Sumatran fault zone: from source to hazard,
1, 21-47.

Natawidjaja, D. H., and W. Triyoso (2007b), The Sumatran Fault Zone: From source to
hazards, Journal of Earthquake and Tsunami, 1.

Petersen, M. D., et al. (2004), Probabilistic Seismic Hazard Analysis for Sumatra, Indonesia
and Across the Southern Malaysian Peninsula, Tectonophysics, 390, 141-158.

NIED (2008), (Guidelines for) Seismic Hazards, edited, http://www.j-shis.bosai.go.jp.

Sieh, K., et al. (1999), Crustal deformation at the Sumatran subduction zone, Geophysical
Research Letters, 26, 3141-3144.

Subarya, C., et al. (2006), Plate-boundary deformation associated with the great Sumatra–
Andaman earthquake, Science, 440, 46-51.

Yeats, R. S., et al. (1997), The geology of earthquakes, vi, 568 pp., Oxford University Press,
New York.

You might also like