You are on page 1of 19

1

ROSASEA
Daniela Selvam, S.Ked
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNSRI / RSUPMH Palembang
2015

PENDAHULUAN
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah yang
menonjol atau cembung yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan
telangiektasi disertai episode peradangan ditandai erupsi papul, pustul, dan edema.
Pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang
terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).6,8
Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi
pada populasi Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS)
diperkirakan terjadi pada 14 juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada
perempuan maupun laki-laki, dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali
lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering terjadi pada usia 30 - 50 tahun,
namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Diagnosis
awal serta kombinasi terapi tabir surya dan topikal yang cepat dan tepat dapat
mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser dan sinar.6,8
Rosasea telah banyak diketahui secara umum, tetapi masih menjadi suatu
kontroversi terutama pada ahli dermatologi, disebabkan patofisiologi yang belum
jelas dan variasi gejala klinisnya. Sebagian besar para ahli meyakini bahwa
perubahan vaskular, terutama flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan
konstan yang diikuti dengan progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan
adanya limfederma kronik, penebalan kulit, dan rhinofima merupakan suatu
komplikasi lanjut.6,8
Referat ini membahas mengenai rosasea meliputi epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi dan
kesimpulan. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI),
kompetensi pada kasus ini

adalah 3A yaitu dokter umum mampu membuat

diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan-pemeriksaan

tambahan seperti pemeriksaan lab atau x-ray, memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan serta merujuk ke spesialis yang relevan.
DEFINISI
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit,
berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah
dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada
bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi.Penyakit ini ditandai juga dengan adanya
eritema yang berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau
pustul.Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas
terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).6,
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di mana
tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Penelitian terbaru ini untuk menentukan
kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih dari tanda-tanda
berikut pada bagian sentral wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit
kemerahan dan terasa panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan
telangiektasis.6,8
EPIDEMIOLOGI
Rosasea menyerang hamper 3% diantara populasi dunia. Rosasea lebih
sering terjadi pada ras kulit putih tetapi kemungkinan ras Afrika dan ras Asia juga
dapat menderita rosasea. Insiden terjadinya pada usia 30-50 tahun, dengan insiden
puncak antara 40-50 tahun tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan
dewasa muda.3
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali
lebih besar dibandingkan laki-laki. Rhinophyma merupakan salah satu jenis
rosasea lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan. Data insiden
rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat bervariasi ras Asia dan insiden
terendah pada populasi berkulit hitam. Rosasea bukan penyakit yang mengancam
jiwa, tetapi perkembangannya yang meliputi papul, pustul, dan rinophima

mempunyai dampak negatif terhadap kualitas hidup dari penderitanya. Survei


yang dilakukan oleh National Rosasea Society (NRS) melaporkan bahwa sampai
70% pasien rosasea menyatakan penyakit tersebut berpengaruh terhadap rasa
percaya diri dan kehidupan sosial mereka.8,10
ETIOLOGI
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis
mengenai faktor penyebab, yaitu makanan dan minuman, psikis dan emosional,
obat-obatan, infeksi, musim dan iklim dan imunologi:3,8
1.

Makanan dan minuman


Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea.
Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu
telah pula dianggap sebagai faktor penyebab terjadi rosasea.

2.

Psikis/emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya
rosasea tetapi diduga terjadi akibat stres berlebihan sehingga mengganggu
fungsi kerja hormon yang memicu reaksi inflamasi.

3.

Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit
kemerahan diduga peran disebabkan berbagai obat, baik sebagai penyebab
maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea. Obat-obat yang berperan
untuk kulit kemerahan adalah seperti calcium channel blockers, nicotinic acid
(niacin), morphine, amyl dan butyl nitrate, cholinergic drugs, bromocriptine,
thynoid releasing hormone, tamoxifen, cyproterone acetate, systemic steroids
dan cyclosporine. Obat-obat yang berkombinasi dengan alkohol yang berperan
untuk kulit kemerahan adalah cephalosporins, phentolamine, disulfiram dan
chlorpropamide. Amiodarone juga menyebabkan kulit kemarahan.

4.

Infeksi
Organisme comensal seperti Propionibacterium acnes

dan

Demodex

follicurolum, yang berada di folikel rambut dan kelenjar sebasea, memicu


inflamasi papul folliculocentric pada pasien rosasea masih belum jelas tetapi

reaksi hipersensitivitas mungkin dipicu oleh mikroba atau oleh bakteri tungau
terkait seperti Bacillus Oleronius.
5.

Musim/iklim
Kerusakan pembuluh darah akibat sinar matahari dianggap sebagai faktor
etiologi dan solar elastosis adalah gejala khas rosasea.

6.

Imunologi
Pada pemeriksaan histopatologi kulit penderita rosasea, pada lapisan
dermoepidermal ditemukan deposit imunoglobulin sedangkan di kolagen
papiler ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada
dugaan faktor imunologi pada rosasea.
PATOGENESIS
Saat ini telah dipikirkan bahwa terdapat beberapa individu yang memiliki
kulit yang rentan terhadap rosasea selama masa dewasa, ditandai dengan
kemampuan yang lebih untuk mendeteksi dan menanggapi berbagai paparan
(pemicu) dibandingkan dengan kulit wajah dari subyek normal. Pemicu ini,
beberapa di antaranya ada pada daftar "penyebab" rosasea, merangsang
pengenalan oleh kulit dan / atau reseptor neurosensorik, yang mengarah ke
berbagai respon inflamasi dan neurovascular.2,6
Perubahan deteksi dan respons imun serta disregulasi neurovaskular, yang
keduanya telah diidentifikasi pada kulit wajah pasien dengan rosasea, mendukung
konsep bahwa rosasea adalah gangguan inflamasi dengan beberapa faktor
potensial yang mampu menetapkan kaskade tertentu yang berlangsung dan
mengarah ke reaksi kemerahan (flare) pada kulit. Vasodilatasi berkepanjangan;
inflamasi perivaskular; edema; dan paparan sitokin, kemokin, dan infiltrat seluler
yang menyertai flare intermiten diperkirakan berkontribusi pada kronisitas
rosasea. Epidermis pasien rosasea memperlihatkan tingkat peptida proinflamasi
cathelicidin LL-37 yang lebih tinggi yang dianggap sebagai komponen utama dari
peradangan akut serta proliferasi pembuluh darah dan perubahan angiogenik yang
diamati pada kulit yang dipengaruhi rosasea.2,6

Gejala flare dari rosasea dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yang
sebagian besar adalah faktor eksogen. Potensi pemicu yang dapat menyebabkan
flare mungkin berasal dari mikroba (misalnya: tungau Demodex) atau faktor
eksogen (misalnya: sinar UV, panas, alkohol, rempah-rempah seperti kapsaisin).
Banyak dari pemicu ini mengaktifkan toll-like receptor 2 (TLR2) dari keratinosit
yang mengenali kedua pola molekul-terkait-patogen yang berbeda dan pola
molekul-terkait-kerusakan. Pola molekul-terkait-kerusakan dan pola molekulterkait-patogen memicu flare rosasea baik yang mengandung atau menginduksi
ligan yang menunjukkan pola yang dikenali oleh TLR2, mirip dengan organisme
mikroba yang diprogramkan untuk dideteksi oleh reseptor ini sebagai bagian dari
sistem kekebalan tubuh bawaan yang melekat pada kulit yang normal. Pada
akhirnya, peningkatan reaktivitas kulit wajah terhadap beberapa pemicu yang
mengaktifkan sistem neurovaskular dan/atau respon imun serta kaskade inflamasi
selanjutnya adalah ciri khas rosasea dan secara jelas membedakan kulit rosasea
yang rawan dengan kulit yang normal.2,6
Kulit wajah pasien rosasea menunjukkan berbagai karakteristik
fisiokimiawi dan struktural yang berbeda dari kulit wajah normal dan berkorelasi
dengan disregulasi neurovaskular, ditambah respon proinflamasi dan imun
angiogenik yang diperbesar (augmented), dan secara klinis banyaknya tanda-tanda
dan gejala yang diamati pada pasien dengan eritema difus pada sentral wajah
dengan dan tanpa lesi paradangan.2,6
Rosasea eritematotelangiektasis dan papulopustular bersama-sama memiliki
infiltrat sel T helper yang umum (TH1). Infiltrat inflamasi awal rosasea
eritematotelangiektasia ditandai dengan adanya limfosit CD4 (konsisten dengan
respon seluler TH1), makrofag, dan sel mast, dengan tidak adanya neutrofil secara
keseluruhan. Pasien dengan rosacea papulopustular juga menunjukkan pola
infiltrasi selular yang serupa ditambah dengan keterlibatan yang lebih besar dari
respon imun yang ditandai dengan infiltrasi neutrofil dan peningkatan ekspresi
gen IL-8, yang dikenal sebagai sebuah kemoatraktan neutrofil. Namun, faktor
pendorong yang menginduksi kaskade terkait IL-8 dan yang terkait dengan

perkembangan lesi papulopustular pada beberapa pasien masih belum


teridentifikasi.2,6
GAMBARAN KLINIS
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu,
kening, dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan tangan atau
kaki. Lesi umumnya simetris. Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasi,
papul, edema, dan pustul. Komedo tak ditemukan dan bila ada mungkin
kombinasi dengan akne (komedo solaris, akne kosmetika). Adanya eritema dan
telangiektasia adalah persisten pada setiap episode dan merupakan gejala khas
rosasea. Papul kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan akne vulgaris,
dan hemisferikal. Pustul hanya ditemukan pada 20% penderita, sedang edema
dapat menghilang atau menetap antara episode rosasea.2,8
Meskipun gejala klinis dari rosasea sangat bervariasi, National Rosacea
Society (NRS) Expert Committee pada tahun 2002 telah membagi rosasea menjadi
empat sub-tipe, yakni: eritematotelangiektasis (sub-tipe 1), papulopustular (subtipe 2), phymatosa (sub-tipe 3), dan okuler (sub-tipe 4) dengan tingkat keparahan
dari setiap derajat sub-tipe sebagai derajat 1 (ringan), derajat 2 (sedang), atau
derajat 3 (berat). Terdapat beberapa varian rosasea, yakni granulomatosa,
periorifisial dermatitis dan pioderma rasialis.2,7
KLASIFIKASI
NRS Commitee, pada tahun 2002 menetapkan klasifikasi rosasea ke dalam 4
tipe, yaitu eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular.6,7
1. Tipe eritematotelangiektasis (ETR)
Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) ditandai oleh rasa perih pada
bagian sentral wajah dan sering disertai dengan rasa panas dan terbakar. Kulit
kemerahan biasanya terdapat di sekitar mata (Gambar 1). Pasien dengan
rosasea tipe ini memiliki kulit bertekstur baik dengan penurunan kualitas
kelenjar sebasea. Area eritem pada wajah terlihat kasar dan berbatas yang
merupakan suatu proses yang kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor pencetus
yang paling sering menyebabkan rasa panas atau terbakar ini termasuk stres

emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas, cuaca dingin


atau panas.6,8

Gambar 1. Sub-tipe eritematetolangiektasis6

2. Tipe papulopustular (PPR)


Rosasea tipe papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea.
Kebanyakan pasien adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan
papul dan pustul pada bagian sentral wajah (Gambar 2). Telangiektasis yang
terjadi agak sulit dibedakan dengan eritema.6

Gambar 2. Rosasea tipe papulopustular (PPR)6

3. Rosasea phymatous
Rosasea tipe phymatous merupakan rosasea dengan penebalan pada
kulit dan permukaan terdapat nodul iregular di daerah hidung, dagu, dahi,
satu atau kedua telinga, dan kelopak mata (Gambar 3). Terdapat empat
pembagian tipe rhinophyma yaitu suatu perubahan pada hidung) secara
histologis yaitu tipe glandula akibat hiperplasia kelenjar sebasea dan
merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa akibat hiperplasia jaringan
konektif, tipe fibroangiomatosis yaitu hiperplasia jaringan ikat dan
pelebaran pembuluh darah, dan tipe aktinik akibat massa nodular jaringan
elastis.6

Gambar 3. Rosasea tipe phymatous10

4. Rosasea okular
Manifestasi rosasea okular meliputi blefaritis, konjungtivitis,
peradangan pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva
interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva (Gambar 4). Pasien mungkin
mengeluh mata terasa perih atau terbakar, kering, dan seperti ada sensasi
benda asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan
rosasea phymatous. Oleh karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang
keluhan dan gejala okular dan dilakukan pemeriksaan fisik untuk
menentukan tipe rosasea.6
Gambar 4. Rosasea tipe ocular10

Selain keempat
terdapat

pula

varian

subtipe rosasea di atas,


rosasea,

yaitu

rosasea

granulomatous dan rosasea glandular. Rosasea granulomatous memiliki gambaran


histologi berupa formasi granuloma, dengan gambaran klinis papul/nodul merah
atau kuning coklat yang monomorfik dan berukuran sama, berlokasi pada pipi dan
kulit di antara kulit wajah periorifisium (Gambar 5). Pada uji diaskopi, papul ini
akan menunjukkan perubahan warna seperti apel-jelli sama seperti pada
sarkoidosis atau lupus vulgaris.6,8

Gambar 5. Rosasea granulomatousa6

Rosasea glandular lebih sering mengenai kulit laki-laki yang berminyak


tebal. Lesi ditandai dengan papul edematous, pustul berukuran 0.5 - 1 cm, dan
nodulokistik. Lesi cenderung berkumpul pada area sentral wajah, namun bila
diderita perempuan, rosasea glandular tidak mengenai dagu (Gambar 6).
Kemerahan kulit jarang terjadi dibanding rosasea eritemato telangiektasis, namun
sering terjadi edema pesisten yang menjadi masalah.6,8

Gambar 6. Rosasea glandular6

Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium


sebagai berikut:
Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil
Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul,
pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah.
Pada

klasifikasi

ini,

stadium

analog

dengan

tipe

eritematotelangiektasis, stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium


III analog dengan tipe phymatous. Progresi dari satu stadium ke stadium lain
tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II atau III dan
stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan. 6,10
DIAGNOSIS

10

Penegakkan diagnosis pada kasus ini melalui anamnesis,


pemeriksaan
rosasea

fisik

dan

ditegakkan

pemeriksaan

berdasarkan

penunjang.

adanya

satu

Diagnosis
atau

lebih

gambaran klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang


dapat

digunakan

Pemeriksaan

untuk

biopsi

mengkonfirmasi

dilakukan

hanya

adanya

untuk

rosasea.

menyingkirkan

diagnosa alternatif, namun gambaran histopatologi yang didapat


tidak bersifat diagnosik. Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan
untuk

menegakkan

diagnosis

rosesa.

Penegakan

diagnosis

dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari


rosasea.1,3,6

a. Gambaran primer
Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu
atau lebih tanda-tanda:

Kemerahan kulit (eritema transien)

Eritema nontransien

Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa
disertai pustul, dapat pula disertai dengan nodul.

Telangiektasis

b. Gambaran sekunder
Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran
primer, tapi beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.

Rasa terbakar dan pedih

Plak

Kulit kering

Edema

Manifestasi okular

Lokasi perifer

11

Perubahan fimatous

HISTOPATOLOGI
Perubahan histopatologi tergantung stadium dari proses yang terjadi.
Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai
dengan adanya edema dan kerusakan serabut otot (Gambar 7). Fase inflamasi
ditandai adanya sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan giant cell.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut di daerah yang
mengalami gangguan.1,4,7
Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea adalah
infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak
berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis,
edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.7

Gambar 7. Gambaran histopatologi dari rosasea5

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea
yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema 6,9,10
1. Papul atau pustul pada wajah
a. Akne vulgaris
Akne vulgaris dapat terjadi pada remaja dengan kulit seborhoe, klinis
komedo, papul, pustul, nodus, kista (Gambar 8). Tempat predileksi muka,
leher, bahu, dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis.
Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi

12

vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada 2/3
wajah.10

Gambar 8. Akne vulgaris10

b. Dermatitis perioral
Dermatitis perioral terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar
mulut dan dagu, lesi polimorfik tanpa telangiektasis dan keluhan gatal
(Gambar 9). Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak
terdapat telangiektasis dan flushing. Dermatitis perioral biasanya
disebabkan oleh penggunaan steroid topikal.10

Gambar 9. Dermatitis perioral10

2. Flushing atau eritema pada wajah


a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi
yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama
berminyak dan agak gatal. Tempat predileksi di area seboroik yaitu :
retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis (Gambar 10) .10

Gambar 10. Dermatitis seboroik10

13

b. Acute Cutaneous Lupus Eritematous (ACLE)


Meskipun ACLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis
terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan
berbentuk kupu-kupu (Gambar 11). Lesi pada ACLE tidak mengenai
sulkus nasolabialis, biasanya lebih fotosensitif.10

Gambar 11. Lupus eritematosus sistemik10

c. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang
menyerang kulit dan atau otot rangka (Gambar 12). Dermatomiositis
ditandai oleh adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah,
leher, dan bagian atas tubuh.10

Gambar 12. Dermatomiositis10

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan rosasea meliputi tatalaksana umum, obat topikal, obat
sistemik dan tambahan. Tatalaksana umum dapat berupa menyarankan kepada
pasien untuk menghindari faktor pencetus dan iritan, seperti sabun yang kuat dan
pembersih kosmetik berbasis alkohol, menggunakan tabir surya sebagai pelindung
terhadap sinar ultraviolet A dan ultraviolet B. Bila pasien mengalami intoleransi
terhadap bahan-bahan kosmetik dapat digunakan light liquid foundation. Selain

14

itu, penggunaan green tinted make up pada lesi sebelum aplikasi alas bedak dapat
dilakukan untuk memudarkan area merah. Pada pasien yang sensitive digunakan
pembersih wajah bebas sabun dan mengandung sodium sulfacetamide atau sulfur
untuk mengurangi rasa terbakar dan perih akibat penggunaan obat topikal (azelaic
acid) serta pelembab wajah yang lembut satu sampai dua kali sehari sebelum
penggunaan produk kosmetik lain.1,2
Penatalaksanaan

khusus

rosasea

dilakukan

berdasarkan

subtipenya.6
1 Rosasea Eritematotelangiektasis
Antibiotik topikal ringan
Isotretinoin dosis rendah
Tetrasiklin/eritromisin/metronidazol oral
Laser vaskular
Laser ini dapat membantu remodeling kolagen dermal
sehingga matriks dermal dapat lebih kuat.
Intense pulsed light
Retinoid topikal dosis pemeliharaan
Krim tretinoin dengan emolien.6

2 Rosasea Papulopustular

15

Rosasea papulopustular berespon baik dengan pengobatan


pada kebanyakan kasus. Perbaikan terjadi perlahan, namun
relaps sering terjadi dengan cepat setelah pengobatan
dihentikan.6
Antibiotik topikal
Antibiotik oral
Isotretinoin dosis rendah sampai sedang
Laser vaskular atau intense pulsed light pada beberapa
kasus
Retinoid topikal dosis pemeliharaan6

3 Rosasea Fimatous dan Rosasea Glandular

Isotretinoin dosis sedang sampai tinggi

Spironolakton
Operasi pengecilan dan teknik kontur. Pada rinofima
dapat

dilakukan

pembentukkan

ulang

dengan

penggunaan scalpel yang dipanaskan, elektrokauter,


dermabrasi, laser ablasi, eksisi tangensial dikombinasi
scissor sculpting, dan radiofrequency electrosurgery.
Kombinasi dari berbagai teknik operasi ini dapat
memberikan hasil yang lebih memuaskan.6

16

Antibiotik topikal dan atau oral bila dibutuhkan pada lesi


inflamasi

Retinoid topikal dosis pemeliharaan

4 Rosasea Okular
Pasien dengan rosasea okular harus dikonsulkan ke dokter
spesialis mata.
Pembersih.
Air mata artificial.
Emulsi oftalmik ciclosporin.6
Tetrasiklin oral 1 g/hari selama 6 minggu. Tetrasiklin
bekerja

sebagai

agen

antiinflamasi

dan

menekan

sekresi sitokin. Selain itu dapat digunakan asam fusidik


formulasi

oftalmik

topikal.

Pada

studi

in

vitro,

ditemukan bahwa doksisiklin menurunkan konsentrasi


dan aktivitas matriks metalloproteinase (MMP)-9 pada
kultur epitel kornea. 6

Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari faktor
pencetus seperti bahan bahan yang dapat mengiritasi kulit contoh: sabun,
alkohol, larutan obat, dan yang dapat merusak kulit. Melindungi diri dari sinar
matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung 15 atau yang
lebih tinggi selalu di rekomendasikan seperti spektrum UVA dan UVB. Biasanya

17

antibiotik efektif pada pasien dengan akne tetrasiklin, eritromisin dan doksisiklin
dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan. Metronidazole adalah derivate
synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazole 0,75%
gel tropikal atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68% 91%. Bentuk
gel adalah yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea.1,2
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah
sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bakterisidal. Efek toksin imidazole
sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic
acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor agonis dan anti
inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan topikal untuk akne
dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada papul dan pustul
tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.1,2
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal
kortikosteroid hanya digunakan untuk rosasea stadium berat.1,2
Sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin
biasanya efektif tetapi tetrasiklin yang paling efektif. Tetrasiklin dan doksisiklin
biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi
eritem. Dapat dimulai dengan dosis 250mg 1g/hari tetrasiklin, doksisiklin.
Tetrasiklin oral efektif pada rosasea oftalmica. Isotretionin juga efektif meskipun
mempunyai resiko yang lebih daripada tetrasiklin. Obat ini bisa digunakan untuk
rosasea yang resisten terutama yang tidak berespon terhadap antibiotik, seperti
rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea conglobata, rosasea
fulminant. Dosisnya 0,5 1 mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang paling
sering terjadi.1,2
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant
contohnya prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari. Untuk terapi pada
ocular rosacea ditambahkan air mata buatan dan metronidazole gel mata.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk rosasea adalah untuk grade 2-3 dengan

18

rinofima adalah operasi eksisi, electrosurgery atau terapi laser carbon dioxide
ternyata tindakan tersebut mendapat respon perbaikan.1,2
KESIMPULAN
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang
umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur
wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu,
dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul, pustul, telangiektasis dan hipertrofi
kelenjar sebasea dan atau manifestasi okular yang persisten selama berbulan-bulan
atau lebih. Perbandingan antara wanita dan laki-laki 3 banding 1, sering terjadi
pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja,
dan dewasa muda. Rosasea terdiri atas subtipe eritematotelangiektasis, papul,
pustul, phymatous, dan okular. Diagnosis pada rosasea ditegakkan melalui dengan
menghindari faktor pencetus rosasea, pemberian obat topikal dan obat sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
1

Cohen AF, Jeffry D, Tiemstra. Diagnosis and Treatment of Rosacea. 2002.


2 Cowell FC. Rosacea. England: The New England Journal of Medicine;
3

2005.
Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis, and
subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.

The

n
e
w
e
n
g
la
n
dj
o
u
r
n
al
of

m
e
di

19

James MD, Berger TG, Gilston DM, editors. Connective Tissue Disease.
Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia:

Saunders Company; 2011. P 241-244.


Jones JB.Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing
and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C,
editors. Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed. Blackwell Publishing

Company; 2004. P 2199-2217.


Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.

8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925.


Q James, Rosso D, et al. Comprehensive Medical Management of Rosacea.
An Interim Study Report and Literature Review. J Clin Aesthetic Derm.

2008;1(1):20-25.
Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.

P 260-262.
Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard
grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert
Committee on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad
Dermatol. 2004;50:907.

10 Wolf K, Johnson RA.Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2009. P 810.

You might also like